bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdf · menciptakan dan memiliki pasar sendiri. ......
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pariwisata merupakan kegiatan yang mencakup berbagai bentuk
penyediaan jasa (services supplying). Penyediaan ini dilakukan oleh pemasok jasa
(services supplier) terhadap pemakai jasa (consumers, visitors) yang dilakukan
melalui proses transaksi jasa. Penyediaan ini mencakup: (1) jasa akomodasi; (2)
angkutan wisata; (3) jasa boga; (4) atraksi wisata; dan (5) berbagai bentuk jasa
lainnya. Industri pariwisata memiliki obyek yang selalu diperbarui, diperkenalkan,
dan selalu menjadi dorongan bagi manusia untuk menikmati obyek tersebut.1
Perkembangan pariwisata yang diakibatkan oleh adanya dukungan yang diberikan
oleh pemerintah pusat ataupun daerah menunjukkan bahwa dukungan pemerintah
berperan sangat penting dalam pengembangan industri pariwisata, termasuk
kedalamnya adalah pemeliharaan sumber daya pariwisata, menjaga kelestarian
alam, mengembangkan sumber daya manusia, membina institusi komersial dan
nonkomersial, dan memelihara kebudayaan, yang menciptakan atmosfir industri
yang berkualitas dan berkelanjutan.
Hal serupa sebagaimana dilakukan oleh pemerintah daerah di Bali
membuat Bali menjadi destinasi pariwisata prioritas bagi kebanyakan wisatawan.
Wisatawan yang datang ke Bali berkeinginan untuk mengulang kembali
kunjungannya, atau bahkan menetap di Bali. Setiap lokasi dan kawasan di Bali
1James J. Spillane, 1994, Pariwisata Indonesia : Siasat Ekonomi dan Rekayasa
Kebudayaan, Lembaga Studi Realino, Yogyakarta, hal. 19.
2
menciptakan dan memiliki pasar sendiri. Hal ini merupakan hasil pengembangan
berbagai ide serta inovasi yang menjadikan berbagai kawasan dan lokasi itu
memiliki berbagai fasilitas penunjang yang khas yang menjadikan lokasi dan
kawasan itu sebagai kawasan berstandar yang diidamkan wisatawan.
Berbagai atraksi dan kegiatan pariwisata yang ada di Bali menimbulkan
pergerakan bisnis di berbagai bidang, termasuk investasi. Pergerakan bisnis ini
terjadi di berbagai daerah pariwisata di Bali, terutama Badung dan Gianyar.
Bentuk kegiatan yang menjadi orientasi kegiatan investasi adalah kegiatan yang
memberikan pengembalian investasi yang cepat dan aman. Cara pengusaha
setempat merespon kebutuhan investor membuat kegiatan investasi dalam bidang
perdagangan jasa pariwisata juga berkembang sangat pesat. Investasi itu tidak saja
membangkitkan daya tarik bagi investor, tetapi juga wisatawan yang semula
datang untuk sekadar melakukan kunjungan biasa kemudian mengalihkan
kegiatannya menjadi kegiatan usaha.
Pihak pengembang bekerja sama dengan pemilik tanah maupun bangunan
di kawasan pariwisata tertentu di Bali yang tertarik untuk mengembangkan
berbagai bisnis yang berkaitan dengan pariwisata dan menuntut adanya investasi
yang cukup besar, terutama bisnis yang menunjang kawasan pariswisata, seperti
hotel, restoran, resort, vila, dan berbagai fasilitas jasa lainnya. Perkembangan ini
menjadi latar belakang para pemilik modal atau investor bekerja sama dengan
pemilik tanah pada lokasi-lokasi strategis untuk mengembangkan fasilitas jasa
pariwisata. Lokasi-lokasi strategis ini menjadi lahan investasi untuk perputaran
3
modal para investor karena sangat menjanjikan keuntungan bagi para pihak yang
terlibat di dalamnya.
Bali merupakan salah satu daerah tujuan utama penanaman modal dalam
bidang pariwisata sebagaimana dapat dilihat dari data pariwisata Bali yang
diklasifikasikan menurut hotel berbintang, hotel melati, pondok wisata, rumah
makan, restoran, bar, hingga biro perjalanan wisata (travel agent) yang ada di
Bali. Data yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Bali Government
Tourism Office)2 tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat usaha di bidang
akomodasi sebanyak 2.343 unit, restoran sebanyak 1.715 unit, agensi travel atau
travel agent sebanyak 301 unit, meeting, insentive, conference, exhibition (MICE)
sebanyak 7 unit, cabang agensi travel (travel agent branch) sebanyak 21 unit,
konsultan bidang pariwisata (tourism consultant) sebanyak 6 unit, bar sebanyak
522 unit dan wisata olahraga air (tourism water sport) sebanyak 214 unit.
Data ini menunjukkan peningkatan jumlah akomodasi yang ada di Bali,
dimana jumlah akomodasi pada tahun 2009 adalah 2.175 akomodasi yang masing-
masing terdiri dari pondok wisata, hotel melati dan hotel bintang. Peningkatan ini
pun terlihat secara signifikan dimana data statistik terakhir pada tahun 2014
menunjukkan bahwa jumlah akomodasi di Bali meningkat sebanyak 168 unit atau
berjumlah 2.343 unit. Peningkatan jumlah akomodasi wisata yang ada di Bali
memberikan gambaran bahwa investasi di bidang pariwisata merupakan bidang
investasi yang sangat diminati oleh para investor, termasuk investor asing.
2Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014, Bali Tourism Statistic 2014 “Statistik Pariwisata
Bali 2014”, hal. 1.
4
Sebagian besar pemilik modal yang menanamkan modalnya di Bali
bertujuan untuk mengembangkan bisnis di bidang pariwisata. Pengembangan
bisnis ini didominasi oleh investor asing (foreign investor) yang memiliki tujuan
khusus, yaitu menyediakan tempat beristirahat yang nyaman dengan fasilitas serta
layanan setara dengan hotel bintang 4 (empat) hingga bintang 5 (lima) tetapi
dengan harga yang terjangkau. Bisnis ini berkembang dengan baik karena
ditunjang dengan berbagai fasilitas penunjang seperti jasa transportasi, jasa boga,
atraksi wisata, dan jenis jasa lainnya yang bisa dipilih sesuai dengan keinginan
wisatawan. Kondisi tersebut meningkatkan kepercayaan dan keinginan investor
untuk menanamkan modalnya di bidang jasa pariwisata, khususnya properti.
Praktek penyelenggaraan fasilitas jasa pariwisata memunculkan berbagai
varian bisnis yang tidak mudah dikategorikan sebagai bentuk perdagangan jasa
pariwisata, karena tercampur dengan varian bisnis lain yang berasal dari bisnis di
luar kategori jasa pariwisata. Salah satu varian yang berkembang dengan pesat
adalah jasa pengembangan dan pengelolaan properti yang semula dikembangkan
murni berdasarkan skema bisnis properti, kemudian dikelola dengan skema
pengelolaan properti, tetapi jasa yang ditawarkan adalah jasa akomodasi wisata.
Masalah yang terkandung di dalam pengembangan dan pengelolaan properti itu
adalah bahwa properti yang dikembangkan itu dibiayai oleh pembeli asing dan
kemudian dikelola oleh pengembang (developer) untuk tujuan penyediaan jasa
akomodasi wisata. Selanjutnya, pemilik properti itu memperoleh pendapatan dari
hasil pengelolaan itu yang oleh para pihak (pengembang dan pembeli) dinilai
5
sebagai pengembalian (return) atas biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan
akomodasi dimaksud.
Dalam jenis jasa ini, pihak pengembang (developer) menyediakan lahan,
merancang desain, dan melakukan perencanaan, dan kemudian menawarkan
pengembangan properti berdasarkan desain dan perencanaan itu kepada
wisatawan atau calon wisatawan, baik secara langsung ataupun melalui internet.
Perencanaan yang ditawarkan itu mencakup harga, pengelolaan, dan hasil yang
diperoleh dari pengelolaan itu. Pihak pembeli menjawab penawaran itu, melalui
proses negosiasi untuk membeli atau melakukan penerimaan secara langsung.
Apabila terjadi kesepakatan, para pihak membentuk perjanjian bangun-kelola,
yaitu perjanjian pengembangan dan pengelolaan properti oleh pengembang yang
ditujukan untuk penyediaan jasa pariwisata. Beberapa kegiatan penanaman modal
yang dapat dijadikan contoh adalah pengembangan dan pengelolaan properti yang
dilakukan oleh PT Cakra Buana di Jimbaran, Ubud, dan Nusa Dua.
Perjanjian bangun kelola tersusun dalam struktur sebagai berikut: (a)
pihak pengembang menyediakan lahan, merancang desain, dan melakukan
perencanaan; (b) pihak pembeli menyediakan biaya untuk
pengembangan/pembelian properti yang dikembangkan; (c) pihak pengembang
melakukan pengembangan; dan (d) pihak pengembang melakukan pengelolaan.
Layaknya pengembangan properti oleh pengembang dan pembelian properti yang
dikembangkan oleh pembeli, pembeli pada umumnya tidak membayar harga
properti secara penuh di depan melainkan hanya membayar uang muka untuk
kemudian sisa biayanya dibayarkan dalam bentuk angsuran sesuai kemajuan
6
pembangunan berdasarkan laporan kemajuan pekerjaan (progress report). Setelah
pembangunan selesai, pihak pembeli tidak mengambil alih properti yang dibelinya
melainkan menyerahkan kembali properti yang dibelinya itu kepada pengembang
untuk dikelola oleh pengembang. Bentuk pengembangan dan pengelolaan ini
umum dikenal dengan nama pengembangan dengan pemulihan investasi (Return
on Investment – ROI) atau investasi semi kelola.3 Disebut investasi semi kelola
karena investasi di dalam ROI tersebut tidak sepenuhnya merupakan investasi,
melainkan bercampur dengan jual beli, demikian juga pengelolaannya tidak
sepenuhnya merupakan pengelolaan properti melainkan bercampur dengan
pengelolaan akomodasi wisata.4 Pada model ROI, bangunan yang telah selesai
dibangun oleh pihak pengembang tidak digunakan sendiri oleh pembeli (buyer)
atau pemilik (owner) namun diserahkan kembali kepada developer untuk dikelola.
Setelah proses penyerahan terjadi, selanjutnya pihak developer membentuk
manajemen untuk pengelolaan atau melakukan kerjasama dengan penyedia jasa
manajemen pengelolaan hotel atau akomodasi wisata untuk mengelola properti
yang telah dibangun.
Bentuk yang digunakan di dalam ROI membuat kegiatan demikian ini sulit
dikategorikan sebagai kegiatan usaha properti atau kegiatan jasa pariwisata;
kegiatan usaha investasi dalam bidang pariwisata atau kegiatan usaha murni
properti; dan juga sulit dibedakan dengan bentuk kerjasama investasi yang sudah
berkembang, seperti: Build-Operate-Transfer (BOT). ROI sangat berbeda dengan
3Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, “Kontrak Semi Investasi dan Semi Kelola: Suatu Model
Kontrak Investasi dalam Perdagangan Jasa Pariwisata”, Bali Tourism Board, Bali, hal. 2. 4Ibid.
7
BOT. Perbedaannya terletak pada (1) asal-usul modal; (2) penyelenggara proyek;
(3) pengelola proyek atau obyek investasi; dan (4) penyerahan proyeknya. Bentuk
kerja sama bisnis demikian ini menimbulkan pertanyaan tentang keberlakuan
hukum. Hukum manakah diantara hukum properti, hukum investasi, dan hukum
pariwisata yang berlaku terhadap transaksi jasa akomodasi itu, demikian pula
mencakup persyaratan, prosedur dan perijinan dalam penyelenggaraannya.
Bentuk bisnis ini berkembang dengan cepat di sisi lainnya. Berinvestasi di
bidang properti memiliki beberapa keuntungan, yaitu risiko yang relatif lebih
kecil, tidak terlalu terpengaruh oleh faktor eksternal, laba atau keuntungan yang
besar, bisa menggunakan dana orang lain untuk berinvestasi, serta pendapatan
arus kas (cash flow) yang rutin.5 Hal ini membuka kemungkinan keuntungan yang
didapat dari kegiatan investasi di bidang properti lebih besar dibandingkan dengan
kegiatan usaha lainnya, termasuk pengembalian investasi atau keuntungan yang
besar.
Bentuk pengembangan properti dengan model ROI yang mengandung sifat
dan model investasi, sama dengan investasi langsung lainnya, atau penanaman
modal langsung lainnya oleh investor asing (foreign direct investment), yang
penyelenggaraannya seharusnya mengikuti ketentuan dan prosedur penanaman
modal asing. Penyelenggaraan bisnis properti dengan bisnis ini memiliki karakter
yang sangat khas dan lebih mendekati skema investasi langsung.
5Citibank, sebagaimana dikutip dari mywealth.co.id (cited 2014 June 22nd), available
from : URL : http://mywealth.co.id/topic/investasi-2/keuntungan-berinvestasi-di-bidang-properti/
8
Sifat dan ciri lain yang juga menonjol pada bentuk bisnis ini, yang lebih
menegaskan sifat investasi dari bentuk seperti ini adalah ketika properti yang
dibangun murni dikelola sebagai akomodasi wisata dengan sistem time-sharing.
Timeshare adalah pengelolaan properti dimana pihak pemilik properti diberikan
hak untuk menggunakan seluruh atau sebagian atau bagian tertentu dari
propertinya untuk jangka waktu tertentu dalam 1 (satu) tahun pengelolaan.
Disamping itu, pemilik juga diberikan hak untuk mengalihkan hak penggunaan
untuk masa penggunaannya itu kepada pihak lain (time-sharing model).
Penggunaan 3 (tiga) model bisnis itu secara bersamaan, yaitu: (1)
pengembangan properti; (2) pengelolaan akomodasi wisata; dan (3) timeshare
dalam model bisnis dengan nama Investasi Semi Kelola (ISK), terutama yang
pengembangannya dibiayai pihak asing, mengakibatkan ROI mengandung
kekaburan karakter yang selanjutnya menimbulkan pertanyaan hukum tentang
persyaratan, prosedur, dan perijinan yang seharusnya digunakan dalam
penyelenggaraan bisnis tersebut.
Perlakuan hukum yang diberikan terhadap penyelenggaraan bisnis ini,
pada saat ini, adalah perlakuan hukum properti berdasarkan Undang-Undang Jasa
Konstruksi, sementara referensi tentang ROI programme mengategorikan ROI
sebagai bentuk investasi, sehingga perlakuan hukum yang diberikan terhadap
penyelenggaraan bisnis berdasarkan model ini seharusnya adalah perlakuan
hukum investasi dimana seharusnya berlakulah persyaratan, prosedur, dan
perijinan investasi.
9
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
(selanjutnya disebut dengan UU PM) dalam kaitan dengan penyelenggaraan
investasi oleh suatu badan usaha hanya mengatur tentang (1) bentuk dan
kedudukan badan usaha (Pasal 5 UU PM); (2) perlakuan penanaman modal (Pasal
6 sampai Pasal 10 UU PM); (3) ketenagakerjaan (Pasal 10-Pasal 11 UU PM); (4)
bidang usaha (Pasal 12 UU PM) yang terbuka dan tertutup; (5) pengembangan
penanaman modal bagi UKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) (Pasal 13 UU
PM); (6) hak, kewajiban, dan tanggungjawab penanaman modal (Pasal 14 sampai
Pasal 17 UU PM); (7) fasilitas penanaman modal (Pasal 18 sampai Pasal 24 UU
PM); dan (8) perijinan perusahaan (Pasal 25 sampai Pasal 26 UU PM). UU PM
tidak mengatur tentang kategori kegiatan yang termasuk kedalam kategori
investasi atau bukan termasuk kategori demikian.
Dalam praktek, para investor melalui skema ROI dapat menikmati manfaat
investasi, tetapi mereka tidak mengikuti persyaratan dan prosedur investasi asing.
Demikian juga dengan perijinannya, mereka tidak memenuhi persyaratan dan
tidak mengikuti prosedur perijinan penanaman modal, melainkan perijinan
pengembangan properti biasa. Sehingga, penggunaan model ini dalam
pengembangan akomodasi wisata mengakibatkan berbagai kerugian terhadap
pemerintah dan masyarakat yang berasal dari kegiatan investasi, seperti retribusi
perijinan investasi dan kesempatan masyarakat untuk diutamakan dalam
kesempatan dan lapangan kerja dalam kegiatan investasi. Masalah ini
menunjukkan adanya kebutuhan hukum untuk mengatur secara jelas kegiatan
pengembangan akomodasi wisata dengan biaya asing di dalam UU PM atau
10
ketentuan pelaksanaannya agar jenis investasi perorangan melalui skema ROI
mengikuti prosedur perijinan penanaman modal asing. Misalnya, perseroan yang
menyelenggarakan pengembangan properti yang akan dikelola untuk akomodasi
wisata, yang biaya pengembangannya dibiayai sumber pembiayaan atau investasi
asing wajib mengikuti persyaratan dan prosedur perijinan penanaman modal asing
sebagaimana diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal (selanjutnya: Perka BKPM) Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Tata Cara
Permohonan Penanaman Modal.
Pasal 10 Perka BKPM telah mengatur tentang bidang usaha dan bentuk
badan usaha, namun materi norma itu belum mencakup model ROI yang
menggunakan sumber pembiayaan atau modal asing dalam pengembangannya.
Pasal 10 ayat (1) Perka BKPM menentukan: “Semua bidang usaha terbuka bagi
kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang
dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang penetapannya diatur
dengan peraturan perundang-undangan”. Ayat (2) menentukan: “Penanam modal
yang akan melakukan kegiatan penanaman modal harus memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang menyatakan bidang usaha atau jenis usaha yang
tertutup dan terbuka dengan persyaratan.” Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) Perka
BKPM menentukan bahwa “Penanaman modal asing harus dalam bentuk
perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-
Undang.” Pasal 12 Perka BPKM menentukan bahwa “Penanam modal wajib
melaksanakan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku untuk kegiatan
11
penanaman modal yang dikeluarkan oleh instansi teknis yang memiliki
kewenangan perijinan dan nonperijinan.”
Pengaturan demikian itu, tanpa diikuti dengan pengaturan tentang jenis
kegiatan investasi yang wajib memenuhi persyaratan penanaman modal asing,
termasuk jenis pengembangan properti dengan model ROI dalam bidang
penyediaan akomodasi wisata, dapat menimbulkan akibat merugikan bagi negara
terutama dari segi perolehan pendapatan negara yang bersumber dari perijinan
penanaman modal asing. Kerugian juga dapat diderita oleh masyarakat dari segi
hak-hak masyarakat atas penyelenggaraan kegiatan investasi asing, seperti hak
atas kesempatan kerja dan hak untuk diperlakukan adil atas suatu lapangan kerja.
Peluang kerugian negara dan masyarakat ini menjadi lebih besar dalam
penyediaan akomodasi pariwisata dengan model ROI karena Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (selanjutnya: UU Kepariwisataan)
juga tidak mengatur persyaratan dan perijinan akomodasi wisata yang
dikembangkan dengan menggunakan model investasi semi kelola. UU
Kepariwisataan dalam kaitan dengan penyelenggaraan investasi hanya mengatur
tentang kawasan strategis pariwisata (Pasal 12 sampai Pasal 13 UU
Kepariwisataan). Sedangkan berkaitan dengan usaha pariwisata hanya mengatur
tentang jenis usaha (Pasal 14 UU Kepariwisataan); pendaftaran usaha (Pasal 15
UU Kepariwisataan); dan dalam mengatur kewajiban (Pasal 26 UU
Kepariwisataan). UU Kepariwisataan bahkan tidak mengatur tentang kewajiban
perijinan bagi pengusaha jasa pariwisata. Pasal 26 UU Kepariwisataan
menentukan bahwa:
12
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. Memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c. Memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan
keselamatan wisatawan;
e. Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan
yang berisiko tinggi;
f. Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi
setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
g. Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam
negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja local;
h. Meingkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
i. Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program
pemberdayaan masyarakat;
j. Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan
dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
k. Memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
l. Memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m. Menjaga citra negara dan Bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha
kepariwisataan secara bertanggung jawab; serta
n. Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 15 UU Kepariwisataan hanya mengatur tentang wajib daftar usaha,
yaitu mewajibkan pengusaha pariwisata untuk mendaftarkan perusahaannya pada
pemerintah daerah setempat. Pasal 15 UU Kepariwisataan selengkapnya
menyatakan:
(1) Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan
usahanya terlebih dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Peraturan pelaksanaan UU Kepariwisataan yang mengatur akomodasi
pariwisata adalah Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor
PM.53/HM.001/MPEK/2013 Tentang Standar Usaha Hotel juga hanya mengatur
hal-hal yang berkenaan dengan standarisasi hotel. Adapun standarisasi hotel
13
dalam peraturan tersebut mencakup penggolongan, standar dan pengawasan
namun tidak mencakup bentuk pengembangan, pengelolaan, dan asal-usul
pembiayaan pengembangannnya.
Ketentuan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengaturan penanaman
modal dalam bidang pengadaan dan penyelenggaraan akomodasi wisata,
khususnya yang menggunakan model ROI, belum diatur di dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik melalui UU PM maupun UU
Kepariwisataan beserta peraturan pelaksanaannya. Hal ini menimbulkan masalah
kekosongan hukum yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Untuk
mencegah kerugian demikian itu, kekosongan pengaturan itu perlu diisi dengan
pembentukan norma pengaturan yang berkenaan dengan hal itu, baik melalui
ketentuan penanaman modal maupun melalui ketentuan pengadaan dan
penyediaan jasa akomodasi wisata.
Di berbagai kawasan pariwisata di Bali seperti Jimbaran, Kuta, Seminyak,
Pecatu, Ubud, dan Nusa Dua, banyak berkembang model pengembangan jasa
akomodasi wisata dengan menggunakan bentuk ini. Model bisnis ini tidak banyak
muncul ke permukaan sehingga tidak dikenal oleh masyarakat atau bahkan
pemerintah daerah namun dalam praktek telah berkembang puluhan model
properti seperti ini. Tidak banyak pihak yang mengeksplorasi bisnis ini dari sisi
Hukum Investasi.
Berdasarkan asal-usul pembiayaannya dan kemudian pengelolaannya,
model bisnis properti ini lebih menampakkan ciri sebagai kegiatan investasi dalam
bidang pariwisata. Prakteknya, model ini cenderung diberi perlakuan hukum
14
secara terpisah yaitu di satu sisi sebagai transaksi properti murni dan pada sisi
lainnya sebagai jasa pengelolaan jasa akomodasi pariwisata. Permasalahan ini
mengaburkan karakter investasi dari bisnis ROI ini sehingga hak-hak negara dan
masyarakat terhadap bentuk bisnis seperti ini menimbulkan permasalahan dari sisi
hukum terutama dari segi persyaratan, proses dan prosedur penyelenggaraan
bisnis yang harus dipenuhi dari model bisnis ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa
telah terjadi kekosongan hukum dalam bidang hukum investasi sehingga Hukum
Investasi tidak dapat menjangkau model praktek bisnis ini.
Dalam rangka memulihkan hak-hak negara dan masyarakat atas bisnis ini,
perlu diteliti karakteristik pengembangan akomodasi wisata dengan model ROI,
karakteristik masalahnya, dan formulasi jalan keluarnya dari segi pengaturan
secara hukum. Untuk memecahkan masalah ini perlu juga diteliti dan dikaji
tentang bentuk peraturan yang dapat dipakai agar model bisnis demikian ini dapat
diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sehingga hak-hak pemerintah dan masyarakat atas jenis usaha ini dapat dilindungi
sebagaimana mestinya.
Penulis membandingkan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya namun tidak ditemukan tulisan oleh penulis tentang pengembalian
investasi semi kelola di bidang pariwisata. Namun penulis menemukan beberapa
penelitian yang tertarik untuk menulis tentang investasi maupun pengembalian
investasi. Adapun penelitian-penelitian tersebut yaitu:
1. Tesis Desak Putu Dewi Kasih, NIM B4A001015, Magister Ilmu Hukum,
Tahun 2003. Judul tesisnya adalah Perjanjian Bangun Guna Serah (Build
15
Operate and Transfer) Sebagai Alternatif Kerjasama Investasi Bidang
Pariwisata di Bali. Adapun yang menjadi rumusan masalahnya adalah apakah
dasar hukum dalam perjanjian Bangun Guna Serah sebagai alternatif
kerjasama investasi di bidang pariwisata Bali, bagaimanakah pemanfaatan
perjanjian Bangun Guna Serah terhadap pengembangan bidang pariwisata di
Bali dan bagaimanakah akibat hukum dari perjanjian Bangun Guna Serah
dalam rangka kerjasama investasi bidang pariwisata di Bali;
2. Tesis Encik Latidah Hanum, NIM 057017004, Magister Ilmu Akuntansi
Tahun 2008. Judulnya adalah Pengaruh Kebijakan Modal Kerja Terhadap
Return on Investment Pada Industri Rokok Yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia. Adapun rumusan masalahnya adalah apakah kebijakan modal kerja
baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh terhadap return on
investment pada industri rokok yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia;
3. Penelitian dari Hur Young Soon, NIM 1006766352, Magister Ilmu Hukum
Tahun 2012. Judulnya adalah Perlindungan Investor Asing dalam Hukum
Penanaman Modal di Indonesia (Studi Banding Hukum Penanaman Modal
Asing Indonesia dan Korea Selatan). Adapun rumusan masalahnya adalah
bagaimana perlindungan investor asing dalam hukum penanaman modal di
Indonesia khususnya investor Korea Selatan dan bagaimana perbandingan
hukum penanaman modal asing di Indonesia dan Korea Selatan. Penelitian ini
membahas mengenai adanya perlindungan investor asing dalam hukum
penanaman modal atau investasi di Indonesia dengan hukum penanaman
modal yang ada di Korea Selatan.
16
Munculnya berbagai permasalahan dalam bisnis investasi dengan
bentuk seperti ini, maka akan menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji.
Berdasarkan pada latar belakang yang sebagaimana telah diuraikan tersebut
diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dengan
menjadikan sebuah tesis dengan judul “PENGATURAN INVESTASI SEMI
KELOLA DI BIDANG PERDAGANGAN JASA AKOMODASI WISATA.”
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan dari latar belakang di
atas adalah:
1) Bagaimanakah penyelenggaraan bentuk pengembalian investasi (return on
investment) dalam investasi semi kelola di bidang perdagangan jasa
akomodasi wisata yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007?
2) Bagaimanakah bentuk pengaturan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
investasi semi kelola bidang perdagangan jasa akomodasi wisata?
1.3 Tujuan Penelitian
Sebuah tulisan haruslah memiliki tujuan yang nantinya ingin dicapai,
terlebih dibuat dalam bentuk sebuah tesis. Berdasarkan hal tersebut maka yang
hendak dicapai dari penelitian tesis ini adalah:
17
1.3.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan tesis ini yang berkaitan dengan
penulisan tesis ini, yaitu:
1. Mengidentifikasi karakteristik model investasi semi kelola;
2. Mengidentifikasi karakteristik model investasi semi kelola dalam bidang
perdagangan jasa akomodasi wisata;
3. Mengidentifikasi karakteristik penyelenggaraan model investasi semi
kelola dalam bidang perdagangan jasa akomodasi wisata; serta
4. Mengidentifikasi karakteristik penyelenggaraan model investasi semi
kelola dalam bidang perdagangan jasa akomodasi wisata sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus atas rumusan masalah diatas dari penulisan penelitian tesis
ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi karakteristik kebutuhan hukum yang timbul dari akibat
kekosongan norma dalam penyelenggaraan model investasi semi kelola
dalam bidang perdagangan jasa akomodasi wisata; dan
2. Mengidentifikasi bentuk pengaturan penyelenggaraan model investasi semi
kelola (return on investment) dalam bidang perdagangan jasa akomodasi
wisata yang perlu diatur untuk mengisi kekosongan norma dalam
pengaturan penyelenggaraan model investasi semi kelola dalam
perdagangan jasa akomodasi wisata.
18
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penulisan tesis ini diharapkan mampu untuk menemukan indikator dalam
mengukur kejelasan konsep-konsep return on investment (investasi semi kelola)
sebagai model investasi, serta memperjelas konstruksi norma yang diperlukan
untuk mengatur pengembalian investasi (return on investment) termasuk
persyaratan-persyaratan serta prosedurnya.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penulisan tesis ini diharapkan mampu mengonstruksi model materi regulasi
untuk mengatur penyelenggaraan pengembalian investasi (return on investment)
dalam bisnis investasi semi kelola di bidang pariwisata.
1.5 Landasan Teoritis
1.5.1 Kerangka Teori
1.5.1.1 Teori Investasi
Kegiatan investasi menurut Adam Smith dilakukan dengan tujuan pemilik
modal (investor) menginginkan keuntungan dan harapan di masa mendatang,
dimana investasi sangat bergantung pada iklim berinvestasi pada masa sekarang
serta mengacu pada keuntungan yang diperoleh. Adam Smith menyatakan bahwa
suatu keuntungan akan semakin menurun diikuti dengan perkembangan
perekonomian yang cenderung meningkat.6 Pada masa penanaman modal yang
semakin meningkat maka persaingan-persaingan yang terjadi antarpara pemilik
6Skousen, Mark, 2006, Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern” : Sejarah Pemikiran
Ekonomi, cet. II, terjemahan Tri Wibowo Budi Santoso, Prenada Media, Jakarta, hal.25
19
modal (investor) akan menaikkan upah namun cenderung menurunkan
keuntungan.
Adam Smith juga menyatakan bahwa modal (capital) sebagai faktor
produksi selain tenaga kerja dan tanah.7 Unsur-unsur inilah yang memberikan
sebuah keharmonisan dalam kegiatan perekonomian dimana ketiga unsur tersebut
merupakan dari bagian sebuah kebebasan (freedom) yang dikemukakan oleh
Smith dan menjadikannya sebagai hak bagi para produsen untuk menghasilkan
sebuah barang maupun jasa dan kemudian memasarkannya.
Teori Adam Smith ini semakin diperkuat oleh studi mendalam oleh James
Gwartney, Robert A. Lawson dan Walter E. Block pada tahun 1996. Studi
pengembangan tentang kebebasan ini mengonfirmasikan bahwa terdapat kaitan
erat antara kebebasan ekonomi dan kemakmuran.8 Studi yang dilakukan oleh para
ekonom ini menunjukkan adanya bukti bahwa semakin besar tingkat
kebebasannya (dalam indeks suatu negara) maka semakin tinggi pula standar
hidupnya. Negara-negara yang telah memiliki level kebebasan tertinggi misalnya
Amerika Serikat, Selandia Baru dan Hong Kong.9
Adam Smith menyatakan bahwa setiap individu dalam kegiatan
berinvestasi pun berupaya untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah sistem
ekonomi. Andrew Carnegie pun menambahkan bahwa kapital adalah mengubah
barang mewah menjadi sebuah kebutuhan.10 Hal ini menunjukkan bahwa sebuah
benda maupun kemampuan (skill) bahkan jasa sekalipun, yang dikelola dengan
7Ibid, hal. 26
8Ibid, hal. 29
9Ibid., hal. 30
10Ibid., hal. 31.
20
baik, tentunya bisa menjadi sebuah modal yang bisa dimanfaatkan oleh
pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan para konsumennya dan tentunya
menghasilkan keuntungan.
Modal atau investasi merupakan unsur penentu makro ekonomi. Kunci
penting dari pertumbuhan ekonomi bukan kebijakan pemerintah, ataupun
lingkungan usaha yang kompetitif, melainkan tabungan dan efisiensi. Investasi
modal dan mesin merupakan elemen vital dalam usaha menaikkan standar hidup
masyarakat.11
Menurut David Hume, persediaan tabungan dan modal menentukan suku
bunga riil dan selanjutnya menentukan kualitas dan kuantitas produksi.12
Pandangan ini menunjukkan bahwa investasi dalam bentuk tabungan maupun
modal (bentuk lainnya) akan mampu mempengaruhi output-nya. Sehingga
kualitas dan kuantitas suatu hasil produksi akan mempengaruhi harga suatu
barang dan/atau jasa tersebut.
Jean Baptiste Say (J.B. Say) menyatakan bahwa input kapital merupakan
unsur dari dua unsur lainnya yaitu pengetahuan dan tenaga kerja yang menentukan
hasil pengelolaan barang dan keuntungan.13 Menurut J.B. Say, tabungan dan
penghematan merupakan sumber kapital. Peningkatan kapital akan menghasilkan
peningkatan keuntungan (profit), baik produksi barang konsumsi maupun
produksi barang investasi.
11Ibid., hal. 32. 12Ibid., hal.50. 13Ibid., hal.63.
21
Menurut Karl Marx, orientasi investasi terhadap profit dalam rangka
akumulasi kapital dapat mendorong lahirnya perilaku liar para pemilik modal
termasuk kedalamnya dalam bentuk eksploitasi, baik ekploitasi terhadap sumber
daya manusia (SDM), lingkungan tempat usaha dan sumber daya ekonomi.
Karena itu, perilaku kapital harus dikendalikan untuk menghasilkan manfaat yang
maksimal. Teori ini disebut dengan Teori Nilai Surplus.14
Berdasarkan teori-teori tersebut, maka investasi merupakan faktor penentu
produktivitas dan profit sebagai hasil produksi. Semakin tinggi tingkat investasi
maka tingkat produktivitas juga ikut meningkat. Modal (capital) merupakan
faktor investasi yang utama disamping tanah dan tenaga kerja.
1.5.1.2 Teori Pengembalian Investasi
Pengembalian investasi atau return on investment merupakan hasil dari
pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk persen terhadap modal, dimana modal
dibagi pendapatan sebelum pendapatan bunga, pajak, dan dividen. Pengembalian
sebuah investasi digunakan untuk mencari dan menghitung penggunaan modal
terbaik dan mengarah pada pelaksanaan usaha dan produktivitas dengan
keseluruhan.
Pengembalian investasi yang dikemukakan oleh F. John Reh menyatakan
bahwa return on investment merupakan kemampuan dan tanggung jawab bagi
pihak produsen untuk mengelola aset serta modal untuk meningkatkan pendapatan
bagi para pemilik modal yang dinyatakan sebagai berikut:
14Ibid., hal 185.
22
“Return on investment is a measure company’s ability to use its assets to generate
additional value for shareholders.”15 (Terjemahan: Pengembalian investasi adalah
kemampuan yang pasti dimiliki oleh sebuah perusahaan untuk menggunakan aset-
aset mereka untuk meningkatkan pendapatan tambahan untuk perusahaan).
Pengembalian investasi menurut F. John Reh dikembangkan juga untuk
menghitung pengembalian investasi dimana keuntungan dibagi kekayaan bersih
(net worth) sehingga didapatkan hasil pengembalian investasi yang selanjutnya
ditunjukkan dalam bentuk persentase.
1.5.1.3 Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan hal yang terpenting dalam sebuah negara
yang merupakan tujuan hukum. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang
harus diperhatikan, yaitu keadilan (gerechtikeit), kepastian hukum
(rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zweckmasigkeit).16 Gustav Radbruch
menyebutkan ada tiga nilai dasar hukum atau ide dasar hukum yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum.17 Sehingga kepastian hukum merupakan tujuan
atau fungsi hukum. Tujuan hukum adalah keadilan (justice), kemanfaatan dari
segi penyelesaian masalah (expediency, suitability) dan kepastian (certainty). Hal
ini dinyatakan oleh Gustav Radbruch, bahwa “…..justice alone does not explain
the content of all legal norms. A second element of the idea of laws is expediency,
15F. John Reh, Return on Investment, URL:
http://management.about.com/cs/adminaccounting/g/returnoninv.htm, diakses tanggal 02 Maret
2104. 16Sudikno Mertokusumo, 2007, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 2. 17Gustav Radbruch : “Einfulrung in dic Rechtswissenchafts”, Stuttgart, KF. Koller,
dikutip dari Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari
Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 35.
23
suitability to a purpose. A third element of the idea of law is legal certainty.”18
(Terjemahan: ……..Keadilan tidak dapat menjelaskan isi dari seluruh norma
hukum. Sebuah unsur kedua dari ide pembentukan hukum adalah kebijaksanaan,
yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan.)
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kepastian hukum adalah salah
satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum, dimana kepastian
hukum adalah asas negara hukum yang menjadi landasan peraturan perundang-
undangan, kepastian dan keadilan dalam penyelenggaraan negara.19
Myres S. McDougal menyatakan bahwa banyak problem hukum
bersumber dari problem ambiguitas konsep, yang intinya satu istilah digunakan
untuk menunjuk beberapa pengertian. Problem ini disebut problem ambiguitas
normatif (normative ambiguity) karena itu setiap konsep yang digunakan dalam
proses kerja hukum harus diklarifikasi. Kejelasan norma (clarity of norm)
merupakan prasyarat berfungsinya norma (Teori Klarifikasi Konsep).
1.5.2 Kerangka Konsep
1.5.2.1. Konsep Hukum Investasi dan Investasi Semi Kelola
Investasi (investment) merupakan kegiatan penanaman modal, baik dalam
bentuk uang ataupun surat berharga, yang digunakan untuk membeli aset. Bentuk
investasi yang dilakukan juga bisa dalam bentuk (a) investasi di bidang
pendidikan; (b) investasi di bidang saham; (c) investasi dalam bentuk mata uang
asing; (d) maupun investasi tanah. Kegiatan investasi atau penanaman modal
18Patterson, Edwin W, 1950, 20th Century Legal Philosophy Series VOA : The Legal
Philosophies of Lask, Radbruch, and Dab, diterjemahkan oleh Wilk, Kurt, Harvard College,
United States of America, hal.17. 19Sudikno Mertokusumo I, op.cit. hal. 145.
24
memiliki pengaturannya sendiri di Indonesia. Pengaturan mengenai kegiatan
investasi atau penanaman modal telah diatur pada Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 (selanjutnya disebut UU PM). Istilah investasi ternyata tidak
digunakan dalam UU PM. Istilah yang digunakan adalah penanaman modal
sebagaiaman ternyata dalam Pasal 1 angka 1 UU PM bahwa “Penanaman modal
adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam
negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara
Republik Indonesia.”
Berdasarkan pada pengertian penanaman modal tersebut maka terdapat
unsur-unsur kegiatan penanaman modal, yaitu (a) adanya kegiatan menanamkan
modal; (b) dilakukan oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal
asing; dan (c) melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. UU PM
menyatakan pengertian penanam modal yang terdapat pada Pasal 1 angka 4 UU
PM bahwa “Penanam modal adalah perseorangan atau badan yang melakukan
penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam
modal asing.”
Istilah investasi memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan istilah
penanaman modal. Istilah investasi memiliki istilah yang lebih luas karena
mencakup investasi langsung (direct investment) maupun investasi tak langsung
(portfolio investment). Istilah penanaman modal lebih mengacu kepada investasi
langsung.20
20Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2006, Kerangka Hukum & Kebijakan Investasi
Langsung di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 1
25
Jenis investasi dibedakan menjadi dua kategori besar yaitu (a) investasi
langsung (direct investment) dan (b) investasi tidak langsung (indirect
investment). Kegiatan investasi langsung dapat dilakukan dengan mendirikan
perusahaan patungan (joint venture company) dengan mitra lokal; melakukan
kerja sama operasi (joint operation scheme) tanpa membentuk perusahaan baru;
mengonversikan pinjaman menjadi pernyertaan mayoritas dalam perusahaan
lokal; serta memberikan bantuan teknis dan manajerial (technical and
management assistance) maupun dengan memberikan lisensi; dan lain-lain.21
Sedangkan investasi tidak langsung (indirect investment) pada umumnya
merupakan kegiatan menanamkan modal dengan jangka waktu yang cenderung
pendek yang biasanya mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar
uang.22
Kegiatan penanaman modal atau berinvestasi di Indonesia tidak bisa
terlepas dari segala peraturan dan juga pengaturannya. Hal ini bertujuan untuk
memberikan batasan-batasan, prosedur maupun instruksi terkait bagi penanam
modal (investor) dalam kegiatan investasi, khususnya bisnis investasi semi kelola
di bidang pariwisata. Bisnis investasi semi kelola di bidang pariwisata memang
masih mengalami banyak kekaburan dalam segi pengaturannya sebagaimana yang
telah diuraikan pada latar belakang masalah dan tentunya sebagaiman hal tersebut,
harus diketahui juga landasan konsep maupun hal-hal yang berkaitan dengan
prinsip dasar dalam kegiatan investasi semi kelola ini.
21Ibid., hal 3 22Ibid.
26
Pada tahun 1967 telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dijadikan dasar bagi para
investor asing untuk berinvestasi di Indonesia; memperbaiki kondisi keuangan di
Indonesia; serta adanya pembatasan bagi investor asing untuk berusaha, bekerja
sama maupun menentukan lokasi usaha. Tahun 1968 kemudian pemerintah
mengeluarkan kebijakan tentang penanaman modal dalam negeri yang bertujuan
untuk mengundang investor dalam negeri untuk turut berpartisipasi dalam
kegiatan berinvestasi; dan tidak adanya pembatasan bagi para investor untuk
melakukan investasi di Indonesia. Aturan-aturan ini terdapat pada masing-masing
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Kemudian pada tahun 2007 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dimana tujuan dibentuknya undang-
undang ini yaitu :
1) Adanya peningkatan perekonomian nasional ;
2) Menciptakan lapangan pekerjaan maupun peluang usaha baru ;
3) Meningkatkan daya saing di sektor bisnis tingkat nasional ;
4) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat ; dan
5) Meningkatkan kapasitas teknologi nasional.
Kegiatan berinvestasi membutuhkan modal. Modal yang digunakan ini
diperoleh dari investor yang menanamkan modal mereka baik dalam bentuk uang
ataupun bentuk lainnya yang bukan uang, dimiliki oleh penanam modal yang
bernilai ekonomis. Kegiatan bisnis investasi semi kelola di bidang pariwisata
terkait dengan penanam modal, dalam hal ini penanam modal asing, lebih
cenderung berinvestasi untuk membeli sebuah properti di Indonesia sehingga
27
mereka cenderung berinvestasi dalam bentuk uang dibandingkan bentuk modal
lainnya. Hal ini dianggap akan mendatangkan keuntungan dan juga pengembalian
investasi yang cepat dikarenakan adanya perputaran modal dengan indeks
pengembalian investasi secara berkala.
Istilah investasi merupakan istilah yang populer dalam dunia usaha,
sedangkan istilah penanaman modal lazim digunakan dalam perundang-undangan.
Namun pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama,
sehingga kadangkala digunakan secara interchangeable.23
Pengertian investasi atau penanaman modal telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Berdasarkan
pada Pasal 1 UU PM disebutkan bahwa “Penanaman modal adalah segala bentuk
kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun
penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesia.” Hal ini memiliki pengertian bahwa penanaman modal atau investasi
dapat dilakukan oleh penanam modal. Penanam modal atau investor dapat terdiri
dari perseorangan atau individu, badan usaha yang berbentuk badan hukum,
maupun perusahaan multinasional.
Model bisnis investasi dengan bentuk semi kelola atau time share telah
banyak digunakan di Indonesia, khususnya di bidang properti. Pembelian properti
oleh investor dari pihak pengembang atau developer cenderung memberikan
kebebasan waktu bagi investor untuk mempercayakan pengelolaan kepada orang
23Ibid.
28
lain dan untuk selanjutnya dapat dialihkan hak untuk tinggalnya kepada pihak
ketiga.
Daniel Bortz menyatakan bahwa dalam kegiatan berinvestasi semi kelola,
pihak pembeli (investor asing) akan membayar sejumlah uang, menentukan unit
yang diinginkan dan menggunakan unit tersebut untuk waktu yang sama setiap
tahunnya. Hal ini diungkapkan oleh Daniel Bortz, bahwa “With traditional
timeshares, buyers pay a lump sump upfront, which allows them use of a specific
unit at the same time every year….”24 (Terjemahan bebasnya adalah: Dengan
konsep pengembalian investasi yang tradisional, pembeli membayar uang muka
yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk menggunakan unit yang
spesifik dalam waktu yang sama setiap tahunnya).
Setiap kegiatan bertransaksi di Indonesia harus memiliki suatu bukti yang
mengikat dari adanya kegiatan transaksi tersebut yang bisa dibuktikan
kebenarannya. Sebuah perjanjian yang dibuat antarpihak tentunya bisa dijadikan
bukti kuat tersebut. Konsep perjanjian di Indonesia diatur pada Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW).
Buku III dari Burgerlijk Wetboek mengatur dalam titel 1 sampai dengan titel IV
tentang hal mengenai perjanjian pada umumnya.25
Perjanjian semi investasi atau semi kelola (Return on Investment
Agreement, selanjutnya disebut ROI atau ROI Agreement) merupakan salah satu
model perjanjian yang berkembang di bidang perdagangan jasa pariwisata
24Bortz, Daniel, 2012, Should You Invest a Timeshare?, available at URL :
http://money.usnews.com/money/personal-finance/articles/2012/07/19/should-you-invest-in-a-
timeshare, (sited on 15th of March 2014, at 14.30 WITA). 25Wirjono Prodjodikoro, 2000, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, hal. 6.
29
khususnya di bidang jasa akomodasi. Bisnis investasi semi kelola mulai
berkembang sejalan dengan perkembangan naluri bisnis para wisatawan namun
disertai dengan adanya keterbatasan, pembatasan-pembatasan maupun persyaratan
yang menghambat kegiatan bisnis yang ingin mereka lakukan. Hal-hal yang dapt
menghambat kegiatan bisnis mereka, antara lain (a) keterbatasan waktu; (b)
pembatasan dan persyaratan hukum yang ditentukan oleh negara tujuan bisnis;
dan (c) keterbatasan untuk mengelola.
Kegiatan bisnis semi kelola ini sepenuhnya dapat dikualifikasi sebagai
bentuk kegiatan investasi langsung. Hal ini disebabkan sejumlah uang tertentu
pada pengembang (developer) oleh pembeli tidak mengakibatkan peraihan
property dari pengembang ke pembeli melainkan pembeli menyerahkan kembali
pengelolaan properti yang dibelinya sebagai obyek pengelolaan oleh pengembang
dengan tujuan untuk mendapat pengembalian uang yang dibayarkan oleh pembeli.
Dalam kegiatan investasi semi kelola, pengembalian investasi yang didapatkan
mencakup pokok uang yang dibayarkan ditambah dengan keuntungan (profit)
yang dihasilkan dari pengelolaan tersebut sehingga ROI adalah investasi.
Berdasarkan pada uraian konsep tersebut diatas, maka ROI dapat
dikonstruksikan sebagai bisnis semi kelola dimana pembelian sebuah unit
akomodasi dalam konstruksi ROI bukan pembelian dalam arti sesungguhnya
melainkan di oleh pembeli diserahkan kembali kepada pengembang atau pihak
lain untuk dikelola. Hal berikutnya yang menjadikan ROI sebagai bisnis semi
kelola adalah adanya hak kelola oleh pengembang atau pihak lain, yang ditunjuk
pembeli, atas unit yang dijualnya kepada pembeli yang oleh pembeli kembali
30
diserahkan kepadanya untuk dikelola, tidak menimbulkan hak pengelolaan dalam
arti penuh. Berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan pengembang atau
pihak yang ditunjuk, dimana pengelolaannya ditujukan semata-mata untuk
pengembalian harga beli ditambah keuntungan.
Bisnis investasi semi kelola mengadopsi skema time share, berkaitan
dengan hak kelola, yang memberikan hak penuh kepada pembeli untuk
menggunakan unit yang dibelinya yang kemudian digunakan pada masa-masa
tertentu sesuai dengan kesepakatan. Hak untuk menggunakan unit yang dibelinya
mencakup hak untuk mengalihkan kembali penggunaan secara komersial antara
pembeli dengan pihak ketiga.
1.5.2.2. Konsep Perjanjian
Perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum bagi para pihaknya
mengatur tentang pengertian perjanjian diatur pada Pasal 1313 KUH Perdata yaitu
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Suatu perjanjian harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu,
dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.26 Syarat sahnya kontrak ini harus dipenuhi oleh
para pihak untuk menghindarkan mereka dari permasalahan yang nantinya bisa
timbul.
Sahnya sebuah perjanjian oleh Mariam Darus Badrulzaman harus
memiliki empat unsur yang harus dipenuhi oleh para pihak, yaitu :
26Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian “Teori dan Analisa Kasus”, Kencana Predana
Media Group, Jakarta, hal. 1.
31
(1) sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ;
(2) cakap untuk membuat suatu perjanjian ;
(3) suatu hal tertentu ;
(4) suatu sebab yang halal.27
Empat syarat yang diatur ini dibagi menjadi dua syarat yaitu syarat subjektif dan
syarat objektif. Syarat subjektif merupakan dua syarat yang ditujukan bagi para
pihak yaitu dua syarat pertama sedangkan syarat objektif merupakan dua syarat
terakhir yang berkaitan dengan objek dari kontrak tersebut.
Unsur pertama dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa sepakat
mereka untuk mengikatkan dirinya. Hal ini memberi pengertian bahwa para pihak
yang terlibat dalam pembuatan perjanjian haruslah mereka yang memang mereka
yang berkepentingan di dalamnya serta saling menyatakan sepakat untuk
mengikatkan diri antarmasing-masing pihak. Unsur kedua menyatakan bahwa
harus cakap untuk membuat suatu perjanjian. Tentunya unsur ini berkaitan dengan
syarat seseorang yang bisa membuat sebuah perjanjian maupun menjadi para
pihak yang terlibat di dalam perjanjian tertentu.
Terdapat beberapa syarat apabila seseorang tidak bisa menjadi seorang
pihak dalam pembuatan sebuah perjanjian. Berdasarkan pada Pasal 1330 KUH
Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa serta orang-rang
yang berada di bawah pengampuan tentunya tidak bisa membuat perjanjian
maupun menjadi pihak yang terikat pada sebuah perjanjian. Unsur ketiga adalah
suatu hal tertentu. Tentunya dalam sebuah perjanjian yang dibuat oleh para pihak
27Mariam Darus Badrulzaman, 1998, “Kerangka Dasar Hukum Perjanjian (Kontrak)”
dalam Hukum Kontrak di Indonesia, Proyek Elips, hal.1.
32
harus menyatakan adanya obyek yang dijadikan tujuan pengikatan perjanjian
tersebut. Tentunya obyek perjanjian harusnya sesuatu yang benar telah disepakati
dan tidak bertentangan dengan dari seseorang yang seharusnya memilikinya.
Unsur keempat adalah suatu sebab yang halal. Unsur keempat ini adalah unsur
yang menjadi tujuan dari para pihak dan juga diperintahkan oleh undang-undang.
Obyek perjanjian haruslah sebuah sebab yang memang tidak dipertentangkan oleh
undang-undang dan yang pasti harus merupakan hal yang sesuai dengan akhlak,
moral dan rasa dalam menyatakan obyek tersebut adalah suatu hal yang halal.
Setiap orang yang ingin mengadakan sebuah perjanjian bisa melakukannya
dengan siapa saja. Hal ini berkaitan dengan aturan dari undang-undang dimana
pihak yang akan diajak melakukan perjanjian adalah mereka yang tidak dilarang
oleh undang-undang. Dalam melakukan perjanjian, pihak-pihak yang terlibat
dalam perjanjian tersebut bisa bertindak untuk kepentingan dan atas nama sendiri,
namun dapat pula bertindak atas nama sendiri, namun untuk kepentingan orang
lain bahkan dapat bertindak untuk kepentingan dan atas nama orang lain.28
Dalam Hukum Kontrak dikenal banyak asas, diantaranya adalah sebagai
berikut :29
(a) Asas konsensualisme, sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan
untuk lahirnya kesepakatan ;
(b) Asas kebebasan berkontrak, merupakan salah satu asas yang sangat penting
dalam hukum kontrak. kebebasan berkontrak memberikan jaminan
kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang
berkaitan dengan perjanjian ;
(c) Asas pacta sunt servanda (asas mengikatnya kontrak), setiap orang yang
membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena
28Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 7. 29Ibid, hal. 3.
33
kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji
tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.
(d) Asas itikad baik, merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat
(3) KUH Perdata bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad
baik.
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu
kontrak.30 Sebuah kesepakatan dapat terjadi apabila para pihak bersedia untuk
saling mengikatkan diri satu sama lain dengan cara tertulis, secara lisan, dengan
berbagai simbol, bahkan dengan berdiam diripun seseorang dianggap telah
sepakat.
Syarat lainnya untuk mengadakan sebuah perjanjian adalah para pihak
harus cakap. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak
jika orang tersebut belum berumur 21 tahun kecuali jika ia telah kawin sebelum
cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh
hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh dibawah
pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.31
Sementara pengertian dalam Pasal 1330 KUH Perdata, ditentukan bahwa
tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
1. orang-orang yang belum dewasa;
2. mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;
3. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang;
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Berkaitan dengan adanya pembedaan dalam angka 3 (tiga) Pasal 1330
KUH Perdata mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-
30Ibid, hal. 14.
31Ibid, hal. 29.
34
undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah
disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-orang yang
dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjajian tertentu sebenarnya tidak
tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat
perjanjian tertentu.32
Suatu obyek yang ada di dalam sebuah perjanjian harus jelas dan juga
ditentukan oleh para pihak. Objek tersebut dapat berupa barang maupun jasa,
namun dapat juga tidak berbuat sesuatu.33 Objek yang nantinya akan dimuat
dalam klausula perjanjian harus telah dilakukan suatu penghitungan,
pengukuruan, penimbangan ataupun menakarnya. Apabila obyeknya berkaitan
dengan jasa, haruslah dijelaskan dalam perjanjian mengenai apa saja yang harus
dilakukan oleh salah satu pihak.
Perjanjian yang berkembang di dalam masyarakat tidak dapat dihitung
jumlahnya karena sebagian besar perjanjian ini lahir dari kebutuhan masyarakat
akan adanya jenis kontrak yang diinginkan. Salah satu jenis kontrak yang lahir
dari adanya keinginan dari para pihaknya adalah perjanjian bisnis semi kelola.
Kegiatan penanaman modal biasanya didukung oleh beberapa faktor, yaitu
(1) sistem politik dan ekonomi negara yang bersangkutan; (2) jumlah dan daya
beli penduduk sebagai calon konsumennya; (3) tanah sebagai tempat usaha; serta
(4) perundang-undangan dan hukum yang mendukung jaminan usaha. Hal
tersebut diatas yang biasanya menjadi pertimbangan bagi para investor, terutama
32Ibid, hal. 29-30. 33Ibid, hal. 30.
35
investor asing, karena kemungkinan timbulnya risiko yang bisa menimbulkan
kerugian bagi para investor yang pastinya sangat tidak diinginkan oleh para
investor tersebut dan mendapatkan keuntungan yang juga lebih optimal. Para
penanam modal atau investor biasanya mempertimbangkan banyak hal dalam
melakukan kegiatan investasi di negara lain. Hal ini tentunya merupakan tuntutan
dari para investor asing yang memiliki keinginan adanya jaminan dalam
berinvestasi dari negara tujuan investasi. Di samping itu, jaminan investasi
haruslah menghasilkan keuntungan-keuntungan.
Bagi para calon investor, biasanya menuntut adanya berbagai transparansi
dalam proses-proses penanaman modal yang menciptakan sebuah kepastian
hukum serta tidak membingungkan para calon investor asing. Ketentuan-
ketentuan di dalam KUH Perdata dapat diklasifikasi atas ketentuan-ketentuan
yang bersifat umum dan ketentuan-ketentuan yang bersifat khusus. Sementara
ketentuan-ketentuan di luar KUH Perdata juga dapat diklasifikasi secara
demikian, namun dengan beberapa perkecualian berkenaan dengan ketentuan
ketentuan yang hanya memuat ketentuan yang bersifat umum saja atau
sebaliknya.34
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan. Tentunya
kesepakatan ini memegang peran yang penting dalam pembentukan sebuah
perjanjian. Para pihak yang tidak menyatakan kesepakatan tentunya tidak akan
bisa membentuk sebuah perjanjian.
34Ida Bagus Rahmadi Supancana, Et. Al., 2009, Studi Formulasi Tentang Hukum Ekonomi
yang Terkait dengan Iklim Investasi di Indonesia, Japan International Cooperation Agency (JICA)
Indonesia Office dan Center For Regulatory Research, Jakarta, hal. 254.
36
Kesepakatan adalah proses yang timbul setelah adanya kegiatan
penawaran dan penerimaan. Biasanya para pihak akan menyepakati harga dan
obyek (barang atau jasa) yang ditawarkan salah satu pihak. Apabila salah satu
pihak menawarkan sesuatu dengan jumlah harga tertentu maka pihak satunya akan
memberikan tawar-menawar harga. Apabila telah disepakati mengenai harga yang
sesuai menurut para pihak maka transaksi akan langsung dilakukan baik dengan
maupun tanpa adanya perjanjian.
Menjelaskan sebuah kesepakatan dalam suatu transaksi dalam bidang
investasi tentunya berkaitan dengan beberapa asas, doktrin dan juga teori-teori
terkait dengan pembuatan perjanjian dengan model semi kelola di Indonesia
identik dengan kegiatan yang diawali dengan perjanjian sewa-menyewa. Pasal
1548 KUH Perdata menyatakan bahwa:
Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka
waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar
harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang
ditentukan.
Adapun kewajiban para pihak terdiri dari pihak yang menyewakan serta pihak
yang menyewa. Adapun kewajiban dari pihak yang menyewakan sesuai dengan
Pasal 1550 KUH Perdata, yaitu :
a. Menyerahkan barang yang disewakan sebagaimana kepada si penyewa;
b. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, hingga barang itu
dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan;
c. Memberikan si penyewa kenikmatan yang menenteramkan terhadap
barang yang disewakan, selama berlangsungnya sewa.
Sedangkan kewajiban pihak penyewa sebagaimana berdasarkan pada Pasal
1560 KUH Perdata yaitu :
37
a. Untuk memakai barang yang disewa, sesuai dengan tujuan yang diberikan
pada barang itu menurut persetujuan sewanya;
b. Untuk membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan.
Mengenai risiko dalam hal sewa-menyewa telah diatur dalam Pasal 1553 KUH
Perdata yaitu :
a. Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah
karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur
demi hukum;
b. Jika barangnya hanya sebagian yang musnah, si penyewa dapat memilih
menurut keadaan, apakah ia meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia
akan meminta pembatalan persetujuan sewa, tetapi tidak dalam satu dari
kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi.
Berdasarkan pada hal tersebut maka bisa dikatakan bahwa kegiatan
berinvestasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari aturan-aturan yang ada, dalam
hal ini terkait dengan aturan-aturan tentang penanaman modal asing, penanaman
modal dalam negeri serta regulasi terbaru tentang penanaman modal di tahun
2007. Aturan inilah yang bisa digunakan untuk menjabarkan konsep
pengembalian investasi atau return on investment yang didalamnya terkandung
unsur kegiatan berinvestasi dengan sistem timeshare serta kegiatan bisnis properti
yang banyak diminati wisatawan asing, dalam hal ini memiliki korelasi juga
dengan ketertarikan mereka dengan pariwisata Indonesia, khusunya di Bali.
1.5.2.3. Konsep Pariwisata
Pariwisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh wisatawan
(orang yang melakukan perjalanan wisata). Wisatawan memiliki tujuan untuk
berwisata ke daerah-daerah tujuan, baik dalam negeri maupun ke luar negeri.
Wisatawan pun terdiri dari dua jenis, yaitu wisatawan asing dan wisatawan
38
domestik. Pengaturan mengenai Pariwisata di Indonesia telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya
disebut UU Kepariwisataan). Undang-Undang Kepariwisataan mengatur tentang
pengertian dari Pariwisata yang diatur pada Pasal 1 angka 3 dimana Pariwisata
adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah
daerah.
Pengertian tentang Pariwisata menurut Kusmayadi dan Endar Sugiarto
menyatakan bahwa Pariwisata adalah suatu kegiatan melakukan perjalanan dari
rumah dengan maksud tidak melakukan usaha atau bersantai.35 Umumnya
pariwisata, juga yang berkembang di seluruh dunia, akan memiliki keterkaitan
dengan kegiatan bisnis dimana bisnis yang berkembang pada umumnya adalah
adanya penyediaan barang dan jasa pariwisata. Barang dan jasa ini yang nantinya
akan dijadikan bisnis kepada para wisatawan dan selanjutnya bisa membantu
menghitung setiap pengeluaran mereka dalam perjalanan wisatanya untuk
menghitung pendapatan masyarakat maupun pemerintah.
Institut of Tourism in Britain (sekarang telah berubah menjadi Tourism
Society in Britain) menyatakan bahwa Pariwisata adalah kepergian orang-orang
untuk sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar
tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari, serta kegiatan-kegiatan mereka
selama berada di tempat-tempat tujuan tersebut.36 Yang dimaksud dengan tempat-
35Kusmayadi dan Endar Sugiarto, 2001, Metodologi Penelitian dalam Bidang
Kepariwisataan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 4. 36Ibid. hal. 5.
39
tempat tujuan di luar tempat tinggal dan tempat bekerja sehari-hari yaitu sebuah
tempat, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang berada di luar daerah
tempatnya tinggal dan memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bagi para wisatawan yang ingin mengunjungi obyek
wisata yang ada di wilayahnya dan bisa dimanfaatkan sebagai tempat berwisata
atau berlibur.
Gareth Shaw dan Allan M. Williams mendefinisikan Pariwisata (tourism)
yaitu “Tourism is a particularly potent agent of cultural change, especially of
internationalization…” (Terjemahan: Pariwisata adalah sebagian dari agen yang
bersifat potensial untuk pertukaran budaya, khususnya dalam hal memperkenalkan
budaya ke dunia internasional (internasionalisasi). Bisa dikatakan bahwa
pariwisata pun memiliki potensi untuk membantu pemerintah dan masyarakat
suatu daerah untuk memperkenalkan kebudayaan yang mereka miliki khususnya
kepada wisatawan asing. Lebih jauh Gareth Show dan diperkuat oleh pernyataan
dari Allan M. Williams menambahkan sebuah pernyataan bahwa “Tourism is an
important element of international trade and not surprisingly, has attracted the
interest of national governments.”37 (Terjemahan: Pariwisata adalah elemen
penting dari perdagangan internasional dan tidak mengherankan karena telah
menarik perhatian pemerintah suatu negara.) Hal ini semakin memperkuat
pernyataan-pernyataan maupun pengertian-pengertian akan pentingnya pariwisata
bagi suatu negara.
37Ibid., hal. 26.
40
Burkart dan Medlik menambahkan dampak positif pariwisata dengan
menyatakan “Tourism generates wealth and employment”.38 (Terjemahan:
Pariwisata meningkatkan kekayaan dan pekerjaan). Burkart dan Medlik
mengartikan pariwisata yang memiliki suatu manfaat yang sangat besar.
Berdasarkan pada pernyataannya tersebut diatas maka pariwisata juga mampu
meningkatkan pendapatan dan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang
dibutuhkan. Hal ini berarti pariwisata bisa membantu menurunkan jumlah
pengangguran di sebuah negara.
Mill dan Morrison sebagaimana dikutip dari buku karangan Peter M. Burns
dan Andrew Holden dengan judul Tourism A New Perspective menyatakan bahwa
“Tourism as a system, seen as comprising four parts : market, travel, destination
and marketing.”39 (Terjemahan: Pariwisata adalah sebuah sistem, dilihat dari
empat bagiannya : pasar, perjalanan wisata, tujuan wisata dan pemasaran).
Pernyataan ini semakin menunjukkan bahwa pariwisata pun digunakan sebagai
sarana memasarkan barang maupun jasa kepada wisatawan yang akan melakukan
perjalanan wisata.
Menurut Kusmayadi, pariwisata memiliki 4 (empat) komponen yang
menjadi bagian dari industri pariwisata, yaitu : (1) wisatawan; (2) industri
pariwisata; (3) lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan; dan (4) sektor
pemerintahan. Berdasarkan komponen tersebut, pariwisata memiliki sebuah
konsep yang terdiri dari 3 (tiga) konsep utama bidang pariwisata. Ketiga konsep
38Burkart and Medlik, 1981, Tourism “Second Edition”, Heinemann, London, hal. 5 39M. Burns, Peter and Holden, Andrew, 1995, Tourism “A New Perspective”, Prentice
Hall, Britain. hal. 19
41
pariwisata tersebut, yaitu (1) penyedia jasa pariwisata; (2) jasa-jasa pariwisata;
dan (3) konsumen jasa pariwisata. Penyedia jasa pariwisata adalah perseorangan
maupun perusahaan berbadan hukum yang menyediakan jasa pariwisata.
Sedangkan jasa-jasa pariwisata adalah seluruh kegiatan bisnis yang berkaitan
dengan pariwisata serta meliputi seluruh kegiatan penyediaan jasa (services) yang
dibutuhkan oleh wisatawan.40 Terdapat beberapa jasa di bidang pariwisata yang
bersifat utama, yaitu (1) jasa perjalanan dan transportasi; (2) penginapan; (3) jasa
boga; (4) rekreasi; dan jasa-jasa yang terkait seperti jasa informasi,
telekomunikasi, penyediaan tempat dan fasilitas untuk kegiatan tertentu,
penukaran uang dan jasa hiburan.41
Pengertian konsumen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup dan
tidak untuk diperdagangkan. Sehingga konsumen jasa pariwisata adalah para
wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing yang
menggunakan jasa-jasa pariwisata yang disediakan oleh para penyedia jasa
pariwisata. Konsep pariwisata ini akan selalu berkaitan seiring dengan kegiatan-
kegiatan bisnis pariwisata yang masih menarik perhatian para wisatawan tersebut.
40Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama,
Bandung. hal. 17. 41Ibid., hal. 18-19.
42
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penulisan tesis ini akan menggunakan penelitian hukum normatif
(normative legal research) yaitu penelitian yang dilakukan beranjak dari adanya
kekosongan yang telah dibahas dalam latar belakang masalah terkait adanya
kekosongan hukum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian
terkait atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian
normatif disebut sebagai penelitian doktrinal karena obyek kajiannya adalah
dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.
Penelitian hukum normatif ini akan digunakan untuk menelaah peraturan
tentang bisnis investasi pengembalian invetasi di bidang pariwisata (return on
investment at the tourism sector). Hal terkait lainnya adalah penelitian normatif
ini akan memakai pendekatan perundang-undangan dengan meneliti peraturan
perundangan-undangan di Indonesia terkait dengan tema penelitian ini.42
1.6.2 Jenis Pendekatan
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian
yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (the statute approach) yang digunakan untuk meneliti aturan-aturan
tentang bentuk investasi semi kelola di bidang pariwisata. Pendekatan perundang-
undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang dilakukan untuk mampu
mengkaji regulasi yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang
ditangani. Pendekatan kedua adalah Pendekatan Analisis Konsep Hukum
42Johny Ibrahim, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Malang, hal. 32.
43
(analytical and conceptual approach). Pendekatan ini bertujuan untuk
memberikan sebuah pandangan hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi dan
selanjutnya akan menemukan gagasan yang bisa membantu menegaskan konsep
hukum yang telah ada yang tentunya relevan dengan isu yang dihadapi.43
Pendekatan ketiga adalah pendekatan komparatif. Pendekatan ini digunakan untuk
meneliti model-model pengelolaan investasi dengan membandingkan model-
model pengelolaan investasi dalam penelitian ini.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dikenal dalam pembuatan karya tulis di
Indonesia dibagi menjadi dua macam, yaitu Library Research dan Field’s
Research. Library Research adalah teknik pengumpulan penelitian yang
bersumber dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier, sedangkan Field’s
Research merupakan bahan hukum penunjang berupa data yang bertujuan untuk
menunjang bahan-bahan hukum pada library research. Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, menyatakan bahwa suatu penelitian hukum normatif mengandalkan
pada penggunaan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.44
1.6.3.1 Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.45
Penulisan ini menggunakan bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor
43Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal. 93-95. 44Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 45Ibid, hal. 31.
44
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan.
1.6.3.2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.46 Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur hukum,
buku teks (textbook) yang ditulis oleh para ahli, jurnal hukum yang berkaitan
dengan topik penelitian, hasil-hasil penelitian dan artikel-artikel yang
berhubungan dengan investasi semi kelola di bidang pariwisata.
1.6.3.3 Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadapa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum, ensiklopedia.47 Bahan hukum tertier ini dapat membantu
memberikan suatu pengertian dan penjelasan mengenai bahasa hukum serta
istilah-istilah hukum lainnya.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan
ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan sebuah penelaahan
peraturan perundang-undangan yang terkait, kontrak atau perjanjian terkait, serta
buku-buku, melalui media internet dan literatur sebagai bahan bacaan.
46Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 113. 47Moh. Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 246.
45
Studi kepustakaan bisa ditelaah melalui bahan-bahan hukum yang pokok,
yaitu undang-undang dalam arti materiil dan formal, hukum kebiasaan dan hukum
adat yang tercatat, yurisprudensi yang konstan, traktat dan doktrin, juga bahan-
bahan lainnya seperti dokumen pribadi, surat-surat, perjanjian (kontrak), surat
kabar, majalah, maupun dokumen pemerintah.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebur dilakukan dengan cara
deskriptif analitis dimana sumber bahan hukum yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, literatur serta bahan hukum sekunder dan tertier lainnya
akan disajikan secara desktiptif kemudian dilakukan analisa terkait dengan topik
penulisan ini. Bahan-bahan hukum yang telah diolah tersebut untuk selanjutnya
akan dianalisa dengan cara dijabarkan atau diinterpretasikan menggunakan
metode interpretasi hukum. Interpretasi yang digunakan yaitu interpretasi
gramatikal, interpretasi sistematis yang selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-
teori relevan dan dikaitkan dengan permasalahan hukum yang ada. Selanjutnya
hasil analisis akan digunakan untuk menarik simpulan secara sistematis. Simpulan
ini bertujuan untuk tidak menimbulkan kontradiksi antarbahan hukum yang
digunakan.