bab i pendahuluan 1.1. latar belakang - sinta.unud.ac.id i skripsi...perwakilan rakyat daerah...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai
upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut. Demokrasi berdiri berdasarkan prinsip persamaan, yaitu bahwa setiap warga negara
memiliki kesamaan hak dan kedudukan didalam pemerintahan. maka dari itu setiap warga negara
memiliki kekuasaan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Menurut Mahfud M.D.,
demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat kaitannya dengan hukum. Demokrasi tanpa
hukum tidak akan terbangun dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya
hukum tanpa sistem politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif.1
Seiring berjalannya waktu demokrasi dalam arti rakyat terlibat secara langsung dalam
pemerintahan sudah tidak mungkin dilaksanakan lagi, karena demokrasi sebagai pemerintahan
oleh rakyat secara sepenuhnya hanya mungkin terjadi pada negara yang wilayah dan jumlah
warga negaranya sangat kecil. Dari hal tersebut lahirlah sistem demokrasi perwakilan yang
bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara tetap dapat menjadi bahan pembuat
keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka. Didalam sistem demokrasi perwakilan,
kekuasan tertinggi tetap ditangan rakyat, tetapi dijalankan oleh wakil-wakil yang di pilih oleh
rakyat sendiri2. Hans Kelsen menyatakan bahwa dalam demokrasi perwakilan fungsi
pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada orang-orang yang akan duduk di organ-organ
negara. Untuk mengisi organ-organ negara dilakukan nominasi yang demokratis, yaitu Pemilihan
1 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, 1999, Gama Media, Yogyakarta, h. 1
2 ibid, h. 5
Umum (Pemilu). Dengan demikian Pemilu merupakan salah satu ciri utama dari negara
demokrasi modern dan cara yang demokratis untuk membentuk dan mentransfer kekuasaan dari
rakyat kepada otoritas negara. Pemilu dijadikan indikator kualitas demokrasi dari sebuah bangsa,
apabila Pemilu mampu dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan partisipatif, maka hal
tersebut menunjukan proses demokratisasi berlangsung secara positif.3 Hasil Pemilu yang
dilaksanakan dalam suasana keterbukaan dan kebebasan dianggap akurat mencerminkan
partisipasi dan aspirasi masyarakat.4
Secara umum, pelaksanaan Pemilu bertujuan untuk memilih wakil rakyat dan
terselenggaranya pemerintahan yang benar dan sesuai dengan pilihan rakyat, maka dari itu
pemilu yang demokratis merupakan pemilu yang dilakukan secara berkala, dan diselenggarakan
berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur, dan adil. Indonesia yang
menganut prinsip negara hukum yang demokratis5 yang mengatur ketentuan mengenai Pemilu
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yaitu
dituangkan dalam ketentuan Pasal 22E disana diatur secara khusus ketentuan mengenai
pelaksanaan pemilu secara berkala, yaitu setiap 5 (lima) tahun sekali untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), serta Presiden dan Wakil Presiden.
Agar pelaksanaan Pemilu mencapai hasil yang benar-benar demokratis, UUD NRI 1945
menetukan asas Pemilu, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kemudian dalam
ketentuan Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Kemudian dalam
3 Irvan Marwadi, 2014, Dinamika Sengketa Hukum Administrasi di Pemilukada, Rangkang Education,
Yogyakarta, h. 79
4 Miriam Budiarjo, 1999, Demokrasi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 243
5 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-pilar Demokrasi, 2011, Sinar Grafika, Jakarta, h. 132
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
menterjemahkan kata “dipilih secara demokratis” sebagai Pemilihan Langsung. Namun
sesungguhnya dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
menjadi dasar pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan melalui pemilihan langsung oleh
rakyat. Ketentuan tegas tentang pemilihan secara langsung oleh rakyat terdapat dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 angka 4, dengan pertimbangan antara lain karena
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan kewenangan
untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah6.
Sehingga sejak tahun 2004, rakyat Indonesia memilih langsung kepala daerah dan wakil
kepala daerah (Pilkada). Walaupun Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, namun
pilkada tidak diletakan dalam bagian dari Pemilu, melainkan diletakkan dalam bagian
Pemerintahan Daerah. Hal ini dilihat dari beberapa aspek, yaitu dilihat dari istilah yang
digunakan bukan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, melainkan
Pemilihan Kepala Daerah, penyelenggara pemilihan Pilkada dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan penyelesaian perselisihan hasil Pilkada adalah
wewenang Mahkamah Agung (MA). Beberapa aspek tersebut menjadi dasar permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian MK menerbitkan Putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
6 Janedjri M. Gaffar, 2013, Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia, Konpress, Jakarta, h. 177
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan
ini MK menyatakan secara formal pembentuk Undang-Undang menentukan rezim Pilkada
secara langsung memang bukan merupakan rezim Pemilu. Sekalipun demikian, secara substantif
Pilkada adalah Pemilu, sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional
Pemilu. Dengan dikeluarkannya putusan ini, pemerintah yang berwenang membentuk Undang-
Undang kemudian membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu secara tegas
menyatakan bahwa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk
memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Kemudian dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu ditegaskan bahwa Penyelenggara Pemilihan
Umum adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Presiden
dan Wakil Presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan demikian sejak
tanggal 29 Oktober 2008 penyelesaian sengketa penetapan hasil Pemilukada menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya merupakan wewenang Mahkamah Agung (MA).
Kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa Pemilukada diatur dalam ketentuan Pasal
24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Perkara atau sengketa pemilu mencakup 3 ranah, yaitu: sengketa hasil pemilu, perkara pidana
pemilu, dan sengketa administrasi pemilu. Apabila merujuk Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah , untuk sengketa hasil pemilu diselesaikan di
MK, sedangkan penyelesaian perkara pidana pemilu diselesaikan melalui Pengadilan Negeri
(PN), sementara penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu (Pasal 254 (3) UU No. 8 Tahun
2012) dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
berdasarkan laporan Bawaslu dan Panwaslu, dimana apabila tidak puas dalam hal tertentu dapat
menggugat ke PTUN.
Dengan dijadikannya MK sebagai lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa
Pemilukada, maka segala perkara terkait dengan sengketa penetapan hasil pemilukada langsung
masuk ke MK dan tentu saja hal ini mempengaruhi kinerja dari MK karena sebelumnya MK
hanya menangani masalah terkait pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Terhitung sejak tahun 2008 hingga 2013 MK telah menangani 685 perkara
terkait dengan sengketa Pemilukada. Jika dilihat dari jumlah perkara yang ada, MK cenderung
menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah perkara sengketa pemilu
yang ditangani lebih banyak dibanding dengan pengujian Undang-Undang (Judicial Review)
yang merupakan kewenangan utama sebuah Mahkamah Konstitusi. Komite Pemilih Indonesia
mencatat, 85 persen lebih Pemilukada berujung sengketa di MK. Berdasarkan pada fakta
tersebut, kemudian muncul asumsi bahwa konsistensi majelis hakim MK mulai hilang, karena di
MK seorang hakim bisa menggelar empat hingga lima sidang perhari, dan bahkan pada bulan
Agustus 2010, MK bersidang sebanyak 221 kali, yang berarti dalam 1 hari MK bersidang 11
kali. Intensitas persidangan seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan dari sisi efektifitas dan
kualitas proses persidangan, yang pada ujung berpengaruh terhadap kualitas pelayanan terhadap
pencari keadilan.
Beragam putusan terkait dengan sengketa Pemilukada telah dikeluarkan oleh MK, salah
satu contoh putusan yang telah dikeluarkan MK terkait dengan sengketa Pemilukada yaitu
putusan sengketa Pemilukada Gubernur Jawa Timur. MK mengabulkan sebagian
permohonan yang diajukan oleh pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mujiono. MK
memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jawa Timur untuk melakukan
pemungutan suara ulang di Kabupaten Sampang dan Bangkalan. Sedangkan di Kabupaten
Pamekasan harus dilakukan penghitungan suara ulang. Terjadi kontroversi terhadap putusan
tersebut, dimana MK seharusnya tak mempunyai kewenangan memerintahkan pemungutan suara
ulang, karena MK hanya berewenang mengadili sengketa atas hasil Pemilukada. Namun MK
berpendapat bahwa MK dapat menerobos Undang-Undang dalam menjalankan tugasnya
mengawal konstitusi pada Pemilukada Jawa Timur, MK melihat adanya pelanggaran asas-asas
dalam UUD NRI 1945 yang menyangkut pemilu yang jujur, adil, bebas dan rahasia. Putusan
pemungutan suara ulang bukan hanya terjadi pada Pemilukada Jawa Timur saja, hal yang sama
juga terjadi pada Pemilukada Tapanuli Utara, bahkan MK memerintahkan untuk melakukan
pemungutan suara ulang pada Pemilukada di Tapanuli Utara. Dari 15 kecamatan yang ada di
Tapanuli Utara, MK memerintahkan agar pemungutan suara di 14 kecamatan diulang.7
Kemudian pada tahun 2013, Akil Mochtar selaku ketua MK ditahan akibat kasus suap dalam
penyelesaian 15 sengketa Pemilukada.8 Hal tersebut menyebabkan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap MK, kasus yang melibatkan Ketua MK tersebut dijadikan momentum untuk
mengevaluasi kewenangan MK dalam penyelesaian sengketa Pemilukada. Jika dilihat kembali
awal pembentukan MK, sangat jelas bahwa yang menjadi tugas utama MK adalah menguji
Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan kewenangan-
kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD NRI 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 24C ayat (1) UUD
NRI 1945. Selain itu ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilukada paling lambat 14
hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Permasalahan
lainnya akibat pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat
(upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Banyaknya gugatan
yang masuk, sempitnya waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan
mengikat inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus
sengketa Pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan
kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena itu akan menjadi
upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.
7 Ali, 2009, “Sengketa Pilkada, Kewenangan Baru Bikin sibuk MK”, hukumonline.com, URL :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20823/sengketa-pilkada-kewenangan-baru-bikin-sibuk-mk-. diakses
tanggal 16 Maret 2015.
8 Henry Lopulalan, “Kasus Suap Penanganan Sengketa Pilkada Akil Mochtar Yang Menggurita”, kompas.com,
URL :
http://nasional.kompas.com/read/2014/12/27/15533261/Kasus.Suap.Penanganan.Sengketa.Pilkada.Akil.Mochtar.yan
g.Menggurita. diakses tanggal 16 Maret 2015.
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan
Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) mengajukan gugatan terkait dengan pengujian
Undang-Undang ke MK, yaitu Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, bertentangan dengan UUD NRI 1945. Yang kemudian MK mengabulkan
permohonan tersebut dan membatalkan wewenangnya memutus sengketa Pemilukada dengan
mengeluarkan Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
pertimbangan hukumnya Mahkamah berpendapat, Pemilu menurut Pasal 22E UUD NRI 1945
harus dimaknai secara limitatif, yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih
anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima
tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun
sekali pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta
Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali atau pemilihan lima
kotak suara. MK berpendapat jika memasukkan Pemilukada menjadi bagian dari pemilihan
umum sehingga menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan hasilnya, bukan
saja tidak sesuai dengan makna dari pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan di atas, tetapi
juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi berkali-kali, karena
pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun dengan waktu yang
berbeda-beda. Di samping itu, sebagaimana telah menjadi pendirian MK dalam pertimbangan
putusannya Nomor 1-2/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Undang-Undang No. 4 Tahun 2014
Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Februari 2014, kewenangan
lembaga negara yang secara limitatif ditentukan oleh UUD NRI 1945 tidak dapat ditambah atau
dikurangi oleh Undang-Undang maupun putusan Mahkamah karena akan mengambil peran
sebagai pembentuk UUD NRI 1945. Dengan demikian, menurut MK, penambahan kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah
dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah
inkonstitusional.
Untuk menindaklanjuti putusan tersebut, kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengembalikan kewenangan mengadili sengketa Pilkada ke badan peradilan di bawah MA,
melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014.
Kewenangan ini diatur dalam Pasal 157 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi
perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, peserta pemilihan dapat mengajukan
permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
Dari pemaparan di atas muncul dua pendapat mengenai peralihan kewenangan
penyelesaian sengketa Pemilukada dari MK ke MA. Di satu pihak menanggapi wewenang
penyelesaian sengketa terhadap penetapan hasil Pemilukada haruslah tetap menjadi wewenang
dari MK, karena selain memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi, MK juga berfungsi sebagai
pengawal demokrasi. Maka dari itu penyelesaian sengketa Pemilukada oleh MK merupakan
suatu upaya untuk mengawal proses demokrasi dalam kerangka konstitusi. Merujuk pada
pendapat salah satu hakim MK Fadlil Sumadi, beliau menjelaskan bahwa karena sistem dan
mekanisme rekrutmen pengisian kepala daerah adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22E maka perselisihan hasil pemilihan kepala daerah berdasarkan uraian di atas adalah
perselisihan hasil pemilu (PHPU).
Di lain pihak menanggapi secara positif peralihan kewenangan penyelesaian sengketa
Pemilukada dari MK ke MA, karena kewenangan MK untuk menyelesaikan perselisihan
hasilnya, bukan saja tidak sesuai dengan makna dari pemilihan umum sebagaimana telah
diuraikan di atas, tetapi juga akan menjadikan Pemilu tidak saja setiap lima tahun sekali, tetapi
berkali-kali, karena pemilihan kepala daerah sangat banyak dilakukan dalam setiap lima tahun
dengan waktu yang berbeda-beda. Selain itu MK dalam putusannya menyatakan bahwa
kewenangan MK dalam memutus sengketa hasil Pemilukada adalah Inskonstitusional.
Dengan adanya peralihan kewenangan dalam penyelesaian sengketa Pilkada dari MK
kepada MA, maka hal tersebut menarik untuk diteliti dan dituangkan dalam tulisan yang berjudul
“Implikasi Peralihan Kewenangan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah dari
Mahkamah Konstitusi Kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota”.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa latar belakang yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala
Daerah oleh Mahkamah Agung ?
2. Bagaimana implikasi peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan
Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan
batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang
lingkup permasalahan yang akan dibahas, yaitu terkait dengan permasalahan pertama yaitu
menelusuri dasar yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh
Mahkamah Agung terutama setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan permasalahan
kedua yaitu implikasi dari kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah
dari Mahkamah Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota.
1.4. Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai implikasi peralihan kewenangan penyelesaian
sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Selain itu dalam penelitian ini dibahas mengenai
dasar yuridis kewenangan Mahkamah Agung dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilihan
Kepala Daerah. Dalam penulisan penelitian ini, penulis menemukan beberapa kemiripan dengan
penelitian lain, adapun perbandingan penelitian penulis dengan penelitian lainnya adalah sebagai
berikut:
No. Nama Penulis Judul Rumusan Masalah
1 Hendri Budi Yanto
(Mahasiswa Fakultas Hukum,
Universitas Sebelas Maret,
Surakarta)
Implikasi Tugas Dan
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam
Penyelesaian Sengketa
Hasil Pemilukada (Studi
Kasus Putusan
Mahkamah Konstitusi
Nomor
57/Phpu.Dvi/2008
Tentang Pemilukada
Kabupaten Bengkulu
Selatan)
1. Bagaimana Pelaksanaan
Penyelesaian Sengketa
Hasil Pemilukada Di
Mahkamah Konstitusi
(Studi Kasus Putusan
Mahkamah Konstitusi
Nomor 57/PHPU.D-
VI/2008 Dalam Perkara
Perselisihan Pemilihan
Umum Kepala Daerah Dan
Wakil Kepala Daerah
(Pilkada) Kabupaten
Bengkulu Selatan?
2. Bagaimana Implikasi Tugas
Dan Wewenang Mahkamah
Konstitusi Dalam
Penyelesaian Sengketa
Hasil Pemilukada (Studi
Kasus Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor
57/PHPU.D-VI/2008
Dalam Perkara Perselisihan
Pemilihan Umum Kepala
Daerah Dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada)
Kabupaten Bengkulu
Selatan)?
2 Siswantana Putri Rachmatika
(Mahasiswi Program Magister
Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, Jakarta)
Peralihan Kewenangan
Penyelesaian Sengketa
Pilkada Dari Mahkamah
Agung Ke Mahkamah
Konstitusi
1. Bagaimana Penyelesaian
Sengketa Pilkada Sebelum
Perubahan Kedua Undang-
Undang Pemerintahan
Daerah?
2. Bagaimana Implikasi
Peralihan Kewenangan
Penyelesaian Sengketa
Pilkada Dari Mahkamah
Agung Ke Mahkamah
Konstitusi?
3 I Putu Dedy Putra Laksana
(Mahasiswa Fakultas Hukum,
Unversitas Udayana, Bali)
Implikasi Peralihan
Kewenangan
Penyelesaian Sengketa
Pemilihan Kepala Daerah
Dari Mahkamah
Konstitusi Ke Mahkamah
Agung
1. Apa Dasar Yuridis
Kewenangan Penyelesaian
Sengketa Pemilihan Kepala
Daerah Oleh Mahkamah
Agung?
2. Bagaimana Implikasi
Peralihan Kewenangan
Penyelesaian Sengketa
Pemilihan Kepala Daerah
Dari Mahkamah Konstitusi
Ke Mahkamah Agung?
Dilihat dari tabel perbadingan penelitian di atas, kemiripan penelitian ini dengan penelitian
lainnya tidak terlalu signifikan. Penelitian ini lebih menitiberatkan pada implikasi peralihan
kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah dari Mahkamah Konstitusi
Kepada Mahkamah Agung setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota serta latar belakang
yuridis kewenangan Mahkhamah Agung dalam peneyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala
Daerah.
1.5. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;
1.5.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk dapat memahami dasar
yuridis kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh Mahkamah
Agung dan implikasi dari kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah
dari Mahkamah Konstitusi ke Mahkamah Agung.
1.5.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengkaji dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang latar belakang
yuridis kewenangan penyelesaian sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah oleh
Mahkamah Agung.
2) Untuk mengkaji dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang implikasi dari
peralihan kewenangan penyelesaian sengketa hasil Kepala Daerah dari Mahkamah
Konstitusi kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
1.6. Manfaat Penulisan
1.6.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi atau kontribusi
dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahan-
permasalahan yang ada di masyarakat. Serta juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk
penelitian-penelitian di bidang hukum tata negara. Sehingga, melalui penelitian ini dapat dilihat
perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum tata negara, khususnya mengenai
penyelesaian sengketa hasi Pemilihan Kepala Daerah.
1.6.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian
sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan, dan penyempurnaan bagi penelitian
selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian terhadap penyelesaian sengketa hasil
Pemilihan Kepala Daerah.
1.7. Landasan Teoritis
Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan skripsi ini secara lebih mendalam,
perlu kiranya dikemukakan teori, konsep atau landasan-landasan terhadap permasalahan tersebut
yang didasarkan pada literatur – literatur yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan
permasalahan yang ada. Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat
memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang
dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini
meliputi teori negara hukum, teori demokrasi, teori pembagian kekuasaan, dan teori kewenangan
atribusi.
1.7.1. Teori Negara Hukum
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Djokosutomo mengatakan, bahwa negara
hukum menurut UUD NRI 1945 adalah berdasarkan pada kedaulatan hukum.9 Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Oleh
karena itu, negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi
harus berdasarkan pada hukum. Secara teori, negara hukum (rechstaat) adalah negara bertujuan
untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum
yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu,
dan agar semua berjalan menurut hukum.10
Seiring dengan perkembangan negara hukum itu sendiri, kini suatu negara dapat dikategorikan
sebagai negara hukum asalkan memenuhi dua belas prinsip, yakni:
1) Supremasi Hukum (supremacy of law);
2) Persamaan dalam Hukum (equality before The Law);
3) Asas legalitas (due process of law);
4) Pembatasan kekuasaan;
9 C.S.T Kansil dan Christine S.T., 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Pengertian Hukum Tata
Negara dan Perkembangan Pemerintah Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 Hingga Kini), cetakan I,
PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 86.
10 Hans Kelsen, 2006, Teori Tentang Hukum dan Negara, cetakan I, Penerbit Nusamedia dan Penerbit Nuansa,
Bandung, h. 382.
5) Organ-organ eksekutif independen;
6) Peradilan bebas dan tidak memihak;
7) Peradilan tata usaha negara;
8) Peradilan tata negara;
9) Perlindungan hak asasi manusia;
10) Bersifat demokratis (democratische rechtstaat);
11) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara.
12) Transparansi dan kontrol sosial.11
Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI
1945 disebutkan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Lembaga Yudikatif sejak
masa reformasi dan adanya amandemen UUD NRI 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung,
Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim.
Lembaga Yudikatif di era reformasi di Indonesia terjadi perubahan dan telah sejalan dengan
amandemen terhadap UUD NRI 1945, Bab IX, tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 24 ayat (2)
menetapkan bahwa Lembaga Yudikatif yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, agama, militer, tata usaha negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam menjalankan fungsinya lembaga peradilan harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
1) Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat secara umum yang dapat
diterapkan pada suatu persoalan,
2) Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret,
3) Ada sekurang-kurangnya 2 pihak, dan
4) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutus perselisihan.
11 Jimly Assiddhiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitualisme, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata
Negara FH UI, Jakarta, h.124.
5) Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing) dan
menemukan hukum (rechtsvinding) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum
materiil.12
Sedangkan menurut Abdul Mukhti Fajar, ciri-ciri lembaga peradilan yaitu :
1) Merupakan lembaga independen atau lembaga yang bebas dari kekuasaan lembaga
lain baik secara fungsional maupun struktural;
2) Adanya hukum yang bersifat umum yang merupakan sumber hukum yang akan
diterapkan oleh lembaga peradilan;
3) Adanya pihak yang bersengketa yang mempunyai kepentingan secara langsung atas
putusan yang disengketakan yang dapat memberikan dasar bagi pemberian status
untuk mengajukan gugatan atau permohonan;
4) Adanya perkara konkrit yang terjadi yang diajukan untuk mendapatkan putusan;
5) Keputusan lembaga mempunyai sifat eksekutorial, tanpa perlunya persetujuan penuh
dan resmi dari lembaga lain.13
Utrecht dan Rachmat Soemitro memberikan dua macam asas yang merupakan ciri negara
hukum, yaitu asas legalitas dan asas perlindungan terhadap kebebasan setiap orang dan terhadap
hak-hak asasi manusia lainnya.14 Dari sejarah kelahiran, perkembangan, maupun pelaksanaannya
di berbagai negara, konsep negara hukum sangat dipengaruhi dan tidak dapat dipisahkan dari
asas kedaulatan rakyat, asas demokrasi, serta asas konstitusional.15 Hukum yang hendak
ditegakkan dalam negara hukum agar hak-hak asasi warganya benar-benar terlindungi hendaklah
hukum yang benar dan adil, yaitu hukum yang bersumber dari aspirasi rakyat, untuk rakyat, dan
oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang dibuat secara konstitusional.
12 Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural, 2012. Profil Lembaga Negara
Rumpun Yudikatif, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, h. 14.
13 Ibid, h. 15. 14 E. Utrecht, 1966, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan IX, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, h.
305.
15 Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, cetakan I, Penerbit Total Media, Yogyakarta, h. 44.
1.7.2. Teori Demokrasi
Terdapat dua jenis demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan.
Demokrasi langsung adalah pemerintah dijalankan oleh rakyat sendiri, dimana segala keputusan
diambil oleh seluruh rakyat pada waktu dan tempat yang sama dan hal ini hanya mungkin terjadi
pada negara kecil. Sedangkan demokrasi perwakilan dilaksanakan dengan permusyawaratan
dimana warganegaranya melaksanakan hak yang sama, tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih
mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui proses-proses pemilihan yang bebas, ini
dikenal sebagai representative government, suatu pemerintahan yang berdasarkan perwakilan16.
Dalam sistem demokrasi perwakilan, Pemilihan Umum adalah suatu kemestian dan suatu
lembaga yang sangat vital untuk demokrasi. Suatu pemilihan yang bebas berarti bahwa dalam
suatu jangka waktu tertentu rakyat akan mendapat kesempatan untuk menyatakan hasratnya
terhadap garis-garis politik yang harus diikuti oleh negara dan masyarakat dan terhadap orang-
orang yang harus melaksanakan kebijakan itu17. Dengan demikian pemilihan umum merupakan
salah satu ciri utama dari negara demokrasi modern dan cara yang demokratis untuk membentuk
dan mentransfer kekuasaan dari rakyat kepada otoritas negara.
1.7.3. Teori Pembagian Kekuasaan
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan,
sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. Pembagian
kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga
16 Ismail Suny, 1978, Mekanisme Demokrasi Panca Sila, Cetakan Ke III, Radar Jaya Offset, Jakarta, h. 20.
17 Ibid. h. 21.
Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Jimly
Asshiddiqie mengatakan bahwa kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan
kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang
sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada
kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama.
Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:
1) Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat
dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2) Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini
lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif dan yudisial.
Pencetus teori pembagian kekuasaan diantaranya :
1) John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Second Treaties of Goverment” mengusulkan
agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya harus ada pembagian pemegang kekuasaan ke
dalam tiga macam kekuasaan,yaitu, Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang),
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan Kekuasaaan Federatif
(melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).18 Pendapat John Locke
inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk
menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
18 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 15.
2) Montesquieu mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang
berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda
dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu
diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu Kekuasaan Legislatif
(membuat undang-undang), Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan
Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).19
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of
power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut.20
Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo menegaskan bahwa UUD NRI 1945 tidak
menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut
sistem pembagian kekuasaan.
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama
empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara
nyata21. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
1) adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2) diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk
legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat
diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai
undang-undang.
3) diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan
semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan
kedaulatan rakyat.
4) MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga
negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5) hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama
lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
19 Ibid h. 21.
20 Ibid h. 22.
21 Ibid
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut
prinsip ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling
mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD NRI
1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks
and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.22
1.7.4. Teori Kewenangan
Wewenang merupakan hal yang esensial dalam kajian hukum tata negara karena
berhubungan dengan pertanggungjawaban hukum dan penggunaan wewenang tertentu. Prajudi
Atmosudirdjo berpendapat bahwa kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberikan oleh Undang-Undang ) atau dari
Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-
orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan)
tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk
melakukan sesuatu tindak hukum publik.23
Secara teori kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh dengan
tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Dalam hal ini, Van Wijk mendefinisikan hal-hal
tersebut sebagai berikut:
1. Atribusi; adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintahan.
22 ibid, h. 24. 23 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 29.
2. Delegasi; adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat; terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
organ lain atas namanya.24
Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-
Undang Dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal
dari “pelimpahan”.25 Menurut Philipus M. Hadjon terdapat tiga sumber kewenangan yaitu
atribusi, delegasi, dan mandat26. Atribusi merupakan wewenang yang melekat pada suatu
jabatan. Dalam tinjauan Hukum Tata Negara atribusi ditunjukkan dalam wewenang yang
dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan
yang ditunjuk oleh pembuat Undang-Undang.
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada skripsi ini, digunakan jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif adalah penelitian yang menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk
selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori – teori hukum kemudian dikaitkan
dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam praktek hukum.27
1.7.2. Jenis Pendekatan
24 M. Hutanuruk, 1978, Asas-Asas Ilmu Negara, Erlangga, Jakarta, h.102.
25 Ni Nyoman Mariadi, “Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah
Pertanian”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2011, h.27.
26 Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Hukum Administrasi Negara, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
h.140
27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Edisi I, Cet
ke-V, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.13.
Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan
hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini. 28 Selanjutnya
dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan konsep – konsep hukum
yang ada.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan
penelitian kepustakaan, sehingga bahan dari penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas atau bersifat
mengikat. Contohnya Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Putusan hakim.29
Contoh bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : UUD NRI
1945, Undang-Undang, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Agung
dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library
research). Library research digunakan untuk menggali data melalui buku-buku yang
terkait dengan masalah hukum tata negara, Undang-Undang, Putusan hakim maupun
data-data lainnya.
28 Ibrahim dan Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
h. 302. 29 Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47
1.7.4. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk, penunjang ataupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder30, contohnya : kamus bahasa
hukum, dan ensiklopedi
1.7.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan bahan hukum yang memiliki
hubungan dengan masalah yang diteliti dan digolongkan sesuai dengan katagori. Selanjutnya
data yang diperoleh kemudian dipelajari, dicatat dan diklasifikasikan sesuai dengan tujuan dan
permasalahan penelitian.
1.7.6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
deskripsi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi.
1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari kegunaannya.
Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-
proposisi hukum atau non hukum.31
2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa, tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,
benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proporsi,
pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer
maupun dalam bahan hukum sekunder.32
30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13.
31 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar Bali, 2013, Bali, h. 76. 32 Ibid.
3. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan
permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukkan kedalaman penalaran
hukum.33
Dari ketiga teknik analisis bahan hukum diatas, maka akan dituangkan dalam tulisan yang
bersifat deskriptif analisis.
33 Ibid h. 77.