bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdf · hukum atau instansi yang mempunyai hubungan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian di bidang pertanian, sebenarnya negara ini diuntungkan karena
dikaruniai kondisi alam yang mendukung sehingga bisa menanam sepanjang tahun.
Sumber daya alam seperti ini sewajarnya mampu membangkitkan Indonesia menjadi
negara yang makmur dan tercukupi kebutuhan pangan bagi seluruh warganya.
Meskipun belum terpenuhi, pertanian menjadi salah satu sektor yang memiliki peran
sangat nyata dalam membantu penghasilan devisa negara.
Sebagai negara agraris, Indonesia telah memanfaatkan sumberdaya alam
untuk menunjang kebutuhan hidup masyarakatnya dan memiliki peran yang sangat
penting, karena Setelah kemerdekaan tahun 1945 menghadapi masalah mendasar di
bidang hukum pertanahan, yaitu terdapatnya masalah kepemilikan tanah yang tidak
proporsional dan kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus di dorong oleh
pertambahan penduduk. Bali sebagai salah satu daerah sektor pertanian yang cukup
luas dan selama ini sangat banyak potensi sumberdaya alamnya tentu dikenal sebagai
daerah yang sangat mengandalkan sektor pertaniannya dalam pembangunan dan dari
sektor ini pulalah Bali dikenal sebagai daerah pertanian dan pariwisata. Dalam
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 (3)
disebutkan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
2
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, disini
jelas tersirat bahwa termasuk juga lahan pertanian seharusnya mendapatkan
perlindungan dari Negara, selain karena fungsinya sebagai sumber pangan bagi
masyarakat, juga merupakan mata pencaharian penduduk. Selain itu masyarakat bali
juga memiliki organisasi tradisional pertanian yakni subak. Dalam Pasal 18B (2)
UUD 1945 disebutkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” jelas Subak sebagai salah
satu bentuk organisasi tradisional yang merupakan bentuk kesatuan masyarakat
hukum adat harus mendapatkan perlindungan oleh Negara.
Tindakan alih fungsi lahan pertanian sebenarnya telah terjadi sejak adanya
manusia di dunia dengan mengenal bermacam-macam sesuatu yang di kehendaki
demi mempertahankan dan memperoleh kepuasan hidupnya seperti pangan, sandang,
dan sebagainya. Namun kebutuhan itu terus meningkat seiring dengan bertambahnya
populasi manusia. Oleh karenanya dengan kebutuhan ini berarti menghendaki lebih
banyak lagi lahan pertanian yang perlu dirubah baik fungsi, pengelolaan sekaligus
menyangkut kepemilikannya.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan
hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib
menggunakan tanahnya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta
bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Beralih fungsinya tanah pertanian menjadi
3
tanah non-pertanian merupakan fenomena yang sering terjadi. Pertumbuhan suatu
kota, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan tanah akan membawa implikasi
terhadap semakin pesatnya aktivitas ekonomi di luar bidang pertanian. Sejalan
dengan hal tersebut, semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pola aktivitas
manusia yang menutup ruang untuk bergerak berakibat pada pergeseran perubahan
lahan. Pertanian adalah main sector yang menompang perekonomian di provinsi Bali.
Pembangunan yang berkembang pesat terutama di sektor pariwisata
menyebabkan peralihan fungsi tanah pertanian tidak bisa di hindari. Alih fungsi tanah
yang berakibat berkurangnya luas sawah terjadi hapir di semua kecamatan di kota
Denpasar dengan laju yang cukup pesat.Indonesia menganut pola pembangunan
berkelanjutan sustainable development. Batasan pengertian tentang pembangunan
berkelanjutan telah dikemukakan dengan jelas oleh Brundtland yang menyebutkan
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah “pembangunan yang mampu memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhan mereka.”1
Kemajuan pesat yang telah dicapai Bangsa Indonesia dalam bidang industri,
jasa dan properti tidak sebanding dengan perkembangan dalam sektor pertanian.
Salah satu penyebabnya adalah karena tanah pertanian (lahan pertanian) yang
menjadi tempat gantungan hidup dan sumber penghidupan petani sebagian besar
dikonversi menjadi lahan industri dan lahan perumahan yang praktis membutuhkan
1
Prasetijo Rijadi, 2005, Pembangunan Hukum Penataan Ruang Dalam Konteks Kota
Berkelanjutan, cetakan I, Airlangga University Press, Surabaya, hal.1.
4
ketersediaan tanah yang tidak sedikit. Disamping itu masih banyak terdapatnya
kepemilikan tanah yang tidak proporsional karena sebagian besar tanah-tanah
pertanian dimiliki oleh penguasa absentee yang berdomisili di kota-kota atau di
tempat lain jauh dari tanah miliknya dengan cara mengupayakan multi identitas, tidak
saja pemilikan tanah pertanian di luar kecamatan tetapi juga adanya pemilikan di luar
kabupaten, sehingga banyak pemilik tanah yang tidak mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian miliknya.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dimaksudkan untuk secara
langsung maupun tidak langsung memberikan jaminan bagi terwujudnya hak-hak
baik bagi orang perorangan maupun kelompok, namun demikian dalam kenyataan
tidak semua peraturan perundang-undangan mendukung tujuan tersebut, bahkan
mungkin bertentangan dengan semangat. Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disingkat (UUPA) yang
diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 itu sejak semula berciri populis. “Sebagai
Undang-Undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas) tahun setelah
kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Pokok
Agraria merupakan perwujudan dari sila-sila pancasila.”2
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang
semula berciri populis kearah kebijakan yang cenderung prokapital yang terjadi
2
Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT
Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.1
5
karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an. Pada awal
berlakunya UUPA sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam
yang langka di satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai
pemenuhan kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya.
Tanah pertanian merupakan bagian dari penataan ruang kota dengan tujuan
pendukung bagi perekonomian Bali. Tanah pertanian membuat perkotaan menjadi
seimbang antara alam dan lingkungan hidup yang berguna untuk kepentingan
masyarakat. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana
pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih.
Dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan Bali pada umumnya terhadap pertanian
tersebut, dirasa sulit untuk mencapai swasembada pangan, melihat laju alih fungsi
tanah pertanian yang tinggi tiap tahunnya dan kurangnya ruang terbuka hijau dapat
dipastikan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan
perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih tidak dapat seimbang antara
dan lingkungan hidup.
Kepemilikan lahan tidak hanya penting untuk pertanian saja melainkan juga
bagi penentuan berbagai kebutuhan lain dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di
dalamnya untuk keperluan-keperluan kawasan industri dan pabrik maupun dipakai
sebagai pemukiman. Dilema yang dihadapi tentang peruntukan lahan pada sektor
pertanian seringkali bersaing dengan sektor lain seperti industri, pemukiman dan
perdagangan. Penguasaan dan pemilikan lahan pertanian sering di katakan sebagai
6
masalah yang rumit. Di mana menyangkut berbagai aspek seperti ekonomi,
demografi, hukum, politik, dan sosial. Bahkan kerumitan itu akan bertambah dengan
keterkaitkannya dengan aspek-aspek teknis seperti agronomi, ekologi, dan lain
sebagainya.
Tabel pengurangan luas lahan pertanian di Kota Denpasar.
TAHUN LUAS
2008 2.717 Ha
2009 2.693 Ha
2010 2.632 Ha
2011 2.597 Ha
2012 2.519 Ha
Sumber Data : Data BPS Provinsi Bali.
Dari gambaran tabel tersebut di atas dapat diketahui terjadi pengurangan luas
lahan pertanian yang signifikan di wilayah Kota Denpasar. Di mana pengurangan ini
terjadi terus menerus setiap tahunnya, padahal pemerintah Kota Denpasar sudah
mengatur perlindungan lahan pertanian ini dalam bentuk Peraturan Daerah tentang
RTRW Kota Denpasar.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka adanya penelitian ini dimaksud
untuk menentukan apakah faktor-faktor penyebab tanah pertanian berkurang dan
bagaimanakah pelaksanaan dan penerapan ketentuan tentang peraturan peruntukan
lahan untuk pertanian, yang setiap tahun mengalami pengurangan di kota Denpasar.
Sehingga penelitian ini mengetengahkan judul “TINDAKAN PEMERINTAH KOTA
DENPASAR DALAM MENANGGULANGI BERKURANGNYA TANAH
PERTANIAN DI KOTA DENPASAR.”
7
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaturan ketentuan peruntukan tanah pertanian yang
mengalami pengurangan?
2. Apakah faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi tanah pertanian di
Kota Denpasar berkurang?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah dalam penulisan ini terbatas pada faktor penyebab
yang mempengaruhi tanah pertanian berkurang di kota Denpasar. Selain itu dibatasi
juga pada tindakan Pemerintah kota Denpasar dalam menanggulangi berkurangnya
tanah pertanian di kota Denpasar. Berbagai permasalahan yang timbul didalam
masayarakat merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan penyelesaian
melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang dikeluarkannya. Kenyataan ini
melukiskan, bahwa kebijaksanaan merupakan upaya pemerintah untuk melaksanakan
kewajiban guna mengurusi kepentingan masyarakat.
1.4. Orisinalitas
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia
pendidikan Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan
orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul
penelitian tesis atau disertai dahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian
8
kali ini, peneliti akan menampilkan 1 Skripsi dan 1 Tesis terdahulu yang
pembahasannya berkaitan dengan “Tindakan pemerintah kota Denpasar dalam
menanggulangi berkurangnya tanah pertanian di kota Denpasar”.
Tabel 1.4.1 Daftar Penelitian Sejenis
No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1. Pelaksanaan alih
fungsi tanah
pertanian menjadi
perumahan di
Pemda Bantul
Putri Dresthiana
Werdoyo
(Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas
Islam Negeri Sunan
Kalijaga
Yogyakarta), Tahun
2014
1. Bagaimana pelaksanaan alih
fungsi tanah pertanian
menjadi perumahan di Pemda
Bantul?
2. Apa upaya-upaya Pemda
Bantul dalam mengatasi alih
fungsi tanah pertanian
menjadi perumahan di Bantul
yang semakin meningkat?
2. Kewenangan
pemerintah dalam
menetapkan
penguasaan dan
pemilikan luas
tanah pertanian
Ni Nyoman Mariadi
(Mahasiswa
Program Studi
Magister Hukum
program
Pascasarjana
Universitas Udayana
Denpasar), Tahun
2010
1. Apa dasar kewenangan
pemerintah dalam
menetapkan batas maksimum
dan batas minimum
penguasaan dan pemilikan
luas tanah pertanian?
2. Apa konsekwensi yuridis
terhadap penguasaan dan
pemilikan tanah pertanian
yang melampaui batas
maksimum dan/atau dibawah
batas minimum?
9
Table 1.4.2 Daftar Penelitian Penulis
No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1. Tindakan
pemerintah kota
Denpasar dalam
menanggulangi
berkurangnya
tanah pertanian di
kota Denpasar
Gede Rendy
Purnama Putra
Darmada
(Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas
Udayana), Tahun
2014
1. Bagaimanakah pengaturan
ketentuan peruntukan tanah
pertanian yang mengalami
pengurangan?
2. Bagaimana faktor-faktor
penyebab yang
mempengaruhi tanah
pertanian di kota denpasar
berkurang?
Judul skripsi dari Putri Dresthiana Werdoyo (Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta), Tahun 2014 yaitu Pelaksanaan
alih fungsi tanah pertanian menjadi perumahan di Pemda Bantul berbeda dengan
penelitian ini, perbedaannya apabila skripsi tersebut membahas tentang alih fungsi
tanah pertanian menjadi perumahan sedangkan dalam penelitian ini membahas
tentang penerapan hukum terhadap alih fungsi tanah pertanian.
Lebih lanjut kepada tesis Ni Nyoman Mariadi (Mahasiswa Program Studi
Magister Hukum program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar), Tahun 2010
dengan judul Kewenangan pemerintah dalam menetapkan penguasaan dan pemilikan
luas tanah pertanian dimana dalam tesis tersebut dibahas tentang kewenangan
10
pemerintah dalam penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian. Sedangkan berbeda
dengan penelitian ini dengan judul Tindakan pemerintah kota Denpasar dalam
menanggulangi berkurangnya tanah pertanian di kota Denpasar.
1.5. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Setiap penulisan karya ilmiah memiliki tujuan ataupun maksud tertentu,
adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara
tertulis
2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada
bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum.
4. Untuk mengetahui sejauh mana Tindakan pemerintahan terhadap
pengurangan tanah pertanian di kota Denpasar.
b. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini, adalah:
1. Untuk memahami pengaturan ketentuan peruntukan tanah pertanian yang
mengalami pengurangan di kota Denpasar.
2. Untuk memahami faktor yang mempengaruhi tanah pertanian di Kota
Denpasar berkurang di kota Denpasar.
11
1.6. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1. Untuk dapat memperkaya pengembangan teori ilmu pengetahuan guna
menambah pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum pemerintahan
2. Untuk memperoleh pemahaman dan gambar tentang hukum pemerintahan
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam rangka
menerapkan suatu kebijaksanaan dalam menyempitnya tanah pertanian.
2. Untuk dapat dipakai sebagai acuanbagi para praktisi hukum terkait dengan
kebijaksanaan pemerintah.
1.7. Landasan Teoritis
Dalam setiap penelitian selalu disertai dengan teori-teori, konsep-konsep,
maupun pandangan-pandangan para ahli yang berpengaruh sebagai landasan
pemikiran penelitian. Pandangan-pandangan para ahli tersebut dipakai untuk
mengkaji isu-isu hukum dalam penelitian ini secara teoritis dengan mengkaji
peraturan perundang-undangandan instrument-instrument hukum.
1.7.1. Teori Negara Hukum
Konsep negara hukum menjunjung tinggi perlindungan hak-hak rakyat,
termasuk hak-hak rakyat atas sumber daya agraria, dengan tujuan terwujudnya
masyarakat adil dan makmur.Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat
dilakukan melalui penelusuran pandangan ilmiah para ahli.
12
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Negara
Kesatuan Indonesia adalah sebuah negara yang dalam menyelenggarakan
pemerintahan adalah berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum untuk membatasi
kekuasaan pemerintah, ini berarti bahwa kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum
(rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat) yang secara jelas
ditentukan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi
atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi
serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila
maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara Hukum
Pancasila.”3
Suatu negara agar dapat dikatakan sebagai negara hukum maka perlu
diketahui elemen-elemen atau unsur-unsurnya yang tertuang di dalam Undang
Undang Dasar beserta peraturan pelaksananya, dan yang terpenting dalam praktek
sudah dilaksanakan atau belum.4
Mencermati bunyi Alenia ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajikan kesejahteraan umum, mencerdaskan
3
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal.162. 4 Joeniarto,1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, hal.8
13
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka (untuk mencapai
tujuan negara tersebut) disusunlah Kemerdekaan kebangsaan Indonesia
dalam suatu UUD Negara Republik Indinesia yang terbentuk dalam suatu
sususan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Pancasila”.
Dari pernyataan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa sebenarnya
konsep negara hukum Indonesia merupakan perpaduan tiga unsur yaitu Pancasila,
hukum nasional, dan tujuan negara. Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan
yang utuh.Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum nasional. “Hukum
nasional disusun sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara.Tidak ada artinya
hukum nasional disusun apabila tidak mampu mengantarkan bangsa Indonesia dalam
mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi.”5
1.7.2.Teori Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “autos” yang artinya sendiri
dan “nomos” yang artinya peraturan. “Sehingga otonomi berarti peraturan sendiri atau
undang-undang sendiri, yang kemudian berkembang pengertiannya menjadi
menjalankan pemerintahan sendiri.”6 Otonomi daerah merupakan suatu wewenang
untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiiri (local self government) yang
memiliki dua unsur utama, yaitu mengatur (rules making, regeling) dan mengurus
(rules application, bestuur). “Pada tingkat makro (negara) ke dua wewenang itu lazim
5
Sudjito Bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, dalam Kongres Pancasila
kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, Balai Senat UGM, Yogyakarta, 30, 31,
dan 1 Juni 2009 6
Dharma Setyawan Salam, 2003, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan
Sumber Daya Alam, Djambatan, Jakarta, hal. 81
14
disebut sebagai wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan wewenang
untuk melaksanakan kebijakan (policy executing). Sehingga dengan pembentukan
daerah otonomi berarti telah terkandung penyerahan wewenang untuk mengatur dan
mengurus oleh local government.”7 Dengan demikian otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
1.7.3.Teori Kewenangan
Wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda
“bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). “Wewenang merupakan
bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi),
karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang
diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari
Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga
Negara dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum.”8
7
Hoessein, Benyamin, Evaluasi Undang Undang Pemerintah Daerah, Harian Suara Karya,
Jakarta, edisi 14 Februari 2002 8
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, hal. 154.
15
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara
hukum. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan
harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan
untuk melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu. Pengertian kewenangan
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak
dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam
kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :
“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang
berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari
Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap
segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang
pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan
untuk melakukan sesuatu tindak hukum public.”9
Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,
delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :
“Wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah
yang baru”. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah
ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang
pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya.Jadi,
suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada
9 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta hal. 29
16
mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun
pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang
lain.”10
Menurut Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan,
mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut :
“Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi
dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh
organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain;
jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). Mengenai mandat,
tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan
wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun
(dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal.”11
Menurut Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:
“Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan
yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi,
delegasi, dan mandat.Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui
pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan
kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari
“pelimpahan.”12
1.7.4.Teori Perundang-Undangan
Undang-Undang dibedakan menjadi dua, yaitu Undang-Undang dalam arti
materiil dan undang-undang dalam arti formil. Hal ini merupakan terjemahan secara
harafiah dari “wet in formele zin”dan “wet materiёle zin”yang dikenal di Belanda.
“Yang dinamakan Undang-Undang dalam arti materiil merupakan keputusan atau
10
Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90 11
Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, hal. 74 12
Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 7
17
ketetapan penguasa yang dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat
setiap orang secara umum.”13
“Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan
penguasa yang disebut dengan undang-undang dilihat dari cara pembentukannya.
Undang-Undang bersifat umum karena mengikat setiap orang dan
merupakan produk lembaga legislatif. Pada umumnya Undang-Undang terdiri dari
dua bagian, yaitu konsederans atau pertimbangan yang berisi pertimbangan-
pertimbangan mengapa Undang-Undang itu dibuat, dan diktum atau amar. Di dalam
amar terdapat isi dari Undang-Undang yaitu yang kita sebut pasal-pasal. Selain dua
bagian tersebut ada bagian lain yang juga penting keberadaannya, yaitu ketentuan
peralihan.
Ketentuan peralihan mempunyai fungsi penting, yaitu untuk mengisi
kekosongan hukum (rechtsvacuum) karena ada kemungkinannya suatu Undang-
Undang baru tidak mengatur semua hal atau peristiwa yang diatur oleh Undang-
Undang yang lama. Kalau terjadi suatu peristiwa yang diatur dalam Undang-Undang
yang lama tetapi tidak diatur dalam Undang-Undang yang baru maka disinilah
peranan ketentuan peralihan. Biasanya bunyi dari ketentuan peralihan yaitu: “apabila
tidak ada ketentuannya, maka berlakukan peraturan yang lama.” “Undang-Undang
adalah hukum.”14
Hal ini karena Undang-Undang berisi kaedah hukum yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia. Setiap orang dianggap tahu akan
adanya suatu Undang-Undang. Pernyataan ini merupakan fictie karena kenyataannya
13
L.J. van Apeldoorn, 1978,Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,Jakarta, hal. 92. 14
Sudikno Mertokusumo, 1999,Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hal.80.
18
tidak setiap orang dapat mengetahui setiap Undang-Undang yang di undangkan hal
ini karena ketidaktahuan seseorang bukanlah termasuk dasar pemaaf. Agar dapat
diketahui setiap orang, maka Undang-Undang harus di undangkan atau di umumkan
dengan memuatnya dalam lembaran negara. Dengan dimuatnya dalam lembaran
negara maka peraturan perundang-undang tersebut mempunyai kekuatan mengikat
setiap orang untuk mengetahui eksistensinya.
1.7.5 Konsep Tata Ruang
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang serta
dalam Perda Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi bali mengatur bahwa Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Penyelenggaraan penataan
ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Asas dan Tujuan Penataan ruang dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu :
19
Dalam Pasal 2 menyebutkan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini menyebutkan penyelenggaraan penataan
ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
1.8. Metode Penelitian
Dalam penulisan suatu karya ilmiah, terdapat satu komponen penentu sebagai
syarat yang di pergunakan untuk pencarian data dari hasil karya ilmiah tersebut,
dalam hal ini adalah metode penelitian. Menururt Sutrisno Hadi yang dimaksud
dengan metodelogi ialah suatu cara metode untuk memberikan garis-garis yang
cermat dan mengajukan syarat-syarat yang keras, yang maksudnya adalah menjaga
20
ilmu pengetahuan yang dicapai dari suatu research dapat mempunyai harga ilmiah
yang setinggi- tingginya.15
1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian Skripsi ini Penulis menggunakan penelitian hukum normatif
(penelitian dokrinal) dengan ciri-ciri sebagai berikut :
- Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum;
- Tidak menggunakan hipotesis;
- Menggunakan landasan teoritis; dan
- Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Menurut pendapat Rony Hanitijo Sumitro Penelitian menyebutkan, bahwa Hukum
Normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder,
yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Dalam penelitian hukum normatif ini” lazimnya hukum diartikan sebagai kaidah atau
norma” yang menurut Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa kaidah atau norma
mempakan patokan atau pedoman perilaku manusia yang pantas. Dalam hal ini yang
perlu di perhatikan pula bahwa dalam penelitian hukum, adanya kerangka
15
Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, hal.4.
21
konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis menjadi syarat yang sangat penting
sehingga akan mengarah kepada pemasalahan. Dalam penelitian ini beranjak dari
kesenjangan dan kekaburan norma atau tidak jelas (Vague normen) yang dapat
ditemukan dalam pemberian sanksi terhadap pelanggar perlindungan lahan pertanian
di Kota Denpasar.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini adalah jenis penelitian normatif.
Adapun metode pendekatan yang dipakai terhadap masalah ini adalah beberapa
metode yang dikenal dalam penelitian hukum normatif, antara lain pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).16
Berdasarkan latar
belakang masalah yang yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu, maka terdapat
beberapa pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain
pendekatan analisis konsep hukum (analytical and conceptual approach), pendekatan
perundang-undangan (statue approach) serta pendekatan perbandingan.
1.8.3.Sumber Bahan Penelitian
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam tesis ini, dibagi ke dalam tiga
jenis, yakni sebagai berikut :
16
Peter Mahmud Marzuki, 2000, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, Kencana Prenada Group,
Jakarta, hal. 93.
22
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni
sebagai berikut ;
- Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945,
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah,
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan,
- Peraturan Daerah Provinsi Nomor 16 Tahun 2009 Tentang RTRW
Provinsi Bali,
- Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2011 Tentang RTRW Kota
Denpasar Tahun 2011-2031.
2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum, dan seterusnya17
. Penelitian ini mempergunakan
beberapa bahan hukum sekunder antara lain hasil-hasil penelitian,
yurisprudensi, buku-buku dan hasil karya dari kalangan pakar hukum yang
mempunai relevansi dengan penelitian ini;
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hal. 13
23
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan atau petunjuk
mengenai bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensikiopedia.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
hukum normative adalah dilakukan dengan melalui kegiatan studi pusataka, studi
dokumen, dan studi catatan hukum. Pustaka yang dimaksud terdiri dari perundang-
undangan, putusan pengadilan (jurisprudensi), dan buku karya tulis bidang hukum.
Ketiga jenis pustaka ini biasanya dikoleksi di perpustakaan umum dan perpustakaan
khusus bidang hukum.18
Dalam penyusunan tesis ini pengumpulan pustaka yang
dimaksud tersebut dilakukan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana
dan perpustakaan umum daerah. Selain itu pengumpulan pustaka juga dilakukan
melalui media cetak dan juga media online (website).
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan hukum
tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi/kesimpulan, bentuk dalam analisis
bahan hukum adalah teknik deskriptif, interpretatif, evaluatif, dan argumentatif.
Masing-masing teknik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
18
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 121
24
a. Teknik deskriptif, maksudnya adalah gambaran dari uraian-uraian secara
apa adanya tersebut suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum ataupun
non-hukum.
b. Teknik Interpretatif, teknik ini digunakan dengan cara menjelaskan
penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum terhadap norma yang ada baik
sekarang maupun diberlakukan dimasa mendatang. Teknik interpretatif
yang digunakan adalah secara gramatical interpretatie yaitu interpretasi
atau penafsiran menurut arti kata dan sitematiche interpretatie yaitu
penafsiran yang dilakukan dengan mencari penjelasan dalam pasal demi
pasal dari perundang-undangan.
c. Teknik Evaluatif, yaitu dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap
suatu pandangan, pendapat, pernyataan, atau perumusan norma baik dari
sumber primer, maupun dari sumber hukum sekunder dan terteir.
d. Teknik Argumentatif, yaitu teknik analisis yang dilakukan berdasarkan
pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam permasalahan-
permasalahan hukum yang dikaji makin dalam argumennya berarti semakin
dalam penalaran hukumnya.19
19
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum,UI-Press, Jakarta, hal. 252