bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah · 2017. 4. 1. · 1 bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan berdasarkan
Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera,
dan berkeadilan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Propinsi terdiri atas daerah-daerah
Kabupaten dan Kota. Dalam rangka melihat hubungan pusat dan daerah, dapat
dipahami dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Amandemen Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Adapun ketentuan Pasal 18 Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tersebut adalah :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi
dan daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap
Propinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang
diatur dengan Undang-Undang.
(2) Pemerintahan daerah Propinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.1
Dari ketentuan Pasal tersebut nampak adanya hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Kekuasaan itu berada pada pemerintah pusat, kemudian
pemerintah pusat melimpahkan sebagian kekuasaan tersebut kepada pemerintah
daerah, untuk dilaksanakan sebagai upaya pendekatan pelayanan terhadap
1Busrizalti, 2013, Hukum Pemda Otonomi Daerah Dan Implikasinya, Total Media,
Yogyakarta, h.2
1
2
masyarakat, untuk mewujudkan titah pembukaan Undang – Undang Dasar 1945
atau Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.2
Pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah yang melahirkan otonomi
daerah dalam kontek Negara Kesatuan dilakukan melalui pintu desentralisasi.
Menurut R.G. Kartasapoetra desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan
dari pemerintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan, keuangan serta
sebagai pendemokratisasian pemerintahan, untuk mengikutsertakan rakyat
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.3
Desentralisasi diartikan pula sebagai suatu sistem, dimana bagian-bagian dan
tugas Negara diserahkan penyelenggaraannya kepada badan atau organ yang
mandiri. Asas ini dilengkapi dengan asas tugas pembantuan, untuk mengikat
hubungan pusat dan daerah supaya dapat dikendalikan dalam ruang Negara
Kesatuan dan menciptakan pemerintahan yang demokratis sebagai cita-cita
masyarakat modern, artinya asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan
merupakan komponen pintu desentralisasi hubungan pusat dan daerah dalam
otonomi daerah.4
Prinsip otonomi daerah selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (5)
Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menyatakan bahwa: “Pemerintah Daerah menjalani otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan Pemerintah yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan
2R Ibrahim, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di
Indonesia. Denpasar, Makalah Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat
Daerah Dewan Perwakilan daerah ( DPD ) di Denpasar 5-7 Februari 2009, h. 6
3Busrizalti, op.cit.
4R Ibrahim, op.cit.
3
pemerintah pusat”. Dalam hal ini daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam
pelaksanaan otonomi tersebut, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Prinsip otonomi seluas-luasnya selanjutnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 1 ayat (6)
ditentukan bahwa:
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 9 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menetapkan
antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
memiliki hubungan kewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (1)
dinyatakan:
Urusan pemerintah absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
meliputi “Kewenangan inti dari Pemerintah Pusat meliputi 6 (enam)
wewenang pemerintah yakni dibidang:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional;
f. agama.
4
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan
urusan pemerintah yang menjadi wewenangnya diarahkan untuk dapat
mewujudkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum,
dan daya saing daerah.
Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ditentukan :
(1). Urusan Pemerintahan Konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3) yang menjadi Kewenangan Daerah terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
(2). Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan
Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.
Lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (2) ditentukan:
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan
Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan ditentukan pada Peraturan Pemerintah
5
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota.
Dengan adanya otonomi daerah, pembiayaan pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan
sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Daerah dipacu untuk dapat berkreasi
mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan
pengeluaran daerah. Dari berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin
dipungut oleh daerah, Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah menjadi
salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat
dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
Dalam Pasal 279 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ditentukan :
Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
diserahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pemberian sumber penerimaan Daerah berupa pajak daerah dan retribusi
daerah;
b. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah;
c. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk Pemerintahan
Daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang; dan
d. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif (fiskal).
Dari ketentuan tersebut ditentukan daerah mempunyai hak untuk memungut
pajak daerah dan retribusi daerah, dimana pajak daerah dan retribusi daerah
merupakan sumber pendapatan daerah. Pengertian pendapatan asli daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
6
Keuangan Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli
daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang
dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.
Dalam Pasal 285 (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ditentukan :
Sumber Pendapatan Daerah terdiri atas:
a. Pendapatan asli Daerah meliputi :
1. Pajak daerah;
2. Retribusi daerah
3. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
4. Lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah ;
b. Pendapatan transfer; dan
c. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
1) Hasil pajak daerah
2) Hasil retribusi daerah
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
4) Lain-lain pendapat daerah yang sah
Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa penyerahan sumber keuangan daerah baik
berupa pajak daerah dan retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan
merupakan konsekuensi dari adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada
daerah yang diselenggarakan berdasarkan Asas Otonomi. Untuk menjalankan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, Daerah harus mempunyai
sumber keuangan agar Daerah tersebut mampu memberikan pelayanan dan
kesejahteraan kepada rakyat di Daerahnya. Pemberian sumber keuangan kepada
Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintah yang diserahkan
kepada Daerah. Keseimbangan keuangan ini merupakan terjaminnya
terselenggaranya Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Ketika
7
Daerah mempunyai kemampuan keuangan yang kurang mencukupi untuk
membiayai Urusan Pemerintahan dan khususnya Urusan Pemerintahan Wajib
yang terkait Pelayanan Dasar, Pemerintah Pusat dapat menggunakan instrumen
DAK untuk membantu daerah sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai.
Secara umum, pendapatan daerah dapat dibagi menjadi dua, yakni :
(1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu; dan
(2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan. 5
Pajak adalah pungutan oleh pejabat pajak sebagai wakil Negara kepada wajib
pajak tanpa tegenprestasi secara langsung dan bersifat memaksa sehingga
penagihannya dapat dipaksakan. Hal ini tersirat dalam Pasal 23A Undang-Undang
Dasar 1945. Menurut Rochmat Soemitro pajak dapat ditinjau dari aspek ekonomis
dan aspek hukum. Adapun pengertian pajak dari aspek ekonomis adalah peralihan
kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang
dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatite) yang secara
langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran
umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah
untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan Negara. Sementara itu
pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena undang-
undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang
kepada (kas) Negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapat suatu imbalan yang
secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-
5Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi fiskal : Politik Perubahan Kebijakan 1974-
2004, Kencana, Jakarta, h. 125.
8
pengeluaran Negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat
pendorong atau penghambat untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan
Negara.6
Pajak daerah didalamnya harus pula terdapat unsur imbalan / kontraprestasi
sebagaimana halnya retribusi daerah. Yang membedakan imbalan / kontraprestasi
antara pajak daerah dengan retribusi daerah adalah bahwa pajak daerah
kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya
untuk sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah
kontraprestasi tersebut langsung kepada pembayar retribusi.7
Retribusi adalah pungutan oleh pejabat retribusi kepada Wajib Retribusi yang
bersifat memaksa dengan tegenprestatie secara langsung dan dapat dipaksakan
penagihannya. Sarana hukum yang digunakan untuk memaksakan penagihan
retribusi tidak berbeda dengan pajak, berupa sanksi administrasi maupun sanksi
kepidanaan8. Retribusi dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
bagian dari “pungutan yang bersifat memaksa” yang dibutuhkan oleh Negara
karena itu diatur dengan undang-undang9.
Secara otentik pengertian retribusi daerah dapat ditemukan dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Landasan Filosofis Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara hukum berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan
6Muhammad Djafar Saidi, 2007, Pembaruan Hukum Pajak, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 25-26
7Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, h.56
8Muhammad Djafar Saidi, op.cit
9ibid
9
untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan
berkeadilan, sedangkan landasan sosiologisnya adalah bahwa kebijakan pajak
daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi,
pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan
memperhatikan potensi daerah.
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan :
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara
diatur dengan undang-undang”.
Dalam Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditentukan:
“Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang
khusus disediakan dan / atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.”
Dalam pengertian ini, terkandung pula pemaknaan bahwa pelayanan yang
menjadi obyek retribusi adalah pelayanan yang langsung dinikmati oleh anggota
masyarakat (orang pribadi atau badan). Dengan demikian karakter retribusi daerah
adalah :
1. Pungutan oleh pemerintah daerah terhadap anggota masyarakat;
2. Pemerintah daerah memberikan pelayanan berupa barang / jasa yang
memberi keuntungan kepada anggota masyarakat yang membayar
pungutan.
Pasal 108 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa “Objek retribusi adalah” :
10
a. Jasa umum;
b. Jasa usaha;
c. Perizinan tertentu.
Tidak semua jasa yang diberikan oleh Pemerintah daerah dapat dipungut
retribusinya, tetapi hanya jenis-jenis tertentu yang menurut pertimbangan sosial-
ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut
dikelompokkan ke dalam 3 ( tiga ) golongan, yaitu jasa umum, jasa usaha, dan
perizinan tertentu. Hal ini membuat objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa
sebagai berikut :10
1. Retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau
diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh pribadi atau badan.
2. Retribusi jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang diberikan oleh
pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
3. Retribusi perijinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu
pemerintah daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan kemanfaatan pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
10Siahaan P. Marihot, 2009, Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 435
11
Lebih lanjut dalam Pasal 110 ayat (1) Undang - Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa Jenis
Retribusi Jasa Umum adalah:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan
b. Retribusi Pelayanan Persampahan / Kebersihan
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
f. Retribusi Pelayanan Pasar
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
l. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
m. Retribusi Pelayanan Pendidikan
n. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
Sebagai implementasi dari otonomi daerah maka daerah dapat memungut
pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam
tatanan peraturan perundang-undangan diatur dalam Peraturan Daerah. Pasal 156
ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah menentukan : “Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Lebih lanjut dalam Pasal 149 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan :
1. Jenis Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 141, untuk Daerah Propinsi
dan Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan kewenangan Daerah
masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, untuk
Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten / Kota disesuaikan dengan jasa /
pelayanan yang diberikan oleh Daerah masing-masing.
3. Rincian jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 141 diatur dalam Peraturan Daerah
yang bersangkutan.
12
Dokumen kependudukan termasuk retribusi jasa umum yang sebelumnya di
Kota Denpasar diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 Tahun
2011 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan
Akta Catatan Sipil. Dalam Pasal 2 ditentukan “Dengan nama retribusi pengganti
Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil dipungut atas
penggantian biaya cetak”.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, yang diundangkan pada tanggal 24 Desember 2013 dalam Pasal
79A ditentukan bahwa “Pengurusan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan
tidak dipungut biaya”, maka Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 Tahun
2011 tidak berlaku lagi. Hal ini ditegaskan dengan adanya Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri Nomor 900 /326/SJ tertanggal 17 Januari 2014 tentang larangan
pungutan uang dalam memberikan pelayanan administrasi kependudukan, maka
terhitung mulai tanggal 1 April 2014 di Kota Denpasar semua pelayanan
administrasi dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya.
Landasan filosofis berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 adalah
dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional,
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan landasan
sosiologisnya adalah dalam rangka peningkatan pelayanan administrasi
kependudukan sejalan dengan tuntutan pelayanan administrasi kependudukan
yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib dan tidak
13
diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan
prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan.
Dengan adanya Keputusan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar
Nomor 14/12-SK/MMDP/VII/2014 tertanggal 1 Juli 2014 tentang Penataan
Penduduk Pendatang Di Desa Pakraman, ditentukan untuk menjamin ketertiban
dan keamanan sosial dalam penataan penduduk pendatang (krama tamiu dan
tamiu) yang baru datang dan tinggal menetap maupun sementara dalam jangka
waktu tertentu, dikenakan kontribusi biaya sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu
rupiah) bagi penduduk pendatang luar Provinsi Bali dan penduduk pendatang luar
Denpasar dalam Provinsi Bali sebesar Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah).
Pertimbangan dikeluarkan Surat Keputusan tersebut berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
bahwa Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar sebagai lembaga adat yang
menjadi partnership kerja Pemerintah Kota Denpasar berwenang membuat aturan
terkait urusan pemerintahan dan urusan adat yang ditujukan dan dikoordinasikan
pelaksanaannya kepada Desa Pakraman se Kota Denpasar.
Dasar hukum pembentukan Majelis Desa Pakraman Bali adalah Peraturan
Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Dalam Pasal 16 Perda No 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman diatur tugas
dan wewenang Majelis Desa Pakraman yang diatur yaitu:
14
(1) Majelis Desa Pakraman mempunyai tugas:
a. mengayomi adat istiadat;
b. memberikan saran, usul, dan pendapat kepada berbagai pihak baik
perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang
masalah-masalah adat;
c. melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman dengan aturan--
aturan yang ditetapkan;
d. membantu penyuratan awig-awig;
e. melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
(2) Majelis Desa Pakraman mempunyai wewenang:
a. memusyawarahkan berbagai hal menyangkut masalah-masalah adat
dan agama untuk kepentingan desa pakraman;
b. sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat
diselesaikan di tingkat desa;
c. membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di
kabupatan/kota, dan di provinsi.
Menurut Profesor Wayan P. Windia, Majelis Desa Pakraman mempunyai
tugas dan wewenang menangani berbagai masalah yang terkait dengan adat dan
hukum adat Bali, termasuk tentunya kasus-kasus adat.11
Atas dasar permasalahan itulah maka penulis menganggap perlu untuk
melakukan suatu kajian ilmiah dengan judul “RETRIBUSI JASA UMUM
KEPENDUDUKAN DI KOTA DENPASAR DIKAITKAN DENGAN
11Wayan P. Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus Dan Penyelesaiannya, Udayana
University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia I) h. 233
15
UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN SURAT KEPUTUSAN
MAJELIS MADYA DESA PAKRAMAN KOTA DENPASAR NOMOR
14/12-SK/MMDP/VII/2014 TENTANG PENATAAN PENDUDUK
PENDATANG DI DESA PAKRAMAN”.
1.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana pengaturan pemungutan retribusi jasa umum
kependudukan di Kota Denpasar?
1.2.2. Bagaimana peranan Majelis Madya Desa Pakraman di Kota
Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan tesis ini, penulis hanya akan membahas masalah pengaturan
Retribusi Jasa Umum sesuai dengan Pasal 79A Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan peranan Majelis
Madya Desa Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum
kependudukan agar pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang penulis
uraikan sehingga pembahasan tersebut tidak menyimpang atau meluas dari apa
yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari tesis ini adalah :
16
1.4.1 Tujuan umum :
a. Untuk mengetahui dasar hukum retribusi jasa umum
kependudukan.
b. Untuk menganalisis pengaturan retribusi jasa umum
kependudukan.
c. Untuk menganalisis dan mempelajari konsistensi antara
peraturan tentang retribusi jasa umum kependudukan.
1.4.2 Tujuan khusus :
Adapun tujuan khusus dari penulisan ini agar mengetahui lebih
dalam dan memahami bagaimanakah pengaturan retribusi jasa
umum kependudukan dan bagaimanakah penerapan Pasal 79A
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman Kota
Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
terhadap pengembangan ilmu hukum secara umum, dan khususnya
Hukum Administrasi Negara, Hukum Pemerintahan Daerah.
1.5.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis dapat memberikan masukan bagi
masyarakat dan juga Pemerintah Daerah tentang pelaksanaan
retribusi jasa umum kependudukan, sedangkan bagi penulis sendiri,
17
karya tulis ini disamping untuk memenuhi persyaratan dalam meraih
gelar Magister Hukum pada Program Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Udayana, juga akan bermanfaat bagi
penulis dalam melaksanakan tugas sebagai aparat Pemerintah
Daerah.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Penelitian sejenis yang terkait dengan kajian yuridis retribusi, telah dilakukan
penelusuran diantaranya sebagai berikut :
Pertama, penulis menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada
tahun 2010, atas nama Komang Lestari Kusuma Dewi berjudul “Pengaturan
Retribusi Perijinan Tertentu Pada Pemerintahan Kota Denpasar”, dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kriteria dan tolak ukur untuk menentukan retribusi
perijinan tertentu pada Pemerintahan Kota Denpasar?
2. Bagaimanakah pengaturan retribusi perijinan tertentu pada pemerintahan
Kota Denpasar?
Tesis ini menekankan pada Pemerintahan Kota Denpasar dalam menetapkan
kriteria dan tolak ukur retribusi perijinan tertentu sebagai pelaksanaan otonomi
daerah dan pelaksanaan retribusi perijinan tertentu di Kota Denpasar.
Kedua, penulis menemukan tesis di Universitas Diponegoro, Semarang,
Tahun 2009 atas nama Rona Rositawati berjudul “Sistem Pemungutan Pajak
Daerah dalam Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Bogor)”, dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
18
1. Bagaimana dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era
otonomi daerah?
2. Bagaimana sistem pemungutan pajak dalam era otonomi daerah?
3. Bagaimana konsistensi antara peraturan daerah yang mengatur pajak
daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah?
Penulisan tesis ini menekankan pada dasar hukum sistem pemungutan pajak
daerah dalam era otonomi daerah dan sistem pemungutan pajak daerah dalam era
otonomi daerah di Kabupaten Bogor. Dalam tesis ini dimuat juga tentang
konsistensi antara Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan
perundang-undangan dibidang pajak daerah.
Ketiga, penulis menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada
tahun 2011, atas nama Ni Putu Diah Siswandari dengan judul “Kewenangan
Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor” dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam pemungutan
Pajak Kendaraan Bermotor?
2. Bagaimanakah tata cara pemungutan pajak Kendaraan Bermotor di
Propinsi Bali?
Penulisan tesis ini menekankan pada kewenangan pemungutan pajak yang
merupakan kewenangan dari Pemerintah Provinsi yaitu kewenangan pemungutan
pajak kendaraan bermotor di Propinsi Bali dan dalam penulisan tesis ini berisi
pula materi tentang tata cara pemungutan pajak kendaraan bermotor di Propinsi
19
Bali serta tesis ini memuat juga bagi hasil pajak kendaraan bermotor kepada
Kabupaten / Kota.
Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan tampaklah perbedaan-
perbedaan yang spesifik. Penekanan pada penelitian ini dititik beratkan pada
pengaturan pemungutan retribusi yang merupakan kewenangan Pemerintah
Kabupaten / Kota yaitu khususnya pemungutan retribusi jasa umum
kependudukan. Pada penelitian ini melakukan pembahasan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar dalam pemungutan
retribusi jasa umum kependudukan.
Dalam penelitian terdahulu, baik di Universitas Udayana maupun Universitas
lainnya sepanjang penulis ketahui, penekanan pada penelitian ini belum pernah
memperoleh kajian, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan
masih bersifat orisinal dan layak dijadikan obyek penelitian dalam tesis ini.
1.7. Landasan Teoritis
Dalam rangka mengkaji permasalahan yang diajukan dalam perumusan
masalah, akan menggunakan beberapa asas, teori, dan konsep, sebagai berikut :
1.7.1. Teori Negara Hukum.
1.7.2. Teori Hirarki Norma Hukum.
1.7.3. Asas-asas Hukum Preferensi.
1.7.4. Teori Pluralisme Hukum.
1.7.5. Teori Semi – Autonomus Social Field.
20
1.7.1.Teori Negara Hukum
Hukum menurut Jonathan Crowe:12
“The law is basically a set of rules. It is a set of general standards that tell us
how to behave, not just in one case, but across a range of situations.
However, legal rules are also social rules, that is, they are rules that are
generally recognized as binding by the members of a particular community.
Their validity within that community depends at least partly on social
acceptance”.
“Hukum pada dasarnya adalah seperangkat aturan. Ini adalah satu set standar
umum yang memberitahu kita bagaimana harus bersikap , bukan hanya dalam
satu kasus, tetapi di berbagai situasi. Namun, aturan hukum juga aturan-
aturan sosial, yaitu, mereka adalah aturan yang umumnya diakui sebagai yang
mengikat oleh anggota komunitas tertentu. Validitasnya dalam masyarakat
yang tergantung setidaknya sebagian pada penerimaan sosial”.
Hukum Positif menurt John Austin:13
“Positive laws, or laws strictly so called, are established directly or
immediately by authors of three kinds:- By monarch, or sovereign bodies, as
supreme political superior: by men in a state of subjection, as subordinate
political superior: by subject, as a private person, in pursuance of legal
rights. But every positive laws or every laws strictly so called, is direct or
circuitious command of monarch or souvereign number … to a person or
persons in a state of subjections to its author”.
“Hukum positif ditetapkan langsung oleh tiga jenis: (1) oleh raja, atau badan
berdaulat, sebagai politik superior: (2) oleh laki-laki sebagai bawahan politik
superior : (3) oleh subjek, sebagai orang swasta, menurut hak-hak hukum .
Tapi setiap hukum positif adalah perintah langsung dari raja yang berdaulat
untuk seseorang atau beberapa orang”.
Secara umum tujuan hukum adalah keadilan menurut Alf Ross:14
“In general, the idea of law is taken to be justice”.
Ciri-ciri suatu Negara menurut Phillipus M. Hadjon adalah:
a. Ada pelaksanaan suatu “kekuasaan”
12Jonathan Crowe, 2008, Legal Theory, Thomson Reuters (Professional), Australia, h. 2-3
13
J.W. Harris, 2004, Legal Philosophies Second Edition, Oxford University Press, Great
Britain, h. 31
14
Alf Ross, 1959, On Law And Justice, University of California Press, Berkeley & Los
Angeles, h. 3
21
b. Terhadap suatu “bangsa” tertentu
c. Di suatu “wilayah” tertentu
d. Kekuasaan itu adalah dalam bentuk “lembaga-lembaga negara”
e. Dan lambang-lambang tertentu (bendera, lagu kebangsaan dan
sebagainya).15
Ciri-ciri yang paling penting dari negara ialah pelaksanaan kekuasaan dalam
arti menciptakan dan memelihara suatu ketertiban tertentu dalam kenyataan.
Negara menurut Neil MacCormick adalah:16
All states, whether or not conforming to the pattern of a constitutional state to
be discussed here, have four essential characteristics. First, they are
territorial, that is, they lay claim to and exercise, to at least a significant
degree, effective control over a specific territory, in a way that involves when
necessary the use of coercive force agains external and internal threats.
Secondly, they claim legitimacy; that is, their governing authorithies claim
that in exercising such effective control they do so as of right and are
properly recognized as being rightfully in authority over the territory.
Thirdly, they claim independence, that is their governing authorities claim
independence, that is, their governing authorities claim that the people of the
state are entitled to a form of government free from external interference by
the states. The fourth, closely related, feature is that these claims are
acknowledged by other state.
Menurut C.F Strong dalam bukunya Modern Political Constitutions, negara
Kesatuan merupakan bentuk negara yang mempunyai kedaulatan tertinggi di
tangan pemerintah pusat. Lebih lanjut menyatakan bahwa the essential qualities of
unitary state may therefore be said to be:17
1. The supremacy of the central parliament
2. The absence of subsidiary sovereign bodies
15Phillipus M. Hadjon dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta (Selanjutnya disebut Phillipus M. Hadjon I), h. 17
16
Neil MacCormick, 2007, Institutions of Law, Oxford University Press Inc., New York,
United States, h. 39
17
Busrizalti, op.cit, h. 39
22
Ciri yang melekat pada Negara Kesatuan berdasarkan uraian di atas adalah:
1. Adanya supremasi dari parlemen pusat.
2. Tidak adanya badan-badan lain yang berdaulat.
Hubungan antara Hukum dengan Negara menurut Friedrich Julius Stahl dalam
bukunya Principles of Law:18
The relationship of law to the state is twofold: the law requires the state for it
to maintain itself in humanlife, while the state requires the law as the source of
its very existence. Together they form the civil order.
Berdasarkan uraian di atas hubungan hukum dengan negara ada dua: hukum
mengharuskan negara untuk mempertahankan dirinya dalam kehidupan manusia,
dan negara membutuhkan hukum sebagai sumber keberadaannya. Hukum dan
Negara bersama-sama membentuk tertib sipil.
Dalam kepustakaan ilmu hukum dan politik di Indonesia, istilah negara
hukum dipadankan dengan istilah rechtstaat (bahasa Belanda) dan istilah the rule
of law (bahasa Inggris). Di negara-negara civil law, teori dan implementasi negara
hukum muncul dengan konsepsi rechtstaat sementara di negara-negara common
law dengan konsepsi the rule of law.19
Suatu negara dikatakan sebagai negara hukum melalui dua cara. Pertama,
melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan yaitu apakah konstitusi yang
dimaksud memuat ketentuan tentang negara hukum. Kedua, berdasarkan
pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan
unsur-unsur / ciri-ciri dari suatu negara hukum. Abad ke 19 muncul konsep
18Friedrich Julius Stahl, 2007, Principles of Law, Asiten the Netherland, Word Bridge, h. xviii
19
Imam Soebechi, 2012, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 13
23
rechstaat dari Friedrich Julius Stahl. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum
adalah sebagai berikut :
a. Pelindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey lahir dalam naungan
sistem hukum anglo saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur the rule of law
sebagai berikut :
a. Supremasi aturan-aturan (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (eguality before the
law). Dalil ini mengaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain
oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.20
Philipus M Hadjon mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum
yakni : rechtstaat, the rule of law dan negara hukum Pancasila. 21
Ateng Syafrudin
mengemukakan bahwa kandungan negara hukum adalah sebagai berikut:22
20HR Ridwan, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII press, Yogyakarta, h. 3
21
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban,
Surabaya (Selanjutnya disebut Phillipus M. Hadjon II), h. 69
22
Imam Soebechi, op.cit, h. 21
24
a. Pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur) dengan bagian-
bagiannya tentang kewenangan yang dinyatakan dengan tegas, tentang
perlakuan yang sama dan tentang kepastian hukum.
b. Hak asasi manusia.
c. Pembagian kekuasaan, dengan bagian-bagiannya tentang struktur
kewenangan atau desentralisasi dan tentang pengawasan dan kontrol.
d. Pengawasan dan kekuasaan pengadilan.
Implementasi negara hukum memiliki karakteristik dan model yang
beragam.Terlepas dari berbagai model negara hukum tersebut, Budiono mencatat
bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap
menuju ke arah kesimpulan bahwa negara merupakan negara yang akan
mewujudkan harapan para warga negara akan kehidupan yang tertib, adil dan
sejahtera jika negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan
main23
.
Untuk menganalisis permasalahan retribusi jasa umum dokumen
kependudukan dan peranan Majelis Madya Desa Pakraman dalam retribusi jasa
umum penulis mempergunakan teori Negara hukum.
1.7.2. Teori Hirarki Norma Hukum
Hans Kelsen mengemukakan teorinya tentang tata urutan atau susunan
hirarkis dari tata hukum Negara yaitu dengan mempostulasikan norma dasar,
yakni konstitusi dalam arti material adalah urutan tertinggi di dalam hukum
nasional.
23HR Ridwan , op.cit, h. 6
25
Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki
tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan
fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Menurut Hans Kelsen:24
Hubungan antara norma yang menentukan penciptaan norma lain, dan norma
yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini, bisa divisualisasikan dengan
menggambarkan pengorganisasian norma di tingkat tinggi dan rendah. Norma
yang menentukan penciptaan adalah norma di tingkat yang lebih tinggi,
norma yang diciptakan sesuai dengan determinasi ini adalah norma di tingkat
yang lebih rendah. Sistem hukum bukan sebuah sistem yang terdiri dari
norma-norma hukum bertingkat, dengan kata lain, berdampingan satu sama
lain; rupanya sistem hukum merupakan urutan hierarkis berbagai strata
norma-norma hukum.
Berdasarkan Teori yang dikembangkan Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, di
Indonesia terdapat tata urutan peraturan perundang-undang diatur dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten / kota
24Hans Kelsen, 2009, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 105
26
Menurut Muhammad Bakri, jika tata urutan peraturan perundang-undangan
tersebut dihubungkan dengan pendapat Hans Kelsen, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya adalah
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
2. Peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang Dasar 1945
adalah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang
walaupun dibuat oleh Presiden namun tingkatannya disamakan dengan
Undang-Undang.
3. Peraturan perundang-undangan yang paling rendah tingkatannya adalah
Peraturan Daerah / Kota.
Untuk menganalisa permasalahan pertama yaitu mengenai pengaturan
pemungutan retribusi jasa umum dokumen kependudukan di Kota Denpasar dan
peranan Majelis Madya Desa Pakraman dalam retribusi jasa umum penulis
mempergunakan teori hukum Jenjang Norma dari Hans Kelsen.
1.7.3. Asas Hukum Preferensi
Antinomi berarti adanya pertentangan dua norma atau lebih, akan tetapi
keduanya sama-sama penting. Dengan kata lain, kedua norma tersebut dijamin
dalam tingkatan hukum yang sama. Dalam teori antinomi dipergunakan asas
preferensi dalam penyelesaian konflik norma yaitu :
1. Asas Lex superior Derogat Legi Inferiori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi mengesampingkan berlakunya peraturan
27
perundang-undangan yang lebih rendah atau peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
2. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perundang-undangan
yang terdahulu, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat
ketentuan yang sama dan secara hierarkis mempunyai kedudukan yang
sama.
3. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali, yaitu peraturan perundang-
undangan yang bersifat khusus (spesial) mengenyampingkan berlakunya
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila
kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang
saling bertentangan. Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-
undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama.25
Disamping asas preferensi tersebut diatas juga terdapat asas yang diperlukan
dalam tata urutan peraturan perundang-undangan seperti yang dikemukakan oleh
Bagir Manan yaitu:26
1. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ada ketentuan umum
bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar
hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya; peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
25Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 129
26
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Penerbit Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, h. 45
28
tinggi, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat
dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum.
2. Isi atau materi peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah
tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yang dibuat tanpa wewenang
dan untuk menjaga dan menjamin prinsip tersebut agar tidak
disimpangi atau dilanggar maka terdapat mekanisme pengujian secara
yudisial atas setiap perturan perundang-undangan atau kebijakan
maupun tindakan pemerintah lainnya terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau tingkat tertinggi yaitu
Undang-Undang Dasar.
Dalam mengkaji permasalahan kedua yaitu peranan Majelis Madya Desa
Pakraman di Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum dokumen
kependudukan penulis mempergunakan teori asas preferensi dalam teori antinomi.
1.7.4. Teori Pluralisme Hukum
Kerangka teori berikutnya adalah teori Pluralisme Hukum yang dikemukakan
John Griffiths dalam artikelnya berjudul “What is legal pluralism” adalah rujukan
yang banyak digunakan oleh pengkaji dan pendukung pluralisme hukum di
Indonesia. Griffiths menyatakan bahwa ideologi sentralisme hukum yang melekat
pada sistem hukum modern menyatakan bahwa apa yang dinamakan hukum itu
adalah merujuk pada hukum negara yang berlaku sama bagi setiap orang. Ia
bersifat seragam, bersifat eksklusif terhadap hukum yang lain, dan dijalankan oleh
29
institusi negara.27
Lebih lanjut Griffiths menyatakan bahwa kecenderungan
terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara terlihat ada interaksi
sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law)
dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law)
dalam suatu komunitas masyarakat. Pluralisme hukum digunakan sebagai alat
analisa untuk memahami dua atau lebih sistem hukum.28
Lebih lanjut Pluralisme
hukum menurut Griffith adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu
tatanan hukum dalam suatu arena sosial “legal pluralism as that state of affairs,
for any social field, in which behavior pursuant to more than one legal order
occurs”.29
Pemikiran mengenai adanya pluralisme hukum dimunculkan sebagai
tanggapan atas adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang
menyatakan bahwa hukum adalah, dan sudah seharusnya merupakan, hukum
Negara, berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari
semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga
Negara.
27
Myrna A, Safitri 2011, Dalam Untuk Apa Pluralisme Hukum Konsep, Regulasi, Negosiasi
Dalam Konflik Agraria Di Indonesia, Epistema Institute, Jakarta, h. 7 28
Andiko, “Upaya tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di
Indonesia” Dalam Myrna A. Safitri Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan
Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Epistema Institute, Jakarta, h. 58 29
J Griffitths, 1986, What is Legal Pluralism. Journal Of Legal Pluralism and Unofficial
Law.number 24/1986; Published by the Foundation for the Journal of Legal Pluralism, h. 1
30
Menurut Griffith:30
“….Law is and should be the law of the state, uniform for all persons,
exclusive of all other law, and administered by a single set of state
institutions”
Menurut Griffith pluralism dan sentralisme hukum merupakan dua kutub
yang secara tegas saling berhadapan.31
“Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an
illusion”.
Menurut Massimo La Torre:
Legal pluralism mean a multiplication and differentiation of the sources of
law or-said differently-of the varios arguments which justify a certain course
of action or specific legal decision.32
Teorinya Griffiths yang mengemukakan konsep pluralisme hukum sebagai
suatu lapangan sosial yang didalamnya terdapat lebih dari satu tatanan hukum (in
social field of more than one legal order).33
Teori Pluralisme Hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) dan pluralisme yang
kuat (strong legal pluralism).34
Pluralisme hukum yang lemah merupakan bentuk
lain dari sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam
kenyataannya hukum negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum
30Sulistyowati Irianto,2001, Kesejahteraan Sosial Dalam Sudut Pandang Pliralisme Hukum
(Suatu Tema Non Sengketa Dalam Perkembangan Terakhir Antropologi Hukum Tahun 1980-
1990-an) dalam T.O Ihromi Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, h. 243
31ibid
32
Ida Bagus Wyasa Putra, 2013, Legal Theory a compilation by Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,
Pusat Kajian Hukum Dan Ideologi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 193
33I Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Pluralisme Hukum Dalam Pengakuan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dengan Peraturan Daerah, Ringkasan Disertasi Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, h. 27
34Lidwina Inge Nurtjahyo, “Menelusuri Perkembangan Kajian Pluralisme Hukum Di
Indonesia” Dalam Myrna A. SafitriUntuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan
Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Epistema Institute, Jakarta, h. 35.
31
yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara
itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hirarki sistem hukum
negara.
Salah satu contoh penerapan pluralisme hukum lemah adalah konsep yang
diajukan Hooker yang mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum. Menurut
Hooker, pluralisme hukum mengacu pada situasi dimana dua atau lebih hukum
saling berinteraksi. Situasi pluralisme hukum adalah suatu pertemuan antara dua
atau lebih kebudayaan (dalam hal ini hukum) yang mengakibatkan konflik
mengenai prinsip-prinsip menjadi hal yang sangat biasa. Dalam hal ini terjadi
pertentangan, yaitu antara apa yang disebut sebagai municipal law sebagai sistem
yang dominan (hukum Negara) dengan apa yang disebutnya sebagai “servient
law” yang inferior seperti kebiasaan dan hukum agama. 35
Pluralisme hukum kuat merupakan bentuk dari kemajemukan sistem hukum
dalam masyarakat namun semuanya dipandang sama kedudukannya. Tidak ada
hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari sistem hukum
yang lainnya. Teori living law yang dikemukakan Eugene Ehrlich merupakan
salah satu contoh dari penerapan pluralisme hukum kuat. Ehrlich menyatakan
aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif dikontraskan dengan hukum
negara.
Konflik hukum negara dengan hukum rakyat adalah bentuk kesenjangan atau
bahkan konflik kebudayaan antara pembentuk dan pengemban hukum. Tanpa
35Andiko, op.cit. h. 244.
32
upaya mendamaikan keduanya maka dalam banyak hal hukum negara tidak
berjalan efektif.36
Terdapat berbagai cara mengkaji pluralisme hukum ini: memetakan berbagai
hukum yang ada dalam suatu bidang sosial, utamanya hukum negara dan non –
negara; menjelaskan relasi, adaptasi, kompetisi antar sistem hukum; pilihan
individual warga memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik, interaksi
global, nasional dan lokal yang memengaruhi relasi antar hukum.37
Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki
otonomi dalam mengatur dirinya, harus tunduk kepada Pancasila dan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.38
Eksistensi desa pakraman ini
diakui Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut ketentuan
Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Moh. Mahfud MD mengatakan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat
hukum adat ini mengandung empat konsekuensi.39
Pertama, kesatuan masyarakat
hukum adat dapat bertindak sebagai subjek hukum. Kedua, terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban serta dapat
melakukan tindakan hukum dalam hal kepemilikan tertentu. Ketiga, saat terdapat
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat maka dengan sendirinya
negara mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan masyarakat itu
36Andiko, op.cit, h. 4
37
ibid, h. 5
38
I Wayan Surpha, 2012, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar,
(Selanjutnya disebut I Wayan Surpha I), h. 57
39
Moh. Mahfud MD, 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD
1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah Disampaikan pada Seminar Awig-Awig II,
Pemberdayaan Awig-Awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang
Sejahtera”, Bali, 30 September 2010.
33
sebagai kesatuan masyarakat hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap
struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata
negara adat setempat.
Kusumadi Pudjosewojo memberi pengertian yang berbeda antara masyarakat
hukum dan masyarakat hukum adat.40
Masyarakat hukum adalah suatu
masyarakat yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri.
Sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan
di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh
penguasa yang lebih tinggi. Rasa solidaritas para anggotanya sangat besar dan
memandang bukan anggota masyarakat sebagai anggota luar, serta sumber
kekayaan yang ada di wilayahnya hanya dapat dipakai oleh anggota. Struktur
persekutuan hukum ini menurut Soepomo dapat dibedakan berdasarkan pengikat
anggota persekutuan, yakni faktor genealogis (pertalian keturunan yang sama),
faktor teritorial (lingkungan daerah yang sama), dan genealogis teritorial
(campuran keduanya).41
Persekutuan hukum berdasarkan teritorial banyak dijumpai di Bali dan
dikategorikan persekutuan desa. Ada sesuatu yang khas di Bali karena mengenal
istilah desa dinas dan desa pakraman. Desa pakraman merujuk kepada organisasi
sosial yang berdasarkan aturan adat sedangkan desa dinas merupakan organisasi
40I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111
41ibid, h. 112.
34
birokrasi yang berstruktur.42
Kadangkala ada ketergantungan dari dua bentuk desa
ini. Masyarakat adat sangat mematuhi hukumnya sesuai dengan corak tersebut.
Masalah kepatuhan hukum dalam hukum adat, secara analitis dapat dibedakan
menjadi tiga kategori kepatuhan dilihat dari faktor penyebabnya.43
Ketiga
kategori tersebut adalah kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena
pemimpin-pemimpin masyarakat yang memerintahkannya, kepatuhan pada
hukum adat yang disebabkan karena lingkungan sosial menghendakinya, dan
kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena seseorang menganggapnya
sebagai sesuatu yang sebanding atau adil.
Dalam ruang lingkup internasional, pengaturan mengenai masyarakat adat
ditemukan dalam Pasal 25 United Nation Declaration on the Rights of Indigenous
People (UNDRIP) yaitu Deklarasi PBB tentang Masyarakat Asli/Adat,
“masyarakat adat memiliki hak mempertahankan dan untuk mengembangkan
hubungan khas mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah,
teritori, air, dan wilayah lepas pantai dan sumber-sumber lainnya yang
meningkatkan tanggung jawab mereka akan nasib generasi masa depan.”44
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralisme hukum tidak lagi
mengedepankan dikotomi antara sistem hukum Negara (state law) di satu sisi
dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) di sisi
yang lain. Pada tahap perkembangan ini, konsep pluralisme hukum lebih
42Warren, 1993, Adat and Dinas Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford
University Press, New York, h. 22.
43
Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 339.
44Wayan P. Windia, dkk, 2013, Kompilasi Aturan tentang Desa Adat di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia II) h.10.
35
menekankan pada interaksi danko-eksistensi berbagai sistem hukum yang
mempengaruhi bekerjanya norma, proses, dan institusi hukum dalam masyarakat.
Dalam mengkaji permasalahan peranan Majelis Madya Desa Pakraman di
Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan penulis
mempergunakan teori pluralisme hukum.
1.7.5. Teori Semi – Autonomus Social Field
Teori yang juga relevan adalah teori Semi-Autonomous Social Field. Teori yang
diperkenalkan Sally Falk Moore (1978) ini menjelaskan kapasitas kelompok-
kelompok sosial (socialfield) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme
pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa.
“Bidang yang kecil dan untuk sebagian otonomi itu dapat menghasilkan aturan-
aturan dan adat istiadat serta simbol-simbol berasal dari dalam. Dilain pihak,
bidang tersebut juga rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan
kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.”45
Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki
kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan
adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Namun, ketika
berhubungan dengan masyarakat luar, mereka memahami adanya kesadaran untuk
tunduk kepada aturan lain yang ruang lingkupnya lebih luas, dalam hal ini hukum
negara.
45Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom
sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. dalam: T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah
Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h.150
36
Walaupun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana
untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku
dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika bersinggungan dengan kelompok lain
perlu adanya payung hukum yang disepakati bersama. Sebagai masyarakat,
mereka wajib tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh negara sebagai kelompok
yang lebih besar.
Van Vollenhoven menjelaskan bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang
perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan
susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang dikuasai oleh
hukum itu hidup sehari-hari.46
Soepomo kemudian mengemukakan penguraian
tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang
dogmatik, melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat
yang bersangkutan.47
Dari kedua pendapat ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang
mengembangkan hukum adat ini adalah persekutuan hukum adat (Adatrechts
Gemeenschapen). Persekutuan hukum atau masyarakat hukum ini didefinisikan
sebagai kelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam susunan
yang teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu, kesatuan ini bersifat abadi,
memiliki pimpinan, serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun
tidak berwujud.
Dalam mekanisme kehidupan desa pakraman, warga memiliki hak antara lain
hak untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat (sangkep/parum) adat, ikut
46Tolib Setiady, 2013, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta,
Bandung, h.75
47
ibid.
37
serta dalam pemerintahan desa pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai
prajuru (pengurus) adat. Kewajibannya, melaksanakan ayahan (tugas) adat dan
tunduk serta taat kepada peraturan yang berlaku bagi warga desa pakraman, yakni
awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku.48
Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis awig-awig
memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat karena fakta menunjukkan,
awig-awig diterima dan dipatuhi masyarakat. Konstruksi awig-awig sebagai
hukum adat juga serba jelas.49
Konstruksi yang serba jelas ini identik dengan
visual (dapat diinderai). Artinya tiap hubungan hukum yang dilakukan menurut
hukum adat terjadi jika telah ada tanda-tanda pengikatnya yang nyata.
Dari uraian ini nampak bahwa krama desa pakraman yang sudah memiliki
aturan sendiri dalam bentuk awig-awig tetap harus mematuhi hukum negara
karena desa pakraman sebagai kelompok kecil berada dalam lingkup negara
sebagai kelompok besar. Kewenangan desa pakraman untuk mengatur diri sendiri
(otonomi) tidak bisa diberlakukan secara penuh.
Kewenangan ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD NRI 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan pendapat dari
48ibid.,h.56-57
49
Otje Salman Soemadiningat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung, h. 118
38
Carrol Warren yaitu respon dari pemerintah pusat untuk masalah atau kasus dari
daerah atau lokal adalah domain lokal.50
“indications of responsiveness from central government to the claims of the
local suggest revival of interest in adat beyond the local domain”.
Jika semua persyaratan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sudah dipenuhi oleh desa pakraman, maka
negara pun mengakui eksistensi desa pakraman berikut awig-awignya. Karena
itulah desa pakraman disebut sebagai kesatuan masyarakat yang semiotonom
(semiautonomous social fields) karena tetap harus tunduk kepada aturan dari luar
desa pakraman, yakni negara.
Dalam mengkaji permasalahan peranan Majelis Madya Desa Pakraman di
Kota Denpasar dalam pemungutan retribusi jasa umum kependudukan penulis
mempergunakan teori Semi Autonomus Social Field.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
“Ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Ciri khas ilmu hukum adalah
sifatnya yang normatif”.51
Dalam kajian normatif hendaklah berpegang pada
tradisi keilmuan hukum itu sendiri”.52
Penelitian hukum normatif disebut juga
penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law
in books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang
50Carrol Warren, 2000, Adat And The Discourses Of Modernity In Bali In To Change Bali
Essay In Honour Of I Gusti Ngurah Bagus Edited By Adrian Vickers and I Nyoman Darma Putra
with Michele Ford, Bali Post in association with the Institute of Social Change and Critical
Inquiry,Denpasar, h. 10
51
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada
University Press,Yogyakarta, h. 1
52
ibid. h. 5
39
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas53
. Sesuai dengan
permasalahan yang dikaji, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif.“ Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya.54
Penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka
atau disebut juga penelitian hukum studi kepustakaan. Penelitian ini dilakukan
dengan mengkaji dan menganalisis bahan hukum berupa bahan hukum primer,
sekunder maupun tertier yang terkait dengan retribusi jasa umum.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan
tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai
permasalahan yang akan dibahas.
Pendekatan terhadap permasalahan dalam tesis ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach) dan pendekatan histori (historical approach). Pendekatan perundang-
undangan dilakukan dengan cara menganalisis berbagai peraturan perundang-
undangan mengenai retribusi jasa umum. Pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
peraturan perundang-undangan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
53Amiruddin dan Zainal Asikin, 2013, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 118
54
Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publising, Malang, h. 57
40
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan cara
menganalisis berbagai konsep dan pengertian tentang retribusi jasa umum dan
Majelis Madya Desa Pakraman.
Pendekatan Histori (historical approach) dilakukan dengan cara menganalisis
berbagai konsep sejarah tentang Desa Pakraman dan Majelis Madya Desa
Pakraman.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder
bahan kepustakaan. Adapun bahan hukum yang akan dijadikan sumber penelitian
kepustakaan ini dalam sudut kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi tiga
yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam
penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan, yaitu :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5049).
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234).
5. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 232, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5475).
41
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495).
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587) sebagaimana telah diubah beberapakali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 4737).
9. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
10. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 21 tahun 2011 Tentang
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan
Akta Catatan Sipil ( Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2011
Nomor 21 )
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, yang meliputi hasil-hasil penelitian, buku-buku, dokumen-
dokumen yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Denpasar.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, yang meliputi:
1. Kamus hukum
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah melalui teknik telaahan kepustakaan (study
document). Telaahan kepustakaan dilakukan dengan system kartu (cardsystem)
42
yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi
yang diperoleh dari bahan primer, sekunder dan tertier.
Bahan hukum sekunder diperoleh dari kepustakaan dan penelitian kasus
dimana penelitian kasus berguna dalam memberikan latar belakang yang lebih
luas mengenai pokok penelitian serta memberikan penjelasan yang lebih konkrit
berkaitan dengan permasalahan yang ada.
1.8.5. Teknik Analisis
Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis dengan tahapan sebagai berikut: Tahapan pendeskripsian atau
penggambaran yaitu dengan menguraikan proposisi-proposisi hukum sesuai
pokok permasalahan yang dikaji untuk selanjutnya dilakukan interpretasi. Untuk
selanjutnya dilakukan tahap sistematisasi yaitu berupa upaya-upaya mencari
kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara perundang-
undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Dan tahapan yang terakhir
adalah Evaluasi atau analisis yaitu dengan memberi penilaian berupa tepat atau
tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh
peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma,
keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan
hukum sekunder. Hasil penerapan dari keempat tahapan tersebut kemudian
diberikan argumentasi hukum untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan
yang akan dibahas dalam tesis ini.