bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdfbali, batam dan daerah wisata lainnya. di luar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Anak merupakan anugrah yang diberikan oleh Tuhan, dimana mereka
merupakan cerminan dari generasi penerus bangsa yang akan datang. Kualitas
suatu bangsa dapat diukur apabila adanya cerminan dari anak-anak bangsa yang
baik saat ini sehingga anak harus dijamin dari segala kegiatan untuk melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1
Pada dasarnya, kita semua berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya
diinginkan, direncanakan, dan oleh karena itu, masa depannya akan sangat
dipedulikan. Sayang bahwa kajian mengenai kehidupan anak-anak di berbagai
negara dan, terutama di negara berkembang yang menunjukkan kenyataan pahit,
termasuk Indonesia. Sebagian anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk
kekerasan, diskriminasi, penelantaran, dan eksploitasi.
Dewasa ini tingkat kejahatan terhadap anak dalam masyarakat semakin
berkembang pesat. Hal tersebut berbanding lurus dengan dampak yang telah
ditimbulkan. Apapun bentuknya, kejahatan bukan merupakan perbuatan yang
dapat dibenarkan. Keberadaan seorang anak terkadang menjadi beban bagi orang
1 Pasal 1 ayat (2), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak.
2
tua. Kondisi tersebut dianggap sebagai penambah beban hidup masyarakat miskin
yang membuat anak seperti tidak diharapkan sehingga cenderung berbuat hal yang
negatif untuk memenuhi keinginannya.
Saat ini banyak sekali anak-anak yang terlibat dalam jaringan bisnis
seksual komersial, yang berada disekitar publik, tetapi jenis kegiatannya bersifat
domestik. Isu-isu ini akan terangkat ke atas bukan oleh penderitaan anak-anak itu
didalam tempat prostitusi, tetapi biasanya lebih oleh sindikasi dan modus operandi
perdagangan anak-anak untuk keperluan itu, lingkungan tidak dapat melakukan
kontrol sosial terhadap hal ini karena dianggap sebagai domestic affair yang tidak
dapat di intervensi oleh pihak luar.
Menurut laporan situasi anak dan perempuan (UNICEF, 2000), anak
dibawah usia 18 tahun yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai
40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center,
pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang
terselubung ataupun yang "terdaftar". Sementara itu, menurut M. Farid (2000),
memperkirakan 30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan
berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di
Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks komersial (PSK). 62,7 % dari
Jumlah PSK tersebut berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40%
dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun.2
2 Anonim, 2010, Eksploitasi Seksual Komersial Mengintai Anak Kita, URL :
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/648-eksploitasi-seksual-komersial-mengintai-
anak-kita.html diakses pada tanggal 15 Oktober 2014.
3
Daerah pengirim perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual
komersial tersebut umumnya adalah dari daerah-daerah kantong kemiskinan,
seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggaran Timur, Sumatera Utara, Sumatra
Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan daerah penerima atau transit
di Indonesia adalah kota-kota besar, kota industri, daerah wisata seperti Lombok,
Bali, Batam dan daerah wisata lainnya. Di luar Indonesia negara penerima atau
tujuan (destination) adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Hongkong, Arab
Saudi, Taiwan , Australia bahkan Eropa Timur.3
Perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial tidak hanya
terjadi di Indonesia saja. Menurut laporan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), secara global memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
di dunia terdapat 30 juta anak perempuan diperdagangkan. 225.000 orang
diantaranya berasal dari Asia Tenggara dan 150.000 orang dari Asia Selatan. Dari
Kawasan Asia Tenggara, menurut laporan tersebut, Indonesia diduga yang paling
terbanyak memperdagangkan perempuan dan anak. Masih menurut sumber badan
PBB tersebut, dari perdagangan anak diperkirakan memperoleh keuntungan US$
7 Miliar per tahun.4
Munculnya permasalahan hak asasi manusia menurut Burns H. Weston
disebabkan dua hal, pertama bahwa manusia dimana-mana menuntut realisasi dari
bermacam-macam nilai guna memastikan kesejahteraan individual dan kolektif
3 Ibid.
4 Ibid.
4
mereka. Kedua, tuntutan-tuntutan terhadap kesejahteraan individual dan kolektif
tersebut sering diabaikan sehingga mengakibatkan eksploitasi, penindasan,
penganiayaan dan bentuk-bentuk perampasan lain.5
Eksploitasi seksual komersial anak merupakan salah satu bentuk dari
pelanggaran hak asasi manusia. Seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, John
Locke, merumuskan adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada
setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Pada
waktu itu, hak masih terbatas pada bidang sipil (pribadi) dan politik. Sejarah
perkembangan hak asasi manusia ditandai adanya tiga peristiwa penting di dunia
Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis. Pada
umumnya, hak asasi manusia dikenal sebagai hak-hak yang paling fundamental
dan mendasar, serta tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, dan sangat
essensial untuk hidup sebagai manusia.
UNICEF mencatat bahwa tingkat kriminal yang tercapai di Indonesia
menyangkup hak-hak anak cukup tinggi untuk menarik minat maupun memancing
pihak luar negeri untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan bantuan
kesejahteraan anak-anak di Indonesia. UNICEF menjalankan peranannya
berdasarkan Konvensi Hak Anak yang menjadi tonggak kesejahteraan anak di
seluruh dunia termasuk melindungi hak anak dari kekejaman eksploitasi seksual
yang menjerat anak-anak Indonesia.
5Todung Mulya Lubis, ed.,1993, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia,
trans. A.Setiawan Abadi,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,h. 1.
5
UNICEF memiliki keyakinan bahwa pembangunan dan perhatian terhadap
anak-anak adalah dasar dari pembanguna manusia itu sendiri. UNICEF di
ciptakan dengan tujuan dan pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu untuk
bekerjasama khususnya dengan negara-negara di dunia ini untuk mengentaskan
kemiskinan, kekerasan, penyakit dan eksploitasi anak menjadi prioritas utama
untuk diselesaikan. UNICEF sebagai Organisasi Internasional merupakan
lembaga pendidik, penyuluh, rehabilitor, dan advokat dalam pelayanan dan
perlindungan hak-hak anak di dunia berupaya untuk membantu menanggulangi
masalah eksploitasi seksual yang dialami anak-anak di Indonesia.
Dari bahasan diatas dapat diketahui bahwa UNICEF memiliki peran
strategi dalam melindungi hak-hak anak dari eksploitasi seksual. Dalam konteks
peran UNICEF tersebut penulis bermaksud membahas permasalahan eksploitasi
seksual komersial anak di Indonesia dengan judul “PERAN UNICEF (United
Nations International Children’s Emergency Fund) DALAM PENANGANAN
EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari rumusan latar belakang yang telah diuraikan di atas ,
maka dapat dikemukakan dua rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kondisi dan penanganan eksploitasi seksual komersial anak
oleh pemerintahan Indonesia?
2. Bagaimanakah peran dan upaya yang dilakukan UNICEF dalam
menangani serta melindungi hak-hak anak dari eksploitasi seksual di
Indonesia?
6
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan masalah eksploitasi
seksual komersial anak ini, maka merupakan hal yang tidak mungkin untuk
membahas semuanya dalam satu tulisan terlebih dalam suatu bentuk penulisan
skripsi.
Penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah perlu ditegaskan mengenai
materi yang diatur di dalamnya. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari agar
isi atau materi yang terkandung di dalamnya tidak menyimpang dari pokok
permasalahan yang telah dirumuskan sehingga dengan demikian dapat diuraikan
secara sistematis. Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok
permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan
yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas
adalah sebagai berikut :
1. Secara umum akan di bahas mengenai kondisi eksploitasi seksual
komersial anak di Indonesia.
2. Secara umum akan dibahas mengenai penanganan eksploitasi
seksual komersial anak oleh pemerintah Indonesia.
3. Secara umum akan diuraikan mengenai UNICEF sebagai
organisasi internasional yang memberikan perlindungan terhadap
hak-hak anak di dunia dan sejarah UNICEF di Indonesia.
4. Secara umum akan di bahas mengenai upaya-upaya yang dilakukan
UNICEF dalam memerangi eksploitasi seksual komersial anak di
Indonesia.
7
5. Secara umum akan dibahas mengenai peran serta tanggungjawab
UNICEF sebagai organisasi internasional yang bernaung dibawah
bendera PBB dalam perlindungan hak-hak anak.
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1.4.1 Tujuan Umum
1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran dalam
suatu karya ilmiah secara tertulis.
2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam
bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.
3. Untuk menambah perkembangan ilmu pengetahuan Hukum.
4. Untuk menambah perkembangan kepribadian diri mahasiswa dalam
kehidupan masyarakat.
5. Pembulatan studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dan
jumlah beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisis kondisi dan penanganan eksploitasi seksual
komersial anak oleh pemerintahan Indonesia.
2. Untuk menganalisis peran dan upaya yang dilakukan UNICEF dalam
memberikan perlindungan terhadap korban eksploitasi seksual anak di
Indonesia.
8
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang didapat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1.5.1 Manfaat Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai
eksploitasi seksual komersial anak yang terjadi di Indonesia serta
penanganan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta peran
UNICEF dalam menangani masalah eksploitasi seksual komersial anak.
Selain itu diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan bagi mahasiswa
pada umumnya dan penulis pada khususnya dalam hal pengetahuan
hukum yang terkait dengan peran organisasi internasional sebagai subjek
hukum internasional yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak
anak dari segala bentuk eksploitasi seksual di Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
Dari segi praktis, berguna sebagai upaya yang dapat diperoleh
langsung manfaatnya, seperti peningkatan keahlian meneliti dan
keterampilan menulis, sumbangan pemikiran dalam pemecahan suatu
masalah hukum, acuan pengambilan keputusan yuridis, dan bacaan baru
bagi penelitian ilmu hukum.6 Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi masyarakat Internasional mengenai permasalahan-permasalahan yang
menyangkut tentang masalah eksplotasi seksual komersial anak. Serta
6 Abdul Kadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 66.
9
untuk menambah pedoman dalam penyelesaian kasus-kasus tentang
eksploitasi seksual komersial anak.
1.6 Landasan Teoritis
Penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi ini berpedoman pada kaidah dan
norma hukum internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum
internasional adalah ketentuan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara (hubungan internasional)
yang bukan bersifat perdata.7
Untuk jelasnya, mengenai pengertian hukum internasional dapat
dirumuskan sebagai berikut :8
Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara :
1. Negara dengan Negara;
2. Negara dengan subyek hukum lain bukan Negara atau subyek hukum
bukan Negara satu sama lain.
3. Subyek hukum bukan Negara dengan subyek hukum bukan Negara
lainnya.
Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah
suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing
merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional
(yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional)
tidak terdapat lembaga-lembaga yang disangkutpautkan dengan hukum dan
7 Mochtar Kusumaatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, cet. IX, Bina Cipta,
Bandung, h.1. 8 Ibid, h.3.
10
pelaksanaannya dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif,
tidak terdapat lembaga legislative, tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial),
tidak terdapat lembaga kepolisian.9
Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba
memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu:
1. Mazhab/Ajaran Hukum Alam.10
Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia
adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-
bangsa. Negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam
hubungan antar mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian dari
hukum yang lebih tinggi, yaitu “hukum alam”.
Kontribusi terbesar ajaran atau mazhab hukum alam bagi hukum
internasional adalah bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum
yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup
bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal
budi (rasio) manusia, mazhab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar
rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antar
bangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan,
pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.
2. Mazhab/Ajaran Hukum Positif
9 Ibid, h.32
10 Ibid, h. 33.
11
Ada beberapa mazhab yang termasuk ke dalam kelompok Mazhab atau Ajaran
Hukum Positif, yaitu:
a. Mazhab/Teori Kehendak Negara.11
Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara
umum inti dari ajaran atau mazhab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara
adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum.
Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas
kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada
hukum internasional.
Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih
tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari
hukum nasional (c.q. hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu
negara (auszeres Staatsrecht).
b. Mazhab atau Teori Kehendak Bersama Negara-negara.12
Mazhab ini berusahan untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak
Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum
internasional itu mengikat bukan karena bukan karena kehendak masing-masing
Negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama masing-masing
negara itu di mana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan
dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini
11
Ibid, h. 35. 12
Ibid.
12
bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak
bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik.
c. Mazhab Wina13
Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang
meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara
(yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan pemikiran baru
yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada
kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada
terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara
(aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist).
Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional
didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada
dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan
mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga
sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan
kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum
melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese).
Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau
asas pacta sunt servanda.
3. Mazhab Perancis14
13
Ibid, h. 36. 14
Ibid, h.38.
13
Suatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum
internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan
kedua mazhab sebelumnya (Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Hukum Positif)
muncul di Perancis. Karena itu, Mazhab ini dikenal sebagai Mazhab Perancis.
Dalam garis besarnya, mazhab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum
internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor
yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa
faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar
mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami
manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup
bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan
naluri sosial manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau
bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut
mazhab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya
dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada
kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.
Pembahasan persoalan tempat atau kedudukan hukum intenasional dalam
rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu
jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian dari pada
hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan
apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagai suatu perangkat
ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang efektif yang benar-benar hidup didalam
kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan yang efektif pula dengan
14
ketentuan-ketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, di antaranya yang paling
penting adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia
dalam masing-masing lingkungan kebangsaan yang dikenal dengan nama hukum
nasional.
Di dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional
terdapat dua pandangan tentang hukum internasional ini yaitu pandangan yang
dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan
bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan
Negara. Berdasarkan pandangan ini maka muncul paham dualisme yang melihat
bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum
yang hidup berdampingan dan terpisah. Sedangkan pandangan obyektivis yang
menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan
Negara. Berdasarkan pandangan tersebut, maka munculah paham monisme yang
melihat hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. 15
Disamping itu terdapat juga teori transformasi,delegasi,dan harmonisasi.16
a) Teori Transformasi
Menurut teori transformasi, hukum internasional tidak akan pernah
berlaku sebelum konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi
bagian dari prinsip atau kaedah-kaedah hukum nasional. Agar dapat berlaku,
15
Ibid, h. 40. 16
I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung,
h.257.
15
maka prinsi-prinsip hukum internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian
dari prinsip-prinsip hukum nasional.
Proses transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap
Undang-undang. Perubahan dapat dilakukan dengan melakukan penambahan,
pengurangan atau pembaharuan secara keseluruhan terhadap isi Undang-undang
dan menggantikannya dengan yang baru. Proses perubahan tunduk dan diatur
dalam ketentuan-ketentuan hukum ketatanegaraan yang mekanisme kerjasamanya
dengan pembuatan Undang-undang, yaitu dilakukan dengan melakukan pengajuan
oleh DPR/DPRD atau presiden.
b) Teori Delegasi
Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan
ke hukum nasional yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah
hukum internasional kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional
atau dengan menerapkan kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan
sengketa nasional. Proses pendelegasian terjadi secara diam-diam (eksplisit)
melalui konstitusi suatu Negara. Pada umumnya, konstitusi suatu Negara dapat
menyelami kehendak dan maksud hukum internasional, hanya saja dalam
pelaksanaannya ketentuan dimaksud belum dapat pengaturan dan
implementasinya yang masih belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum
internasional.
c) Teori Harmonisasi
16
Teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai
hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh
hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui adanya konflik antar kedua hukum
tersebut). Berdasarkan pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah
“tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan
hukum nasional dengan batas-batas dan kewenangan yang berbeda.
Organisasi Internasional merupakan salah satu bentuk subyek hukum
Internasional, UNICEF merupakan salah satu bentuk dari organisasi Internasional
publik, banyak ahli hukum Internasional yang memberikan definisi tentang
organisasi Internasional. Organisasi Internasional, secara sederhana dapat
dideinisikan sebagai “Any cooperative arrangement instituted among states,
usually by a basic agreement, to perform some mutually advantageous functions
implemented through periodic meetings and staff activities ”. (Setiap pengaturan
pola kerjasama yang dilembagakan antara negara-negara, biasanya dengan
kesepakatan dasar, untuk melakukan beberapa fungsi yang saling menguntungkan
dilaksanakan melalui pertemuan berkala dan kegiatan staf).17
Jadi, organisasi internasional menurut pengertian sederhana diatas,
mencakup adanya 3 (tiga) unsur, yaitu :
1. Keterlibatan Negara dalam suatu pola kerjasama.
2. Adanya pertemuan-pertemuan secara berkala.
3. Adanya staf yang bekerja sebagai “pegawai sipil internasional”
(international civil servant).
17
Teuku May Rudy, 1993, Administrasi dan Organisasi Internasional, Pt Eresco,
Bandung, h. 2.
17
Menurut Sumaryo Suryokusumo berpendapat Organisasi Internasional
adalah suatu proses, organisasi internasional juga menyangkut aspek-aspek
perwakilan dari tingkat proses tersebut yang telah dicapai pada waktu tertentu.18
Organisasi-organisasi Internasional tumbuh karena adanya kebutuhan dan
kepentingan masyarakat antarbangsa untuk adanya wadah serta alat untuk
melaksanakan kerjasama Internasional. Sarana untuk mengkoordinasikan
kerjasama antarnegara dan antarbangsa ke arah pencapaian tujuan yang sama dan
yang perlu diusahakan secara bersama-sama.
L. Leonard dalam buku “International Organization” mengemukakan
pendapatnya bahwa “Souvereign states recognized the need for more suistined
methods of collaboration on numerous problems. States established international
organization to meet these specicific needs”.19
(Negara-negara berdaulat menydari
perlunya pengembangan cara/ metode kerjasama berkesinambungan yang lebih
baik mengenai penanggulangan berbagai masalah. Negara-negara membentuk
organisasi Internasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut).
Hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia
merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaanya
diyakini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.20
Menurut Miriam Budiardjo Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang
melekat pada diri kita, dan tanpa hak-hak itu kita tidak dapat hidup layak sebagai
18
Ade Marnan Suherman, 2003, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi
Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, PT Gahalia Indonesia, Jakarta, h.48. 19
Koesnadi Kertasasmita, 1987, Administrasi Internasional, FISIP Press UNPAD,
Bandung, h. 24 dan 39 20
Madja-El-Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, cet. IV,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.6.
18
manusia. Sedangkan Jack Donnely berpendapat hak asasi manusia adalah hak-hak
yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia
memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan
hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai
manusia.21
Dalam perkembangannya banyak para ahli filsafat hukum yang
memberikan dasar-dasar teori mengenai hak asasi manusia, dasar-dasar teori
tersebut dikembangkan untuk melindungi manusia untuk dapat hidup secara
damai.
Ada 4 prinsip yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, yakni :22
1. Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung
dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa
pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak
Anak, yakni : “Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin
hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada
dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun,
tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan,
etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status
lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang
sah”. (Ayat 1). “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah
yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk
21
HAR TILAAR, 2001, Dimensi-dimensi Hak Asasi Manusia Dalam Kurikulum
Persekolahan Indonesia, Pt Alumni , Jakarta, h. 21. 22
Supriyadi W. Eddyono,2005, Pengantar Konvensi Anak, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat ELSAM, Jakarta, h.2
19
diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan,
pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya
yang sah atau anggota keluarga”. (Ayat 2).
2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child). yaitu bahwa
dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif.
Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).
3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life,
survival and development). Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui
bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6
ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin
sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak
(Pasal 6 ayat 2).
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the
child). Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal
yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap
pengambilan keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi
Hak Anak, yaitu : “Negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak
yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk
menyatakan pandanganpandangannya secara bebas dalam semua hal yang
20
mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan
tingkat usia dan kematangan anak”.
Landasan teoritis mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) bersumber dari dua
teori yaitu :23
1. Teori Hukum Kodrati (Natural Law Theory)
Teori ini dipelopori oleh Thomas Aquinas, yang mana dalam
pembahasannya mengenai hukum beliau membedakan hukum menjadi
4 golongan yakni, lex Aterna (rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh
manusia), lex divina (rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia),
lex naturalis (hukum alam), dan lex positivis (hukum positif yang
datang dari tuhan maupun dibuat oleh manusia).
2. Teori Hak Kodrati (Natural Rights Theory)
Teori ini merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari teori
hukum kodrati, yang mana Natural Rights Theory ini dipelopori oleh
Jhon Locke. Didalam bukunya yang berjudul Two Treaties of Civil
Government, beliau menyatakan bahwa semua individu secara alamiah
dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan
menentukan tindakan, mendapatkan perlakuan, yang sama dan
merdeka.
Dimana Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang
ditetapkan dalam konvensi ini pada setiap anak dalam wilayah hukum mereka
tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, terlepas dari anak atau orang tua atau
23
LIli Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum , cet.I, Alumni, Bandung, h.29-30.
21
ras, wali sah, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat
lain, nasional, etnis atau asal-usul sosial, harta kekayaan,cacat kelahiran atau
status lainnya.
Pengertian perjanjian internasional dalam pengertian umum dan luas,
perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan,
traktat, ataupun konvensi adalah :24
“Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai
suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan
hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional.”
Demikian pula dari bagian hukum perjanjian Internasional Konvensi Wina
Tahun 1969 pasal 2b menyatakan:25
ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan
internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediannya atau melahirkan
persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian Internasional. Karena itu ratifikasi
tidak berlaku surut ,melainkan baru mengikat sejak penandatanganan ratifikasi.
Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang meratifikasi Konvensi hak-
hak anak atau CRC (Convention on the Right of the Child). Ratifikasi tersebut
terwujud dengan membentuk UU No. 23 Tahun 2002 dan telah dirubah dengan
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak.
Perlindungan anak merupakan masalah di setiap negara dan prioritas
tinggi untuk UNICEF. Bahwa konvensi tentang hak-hak anak dan perjanjian
24
I Wayan Pathiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional, CV Mandar Maju, Bandung,
h. 12. 25
Konvensi Wina Tahun 1969 Pasal 2b terjemahan bahasa Indonesia.
22
internasional lainnya, semua anak mempunyai hak untuk dilindungi dari bahaya.
Kegiatan UNICEF dipandu oleh kerangka normatif internasional yang ada
terhadap hak-hak anak, serta keputusan dan kebijakan Perserikatan Bangsa-
Bangsa sepakat dalam badan-badan antar pemerintah.
1.7 Metode Penelitian
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat
metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang
sistematis dari fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian
sistematis.26
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jelas
menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.27
Dalam penulisan skripsi ini metode penulisan yang digunakan penulis adalah
sebagai berikut :
a. Jenis Penelitian
Jenis penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini adalah
penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan
bahwa penelitian hukum normatif mencakup : penelitian terhadap asas-
26
Bambang Sunggono,2007, Metodologi Penelitian Hukum, Pt Raja Grafindo,Jakarta,
h.44. 27
Ibid.
23
asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap
taraf sinkronisasi, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan
hukum.28
Pendekatan normatif ini digunakan untuk menelaah ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan eksploitasi seksual anak di Indonesia
yang mana dalam hal ini terkait dengan Konvensi hak-hak anak, UU
perlindungan anak dan sejumlah pengaturan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan dengan eksploitasi seksual komersial anak.
b. Jenis Pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
:
a. Pendekatan Kasus (the cases approach)
b. Pendekatan Perundang-undangan (the statute approach)
c. Pendekatan fakta (the fact approach)
d. pendekatan analisis konsep hukum (analitical&conseptual approach)
e. pendekatan frasa (words&phrase approach)
f. pendekatan sejarah ( historical approach)
g. Pendekatan perbandingan (comperative approach)
Dalam karya tulis, penulis menggunakan pendekatan sejarah
(historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang dan
28
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,h.153.
24
perkembangan dari materi yang diteliti.29
Pendekatan perundang-undangan
(the statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua konvensi
internasional khususnya Konvensi hak-hak anak dan pendekatan fakta (the
fact aprroach), pendekatan fakta dilakukan dengan mengkaji fakta-fakta
yang terjadi dalam suatu masalah.
Pendekatan sejarah ini digunakan untuk meneliti latar belakang
eksploitasi seksual komersial anak yang hingga saat ini telah menambah
jumlah anak yang tereksploitasi secara seksual di Indonesia. Pendekatan
perundang-undangan digunakan untuk mempelajari hukum dan sanksi di
dalam ilmu hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang melahirkan
peraturan hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang
relevan dengan peran UNICEF dalam menangani eksploitasi seksual
komersial anak di Indonesia. Pendekatan fakta digunakan untu mengetahui
fakta-fakta yang terjadi dalam peningkatan jumlah anak yang
tereksploitasi secara seksual di Indonesia.
c. Bahan Hukum
Suatu penelitian normatif itu sumber datanya adalah data sekunder
yaitu data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan hukum,
yang merupakan hasil penelitian dan pengolaan orang lain, yang sudah
tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan
29
Mukti Fajar,op.cit, h.189.
25
diperpustakaaan, atau milik pribadi.30
Data sekunder itu sendiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.31
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat
dalam tulisan ini yang menjadi bahan hukum primer adalah Konvensi
hak-hak anak, perundang-undangan, dan hukum internasional.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat para sarjana hukum.
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum seknder.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan (library research) dimana
studi kepustakaan ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-
bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun
bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan
hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat,
mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan
hukum tersebut dengan melalui media internet.32
e. Teknik Analisis
Analisa data merupakan kegiatan dalaam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu
30
Hilman hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, h. 65. 31
Amiruddin, dan Zainal Asikin, 2004 ,Pengantar Metode Penelitian Hukum , PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.118. 32
Mukti Fajar,op,cit,h.160.
26
dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.33
Adapun teknik
pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian
dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.34
Bahan hukum
primer dan sekunder yang terkumpul selanjutnya diberikan penilaian
(evaluasi), kemudian dilakukan intepretasi hukum dan selanjutnya
diajukan argumentasi. Argumentasi disini dilakukan oleh penulis untuk
memberikan penilaian mengenai benar atau salah maupun apa yang
seharusnya menurutnya hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari
hasil penelitian. dan hal tersebut nantinya akan ditarika kesimpulan secara
sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang
satu dengan bahan hukum yang lain .
Teknik lainnya yang penulis gunakan adalah teknik analisis, yaitu
pemaparan secara detail dari penjelasan yang didapat pada tahap
sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini
sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling
berhubungan secara logis.35
33
Ibid, h. 183. 34
Rony Hanitijo,1991, Metode Penelitian Hukum, cet.II, Ghalia Indo, Jakarta, h.93. 35
Ibid.