bab i pendahuluan 1.1 latar...

51
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Jumlah TKI di luar negeri mencapai 6.5 juta jiwa yang tersebar di 142 negara (Nurhayat, 2013). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengirim tenaga kerja internasional khususnya pekerja kasar dan pembantu rumah tangga (PRT) atau pekerja domestik terbesar khususnya di kawasan Asia Tenggara. Fenomena migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri, sesungguhnya bukan lagi menjadi persoalan luar biasa. Sejarah mencatat bahwa migrasi penduduk antarnegara di kawasan Asia dan khususnya Asia Tenggara telah berlangsung berabad-abad. Dari tahun ke tahun, arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri semakin meningkat termasuk tenaga kerja asal Indonesia sendiri (Haris, 2005). Ada dua faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan pengiriman TKI ke luar negeri. Pertama, makin kompleksnya masalah kependudukan yang terjadi di dalam negeri dengan berbagai implikasi sosial ekonomi, seperti masalah kemiskinan akibat tidak tersedianya lapangan kerja dengan upah yang layak. Kedua, terbukanya kesempatan kerja yang cukup luas dan dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang cukup besar di negara-negara yang relatif kaya, seperti negara-negara Timur Tengah yang kaya akan minyak, dan negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan lainnya. Kesempatan-kesempatan kerja tersebut selain dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang besar, juga

Upload: lamkhuong

Post on 07-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Jumlah TKI di luar negeri mencapai 6.5 juta jiwa yang tersebar di 142 negara

(Nurhayat, 2013). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pengirim

tenaga kerja internasional khususnya pekerja kasar dan pembantu rumah tangga

(PRT) atau pekerja domestik terbesar khususnya di kawasan Asia Tenggara.

Fenomena migrasi pekerja Indonesia ke luar negeri, sesungguhnya bukan lagi

menjadi persoalan luar biasa. Sejarah mencatat bahwa migrasi penduduk antarnegara

di kawasan Asia dan khususnya Asia Tenggara telah berlangsung berabad-abad. Dari

tahun ke tahun, arus migrasi tenaga kerja ke luar negeri semakin meningkat termasuk

tenaga kerja asal Indonesia sendiri (Haris, 2005).

Ada dua faktor yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan pengiriman

TKI ke luar negeri. Pertama, makin kompleksnya masalah kependudukan yang terjadi

di dalam negeri dengan berbagai implikasi sosial ekonomi, seperti masalah

kemiskinan akibat tidak tersedianya lapangan kerja dengan upah yang layak. Kedua,

terbukanya kesempatan kerja yang cukup luas dan dapat menyerap tenaga kerja

Indonesia dalam jumlah yang cukup besar di negara-negara yang relatif kaya, seperti

negara-negara Timur Tengah yang kaya akan minyak, dan negara-negara maju,

seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan lainnya. Kesempatan-kesempatan kerja

tersebut selain dapat menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang besar, juga

2

menawarkan tingkat penghasilan dan fasilitas yang lebih menarik dibandingkan

dengan kesempatan kerja di dalam negeri. Bekerja di luar negeri dapat meningkatkan

penghasilan bila dibandingkan dengan teman sejawatnya yang bekerja di tanah air

(Nasution, 1999). Kesempatan dan tingkat penghasilan yang lebih baik itulah yang

pada dasarnya mendorong pesatnya arus migrasi internasional.

Peningkatan arus migrasi oleh TKI disertai pula dengan semakin

meningkatnya permasalahan-permasalahan yang dihadapi TKI. Oleh BNP2TKI,

permasalahan-permasalahan TKI itu terbagi dalam tiga kelompok, yaitu pra

penempatan, masa penempatan, dan purna penempatan. TKI yang mengalami

permasalahan pada saat pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan

oleh BNP2TKI disebut TKI bermasalah. Permasalahan yang dialami oleh para TKI

cukup beragam. PHK sepihak, majikan bermasalah, sakit akibat kerja, gaji tidak

dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, pekerjaan tidak sesuai PK, dokumen tidak

lengkap, sakit bawaan, majikan meninggal, lari dari majikan, TKI ingin dipulangkan,

TKI gagal berangkat, TKI dalam tahanan, TKI meninggal, kecelakaan kerja, TKI

hamil, membawa anak, tidak mampu bekerja, dan komunikasi tidak lancar merupakan

masalah teratas yang diadukan pada BNP2TKI sejak tahun 2010 hingga 2013

(BNP2TKI, 2013).

BNP2TKI agaknya hanya mengurusi permasalahan yang dihadapi oleh TKI

itu sendiri. Padahal kepergian calon TKI yang sudah berkeluarga untuk menjadi TKI

juga memunculkan permasalahan tersendiri bagi keluarganya.

3

Tabel 1.1

Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri Indonesia

Berdasarkan Status Perkawinan Periode 2011 S.D 2013

Sumber: Pusat Penelitian, Pengembangan dan Informasi (PUSLITFO) BNP2TKI 2013

Data dari BNP2TKI dari tahun 2010 s.d 2013 di atas menunjukkan bahwa

prosentase kepergian untuk menjadi TKI dilakukan oleh mereka yang berstatus

menikah dengan di atas 60% pada tahun 2010 s.d. 2013. Hal ini sejalan dengan status

perkawinan TKI asal Desa Karangrowo. Sebagian besar penduduk asal Desa

Karangrowo yang menjadi TKI kebanyakan adalah mereka yang sudah berkeluarga

dan memiliki anak. Dari seluruh jumlah warga Desa Karangrowo yang menjadi TKI

yakni 154 yang berstatus menikah berjumlah 112 orang atau 72.73% dan sisanya 42

orang atau 27.27% berstatus lajang atau belum menikah. (Data Monografi Desa

Karangrowo 2013).

Dilihat dari fakta di atas, kecenderungan untuk menjadi TKI terjadi setelah

seseorang berkeluarga. Tuntutan ekonomi yang semakin meningkat dan sedikitnya

lapangan pekerjaan dengan upah yang layak selalu menjadi alasan klasik yang

4

menjadikan seseorang tergiur untuk berangkat menjadi TKI yang notabene memang

dapat menghasilkan uang yang jauh lebih layak daripada di negeri sendiri.

Sebagai suatu aktivitas yang tujuan utamanya memperbaiki dan meningkatkan

ekonomi keluarga, pengambilan keputusan menjadi TKI juga menimbulkan sejumlah

persoalan bagi keluarga yang ditinggalkan. Melalui kajian Bina Keluarga TKI

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2013,

pemerintah mulai menyadari bahwa TKI yang bekerja di luar negeri yang

meninggalkan keluarganya, rentan terhadap berbagai persoalan khususnya lagi

persoalan dalam perlindungan terhadap anak. Dalam hal ini, pihak anaklah paling

besar menerima resikonya yang kemudian tidak hanya menjadi tanggungan keluarga

melainkan juga negara. Ternyata anak yang ditinggalkan oleh orang tua yang bekerja

ke luar negeri sangat berpengaruh terhadap perkembangan anaknya, mereka diasuh

dalam waktu yang relatif lama oleh orang tua yang tidak lengkap (bapak atau ibu)

atau bahkan diasuh oleh anggota keluarga yang lain seperti kakek, nenek dan anggota

keluarga yang lain. Kondisi tersebut merupakan pola asuh yang menyimpang dari

kebiasaan pola asuh yang selama ini dilakukan oleh keluarga. (Panduan Umum Bina

keluarga TKI Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Republik Indonesia, 2010).

Hal itulah yang membuat penelitian mengenai pengasuhan anak dalam

keluarga TKI ini dirasa penting dan menarik untuk diteliti. Selama ini perhatian

pemerintah (pusat dan daerah) maupun media lebih tertuju pada TKI dan persoalan

5

yang mereka alami. Sementara persoalan yang tidak kalah pentingnya yakni pada

keluarga yang ditinggalkan di daerah asal khususnya anak seakan kurang bahkan

luput dari perhatian.

Banyak ahli mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah bagian terpenting

dan mendasar untuk menyiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.

Pengasuhan anak merujuk pada pendidikan umum yang diterapkan pengasuh

terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua sebagai pengasuh

dengan anak sebagai individu yang diasuh. Interaksi tersebut mencakup beberapa hal

seperti, mencukupi kebutuhan anak, mendorong keberhasilan, melindungi, maupun

mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat (Wahyuning, 2003).

Faktor utama yang mempengaruhi pengasuhan pada anak adalah keutuhan

keluarga. Adapun yang dimaksudkan dengan keutuhan keluarga ialah keutuhan dalam

struktur keluarga, bahwa dalam keluarga itu adanya ayah di samping adanya ibu dan

anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu atau kedua-duanya maka struktur keluarga

sudah tidak utuh lagi. Selain keutuhan dalam struktur keluarga dimaksudkan pula

keutuhan dalam interaksi keluarga jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung

interaksi sosial yang wajar dan harmonis (Dagun, 2002).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pengasuhan anak di dalam keluarga

yang ideal adalah dilakukan oleh kedua orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama

saling bahu-membahu untuk memberikan asuhan dan pendidikan kepada anaknya.

Mereka menyaksikan dan memantau perkembangan anak-anaknya secara optimal.

6

Namun, kondisi tersebut tidak dapat dipertahankan atau diwujudkan dalam setiap

keluarga. Hal ini terkait dengan kebutuhan keluarga yang sifatnya berbeda-beda

(variatif). Seperti halnya yang terjadi pada keluarga TKI di Desa Karangrowo.

Mayoritas penghidupan warga pedesaan berpangkal pada sektor pertanian, tak

terkecuali dengan warga Desa Karangrowo. Hal ini tidak terlepas dari kondisi

geografis Desa Karangrowo itu sendiri. Dari seluruh luas Desa Karangrowo 669,84

ha, lebih dari setengahnya merupakan lahan pertanian. Akan tetapi, area persawahan

yang luas itu tidak dimiliki secara merata. Petani dengan lahan pertanian yang

tergolong luas (1,0-5,0 ha), hanya terdiri dari 327 orang. Sementara selebihnya adalah

mereka yang memiliki lahan persawahan tidak lebih dari 0,1-1,0 ha atau dapat

dikatakan berlahan sempit 1.275 warga.

Bagi petani berlahan sempit penghasilan yang diperoleh dari sawah hanya

cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Sementara untuk memenuhi

kebutuhan lain seperti biaya kesehatan, mereka harus mencari penghasilan di luar

pertanian atau bahkan berhutang. Kondisi yang jauh tidak menguntungkan lagi adalah

mereka yang tidak memiliki lahan pertanian dan harus bekerja di lahan orang lain

sebagai buruh tani. Upah yang mereka terima hanya berkisar empat puluh ribu rupiah

per hari. Jelasnya pendapatan yang diterima itu tidak mampu menutupi kebutuhan

hidup keluarga yang makin lama makin kompleks.

7

Sempitnya penguasaan lahan dan upah yang rendah sebagai buruh tani

mengkondisikan mayoritas warga Desa Karangrowo berada dalam kemiskinan.

Memaksa mereka untuk mencari berbagai alternatif agar keluar dari kondisi yang

tidak menguntungkan itu, salah satunya dengan bekerja menjadi TKI ke luar negeri,

terutama mereka yang telah berkeluarga dan memiliki anak. Meskipun dengan

konsekuensi harus meninggalkan anggota keluarga di rumah, termasuk tanggung

jawab dalam mengasuh anak.

Anak-anak di Desa Karangrowo yang ditinggalkan oleh salah satu atau kedua

orang tuanya bekerja menjadi TKI ke luar negeri umumnya berada pada rentang usia

6-12 tahun. Hal ini dilakukan oleh orang tua mereka yang bekerja menjadi TKI di

luar negeri, atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, anak pada usia tersebut

dianggap tidak terlalu bergantung pada orang tuanya sendiri terutama pihak ibu,

seperti bayi yang masih tergantung pada air susu ibunya. Kedua, anak sudah

memasuki masa sekolah. Tentunya makin lama makin besar biaya yang dibutuhkan.

Santrock (2007), menjelaskan bahwa usia 6-12 tahun merupakan periode

kritis bagi anak. Dikatakan demikian, karena pada usia ini interaksi anak dengan

keluarga mengalami penurunan. Sebagai gantinya anak-anak mulai berinteraksi

dengan lebih banyak orang di luar keluarga, terutama dengan teman-teman

sebayanya. Interaksi anak dengan lebih banyak orang tersebut bisa memajukan atau

bahkan memberikan pengaruh buruk terhadap perkembangan anak. Sebagai periode

kritis bagi anak itulah, sudah seharusnya anak diberikan pengasuhan yang tepat dan

8

optimal dari kedua orang tua (ayah-ibu). Andayani dan Koentjoro (2004) menyebut

bahwa pengasuhan itu sebagai coparenting, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul

bersama antara ayah dan ibu. Sudah menjadi kewajiban kedua orang tua (ayah-ibu)

untuk memenuhinya yang adalah hak bagi seorang anak untuk mendapatkannya.

Kenyataannya hak pengasuhan dari kedua orang tua (ayah-ibu) tidak didapatkan oleh

anak-anak TKI di Desa Karangrowo, seiring kepergian salah satu atau kedua orang

tua mereka untuk bekerja menjadi TKI di luar negeri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimanakah kondisi sosial ekonomi dari keluarga TKI di Desa

Karangrowo? Kemudian yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini yakni

bagaimanakah pola pengasuhan anak pada keluarga TKI yang ada di Desa

Karangrowo?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi keluarga TKI Desa Karangrowo.

2. Mendeskripsikan pola pengasuhan anak pada keluarga TKI di Desa

Karangrowo.

9

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian mengenai pengasuhan anak pada keluarga TKI ini

diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada khalayak pada umumnya dan

pihak-pihak yang terkait pada khususnya seperti keluarga dari TKI sendiri kemudian

pemerintah pusat, daerah, dan desa setempat agar lebih perhatian dan peduli terhadap

persoalan yang dialami oleh anak-anak TKI dan ikut andil dalam memberikan solusi

untuk meminimalisir persoalan yang dialami keluarga TKI khususnya persoalan

pengasuhan anak-anak TKI.

1.5 Penegasan Istilah

1.5.1 Pengasuhan

Nabuasa (2011) menjelaskan bahwa pengasuhan berarti menjaga, merawat

dan mendidik anak. Pengasuhan anak adalah perilaku yang dilakukan oleh pengasuh

dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan kasih sayang dan

tanggung jawab orang tua. Seorang ibu merawat dan menjaga janinnya dengan

berbagai usaha agar nantinya anak dilahirkan dengan selamat dan sehat. Setelah lahir,

seorang anak pun akan tetap dalam perawatan dan penjagaan. Pengasuhan anak pada

tahap awal lebih ditekankan pada pengasuhan fisik. Anak diberi asupan gizi yang

baik agar anak tumbuh sehat. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pengasuhan

tidak hanya pada urusan fisik (merawat dan menjaga), melainkan juga pengasuhan

dalam hal mendidik anak untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan kelompok

sosialnya. Soekirman (2000) menjelaskan bahwa pengasuhan adalah asuhan yang

10

diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya

dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, menberi kasih

sayang, dan sebagainya.

Dari penjelasan di atas, pengasuhan yang dimaksud dalam penelitian ini

meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan afeksi, dan pengasuhan sosial. Pengasuhan

fisik yang difokuskan dalam penelitian ini meliputi pemenuhan kebutuhan makan,

kebersihan diri, dan kesehatan anak. Pengasuhan afeksi yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah pemberian kasih sayang pada anak. Pengasuhan sosial

merupakan cara yang dilakukan pengasuh dalam membimbing dan mendidik anak

agar berperilaku sesuai dengan lingkungan sosialnya dalam melaksanakan kegiatan

sehari-hari, seperti dalam menjalankan ibadah.

1.5.2 Anak

Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan

anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi. Di dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun

2002 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Rumini dan Sundari (2004)

mengemukakan masa anak-anak dibagi menjadi 2 periode yaitu periode pertama pada

rentang usia 2 sampai 5 tahun, periode kedua pada rentang usia 6 sampai 12 tahun

11

dan seterusnya hingga mencapai 18 tahun disebut sebagai masa remaja. Masa anak-

anak adalah masa yang menyenangkan. Menyenangkan karena pada masa ini banyak

waktu untuk bermain bagi anak, menyulitkan karena sangat membutuhkan peran dan

perhatian dari orang tua untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa, anak merupakan

individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari

bayi hingga remaja. Anak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak yang

berusia 6-12 tahun yaitu anak pada batasan masa usia sekolah dasar.

1.5.3 Tenaga Kerja Indonesia

Tenaga kerja adalah setiap manusia yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

kebutuhan masyarakat dalam bentuk pikiran maupun tenaga (UU No.13 tahun 2003

tentang ketenagakerjaan). Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga

negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, yang bekerja di luar negeri dalam

hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

Dalam penelitian ini, tenaga kerja Indonesia yang dimaksud adalah tenaga

kerja baik laki-laki maupun perempuan asal Desa Karangrowo yang bekerja menjadi

TKI ke luar negeri dengan status sudah menikah dan memiliki anak. Kemudian

bekerja ke luar negeri, dengan meninggalkan keluarganya (pasangan juga atau anak)

di desa dan tanggung jawabnya dalam mengasuh anak.

12

1.6 Tinjauan Pustaka

Penelitian atau literatur yang memfokuskan kajiannya mengenai persoalan

anak-anak dalam keluarga TKI sudah cukup banyak dilakukan oleh beberapa peneliti,

termasuk mengenai pengasuhan anak pada Keluarga TKI itu sendiri. Berdasarkan

penelusuran pustaka yang dilakukan, setidaknya ditemukan beberapa kajian yang

relevan dengan pengasuhan anak usia 6-12 tahun pada keluarga TKI ini, diantaranya

kajian yang pernah dilakukan oleh Riyanti (2013) yang meneliti tentang pengasuhan

anak pada keluarga TKW di Desa Legokjawa, Ciamis, Jawa Barat. Dalam penelitian

yang dilakukan oleh Riyanti ini hanya membahas sebatas pada pengasuhan sosialnya

saja. Kemudian juga tidak membatasi apa yang dimaksud dengan anak, sehingga

penelitian ini mencakup anak usia rentang hingga 15 tahun yang merupakan golongan

remaja, bukan anak lagi. Hasil penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa pengasuhan

anak pada keluarga TKW di Desa Legokjawa secara umum sudah dikatakan cukup

baik, sedikit saja yang kurang layak.

Sedangkan penelitian lain yang juga membahas mengenai anak TKI yaitu oleh

Astutik (2009), mengenai kenakalan anak yang ditinggal orangtuanya bekerja

menjadi TKI studi kasus di Kecamatan Pasean Kabupaten Pamekasan Madura. Hasil

dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang ditinggal bekerja oleh

orangtuanya menjadi TKI ke luar negeri cenderung berperilaku nakal. Bentuk

perilaku nakal yang ditunjukkan oleh anak TKI adalah; bolos sekolah, merokok,

minum-minuman keras, judi, dan kebut-kebutan.

13

Penelitian lain yang juga membahas mengenai anak TKI adalah dinamika

pendidikan agama Islam anak TKI di Desa Baron, Kecamatan Dukun, Kabupaten

Gresik oleh Niswatin (2011). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya orang tua

yang meninggalkan anaknya bekerja ke luar negeri sebagai TKI, sementara

pendidikan agama Islam khususnya akhlak dari orang tua sehari-hari justru kurang

mendapat perhatian. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan

menggunakan pendekatan study kasus. Berdasarkan analisis hasil dalam penelitian

menunjukkan bahwa anak yang ditinggal orang tuanya bekerja sebagai TKI

mengalami perubahan pendidikan khususnya pendidikan agama Islam. Hal ini

disebabkan karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya sehingga

berpengaruh terhadap perilaku keagamaannya seperti masalah sholat, mengaji yang

mengalami penurunan.

Berdasarkan penelusuran pustaka di atas maka penelitian mengenai persoalan

pada anak-anak TKI memang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti termasuk

pengasuhan anak TKI, akan tetapi pengasuhan anak TKI yang difokuskan pada usia

6-12 tahun belum ada yang meneliti. Dari penelusuran pustaka di atas, anak TKI yang

pernah diteliti umumnya usia remaja dan umumnya terbatas pada satu lingkup saja.

Contohnya penelitian yang dilakukan oleh Riyanti (2013) yang disebutkan di atas

yang hanya membahas sebatas pengasuhan anak dari segi sosial. Berbeda dengan

yang dipaparkan dalam penelitian ini yang membahas pengasuhan anak mulai dari

segi fisik, afeksi, sampai sosial.

14

1.7 Kerangka Konseptual

1.7.1 Keluarga

Keluarga didefinisikan dalam berbagai cara. Pendefinisian keluarga berbeda

beda tergantung kepada orientasi teoritis “pembuat definisi” yaitu dengan

menggunakan penjelasan yang penulis cari untuk menghubungkan keluarga

(Friedman, 1998). Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang

sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Keluarga berkaitan

dengan perkembangan individu sering dikenal dengan sebutan primary group. Dari

suatu keluarga dilahirkan individu dengan berbgai macam bentuk kepribadiannya

dalam masyarakat. Keluarga merupakan gejala universal yang terdapat di seluruh

dunia. Sebagai gejala yang universal, keluarga mempunyai 4 karakteristik yang

memberi kejelasan tentang konsep keluarga1.

1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah

atau adopsi. Yang mengikat suami dan istri adalah perkawinan, yang

mempersatukan orang tua dan anak-anak adalah hubungan darah (umumnya) dan

kadang-karang adopsi.

2. Para anggota suatu keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan

mereka membentuk suatu rumah tangga (household), satu rumah tangga itu dapat

terdiri dari suami istri tanpa anak-anak, atau dapat dengan satu anak atau lebih.

1 http://suci_k.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/14974/individu-keluarga-dan-masyarakat(3).pdf

diakses pada 6 agustus 2015

15

3. Keluarga itu merupakan satu kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling

bersosialisasi, yang memainkan peran suami dan istri, bapak dan ibu, anak laki-

laki dan anak perempuan.

4. Keluarga itu mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar

berasal dari kebudayaan umum yang lebih luas.

Keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial.

Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan kesatuan sosial yang diikat oleh

hubungan darah antara yang satu dengan yang lainnya. Berdasarkan dimensi

hubungan darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga

inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan

sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling

mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun diantara mereka tidak

terdapat hubungan darah. Keluarga berdasarkan hubungan sosial ini dinamakan

keluarga psikologis dan keluarga pedagosis (Shochib, 2010).

Burgess dkk (dalam Friedman, 1998) membuat definisi yang berorientasi pada

tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas. Keluarga terdiri dari orang-orang

yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi yang biasanya hidup

bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah,

mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah tangga dan anggota

keluarga saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran

sosial keluarga seperti suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan,

16

saudara-saudari. Seluruh anggota keluarga sama-sama menggunakan kultur yang

sama, yaitu kultur yang di ambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.

Secara struktural, Durkheim (dalam Polak, 2004) membagi keluarga dalam

dua kelompok, yaitu menjadi keluarga inti (nuclear family) dan keluarga besar

(extended family). Pengertian keluarga inti tidak selalu identik dengan jumlah anggota

keluarga yang sedikit sedangkan keluarga besar dengan jumlah anggota keluarga

yang banyak. Pengertian ini tidak berdasar jumlah lahiriah jumlah, melainkan

berdasar kedekatan atau keeratan hubungan yang terjadi di dalam keluarga itu.

Secara ringkas keluarga inti dapat didefinisikan sebagai sebuah keluarga atau

kelompok yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah. Sedangkan

keluarga besar adalah satuan keluarga yang lebih meliputi lebih dari satu generasi

atau satu lingkungan keluarga yang lebih luas daripada hanya sekedar ayah, ibu dan

anak-anaknya. Dengan adanya satu perkawinan baru, maka anak yang kawin itu

memisahkan diri dari orang tuanya dan dari keluarga intinya. Namun demikian

mereka masih dapat digolongkan dalam sebuah keluarga besar. Selain itu, perbedaan

keluarga inti dan keluarga besar juga didasarkan pada kesamaan dapur untuk

menghidupi keluarga, bukan pada kesamaan dalam suatu tempat tinggal.

Dalam bentuknya yang paling dasar sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-

laki dan seorang perempuan, dan ditambah dengan anak-anak mereka yang belum

menikah, biasanya tinggal dalam satu rumah, dalam antropologi disebut keluarga

17

inti.Sedangkan keluarga besar terdiri dari suami, istri dan anak-anaknya, ditambah

dengan kakek, nenek, bibi, pama, kemenakan, dan saudara-saudara lainnya. yang

secara bersama-sama hidup dalam satu rumah tangga dengan keluarga inti.

Keluarga inti dapat juga disebut keluarga somah, yaitu kesatuan sosial yang

terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Dalam formulasi keluarga Jawa, somah

atau keluarga inti ini mempunyai peranan penting, seperti yang dikemukakan oleh

Geertz (1985) dalam bukunya Keluarga Jawa menyatakan bahwa somah merupakan

unit pertalian kekelurgaan terkecil yang penting. Somah terjalin dengan rapat dengan

somah-somah lainnya. Somah memiliki peran penting dalam kehidupan keluarga

terutama di desa. Setiap kelompok somah tampil dihadapan anggota kelompok somah

lainnya sebagai suatu unit sosial. Somah memiliki beberapa tugas yaitu,

melaksanakan tugas ritual, melaksanakan tugas ekonomi, sosialisasi pada anak, dan

mengurus para anggota keluarga yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Menurut

orang Jawa, setiap anggota keluarga merupakan suatu pribadi yang tunggal. Orang

tua, anak, suami dan istri merupakan orang-orang terpenting didunia karena mereka

dapat memberikan kesejahteraan emosional, memberikan titik keseimbangan dalam

orientasi sosial dan dapat memberi bimbingan moral. Sedangkan sanak kandang

terorganisir ke dalam suatu kelompok bersama dan berfungsi sebagai sumber-sumber

bantuan dalam kesusahan serta sumber persaudaraan dalam kebahagiaan. Adapun hak

dan kewajiban sanak kandang atau keluarga sesaudara yaitu memberikan bantuan

dalam perhelatan misalnya dalam pernikahan, khitanan dan kelahiran, sumbangan

18

dalam bentuk bahan makanan, uang dan tenaga. Sedangkan kewajibannya yaitu

memperhatikan setiap anggota keluarga dekat yang miskin.

Menurut Soekanto (2009) keluarga inti mempunyai peranan sebagai; (1)

pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota. Ketentraman dan keamanan

diperoleh dalam wadah tersebut; (2) merupakan unit sosial ekonomis yang secara

materiil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya;(3) menumbuhkan dasar-dasar

bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup; (4) merupakan wadah bagi manusia mengalami

proses sosialisasi awal.

Uraian di atas telah jelas mengungkapkan bahwa keluarga inti memiliki

peranan penting sebagai unit sosial yang memiliki konsekuensi bagi pemenuhan

berbagai kebutuhan fisik, psikis, dan sosial anggota keluarga di dalamnya. Ayah dan

ibu bersama-sama saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan bersama dan anak-

anaknya.

1.7.2 Fungsi keluarga

Keluarga adalah satuan terkecil masyarakat yang anggota-anggotanya terlibat

secara batiniyah dan hukum karena tali pertalian darah/ pertalian perkawinan. Ikatan

tersebut memberikan kedudukan tertentu kepada masing-masing anggota keluarga,

hak, dan kewajiban, tanggung jawab bersama, serta saling mengharapkan. Sebagai

suatu sistem sosial pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi yang sangat strategis

bagi anggota keluarga; suami-ayah; istri-ibu; dan anak. Masing-masing anggota

19

keluarga subsitem menjadikan keluarga menjalankan fungsinya agar keseluruhan

fungsi keluarga dapat berjalan dengan normal. Dengan lain perkataan, anggota

keluarga fungsional terhadap anggota keluarga lainnya. Apabila terdapat salah satu

anggota keluarga tidak mampu menjalankan fungsi seperti yang harus diembannya,

maka keluarga tersebut mengalami disfungsi (Coser dalam To Ihromi, 2004).

Sebagaimana halnya dengan institusi lain, keluarga juga menjalankan fungsi.

Dalam sebuah keluarga utuh yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, semua fungsi

keluarga dapat berjalan dengan baik apabila komponen dalam keluarga dapat

menjalankan sesuai dengan fungsi dan peranannya masing-masing. Kebahagiaan dan

ketentraman yang tercipta serta hubungan yang sehat antara orangtua dan anak sangat

penting bagi perkembangan kepribadian anak. Dalam sebuah keluarga yang utuh pula

akan mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan ketentraman yang tercipta melalui

banyaknya waktu berkumpul guna mencurahkan kasih sayang dan perhatian sekaligus

menanamkan nilai norma yang ada dalam masyarakat mengenai apa yang boleh dan

tidak boleh dilakukan.

Secara sosiologis keluarga merupakan hubungan lahir dan batin antar struktur

keluarga yaitu istri-suami, ibu-bapak, dan anak. Masing masing anggotanya tersebut

memiliki peran berlainan sesuai dengan fungsinya dan saling memiliki pengharapan

satu sama lain. Dengan demikian, di dalam keluarga terdapat hubungan fungsional di

antara anggotanya dalam rangka untuk menciptakan pengharapan tersebut. Jika di

dalam suatu keluarga kehilangan salah satu unsurnya, maka sudah dipastikan

20

keluarga tersebut akan mengalami kepincangan dan keluarga ideal yang dicita-citakan

pun sulit bahkan tidak terpenuhi (Su‟adah, 2003).

Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok, yakni fungsi yang

sulit diubah dan digantikan oleh lembaga lain. Sedangkan fungsi-fungsi lembaga lain

atau fungsi sosial relatif mudah berubah. Para ahli sosiologi mengidentifikasi

berbagai fungsi keluarga.

Fungsi keluarga pada mulanya dikemukakan oleh Durkheim (dalam Polak,

2004) yang menyatakan bahwa menganalisis fungsi keluarga dengan mendasarkan

pada hak alamiah yang ditafsirkan dan dipunyai keluarga serta pertimbangan akan

manfaatnya. Secara pokok, fungsi keluarga meliputi tiga hal yang merupakan ciri

hakiki, yaitu:

1) Fungsi biologis yaitu keluarga merupakan tempat dilahirkannya anak-anak dan ini

merupakan fungsi dasar kelangsungan hidup keluarga dan masyarakat. fungsi ini

merupakan fungsi pertama keluarga terhadap anak-anaknya.

2) Fungsi afeksi yaitu keluarga merupakan wadah untuk menjalin kasih sayang di

antara para anggotanya. Fungsi ini muncul sebagai akibat hubungan kasih sayang

antara suami istri yang dilanjutkan dengan kasih sayang orang tua pada anak-

anaknya. Fungsi ini sangat penting dalam membentuk pribadi anak yang sedang

mengalami proses sosialisasi awal.

21

3) Fungsi sosialisasi yaitu keluarga merupakan tempat pertama membentuk

kepribadian anak. Melalui sosialisasi dalam keluarga, anak akan mempelajari pola

tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat.

Selain fungsi-fungsi pokok, terdapat fungsi-fungsi sosial. Aswarna (2006)

menjelaskan fungsi-fungsi sosial itu meliputi fungsi ekonomi, pendidikan,

keagamaan, rekreasi, perlindungan.

1) Fungsi produksi atau terkadang disebut juga fungsi ekonomi yaitu keluarga

merupakan unit sosial yang bekerja sama untuk menghasilkan barang atau jasa

guna memenuhi kebutuhan hidup. Pada masyarakat agraris tradisional, keluarga

merupakan kesatuan produksi yang setiap anggotanya keluarga ikut serta dalam

proses produksi. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada masyarakat industri

modern dimana keluarga merupakan kesatuan konsumsi karena hampir semua

produksi barang konsumsi diambil alih oleh pabrik-pabrik.

2) Fungsi pendidikan yaitu keluarga sebagai tempat orang tua membekali ilmu

pengetahuan pada anak-anaknya. Fungsi pendidikan pada masa modern berkurang

seiring dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan di luar keluarga,

3) Fungsi agama yaitu keluarga merupakan pusat pendidikan upacara ritual dan

ibadah agama bagi para anggotanya di samping peranan yang dilakukan oleh

institusi agama. Proses sekularisasi dalam masyarakat dan merosotnya pengaruh

institusi agama menimbulkan kemunduran fungsi keagamaan keluarga.

22

4) Fungsi rekreasi yaitu keluarga merupakan tempat mendapatkan kebahagiaan bagi

anggota-anggotanya. Fungsi ini pada masa modern berkurang. Rekreasi dalam

kelompok sebaya menjadi makin penting bagi anak-anak. Perubahan tersebut

menimbulkan dua macam akibat, yaitu jenis-jenis rekreasi yang dialami oleh

anggota-angota keluarga menjadi lebih bervariasi, dan anggota-anggota keluarga

lebih cenderung mencari kebahagiaan di luar keluarga.

5) Fungsi perlindungan yaitu keluarga berfungsi memberikan perlindungan, baik

fisik maupun sosial, kepada para anggotanya. Sekarang banyak fungsi

perlindungan dan perawatan ini telah diambil alih oleh lembaga-lembaga di luar

keluarga. Seperti tempat perawatan bagi anak-anak cacat tubuh dan mental, anak

yatim piatu, anak-anak nakal, orang-orang lanjut usia, perusahaan asuransi dan

sebagainya.

1.7.3 Anak

Usia secara jelas mendefinisikan karateristik yang memisahkan anak-anak

dari orang dewasa, Namun, pendefinisian anak dari segi usia dapat membawa

permasalahan besar. Hal ini dikarenakan penggunaan definisi yang berbeda oleh

berbagai bangsa, budaya, institusi, dan berbagai disiplin ilmu. Disamping itu

pengertian anak jika ditinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum

dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga

akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.

23

Lembaga internasional Department Child and Adolescent Health And

Development mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 20 tahun.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention on the Right of the Child

(CRC) atau KHA menerapkan defenisi anak sebagai berikut. "Anak berarti setiap

manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada

anak, kedewasaan dicapai lebih awal". Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan "Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan".

Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak

adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita

jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia

yang harus dijunjung tinggi.

Wadong (2000) mengemukakan berbagai pengertian anak menurut sistem,

kepentingan, agama, hukum, sosial dan lain sebagainya sesuai fungsi, makna dan

tujuanya sebagai berikut:

1 Pengertian anak dari aspek agama, yaitu anak adalah titipan Tuhan kepada kedua

orang tua, masyarakat, Bangsa dan Negara sebagai pewaris dari ajaran agama

yang kelak akan memakmurkan dunia. Anak tersebut diakui, diyakini dan

diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima orang tua, masyarakat,

Bangsa dan Negara.

24

2 Pengertian anak dari aspek sosiologis, yaitu anak adalah mahkluk sosial ciptaan

Tuhan yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa dan

Negara. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya karena berada pada

proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang

belum dewasa karena kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisiknya dalam

perubahan yang berada dibawah kelompok orang dewasa.

3 Pengertian anak dari aspek ekonomi, yaitu anak adalah seseorang yang berhak

atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan dan

perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat

pertumbuhan dan perkembanganya dengan wajar.

4 Pengertian anak dari aspek politik, yaitu anak sebagai tempat "issue bargaining".

Politik yang kondusif, kebijaksanaan politik muncul dengan menonjolkan suara-

suara yang mengaspirasikan status anak dan cita-cita memperbaiki anak-anak dari

berbagai kepentingan partai politik.

Ditinjau dari segi perkembangan dan pertumbuhannya anak merupakan

individu yang berada dalam satu rentang perubahan, dimulai dari bayi hingga remaja.

Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi

(0-1 tahun) usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (6-12

tahun) hingga remaja (12-18 tahun). Pada anak terdapat rentang perubahan

pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat, berbeda antara anak

25

yang satu dengan yang lainnya. Adakalanya anak dengan perkembangan yang cepat

dan juga adakalanya perkembangan yang lambat. Hal tersebut dipengaruhi oleh

banyak faktor diantaranya latar belakang anak (Hidayat, 2005).

Anak adalah individu yang rentan karena perkembangan kompleks yang

terjadi di setiap tahap masa kanak-kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga

secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang dewasa, dan memiliki pengalaman

yang terbatas, yang mempengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia.

Oleh karena itu, anak penting untuk diprioritaskan (Rumini dan Sundari, 2004).

1.7.4 Hak-Hak Anak

Hak-hak anak telah banyak diatur dan dijabarkan oleh berbagai pihak yang

menyebabkan perbedaan satu sama lain sesuai dengan intitusi maupun disiplin ilmu

masing masing. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan

anak, mengatur hak-hak anak sebagai berikut:

1. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih

sayang, baik dalam keluarganya maupun di dalam asuh khusus untuk tumbuh

mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya.

2. Hak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan

sosialnya;

3. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan,

maupun sesudah dilahirkan;

26

4. Hak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang membahayakan atau

menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Menurut Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak menyatakan bahwa hak-hak anak meliputi :

1. Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar;

2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;

3. Hak beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai tingkat

kecerdasaan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;

4. Hak untuk mengetahui orang tua, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya

sendiri;

5. Hak pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai kebutuhan fisik, mental,

spiritual dan sosial;

6. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Khusus bagi anak cacat dapat

memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan yang unggul mendapatkan

pendidikan khusus;

7. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan

informasi sesuai tingkat kecerdasan dan usianya;

8. Hak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya,

bermain, berekreasi sesuai minat dan tingkat kecerdasannya;

27

9. Hak anak cacat untuk memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan

taraf kesejahteraan sosial;

10. Hak untuk dilindungi dan diperlakukan dari diskriminasi, ekspolitasi, baik

ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiyaan,

ketidakadilan, perlakuan salah lainnya.

11. Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri;

12. Hak perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam

sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, perlibatan dalam peristiwa

yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;

13. Hak memperoleh perlindungan dari sasasran penganiyaan atau penjartuhan

pidana yang tidak manusiawi;

14. Hak memperoleh kekebasan sesuai hukum;

15. Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dipisahkan dari orang

dewasa bagi anak yang dirampas kemerdekaannya;

16. Hak mendapatkan bantuan hukum;

17. Hak membela diri dari memperoleh keadilan didepan pengadilan.

18. Hak untuk dirahasikan bagi anak korban kekerasan seksual atau yang berhadapan

dengan hukum;

19. Hak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.

28

Konvensi Hak Anak (KHA)2 memuat 10 asas pokok hak-hak anak, meliputi :

1. Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam

Deklarasi ini. Bahwa setiap anak tanpa kecuali harus dijamin hak-haknya tanpa

membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan

politik atau pandangan lain, kebangsaan atau tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran

atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun keluarganya;

2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus, dan harus memperoleh

kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu

untuk memgembangkan diri sercara fisik, kejiwaan, moral, spiritual dan

kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai kebebasan dan harkatnya.

3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan;

4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh dan

berkembang secara sehat;

5. Anak yang cacat fisik, mental dan lemah kedudukan sosialnya akibat suatu

keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus;

6. Agar supaya kerpibadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia

memerlukan kasih sayang dan pengertian. Sedapat mungkin ia dibesarkan dibawah

2 Dikutip dari http://www.unicef.org/magic/media/documents/CRC_bahasa_indonesia_version.pdf

diakses pada tanggal 6 Agustus 2015

29

asuhan dan tangungjawab orang tuanya sendiri, dan bagaimanapun harus diusahakan

agar tetap berada dalam suasana yang penuh kasih sayang. Sehat jasmani dan rohani;

7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya

pada ditingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapat perlindungan yang dapat

meningkatkan pengetahuan umumnya, atau yang memungkinkannya atas dasar

kesempatan yang sama guna mengembangkan kemampuan, pendapat pribadinya dan

perasaan tanggungjawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi

anggota masyarakat yang berguna. Anak juga mempunyai kekebasan untuk bermain

dan berrekreasi yang diarahkan untuk tujuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah

yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanan hak ini.

8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan

dan pertolongan;

9. Anak harus dilindungi dari sebagai bentuk kealpaan, kekerasaan, penghisapan. Ia

tidak boleh dijadikan subjek perdagangan, artinya anak tidak boleh bekerja sebelum

usia tertentu, ia tidak boleh dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan

kesehatan atau pendidikannya, maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan

tubuh, jiwa atau akhlaknya;

10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk

diskriminasi sosial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.

30

Konvensi Hak Anak (KHA) atau kata lainnya adalah traktat atau Pakta sendiri

adalah suatu perjanjian yang mengikat secara yuridis dan juga politik. Konvensi Hak

Anak (KHA) kata aslinya adalah Convension On The Right of The Child (CRC) yang

merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang fokusnya pada penanganan

hak anak. Serta merupakan instrument yang dibuat secara universal dengan tidak

membedakan hak anak diseluruh dunia. Konvensi Hak Anak (KHA) mempunyai dua

tujuan pokok. Pertama, menetapkan standar universal hak-hak anak. Kedua,

melindungi anak-anak dari segala bentuk eksploitasi, penganiayaan, dan

penyalahgunaan

Kesepuluh asas di atas merupakan suatu ketentuan yang bersifat mengikat,

terperinci dan tertuang dalam pasal-pasal konvensi. Asas-asas pokok pelindungan

anak ini merupakan pencerminan dari suatu pendekatan yang sifatnya holistic, artinya

hak-hak anak tidak dilihat secara sempit, tetapi harus dilihat secara luas, sesuai ruang

lingkup perlindungan hak asasi manusia, seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial

dan budaya.

1.7.5 Pengasuhan anak

Pendefinisian pengasuhan anak yang pernah dilakukan agaknya berbeda-beda.

Perbedaan ini didasarkan pada sudut pandang disiplin yang berbeda. Pengasuhan

anak menurut ilmu-ilmu kesehatan merujuk pada istilah child rearing „membesarkan

anak‟. Sebagai contoh Range dkk (1997) menjelaskan bahwa pengasuhan merupakan

31

serangkaian perilaku sederhana yang berkisar pada praktik pemberian makan pada

anak, tanggapan dalam menyediakan perawatan kesehatan yang adekuat, memajukan

lingkungan yang sehat dan aman bagi anak, sampai pada interaksi psikososial dan

dukungan emosional. Tidak mengherankan jika pada disiplin ilmu-ilmu kesehatan

menganggap pengasuhan dimulai sejak anak masih berada dikandungan dengan

harapan anak yang dilahirkan kelak dalam keadaan yang sehat.

Adapun disiplin ilmu-ilmu sosiohumaniora pengasuhan lebih merujuk pada

apa yang disebut dengan parenting „pengasuhan‟. Banyak ahli mengatakan bahwa

pengasuhan anak adalah bagian terpenting dan mendasar. Anak perlu diasuh, dan

dibimbing karena mengalami proses pertumbuhan, dan perkembangan. Pertumbuhan

dan perkembangan itu merupakan suatu proses, agar pertumbuhan dan perkembangan

berjalan sebaik-baiknya, anak perlu diasuh dan dibimbing oleh orang dewasa,

terutama dalam lingkungan kehidupan keluarga bersama orangtua.

Nabuasa (2011) menjelaskan bahwa pengasuhan berarti menjaga, merawat

dan mendidik anak. Pengasuhan anak adalah perilaku yang dilakukan oleh pengasuh

dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, memberikan kasih sayang dan

tanggung jawab orang tua. Seorang ibu merawat dan menjaga janinnya dengan

berbagai usaha agar nantinya anak dilahirkan dengan selamat dan sehat. Setelah lahir,

seorang anak pun akan tetap dalam perawatan dan penjagaan. Pengasuhan anak pada

tahap awal lebih ditekankan pada pengasuhan fisik. Anak diberi asupan gizi yang

baik agar anak tumbuh sehat. Seiring dengan bertambahnya usia anak, pengasuhan

32

tidak hanya pada urusan fisik (merawat dan menjaga), melainkan juga pengasuhan

dalam hal mendidik anak untuk bersikap dan bereperilaku sesuai dengan kelompok

sosialnya.

Pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan

pengasuh terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orangtua sebagai

pengasuh dengan anak sebagai individu yang diasuh. Interaksi tersebut mencakup

beberapa hal seperti; mencukupi kebutuhan anak, mendorong keberhasilan dan

melindungi, maupun mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat

(Wahyuning, 2003). Soekirman (2000) menjelaskan bahwa pengasuhan adalah

asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal

kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan,

menberi kasih sayang, dan sebagainya.

Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang

merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk

mendukung perkembangan anak. Hurlock (1996) menjelaskan bahwa pengasuhan

merupakan interaksi antara anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan

fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan afeksi (seperti kasih

sayang), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar

anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

33

Engel (1994), menjelaskan bahwa pengasuhan erat kaitannya dengan

kemampuan suatu keluarga atau rumah tangga dalam hal memberikan perhatian,

waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak

yang sedang dalam masa pertumbuhan. Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa

pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang

secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut

Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada

aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Beberapa definisi tentang

pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses aksi

dan interaksi yang terus menerus antara pengasuh dengan anak yang bertujuan untuk

mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik Secara fisik,

psikologis maupun sosial.

1.7.6 Pola Pengasuhan Anak

Pengasuhan anak dalam berbagai keluarga dapat dibedakan berdasar cara

mengasuhnya yang kemudian disebut dengan pola pengasuhan. Pengertian pola asuh

menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah merupakan suatu bentuk (struktur),

sistem dalam menjaga, merawat, mendidik dan membimbing anak kecil (Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 2005).

Menurut Baumrind (1987), ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi

dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :

34

a. Responsiveness

Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh hangat, memahami

dan berorientasi pada kebutuhan anak. Pada orangtua yang tidak responsif terhadap

anak–anaknya, orangtua bersikap menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan

sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi

anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa

dan teman sebaya sampai dengan masalah kenakalan.

b. Demandingness

Dimensi ini mengandung tuntutan orang tua pada anak. Orangtua memberikan

tekanan terhadap anak untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek

sosial, intelektual dan emosional dengan cara yang kaku. Orangtua juga terlihat

berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua

memiliki kemampuan untuk menahan tekanan dari anak,

Pola asuh orang tua dalam keluarga secara umum dikategorikan menjadi tiga

besar. Braumind (1987), mengidentifikasi tiga pola yang berbeda secara kualitatif

pada otoritas orangtua yaitu.

1. Authoritarian (Otoriter)

Authoritarian merupakan pola asuh yang penuh pembatasan dan hukuman

dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya, sehingga orangtua dengan pola

asuh authoritarian memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya.

35

Authoritarian mengandung demandingness yang tinggi dan unresponsive, yang

dicirikan dengan orangtua yang selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan

pada anak untuk mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi

terbuka antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh

authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan keras dalam

menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua bersikap memaksa

dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar bertingkah laku seperti yang

dikehendaki oleh orang tuanya. Adapun orangtua tidak mempunyai pegangan

mengenai cara bagaimana mereka harus mendidik, maka timbul berbagai sikap

orangtua yang mendidik menurut apa yang dianggap terbaik oleh mereka sendiri,

diantaranya adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat

menimbulkan ketegangan atau ketidak nyamanan, sehingga memungkinkan

kericuhan di dalam rumah (Baumrind dalam Berk, 2000). Menurut Stewart dan

Koch (1983), orangtua yang menerapkan pola asuh ini mempunyai ciri; 1) kaku, 2)

tegas, 3) sering menghukum, 4) kurang hangat, dan 5) orangtua memaksa anak-anak

untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai

dengan yang orangtua inginkan serta cenderung mengekang keinginan anak

Pola asuh otoriter mengakibatkan; anak mempunyai sikap serba tunduk; anak

tidak mempunyai inisiatif karena takut berbuat kesalahan; anak menjadi penurut dan

anak tidak mempunyai kepercayaan diri. Tidak jarang sering terjadi konflik orangtua-

anak yang menyebabkan munculnya jarak pemisah diantara keduanya.

36

2. Permissive (Permisif)

Pola asuh permisive atau disebut juga dengan pola asuh serba boleh. Dalam

pola asuh ini orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk berperilaku sesuai

dengan keinginan-keinginan anak. Orangtua kurang peduli dan tidak pernah

memberi aturan yang jelas dan pengarahan pada anak. Segala keinginan anak

keputusannya diserahkan sepenuhnya pada anak. Orangtua tidak memberikan

pertimbangan atau pengarahan bahkan tidak mau tahu atau masa bodoh tentang

masalah anak. Anak kurang tahu apakah tindakan yang dikerjakan benar atau salah.

Maccoby dan Martin (dalam Santrock, 2007) membagi pola asuh ini menjadi

dua: neglectful parenting (mengabaikan) dan indulgent parenting (menuruti). Pola

asuh yang neglectful yaitu bila orangtua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak

(tidak peduli). Pola asuh ini menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki

kompetensi sosial terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang.

Pola asuh indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan anak, namun

hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim (selalu menuruti atau

terlalu membebaskan) sehingga dapat mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak

adekuat karena umumnya anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan

menggunakan kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan

kehendaknya. Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind,

1987). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan dan lebih

mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada kebutuhan dan

37

keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun komunikasi terbuka antara

orangtua dan anak.

Hurlock (1996) mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan; 1)

adanya kontrol yang kurang, 2) orangtua bersikap longgar atau bebas, dan 3)

bimbingan terhadap anak kurang bahkan tidak ada. Pola asuh permisif ini dapat

menyebabkan anak berperilaku menentang, tidak patuh, kurang percaya diri, kurang

kontrol diri, agresif, dan tidak mempunyai tujuan.

3. Authoritative (Demokratis)

Pola asuh ini mendorong anak sebagai individu yang selalu berkembang

namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan mengontrol mereka. Adanya

saling memberi dan saling menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih

memusatkan perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua

memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang sebab

diberikannya hukuman serta imbalan. Authoritative mengandung demandingness dan

responsiveness dicirikan dengan adanya tuntutan dari orang tua yang disertai dengan

komunikasi terbuka antara orangtua dan anak, mengharapkan kematangan perilaku

pada anak disertai dengan adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh

authoritative dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala

persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang diberikan

38

orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan pembatasan

berdasarkan norma-norma yang ada.

Pengasuhan pada anak dengan cara ini akan memberikan dampak positif pada

kompetensi sosial anak yang meliputi perilaku prososial, inisiatif sosial dan dapat

membedakan yang baik dan yang buruk.

1.7.7 Pentingnya Orang Tua (Ayah-Ibu) dalam Pengasuhan Anak

Pengasuhan anak di dalam keluarga yang ideal adalah dilakukan oleh kedua

orang tuanya. Ayah dan ibu bekerja sama saling bahu-membahu untuk memberikan

asuhan dan pendidikan kepada anaknya. Mereka menyaksikan dan memantau

perkembangan anak-anaknya secara optimal. Baik ayah maupun ibu memiliki peran

dalam pengasuhan anak meskipun bentuk peran itu memiliki perbedaan.

Keutuhan keluarga menjadi faktor utama yang mempengaruhi pengasuhan.

Dimaksud dengan keutuhan keluarga ialah, pertama keutuhan dalam struktur keluarga

yaitu bahwa dalam keluarga itu adanya ayah disamping adanya ibu dan anak. Apabila

tidak ada ayah atau ibu atau kedua-duanya maka struktur keluarga sudah tidak utuh

lagi. Selain keutuhan dalam struktur keluarga dimaksudkan pula keutuhan dalam

interaksi keluarga jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang

wajar dan harmonis (Dagun, 2002).

Akhmad (1999) menjelaskan dalam proses perkembangan anak, ayah dan ibu

sama-sama mempunyai peran. Andayani dan Koentjoro (2004) menyebut bahwa

39

pengasuhan itu sebagai coparenting, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul

bersama antara ayah dan ibu. Pada coparenting, kerjasama yang terjadi diharapkan

dapat membantu anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal termasuk

pencapaian kompetensi sosialnya.

Ayah tidak mungkin menjalankan perannya sendiri sehingga diperlukan

dukungan ibu dalam pengasuhan, ibu juga demikian (Basir, 2004). Seorang ibu tidak

hanya berperan mengasuh anak saja, melainkan juga harus berperan dalam semua

urusan rumah tangga, bahkan peran sosial yang tidak bisa dilaksanakan oleh seorang

ayah dengan optimal untuk mencari nafkah dan atau tugas-tugas dalam wilayah

publik. Ibu memiliki keterbatasan pribadi, waktu dan perhatian untuk menjalankan

semua perannya. Oleh karena itu Andayani dan Koentjoro (2004) menegaskan bahwa

untuk memenuhi pelayanan perkembangan anak, ibu perlu dukungan ayah. Kualitas

pengasuhan ibu-anak dipengaruhi oleh peran ayah.

Senada dengan itu kebersamaan dalam mengasuh anak antara ayah dan ibu

dikemukakan oleh Davis dkk (dalam Basir, 2004) bahwa perkembangan anak

dipengaruhi oleh masing-masing karateristik ayah, ibu dan anak serta interaksi ayah

ibu, ibu-anak, dan ayah-anak. Penelitian tentang pengasuhan bersama atau

coparenting, juga dikemukakan oleh Santrock (2007) yang kesimpulannya adalah

solidaritas orang tua, kerjasama dan kehangatan, menunjukkan ikatan jelas dengan

perilaku prososial dan kompetensi anak.

40

Keterlibatan ayah secara langsung dalam pengasuhan anak merupakan hal

yang penting, sebab gaya laki-laki atau ayah akan memberikan kesempatan pada anak

untuk berkembangnya kecerdasan sosial dan emosi anak. Keterlibatan ayah akan

memberi manfaat yang positif bagi anak dalam mengembangkan pengendalian diri,

kemampuan menunda pemuasan keinginan dan kemampuan penyesuaian sosial anak,

baik laki-laki maupu perempuan. Dagun (2002) menjelaskan bahwa anak yang tidak

mendapat asuhan dan perhatian ayah, perkembangannya akan menjadi pincang,

memiliki kemampuan akademis yang cenderung menurun, aktivitas sosialnya

terhambat, dan interaksi sosialnya terhambat, bahkan bagi anak laki-laki, ciri

maskulinitasnya bisa menjadi kabur. Dikarenakan bahwa peran ayah efektif dalam:

(1) menciptakan relasi yang sehat, (2) menyediakan kebutuhan fisik dan keamanan

(3) menerima adanya perubahan, (4) menggali hal-hal yang menyenangkan dan (5)

membantu anak untuk mengembangkan kemampuannya.

Peran ibu dalam pengasuhan sangatlah penting. Ibu merupakan significant

person yaitu orang atau figur yang berarti bagi seorang anak dalam keluarga, sebab

dunia ibu adalah khas menampilkan diri sebagai dunia yang memelihara. Ketika ayah

mencari nafkah, ibulah yang medampingi anak-anak dalam memenuhi kebutuhan dan

membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan penuh

cinta (Kartono, 1989).

Andayani dan Koentjoro (2004) menjelaskan bahwa ibu merupakan faktor

yang sangat penting sebagai pengasuh utama. Ibu secara kodrati memiliki instink

41

keibuan untuk mengurus anak-anaknya, bahkan perempuan yang belum pernah

melahirkan pun, dapat dengan lebih cepat dalam menguasai pengasuhan anak. Hal

tersebut terjadi karena adanya tuntutan sosial yang kuat terhadap perempuan untuk

berperan sebagai ibu. Gunarsa (1995) menjelaskan bahwa secara umum seorang ibu

dalam pengasuhan anak memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis anak,

merawat, mengurus anak dengan sabar, kasih sayang, konsisten, mendidik, mengatur,

mendisiplinkan, dan mengendalikan anak.

Selain orang tua, Sukamtiningsih (2001) menjelaskan bahwa dalam

pengasuhan anak sering terjadi campur tangan kakek dan nenek. Hal ini lebih sering

diakibatkan oleh faktor ekonomi. Gunarsa (2004), bahwa antara kakek-nenek dan

orangtua memiliki perbedaan dalam hal pengasuhan diantaranya adalah cara

mendidik anak. Orangtua memberikan didikan secara kognitif, menegaskan dalam

aturan-aturan keseharian disertai hukuman. Berbeda halnya dengan kakek-nenek yang

mendidik anak dengan lebih menekankan pada ajakan-ajakan keseharian yang

kemudian membuat aturan terasa longgar bagi anak dan menjadikan mereka

bertindak sesuka hatinya.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan

studi kasus. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2007), metode penelitian

42

kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-

kata tertulis maupun lisan dari individu-individu atau perilaku yang diamatinya.

Denzin dan Lincoln (1994) menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif ialah

mendekati permasalahan dalam setting naturalnya, dan berupaya memahami atau

menginterprestasikan fenomena yang diteliti sesuai dengan pemaknaan yang

diberikan obyek itu sendiri. Kemudian menganalisanya dalam bentuk kata-kata guna

memperoleh suatu kesimpulan. Dalam penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan

untuk mengkaji kondisi umum Desa Karangrowo, kondisi sosial ekonomi keluarga

TKI Desa Karangrowo, dan pola pengasuhan anak pada keluarga TKI di Desa

Karangrowo.

1.8.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Karangrowo, Kecamatan Undaan,

Kabupaten Kudus karena desa ini merupakan salah satu wilayah kantong TKI Kudus.

Menurut Nor Hadi, Kaur Kesra desa Karangrowo, jumlah TKI yang tercatat pada

tahun 2013 adalah 154 orang terdiri dari 89 orang perempuan dan 65 orang laki-laki

dengan status legal. Dari keseluruhan jumlah TKI yang legal di Desa Karangrowo

tersebut sebagian besar berstatus telah menikah dan memiliki anak yakni 112 orang.

Setelah dilaksanakan observasi awal dan berbagai pertimbangan kesulitan di lapangan

maka ditetapkanlah penelitian di Desa Karangrowo. Pertimbangan utama memilih

lokasi ini adalah karakteristik kelayakan objek yang sangat memungkinkan untuk

menciptakan informasi yang menunjang tercapainya tujuan penelitian.

43

1.8.3 Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah keluarga TKI. Terdiri dari pihak orang tua

pengasuh dari anak yang ditinggalkan bekerja oleh salah satu atau kedua orang

tuanya bekerja menjadi TKI. Kemudian juga pada anak yang ditinggalkan bekerja ke

luar negeri itu sendiri. Alasannya karena kedua pihak tersebut terlibat langsung dalam

proses pengasuhan anak dalam keluarga TKI. Pihak pengasuh sebagai yang

menjalankan pengasuhan dan anak sebagai pihak yang mendapatkan pengasuhan.

Anak TKI yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah mereka yang

berada pada rentang usia antara 6-12 tahun. Hal ini dikarenakan pada umumnya anak

di Desa Karangrowo yang ditinggalkan oleh salah satu atau kedua orang tuanya

bekerja menjadi TKI adalah pada rentang usia tersebut.

Dalam penelitian ini dipilihlah 8 keluarga TKI, terdiri dari; 3 keluarga TKI

yang anaknya diasuh oleh pihak orang tua tunggal-ayah; 3 keluarga TKI yang

anaknya diasuh oleh pihak orang tua tunggal-ibu; dan 2 keluarga TKI yang anaknya

diasuh oleh pihak orang tua pengganti (kakek-nenek). Alasan mengambil 8 keluarga

TKI, karena dirasa sudah mampu menjawab persoalan mengenai pola pengasuhan

anak dalam penelitian ini. Melihat latar belakang yang tidak jauh berbeda antara

keluarga TKI satu dengan lainnya. Keterbatasan waktu dan biaya yang dimiliki oleh

peneliti juga menjadi alasannya.

Adapun rincian dari 8 keluarga TKI yanag menjadi subyek dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut.

44

Tabel 1.2

Daftar Subyek Penelitian

No

Orang

Tua

Pengasuh

Hubungan

Terhadap

Anak

Usia Pekerjaan Pendidikan

Anak

Yang

Diasuh

Kelamin Usia

Pihak Yang

Menjadi TKI Negara

Tujuan

1 Imron Ayah 31 Serabutan SD Lusi P 8 Istri/Ibu Arab Saudi

2 Sutomo Ayah 37 Sopir Angkot

Barang SLTP Arya L 12

Istri/Ibu Malaysia

3 Sarwi Ayah 32 Petani SD Asna P 9 Istri/Ibu Arab Saudi

4 Suyati Ibu 30 Ibu Rumah

Tangga SD Ismi P 9

Suami/Ayah Arab Saudi

5 Witani Ibu 33 Petani SD Linda P 11 Suami/Ayah Kuwait

6 Siti

Isrofah Ibu 29

Ibu Rumah

Tangga SLTP Zuffan L 8

Suami/Ayah Malaysia

7 Rebo-

Masirah

Kakek-

Nenek

65-

58

Petani-Ibu

Rumah

Tangga

Tidak

Tamat SD-

Tidak

Tamat SD

Faisal L 10 Suami/Ayah-

Istri/Ibu Arab Saudi

8 Masiran-

Ngasirah

Kakek-

Nenek

62-

56

Petani-Ibu

Rumah

Tangga

Tidak

Tamat SD-

Tidak

Tamat SD

Lina P 7 Suami/Ayah-

Istri/Ibu Malaysia

Sumber: data lapangan diolah 2013

45

Sebagai tambahan dan alat kontrol (pendukung kebenaran data) digunakan

juga informan pendukung. Terdiri dari tokoh masyarakat setempat yakni Bapak Nor

Hadi selaku Kaur Kesra dan Bapak Rumadi selaku Kepala Desa Karangrowo.

Kemudian juga ada tetangga dan kerabat dari keluarga TKI yang menjadi informan

dalam penelitian ini.

1.8.4 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga. Keluarga yang dimaksud

adalah keluarga TKI, keluarga yang tidak utuh dan tinggal terpisah satu sama lain

karena salah satu atau lebih anggota keluarganya bekerja menjadi TKI ke luar negeri

dalam jangka waktu lama (minimal dua tahun sesuai dengan masa kontrak kerja).

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam rangka memenuhi tujuan penelitian dilakukan

dengan cara pengamatan, wawancara secara mendalam (indept interview) dengan

menggunakan pedoman wawancara (interview guide) dan pengumpulan data

sekunder. Pelaksanaanya berlangsung selama 3 bulan, antara bulan Juni sampai bulan

September 2014.

a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan tertentu dengan maksud tertentu. Percakapan

itu dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dan yang diwawancarai yang memberikan jawaban atas pertayaan itu

(Moleong, 2007). Maksud mengadakan wawancara adalah untuk menkonstruksi

46

mengenai orang, kejadian, kegiatan, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan

lain-lain.

Wawancara dilakukan kepada subyek penelitian yang terdiri dari pihak orang

tua pengasuh dari anak yang ditinggalkan bekerja oleh salah satu atau kedua orang

tuanya bekerja menjadi TKI. Kemudian pada anak yang ditinggalkan bekerja ke luar

negeri itu sendiri. Sebagai tambahan dan alat kontrol (pendukung kebenaran data)

dilakukan juga wawancara kepada informan pendukung. Terdiri dari tokoh

masyarakat setempat yakni Bapak Nor Hadi selaku Kaur Kesra dan Bapak Rumadi

selaku Kepala Desa Karangrowo. Kemudian juga ada tetangga dan kerabat dari

keluarga TKI dalam penelitian ini.

Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai kondisi Desa

Karangrowo, kondisi sosial ekonomi keluarga TKI dan pola pengasuhan anak dari

keluarga TKI yang ada di Desa Karangrowo. Selama melakukan wawancara peneliti

mencatat hal-hal yang penting dan merekam pembicaraan. Waktu yang digunakan

untuk melakukan wawancara adalah ketika informan benar-benar dalam kondisi

luang atau sebelumnya mengadakan janjian terlebih dahulu. Sementara untuk

lamanya waktu yang dibutuhkan setiap kali melakukan wawancara antar informan

satu dengan lainnya berbeda-beda, berkisar satu sampai satu setengah jam dan

banyaknya wawancara yang dilakukan adalah dua hingga tiga kali wawancara kalau

ada data yang perlu dilakukan cross check.

47

Kesulitan yang dialami oleh peneliti selama melakukan wawancara adalah

pertama, dalam hal bahasa yang digunakan ketika melakukan wawancara dengan

informan. Peneliti harus menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan oleh informan,

baik bahasa Indonesia maupun Jawa. Peneliti terkadang kurang memahami bahasa

Jawa yang digunakan oleh informan. Kedua, ketika hendak mewawancarai informan,

maka peneliti harus menunggu waktu yang tepat. Misalnya saat informan yang akan

diwawancarai masih bekerja di sawah, peneliti harus dengan sabar menunggu

pekerjaannya sampai selesai baru melakukan wawancara.

b. Observasi

Disamping wawancara, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

peneliti ialah melalui observasi. Observasi diartikan sebagai pengamatan dan

pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian

berupa peristiwa, perilaku dan kegiatan informan, tempat atau lokasi penelitian

(Nawawi, 2005). Observasi langsung bertujuan agar data yang diperoleh dapat

digunakan dan dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Dalam penelitian ini peneliti langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan

observasi. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keyakinan tentang keabsahan data

dan mencari sebuah kebenaran yang terjadi di lapangan. Untuk memperoleh data

mengenai pola pengasuhan anak pada keluarga TKI, peneliti melakukan pengamatan

langsung ke rumah yang bersangkutan (keluarga TKI yang menjadi informan dalam

penelitian ini). Guna mengetahui secara langsung mengenai praktek pengasuhan anak

48

yang sehari-harinya berjalan dalam keluarga TKI. Kemudian mendokumentasikannya

dalam wujud gambar berupa foto dan mencatat hal-hal penting yang berhubungan

dengan fokus penelitian. Selain itu, untuk memperoleh gambaran mengenai Desa

Karangrowo, peneliti juga mengamati kondisi fisik maupun aktivitas sosial ekonomi

warganya.

c. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini berupa data tambahan yang berisi

informasi untuk mendukung dan melengkapi hasil penelitian, berupa: dokumen atau

arsip dari lembaga pemerintahan Desa Karangrowo berupa data monografi desa tahun

2013 yang berisi data kewilayahan, kependudukan yang meliputi jumlah penduduk,

mata pencaharian, pendidikan, agama, dan sarana prasarana. Kemudian ada juga foto-

foto terkait dengan fokus penelitian yang peneliti hasilkan saat melakukan penelitian

di lapangan.

1.8.6 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bersamaan dengan

kegiatan pengumpulan data lainnya, yakni pada saat wawancara mendalam (indepth

interview), observasi, serta analisis dokumen. Teknik analisis yang digunakan adalah

teknik kualitatif interaktif. Menurut Miles dkk (1992) teknik analisis data perlu

dilaksanakan secara interaktif, berkesinambungan dan berlangsung terus menerus

hingga data dapat dikatakan jenuh dan tuntas. Dengan demikian, proses tersebut akan

49

berlangsung secara berkesinambungan, sehingga diperoleh data yang merupakan

sasaran penelitian. Dalam model analisa interaktif tersebut terdapat tiga jenis kegiatan

analisis yang saling susul menyusul dan dilakukan secara berkesinambungan.

Kegiatan tersebut meliputi hal-hal berikut :

a. Reduksi Data

Dalam melakukan analisis data, langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti

ialah reduksi data. Reduksi data merupakan bagian dari teknik analisis data yang

dilakukan dengan memilih hal pokok untuk menjawab masalah penelitian agar tetap

fokus sehingga ditemukan pola dari penelitian yang dilakukan. Dalam melakukan

reduksi data, peneliti melakukan proses pengorganisasian data, pengelompokkan data

berdasarkan pola jawaban yang diperoleh selama melakukan penelitian. Baik melalui

pengumpulan data dengan wawancara, pengamatan (observasi) maupun analisis

dokumen. Proses pengelompokan dan pengorganisasian data dilakukan dengan

mengkode, mengkategorikan data yang penting dan yang tidak penting secara detail.

Hal ini dilakukan karena data yang nantinya diperoleh dari lapangan jumlahnya

sangat banyak, kompleks dan belum memiliki pola yang tetap. Melalui proses reduksi

data, peneliti mendapatkan ringkasan serta gambaran secara jelas mengenai data-data

yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan penelitian.

b. Penyajian Data

Penyajian data terwujud dalam sekumpulan informasi yang tersusun dengan

baik melalui ringkasan atau rangkuman berdasarkan data yang telah diseleksi atau

direduksi. Informasi atau data ini disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu

50

tulisan yang rapi dan tersusun dengan baik. Dengan demikian dalam ringkasan atau

rangkuman itu didalamnya termuat rumusan hubungan antara unsur dalam unit kajian

penelitian sehingga dapat memungkinkan untuk memudahkan menarik kesimpulan.

Dari hasil wawancara, observasi dan studi dokumentasi di lapangan, data yang

peneliti peroleh masih luas dan banyak. Kemudian peneliti menyajikan data dalam

bentuk deskriptif naratif yang berisi tentang uraian seluruh masalah yang dikaji

sesuai dengan fokus penelitian Selain itu data juga dapat disajikan dalam bentuk

gambar dan tabel.

c. Penarikan Kesimpulan

Yaitu suatu kegiatan konfigurasi yang utuh mengenai kesimpulan-

kesimpulan yang diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin

sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalisisan selama ia

menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan lapangan atau peninjauan kembali serta

tukar pikiran diantara teman sejawat untuk mengembangkan kesepakatan

intersubyektif atau juga upaya–upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu

temuan dalam seperangkat data yang lain. Singkatnya makna-makna yang muncul

dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya, yang merupakan

validitasnya (Miles dkk,1992).

Penarikan kesimpulan dilaksanakan untuk mencari kejelasan dan pemahaman

terhadap gejala-gejala yang terjadi di lapangan terkait dengan fokus penelitian.

Langkah-langkah analisis setelah pengumpulan data selesai, maka peneliti mulai

melakukan penyajian dengan melalui reduksi data terlebih dahulu. Setelah itu

51

mengambil kesimpulan awal, apabila dianggap kurang mantap oleh peneliti karena

ada kekurangan atau ada persoalan baru, maka akan melakukan reduksi atau melihat

hasil reduksi lagi dan melihat hasil penyajian data. Setelah selesai dilanjutkan dengan

mengambil data baru, begitu seterusnya hingga penelitian selesai dengan menarik

kesimpulan akhir.

Bagan Model analisis interaktif menurut Miles dkk (1992)

Pengumpulan data

Reduksi data

Penyajian data

Kesimpulan-

kesimpulan

penafsiran /

verifikasi