bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pemerkosaan merupakan tindakan asusila. Tindakan ini tidak dibenarkan
oleh norma yang berlaku di masyarakat. Semua orang bisa menjadi korban
pemerkosaan. Karena termasuk ke dalam tindakan kriminal, semua orang yang
menjadi pelaku pemerkosaan bisa dijatuhi hukuman penjara. Sayangnya, korban
pemerkosaan tidak berani mengungkap bahwa dirinya telah menjadi korban
pemerkosaan, sehingga terkadang kasus pemerkosaan berakhir dengan kebuntuan.
“Perkosa” di dalam KBBI memiliki arti menundukkan dengan kekerasan;
memaksa dengan kekerasan; menggagahi; merogol, sedangkan “pemerkosa” di
dalam KBBI memiliki arti seseorang atau sekelompok orang yang melakukan
tindakan perkosa. Pemerkosaan di Indonesia memang sangat marak akhir-akhir ini
(pada saat skripsi ini dibuat, yaitu tahun 2016), bahkan rata-rata pemerkosaan dan
kekerasan seksual terjadi 12 kali setiap harinya di Indonesia (data Komnas
Perempuan). Sebesar 93% dari kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual tersebut
tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Banyak kasus pemerkosaan yang
dilakukan oleh kelompok.
Menurut CATAHU (catatan tahunan) 2016 yang dikeluarkan Komnas
Perempuan pada tanggal 8 Maret, 39% dari kasus pemerkosaan yang terjadi di
Indonesia dilakukan oleh lebih dari satu orang. Dari data Komnas Perempuan
2
tersebut, pelaku pemerkosaan atau pemerkosa di Indonesia memang cukup
banyak. Apabila merujuk angka Komnas Perempuan, bisa disimpulkan pemerkosa
di Indonesia jumlahnya lebih banyak daripada korban pemerkosaannya.
Kasus pemerkosaan di Indonesia juga tidak luput dari sorotan media.
Banyak media cetak, elektronik, maupun daring yang rajin meliput tentang kasus
pemerkosaan. Beberapa kasus pemerkosaan yang cukup menghebohkan bisa
menjadi tajuk utama media berminggu-minggu. Bahkan, beberapa media daring
sengaja membuat berita-berita hoax tentang kasus pemerkosaan sebagai click bait.
Hal tersebut membuktikan bahwa kasus-kasus pemerkosaan di Indonesia cukup
menarik perhatian masyarakat. Kondisi ini secara otomatis direduplikasi oleh
fiksi.
Perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dalam fiksi biasanya tidak
digambarkan secara signifikan. Mereka bisa saja berasal dari berbagai golongan
dan profesi. Perempuan berjilbab tidak luput dari pemerkosaan, begitu juga
dengan perempuan yang berprofesi sebagai pemandu karaoke. Di dalam fiksi- fiksi
tersebut tidak ada syarat-syarat tertentu untuk diperkosa kecuali perempuan,
Namun dari segi pemerkosa ada beberapa ciri yang melekat. Pemerkosa di dalam
fiksi biasanya selalu digambarkan sebagai seseorang laki- laki yang bertempramen,
tidak religius, bicaranya kasar, suranya lantang, berbadan besar, bertato, rambut
gondrong acak-acakan, berbrewok, dan lain sebagainya. Stereotip tentang
pemerkosa di dalam fiksi tentu saja sangat menarik. Terlebih apabila pemerkosa
digambarkan dalam komik.
3
Komik berasal dari kata comics yang berarti lucu dalam bahasa inggris atau
komikos dari komos „revel’ bahasa yunani yang muncul pada abad 16.
Berdasarkan KBBI komik adalah cerita bergambar di majalah, surat kabar, atau
buku yang umumnya mudah dicerna dan lucu. Pada mulanya komik memang
dimaksudkan untuk membuat gambar-gambar yang menceritakan hal-hal lucu dan
jenaka. Komik merupakan penyusunan gambar-gambar dalam sebuah urutan yang
disengaja, dimaksudkan untuk penyampaian pesan dan menimbulkan suatu nilai
estetis pada penampilannya (McCloud, 2008:12). Sementara Eisner (Dalam
Darmawan, 2005: 242) mengemukakan bahwa komik adalah sequential art, seni
sekuel/berurutan, narasi (dengan atau tanpa teks) terbangun. Komik adalah sarana
pengungkapan yang benar-benar orisinal (Bonneff, 1998:4). Para ahli komik
cenderung menganggap komik sebagai salah satu bentuk akhir manusia untuk
menceritakan gambar dan tanda (Bonneff, 1998:16).
Sebagaimana telah diperlihatkan dengan jelas oleh F. Lacassin, komik
adalah sarana pengungkapan yang benar-benar orisinal karena menggabungkan
gambar dengan teks (Boneff, 1998:4). Jadi, komik harus dipahami sebagai
dokumen yang tidak boleh dibatasi artinya oleh pandangan berdasarkan baik-
buruknya. Untuk memahami masyarakat yang menghasilkan komik, semua komik
dinilai sama, tidak ada yang bagus atau pun buruk (Boneff, 1998:5). Maka, komik
Jakarta 2039 perlu dipahami sebagai dokumen yang dihasilkan oleh masyarakat,
terlepas dari baik dan buruk.
Dari sudut pandang komersial, erotisme dan kekerasan lebih mendatangkan
untung daripada melukiskan kebaikan hati. Di ujung pena komikus muda seperti
4
Budijanto, Budijono, Alex Iskandar, kisah-kisah sentimental semakin kekurangan
pesan moral. Rok ketat yang minim di tubuh montok para perawan, perwujudan
kasih sayang makin “berani”, dan contoh tingkah laku yang tidak patut diteladan
hanya diolah sepintas (Boneff, 1998:41). Boneff di atas menjelaskan bahwa
komik pada akhirnya juga berkembang menjadi roman picisan. Hal ini membuat
nilai komik semakin menurun di masyarakat. Komik dianggap sebagai karya seni
yang vulgar dan bacaan murahan.
Seno Gumira Ajidarma (untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat
menjadi SGA) membaca hal tersebut sebagai ruang untuk berkarya. Jakarta 2039
(untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat menjadi JKT ’39) merupakan
komik SGA yang menceritakan pemerkosaan Etnis Tionghoa yang terjadi pada
tragedi Mei 1998 di Jakarta. Karena karya SGA yang berupa komik hanya JKT
’98, maka penulis menganggap komik ini sebagai sebuah karya yang unik dan
patut untuk dikaji. Selain itu, penelitian tentang komik yang tidak sebanding
dengan popularitasnya dan usia keberadaannya di Indonesia. Penulis akan
mengkaji pemerkosa di dalam JKT ‘39 karena jarang sekali komik Indonesia yang
bercerita tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual. Pemerkosa di dalam JKT
’39 akan menjadi fokus utama penulis karena di dalam komik yang terdiri atas
tiga bagian ini, justru para pemerkosa yang mendapat tempat dominan dari panel
ke panel dan bagian ke bagian. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik apabila
penulis menfokuskan penelitian pada pemerkosa.
Di dalam komik ini terdapat empat cerita, namun hanya tiga cerita saja yang
diberikan sub judul oleh komikus. Cerita yang tidak diberikan judul merupakan
5
cerita keempat. Cerita pertama dan kedua mengambil sudut pandang korban
pemerkosaan, cerita kedua mengambil sudut pandang pemerkosa, cerita keempat
mengambil sudut pandang pemerkosa dan korban pemerkosaan. Cerita keempat
disisipkan pada ketiga cerita yang diberi sub judul. Cerita keempat yang
merupakan cerita tanpa judul dianggap menarik oleh pernulis karena di dalam
cerita ini dinarasikan pemerkosa dan korban pemerkosaan pada kerusuhan Mei
1998. Pelaku pemerkosaan dan korban pemerkosaan dihadirkan secara bersamaan
dalam cerita keempat. Kontradiksi di dalam gambaran keduanya akan sangat
nampak melalui kontak dan dialog yang mereka lakukan di dalam cerita keempat,
sehingga pemaknaan menjadi lebih utuh dan kongkret. Selain itu, cerita keempat
dipilih karena bentuknya secara visual dan verbal sangat komikal. Pada cerita ini
terdapat transisi juxtapostal dari panel ke panel. Balon dialog dan narasi juga
bekerja dengan efisien dan maksimal pada cerita keempat. Komikus tidak
memberikan judul pada halaman pembuka, namun komikus memberikan isyarat
secara visual bahwa ada cerita lagi selain ketiga komik yang diberi sub judul.
SGA dalam penciptaan komik JKT ’39 bekerjasama dengan Dzaky. Dzaky
merupakan seorang ilustrator. Selain menjadi ilustrator JKT’ 39, ia juga dikenal
sebagai Ilustrator sampul buku Membongkar Gurita Cikeas yang kontroversial.
Dzaky adalah seorang ilustrator lulusan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia).
Selain berprofesi sebagai ilustrator, ia juga merupakan pengajar di ISI (Institut
Seni Indonesia).
Gambaran yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah gambaran secara
visual dan verbal. Gambaran tersebut didapatkan dari pembacaan kode-kode
6
menurut Barthes, gabungan kata dan gambar, ikon dalam komik, dan hubungan
antar panel menurut McCloud. Teori McCloud membantu mempermudah
pengklasifikasian lima kode Barhtes, apabila terjadi kesulitan dalam klasifikasi.
Oleh sebab itu, teori McCloud tidak diimplementasikan terhadap semua leksia.
Teori yang akan dipakai adalah semiotika. Teori semiotika yang dipilih
untuk menganalisis JKT ’39 adalah teori semiotika Roland Bhartes ditambahkan
dengan teori hubungan antar panel, ikon dalam komik, dan gambungan kata dan
gambar McCloud. Teori McCloud digunakan untuk memperjelas dan membantu
teori Barthes dalam menganalisis komik. Teori ini dipilih karena nantinya unsur-
unsur dalam komik JKT ‘39 akan dipecah menjadi leksia- leksia. Leksia
dikelompokkan berdasarkan peristiwa yang diceritahan, sehingga nantinya dalam
penelitian ini leksia bisa terdiri dari satu panel atau lebih. Leksia- leksia ini
memungkinkan unsur verbal dan unsur visual secara bersamaan dan
berkesinambungan dianalisis. Dari leksia-leksia JKT’39 ini akan diperoleh kode-
kode tanda yang akan memberikan pemaknaan terhadap JKT ‘39.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1) Gambaran pemerkosa dalam JKT’39
2) Makna gambaran pemerkosa yang terkandung dalam JKT ‘39
7
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian memiliki dua tujuan pokok, yaitu tujuan teoritis dan tujuan
praktis.Secara teoritis penelitian bertujuan untuk memberikan pemaknaan pada
komik Jakarta 2039 dengan menggunakan teori semiotika Roland Bhartes.
Pemaknaan akan diperoleh setelah dilakukan proses pemecahan leksia- leksia
hingga menemukan kode-kode yang membentuk makna pada komik. Selain itu
penelitian juga diharapkan menjadi referensi untuk penelitian-penelitian komik
selanjutnya. Dalam hal praktis penelitian ini diharapkan mampu menambah kajian
terhadap dunia komik dan sastra Indonesia. Selain itu penelitian juga diharapkan
dapat menambah wawasan masyarakat terhadap komik agar komik tidak hanya
dipahami sebagai sebuah produk populer biasa. Komik juga bisa hadir dalam
bentuk karya sastra yang benilai.
1.4 Tinjauan Pustaka
Komik Jakarta 2039 belum pernah dianalisis sebagai tulisan ilmiah dalam
bentuk skripsi, tesis, maupun desertasi, namun ada 2 karya ilmiah berupa skripsi
dan tesis yang membahas komik menggunakan pendekatan semiotika Roland
Barthes.
Yang pertama adalah Toto Mujio Mukmin di UGM (2002) dengan tesis
yang berjudul “Komik Doraemon: Dari Sudut Pandang Ikonografi dan
Semiotika”. Mukmin menggunakan pendekatan lima kode Roland Barthes untuk
memaknai komik Doraemon.
8
Yang kedua adalah Muhammad Daniel Fahmi Rizal di UGM (2014) dengan
skripsi yang berjudul “Komik Hujan Bulan Juni Karya Mansur Daman: Analisis
Semiotika Roland Barthes”. Rizal juga menggunakan pendekatan lima kode
Barthes untuk memaknai komik Hujan Bulan Juni.
Dari dua penelitian di atas, jelas diketahui bahwa belum ada penelitian
tentang JKT ‘39 menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes. Komik JKT
’39 pun belum pernah diteleti sebelumnya.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda yang bersifat menyampaikan sesuatu
yang bersifat komunikatif. Bahasa dijadikan sebagai model-model dalam wacana
sosial sehingga semiotika bisa dipakai untuk melihat berbagai wacana sosial.
Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dianggap sebagai
fenomena kebahasaan, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal
ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262
dalam Tinarbuko, 2012:11). Secara general semiotik dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai
sesuatu yang, atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat
dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16).
9
Dua orang ahli yang memelopori ilmu semiotika adalah Ferdinand de
Saussure dan Charles Sanders Pierce. Dua ahli ini memiliki latar belakang
keilmuan yang berbeda. Saussure merupakan seorang ahli linguistik, sementara
Pierce merupakan seorang ahli filsafat. Saussure berpendapat bahwa tanda adalah
kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dilepaskan, seperti halnya se lembar
kertas (Tinarbuko, 2012:12). Di mana ada sebuah tanda di sana ada sebuah sistem,
maka lahirlah signifier dan significant, yaitu penanda dan petanda. Signifier
bersifat kongret dan dapat diindera, sedangkan significant bersifat konsep dan
abstrak. Semiotik Roland Barthes berakar pada semiotik struktural Saussure.
Konsep penanda Saussure dibagi menjadi dua tingkatan oleh Barthes yang
memungkinkan dihasilkannya makna yang bertingkat-tingkat, yaitu konotasi dan
denotasi (Bhartes 1983:108)
Denotasi adalah tingkatan pertama dalam sistem Barthes. Sistem ini terdiri
atas rantai penanda dan petanda, yakni hubungan material antara penanda atau
konsep abstrak di baliknya. Dalam sistem konotasi, rantai penanda/petanda sistem
denotasi menjadi penanda. Barthes menyebut significant (penanda) sebagai
ekspresi. Sedangkan signifier (petanda) sebagai isi.Namun, Barthes mengatakan
bahwa antara ekspresi dan isi harus memiliki hubungan, sehingga membentuk
tanda (sign). Setiap tanda yang memperoleh pemaknaan awal yang disebut
denotasi dan oleh Barthes disebut sebagai sistem primer. Kemudian
pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder merupakan
pengembangan sistem primer ke arah isi atau ekspresi.
10
Bhartes melalui Piliang (2013:134) mengatakan bahwa sebuah teks bukan
merupakan baris kata-kata yang menghasilkan makna tunggal teologis, tetapi
merupakan ruang multidimensional yang di dalamnya aneka ragam tulisan, tidak
satu pun diantaranya yang orisinal, bercampur, dan bertumpang tindih. Teks
adalah sebuah jaringan kutipan yang diambil dari pusat-pusat kebudayaan yang
tidak terhitung jumlahnya. Barthes mengungkapkan bahwa pembaca adalah ruang
tempat berinteraksinya kutipan-kutipan tersebut. Dalam praktik bahasa sebuah
pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi
atau kode (Tinarbuko, 2012:17).
Kode adalah pengombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk
memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke seseorang lainnya
(Piliang, 1998:17). Kode adalah aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan
konkret dalam sistem komunikasi (Tinarbuko, 2012:17). Fungsi teks-teks yang
menunjukan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah
kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar, serta alasan
mengapa tanda-tanda itu menunjukan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut
Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Tinarbuko 2012:18).
Terdapat setidaknya lima kode pokok yang beroperasi dalam sebuah teks.
Semua penanda tekstual (leksia) di dalamnya dapat dikelompokkan. Setiap leksia
dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima kode tersebut. Kode-kode
menciptakan sejenis jaringan (network atau topos yang melaluinya teks dapat
“menjadi” (Barthes, 1990:2) kode-kode yang dikelompokan Barthes merupakan
kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kultural.
11
1) Kode hermenutik adalah satuan-satuan yang dengan berbagai cara berfungsi
untuk mengartikulasikan suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka
peristiwa yang dapat memformulasi persoalan tersebut, atau yang justru
menunda-nunda penyelesaiaannya, atau bahkan yang menyusun semacam
teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya
(Barthes 1990:17). Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode
“penceritaan”, yang dengan sebuah narasi dapat mempertajam
permasalahan, menciptakan ketegangan, dan misteri, sebelum memberikan
pemecahan atau jawaban.
2) Kode semik (code of semes) merupakan kode yang memanfaatkan isyarat,
petunjuk, atau “kilasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda
tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang
disebut oleh para kritikus sastra Anglo-Amerika sebagai “tema” atau
struktur tematik sebuah thematic grouping (Barthes, 1990:19)
3) Kode simbolik (symbolic code) merupakan kode “pengelompokan” atau
konfigurasi yang mudah dikenali karena kemunculannya yang berulang-
ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana luar dan di dalam,
dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu
struktur simbolik (Barthes, 1990:17)
4) Kode proaeretik (action) kode ini didasarkan atas konsep proairesis, yakni
kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara
rasional (Barthes, 1990:18), yang mengimplikasikan suatu logika perilaku
manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak dan masing-
12
masing dampak memiliki nama generic tersendiri, sejenis judul bagi
sekuens yang bersangkutan
5) Kode kultural (cultural code) atau kode referensial (reference code) yang
berwujud semacam suara kolektif yang anonym dan otoritatif, bersumber
dari pengalaman manusia yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu
yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan dan kebijaksanaan yang
“diterima umum”. kode ini bisa berupa kode-kode pengetahuan atau
kearifan (wisdom) yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang
menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana
(Barthes, 1990:18).
Setiap kode yang ditemukan dalam leksia dijabarkan, dinarasikan, dan
dianalisis. Dalam setiap leksia tidak semua kode tersebut beroperasi. Ada kode-
kode yang dominan dalam setiap leksia. Dominasi kode-kode tertentu tidak akan
mengubah keberadaan kode-kode yang lain. Keberadaan kode-kode dalam leksia
saling tumpang tindih satu sama lain, sehingga setiap kode harus dijabarkan,
dinarasikan, kemudian dianalisis.
1.5.2 Komik Sebagai Cara Bertutur
Para ahli cenderung menganggap komik sebagai salah satu bentuk akhir dari
hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya (Boneff, 1998:16). Dinding
pada gua Lascaux, belum mengandung sandi yang membentuknya menjadi
bahasa, tetapi sudah menunjukan sebuah “pesan” sebagai upaya komunikasi
nonverbal yang paling kuno (Boneff, 1998:16). Bentuk relief pada candi
13
merupakan cikal bakal karya seni jenis komik yang dikemas secara tiga dimensi
(Setiawan, 2002:4). Meskipun cerita komik tampak sebagai wacana sederhana,
tetapi di dalamnya terkandung nilai yang bermuatan ideologi serta praktik sosial
budaya (Setiawan, 2002:23).
1.5.3 Hubungan dalam Komik
Teks dan gambar adalah unsur yang membangun komik. Keduanya saling
berkolaborasi dan berintegrasi membentuk kesatuan komik. Komik berurusan
dengan dua perangkat komunikasi, gambar dan kata (Eisner, 1985:13). Dua unsur
tersebut adalah isi dari sebuah komik. Gabungan spesial dua unsur tersebut
membentuk unsur baru yang dinamakan juxtaposition yang mana sudah
dieksperimenkan jauh sebelum jaman modern (Eisner, 1985:13). Di dalam sebuah
komik bisa terdapat hanya gambar yang dominan, teks yang dominan, dan hanya
gambar. Semua hal tersebut sesuai dengan style komikus. Dengan mengetahui
fungsi serta peran teks dan gambar akan memudahkan analisis yang dilakukan
terhadap komik.
Sebagai bahasa, komik mempunyai tata bahasanya sendiri, tempat gagasan-
gagasan diterjemahkan dalam suatu bentuk penuturan (Ajidarma, 2011:21).
Komik mempunyai perangkat seperti halaman sebagai b idang gambar, panel,
gambar manusia dan lingkungannya, gambar benda, dan kata yang hurufnya
digambar, semuanya dihadirkan sebagai bahan yang dikenal dari pengalaman
pembaca (Ajidarma, 2011:21). Semua aspek di dalam komik merupakan sebuah
14
alat bercerita, terutamanya adalah panel. Karena di dalam panel inilah tempat
bertemunya gambar dan teks (Eisner, 1985:23)
Panel, narasi, onomatope, dan ruang teks atau balon dialog merupakan
sebuah unsur kongkret sebuah komik. Tiap panel yang terdiri dari gambar atau
beberapa gambar, tiap balon teks terdiri dari teks atau beberapa teks. Dua hal
tersebut saling bersinergi untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan
komikus kepada pembaca.
Dari pemahaman di atas, maka penggunaan teori komik McCloud sangat
penting. Teori McCloud membantu mempermudah pembacaan komik. Walaupun
sebenarnya teori Barthes sudah cukup tajam untuk menganalisis, teori McCloud
membantu untuk mengkongkretkan cara-cara pembacaan berdasarkan kode-kode
yang dijabarkan oleh Barthes. Teori McCloud memudahkan pengklasifikasian
lima kode Barthes karena di dalam komik dimensi dan komposisi tanda sangat
berbeda dan memiliki keunikan.
1.5.3.1 Peralihan Antarpanel
Komik JKT ’39 terdiri dari tiga puluh tiga leksia. Ketiga puluh dua leksia
tersebut hadir secara berurutan dan berkelanjutan. Tiga puluh tiga leksia terdiri
atas satu leksia yang berupa judul dan dua puluh dua leksia yang merupakan isi
dari komik. Panel-panel tersebut dapat diuraikan peran peralihannya untuk
memecah leksia- leksia dalam JKT ’39. Peralihan antarpanel digunakan untuk
mempermudah analisis karena pada dasarnya perlaihan antarpanel tersebut juga
15
memudahkan komikus dalam merancang adegan. Peralihan antar panel memiliki
enam hubungan. Hubungan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Waktu ke Waktu
Dalam peralihan ini
terjadi pergeseran waktu di
antara momen-momen yang
dekat. Peralihan antarpanel ini
memberikan efek sinematis
terhadap komik. Peralihan ini
biasanya diterapkan pada
sebuah komik bercerita
panjang atau novel grafis
(Darmawan, 2012:167)
Gambar 1.1
Diambil dari Memahami Komik oleh Scott McCloud Halaman 70
16
2) Aksi ke aksi
Peralihan jenis ini
menampilkan subyek atau
tokoh melakukan tindakan
bergerak dari satu aksi ke aksi
lain. Jenis peralihan
antarpanel ini juga memberi
rasa sinematis dalam komik,
tapi terasa lebih cepat dan
dinamis (Darmawan,
2012:168)
Gambar 1.2
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 70
17
3) Subyek ke Subyek
Peralihan panel jenis ini
berada dalam lingkup adegan
yang sama, tapi berbeda obyek.
Panel beralih dari satu subyek
pelaku cerita ke subyek pelaku
cerita yang lain.
Gambar 1.3
Diambil dari Memahami Komik oleh Scott McCloud Halaman 71
18
4) Adegan ke Adegan
Peralihan jenis ini
membawa pembaca melampau
ruang dan waktu yang jauh
berbeda.
Gambar 1.4
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 71
19
5) Aspek ke Aspek
Definisi peralihan ini agak
abstrak McCloud mengibaratkan
peralihan ini seperti mata yang
menerawang dalam satu
ruangan, dan memandang
berbagai benda dalam ruangan
tersebut (Darmawan, 2012:171).
Tak hanya ruangan, jenis
peralihan ini mengajak pembaca
untuk menerawang ide atau
suasana. Darmawan berpendapat
bahwa peralihan ini disusun
untuk membangun suasana.
Gambar 1.5
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 72
20
6) Non-Sequitur
Peralihan terakhir adalah
peralihan non-sequitur. Peralihan
ini tidak menawarkan hubungan
logis diantara panel-panel yang
terhubung. Panel ini adalah panel
yang paling abstrak menurut
McCloud. Hubungan antar panel ini
dianggap tidak logis.
Gambar 1.6 Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 72
21
1.5.3.2 Hubungan Kata dan Gambar
Panel menjadi ruang kesinambungan antara gambar dan teks. gambar dan
teks saling membangun untuk membentuk sebuah komik. Gambar dan teks
memiliki peran masing-masing. Besarnya peran gambar dan teks yang
dikemukakan (McCloud, 2011:153)
Ada tujuh hubungan gambar dan kata yang dikemukakan oleh McCloud.
Ketujuh hubungan tersebut berfungsi untuk mengetahui apakah teks atau gambar
yang lebih dominan di dalam sebuah komik sehingga nantinya akan memudahkan
analisis komik. Dari hal tersebut komik juga dapat dianalisis berdasarkan
gambarnya saja, teksnya saja, atau keduanya. Berikut pemaparan McCloud
tentang hubungan antargambar.
1) Gabungan Khusus Kata-Kata
Gambar 1.7
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 153
22
Hubungan ini menitikberatkan pada kata-kata. Kata lebih berperan penting
dalam sebuah panel daripada gambar. Gambar hanya membantu mengilustrasikan
saja.
2) Gabungan Khusus Gambar
Dalam hubungan ini, titik beratnya berada pada gambar. Kata tidak terlalu
menambah makna pada gambar. Gambar sudah secara rinci menceritakan adegan
dalam panel. Kata-kata di sini hanya digunakan sebagai onomatope saja.
Gambar 1.8
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 153
23
3) Panel Khusus Duo
Dalam hubungan ini gambar dan kata memiliki pesan yang sama.
Darmawan (2012:182) menganggap hubungan jenis ini sering dianggap redudan
(terlalu mengulang-ulang) dan dijauhi para komikus muda.
Gambar 1.9
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 153
24
4) Aiditif
Hubungan ini aiditif saling menguatkan antara gambar dan kata. Kata
menyaringkan dan meluaskan gambar, begitupun sebaliknya. Jika dalam
hubungan panel khusus duo, misalnya gambar seorang pusing ditambahi balon
kata dengan teks “aku pusing!”; maka dalam hubungan aiditif, gambar seorang
yang sedang pusing ditambahi kata “kepalaku rasanya mau pecah!” (Darmawan,
2012:183)
Gambar 1.10
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 154
25
5) Paralel
Hubungan selanjutnya adalah hubungan paralel. Dalam hubungan ini kata-
kata dan gambar seperti berjalan sendri-sendiri, sama-sama maju tapi tidak saling
bersilangan. Elemen kata-kata dan gambar berjalan secara bersamaan dengan
tidak saling bersilang.
6) Montase
Gambar 1.11 Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 154
Gambar 1.12
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 154
26
Hubungan yang memperlakukan kata-kata sebagai gambar dan gambar
sebagai kata-kata. Keduanya bisa saling bertukar bentuk. Dalam hubungan ini
tidak ada bentuk kata dan gambar. Keduanya dianggap sama.
7) Interdependen
Hubungan jenis ini adalah hubungan yang paling sering digunakan oleh
komikus. Kata-kata dan gambar berperan setara dalam menyampaikan gagasan.
Gambar 1.13
Diambil dari Memahami Komik oleh Scott McCloud Halaman 155
27
Gambar dan kata-kata tidak dapat dipisahkan dalam hubungan ini. Keduanya
saling mengisi dan setara.
1.5.3.3 Ikon di Dalam Komik
Di dalam komik terkadang kata-kata tidak bisa menempati posisi yang sama
dengan gambar. Penggunaan balon dialog dalam panel juga sangat dibatasi oleh
ketersediaan tempat sehingga komikus sering memunculkan ikon. Ikon
dimunculkan oleh komikus untuk mengefisienkan panel. Apa yang ingin
dikemukakan oleh komikus sebisa mungkin disajikan secara utuh dalam panel
yang sangat terbatas sehingga ikon sangat membantu.
Gambar 1.14 Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 127
28
McCloud menjelaskan bahwa apabila gambar, kata-kata, dan ikon bisa
menjelaskan hal-hal tidak terlihat seperti emosi dan perasaan, maka tidak ada
perbedaan antara ketiganya. Ketiganya merupakan bahasa yang sama. Ikon di
dalam komik bisa berupa apa saja. Tidak ada aturan khusus yang mengatur ikon di
dalam komik.
Ikon yang sering digunakan di dalam komik adalah balon dialog. Balon
dialog bukan hanya garis yang memberikan batasan antara dialog dan onomatope.
Balon dialog merupakan sebuah ikon yang variasinya sangat bermacam-macam
banyaknya. Setiap variasi yang muncul dari balon dialog memiliki pesan, bahkan
ada balon dialog yang di dalamnya tidak terdapat bahasa verbal. Hal ini tentu saja
Gambar 1.15 Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 87
29
kembali kepada gaya masing-masing komikus. Balon dialog diperguanakan untuk
menunjukan dialog tokoh komik, terkadang kata-kata tertentu diberi tekanan
dengan dicetak tebal atau dengan bentuk tipografi khusus. Selain itu, tanda seru
(exclamation marks) juga kerap digunakan (Masdiono, 1998:31)
Komikus mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam hal bentuk tulisan.
Setiap komikus mempunyai gaya dan caranya sendiri. Gaya dan cara mereka biasanya khas
dan unik. Setiap komikus mempunyai gaya dan cara tersendiri dalam memunculkan bentuk
tulisannya.
Gambar 1.16
Diambil dari Memahami Komik oleh
Scott McCloud Halaman 134
30
1.6 Metode penelitian
Metode merupakan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI,
2008:952). Untuk mendapatkan hasil interpretasi yang akurat dari obyek
penelitian maka pendekatan yang dipilih adalah analisis tafsir yang mengacu pada
penelitian kualitatif. Metode ini dikaji melalui bentuk penelitian kepustakaan.
Selain itu analisis yang digunakan adalah metode analis deskriptif. Metode ini
meneliti obyek karya sastra dengan cara menganalisis bagian demi bagian dan
menyajikan dalam bentuk deskripsi. Selain bentuk penelitian kepustakaan,
dilakukan pula pengamatan lapangan untuk memenuhi data-data faktual yang
berkaitan dengan respons dari pembaca komik Jakarta 2039.
Langkah- langkah penelitian yang akan ditempuh adalah sebagai berikut
1) Menentukan obyek penelitian, yaitu Jakarta 2039 karya Seno Gumira
Ajidarma dan Dzaky.
2) Melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi- informasi yang
menunjang penelitian.
3) Melakukan analisis pada obyek dengan teori semiotika Roland Barthes,
yaitu menemukan satuan-satuan pembacaan yang nantinya akan disebut
leksia.
4) Menguraikan kode-kode yang terkandung dalam setiap leksia.
5) Menafsirkan kode-kode yang terkandung dalam masing-masing leksia dan
menghubungkannya dengan keterangan di luar unsur-unsur visual dan
verbal komik Jakarta 2039 dengan cara membandingkan.
31
6) Menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan
1.7 Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan skripsi ini adalah Bab I berisi pendahuluan yang di
dalamnya memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjuan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan
skripsi. Bab II merupakan analisis leksia pada komik Jakarta 2039 melalui
pemenggalan teks dan visual, menguraikannya, dan memberikan kode sesuai
dengan lima kode Roland Barthes. Bab III menyajikan penafsiran yang berisi
makna-makna berdasarkan uraian yang diperoleh pada bab II dan
menghubungkannya dengan keterangan-keterangan di luar teks. Bab IV berisi
kesimpulan dan hasil analisis penafsiran yang telah dilakukan pada bab
sebelumnya.