bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i.pdf · karena adanya penjatuhan hukuman...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lalu lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran yang strategis dalam
mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan
kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga jalan raya merupakan salah satu prasarana
yang sangat menunjang bagi kebutuhan hidup masyarakat demi kelancaran di dalam
melakukan suatu aktifitas sehari-hari, dikarenakan jalan raya sebagai salah satu sarana
bagi manusia untuk mengadakan hubungan antar tempat, dengan mempergunakan
kendaraan bermotor maupun kendaraan lainnya. Berkendara dengan menggunakan
mobil maupun dengan sepeda motor di kota-kota besar yang memiliki arus lalu lintas
super sibuk tentu saja bukan hal yang mudah dan nyaman.
Sehingga dibutuhkannya rambu untuk mengatur arus lalu lintas, adanya rambu-
rambu lalu lintas bukan hanya harus dipatuhi dan dipahami oleh para pengendara motor
dan mobil. Pejalan kaki yang menggunakan jalan rayapun seharusnya paham dan
mamatuhi peraturan di jalan tersebut.Semua orang harus taat kepada peraturan lalu
lintas ketika berada di jalan raya.Satu saja tidak patuh, akibat fatal bisa terjadi.1
Jalan raya mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, politik, sosial-
budaya, hukum, serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Salah
satu permasalahan yang selalu dihadapi di kota-kota besar yaitu masalah lalu lintas.Hal
1Rinto Raharjo, 2014, Tertib Berlalu Lintas, cet. 1, shafa media, Yogyakarta, h. 22
ini terbukti dari adanya indikasi angka-angka kecelakaan lalu lintas yang semakin hari
semakin meningkat, yang dimana keadaan ini merupakan salah satu perwujudan dari
perkembangan teknologi modern.
Perkembangan dalam bidang lalu lintas dapat memberikan pengaruh baik yang
bersifat positif maupun yang bersifat negatif bagi kehidupan masyarakat.Seiring dengan
perkembangan kendaraan bermotor yang beredar di masyarakat dari tahun ke tahun
semakin meningkat sehingga membawa pengaruh terhadap keamanan lalu
lintas.Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan
aktivitasnya. Dewasa ini banyak terjadi kasus kecelakaan yang sering diperbincangkan
di berbagai media massayang mana mengakibatkan banyak korban meninggaldunia.
Kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh banyak faktor seperti kerusakan kendaraan,
pejalan kaki yang kurang hati-hati, kurang mematuhi rambu-rambu lau lintas, dan yang
paling sering terjadi kecelakaan akibat dari kelalaian oleh pengemudi.Pihak-pihak yang
bertanggung jawab atas keselamatan pada pengguna jalan raya telah berusaha
menanggulangi kecelakaan lalu lintas, hal ini terlihat dari berbagai peraturan telah
disusun dan diterapkan yang disertai dengan penyuluhan, peningkatan kualitas
kendaraan dan jalan raya agar lebih aman, serta berbagai macam kegiatan yang
dilakukan agar meminimalisir terjadinya jatuhnya korban jiwa akibat kecelakaan lalu
lintas.
Namun demikian kecelakaan masih tetap terjadi, kecelakaan yang disebabkan
oleh kealpaan yang menyebabkan matinya seseorang.Perbuatan karena kealpaan yang
mengakibatkan kematian pada orang lain sebenarnya telah ada suatu gambaran
mengenai akibat dari perbuatannya yaitu bahwa dia dengan berbuat secara demikian
mungkin sekali akan mengakibatkan hal-hal yang terlarang tersebut.
Perbuatan karena kealpaan yang mengakibatkan kematian kepada orang lain
juga terjadi di Kabupaten Jembrana. Berikut data jumlah angka kecelakaan lalu lintas
pada tahun 2014 yang ada di Kabupaten Jembrana adalah sebagai berikut :
Tabel I
Data Kecelakaan Lalu Lintas Tahun 2014
NO BULAN JUMLAH
LAKA
JUMLAH
KORBAN LAKA
LANTAS
KERUGIAN
MATERI
KET
MD LB
1 JANUARI 12 6 0 Rp. 23.000.000
2 FEBRUARI 4 2 0 Rp. 9.800.000
3 MARET 11 4 0 Rp. 55.950.000
4 APRIL 12 4 0 Rp. 35.800.000
5 MEI 14 5 0 Rp. 91.300.000
6 JUNI 11 4 0 Rp. 71.500.000
7 JULI 13 6 1 Rp. 25.900.000
8 AGUSTUS 17 5 0 Rp. 82.750.000
9 SEPTEMBER 5 3 0 Rp. 11.100.000
10 OKTOBER 14 6 0 Rp. 30.550.000
11 NOVEMBER 15 9 0 Rp. 43.200.000
12 DESEMBER 9 4 1 Rp. 16.600.000
JUMLAH 137 58 2 Rp. 497.450.000.00
Sumber : Satuan Lalu Lintas Polres Jembrana Tahun 2014
Dengan melihat data pada tabel diatas dapat dilihat bahwa kecelakaan lalu lintas
yang terjadi di kabupaten Jembrana sangat tinggi, yang dimana mengakibatkan
meninggal dunia mencapai 58 (lima puluh delapan) korban jiwa dan mengakibatkan 2
(dua) orang mengalami luka berat pertahun.
Dari data tersebut dapat dilihat banyaknya terjadi kecelakaan lalu lintas sehingga
tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan penjatuhan pemidanaandalam hal ini
perbedaan penjatuhan yang disebut dengan disparitas pidana. Disparitas pidana adalah
penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap
tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran
yang jelas.2Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul
karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang
sejenis.Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim
terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam
hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian
itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa
kategori yaitu:
2Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h.52
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama.
2. Disparitas antara tindak tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang
sama.
3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim.
4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk
tindak pidana yang sama.3
Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat ditemukan dimana disparitas
tumbuh dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada
tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana,
dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang
berbeda untuk perkara yang sama.
Terkait pada hal itu disparitas pidana juga sering dihubungkan dengan
independensi hakim, jenis pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan
(perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam menjatuhkan
putusan, hakim tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.Disparitas pidana ini pun
membawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Indonesia
yang menganut aliran positivesme dalam hukum pidananya yang memberikan
kebebasan hakim yang lebih luas sehingga besar kemungkinannya untuk dapat
terjadinya disparitas dalam menjatuhkan putusannya, sedangkan undang-undang hanya
dipakai sebagai pedoman pemberian pidana yaitu pedoman maksimal saja.
Undang-undang dibuat agar dapat menjamin suatu kepastian hukum sehingga
harus ditegakkan dengan penerapan suatu sanksi yang dapat membuat pelanggar
3 Devi Darmawan, 2010, Problematika Disparitas Pidana dalam Penegakan Hukum di Indonesia,
https://devidarmawan.wordpress.com/2010/10/07/problematika-disparitas-pidana-dalam-penegakan-
hukum-di-indonesia, diakses pada tanggal 01 Juli 2015.
menjadi jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya kembali. Demikian pula halnya
dengan kcelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain menjadi meninggal dunia
akibat dari pelanggaran lalu lintas sehingga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai
dengan yang diatur dalam Pasal 359 KUHP serta Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan.
Pasal 359 KUHP menentukan bahwa “Barang siapa yang karena kesalahannya
(kealpaan) menyebabkan orang lain mati diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.Matinya orang disini tidak
dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan
akibat dari pada kurang hati-hati atau lalai (delik culpa).Sehingga pada Pasal 359 Kitab
Undang-undang Hukum Pidanakarena kealpaan mengakibatkan matinya orang
lain.4Selain pada Pasal 359 terdapat pulaPasal 310 ayat (4)Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang berkaitan erat dengan kaitannya tentang kecelakaan Lalu Lintas karena kealpaan
yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia diancam dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun.
Suatu tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang termasuk dalam batas-
batas perumusan tindak pidana, melawan hukum dan dikarenakan bersalah.5 Sehingga
dari penjelasan mengenai Pasal 359 KUHP serta Pasal 310 ayat (4) Undang Undang
4R. Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, cet. II, Aksara Baru, Jakarta, h.
177.
5R. A. Soema Di Praja, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Alumni, Bandung,h. 233.
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
sudah jelas dibuat untuk menjamin suatu kepastian hukum akan sanksi pelanggaran lalu
lintas. Penjatuhan sanksi pidana yang dikenakan oleh hakim terhadap pelaku
pelanggaran Pasal 359 KUHP serta Pasal 310 ayat (4) Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam
kecelakaan lalu lintas terlihat suatu disparitas penjatuhan sanksi pidana. Ancaman
sanksi yang seharusnya selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara pada KUHP dan 6
(enam) tahun penjara pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terkadang berbeda dalam prakteknya.
Berdasarkan ketentuan tersebut sehingga dapat diartikan bahwa hakim memiliki
kebebasan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 310 ayat (4)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan
Pasal 359 KUHP terhadap kecelakaan lalu lintas yaitu minimal (1) satu hari penjara dan
maksimal (6) enam tahun penjara atau minimal (1) satu hari kurungan dan maksimal (1)
satu tahun kurungan.Sehingga dalam arti pembentuk undang-undang memberikan hak
kebebasan untuk menentukan hukuman dalam batasmaksimumsaja yang terdapat pada
undang-undang.Hakim sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum, memiliki kebebasan
untuk menjatuhkan pidana terhadap perkara pidana yang disidangkannya. Sebagai
akibatnya, akan menimbulkan adanya disparitas putusan terhadap perkara-perkara yang
mempunyai kualifikasi yang sama maupun sejenis.
Berikut beberapa contoh putusan kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas
karena kealpaan yang dijerat pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dilakukan oleh Pengadilan
Negeri Negara adalah :
1. Putusan Nomor : 36/PID.Sus/2014/PN.Ngr
Bahwa terdakwa I KETUT ARTANA telah mengemudikan kendaraan bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan orang lain meninggal dunia, yaitu korban I WAYAN SANTOSA
MARHAENDRA dan NI KETUT WATRI sehingga diancam pidana dalam Pasal
310 ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun penjara.
2. Putusan Nomor : 14/Pid.Sus/2015/PN.Ngr
Bahwa terdakwa MATRAWI telah mengemudikan kendaraan bermotor yang
karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan
orang lain meninggal dunia, yaitu korban I MADE GINCA REBIK PANDE
sehingga diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa
dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan penjara.
3. Putusan Nomor 90/Pid.B/2014/PN.Nga
Bahwa terdakwa AHKAMUDDIN telah mengemudikan kendaraan bermotor
yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan orang lain meninggal dunia, yaitu korban NI WAYAN RAWIS
sehingga diancam pidana dalam Pasal 310 ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan. Penjatuhan pidana kepada terdakwa
dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 20 (dua puluh) hari.
Dari beberapa putusan yang telah dikemukakanbahwa sudah terlihat adanya
disparitas dalam penjatuhan sanksi pidana, hakim sebagai pengambil keputusan
peradilan juga dihadapkan pada resiko yang sama, kesalahan pengambilan keputusan
akan memberikan dampak yang besar bagi manusia. Terdakwa yang sebenarnya tidak
bersalah dapat menjalani hukuman atau terdakwa yang bersalah dapat dibebaskan, jika
terjadi kesalahan pengambilan putusan pada hakim.Pemidanaan yang berbeda/disparitas
pidana ini pun tidak membawa ketidak puasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada
umumnya.Muncul pula kecemburuan sosial dan pandangan negatif oleh masyarakat
pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk ketidak pedulian
pada penegak hukum dalam masyarakat.
Disparitas pidana ini pun membawa problematika tersendiri dalam penegakan
hukum di Indonesia. Di satu sisi pemidanaan yang berbeda atau disparitas pidana
merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain
pemidanaan yang berbeda atau disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi
terpidana bahkan masyarakat pada umumnya. Sehingga yang terjadi adalahketidak
pastian hukum, begitu pula kecemburuan sosial dan juga pandangan negatif oleh
masyarakat pada institusi peradilan, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
ketidakpedulian pada penegakan hukum dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat
pun semakin lama semakin menurun pada peradilan, sehingga terjadilah kondisi dimana
peradilan tidak lagi dipercaya atau dengan kata lain terjadi kegagalan dari sistem
peradilan pidana. Main hakim sendiri pun menjadi sesuatu yang lebih baik dan lebih
memenuhi rasa keadilan daripada mengajukan perkara mereka ke pengadilan..
Bertitik tolak pada uraian diatas maka penulis dalam menyusun skripsi tertarik
membahas dengan memilih judul“DISPARITAS PENJATUHAN SANKSI PIDANA
TERHADAP PELANGGARAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN
KORBAN MENINGGAL DUNIA DI KABUPATEN JEMBRANA”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat penulis kemukakan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di
Kabupaten Jembrana?
2. Apakah yang menjadi faktor penyebab adanya disparitas dalam penjatuhan
sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan
korban meninggal dunia di Kabupaten Jembrana?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menjawab permasalahan diatas, maka agar menghindari suatu
pembahasan yang nantinya keluar dari materi pokok, sehingga sasaran yang dituju dapat
tepat tercapaidengan skripsi yang berjudul “Disparitas Penjatuhan Sanksi Pidana
Terhadap Pelanggaran Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia di
Kabupaten Jembrana”, sehingga pada skripsi ini hanya berkisar pada pertimbangan
hakim dalam penjatuhkan pidana serta faktor yang menyebabkan adanya disparitas
dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas yang
mengakibatkan korban meninggal dunia.
Pada perundang-undangan dalam KUHP tidak memberikan suatu teori hukum
pidana atau filsafat pada pemidanaan yang dijadikan sebagai dasar penghukuman
namun hanya mencantumkan mengenai jenis-jenis pidana saja beserta dengan pedoman
pemidaaannya, hal ini menjadikan perundang-undangan atau KUHP memberikan
kebebasan kepada hakim menggunakan teori manakah yang ingin dirinya pergunakan
dalam penetapan hukuman sehingga dalam penyelesaian permasalahan, baik
yurisprudensi, Perundang-undangan, doktrin maupun ilmu hukum tidak memberikan
pegangan yang teguh. Ilmu hukumpun tidak memberikan pegangan yang tetap bahkan
tidak terdapat suatu penyesuaian pandangan, teori hukum pidana manakah yang harus
dijadikan landasan untuk menjatuhkan hukuman.6
1.4 Orisinalitas Penelitian
Skripsi yang berjudul “Disparitas Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap
Pelanggaran Lalu Lintas Yang Mengakibatkan Korban Meninggal Dunia di Kabupaten
Jembrana” merupakan hasil karya orisinil dan tidak terdapat karya dengan judul dan
rumusan masalah yang sama yang pernah diajukan maupun ditulis. Namun ada
penelitian yang memiliki kemiripan dengan penilitian seperti Penanganan Tindak
Pidana Kelalaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas di Polresta Bandung Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan
6 H. Oeamar Seno Adji, 1984, Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, h.12.
Dihubungkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang ditulis oleh Achmad
S., Fakultas HukumUnla, Tahun 2011 kemudian Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap
Tindak Pidana di Bidang Lalu Lintas (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Demak) yang ditulis oleh Raditya Chandra Ady Diana, Fakultas
HukumUnversitas Muria Kudus, Tahun 2012. Oleh sebab itu, penulis mengangkat
penulisan skripsi yang memfokuskan pada pembahasan mengenai dasar pertimbangan
hakim dan faktor penyebab adanya disparitas dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap
pelaku pelanggaran lalu lintas, karena disamping pertimbangan bahwa belum pernah
ada skripsi yang serupa juga manfaat dari pada penelitian ini yang dapat membantu
masyarakat serta institusi penegak hukum mengenai disparitas pelanggaran lalu lintas
yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.
1.5 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya disparitas mengenai penjatuhan sanksi pidana
terhadap pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal
dunia;
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana dalam
pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di
kabupaten Jembrana;
2. Untuk mengetahui faktor penyebab adanya disparitas dalam penjatuhan
sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan
korban meninggal dunia di Kabupaten Jembrana.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat sebagai penambah ilmu pengetahuan
hukum.Khususnya dalam ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai pelanggaran lalu
lintas akibat kealpaan dalam kecelakaan lalu lintas.
b. Manfaat Praktis
Diharapkan dapat memberi manfaat, sumbangan pemikiran, dan bahan rujukan bagi
mahasiswa yang mendalami bidang Hukum Pidana, masyarakat dan juga institusi
penegak hukum mengenai kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas.
1.7 Landasan Teoritis
Landasan teoritis dalam penelitian adalah hal yang sangat penting agar dapat
menunjang keberhasilan penelitian,sebab teori merupakan serangkaian asumsi, konsep,
defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematisdengancara merumuskan hubungan antara konsep-konsep.
Penelitian yang berjudul “Disparitas penjatuhan sanksi pidana terhadap
pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Kabupaten
Jembrana” menekankan pada teori sistem hukum, teori efektifitas hukum dan teori
pemidanaan.
1.7.1 Teori Sistem Hukum
Lawrence M. Friedman menggambarkan bahwa sebuah sistem hukum, pertama-
tama mempunyai struktur. Aspek kedua adalah substansi, meliputi aturan, norma dan
prilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem itu. Termasuk pula dalam pengertian
substansi ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang disusun dan
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam system itu pula. Aspek ketiga adalah
budaya hukum yang meliputi: kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.7
1. Struktur Hukum
Struktur hukum adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi
mencakupi kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, kantor-
kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya
2. Substansi Hukum
Substansi hukum adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum,
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan
3. Budaya Hukum
Budaya hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara
bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.Substansi dan
7 Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 11.
Aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum.Oleh karenanya, Lawrence
M Friedman menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal Culture).
1.7.2 Teori Efektivitas Hukum
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja
hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap
hukum.Hukum dapat efektif jika kalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum
tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari prilaku masyarakat.
Suatu hukum atau peraturan perundang-undang akan efektif apabila warga masyarakat
berprilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh atau peraturan
perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehndaki, maka efektivitas
hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai.8
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekantoadalah bahwa efektif atau
tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :
1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.9
8 Ray Pratama, 2011, Teori Efektifitas Hukum,
URL:http://www.academia.edu/9568999/Teori_Efektifitas_Hukum, diakses pada tanggal 29 April 2015.
9 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, h. 80.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum.Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum
tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri.
1.7.3 Teori Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana
subjektif.Pada teori ini menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan
dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana
atau hukum pidana objektif.Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat
diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru dilindungi
oleh hukum pidana itu sendiri.Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan
dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas, atau dijatuhi pidana
mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya.Oleh karena itulah
hukum pidana objektif dapat disebut hukum sanksi istimewa.
Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila
diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang
sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat
besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara.Negara merupakan organisasi sosial
tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib
masyarakat.Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara melalui
alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Mengenai kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai pendapat.
Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar putusan, ia akan
terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari
penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun masyarakat
dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum pidana dapat membantunya.Ketika
jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana, seringkali
bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut.
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara
umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
3. Teori gabungan (vernegings theorien)
Ada beberapa teori-teori tujuan pemidanaan yang pada umumnya dibagi dalam
tiga golongan (teori) yaitu:
a. Teori Absolut (Pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbert, Stahl
dan Leo Polak. Teori ini teori tertua (klasik) yang berpendapat pidana ltu
merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu pembalasan
kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenar pidana terletak
pada kejahatan itu sendiri. Menurut teori ini, oleh kafena kejahatan menimbulkan
penderitaan bagi yang terkena kejahatan, maka penderitaan itu harus dibalas pula
dengan penderitaan yang berupa pidana kepada seseorang yang melakukan
kejahatan itu. Seperti halnya, siapa yang membunuh harus dibunuh.
b. Teori Relative (Tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan
kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanafaat. Mengenai tujuan pidana itu ada beberapa pendapat, yaitu tujuan
pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah karena akibat dari
telah terjadinya kejahatan. Selain itu, tujuan pidana adalah untuk mencegah
kejahatan yang dapat dibedakan atas Pencegahan Umum (Generale Preventie) dan
Pencegahan Khusus (Speciale Preventie). Selain itu, masih dikenal lagi Teori
relative modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hamel, dan D. Simons. Teori
ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok
pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi masyarakat dengan cara
membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang
berbentuk kaidah/ norma.
c. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen) merupakan gabungan dari Teori Absolut
(Pembalasan) dengan Teori Relatif (Tujuan). Yang pertama kali mengajukan teori
gabungan ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848). Teori ini menitikberatkan
kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melebihi daripada yang
diperlukan dalam mempertahankan ketertiban masyarakat dan tidak boleh
lebih berat dari beratnya penderitaan yang sesuai dengan beratnya perbuatan si
terpidana. Teori ini dalam juga melihat kemasa depan dalam pelaksanaan
pidana atau pembalasaanya, yakni dengan melakukan pencegahan-pencegahan
agar tidak terjadinya tindak pidana sebagaimana dalam teori relatif.10
1.7.4 Pedoman Pemberian Pidana (Statutory Guidelines for Stentencing)
Menciptakan suatu pedoman pemberian pidana (Statutory Guidelines for
Stentencing), yang memberikan kemungkinan bagi Hakim untuk memperhitungkan
seluruh fakta daripada kejadian-kejadian, yaitu dengan berat-ringannya delik dan cara
delik itu dilakukan, dengan pribadi daripada si pembuatnya, umurnya, tingkatan
kecerdasannya dan keadaan-keadaan serta suasana waktu perbuatan pidana itu
dilakukan.
Menurut Prof. Oemar Senoadji, kapankah suatu hukuman dijatuhkan, erat sekali
hubungannya dengan sifat dan “ernest” dari perbuatan yang dilakukan (de aard en
ernest van het feit), pribadi ataupun keadaan pribadi dari si terdakwa yang memberikan
kesan bagi hakim mengenai kepribadian terdakwa dalam persidangan, baik sifat dari
perbuatan maupun pribadi dari terdakwa, maka gabungan dari kedua tersebut diterima
pula oleh jurisprudensi.11
1.8 Metode Penelitian
1.8.1Jenis Penelitian
10
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta,Bandung, h.53. 11
Muladi dan Barda Nawawi, op.cit, h. 67.
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara guna mencapai tujuan yang telah
diinginkan, maka dari itu pada suatu karya ilmiah agar dapat melakukan penelitian
dengan teratur atau sistematis. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi
iniadalah penelitian hukum yuridis empiris.Metode penelitian yuridis empiris adalah
penelitian dengan mengkaji suatu peraturan perundang-undangan yang kemudian
dihubungkan dengan fakta-fakta atau pada kenyataan yang ada di dalam masyarakat.
1.8.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan penulis yaitu deskriptif yakni penelitian secara
umum termasuk pula didalamnya ilmu hukum yang bertujuan menggambarkan secara
komferhensif gejala-gejala dalam masyarakat. Serta, menghubungkan antara gejala satu
dengan gejala lainnya.12
1.8.3Sumber Data
Pada penyusunan skripsi penulis membedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer dan diperoleh dari bahan-bahan
pustaka dinamakan data sekunder. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari 2(dua) sumber data, yaitu :
12
Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.25.
1. Data primer
Agar dapat memperoleh data primer dilakukan penelitian lapangan (field
Research), yang berarti dengan cara melakukan penelitian secara langsung ke lapangan
yakni diperoleh secara langsung dari Pengadilan Negeri Negara yang dimana putusan
kasus tentang kecelakaan lalu lintas terdapat disana, sehingga Pengadilan Negeri Negara
sebagai tempat penelitian pada penulisan skripsi ini.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, Doktrin,
ensiklopediayakni data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,
melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan.
3.Data tersier
Terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan,
kemudian bahan hukum sekunder yaitu berdasarkan doktrin atau pendapat para sarjana
dan bahan hukum tersier yaitu berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
teknik studi wawancara dan teknik studi dokumen, mengenai teknik studi wawancara
(interview) dalam hal ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada informan
yaitu Hakim Pengadilan Negeri Negara maupun responden yang dirancang atau telah
dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan dari
jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian diolah dan dianalisa.
Kemudian pada teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan
dengan permasalahan penelitian yaitu KUHP, UU NRI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan serta bahan bacaan yang berkaitan dengan disparitas
penjatuhan sanksi pidana.
1.8.5Teknik Penenetuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan teknik
non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik purposive
sampling.Sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan mencari key
information(informasi kunci) ataupun responden kecil yang dianggap mengetahui
tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.
1.8.6 Teknik pengolahan dan analisis data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan
kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang
telah di dapat sebelumnya.Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan
hukum terkumpul kemudian telah dihimpun dengan menggunakan teknik kualitatif yang
berarti data yang sudah diperoleh diuraikan yang kemudian dihubungkan dengan teori-
teori yang berasal dari literatur yang bersangkutan.
Teknik yang penulis gunakan adalah teknik analisis kualitatif. Dalam hal ini data
yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data
sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga
tidak dapat disusun kedalam struktur klasifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas,
sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman
wawancara dan observasi.
Dalam penelitian dengan teknik analisis kualtatif atau yang juga sering dikenal
dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari
data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun
data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan thema, diklasifikasikan,
dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interprestasi untuk
memahami data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti
setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara
terus menerus sejakpencarian data di lapangan dan berlanjut terus sehingga pada tahap
analisis.