bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdfindonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang luas dan merupakan negara hukum.
Pembangunan nasional dalam garis besar haluan negara mencakup semua aspek
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk mewujudkan
suatu masyarakat yang berkeadilan.
Adanya proses penegakan hukum yang baik hendaknya dapat berjalan sesuai
dengan apa yang diharapkan, atau tidak terjadi ketimpangan didalam proses
penerapannya. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum. Menegakan tertib hukum guna mencapai tujuan negara
Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan pancasila, maka dalam upaya mencapai tujuan tersebut tidaklah jarang
terjadi permasalahan-permasalahan hukum yang disebabkan karena luasanya negara
Indonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di negara ini yang kompleks
terjadi dalam aspek perkembangan hukum di Indonesia, Selain itu para pihak
(pejabat) dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum
yang berlaku di Indonesia saat ini.
2
Hukum merupakan hasil dari interaksi sosial dengan kehidupan masyarakat.
Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya,
berubahnya,lenyapnya ) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan
hukum merupakan kaca dari pembangunan masyarakat.1
Bicara pembangunan hukum kuat dan merata diseluruh kalangan masyarakat,
maka dari itu pembangunan hukum tersebut dapat dikatakan berjalan sesuai dengan
rencana, namun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa didalam proses pembangunan
hukum yang kuat masih banyak terjadi kendala, misalnya saja hukum di Indonesia ini
seakan menjadi milik segelintir orang yang mempunyai kedudukan penting di negara
ini, mereka bisa dengan mudah membeli hukum itu sendiri, namun dilain pihak
masyarakat terus menjerit ketika hukum tersebut tidak lagi berpihak kepadanya.
Masyarakat di buat frustasi dengan keadaan seperti ini, hak asasi manusia (HAM)
yang ada seakan tidak dapat menolongnya. Keadaan seperti ini membuat masyarakat
tidak memiliki jalan keluar lain, sehingga mereka melakukan tindak kejahatan yang
berdampak pada di jebloskannya orang tersebut ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang
kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang berkekuatan
hukum tetap selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai
narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar
nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
1Riduan Syahrini, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.51.
3
hukum pidana itu sendiri yaitu, untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat
dengan cara melaksanakan dan menegakan aturan hukum pidana demi terciptanya
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.2
Penjatuhan pidana kepada seseorang dengan menempatkannya kedalam
Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya melihat bahwa pidana adalah alat untuk
menegakan tata tertib dalam masyarakat.Pidana adalah alat untuk mencegah
timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara,
sehingga dengan dimasukannya ke dalam Lembaga Pemasyarakatan orang tersebut
tidak mengulangi perbuatannya.
Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga
Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana.
Disini akan sedikit dijabarkan mengenai apa itu Lembaga Pemasyarakatan,
narapidana dan proses pembinaannya. Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan ( Selanjutnya di sebut UU Pemasyarakatan ) khususnya
Pasal 1 angka ke-3 menyebutkan bahwa pengertian“Lembaga Pemasyarakatan yang
selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka
ke-7 menyebutkan bahwa narapidanaadalah “terpidana yang menjalani hilang
kemerdekannya di Lapas”.
2Muhammad Zainal Abidin & I wayan Edy Kurniawan, 2013, CatatanMahasiswaPidana, Indie
Publishing, Depok, hal. 6.
4
Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah
Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa
narapidana (napi) atau bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang
tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau
tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan
tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu
lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.
Pidana penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat sebagai
adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, oleh karena itu
pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan. sistem kepenjaraan
yang di gunakan tidak konsisten dan sistem perlakuan yang diterapkan sifatnya
kurang mendidik para narapidana.Selain itu, dalam sistem penjara, hak-hak asasi
manusia sangat tidak di perhatikan. Narapidana di perlakukan secara tidak manusiawi
dan tidak kenal perikemanusiaan.Itu sebabnya mengapa dikatakan secara
konsepsional sistem kepenjaraan bertentangan dengan tujuan yang dianutnya, dan
sistem kepenjaraan tidak sesuai untuk di terapkan.
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman
Sahardjo pada tahun1963. Tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan
hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang
yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan utama didirikannya
5
Lembaga Pemasyarakatan yang disebutkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan yaitu
membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta menjadi warga negara yang baik
dan bertanggung jawab. Hal ini bertujuan supaya fungsi Lembaga Pemasyarakatan
untuk menyiapkan warga binaan permayarakatan agar dapat berintegritas secara sehat
dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU
Pemasyarakatan dapat terwujud. Tak lepas juga pola pembinaan (pembinaan karakter,
pembinaan mental, dan pembinaan iman) dalam Lembaga Pemasyarakatan harus
benar-benar dijalankan.
Pembinaan Narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan,
pembinaan narapidana diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999
tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya ditulis PP No.31
Tahun 1999 ), yakni dalam ketentuan :
Pasal 2 PP No. 31 Tahun 1999
(1) program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan
pembimbingan kepribadian dan kemandirian.
(2) program pembinaan diperuntukan bagi narapidana dan anak didik
pemasyarakatan
6
(3) program pembimbingan
Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan dan
bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan
kemandirian. Semua ini dilakukan bawasannya narapidana merupakan masyarakat
dari bangsa Indonesia sendiri yang mempunyai hak-hak yang patut dipenuhi,
diantaranya hak untuk hidup dan hak atas perlindungan dan bebas dari ancaman.
Hak-hak yang dimiliki oleh narapidana hendaknya dapat diberikan dengan
jalan adanya pembinaan kepribadian yang diarahkan pada pembinaan mental dan
watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab
kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, sedangkan pembinaan kemandirian
diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar nantinya narapidana dapat
kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Perkembangan tujuan pembinaan narapidana berkaitan erat dengan tujuan pembinaan.
Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal yaitu :
a. Setelah keluar dari Lapas tidak lagi melakukan pidana.
b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun
bangsa dan Negara.
7
c. Mampu mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa dan mendekatkan
kebahagiaan di duia maupun di akhirat3.
Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada kenyataannya tidak
sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh dimasyarakat.
dalam hal ini yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakikat hidup
yang tumbuh di masyarakat maksudnya dalam pembinaan narapidana para petugas
pembina narapidana terkadang melakukan penyimpangan dalam melaksanakan
tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum yang berlaku seperti yang
diamanahkan pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan mengenai hak-hak
narapidana dan dalam ketentuan PP No.31/1999 tentang Pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan, merupakan dasar bagaimana seharusnya narapidana diberlakukan
dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pemindanaan yang terpadu.
Pembinaan yang diberikan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar masih berada jauh dibawah standarisasi nasional, masih banyak
terjadi penyimpangan dan pelanggaran di Lembaga Pemasyarakatan yang terbesar di
Bali tersebut.4 Sebagai contoh nyata adalah peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh
narapidana hingga berujung pada pembakaran sejumlah fasilitas Lembaga
3Andi Hamzah, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia, Cetakan Pertama,
Nopember, Jakarta, hal.17.
4Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/Lapas/denpasar pada 17 Mei 2013 Pukul 11.38
8
Pemasyarakatan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2012.5 Kerusuhan yang
diwarnai aksi pembakaran tersebut bermula dari peristiwa penusukan pada narapidana
yang dilakukan oleh narapidana lain terkait adanya perlakuan khusus atau sikap
diskriminasi oleh petugas pemasyarakatan yang dianggap tidak adil.6
Peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar juga
disebabkan terkait dengan terjadinya over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Denpasar. Lembaga Pemasyarakatan yang berkapasitas 336 hunian, pada
kenyataannya dihuni oleh sekitar 1.050 Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdiri
dari narapidana dan tahanan.7 Sementara itu, faktor internal terkait dengan terjadinya
kerusuhan tersebut dikarenakan terbatasnya jumlah petugas keamanan
Pemasyarakatan, minimnya Sumber Daya Manusia petugas pemasyrakatan dan
kurangnya pemahaman dari petugas pemasyarakatan terhadap P.P.L.P (Peraturan
Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan) yang wajib dibawa dan dipahami ketika
melakukan pengawasan terhadap narapidana.8
Pembinaan terhadap narapidana merupakan komponen penting yang tidak
dapat dipisahkan dalam menjalankan sistem pemasyarakatan yang berlandaskan
5Kerusuhan di Lapas Klas IIA Denpasar, Bali Post, 29 Februari, 2012, hal.1.
6Diakses dari http://www.nasional.new.viva.co.id/read/news/290303-ada-senjata-yang-dirampas-
napi-kerobokan 22 Oktober 2014 Pukul 12.34.
7Diakses dari http://www.regional.kompas.com/read/inilah-penyebab-kerusuhan-Lapas-kerobokan
, 24 Oktober 2014 pukul 12.57.
8Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009, Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, hal.136.
9
pengayoman oleh setiap Lapas Khususnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar. Sistem keamanan sebagai langkah awal dari pembinaan terhadap
narapidana harus berjalan seimbang, sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan dapat
memahami dan mematuhi segala peraturan yang berlaku di Lembaga
Pemasyarakayan Klas IIA Denpasar pada khususnya. Apabila semua proses tersebut
sudah diterapkan dan dilaksanakan dengan benar sesuai ketentuan undang-undang
yang berlaku, maka akan tercipta ketertiban dan keharmonisan terhadap seluruh
penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi narapidana, tahanan, anak didik
pemasyarakatan, petugas Lembaga Pemasyarakatan, sehingga penyelenggaraan
pembinaan berjalan dengan lancar. Pada akhirnya narapidana siap untuk
dikembalikan kepada masyarakat dan diharapkan tidak akan mengulangi tindak
pidana lagi serta menjadi warga yang baik dan bertanggung jawab sesuai yang
diamanatkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan.9
Berdasarkan latar belakang bahwa terdapat ketimpangan dalam hal pembinaan
terhadap narapidana sesuai yang diamanahkan Pasal 2 UU pemasyarakatan, maka
mengangkat permasalahan ini ke dalam skripsi yang berjudul
“EFEKTIVITASLEMBAGAPEMASYARAKATANDALAMPEMBINAANNA
RAPIDANA DI LAPAS KLAS IIA DENPASAR”.
9Ibid, hal.32.
10
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga
PemasyarakatanKlas IIA Denpasar ?
2. Apa yang Menjadi Faktor Penghambat dalam Pembinaan Narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana Upaya
Penanggulangannya ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan sebagaimana yang telah
diuraikan, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang
lingkup permasalahan dalam penulisan penelitian ini.
Pokok permasalahan yang pertama dalam penulisan skripsi ini, akan dibahas
mengenai pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
Ruang lingkup masalah ini diperlukan untuk menghindari terjadinya kekaburan
permasalahan yang akan dibahas. Pelaksanaan pembinaan meliputi program
pembinaan apa saja yang diberikan kepada seluruh narapidana dalam sistem
pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, karena
pembinaan yang dilakukan sangat penting dan wajib diperoleh setiap narapidana, oleh
karena fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan
11
pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU Pemasyarakatan, sehingga narapidana yang
sudah diberikan pembinaan serta pembekalan oleh pihak Lembaga
PemasyarakatanKlas IIA Denpasar siap untuk dikembalikan ke dalam masyarakat dan
tentunya tidak mengulangi perbuatannya.
Pokok permasalahan yang kedua akan dibahas mengenai faktor apa saja yang
dapat menghambat kelangsungan pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana
khsususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, selain itu akan dibahas
pula mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
1.4 Orisinalitas
Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat dilihat
perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu skripsi berjudul Pembinaan
Narapidana Lanjut Usia di Lapas Karang Asem dengan penulis bernama Agung
Beliferdo di Fakultas Hukum Universitas Udayana pada tahun 2013. Dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di LP kelas II A
kabupaten Karangasem?
12
2. Faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana lanjut usia
dan upaya apa yang dilakukan ?
Adapun skripsi lain berjudul Efektivitas Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dengan penulis bernama Realizhar Adillah
Kharisma Ramadhan di Universitas Hasanudin Makasar pada tahun 2013. Dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika Klas II A Sungguminasa dalam menekan angka ketergantungan
Narkotika bagi warga binaan?
2. Bagaimanakah efektifitas pelaksanaan pidana pelaku penyalahgunaan narkotika
di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa ?
Penulis dapat memastikan bahwa penelitian yang dilakukan dapat terjamin
keorisinalitasannya dan berbeda dengan skripsi yang telah di sebutkan di atas. Karena
dalam penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada efektivitas Lembaga
Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus
13
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk
memperoleh pemahaman mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam
pembinaan narapidana di Lembaga PemasyarakatanKlas IIA Denpasar.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelenggaraan pembinaan terhadap
Narapidanadi LapasKlas IIA Denpasar
2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
memaksimalkan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan
wawasan bagi para pembaca tentang bagaimana efektivitas Lembaga Pemasyarakatan
dalam pembinaannarapidanakhususnya di Lapas Klas IIA Denpasar sebagaimana
yang diamanahkan dalam ketentuan undang-undang yang mengatur. Adapaun
manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memperoleh pencerahan tentang
permasalahan hukum yang dihadapi sehingga dapat menjadi dasar pemikiran yang
14
teoritis, bahwa suatu Perundangan-undangan yang ada belum tentu berjalan sesuai,
serta sempurna dalam prakteknya.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi penulis, penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan informasi dalam
menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah-masalah terhadap
permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi, khususnya mengenai
efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaannarapidana.
2. Bagi Petugas Lapas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi
dalam hal membuat perencanaan pembinaan Narapidana yang berlandaskan
UU Pemasyarakatan agar efektivitas Lapas tersebut dalam memberikan
pembinaan dapat terjamin.
3. Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan sebagai
bahan dalam mengambil dan membuat kebijakan yang akan dilaksanakan
dalam upaya peningkatan pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan.
1.7 Landasan Teoritis
Secara umum Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah pengawasan
direktorat jenderal pemasyarakatan( Dirjenpas ) Departemen Hukum dan Ham RI,
dimana departemen ini bertugas mengayomi masyarakat dalam bidang hukum dan
15
hak asasi manusia. Kewenangan departemen ini ditangan pemerintah pusat yang
diserahkan menjadi kewenangan daerah otonom.10
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk memproses atau memperbaiki
seseorang ( people processing organization ), dimana input maupun outputnya adalah
manusia yang dilabelkan penjahat.11
Demi mewujudkan sistem pemasyarakatan yang
berlandaskan pancasila, maka dibentuklah UU Pemasyarakatan. Secara yuridis
Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam UU No.12 Tahun
1995tentangPemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (3) UU No.12 Tahun
1995tentang Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Sedangkan
sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan
secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat agar menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
10Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009 Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan,hal.136.
11
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, hal. 124.
16
Berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 1995tentangPemasyarakatanPasal 1
angka ke-1 yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan
pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan
cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.
Selain itu berdasarkan surat keputusan kepala daerah direktorat
pemasyarakatan No.K.P.10/3/7, tanggal 8 Februari 1965, dimana disampaikan suatu
konsepsi pemasyarakatan, yaitu :pemasyarakatan adalah suatu proses, proses
therapeuntie dimana si narapidana pada masuk Lapas berada dalam keadaan tidak
harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan
masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari
unsur-unsur lain dalam masyarakat yang sekelilingnya tersebut merupakan suatu
keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dalam penghidupan, tersembuhkan
dari segi-segi yang merugikan (negatif).
Secara umum Lembaga Pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana fisik
yang cukup memadai bagi pelaksana seluruh proses sistem pemasyarakatan terhadap
narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti adanya sarana perkantoran, sarana
perawatan (balai pengobatan), sarana untuk melakukan peribadatan sesuai dengan
kepercayaan yang dipeluk setiap Warga Binaan Pemasyarakatan, sarana pendidikan
dan perpustakaan, sarana olahraga baik diluar ruangan (outdor) maupun didalam
ruangan (indoor),sarana sosial yang terdiri dari tempat kunjungan keluarga, aula
17
pertemuan, sarana konsultasi, dan sarana transportasi (mobil dinas). Narapidana
diberikan makanan tiga kali sehari pagi, siang, dan sore setiap harinya.12
Pembinaan terhadap narapidana dikenal dengan nama pemasyarakatan.
pembinaan dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU
Pemasyarakatan yang dimaksud dengan petugas pemasyarakatan adalah pejabat
fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan,
pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Tujuan dari
pembinaan menurut Pasal 2 UU Pemasyarakatan adalah untuk membentuk warga
binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat kembali ke dalam
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, hidup wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Untuk melaksanakan proses pembinaan, maka dikenal 10 prinsip pokok
pemasyarakatan, yaitu :
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara
3. Rasa tobat tidaklah dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan
4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih
jahat dari pada ia sebelum masuk Lapas
12Ibid,hal.174.
18
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan
kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu semata hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja.
Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan negara
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan terhadap narapidana harus berdasarkan
pancasila
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun
ia telah tersesat
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
10. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem
pemasyarakatan.13
Pembinaan narapidana tidak hanya pembinaan terhadap mental spritual
(pembinaan kemandirian), tapi juga pemberian pekerjaan selama berada di Lembaga
Pemasyarakatan (pembinaan keterampilan) dan olahraga. Berdasarkan Pasal 2 dan
Pasal 3 PP No. 31 Tahun 1999, pelaksanaan pembinaan meliputi kepribadian dan
kemandirian.
Hukum pidana mengenal teori penjatuhan pidana, Ada tiga teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana :14
13A Josias dan Simon R-Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan di
Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1.
19
1. Teori absolute atau teori pembalasan ( Vergeldings theorin )
2. Teori relative atau Tujuan ( doeltheorien )
3. Teori gabungan ( Verenigings theorien )
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18.Teori pembalasan
mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti
memperbaiki penjahat.Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk
dijatuhkannya pidana.Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu
kejahatan.Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan.Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.15
Pidana terlepas dari dampaknya dimasa depan, karena telah dilakukan suatu
kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, dalam ajaran absolute ini terdapat
keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana
sebenarnya tidak berguna bahkan memiliki dampak yang lebih buruk terhadap pelaku
kejahatan. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah
yaitu :
a. Ditujukan pada penjahatnya ( Sudut Subjektif )
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan
masyarakat ( Sudut Objektif )
14 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
1993,hal.21.
15
Ibid, hal. 29.
20
Teori yang kedua ialah teori relativeatau teori tujuan. Teori ini berpangkal
pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib ( hukum ) dalam
masyarakat. Pidana adalah untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan
agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara.Dalam teori relatif penjatuhan pidana
tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni agar
seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Sementara itu, sifat pencegahan dari teori
ini ada 2 ancaman yaitu :
a. Teori pencegahan umum. Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada
penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan.
Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar
masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan
penjahat itu.
b. Teori pencegahan khusus. Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah
pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan
kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak
mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata.
Teori yang ketiga adalah teori gabungan.Teori ini mendasarkan pidana pada
asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain, dua
alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
21
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankan tata tertib dimasyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.16
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa inggris
“effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan memiliki makna
“berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna “berhasil guna”.
Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil-
gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu
sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektivitas hukum berarti
keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk mengatur pergaulan
hidup masyarakat secara damai.17
Secara terminologi pakar hukum dan sosiologi
hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam,
bergantung pada sudut pandang masing-masing. Soerjono Soekanto berbicara
mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga
masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya.18
Efektivitas hukum
16Muhammad zainal abidin & Iwayan Edy kurniawan, Op.cit, hal. 39
17
Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30,
hal.11.
18
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, hal.62.
22
dilain pihak juga dipandang sebagai tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono
Soekanto, dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan
atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya
telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang
ditetapkan dalam hal ini hukum.19
Efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik
penegak hukum, subtansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak
terjadi ketimpangan antara das solendan das sein. Hal ini sesuai dengan pendapat
Lawrence M.Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem hukum terdapat
tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum.20
Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi termasuk
didalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan
dengan hakimnya. Substansi adalah keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum
dan norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis termasuk putusan
pengadilan. Kultur hukum diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara
bertindak dan cara berpikir.
19
Ibid, hal.20.
20
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial
Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal.
Kencana, Jakarta, hal.225
23
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto, antara lain :21
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi Undang-
Undang saja
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-undangan, Struktur Hukum
itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat dipahami
budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat.
Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup
bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota
masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
21Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo,
Jakarta,hal.5.
24
kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam bukunya
Primitive Culture di New York.22
Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada
kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya bukan
hanya seni.
penulisan ini menggunakan teori pemasyarakatan, teori efektivitas hukum,
dan teori pemidanaan khususnya teori tujuan (relative).
1.8 Metode Penelitian
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis empiris. Pendekatan
yuridis artinya mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan pendekatan dari segi empiris yaitu permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat. Pendekatan empirisadalah penelitian hukumpositif tidak tertulis
mengenai perilaku angggota masyarakat dalam hubungan hidup
22Hassan Shadily, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta, hal.81.
25
bermasyarakat.Penelitian hukum empiris bertujuan untuk mengetahui sejarah mana
bekerjanya hukum di dalam masyarakat.23
Penelitian yuridis empiris ini, permasalahan dikaji dengan melakukan
pendekatan langsung di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu dalam hal pelaksanaan
pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar lalu dikaitkan dengan ketentuan Perundang-
undangan yang berlaku yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31/1999 khususnya
Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan.
b. Jenis Pendekatan
Pembahasan dalam penelitian ini akan di kaji dengan pendekatan Perundang-
undangan ( the statue approach ), pendekatan analisis konseptual (analitycal and
conceptual approach), dan pendekatan Fakta (The Fact Approach). Pendekatan
Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan Perundang-undangan
yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan,
kemudian dikaitkan dengan permasalahan pelaksanaan pembinaan di Lapas Klas IIA
Denpasar. Pendekatan konseptual, yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum,
Seperti sumber hukum, fungsi hukum, lembaga hukum, dan sebagainya.Pendekatan
fakta dalam hal ini penulis juga melihat fakta – fakta yang ada diLapas Klas IIA
Denpasar yang berkaitan dengan efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam
Pembinaan narapidana.
23Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar,
hal.68.
26
c. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yaitu deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula
didalamnya ilmu hukum yang bertujuan menggambarkan secara komferhensif gejala-
gejala dalam masyarakat. Serta, menghubungkan antara gejala satu dengan gejala
lainnya.24
Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan mengenai
penyelenggaraan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar.
d. Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data
primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang bersumber dari suatu penelitian lapangan, yaitu
suatu data yang diperoleh langsung dari sumber lapangan yaitu baik dari
responden maupun informan. Data primer yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara langsung di ruang Kepala
Pengamanan Lapas dan di ruang Kasi. Binadik Lapas Klas IIA Denpasar.
2. Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan,
yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,
melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan. Terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
24Zainudin Ali, 2009, Merode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.25.
27
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji Menyatakan bahwa dalam suatu
penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan-bahan
hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan mengenai
bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).25
Ketiga bahan hukum tersebut disebut data sekunder yang memiliki kekuatan
mengikat. Bahan hukum primer yang terdiri dari Peraturan Perundang-undangan,
yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
e. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a) Teknik Wawancara
Teknik wawancara menurut Norman K.Densim dapatlah diartikan
sebagai “any face to conversational excange where one person elicits
information from another”26
yang dimaksud dengan hal ini adalah segala
bentuk percakapan, dimana seseorang mendapatkan informasi dari orang lain.
Teknik wawancara yang dilakukan dengan cara mengajukan beberapa
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali, Jakarta, hal.39.
26
Sri Mamuji, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 47.
28
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan
permasalahan penelitian terhadap Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala
Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, Bapak I
Wayan Putu Sutresna selaku Kasi. Bimbingan napi dna anak didik, dan Bapak
Mikha Simanjuntak sebagai staff bimbingan kemasyarakatan dan perawatan
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
b) Teknik Studi Dokumen
Teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP No.31/1999
serta bahan bacaan yang berkaitan dengan efektivitas Lapas dalam pembinaan
narapidana.
f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan teknik
non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan mencari key
information (informasi kunci) ataupun responden kecil yang dianggap mengetahui
tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.
g. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
dengan menggunakan analisa kualitatif. Kualitatif yaitu menganalisis atau
29
menggambarkan data hasil penelitian dilapangan dengan cara kata-kata tanpa
menganalisis angka dan selanjutnya pengolahan data disajikan secara deskriptif
analisis yaitu menggambarkan secara lengkap tentang aspek yang berkaitan dengan
masalah berdasarkan literatur dan data lapangan. Kemudian pengolahan dan analisis
data dilakukan dengan cara deskripsi, sistematis dan eksplanasi