bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · pelayanan penunjang medis, pelayanan keperawatan,...
TRANSCRIPT
1 Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kesehatan dan stamina tubuh perlu diperhatikan supaya tidak menurun dan
terjaga baik, tetapi umumnya seseorang baru menyadari betapa pentingnya
kesehatan setelah mengalami adanya gangguan/keluhan pada tubuhnya, bahkan
terkadang sebagian orang menganggap enteng (membiarkan) gangguan/keluhan
yang terjadi sehingga akhirnya menjadi bertambah parah/kronis.
(http://kesehatan.kompasiana.com). Individu yang mengalami gangguan
kesehatan memerlukan pelayanan medis. Salah satu sarana kesehatan yang
menyediakan pelayanan medis tersebut adalah rumah sakit.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.539/MenKes/SK/VI/1994, rumah sakit didefinisikan sebagai unit organisasi di
lingkungan departemen kesehatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada dirjen pelayanan medik, yang dipimpin oleh seorang kepala
rumah sakit dan mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya
guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan
pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan
dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. Fungsi rumah sakit meliputi
fungsi profesional (menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medis,
pelayanan penunjang medis, pelayanan keperawatan, pelayanan rehabilitasi
kesehatan, pencegahan serta peningkatan kesehatan; sebagai tempat pendidikan
2
dan pelatihan tenaga medis dan paramedis; sebagai tempat penelitian serta
pengembangan ilmu dan teknologi bidang kesehatan), fungsi sosial (memberikan
fasilitas perawatan pada penderita yang tidak mampu), dan fungsi rujukan
(penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan
tanggung jawab secara timbal balik atas masalah yang timbul, baik vertikal
maupun horisontal). Oleh karena itu, pelayanan medis di rumah sakit penting bagi
kesehatan masyarakat, baik dalam upaya penyembuhan maupun pencegahan.
Menurut Badan Pusat Statistik, estimasi jumlah penduduk Indonesia tahun
2011 berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 241.182.182 jiwa.
Namun, banyaknya tempat pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini masih jauh
di bawah populasi penduduk yang membutuhkan perbaikan taraf kesehatan.
Berdasarkan data sumber daya kesehatan tahun 2010, jumlah Rumah Sakit
Pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan organisasi non profit) yaitu
1.406, sedangkan jumlah Rumah Sakit Swasta (BUMN, perusahaan, perorangan,
dan swasta lainnya) yaitu 316. Saat ini rasio tenaga kerja perawat kesehatan
terhadap populasi penduduk Indonesia adalah 67 orang perawat per 100.000
penduduk (http://www.infodokterku.com/). Angka perbandingan tersebut
menunjukkan bahwa perawat perlu bekerja ekstra dalam melayani dan memenuhi
kebutuhan pasien agar tidak ada pasien yang terabaikan.
Salah satu rumah sakit yang cukup besar di kota Bandung adalah Rumah
Sakit “X” Bandung. Sebagai salah satu rumah sakit swasta yang menyediakan
pelayanan kesehatan, Rumah Sakit “X” Bandung didirikan pertama kali pada
tahun 1900 sebagai rumah pengobatan. Pada Juli 1949, Rumah Sakit “X”
3
Bandung diserahkan kepada sebuah Gereja untuk dikelola oleh Yayasan. Sejak
tahun 1965, Rumah Sakit “X” Bandung bekerja sama dengan salah satu
universitas swasta di Bandung untuk dipergunakan sebagai Rumah Sakit
Pendidikan. Rumah Sakit “X” Bandung adalah rumah sakit pendidikan utama
yang merupakan wahana pendidikan, pelayanan, penelitian dan pengembangan
untuk tenaga profesi dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya. Visi
Rumah Sakit “X” Bandung adalah menjadi rumah sakit pendidikan rujukan dan
penyedia pelayanan kesehatan terkemuka bagi masyarakat Jawa Barat pada tahun
2013 sebagai wujud cinta kasih Allah. Misi Rumah Sakit “X” Bandung, yaitu
memberikan pelayanan kesehatan paripurna yang bermutu sesuai dengan harapan
pelanggan, menjadi wahana pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan untuk
menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dan beretika, serta melandasi
pelayanan sebagai wujud cinta kasih Allah (http://www.rsx.com/). Dengan
demikian, pelayanan kesehatan yang diberikan Rumah Sakit “X” Bandung
merujuk pada visi dan misi tersebut.
Berdasarkan keterangan bidang SPI Rumah Sakit “X” Bandung, survei
akreditasi oleh Kemenkes (Juni 2010) menunjukkan bahwa status akreditasi
Rumah Sakit “X” Bandung saat ini adalah Akreditasi Penuh dengan tipe B.
Artinya, Rumah Sakit “X” Bandung mampu memberikan pelayanan kedokteran
spesialis dan subspesialis terbatas, serta telah memenuhi 16 bidang kriteria
penilaian dengan perolehan skor di atas 75%. Bidang kriteria penilaian tersebut
dibagi menjadi empat ranah besar, yaitu Bidang Administrasi, Bidang Medis I,
Bidang Medis II, dan Bidang Keperawatan. Bidang yang berkaitan dengan
4
keperawatan, yaitu Pelayanan Keperawatan, Pelayanan Gizi Nutrisi Klinik,
Pelayanan Peristik, dan Pelayanan Infeksi Nosokomial. Surveyor
merekomendasikan Bidang Keperawatan Rumah Sakit “X” Bandung untuk
mengadakan seminar yang dapat meningkatkan kemampuan perawat karena
seminar yang diadakan selama ini belum sesuai sasaran. Hal ini penting untuk
diperhatikan mengingat pentingnya peran perawat dalam melayani pasien.
Sumber daya manusia (SDM) terbanyak yang berinteraksi secara langsung
dengan pasien di rumah sakit adalah perawat. Perawat merupakan ujung tombak
dalam pelayanan kesehatan dan mempunyai peran strategis bersama dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan pembangunan kesehatan.
Diharapkan para perawat mampu memberikan pelayanan yang aman bagi pasien
dan masyarakat, memberikan pelayanan secara profesional, berkinerja tinggi serta
peduli (caring) sehingga bisa mengurangi beban psikologis dari pasien.
(http://health.detik.com)
Rumah Sakit “X” Bandung Bandung memiliki 384 orang tenaga perawat
yang memberikan pelayanan selama 24 jam sehari yang dibagi menjadi tiga shift,
yaitu pagi (07.00-14.00), siang (14.00-21.00), dan malam (21.00-07.00). Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit “X” Bandung dibagi menjadi empat kelas, yaitu kelas III
dan kelas II (Prima I), serta kelas I dan kelas VIP (Prima II). Prima I dan Prima II
masing-masing terdiri dari 9 ruangan. Prima I dan Prima II berbeda dalam hal
harganya (market share). Tingkat ekonomi pasien di Prima I umumnya lebih
rendah daripada pasien di Prima II.
5
Berdasarkan pengalaman yang dikemukakan oleh Kepala Bidang
Keperawatan, Supyono, M. Kep., pasien di Prima I lebih banyak permintaan atau
kebutuhannya. Dengan demikian, dalam melayani pasien di Prima I memerlukan
effort yang lebih besar dibanding melayani pasien di Prima II. Selain itu, Prima I
merupakan satu-satunya bagian di Rumah Sakit “X” Bandung yang menjadi
wadah untuk pendidikan dan pelatihan perawat baru. Di samping menangani
pasien, perawat senior juga diharapkan dapat mendidik dan melatih, baik para
perawat baru maupun perawat orientasi/pemantapan.
Prima I memiliki 165 orang tenaga perawat, yang terbagi atas perawat
primer dan perawat asosiate. Perawat primer merupakan perawat senior yang telah
memiliki pengalaman sebagai perawat asosiate minimal tiga tahun untuk D-III
atau satu tahun untuk S-I dan dianggap layak untuk menerima tanggung jawabnya
sebagai perawat primer; Sedangkan, perawat asosiate merupakan para perawat
baru yang masih perlu disupervisi dan dilatih. Jumlah perawat primer di Prima I
adalah 96 orang (19 orang laki-laki dan 77 orang perempuan) dan sisanya
merupakan perawat asosiate.
Struktur organisasi Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung
dikepalai oleh seorang Direktur Utama Pelayanan Medik/Keperawatan. Kepala
Instalasi Rawat Inap dan Wakil Kepala Instalasi Rawat Inap membawahi delapan
orang Kepala Ruangan. Seorang Kepala Ruangan membawahi beberapa orang
perawat primer yang terkadang sekaligus menjabat sebagai Penanggung Jawab
Shift. Masing-masing perawat primer membawahi satu atau lebih perawat
asosiate. Baik perawat primer maupun perawat asosiate melakukan interaksi
6
secara langsung dengan pasien. Perbedaannya terletak pada tugas dan sistem
pertanggungjawabannya.
Jumlah pasien yang dimonitor oleh seorang perawat primer bervariasi,
berdasarkan jumlah pasien per ruangan dalam suatu kurun waktu tertentu.
Seorang pasien yang baru masuk untuk dirawat langsung dibebankan pada
seorang perawat primer yang harus bertanggung jawab sampai pasien tersebut
keluar dari rumah sakit. Begitu seterusnya dengan pembagian yang diusahakan
merata bagi masing-masing perawat primer. Dengan jumlah yang tidak menentu
tersebut, dimungkinkan pula terjadinya ledakan pasien (overload) yang akan
mempengaruhi kinerja para perawat, khususnya perawat primer.
Perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung
bertugas untuk melakukan, mengkaji, dan mendokumentasikan asuhan
keperawatan pasien dari masuk hingga keluar rumah sakit, serta melakukan
bimbingan, pengarahan, dan pendampingan klinik kepada perawat asosiate atau
perawat masa orientasi (Uraian Tugas dan Persyaratan Jabatan Instalasi Rawat
Inap Rev. 01, 2009). Dengan kata lain, perawat primer memiliki tugas dan
tanggung jawab yang besar.
Berdasarkan form penilaian kinerja (performance appraisal) perawat
pelaksana Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung, diharapkan
perawat mampu membina hubungan terapeutik dengan pasien, mengikuti program
perkembangan karir perawat, serta membina hubungan baik dengan rekan kerja,
baik dalam satu instalasi maupun dengan instalasi lain. Hal itu diperlukan dalam
rangka memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien.
7
Dalam mencapai efektivitas dan efisiensi fungsi rumah sakit, para perawat
sebaiknya tidak hanya menjalankan peran sebagaimana standar yang tercantum
secara resmi (job description) dari rumah sakit, melainkan dapat secara aktif-
kreatif dan penuh inisiatif dalam menjalankan perannya sebagai perawat.
Partisipasi perawat dengan segala kelebihan dan kekurangannya untuk
mewujudkan visi rumah sakit tidak akan cukup jika hanya mengandalkan job
description saja. Begitu pula para perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I
Rumah Sakit “X” Bandung, diharapkan mereka dapat menjalankan peran melebihi
standar yang tercantum secara resmi untuk menunjang efektivitas dan efisiensi
fungsi Rumah Sakit “X” Bandung.
Organizational citizenship behavior (OCB) adalah perilaku individu yang
bersifat sukarela, yang secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh
sistem reward formal, dan memberi kontribusi pada efektivitas dan efisiensi
fungsi dalam organisasi. (Organ, 2006) Dengan kata lain, perilaku OCB tidak
tercantum secara spesifik di dalam susunan job description karyawan dalam suatu
pekerjaan. Karyawan bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan
perilaku tertentu yang menunjang keberhasilan organisasi, di luar tugas dan
tanggung jawabnya sebagai karyawan. Apabila karyawan memilih untuk
melakukan perilaku tersebut, tidak ada insentif tambahan yang akan diterimanya.
Istilah OCB merujuk pada perilaku extra-role dalam organisasi. Menurut
Podsakoff (1980, dalam Organ 2006), OCB terdiri dari lima dimensi, yaitu
altruism, courtesy, sportmanship, civic virtue, dan conscientousness. Altruism
merupakan perilaku sukarela yang dilakukan oleh karyawan dalam menolong
8
rekan kerjanya yang mengalami masalah terkait organisasi. Conscientiousness
merupakan perilaku sukarela yang dilakukan oleh karyawan yang melebihi peran
minimum yang diharapkan organisasi. Sportmanship merupakan perilaku yang
memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa
mengajukan keberatan-keberatan. Courtesy merupakan perilaku sukarela yang
dilakukan karyawan untuk menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar
terhindar dari masalah-masalah yang terkait pekerjaan. Civic virtue merupakan
perilaku yang mengindikasikan karyawan berpartisipasi secara bertanggung
jawab, termasuk peduli pada kehidupan perusahaan.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima orang Kepala Ruangan Instalasi
Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung, dapat diketahui bahwa keluhan
dari perawat primer biasanya berkaitan dengan banyaknya pekerjaan yang harus
mereka tangani akibat ledakan pasien. Jumlah perawat primer terbatas sedangkan
jumlah pasien cukup banyak per ruangannya. Ditambah tanggung jawab mereka
dalam mendidik dan melatih perawat baru yang seringnya mengajukan pertanyaan
dalam setiap pekerjaan mereka.
Hasil kuesioner yang diberikan kepada 10 orang perawat primer Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit “X” Bandung menunjukkan bahwa 100% perawat
primer sering membantu perawat asosiate yang mengalami overload dalam
pekerjaan. Perilaku ini mengarah pada dimensi altruism. Selain itu, sebanyak 80%
perawat sering bekerja melebihi standar yang diharapkan rumah sakit dengan
mengakhiri jam kerja (shift) lebih lama dari seharusnya tanpa kompensasi atau
insentif tambahan, sedangkan 20% perawat lainnya jarang. Perilaku ini mengarah
9
pada dimensi conscientiousness. Sebanyak 70% perawat jarang mengeluh atas
kondisi kerja yang kurang ideal, biasanya keluhan berkaitan dengan jumlah pasien
yang ditangani dalam tiap ruangan, sedangkan 30% perawat lainnya cukup sering
menyampaikan keluhan kepada kepala ruangan. Perilaku ini mengarah pada
dimensi sportmanship. Sebanyak 70% perawat mengaku jarang mengalami
perselisihan dengan rekan kerja, sedangkan 30% perawat lainnya sering
mengalami perselisihan dengan rekan kerja, biasanya disebabkan kurangnya
komunikasi antarperawat. Perilaku ini mengarah pada dimensi courtesy. Sebanyak
60% perawat sering mengikuti kegiatan yang diadakan oleh pihak rumah sakit
atas inisiatif sendiri untuk meningkatkan keterampilannya sebagai perawat,
sedangkan 40% perawat lainnya jarang mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.
Perilaku ini mengarah pada dimensi civic virtue. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X”
Bandung mengindikasikan perilaku yang mengarah pada Organizational
Citizenship Behavior (OCB) yang tinggi dan lima dimensi OCB yang tinggi pula.
Dari kuesioner tersebut dapat diketahui pula bahwa terlalu banyaknya
jumlah pasien yang masuk menyebabkan perawat kurang optimal dalam
memberikan pelayanan sehingga terkadang perawat kurang memberikan informasi
kepada pasien dan kurang bersikap ramah. Permasalahan interpersonal yang
terjadi di antara rekan kerja biasanya berkaitan dengan masalah kerja sama dan
komunikasi, perawat merasa kurang dihargai oleh rekan kerja. Survei kepuasan
pelanggan pada triwulan kedua tahun 2012 menunjukkan bahwa 4 dari 9 ruangan
(44,4%) dikeluhkan mengenai kurangnya inisiatif perawat dalam memberikan
10
bantuan. Selain itu, 2 dari 9 ruangan (22,2%) dikeluhkan mengenai kurang
tanggapnya perawat atas keluhan pasien.
Dalam mewujudkan visi dan misi Rumah Sakit “X” Bandung, penting untuk
mengetahui gambaran OCB para perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I
Rumah Sakit “X” Bandung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Podsakoff dan
MacKenzie (1997), OCB akan mempengaruhi kualitas pelayanan perawat dalam
rumah sakit (http://repository.ipb.ac.id). Baik buruknya kualitas pelayanan
tersebut secara tidak langsung akan berdampak pada efektivitas dan efisiensi
fungsi rumah sakit.
Dengan demikian, peneliti merasa perlu untuk dilakukan penelitian
mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada perawat primer
Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran mengenai
derajat organizational citizenship behavior (OCB) pada perawat primer Instalasi
Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran mengenai derajat
organizational citizenship behavior (OCB) pada perawat primer Instalasi Rawat
Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung.
11
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi dan data mengenai
organizational citizenship behavior (OCB) pada perawat primer Instalasi Rawat
Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung berdasarkan dimensi-dimensi dan faktor
yang mempengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
1. Memberikan informasi mengenai organizational citizenship behavior
(OCB) pada perawat ke dalam bidang ilmu Psikologi Industri dan
Organisasi.
2. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan
penelitian lanjutan mengenai organizational citizenship behavior (OCB)
pada perawat.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada Bidang Personalia (SDM) Rumah Sakit
“X” Bandung mengenai organizational citizenship behavior (OCB) pada
perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I. Informasi ini dapat
digunakan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan atau kebijakan yang
dapat meningkatkan organizational citizenship behavior (OCB) perawat.
2. Memberikan informasi kepada Kepala Ruangan Instalasi Rawat Inap
Prima I Rumah Sakit “X” Bandung mengenai organizational citizenship
12
behavior (OCB) pada perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I.
Diharapkan mereka mampu menciptakan iklim kerja yang mendukung
munculnya organizational citizenship behavior (OCB).
3. Memberikan informasi kepada perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima
I Rumah Sakit “X” Bandung mengenai organizational citizenship behavior
(OCB) mereka. Diharapkan mereka dapat mempertahankan atau
mengoptimalkan organizational citizenship behavior (OCB) mereka dalam
mewujudkan visi dan misi Rumah Sakit.
1.5 Kerangka Pikir
Rumah sakit adalah unit organisasi di lingkungan departemen kesehatan
yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada dirjen pelayanan
medik, yang dipimpin oleh seorang kepala rumah sakit dan mempunyai tugas
melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara
serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan
upaya rujukan. Sumber daya manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung
dengan pasien di rumah sakit adalah perawat. Perawat, sebagai pemberi layanan
asuhan mulai pada tingkat rumah tangga, Puskesmas, maupun tingkat rumah sakit,
mempunyai peran yang sangat vital. Pada tingkat rumah sakit, perawat selalu
berinteraksi dan berhubungan selama 24 jam dengan pasien. Karena begitu vital
dan pentingnya arti pelayanan keperawatan, hal ini menjadi penentu berkualitas
atau tidaknya pelayanan kesehatan yang ada.
13
Sebagai salah satu penyedia layanan kesehatan, Instalasi Rawat Inap Prima I
Rumah Sakit “X” Bandung memiliki 96 perawat primer yang berusia antara 20-60
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa perawat sedang berada pada masa
dewasa awal dan beberapa perawat lainnya sedang berada pada masa dewasa
madya. Pada masa dewasa awal, individu pada umumnya telah menyelesaikan
pendidikannya dan mulai memantapkan karir pada suatu bidang pekerjaan.
Mereka akan bekerja keras untuk terus meningkatkan karir serta pendapatannya.
Pada masa dewasa madya, individu pada umumnya telah mencapai puncak posisi
dan penghasilan. Mereka umumnya juga dibebani dengan beberapa kewajiban
keuangan, mulai dari biaya tempat tinggal, perawatan keluarga, serta tagihan-
tagihan lainnya (Santrock, 2006). Oleh karena itu, perawat akan bekerja secara
maksimal untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka tersebut.
Sejalan dengan teori yang dikemukakan Robbins (2011), karakteristik
biografis bawaan individu, antara lain jenis kelamin, usia, dan masa kerja, dapat
berpengaruh dalam pekerjaannya. Karyawan yang berjenis kelamin perempuan
lebih mudah setuju dan berkeinginan untuk menyesuaikan diri dengan atasannya,
sedangkan karyawan yang berjenis kelamin laki-laki lebih agresif dan cenderung
memiliki harapan untuk sukses. Karyawan yang berusia lebih tua menunjukkan
kualitas yang positif mengenai pengalaman, penilaian, etos kerja, dan komitmen
terhadap kualitas. Walaupun demikian, karyawan yang berusia lebih tua juga
dianggap kurang fleksibel dan menolak teknologi-teknologi baru. Masa kerja
seorang karyawan lebih berkaitan dengan kepuasan terhadap pekerjaannya. Begitu
14
pula karakeristik biografis bawaan perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I
Rumah Sakit “X” Bandung dapat mempengaruhi pekerjaannya.
Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi fungsi Rumah Sakit “X” Bandung,
tidaklah cukup apabila para perawat hanya mengandalkan job description saja.
Akan menjadi lebih efektif jika perawat bekerja melebihi standar yang ditetapkan
secara resmi oleh rumah sakit. Hal ini disebut juga dengan Organizational
citizenship behavior (OCB). OCB adalah perilaku individu yang bersifat sukarela,
yang secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh sistem reward formal,
dan memberi kontribusi pada efektivitas dan efisiensi fungsi dalam organisasi
(Organ, 2006). Perilaku OCB perawat adalah perilaku yang tidak tercantum secara
spesifik di dalam susunan job description perawat dan dilakukan secara sukarela
oleh perawat untuk mencapai efektivitas rumah sakit.
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi OCB Perawat Primer Instalasi
Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal merupakan karakteristik invividu yang bersangkutan,
sedangkan faktor eksternal terdiri dari karakteristik tugas, kelompok, organisasi,
dan pemimpin.
Karakteristik individu meliputi morale dan personality. Morale tercermin
dalam sikap kerja. Sikap kerja terkait dengan kepuasan terhadap pekerjaan,
keadilan, komitmen afektif, dan kepuasan terhadap pertimbangan-pertimbangan
yang diambil pemimpin. Apabila perawat merasa bahwa dirinya telah
diperlakukan secara adil oleh kepala ruangan dan pihak rumah sakit, perawat akan
merasa puas. Jika perawat merasa puas terhadap pekerjaannya, merasakan
15
keadilan di dalam rumah sakit tempatnya bekerja, serta merasa puas terhadap
pertimbangan-pertimbangan yang diambil pemimpinnya, maka akan
memunculkan komitmen perawat secara afektif terhadap rumah sakit. Dengan
demikian, morale yang dimiliki perawat dikatakan positif dan akan memunculkan
keinginan perawat untuk melakukan OCB. (Organ & Ryan 1995, dalam Organ
2006)
Personality mencakup fifth factor, yaitu conscientiousness, agreeableness,
extraversion, openness, dan neuroticism. Conscientiousness menjelaskan tugas
dan tujuan perilaku yang mengarah pada goal serta kontrol impuls. Perawat yang
memiliki conscientiousness yang tinggi akan terorganisir, dapat diandalkan,
pekerja keras, displin diri, tepat waktu, teliti, rapi, ambisius, tekun. Sedangkan
perawat yang memiliki conscientiousness rendah cenderung kurang memiliki
tujuan, kurang dapat diandalkan, pemalas, tidak peduli, lemah, lalai, lemah dalam
kemauan. Dengan demikian, perawat yang memiliki conscientiousness yang
tinggi akan menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada perawat yang memiliki
conscientiousness yang rendah (Barrick&Mount, 1991, dalam Kumar 2009).
Agreeableness dan extraversion menjelaskan pendekatan secara
interpersonal, keduanya menjelaskan bagaimana seorang individu berinteraksi
dengan individu yang lain. Perawat yang memiliki agreeableness yang tinggi
cenderung sopan, fleksibel, percaya, baik hati, kooperatif, pemaaf, berhati lembut,
dan toleran. Perawat yang memiliki agreeableness rendah cenderung sinis, kasar,
curiga, tidak koperatif, pendendam, kejam, lekas marah, suka memanipulasi.
(Barrick & Mount, 1991, dalam Kumar 2009). Dalam konteks kerja, perawat yang
16
memiliki agreeableness tinggi menunjukkan tingkat kompetensi interpersonal
yang lebih tinggi (Witt, dkk., 2002, dalam Kumar 2009) dan berkolaborasi secara
efektif ketika aksi bersama diperlukan (Gunung, dkk., 1998, dalam Kumar 2009).
Dengan demikian, perawat yang memiliki agreeableness yang tinggi lebih
mungkin untuk melakukan OCB. Perawat yang memiliki extraversion tinggi
cenderung ramah, suka berteman, tegas, banyak bicara, dan aktif. Perawat yang
memiliki extraversion rendah cenderung pendiam, tenang, menyendiri, pemalu,
pendiam. Perawat yang memiliki extraversion tinggi menunjukkan tampilan
perilaku yang lebih fleksibel sehingga membuat mereka lebih mungkin untuk
menunjukkan OCB. (Barrick & Mount, 1991, dalam Kumar 2009).
Openness menjabarkan keluasan, kedalaman, dan kerumitan mengenai
mental seorang individu dan pengalaman hidupnya. Perawat yang memiliki
openness tinggi cenderung ingin tahu, kreatif, imaginatif, orisinil, tidak tradisional,
menunjukkan preferensi untuk bervariasi, memunculkan ide-ide baru, serta
memiliki kepentingan intrinsik dalam penghargaan terhadap hal-hal baru. Perawat
yang memiliki openness rendah cenderung menuruti adat, berpandangan sempit,
tidak artistik, tidak analitis. Dengan demikian, perawat dengan opennes yang
tinggi akan lebih mungkin menampilkan OCB. (Barrick & Mount, 1991, dalam
Kumar 2009).
Perawat yang memiliki neuroticism tinggi cenderung cemas, depresi, marah,
malu, emosional, khawatir, dan tidak aman. Perawat yang memiliki neuroticism
yang rendah cenderung tenang, tidak emosional, merasa aman, merasa puas,
tabah. Neuroticism merupakan penentu disposisional perilaku sosial. Dengan
17
demikian, perawat yang memiliki neuroticism rendah mampu menampilkan OCB.
(Barrick & Mount, 1991, dalam Kumar 2009).
Karakteristik tugas dapat dilihat dari task significance, dan instrically
satisfying tasks. Task significance merupakan nilai pekerjaan yang menyangkut
dampak penting suatu pekerjaan berhubungan dengan rekan kerja di dalam suatu
organisasi atau di luar organisasi. Task significance akan mempengaruhi OCB
melalui peningkatan persepsi akan rasa berarti dari pekerjaannya (Griffin 1982,
dalam Organ 2006). Instrically satisfying task merupakan kemampuan dari suatu
tugas untuk menciptakan kepuasan dan menggugah keterlibatan seseorang. Tugas-
tugas yang pada hakekatnya menimbulkan kepuasan yang didapat bukan dari
pencapaian hasil pengerjaan tugas tersebut, tetapi lebih disebabkan karena rasa
berarti akan aktivitas dan keterlibatan individu saat mengerjakan tugas tersebut.
Keterlibatan inilah yang akan mempengaruhi sejauh mana OCB yang dimiliki.
(Kerr&Jernier, 1978 dalam Organ 2006).
Karakteristik kelompok dapat dilihat dari group cohessiveness, team-
member exchange, group potency, dan perceived team support. Group
cohessiveness merupakan keterikatan antara satu anggota dengan anggota lain dan
keterikatan untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut. Group chohessiveness
yang tinggi akan memunculkan gairah untuk membantu rekan lain dalam
kelompoknya. Team-member exchange (TMX) merupakan kualitas relasi yang
dapat menambahkan rasa saling percaya di antara anggota kelompok serta
komitmen terhadap kelompok. Kualitas yang positif dapat meningkatkan
kepuasan terhadap rekan kerja atau kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri.
18
Kepala yang memiliki hubungan berkualitas positif dengan bawahan (mutual
trust, support, loyality) akan menyebabkan bawahan memiliki hubungan
berkualitas positif pula dengan rekan kerjanya. TMX dapat meningkatkan OCB
melalui rasa saling percaya di antara rekan kerja, group cohessiveness, group
commitment, dan keinginan anggota kelompok untuk mengerahkan extra effort
atas nama kelompok. TMX juga meningkatkan kekuatan norma kelompok untuk
mengikat perilaku yang dapat meningkatkan efektivitas kelompok, termasuk
OCB. Group potency adalah kumpulan belief dari suatu kelompok yang dapat
menjadi efektif. Ketika anggota kelompok yakin bahwa mereka dapat mencapai
tujuan bersama, mereka akan lebih bersatu dan bersedia melakukan peran
melebihi yang telah ditentukan dalam melakukan apapun untuk benar-benar
mencapai tujuan mereka. Mereka akan saling membantu dan memberikan
dukungan kepada anggota kelompok dalam melalui situasi atau masa-masa sulit.
Keyakinan atas potensi kelompok akan mendorong anggota kelompok untuk
meletakkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu dan melakukan
segala hal yang diperlukan dalam mencapai kesuksesan kelompok, meskipun
harus melakukan hal yang tidak diwajibkan. Perceived team support (PTS) adalah
keyakinan seseorang bahwa kelompok menghargai kontribusi dan kepeduliannya
terhadap kesejahteraan kelompok. Ketika anggota kelompok memaknai bahwa
rekan sekelompoknya menghargai kontribusi dan kepeduliannya terhadap
kesejahteraan kelompok, mereka akan membalas dengan menempatkan upaya
yang lebih besar atas nama kelompok dalam bentuk OCB. Hasil dari upaya
19
anggota kelompok tersebut akan meningkatkan komitmen terhadap kelompok
yang merupakan perantara PTS dalam OCB.
Karakteristik organisasi dapat dilihat dari perceived organizational support
dan organizational constraint. Perceived organizational support (POS) adalah
persepsi karyawan mengenai seberapa besar dukungan yang mungkin mereka
terima dari suatu organisasi. Dengan kata lain, POS merupakan belief seorang
karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi mereka dan
memperhatikan kesejahteraan mereka. POS dapat mempengaruhi OCB melalui
peningkatan rasa kewajiban dan keinginan perawat untuk membalas organisasi
yang telah memenuhi kebutuhan sosio-emosional dan menetapkan identitas sosial
mereka sehingga meningkatkan kepuasan dan komitmen mereka terhadap
organisasi. Selain itu, POS dapat menciptakan rasa percaya bahwa organisasi akan
memenuhi kewajibannya dengan mengakui dan menghargai upaya perawat atas
nama pribadi. Rasa percaya ini juga dapat meningkatkan OCB. Organizational
constraint adalah kondisi yang membuat karyawan sulit untuk memunculkan
performance kerja yang baik, misalnya kurangnya peralatan, dana, bantuan yang
diperlukan, pelatihan, waktu, dan sebagainya. Keterbatasan ini akan membatasi
kemampuan perawat untuk melakukan OCB.
Karakteristik pemimpin mencakup bagaimana seorang kepala memimpin
para bawahannya. Jika interaksi antara pemimpin dan karyawan baik, maka
pemimpin akan berpandangan positif terhadap karyawan dan karyawan pun akan
merasakan bahwa pemimpinnya banyak memberi dukungan dan motivasi.
Schnake, Cochran, dan Dumler (dalam Organ 2006) menyoroti dua tipe perilaku
20
kepemimpinan dari empat tipe dalam the path-goal framework, yaitu instrumental
leadership dan supportive leadership. Instrumental leadership menekankan pada
apa yang diharapkan pemimpin mengenai perilaku bawahannya dan bagaimana
mereka menyelesaikan pekerjaan mereka, sedangkan supportive leadership
menekankan pada ekspresi pemimpin dalam memperhatikan kesejahteraan
individual dari para bawahannya. Perilaku instrumental dan supportive leader
dapat mempengaruhi OCB karena perilaku tersebut dipersepsi karyawan sebagai
perilaku membantu yang dilakukan oleh pemimpin sehingga membuat karyawan
merasa wajib untuk membalasnya. Perilaku supportive leader dipandang
karyawan sebagai perilaku membantu karena hal itu mengindikasikan bahwa
pemimpin memperhatikan kesejahteraan bawaannya. Perilaku instrumental leader
dipandang karyawan sebagai perilaku membantu karena hal itu dapat mengurangi
ketidakjelasan mengenai bagaimana melakukan suatu pekerjaan. Kemungkinan
lain adalah karena perilaku-perilaku tersebut menguntungkan karyawan sehingga
karyawan lebih menyukai atasannya dan bersedia membantu atasannya
sebagaimana mereka mampu.
Apabila faktor-faktor tersebut mempengaruhi perawat primer Instalasi
Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung Bandung secara positif, maka
dapat memunculkan perilaku OCB. Sebaliknya, apabila faktor-faktor tersebut
mempengaruhi perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X”
Bandung Bandung secara negatif, maka perilaku OCB tidak muncul. Menurut
Podsakoff, dkk. (1990, dalam Organ 2006), OCB terdiri dari lima dimensi, yaitu
altruism, courtesy, sportmanship, civic virtue, dan conscientousness.
21
Altruism, yaitu perilaku sukarela perawat dalam menolong rekan kerjanya
yang mengalami masalah terkait organisasi, misalnya membantu perawat lain
menyelesaikan tugasnya. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan
yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya. Perawat dengan dimensi
altruism yang tinggi akan bersedia atau sukarela membantu rekan kerja untuk
menyelesaikan pekerjaannya, sebaliknya perawat dengan dimensi altruisme yang
remdah biasanya kurang bersedia membantu rekan kerja untuk menyelesaikan
pekerjaannya.
Conscientiousness, yaitu perilaku perawat yang melebihi peran minimum
yang diharapkan rumah sakit dalam area kehadiran, menaati peraturan dan
ketentuan, mengambil jam istirahat, dan lain-lain. Dimensi ini menjangkau jauh
diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas. Perawat dengan dimensi
conscientiousness yang tinggi akan menunjukkan perilaku melebihi standar yang
diharapkan rumah sakit, misalnya bersedia bekerja melebihi shift seharusnya
tanpa imbalan tambahan, menaati seluruh tata tertib rumah sakit meskipun tidak
ada yang mengawasi, dan sebagainya. Sebaliknya, perawat dengan dimensi
conscientiousness yang rendah hanya akan menunjukkan perilaku sebagaimana
standar yang diharapkan rumah sakit saja.
Sportsmanship, yaitu memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang
ideal dalam rumah sakit tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Perawat yang
mempunyai tingkatan yang tinggi dalam spotmanship akan meningkatkan iklim
yang positif dalam rumah sakit dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan
menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan. Sebaliknya, perawat
22
yang mempunyai tingkatan yang rendah dalam sportmanship lebih banyak
mengajukan keluhan-keluhan mengenai keadaan yang kurang ideal dalam rumah
sakit.
Courtesy, yaitu perilaku perawat dalam menjaga hubungan baik dengan
rekan kerjanya agar terhindar dari masalah-masalah yang terkait pekerjaan,
misalnya menjaga komunikasi dengan rekan kerja dan melakukan sharing bila
terdapat permasalahan. Perawat dengan dimensi courtesy yang tinggi akan lebih
menghargai dan memperhatikan rekan kerjanya sehingga mengurangi risiko
terjadinya konflik antara rekan kerja yang dapat mempengaruhi perawat dalam
melaksanakan pekerjaan. Sebaliknya, perawat dengan dimensi courtesy yang
rendah biasanya kurang memperhatikan hubungannya dengan rekan kerja.
Civic virtue, yaitu perilaku yang mengindikasikan partisipasi perawat secara
bertanggung jawab, termasuk peduli pada kehidupan rumah sakit (mengikuti
perubahan dalam rumah sakit, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan
bagaimana operasi atau prosedur-prosedur rumah sakit dapat diperbaiki, dan
melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh rumah sakit). Dimensi ini
mengarah pada tanggung jawab yang diberikan rumah sakit kepada perawat untuk
meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni. Perawat dengan dimensi
civic virtue yang tinggi akan peduli terhadap kelangsungan hidup rumah sakit dan
bersedia meningkatkan kualitas pribadinya untuk menunjang efektivitas dan
efisiensi pekerjaannya sebagai perawat di rumah sakit. Sebaliknya, perawat
dengan dimensi civic virtue yang rendah biasanya kurang menunjukkan partisipasi
yang cukup dalam bidang pekerjaan dan kelangsungan hidup rumah sakit.
23
Perawat yang memiliki OCB tinggi akan terdorong untuk mencerminkan
perilaku kerja, seperti memberikan bantuan pada rekan yang mengalami masalah
terkait pekerjaan tanpa pamrih, tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan,
melaksanakan tugas tanpa diminta terlebih dahulu, tidak banyak mengeluh tentang
kondisi perusahaan sehingga dapat mentolerir situasi kerja yang kurang
menguntungkan, selalu berusaha terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan rumah
sakit, menjaga citra rumah sakit di mata masyarakat. Sedangkan, perawat yang
memiliki OCB rendah akan menunjukkan perilaku kerja sebaliknya, dimana
mereka hanya akan bekerja sesuai dengan standar tuntutan yang diberikan rumah
sakit secara resmi kepadanya.
Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat bagan sebagai berikut :
Bagan 1.1 Kerangka Pikir
Perawat Primer Instalasi
Rawat Inap Prima I RS
“X” Bandung
Organizational
Citizenship
Behavior (OCB)
Tinggi
Rendah
Faktor Eksternal :
Karakteristik tugas
Karakteristik kelompok
Karakteristik organisasi
Karakteristik pemimpin
Dimensi :
1. Altruism
2. Conscientiousness
3. Sportmanship
4. Courtesy
5. Civic Virtue
Faktor internal :
Karakteristik individu
24
1.6 Asumsi Penelitian
1 Untuk menunjang efektivitas dan efisiensi fungsi rumah sakit, perawat
primer Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung
memerlukan Organizational Citizenship Behavior (OCB).
2 Organizational Citizenship Behavior (OCB) perawat primer Instalasi
Rawat Inap Prima I Rumah Sakit “X” Bandung terdiri dari lima dimensi,
yaitu altruism, conscientiousness, sportmanship, courtesy, dan civic virtue,
yang akan membentuk OCB perawat dalam derajat yang berbeda-beda.
3 Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship
Behavior (OCB) perawat primer Instalasi Rawat Inap Prima I Rumah Sakit
“X” Bandung, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
meliputi karakteristik individu; Sedangkan, faktor eksternal meliputi
karakteristik tugas, karakteristik kelompok, karakteristik organisasi, dan
karakteristik pemimpin.