bab i pendahuluan 1.1 latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66947/potongan/s1... ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan potensi pariwisata yang tinggi. Banyaknya
daerah tujuan wisata di seluruh wilayah menjadi bukti potensi wisata Indonesia.
Sektor pariwisata merupakan sektor yang memiliki keunggulan yang dapat
diandalkan sebagai sumber pendapatan negara. Sektor pariwasata juga menjadi
kunci berkembangnya sektor-sektor lain di suatu daerah. Jika sektor pariwisata
daerah dapat dikembangkan, maka sektor lainnya dalam daerah tersebut pun akan
ikut berkembang. Salah satu sektor yang akan turut berkembang adalah sektor
perekonomian masyarakat.
Sayangnya sektor pariwisata belum dikembangkan dengan baik di seluruh
daerah. masih banyak daerah yang belum terkelola dengan baik, hingga hanya
sedikit orang yang mengetahui keindahan daerah tersebut dan rendahnya
kesadaran stakeholder terkait yang seharusnya turut menjaga kelestariannya. Hal
ini berimbas pada menjadikan daerah tujuan wisata tersebut tidak terawat
sehingga mengakibatkan semakin sedikitnya orang yang menjadikan daerah itu
sebagai tujuan wisata. Sehingga dibutuhkan sebuah kebijakan yang tersinergi
antar stakeholder untuk membantu mengangkat daerah tersebut menjadi daerah
tujuan pariwisata nasional.
Terdapat fenomena yang sebenarnya sangat potensial untuk dijadikan wisata
alam (geologi) dan pendidikan di daerah Pantai Parangtritis Yogyakarta yaitu
Gumuk pasir Parangtritis. Gumuk pasirtipe Barchan yang terdapat di pantai pantai
Parangtritis merupakan satu-satunya di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Terbentuknya gumuk pasir di pantai Parangtritis tersebut merupakan hasil proses
yang dipengaruhi oleh Gunung Merapi, Sungai Opak dan Progo, serta oleh
kekuatan angin. Gumuk pasir termasuk dalam bentuk lahan Aeolian yang proses
pembentukannya selama ratusan tahun bahkan selama ribuan tahun, prosesnya
pun sekarang masih berlangsung. Angin yang membawa pasir akan menghasilkan
2
bermacam-macam bentuk dan tipe gumuk pasir, bentukan yang khas dijumpai
adalah tipe Barchan. Gumuk pasir di Desa Parangtritis satu-satunya bentang lahan
Aeolian di Indonesia dan salah satu dari hanya dua gumuk pasir di dunia, hal ini
menunjukkan sangat langkanya fenomena bentukan lahan tersebut sehingga perlu
dijaga kelestariannya sebagai aset kekayaan alam Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Semakin menyempitnya areal gumuk pasiryang masih alami (existing) perlu
untuk menjadi perhatian bersama, dikhawatirkan beberapa tahun kedepan tidak
dijumpai lagi bentukan lahan Gumuk pasir. Gumuk pasir hanya akan menjadi
cerita dongeng masa lalu. Manfaat utama dari gumuk pasir sendiri yaitu sebagai
barrier penghalau laju gelombang pasang surut pantai dan gelombang tsunami
akan tetapi keberadaan gumuk pasir terancam oleh permukiman dan vegetasi
tumbuhan yang semakin lama semakin berkembang pesat. Hal ini akan
mengurangi fungsi utama gumuk pasirsebagai penahan gelombang pasang surut
dan tsunami, selain itu bentuk alami dari gumuk pasir juga akan hilang karena
pembentukan gumuk pasir seharusnya tidak boleh ada objek penghalang sehingga
bentukannya alami, dikhawatirkan generasi mendatang hanya akan dapat
mendengar dongeng tentang gumuk pasir di Indonesia.
Konservasi gumuk pasir penting demi menjaga kelestarian gumuk pasir
yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Perlu dilakukan pengaturan zonasi
tata ruang yang telah ada tentang kawasan wisata gumuk pasir yang berorientasi
konservasi lingkungan dan pengembangan potensi ekonomi masyarakat lokal.
Keadaan gumuk pasir sekarang sudah terkontaminasi oleh aktivitas ekonomi
masyarakat sekitar, misal permukiman, pariwisata, penghijauan (reboisasi) dan
pertanian lahan pasir. Konflik antara konservasi lingkungan dengan kegiatan
ekonomi masyarakat harus dilakukan mediasi, sehingga masyarakat dapat
terdorong oleh adanya potensi daerah dan melakukan aktivitas ekonominya tanpa
harus merusak ekosistem gumuk pasir.
Berdasarkan peta konservasi gumuk pasir Parangtritis yang dibuat oleh
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantul bersama Laboratorium
3
Geospatial Parangtritis telah diatur dan dilakukan pembagian zonasi pemanfaatan
lahan Gumuk pasir Parangtritis sesuai dengan arahan dan peruntukan
kegiatandiantaranya zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan tertentu, zona
perikanan berkelanjutan, zona wisata alam dan budaya, dan zona wisata
kuliner.Pembuatan zonasi tersebut tentu sudah melalui proses perencanaan dan
musyawarah akan tetapi dalam kenyataannya belum sepenuhnya pihak yang
berkepentingan secara langsung mengetahui dan dilibatkan secara aktif dalam
pembuatan zonasi di gumuk pasir. Sosialisasi yang dilakukan baru sampai kepada
tingkat perangkat desa, seharusnya sosialisasi juga perlu mengundang masyarakat
yang mempunyai kepentingan disana serta mengundang dari pihak Kraton
Yogyakarta karena status tanah di gumuk pasir kebanyakan adalah Sultan Ground.
Adapun pertanyaan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaturan zonasi konservasi Gumuk pasir Parangtritis
berdasarkan kajian spasial wilayah (analisis tapak) ?
2. Bagaimana persepsi dan aspirasi masyarakat terkait manfaat / fungsi dari
gumuk pasir dan adanya pengaturan zonasi tata ruang di gumuk pasir
Parangtritis?
3. Bagaimanaarahan kebutuhan kebijakan yang seharusnya dilakukan untuk
pengaturan zonasi konservasi Gumuk pasir Parangtritis?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain :
1. Mengidentifikasi pengaturan zona inti di gumuk pasir Parangtritis secara
spasial berdasarkan parameter lingkungan fisik (gumuk pasir yang masih
existing/aktif), dan parameter biotik (kerapatan vegetasi) sehingga dapat
dilakukan klasifikasi menjadisubzonainti, hasil yang diperoleh adalah peta
pengaturan subzona intidi gumuk pasir Parangtritis.
2. Melakukan pemetaan persepsi dan aspirasi masyarakat untuk mengetahui
persepsi terkait pengetahuan masyarakat Parangtritis mengenai definisi,
manfaat/fungsi gumuk pasir dan mengetahuiaspirasi masyarakat
Parangtritis terkait adanya pengaturan zonasi gumuk pasirberupa
4
usulan/masukan serta harapan kedepan, sehingga dapat menjadi
masukan/pertimbangandalam strategi pengaturan zonasi gumuk pasir
Parangtritis.
3. Menyusun arahan kebijakan pengaturan zonasi konservasigumuk
pasirberdasarkan pertimbangan identifikasi analisis spasial dan hasil
pemetaan persepsi dan aspirasi masyarakat Parangtritis serta dari instansi
pemerintah berwenang pembuat kebijakan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain :
1. Membuat telaah spasial sebagai masukan kebutuhan informasi dalam
pembuatan pengaturan zonasi konservasi di Gumuk pasir Parangtritis.
2. Menjaring persepsi dan aspirasi masyarakat dan instansi / lembaga
pemerintah terkait dalam rencana pengaturan zonasi konservasi gumuk
pasir Parangtritis agar berbagai kepentingan yang ada dapat terwakili.
3. Dari sisi keilmuan pembangunan wilayah sebagai masukan bagi para
perencana dan pengambil keputusan dalam menentukan arahan
kebijaksanaan, merencanakan dan mengembangkan konservasi gumuk
pasir secara berkelanjutan.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian ini menggunakan skripsi dan tesis serta beberapa journal baik
yang dipublikasikan dalam skala nasional maupun internasional sebagai bahan
perbandingan dan rujukan. Penelitian ini secara umum mengambil tema persepsi
dan aspirasi masyarkat terkait pengaturan zonasi konservasi Gumuk pasir
Parangtritis. Ada tiga hal yang penting utama dalam penelitian ini pertama
mengidentifikasi secara keilmuan pengaturan zonasi penataan ruang di Gumuk
pasir Parangtritis bagaimana pandangan secara spasial wilayah (lingkungan biotik
dan lingkungan gumuk pasir). Kedua bagaimana persepsi dan aspirasi masyarakat
terkait pengaturan konservasi gumuk pasir sehingga suara masyarakat dapat
terwadahi dan terkadomodasi di dalam peraturan. Ketiga bagaimana
5
implikasikebijakan yang seharusnya dilakukan untuk pengaturan zonasi
konservasi gumuk pasir Parangtritis.
Terdapat beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian –
penelitian sebelumnya yang juga mengangkat tema yang sama. Penelitian ini
menjadi menarik dan unik karena mencoba mengidentifikasi pengaturan zonasi
secara spasial dan mengali persepsi serta aspirasi dari masyarakat terkait rencana
konservasi “Gumuk Pasir” (Sand Dune). Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
tambahan informasi terkait pengaturan zonasi konservasi Gumuk pasir yang telah
dibuat oleh pemerintah apakah zonasi yang dibuat sudah mempertimbangkan dari
aspek keilmuan dan apakah kepentingan masyarakat sudah terakomodasi di
dalamnya, apabila ada yang masih belum lengkap maka bisa menjadi masukan
dan pertimbangan pada saat sosialisasi peraturan tersebut. Berikut tabel yang
menunjukkan perbandingan antara beberapa penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya terhadap penelitian yang akan dilakukan seperti yang disajikan dalam
tabel 1 di bawah ini.
6
No. Nama dan Tahun Judul Penelitian Tujuan Penelitian Daerah Kajian Hasil Penelitian
1. Departemen Kehutanan
Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Balai Taman
Nasional Karimunjawa
(2004)
Penataan Zonasi Taman
Nasional Karimunjawa
Kabupaten Jepara Provinsi
Jawa Tengah
1.Mengevaluasi kesesuaian lahan dalam
pemanfaatan sumberdaya alam.
2.Mengatasi konflik pemanfaatan kawasan sehingga
potensi sumberdaya alam dapat dimanfaatkan
secara optimal sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan dayadukung lingkungan serta sesuai
dengan kebijakan pengelolaan taman nasional.
3.Memberikan pertimbangan atau masukan dalam
pengambilan keputusan sebagai dasar dalam
penentuan kebijakan pengelolaan.
Taman Nasional Karimunjawa
Kabupaten Jepara Provinsi
Jawa Tengah
1. Usulan lokasi zona inti.
2.Usulan lokasi alternatif zona
inti.
3.Usulan lokasi pengaturan
alat tangkap.
2. Thesis, Annihayah
(2008)
Efektivitas Program Penataan
Kawasan Pariwisata Pantai
Parangtritis Kabupaten Bantul
1.Mengkaji dan menganalisis tingkat efektivitas
program penataan kawasan pariwisata pantai
Parangtritis.
2.Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi
tingkat efektifitas pelaksanaan program penataan
kawasan Pariwisata pantai Parangtritis.
Pantai Parangtritis Kabupaten
Bantul
1.Pencapaian peningkatan
iklim investasi dan
pemberdayaan masyarakat
tidak efektif.
2.Faktor – faktor sumberdaya
sikap pelaksana, lingkungan
serta koordinasi berpengaruh
terhadap efekttivitas program
ini.
3. Skripsi, Surani Hasanati, S.Si,
M.Sc.
(2009)
Persepsi Stakeholder Terhadap
Penataan Ruang Kawasan
Pesisir Parangtritis (Studi
Kasus : Dusun Mancingan)
1.Mendeskripsikan keragaman stakeholder terhadap
implementasi penataan ruang kawasan pesisir
Parangtritis di Dusun Mancingan
2. Mengkaji harapan stakeholder terhadap
implementasi penataan ruang kawasan Parangtritis
Dusun Mancingan, Desa
Parangtritis, Kecamatan Kretek
Kabupaten Bantul
1. Masyarakat mendukung
adanya penataan tetapi
dengan perhatian beberapa
aspek.
2.Konsep yang dihasilkan dari
induksi tema ada 4 yaitu
Tabel 1. Tinjauan Pustaka
7
di Dusun Mancingan.
(penataan untuk
pengembangan, strategi
masyarakat lokal, partisipasi
dan keberlanjutan)
3.Harapan adanya sinergi
antara pemerintah dengan
masyarakat, kepastian
program penataan dan
peningkatan pendapatan
masyarakat lokal.
4. Thesis, Astekita Ardiarsito
(2011)
Zonasi Lingkungan Taman
Nasional Teluk Cendrawasih
Pada Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah
Rumberpon
1.Menginventarisasi kondisi lingkungan pada zonasi
TNTC di SPTN Wilayah V Rumberpon.
2.Mengetahui kesesuaian kondisi lingkungan zonasi
TNTC di SPTN Wilayah V Rumberpon dengan
kriteria zonasi taman nasional.
3.Membuat strategi pengelolaan lingkungan dari hasil
analisis kesesuaian zonasi TNTC.
Taman Nasional Teluk
Cendrawasih Pada Seksi
Pengelolaan Taman Nasional
Wilayah Rumberpon Papua
Barat
Analisis hasil kesesuaian
kondisi lingkungan existing
1.Sesuai : zona pemanfaatan
umum, zona pemanfaatan
tradisional dan zona
pemanfaatan pariwisata.
2.Sesuai Terbatas : zona inti,
zona perlindungan bahari,
zona rimba dan zona khusus)
8
1.6 Tinjauan Pustaka
1.6.1 Pendekatan Geografi
Geografi merupakan studi yang mengkaji persamaan dan perbedaan
fenomena geosfer, lithosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer. Sebagai ilmu
murni ataupun terapan, geografi berkaitan erat dengan pembangunan suatu
wilayah, karena geografi mampu mengidentifikasi fenomena-fenomena yang
terjadi di permukaan bumi yang merupakan pondasi bagi perencanaan
pembangunan wilayah (Bintarto, 1983).
Secara umum, fenomena geografi terbagi dua, yakni material dan formal
(Bintarto, 1991). Fenomena material berupa fenomena-fenomena di permukaan
bumi yang berkaitan langsung dengan hakekat disiplin ilmu geografi itu sendiri,
fisik maupun sosial. Kemudian Fenomena formal merupakan cara pandang dan
kerangka berfikir dalam mengkaji fenomena material tersebut, yakni secara
spasial, ekologikal dan atau kompleks kewilayahan, dalam rincian pendekatan
sebagai berikut (Yunus, 2005):
a. Pendekatan spasial
Pendekatan ini menggunakan ruang sebagai media analisis dalam memahami
sebaran, pola, struktur, proses, asosiasi, tendensi dan interaksi antar elemen
dalam suatu lingkungan. Pendekatan ini sangat memperhatikan variasi ruang
(bersifat lokalitas).
b. Pendekatan ekologikal
Pendekatan ekologi menekankan pada elaborasi yang intens antar elemen
lingkungan dan manusia beserta aspek-aspek kehidupannya. Selaku “focus of
analysis”, manusia dikaji sebagai makhluk berbudaya (tidak lepas dari aspek
persepsi, tingkah laku dan aktivitas). Segala fenomena dikaji sebagai sebab
akibat dari budaya manusia, sehingga pendekatan ini disebut pula “human
oriented discipline”.
Dalam penelitian ini, pendekatan geografi yang ditekankan adalah
ecological approach (pendekatan ekologikal). Keterkaitan antara organisme
dengan lingkungannya dapat berarti keterkaitan antara manusia dengan
lingkungan abiotik, biotik dan kulturnya; dan keterkaitan antara binatang dan
tumbuhan dengan lingkungan abiotik dan biotiknya. Pengertian organisme dapat
9
berarti dalam satuan individual atau komunitas, dalam arti yang lebih luas
hubungan timbal balik antar organisme berarti hubungan antar individu dengan
komunitas dan hubungan antar komunitas baik masyarakat manusia, binatang
maupun tumbuhan. Mengacu pada satuan individual dan komunitas maka jalinan
yang tercipta antarorganisme dan organisme dengan lingkungannya menjadi
sedemikian luas dan kompleks sebagai suatu ekosistem (ecosystem)(Yunus, 2010:
86).
1.6.2 Proses Terbentuknya Gumuk Pasir Parangtritis
Gumuk pasir tipe Barchan yang terdapat di pantai Parangtritis merupakan
satu-satunya di Indonesi, bahkan Asia Tenggara. Terbentuknya gumuk pasir di
pantai tersebut merupakan hasil proses yang dipengaruhi oleh Gunungapi, Sungai
Opak dan Progo, serta oleh kekuatan angin.
Pengaruh dari Gunungapi.
Material yang ada pada gumuk pasir di Parangtritis berasal dari Gunung
Merapi dan gunung – gunung aktif lain yang ada di sekitarnya. Material
dikeluarkan oleh gunung berupa pasir dan material piroklastik lain. Akibat proses
erosi dan gerak massa batuan, material kemudian terbawa oleh aliran sungai,
misalnya pada Kali Krasak, Kali Gendol, Kali Suci dan Sungai Progo.
Pengaruh Sungai
Pembentukan gumuk pasir pada pantai Parangtritis dipengaruhi oleh
adanya beberapa aliran sungai, yaitu Sungai Opak-Oyo pada bagian timur dan
sungai Progo pada bagian barat. Material dari Merapi terbawa oleh aliran sungai
di sekitarnya, sungai-sungai tersebut kemudian menyatu membentuk orde sungai
yang lebih besar hingga menyatu membentuk sungai Opak, Oyo, dan Progo. Di
wilayah pantai Parangtritis, material tersebut tidak diendapkan pada bagian depan
dari sungai yang pada akhirnya membentuk delta, hal ini disebabkan karena
kuatnya arus dan gelombang laut pantai Parangtritis serta arahnya yang berasal
dari tenggara menyebabkan material terendapkan pada bagian barat sungai.
Di pantai Parangtritis ombaknya sangat kuat sehingga batuan atau sedimen
pasir yang baru saja diendapkan akan terkena ombak. Karena ombaknya sangat
10
besar, maka di pantai Parangtritis disekitar muara Sungai Progo tidak ada delta
yang terbentuk, hal ini disebabkan semua sedimennya di acak-acak lagi oleh
gempuran laut selatan dan disebarkan ke kiri kanan selebar hingga 50-60 Km.
Mulai dari Pantai Parangtritis di selatan Jogja, Pantai Samas, hingga pantai
Congot di sebelah baratnya.
Pengaruh Angin
Kekuatan angin sangat berpengaruh terhadap pembentukan gumuk pasir,
karena kekuatan angin menentukan kemampuannya untuk membawa material
yang berupa pasir baik melalui menggelinding (rolling), merayap, melompat,
maupun terbang. Karena adanya material pasir dalam jumlah banyak serta
kekuatan angin yang besar, maka pasir akan membentuk berbagai tipe gumuk
pasir, baik free dunes maupun impeded dunes. Pada pantai Parangtritis, angin
bertiup dari arah tenggara, hal ini menyebabkan sungai-sungai pada pantai
Parangtritis membelok ke arah kiri jika dilihat dari Samudra Hindia. Karena arah
tiupan angin itu pula, maka gumuk pasir yang terbentuk menghadap ke arah
datangnya angin. Tipe gumuk pasir yang khas di Parangkusumo yaitu gumuk
pasir tipe Barchan (Bulan Sabit). ( Sumber : http://labgeopesisir.org/ Diakses Pada
Tanggal 15 November 2012 Pukul 21.00 WIB )
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa material dari Merapi
terbawa oleh aliran sungai di sekitarnya, sungai-sungai tersebut kemudian
menyatu membentuk orde sungai yang lebih besar hingga menyatu membentuk
sungai Opak, Oyo, dan Progo. Setelah material pasir sampai ke laut, terdapat
interverensi dari ombak laut sehingga material mengendap pada Pantai
Parangtritis dan selanjutnya diterbangkan oleh angin. Pada pantai Parangtritis,
material tersebut tidak diendapkan pada bagian depan dari sungai yang pada
akhirnya membentuk delta, hal ini disebabkan oleh kuatnya arus dan gelombang
laut pantai Parangtritis serta arahnya yang berasal dari tenggara menyebabkan
material terendapkan pada bagian barat sungai. Sehingga, pada bagian Selatan
Jawa (berada pada sekitar Sungai Progo) tidak terbentuk delta.
11
1.6.3 Persepsi dan Aspirasi Masyarakat
Persepsi setiap orang terhadap suatu objek akan berbeda-beda,
seseorangmelihat suatu objek atau persoalan yang dihadapinya tidaklah sama satu
denganyang lain, sehingga persepsi memiliki sifat yang subjektif, karena
bergantungpada perseptor atau orang yang berpersepsi. Menurut Brehm dan
Kassin (1990)persepsi adalah evaluasi positif atau negatif dalam tingkatan
intensitas terhadapsuatu objek. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi
oleh pikiran danlingkungan sekitarnya.Persepsi seseorang juga berkaitan dengan
sikap mereka, sebab sikapadalah bentuk evaluasi atau reaksi perasaan dan
implementasi dari persepsiseseorang, oleh sebab itu persepsi seseorang terhadap
keberadaan suatu objekadalah perasaan mendukung atau menolak (Azwar, 2002).
Aspirasi sendiri merupakan harapan dan tujuan untuk keberhasilan pada masa
yang akan datang (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
1.6.4 Landasan dan Manfaat Penataan Ruang
Perencanaan tata ruang wilayah adalah suatu proses yang melibatkan
banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang itu memberikan kemakmuran
yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan yang
berkesinambungan. Penataan ruang menyangkut aspek kehidupan sehingga
masyarakat perlu mendapatkan akses dalam proses perencanaan tersebut.
Landasan penataan ruang wilayah di Indonesia adalah Undang-undang Penataan
Ruang (UUPR) Nomor 27 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang
dilakukan pada tingkat nasional, provinsi,dan kabupaten. Setiap rencana tata
ruang harus mengemukakan kebijakan makro pemanfaatan ruang berupa :
a. Tujuan pemanfaatan ruang
b. Struktur dan pola pemanfaatan ruang
c. Pola pengendalian pemanfaatan ruang
Pengaturan penggunaan ruang wilayah bisa berakibat kerugian pada
sebagian masyarakat karena lahan yang dimilikinya tidak bisa bebas digunakan.
Dengan demikian, perlu dipertanyakan apa landasannya sehingga Negara berhak
12
mengatur penggunaan ruang. Di wilayah Republik Indonesia hak Negara jelas
diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamannya dikuasi oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat “ hak Negara ini lebih
lanjut diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah. Di Negara
kapitalis pun yang sangat menjunjung tinggi hak milik perorangan, terdapat
kesadaran masyarakat bahwa penggunaan lahan perlu diatur. Hal ini tidak lain
karena manfaat dari pengaturan ruang tersebut pada seluruh masyarakat adalah
lebih tinggi dibanding dengan kerugian yang mungkin di derita oleh sekelompok
masyarakat.
Dalam sebuah terbitan World Bank, Christine, Whitehead (Dunkerley;
1983;108) menulis “The market merchanism is unlikely, on its own, to produce an
efficient of land uses”. Artinya, mekanisme pasar saja tidak akan menghasilkan
suatu alokasi penggunaan lahan yang efisien. Dengan demikian apabila dibiarkan,
kemakmuran masyarakat tidak akan optimal bahkan merosot. Hal inilah yang
mendorong agar pemerintah perlu campur tangan dalam pengaturan penggunaan
lahan. Whitehead mengemukakan beberapa alasan mengapa pemerintah perlu
campur tangan dalam mengatur penggunaan lahan :
a. perlu tersedianya lahan untuk kepentingan umum;
b. adanya faktor eksternalitas (externalities);
c. informasi yang tidak sempurna;
d. daya beli masyarakat yang tidak merata;
e. perbedaaan penilaian masyarakat antara manfaat jangka pendek dengan
manfaat jangka panjang;
Tema analisis keterkaitan antara kenampakan fisik alami dengan lingkungan
dalam hal ini menempatkan kenampakan fisik alami menjadi fokus sentral.
Performa (performance) / kinerja kenampakan fisik alami yang menjadi tekanan
dalam hal ini dan hal tersebut dapat mengacu pada kualitas gejala maupun
kuantitas gejala. Kinerja kenampakan fisik juga selalu mengalami perubahan,
walaupun perubahannya relatif mengalami waktu yang lama dibandingkan dengan
13
kenampakan fisik budayawi. Dalam beberapa hal memang terdapat perubahan
yang cepat oleh karena adanya campur tangan manusia terhadap elemen
lingkungannya (Yunus, 2010).
Penataan ruang wilayah bukanlah pekerjaan yang mudah, hal ini
dikarenakan banyak aspek yang turut serta menjadi variable-variabel penentu
dalam ruang itu sendiri. Kegagalan dalam menata ruang akan membawa pada
persoalan – persoalan yang timbul sebagai dampak bawaan. Wilayah sebagai
“living system” merefleksikan adanya keterkaitan antara pembangunan dan
lingkungan. Dengan demikian, perubahan dalam ruang wilayah akan
menyebabkan perubahan pada kualitas lingkungan baik positif maupun negatif.
Padahal lingkungan hidup secara alamiah memiliki daya dukung yang terbatas
(carrying capacity). Oleh karena itu perlu adanya inisiatif untuk mengintegrasikan
komponen lingkungan dalam aspek pembangunan (Luthfi,2012).
Permasalahan Umum Tata Ruang (Luthfi,2012) :
a. Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor dan antar wilayah, seperti
pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan
sebagainya
b. Belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka
menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan
program sektoral.
c. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang
seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap
rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan.
d. Belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam pada skala
operasional.
e. Belum adanya keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan
sektor ( Ego Sektoral ) dan wilayah dalam kerangka penataan ruang, serta
f. kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan
masing-masing secara berlebihan.
14
Kendala Pelaksanaan Tata Ruang Sebagai Instrumen Pengelolaan
Lingkungan (Luthfi,2012) :
a. Perkembangan ekonomi dan tuntutan pasar (terhadap ruang).
b. Proses penyusunan tata ruang sentralistik.
c. Penegakan hukum (law enforcement).
d. Konflik antar perundang-undangan (ketidakselarasan).
e. Dukungan kelembagaan (koordinasi).
f. Sumberdaya manusia.
g. Teknis (skala operasional).
Penataan ruang merupakan instrumen untuk merumuskan tujuan dan
strategi pengembangan wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan
kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk sebagai landasan
pengembangan infrastruktur yang efisien sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah
ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemanfaatan ruang untuk
pembangunan infrstruktur perlu mengacu dan sesuai dengan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan.
Pengetahuan asli daerah yang biasanya berupa kebiasaan, kepercayaan,
dan pantangan masyarakat sering dianggap remeh karena dianggap tidak ilmiah.
Di dalam masyarakat kita yang beragam terdapat tradisi - tradisi positif yang telah
teruji oleh jaman akan manfaatnya. Pemanfaatan pengetahuan asli daerah dapat
mendorong tingkat partisipasi masyarakat karena masyarakat telah terbiasa
dengan hal tersebut.Partisipasi masyarakat adalah kunci keberhasilan
memecahkan masalah perencanaan. Apabila partisipasi terbentuk secara penuh
maka akan mengarah pada keadaan ; rasa memiliki, meningkatnya komitmen pada
pencapaian tujuan dan hasil, kelestarian sosial jangka panjang, keberdayaan
masyarakat terwujud.
15
1.6.5 Aturan Zonasi (Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 20 Tahun
2011) :
Peta rencana pola ruang (zoning map) digambarkan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Rencana pola ruang digambarkan dalam peta dengan skala atau tingkat
ketelitian minimal 1:5.000 dan mengikuti ketentuan mengenai sistem
informasi geografis yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga yang
berwenang
b. Cakupan rencana pola ruang meliputi ruang darat dan/atau ruang laut
dengan batasan 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pantai wilayah
kabupaten/kota atau sampai batas negara yang disepakati secara
internasional apabila kabupaten/kota terkait berbatasan laut dengan negara
lain;
c. Rencana pola ruang dapat digambarkan ke dalam beberapa lembar peta
yang tersusun secara beraturan mengikuti ketentuan yang berlaku
d. Peta rencana pola ruang juga berfungsi sebagai zoning map bagi peraturan
zonasi; dan
e. Peta rencana pola ruang harus sudah menunjukkan batasan persil untuk
wilayah yang sudah terbangun.
Rencana pola ruang RDTR terdiri atas:
A. Zona lindung yang meliputi:
1. Zona hutan lindung;
2. Zona yang memberikan perlindungan terhadap zona di bawahnya yang
meliputi zona bergambut dan zona resapan air;
3. Zona perlindungan setempat yang meliputi sempadan pantai, sempadan
sungai, zona sekitar danau atau waduk, dan zona sekitar mata air;
4. Zona RTH kota yang antara lain meliputi taman RT, taman RW, taman
kota dan pemakaman;
5. Zona suaka alam dan cagar budaya;
6. Zona rawan bencana alam yang antara lain meliputi zona rawan tanah
longsor, zona rawan gelombang pasang, dan zona rawan banjir; dan
16
7. zona lindung lainnya.
B. Zona budidaya yang meliputi:
1. Zona perumahan, yang dapat dirinci ke dalam perumahan dengan
kepadatan sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah (bila
diperlukan dapat dirinci lebih lanjut ke dalam rumah susun, rumah kopel,
rumah deret, rumah tunggal, rumah taman, dan sebagainya); zona
perumahan juga dapat dirinci berdasarkan kekhususan jenis perumahan,
seperti perumahan tradisional, rumah sederhana/sangat sederhana, rumah
sosial, dan rumah singgah;
2. Zona perdagangan dan jasa, yang meliputi perdagangan jasa deret dan
perdagangan jasa tunggal (bila diperlukan dapat dirinci lebih lanjut ke
dalam lokasi PKL, pasar tradisional, pasar modern, pusat perbelanjaan,
dan sebagainya);
3. Zona perkantoran, yang meliputi perkantoran pemerintah dan perkantoran
swasta;
4. Zona sarana pelayanan umum, yang antara lain meliputi sarana pelayanan
umum pendidikan, sarana pelayanan umum transportasi, sarana pelayanan
umum kesehatan, sarana pelayanan umum olahraga, sarana pelayanan
umum sosial budaya, dan sarana pelayanan umum peribadatan;
5. Zona industri, yang meliputi industri kimia dasar, industri mesin dan
logam dasar, industri kecil, dan aneka industri;
6. Zona khusus, yang berada di kawasan perkotaan dan tidak termasuk ke
dalam zona sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5
yang antara lain meliputi zona untuk keperluan pertahanan dan keamanan,
zona Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), zona Tempat Pemrosesan
Akhir (TPA), dan zona khusus lainnya;
7. Zona lainnya, yang tidak selalu berada di kawasan perkotaan yang antara
lain meliputi zona pertanian, zona pertambangan, dan zona pariwisata; dan
8. Zona campuran, yaitu zona budidaya dengan beberapa peruntukan fungsi
dan/atau bersifat terpadu, seperti perumahan dan perdagangan/jasa,
perumahan, perdagangan/jasa dan perkantoran.
17
Kriteria pengklasifikasian zona dan subzona :
Zona/ subzona/ sub subzona memiliki luas minimum 5 (lima) hektar di
dalam BWP. Apabila luasnya kurang dari 5 (lima) hektar, zona/ subzona/ sub
subzona dihilangkan dari klasifikasizona dan dimasukkan ke daftar kegiatan di
dalam matriks ITBX.Apabila diperlukan, subzona dapat dibagi lagi menjadi
beberapa subzone. Setiap Sub BWP terdiri atas blok yang dibagi berdasarkan
batasan fisik antara lain sepertijalan, sungai, dan sebagainya. Pengilustrasian
overlay peta yang didelineasi berdasarkanfisik (BWP, Sub BWP, dan blok) hingga
peta yang didelineasi berdasarkan fungsi (zona dansubzona).
Ketentuan teknis zonasi terdiri atas:
Klasifikasi I = pemanfaatan diperbolehkan/diizinkan. Kegiatan dan
penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I memiliki sifat sesuai dengan
peruntukan ruang yang direncanakan. Pemerintah kabupaten/kota tidak dapat
melakukan peninjauan atau pembahasan atau tindakan lain terhadap kegiatan dan
penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi I.
Klasifikasi T = pemanfaatan bersyarat secara terbatasPemanfaatan
bersyarat secara terbatas bermakna bahwa kegiatan dan penggunaan lahan dibatasi
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. pembatasan pengoperasian, baik dalam bentuk pembatasan waktu
beroperasinya suatu kegiatan di dalam subzona maupun pembatasan
jangka waktu pemanfaatan lahan untuk kegiatan tertentu yang diusulkan;
2. pembatasan intensitas ruang, baik KDB, KLB, KDH, jarak bebas, maupun
ketinggian bangunan. Pembatasan ini dilakukan dengan menurunkan nilai
maksimal dan meninggikan nilai minimal dari intensitas ruang dalam
peraturan zonasi;
3. pembatasan jumlah pemanfaatan, jika pemanfaatan yang diusulkan telah
ada mampu melayani kebutuhan, dan belum memerlukan tambahan, maka
pemanfaatan tersebut tidak boleh diizinkan atau diizinkan terbatas dengan
pertimbangan-pertimbangan khusus.
18
Contoh: dalam sebuah zona perumahan yang berdasarkan standar teknis telah
cukup jumlah fasilitas peribadatannya, maka aktivitas rumah ibadah termasuk
dalam klasifikasi T.
Klasifikasi B = pemanfaatan bersyarat tertentu. Pemanfaatan bersyarat
tertentu bermakna bahwa untuk mendapatkan izin atas suatu kegiatan atau
penggunaan lahan diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang dapat berupa
persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan dimaksud diperlukan
mengingat pemanfaatan ruang tersebut memiliki dampak yang besar bagi
lingkungan sekitarnya.
Contoh persyaratan umum antara lain:
1. dokumen AMDAL;
2. dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL);
3. dokumen Analisis Dampak Lalu-lintas (ANDALIN); dan
4. pengenaan disinsentif misalnya biaya dampak pembangunan (development
impact fee).
Contoh persyaratan khusus misalnya diwajibkan menambah tempat parkir,
menambah luas RTH, dan memperlebar pedestrian.
Klasifikasi X = pemanfaatan yang tidak diperbolehkan. Kegiatan dan
penggunaan lahan yang termasuk dalam klasifikasi X memiliki sifat tidak sesuai
dengan peruntukan lahan yang direncanakan dan dapat menimbulkan dampak
yang cukup besar bagi lingkungan di sekitarnya. Kegiatan dan penggunaan lahan
yang termasuk dalam klasifikasi X tidak boleh diizinkan pada zona yang
bersangkutan.
Penentuan I, T, B dan X untuk kegiatan dan penggunaan lahan pada suatu
zonasi didasarkan pada:
1.) Pertimbangan Umum : Pertimbangan umum berlaku untuk semua jenis
penggunaan lahan, antara lain kesesuaian dengan arahan pemanfaatan
ruang dalam RTRW kabupaten/kota, keseimbangan antara kawasan
lindung dan kawasan budi daya dalam suatu wilayah, kelestarian
lingkungan (perlindungan dan pengawasan terhadap pemanfaatan air,
udara, dan ruang bawah tanah), toleransi terhadap tingkat gangguan dan
19
dampak terhadap peruntukan yang ditetapkan, serta kesesuaian dengan
kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
2.) Pertimbangan Khusus : Pertimbangan khusus berlaku untuk masing-
masing karakteristik guna lahan, kegiatan atau komponen yang akan
dibangun. Pertimbangan khusus dapat disusun berdasarkan rujukan
mengenai ketentuan atau standar yang berkaitan dengan pemanfaatan
ruang, rujukan mengenai ketentuan dalam peraturan bangunan setempat,
dan rujukan mengenai ketentuan khusus bagi unsur bangunan atau
komponen yang dikembangkan.
1.7 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berangkat dari suatu fakta bahwa terjadinya konflik
kepentingan (conflict of interest) antardinas, instansi dan masyarakat yang
mempunyai kepentingan masing-masing dalam pengelolaan di wilayah pesisir
Parangtritis. Dinas Kehutanan melakukan kegiatan penghijauan secara intensif
dimaksudkan sebagai langkah penghijauan agar wilayah pesisir tampak lebih
hijau dan rindang, disamping sebagai antisipasi apabila terjadi tsunami sehingga
dapat menjadi pemecah gelombang/laju tsunami. Dinas pertanian mendorong
adanya pertanian hortikultura di wilayah pesisir Parangtritis agar meningkatkan
ekonomi masyarakat. Dari sudut pandang masyarkat program dari dinas pertanian
dan kehutanan dianggap sebagai program yang membantu kehidupan masyarakat.
Disisi lain laboratorium geospasial pesisir sedang gencar mensosialisasikan untuk
konservasi gumuk pasir.
Terjadinya penyimpangan pemanfaatan fungsi ruang gumuk pasir karena
belum adanya payung hukum secara legal formil (dalam proses), banyak dijumpai
permukiman liar baik itu bangunan semi permanen ataupun permanen untuk
pemanfaatan sebagai usaha penginapan, rumah pribadi, warung ataupun jasa foto
kebanyakan dibangun oleh masyarakat pendatang yang terdorong datang sebagai
akibat wilayah Parangtritis menjadi daerah tujuan wisata.Dalam pembuatan
20
rencana pengaturan zonasi konservasi gumuk pasir Parangtritis belum adanya
sosialisasi secara optimal sampai tingkat bawah (masyarakat) dalam rangka
menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program
sektoral pengembangan wilayah pesisir pantai lestari. Selanjutnya kerangka
pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
21
KAWASAN GUMUK PASIR
PARANGTRITIS
Kondisi Lingkungan Gumuk
Pasir
Lingkungan Fisik (Kemurnian Gumuk Pasir)
Lingkungan Biotik (Kerapatan Vegetasi)
Lingkungan Sosekbud (Persepsi dan Aspirasi
Masyarakat)
Tipologi Karakteristik Gumuk
Pasir
Identifikasi Zona Inti Gumuk Pasir
Arahan Konservasi di Zona inti Gumuk Pasir
Analisis Pengaturan Kegiatan dan
Peruntukan Lahan di Zona Inti Gumuk
Pasir
Uraian / Penjelasan :
Kelestarian Kawasan Gumuk Pasir Parangtritis dipengaruhi oleh kondisi lingkungan Gumuk Pasir itu sendiri, yang atas 3 komponen penting diantaranya yaitu
Lingkungan Fisik meliputi kemurnian gumuk pasir, Lingkungan Biotik meliputi kerapatan vegetasi, serta Lingkungan Sosial Ekonomi dan Budaya yang meliputi persepsi dan
aspirasi masyarakat. Dari ketiga komponen tersebut diperoleh tipologi karakteristik gumuk pasir yang digunakan sebagai dasar (parameter) untuk menentukan kriteria zonasi
gumuk pasir. Kemudian dari kriteria zonasi gumuk pasir tersebut dapat diperoleh arahan konservasi gumuk pasir yaitu sebagai zona inti, zona penyangga dan zona pendukung
yang digunakan sebagai analisa pengaturan kegiatan dan peruntukan lahan di areal Gumuk Pasir.
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran
22
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Pemilihan Lokasi Penelitian
Daerah penelitian ini dilakukan di Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek,
Kabupaten Bantul Yogyakarta. Penelitian ini di utamakan kepada dusun – dusun
yang berbatasan secara langsung (administrasi) dengan area existing gumuk pasir
diantaranya dusun Depok, dusun Grogol 9, Grogol 10, dan dusun Mancingan akan
tetapi tidak menutup kemungkinan pada semua dusun di Desa Parangtritis karena
lokasi informan kunci tersebar di seluruh Desa Parangtritis. Dengan pertimbangan
bahwa :
Gumuk Pasir Parangtritis merupakan salah satu kekayaan alam yang
berada di Kawasan Pantai Parangtritis, fenomena khas yang satu-satunya ada di
Indonesia bahkan di Asia Tenggara.Kelestarian gumuk pasir terancam hilang
keberadaannya dikarenakan berbagai faktor diantaranya munculnya bangunan liar
di wilayah gumuk pasir, adanya vegetasi yang muncul akibat faktor alam dan
faktor kebijakan (pertanian dan penghijauan).Kondisi gumuk yang masih existing
(yang masih tersisa/aktif)perlu untuk dijaga keberadaan dan kelestariannya.Belum
banyak penelitian yang meneliti secara mendalam memadukan pandangan analisa
(spasial)secara ilmiah akademis, dengan persepsi dan aspirasi masyarakat
sehingga kebutuhan kebijakan yang dibuat dapat memadukan dan memperhatikan
berbagai aspek yang terkait, yan inti utamanya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan bermanfaat bagi keberlanjutan lingkungan (sustainable
environment).