bab i pendahuluan 1.1 latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan bisa lepas dari interaksi sosial. Salah satu cara untuk berinteraksi sosial adalah dengan berkomunikasi. Dengan begitu, manusia membutuhkan sebuah bahasa untuk berkomunikasi agar maksud, ide, dan gagasan yang ada dalam dirinya bisa disampaikan kepada orang lain, sehingga orang lain bisa memahami maksud, ide, dan gagasannya. Menurut Chaer (2010: 14) dalam kajian linguistik umum, bahasa didefinisikan sebuah sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat interaksi dalam suatu tuturan. Untuk berinteraksi sosial dengan berkomunikasi, manusia membutuhkan sebuah tuturan. Tuturan sangat penting untuk berinteraksi sosial, karena tuturan menghubungkan penutur dan mitra tutur agar maksud dan tujuan antara keduanya bisa tersampaikan. Oleh karena itu, dalam mengutarakan sebuah tuturan dibutuhkan kesopanan untuk menjaga agar hubungan antara penutur dengan mitra tutur bisa berjalan dengan baik. Kesopanan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua peserta tutur, yaitu diri sendiri dan orang lain, diri sendiri adalah penutur dan orang lain adalah mitra tutur (Wijana, 1996: 55). Untuk berkomunikasi dengan sopan, tuturan seseorang harus memenuhi kaidah atau yang selanjutnya disebut dengan maksim-maksim sopan santun. Maksim-maksim sopan santun tersebut menganjurkan agar sebuah kalimat diungkapkan dengan

Upload: phamthu

Post on 12-Apr-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan bisa lepas dari interaksi

sosial. Salah satu cara untuk berinteraksi sosial adalah dengan berkomunikasi.

Dengan begitu, manusia membutuhkan sebuah bahasa untuk berkomunikasi agar

maksud, ide, dan gagasan yang ada dalam dirinya bisa disampaikan kepada orang

lain, sehingga orang lain bisa memahami maksud, ide, dan gagasannya. Menurut

Chaer (2010: 14) dalam kajian linguistik umum, bahasa didefinisikan sebuah

sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter, yang digunakan manusia sebagai alat

komunikasi atau alat interaksi dalam suatu tuturan.

Untuk berinteraksi sosial dengan berkomunikasi, manusia membutuhkan

sebuah tuturan. Tuturan sangat penting untuk berinteraksi sosial, karena tuturan

menghubungkan penutur dan mitra tutur agar maksud dan tujuan antara keduanya

bisa tersampaikan. Oleh karena itu, dalam mengutarakan sebuah tuturan

dibutuhkan kesopanan untuk menjaga agar hubungan antara penutur dengan mitra

tutur bisa berjalan dengan baik. Kesopanan pada umumnya berkaitan dengan

hubungan antara dua peserta tutur, yaitu diri sendiri dan orang lain, diri sendiri

adalah penutur dan orang lain adalah mitra tutur (Wijana, 1996: 55). Untuk

berkomunikasi dengan sopan, tuturan seseorang harus memenuhi kaidah atau

yang selanjutnya disebut dengan maksim-maksim sopan santun. Maksim-maksim

sopan santun tersebut menganjurkan agar sebuah kalimat diungkapkan dengan

2

sopan, dengan kata lain apabila sebuah kalimat melanggar maksim tersebut, maka

kalimat tersebut dikatakan tidak sopan (Leech, 1993: 207)

Tidak hanya tuturan lisan, tuturan dalam sebuah karya sastra pun juga

mengandung prinsip kesopanan. Misalnya dalam sebuah karya sastra naskah

drama, di dalamnya terdapat tuturan-tuturan antar tokoh yang mengandung prinsip

kesopanan. Hal tersebut dikarenakan sebuah karya sastra merupakan tiruan

terhadap kenyataan hidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang terhadap

kenyataan kehidupan (Winarni, 2014: 2). Sastra dalam bahasa Arab disebut adab

yang juga bisa diartikan etika atau sopan santun. Artinya, adab mencakup seluruh

aspek ilmu tata cara kita bersopan santun, dangan begitu sastra merupakan ilmu

yang sangat luas (Kamil, 2009: 3). Begitu juga dengan naskah drama Al-Fallāḥu

Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr yang di dalamnya terdapat tuturan yang

mengandung prinsip kesopanan.

Naskah drama tersebut bercerita tentang seorang petani yang pandai

berbicara bernama Khanūm. Di awal cerita, Khanūm difitnah oleh Ranzā yang

merupakan seorang menteri di sebuah kerajaan. Ketika disidang oleh raja dari

kerajaan tersebut, Khanūm bisa menjawab dan membela diri dengan bahasa yang

bagus dan puitis. Raja yang mengagumi sebuah seni, akhirnya meminta Khanūm

untuk tinggal di kerajaan tersebut. Singkat cerita, Khanūm berperan penting dalam

mengungkap rencana jahat Ranzā bersama istrinya yang bernama Ilma untuk

menguasai kerajaan. Dia bekerjasama dengan Ratu mengungkap dan membuat

Raja percaya tentang pemberontakan tersebut. Di akhir cerita, Khanūm mampu

mengatasi masa pemberontak yang berdemo di depan kerajaan.

3

Jika sebuah prinsip kesopanan dilanggar, maka akan menimbulkan

konflik. Berikut ini merupakan contoh tuturan yang melanggar prinsip kesopanan

yang terdapat dalam naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad

Bākaṡīr.

.دون . دون ( للمسجل : ) امللك

.دون . دون ( يقلده : ) خنوم

كيف جترؤ أن تقول هذا ىف موالنا امللك ؟. أيها الفالح الوقح : رنزى

(Bākaṡīr: 1966: 18)

/Al-Maliku : (Lilmusajjili) Dawwin. Dawwin./

/Khanūm : (Yuqalliduhu) Dawwin. Dawwin./

/Ranzā : Ayyuhā al-fallaḥu al-waqiḥu. Kaifa tajra‘u an taqūla hāżā

fī maulāna al-maliku?/

Al-Maliku : (Kepada pencatat) “Catat. Catat.”

Khanūm : (Menirukannya) “Catat. Catat.”

Ranzā : “Wahai petani yang tidak sopan. Bagaimana engkau

berani mengatakannya kepada Yang Mulia Raja?”

Kutipan percakapan tersebut terjadi ketika raja menyuruh pencatat untuk

mencatat perkataan Khanūm dalam peristiwa perdebatan antara Khanūm dengan

Ranzā. Dalam percakapan tersebut Khanūm telah berlaku tidak sopan, ketika dia

tampak mengejek raja dengan menirukan perkataan raja. Khanūm telah melanggar

maksim pujian yang memiliki prinsip meminimalkan kecaman terhadap orang lain

dan memaksimalkan pujian terhadap orang lain (Leech, 1993: 207). Perlakuan

tidak sopan Khanūm mendapat tanggapan dari Ranzā, yang mengatakan bahwa

Khanūm adalah petani yang tidak sopan, karena berani mengatakan hal tersebut

4

kepada raja. Untuk menghindari konflik tersebut, seharusnya Khanūm tidak

melanggar maksim pujian.

Sekarang masih belum banyak penelitian mengenai kesopanan bahasa,

apalagi kesopanan tuturan dalam Bahasa Arab. Untuk itu perlu dibahas tentang

bentuk-bentuk kesopanan tuturan pada naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya

‘Ali Aḥmad Bākaṡīr.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang

akan diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk kesopanan tuturan pada

naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dikemukakan oleh penulis adalah untuk

mengidentifikasi dan membahas bentuk-bentuk kesopanan tuturan pada naskah

drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr.

1.3 Tinjauan Pustaka

Salam (2007) meneliti kesantunan kalimat perintah bahasa Arab dalam

skripsinya yang berjudul “Kesantunan Kalimat Perintah (Imperatif) dalam Novel

“An-Nidā’u Al-Khālidu” karya Najīb al-Kailānī (Analisis Sosiolinguistik)”.

Skripsi tersebut membahas tentang kesantunan kalimat perintah dengan analisis

sosiolinguistik. Hal-hal yang dibahas dalam skripsi tersebut adalah bentuk

kesantunan, tingkat kesantunan, serta fungsi kesantunan kalimat perintah dalam

Novel “An-Nidā’u Al-Khālidu” karya Najīb al-Kailānī.

5

Alfitra (2012) meneliti prinsip kesopanan dalam skripsinya yang berjudul

“Prinsip Kesopanan pada Cerita Pendek “Al-Garīb” dan “Al-Jabābirah” dalam

Antologi Al-Kābūs karya Najib Al-Kailāni: Analisis Pragmatik”. Di dalam skripsi

ini, dibahas tentang jenis-jenis prinsip kesopanan serta jenis-jenis pelanggaran

prinsip kesopanan pada tuturan-tuturan dalam cerita pendek “Al-Garīb” dan “Al-

Jabābirah” dalam antologi Al-Kābūs karya Najib Al-Kailāni. Hasil yang didapat

dari penelitian tersebut adalah di dalam cerita pendek tersebut banyak ditemukan

tuturan yang sesuai dengan prinsip kesopanan.

Ramadhani (2013) meneliti prinsip kesopanan dalam naskah drama karya

‘Ali Aḥmad Bākaṡīr dalam skripsinya yang berjudul “Prinsip Kesopanan dalam

Naskah Drama Imbirāṭūriyyatun Fi Al-Mazād Karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr:

Tinjauan Pragmatik”. Dalam skripsi tersebut diteliti prinsip-prinsip kesopanan

yang ada di dalam naskah drama. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut

adalah terdapat enam macam maksim kesopanan.

Rianto (2016) meneliti prinsip kesopanan dalam naskah drama karya

Nawāl As-Sa‘dāwī dalam skripsinya yang berjudul “Prinsip Kesopanan dalam

Naskah Drama Al-Hākim Bi `Amri Allāh Karya Nawāl As-Sa‘dāwī: Analisis

Pragmatik”. Dalam skripsi tersebut diteliti prinsip-prinsip kesopanan yang ada di

dalam naskah drama. Hasil yang didapat dalam penelitian tersebut adalah terdapat

enam macam maksim kesopanan.

Sementara itu penelitian mengenai kesopanan tuturan pada naskah drama

Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr dengan menggunakan analisis

6

pragmatik belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itulah, peneliti akan

melakukan penelitian tersebut.

1.4 Landasan Teori

A. Pragmatik

Semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang

menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna

secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Makna

yang ditelaah oleh semantik adalah makna bebas konteks, sedangkan makna yang

dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks (Wijana, 1996 : 2).

Leech (1993) mengatakan bahwa secara praktis, pragmatik dapat

didefinisikan sebagai study mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu.

Pragmatik bersifat komplementer, yang berarti studi tentang penggunaan bahasa

dilakukan baik sebagai bagian terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai

bagian yang melengkapinya. Tata bahasa (dalam arti seluas-luasnya) harus

dipisahkan dari bidang pragmatik.

Yule (1996:4) mengatakan bahwa pragmatik memiliki beberapa topik

pembahasan, yaitu: teori tindak tutur, prinsip kerjasama, implikatur percakapan,

teori relevansi, dan prinsip kesopanan. Di dalam penelitian ini akan dibahas

mengenai prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan merupakan bagian dari tindak

tutur. Untuk itu, dalam penelitian ini akan sedikit dibahas tentang tindak tutur.

7

B. Tindak Tutur

Tindak tutur adalah suatu kegiatan di mana para peserta (penutur dan

lawan tutur) berinteraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk

mencapai suatu hasil (Yule, 1996:99).

Wijana (1996, 17) menyebutkan bahwa menurut Searle secara pragmatis,

ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak

lokusi (locutinary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi

(perlocutionary act).

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur

ini disebut sebagai The Act of Saying Something. Kalimat atau tuturan dalam hal

ini dipandang sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari satu satuan yang terdiri dari

subyek dan predikat. Tindak tutur ini adalah tindak tutur yang paling mudah untuk

diidentifikasikan karena pengidentifikasiannya dapat dilakukan tanpa

menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Wijana, 1996: 17-

18).

Untuk lebih jelasnya, Wijana memberikan contoh berikut:

(1) Ikan paus adalah binatang menyusui.

(2) Jari tangan jumlahnya lima.

Dari kedua contoh di atas dapat dilihat penutur mengutarakan tuturannya

semata-mata hanya untuk memberikan informasi kepada mitra tuturnya. Tuturan

tersebut diutarakan tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk

mempengaruhi lawan tuturnya.

8

Tindak ilokusi merupakan tindak tutur untuk melakukan sesuatu. Tindak

tutur ini disebut juga The Act of Doing Something (Wijana, 1996:18).

Untuk lebih jelasnya, Wijana memberikan contoh berikut:

(3) Ujian sudah dekat

(4) Rambutmu sudah panjang

Kalimat (3) bila diutarakan oleh seorang guru kepada muridnya, berfungsi

untuk memberikan peringatan kepada lawan tuturnya (murid) untuk

mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian. Kalimat (4) bila diutarakan oleh

seorang ibu kepada anaknya, berfungsi untuk menyuruh / memerintah lawan

tuturnya (anaknya) untuk segera memotong rambutnya. Dari kedua contoh

tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak lokusi sangat sukar diidentifikasi karena

terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan

dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian, tindak

ilokusi merupakan bagian terpenting untuk memahami tindak tutur (Wijana, 1996:

19)

Tindak Perlokusi merupakan tindak tutur untuk mempengaruhi lawan

tutur. Tindak Tutur ini disebut juga sebagai The Act of Affecting Someone. Tindak

tutur ini mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) bagi lawan tutur

(pendengarnya). Pengaruh tersebut dapat secara sengaja atau tidak sengaja

dikreasikan oleh penuturnya (Wijana, 1996:19).

Untuk lebih jelasnya, Wijana memberikan contoh berikut:

(5) Rumahnya jauh.

9

(6) Kemarin saya sangat sibuk

Kalimat (5) bila diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan,

perlokusi yang diharapkan adalah lawan tuturnya (ketua perkumpulan) tidak

memberikan tugas yang terlalu banyak karena rumahnya yang jauh. Kalimat (6)

bila diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan kepada

orang yang sudah mengundangnya, perlokusi yang diharapkan adalah lawan

tuturnya (orang yang mengundang) bisa memaklumi ketidakhadirannya.

C. Prinsip Kesopanan

Di dalam pragmatik, ujaran-ujaran prinsip kesopanan diekspresikan

dengan tindak ilokusi yang memiliki beberapa bentuk ujaran, yaitu: ujaran

impositif, komisif, ekspresif, dan asertif (Wijana, 1996:55; Nadar, 2009:30)

(a) Impositif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk menimbulkan efek

melalui tindakan penyimak. Contohnya: memesan, memerintahkan,

memohon, meminta, menyarankan, menyuruh, menganjurkan, dan

menasehatkan.

(b) Komisif adalah tindak tutur yang melibatkan pembicara pada beberapa

tindakan yang akan datang, misalnya menjanjikan, bersumpah,

menawarkan dan memanjatkan doa.

(c) Ekspresif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengekspresikan,

mengungkapkan, atau memberitahukan sikap psikologis sang

pembicara. Contohnya: mengucapkan selamat, mengucapkan terima

kasih, memuji, mengungkapkan bela sungkawa, dan lain sebagainya.

10

(d) Asertif adalah tindak tutur yang berfungi untuk menyatakan

kebenaran proposisi yang diungkapkan. Contohnya: menyatakan,

mengeluh, menyarankan, melaporkan, dan lain sebagainya.

Di dalam bukunya yang berjudul “Prinsip-Prinsip Pragmatik”, (Leech,

1993: 206) menjelaskan prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan memiliki 6

maksim, yaitu:

a. Maksim Kearifan (Tact Maxim)

Gagasan dasar maksim kearifan dalam prinsip kesantunan adalah penutur

harus meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan mitra tutur.

Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan

dapat dikatakan sebagai orang santun. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan

impositif atau tuturan komisif. Leech (1993: 209) mencontohkan tuturan (1) dan

(2) berikut memiliki tingkat kesopanan yang bebeda.

(1) Kamu harus datang dan makan malam di rumah kami.

(2) Kami harus datang dan makan malam di tempatmu.

Tuturan (2) tersebut tidak sopan karena penutur tampak berusaha

memaksimalkan kerugian mitra tutur dan meminimalkan keuntungan mitra

tuturnya. Sementara tuturan (1) lebih sopan karena dalam tuturan tersebut penutur

berusaha untuk memaksimalkan keuntungan mitra tutur dan meminimalkan

kerugian mitra tutur.

11

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Gagasan dasar maksim kedermawanan dalam prinsip kesantunan adalah

penutur harus meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan

kerugian diri sendiri. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif dan

tuturan komisif. Wijana (1996: 57) mencontohkan tuturan (3) dan (4) berikut

memiliki tingkat kesopanan yang berbeda.

(3) Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang.

(4) Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam.

Dalam contoh di atas, bisa dilihat bahwa tuturan (3) tidak sopan karena

penutur berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan

kerugian diri sendiri, sementara tuturan (4) lebih sopan karena penutur berusaha

meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri.

c. Maksim Pujian (Approbation Maxim)

Gagasan dasar maksim pujian dalam prinsip kesantunan adalah penutur

harus meminimalkan kecaman dan memaksimalkan pujian terhadap mitra tutur.

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan ekspresif atau tuturan asertif. Wijana

(1996: 58) mencontohkan tuturan (5) dan (6) berikut memiliki tingkat kesopanan

yang bebeda.

(5) Masakanmu sungguh enak.

(6) Masakanmu tidak enak.

12

Dari contoh di atas, bisa dilihat bahwa tuturan (5) sopan karena penutur

berusaha memaksimalkan pujian terhadap mitra tutur, sementara tuturan (6) tidak

sopan karena penutur memaksimalkan kecaman terhadap mitra tuturnya.

Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta tutur bisa saling memuji satu

dengan yang lainnya. Bukan saling mengecam satu dengan yang lainnya.

d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

Gagasan dasar maksim kerendahan hati dalam prinsip kesantunan adalah

penutur harus meminimalkan pujian dan memaksimalkan kecaman terhadap diri

sendiri. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan ekspresif atau tuturan asertif.

Wijana (1996: 59) mencontohkan tuturan (7) dan (8) berikut memiliki tingkat

kesopanan yang bebeda.

(7) a. Kau sangat pandai.

b. Ya, saya memang pandai

(8) a. Kau sangat pandai

b. Ah tidak, biasa-biasa saja. Itu hanya kebetulan.

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa tuturan (7) b. tidak sopan karena

dalam menanggapi pujian dalam tuturan (7) a. penutur tampak memaksimalkan

pujian terhadap dirinya sendiri dan meminimalkan kecaman terhadap dirinya

sendiri. Sementara tuturan (8) b. Lebih sopan karena dalam menanggapi pujian

dalam tuturan (8) a. penutur tampak meminimalkan pujian terhadap dirinya

sendiri.

13

e. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)

Gagasan dasar maksim kesepakatan dalam prinsip kesantunan adalah para

peserta tutur harus meminimalkan ketidaksepakatan dan memaksimalkan

kesepakatan di antara para peserta tutur. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan

asertif. Wijana (1996: 60) mencontohkan tuturan (9) dan (10) berikut memiliki

tingkat kesopanan yang bebeda.

(9) a. Bahasa Inggris sukar, ya?

b. Ya

(10) a. Bahasa Inggris sukar, ya?

b. (Siapa bilang), mudah (sekali).

Tuturan (9) b. dikatakan sopan karena tampak memaksimalkan

kesepakatannya dengan tuturan (9) a. Sementara tuturan (10) b. dikatakan tidak

sopan karena tampak memaksimalkan ketidaksepakatannya dengan tuturan (10)a.

f. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

Gagasan dasar maksim simpati dalam prinsip kesantunan adalah penutur

harus meminimalkan rasa dan memaksimalkan rasa simpati antara diri sendiri

dengan mitra tutur. Maksim ini diungkapkan dengan tuturan asertif. Wijana

(1996: 61) mencontohkan tuturan (11) dan (12) berikut memiliki tingkat

kesopanan yang bebeda.

(11) a. Bibi baru-baru ini sudah tidak ada.

b. Oh, aku turut berduka cita.

14

(12) a. Aku gagal di UMPTN.

b. Wah, pintar kamu. Selamat, ya!

Tuturan (11) b. dikatakan sopan karena tampak memaksimalkan rasa

simpati dalam menanggapi tuturan (11) a. Sementara tuturan (12) b. dikatakan

tidak sopan karena tampak memaksimalkan rasa antipati dalam menanggapi

tuturan (12) a.

1.5 Metode Penelitian

Menurut Mahsun (2012: 223), untuk pelaksanaan kajian bahasa yang

berhubungan dengan masalah pemakaian bahasa tahapan yang dilalui sama

dengan tahapan yang dilalui dalam kajian bahasa secara sinkronis dan diakronis,

yaitu melalui tahapan penyediaan data, analisis data, sampai pada tahapan

penyajian hasil analisis data.

a. Penyediaan Data

Untuk menyediakan data dalam penelitian ini, digunakan teknik catat.

Mahsun (2012) mengatakan apabila peneliti berhadapan dengan penggunaan

bahasa secara tertulis, peneliti hanya dapat menggunakan teknik catat untuk

menyediakan data, yaitu mencatat beberapa bentuk yang relevan bagi

penelitiannya dari penggunaan bahasa secara tertulis tersebut. Di dalam penelitian

ini, dilakukan dengan cara membaca naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya

‘Ali Aḥmad Bākaṡīr secara berulang-ulang kemudian mencatat data tuturan

naskah drama yang memenuhi kaidah kesopanan.

15

b. Analisis Data

Dalam analisis ini, peneliti menggunakan metode padan ekstralingual, di

mana metode ini digunakan untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual,

seperti menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa

(Mahsun, 2012:120). Hal-hal yang berada di luar bahasa tersebut adalah penutur

dan mitra tutur, konteks sebuah tuturan, tujuan sebuah tuturan, tindak ujar,

tuturan, serta waktu dan tempat ketika tuturan tersebut dihasilkan (Leech, 2011:

21)

Analisis data dengan menggunakan metode padan ekstralingual ini

bertujuan untuk mendeskripsikan kesopanan tuturan pada naskah drama Al-

Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr. Yaitu dengan cara menghubungkan

tuturan dengan kaidah kesopanan dan hal-hal yang berada di luar bahasa yang

mempengaruhi tuturan tersebut (Mahsun, 2010: 120).

c. Penyajian Data

Hasil analisis data penelitian kesopanan tuturan pada naskah drama Al-

Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali Aḥmad Bākaṡīr ini disajikan secara informal. Yaitu

merumuskan hasil temuan penelitian yang berupa wujud kesopanan dengan kata-

kata biasa (Mahsun, 2012: 123).

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bab. Bab I

terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika

16

penulisan, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II berisi analisis pragmatik

jenis-jenis kesopanan tuturan pada naskah drama Al-Fallāḥu Al-Faṣīḥu karya ‘Ali

Aḥmad Bākaṡīr dan bab III berisi kesimpulan.

1.7 Pedoman Transliterasi

Penulisan transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pedoman transliterasi yang berdasarkan atas keputusan bersama Menteri

Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 tahun 1987 dan

no. 0543 b/u/1987.

a. Konsonan

Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan

dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan tanda, dan sebagian yang lain

dengan huruf dan tanda sekaligus.

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

Alīf tidak dilambangkan tidak dilambangkan ا

Bā B Be ب

Tā T Te ت

Śā S| es (dengan titik di atas) ث

Jīm J Je ج

}Hā H حha (dengan titik di

bawah)

Khā Kh ka dan ha خ

Dāl D De د

Żāl Z| zet (dengan titik di atas) ذ

17

Rā R Er ر

Zai Z Zet ز

Sīn S Es س

Syīn Sy es dan ye ش

}Sād S صes (dengan titik di

bawah)

}Dād D ضde (dengan titik di

bawah)

}Tā T طte (dengan titik di

bawah)

}Zā Z ظzet (dengan titik di

bawah)

ain ‘_ koma terbalik (di atas)‘ ع

Gain G Ge غ

Fā F Ef ف

Qāf Q Ki ق

Kāf K Ka ك

Lām L El ل

Mīm M Em م

Nūn N En ن

Wāwu W We و

Hā H Ha ه

Hamzah `_ Apostrof ء

Yā Y Ye ي

18

b. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

I. Vokal tunggal

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,

transliterasinya sebagai berikut.

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah A A

Kasrah I I

Dammah U U

Contoh:

kataba ك ت ب

zukira ذ ك ر

II. Vokal rangkap

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan harakat

dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Tanda dan huruf Nama Gabungan

huruf Keterangan

…ي fathah dan ya’ Ai a dan i

…و fathah dan wāwu Au a dan u

Contoh:

baitun ب يت

launun ل ون

19

III. Vokal panjang

Vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya

berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harakat dan Huruf Nama Huruf dan

Tanda Keterangan

…ى …ا fathah dan alīf Ā a dan garis di

atas

…ي Kasrah h dan yā’ Ī i dan garis di

atas

dammah dan wāwu Ū …و u dan garis di

atas

Contoh:

qāla ق ال

yaqūlu ي ق ول

ب ي ر kabīrun ك

c. Ta’ marbūtah

Transliterasi untuk ta’ marbūtah ada dua, yaitu:

a. Transliterasi ta’ marbūtah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah,

dan dammah, transliterasinya adalah /t/.

b. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta’ marbūtah diikuti oleh kata

yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu terpisah,

maka ta’ marbūtah itu ditransliterasikan dengan /h/.

Contoh:

raudah al-atfāl / raudatul-atfāl ر وض ة األ طف ال

ن ور ة د ي ن ة امل

al-Madīnah al-Munawwarah امل

20

d. Syaddah (tasydīd)

Syaddah atau tasydid dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda, tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf

yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.

Contoh:

rabbana ر ب ن ا

nazzala ن زل

e. Kata sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

"ال" . Akan tetapi, dalam transliterasi ini kata sandang dibedakan atas kata sandang

yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti oleh huruf

qamariyyah.

a. Kata sandang diikuti oleh huruf syamsiyyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsyiyyah ditransliterasikan

sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama

dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut.

Contoh:

ar-rajulu الرج ل

as-samā’u السم اء

b. Kata sandang diikuti huruf qamariyyah

Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai

dengan huruf aturan yang digariskan di depan dan sesuai pula dengan

bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyah, kata

21

sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan

dengan tanda sempang.

Contoh:

al-qalamu الق ل م

al-katibu الك ات ب

f. Hamzah

Hamzah ditransliterasikan dengan apostrof jika terletak di tengah atau di

akhir kata. Apabila terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan karena dalam

tulisan Arab berupa alif.

Contoh:

ya’khuzu يا خ ذ

qara’a ق ر أ

g. Penulisan kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fi’l, ism, maupun harf, ditulis terpisah.

Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim

dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan

maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata

lain yang mengikutinya.

Contoh:

ي ر الراز ق ي Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīna و إ ن اهلل ل و خ

h. Huruf kapital

Meskipun dalam tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam

transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang

22

Disempurnakan (EYD). Di antaranya adalah huruf kapital digunakan untuk

menuliskan huruf awal, nama diri, dan permulaan kalimat. Bila nama diri itu

didahului oleh kata sandang, maka yang dituliskan dengan huruf kapital tetap

huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Contoh:

Wamā Muhammadun illā rasūl و م ا م مد إ ال ر س ول

Penggunaan huruf awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan

Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan

kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak

dipergunakan.

Contoh:

تح ق ريب ن صر م ن اهلل و ف Nasrun minallāhi wa fathun qarīb