bab i pendahuluan 1.1 latar...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dua hal utama, yaitu melihat sejauhmana upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami oleh Pemerintah Kota Padang, serta melihat faktor penghambat yang dialami Pemerintah Kota Padang dalam upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami. Penelitian ini penting dan menarik mengingat Indonesia merupakan Negara sebagian besar daerahnya cendrung rentan terhadap kejadian bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Diharapkan, temuan penelitian ini bisa dijadikan bahan masukan oleh pemerintah daerah diseluruh Indonesia yang memiliki kerawanan terhadap bencana gempa dan tsunami. Sekaligus penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengevaluasi program program yang telah diterapkan Pemerintah Kota Padang dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang. Indonesia merupakan negara rawan bencana gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi (Prasetya dkk, 2006). Dalam satu dekade terakhir saja terdapat ratusan kasus bencana alam, baik yang berskala kecil maupun besar. Sebagian diantaranya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit. Bencana gempa bumi yang diikuti tsunami di Aceh pada tahun 2004 mengakibat 160.000 jiwa meninggal dunia (Jayasuriya dkk, 2010). Dua tahun berselang, bencana gempa yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 menyebabkan 6000 korban jiwa ( Daryono, 2010).

Upload: phamdiep

Post on 17-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dua hal utama, yaitu melihat

sejauhmana upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana

gempa dan tsunami oleh Pemerintah Kota Padang, serta melihat faktor

penghambat yang dialami Pemerintah Kota Padang dalam upaya peningkatan

kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempa dan tsunami. Penelitian ini

penting dan menarik mengingat Indonesia merupakan Negara sebagian besar

daerahnya cendrung rentan terhadap kejadian bencana, khususnya gempa bumi

dan tsunami. Diharapkan, temuan penelitian ini bisa dijadikan bahan masukan

oleh pemerintah daerah diseluruh Indonesia yang memiliki kerawanan terhadap

bencana gempa dan tsunami. Sekaligus penelitian ini juga dimaksudkan untuk

mengevaluasi program – program yang telah diterapkan Pemerintah Kota Padang

dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang.

Indonesia merupakan negara rawan bencana gempa bumi, tsunami, dan

letusan gunung berapi (Prasetya dkk, 2006). Dalam satu de kade terakhir saja

terdapat ratusan kasus bencana alam, baik yang berskala kecil maupun besar.

Sebagian diantaranya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.

Bencana gempa bumi yang diikuti tsunami di Aceh pada tahun 2004 mengakibat

160.000 jiwa meninggal dunia (Jayasuriya dkk, 2010). Dua tahun berselang,

bencana gempa yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 menyebabkan 6000

korban jiwa ( Daryono, 2010).

2

Menyadari kerentanan terhadap potensi bencana di wilayah Indonesia,

maka pemerintah memformulasikan sebuah kebijakan tentang penanggulangan

bencana. Kebijakan tersebut telah disahkan dalam bentuk Undang-undang Nomor

24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana. Undang-undang ini bertujuan

memberikan perlindungan kepada kehidupan dan penghidupa n yang ada di

Negara Republik Indonesia dari bencana dengan cara menyelenggarakan

penanggulangan bencana secara terpadu, terencana, terkoordinasi dan terintegrasi

( UU No 24 tahun 2012).

Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pemerintah daerah juga

diwajibkan untuk meyelenggarakan penanggulangan bencana di daerahnya .

Penanggulangan bencana tersebut meliputi pemenuhan hak masyarakat yang

terkena bencana, perlindungan dari dampak bencana, peningkatan kapasitas

masyarakat dalam mengurangi resiko bencana , dan pembangunan fisik yang

ramah bencana. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk membuat

kebijakan penanggulangan bencana yang selaras dengan undang-undang

penanggulangan bencana serta kebijakan pembangunan dengan memasukan

tinjauan potensi bencana yang ada didaerahnya. Artinya, kebijakan pembangunan

yang telah direncanakan harus mengedepankan aspek-aspek potensi terjadinya

bencana di daerah tersebut.

Berdasarkan tingginya potensi bencana yang dimiliki Indonesia, maka

kebijakan mengenai upaya penanggulangan bencana menjadi salah satu instrumen

penting untuk meminimalisir kerugian dan korban jiwa . Pemerintah Provinsi

Sumatra Barat merespon potensi bencana ini dengan membentuk Peraturan

3

Daerah Provinsi Sumatra Barat Nomor 5 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana. Respon Pemerintah Provinsi Sumatra Barat ini sangat beralasan,

mengingat Sumatra Barat menempati posisi ke-6 dalam daftar kerawanan bencana

yang dirilis BNPB pada tahun 2011.

Tabel 1.1. Daftar Kerawanan Provinsi di Indonesia

Sumber : Dokumen BNPB, 2011

Dari sembilan belas kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Sumatra

Barat, enam diantaranya berada di wilayah pesisir yang berbatasan langsung

dengan Samudara Hindia. Kondisi geografis ini mengakibatakan 6 kabupaten/kota

tersebut berpotensi besar terkena ancaman gempa dan tsunami. Oleh karenanya,

pada tanggal 23 April 2012, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno

mengeluarkan surat edaran No. 360/374/KL-BPBD/IV-2012 tentang Status Siaga

Darurat Gempabumi dan Tsunami Wilayah Sumatera Barat untuk tujuh

Kabupaten/Kota di wilayah Sumatera Barat khususnya di daerah pesisir. Wilayah

tersebut diantaranya, Kabupaten Pesisir selatan, Kabupaten Padang Pariaman,

4

Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pasaman Barat,Kota Pariaman, dan

Kota Padang.

Dari data Indeks Rawan Bencana Tahun 2013 BNPB menyebutkan kalau

Kota Padang masuk dalam kategori rawan bencana tinggi dan berada pada

peringkat 10 secara nasional atau peringkat pertama dari wilayah kabupaten yang

ada di Provinsi Sumatera Barat (BNPB, 2013). Dari sekian banyak bencana,

bencana gempa bumi dan tsunami yang paling mengancam, hal ini dikarenakan

posisi daerah tersebut berada di zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dan

lempeng Eurasia. Fenomena tersebut menjadikan Kota Padang sebagai salah satu

daerah yang sering mengalami bencana gempabumi.

Berdasarkan data seismisitas yang diperoleh dari United States Geological

Survey (USGS), pada tahun 2014 di Kota Padang tercatat 246 kejadian

gempabumi dengan magnitudo golongan gempabumi merusak sampai golongan

gempabumi besar (magnitudo 5 SR sampai 8 SR). Intensitas kejadian gempabumi

yang terjadi selama kurun waktu 114 tahun terakhir yakni periode 1900 sampai

2014 dapat dilihat pada gambar 1.1. Grafik tersebut mengambarkan frekuensi

kejadian gempabumi. Terlihat bahwa gempabumi golongan merusak (rentang

magnitudo 5 SR–6 SR) memang sangat sering terjadi dengan tingkat intesitas

kejadian semuanya di atas lima. Intensitas kejadian gempabumi dengan golongan

besar (6 SR < M < 8 SR) dapat dikatakan jarang terjadi yaitu di bawah lima kali

akan tetapi tingkat kerusakan lebih sering dirasakan.

5

Gambar 1.1. Grafik Kejadian Gempa Kota Padang dan sekitarnya dari

tahun1900-2014

Sumber : USGS, 2014

Selain bencana gempabum i, Kota Padang juga di bayang-bayangi oleh

potensi bahaya bencana tsunami yang cukup besar sebagai bencana ikutan dari

gempabumi. Gempabumi dan tsunami dapat ditegorikan sebagai bencana kakak-

adik, sebab sebagian besar tsunami destruktif (90%) di wilayah Indonesia telah

disebabkan atau didahului oleh gempa bumi (Hamzah dkk., 2000). Kota Padang

merupakan salah satu wilayah yang masuk dalam kawasan Megathrust Mentawai.

Beberapa penelitian terakhir mengindikasikan bahwa segmen Mentawai dari

Megathrust Sumatera kemungkinan besar akan mengalami peruntuhan (rupture)

dalam beberapa dekade ke depan, karena energi yang tertumpuk di lokasi ini

sudah terlalu besar (BNPB, 2013). Peruntuhan pada zona penunjaman ini dapat

memicu gempabumi besar yang berpotensi menimbulkan kerusakan parah di

sebagian besar kota-kota di Pulau Sumatera serta memicu bencana tsunami.

Berdasarkan peta bahaya tsunami yang dikeluarkan oleh BNPB pada tahun

2013, terdapat 3 kelas bahaya tsunami di Kota Padang, yaitu bahaya tinggi,

6

sedang, dan rendah. Dari keseluruhan wilayah Kota Padang, sebesar 7.613 Ha

atau 19,41 % wilayah Kota Padang masuk dalam wilayah bahaya tinggi.

Meskipun kurang dari 20 % luas wilayah Kota Padang secara keseluruhan, akan

tetapi wilayah kelas bahaya tinggi menutupi hampir sebagian besar wilayah

pesisir pantai Kota Padang terutam a di wilayah pusat-pusat penduduk dan aktifitas

masyarakat seperti di wilayah kecamatan Padang Barat, Kecamatan Padang

Selatan, Padang Utara, Koto Tangah, Bungus Teluk Kabung dan Nanggalo.

Sehingga dapat dibayangkan dampak yang luar biasa jika bencana tsunami terjadi

di Kota Padang.

Salah satu bencana yang terjadi dan berdampak cukup besar pada Kota

Padang adalah gempabumi yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 lalu,

dengan kekuatan 7.9 SR pada pukul 17.15 WIB yang berpusat di Samudra Hindia

57 Km Barat Daya Pariaman dengan kedalaman 71 Km (Laporan BPK

2009,2010). Akibatnya banyak masyarakat Kota Padang yang meninggal,

bangunan Pemerintah serta pusat-pusat pelayanan masyarakat hancur dan tidak

dapat digunakan, tidak lancarnya akses transportasi baik keluar maupun kedalam

Kota Padang, selain itu beberapa daerah juga tertimbun longsor (LIPI -

UNESCO/ISDR, 2009).

Tabel 1.2

Data Jumlah Korban Jiwa Akibat Gempa 30 September 2009 di Kota

Padang

Keterangan Jumlah Korban Jiwa

Meninggal 383

Luka Berat 431

Luka Ringan 771

Hilang 2

Sumber: Dokumen BPBD Kota Padang 2009

7

Dari tabel 1.2 diketahui bahwa akibat gempa 30 September 2009 lalu,

banyak masyarakat Kota Padang yang meninggal dunia, menderita luka berat

maupun ringan dan bahkan beberapa orang hilang, Selain banyaknya korban jiwa,

gempa tersebut juga mengakibatakan kerusakan rumah penduduk. Tabel 1.3

menggambarkan jum lah kerusakan rumah penduduk, sarana kesehatan, dan sarana

pendidikan di Kota Padang.

Tabel 1.3

Data Kerusakan Akibat Gempa 30 September 2009 di Kota Padang

Keterangan Kerusakan

Rumah

Penduduk

Kerusakan

Saranan

Kesehatan

Kerusakan

Sarana

Pendidikan

Rusak berat 33.579 15 1.606

Rusak sedang 35.816 17 1.038

Rusak ringan 37.615 53 903

Jumlah 107.010 85 3.547

Sumber: Dokumen BPBD Kota Padang 2009

Selanjutnya berdasarkan hasil evaluasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

RI terhadap gempa Padang tahun 2009 lalu, kegiatan perekonomian menurun

karena banyaknya hotel dan pusat hiburan lainnya yang rubuh. Hal ini

menyebabkan pemerintah daerah merugi karena t idak manerima pajak dari pusat

hiburan dan hotel tersebut.

Tabel 1.4

Kerugian Pemerintah Kota PadangBerdasarkan Penerimaan Pajak

Daerah Akibat Gempa Tahun 2009

No Jenis Pajak Jumlah lokasi

Kerusakan pada

wajib pajak

Potensi Pajak rata-

rata per bulan

(Rp)

Estimasi

kekurangan

penerimaan

Triwulan 4 (Rp)

1 Pajak Hotel 15 526.750.000,00 1.580.250.000,00

2 Pajak Restoran 59 383.364.212,00

3 Pajak tempat hiburan

-Bioskop 4 71.869.918,00 215.609.754,00

-Billyard 11 5.233.000,00 15.699.000,00

8

No Jenis Pajak Jumlah lokasi

Kerusakan pada

wajib pajak

Potensi Pajak rata-

rata per bulan

(Rp)

Estimasi

kekurangan

penerimaan

Triwulan 4 (Rp)

-Karaoke 1 450.000,00 1.350.000,00

-Permainan Anak 5 8.315.500,00 24,946.500,00

-Kolam renang 1 600.000,00 1.800.000,00

4 Pajak parkir 7 10.000.000,00 30.000.000,00

Jumlah 1.006.582.630,00 3.019.747.890,00

Sumber: Dokumen BPBD Kota Padang 2009

Banyaknya jatuh korban jiwa, kerusakan serta kerugian-kerugian yang

yang dialami Kota Padang (lihat tabel 1.2,1.3 dan 1.4), seharusnya dapat

diminimalisir dengan keberadan manajemen penanggulangan bencana yang tepat

dan sesuai dengan yang diamanatkan Undang-undang No 24 tahun 2007. Shaluf

(2008) menganggap manajemen bencana sebagai istilah kolektif yang mencakup

semua aspek perencanan untuk merespon bencana, mencakup kegiatan-kegiatan

sebelum bencana dan setelah bencana yang juga merujuk pada manajemen resiko

dan konsekuensi bencana. Sedangkan dalam siklus hidup manajemen bencana

alam dan manajemen bencana modern, terdapat ada empat aktivitas yang sangat

penting dilakukan, yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan

(Kusumasari, 2004).

Dari pengalaman berbagai kejadian bencana di Indonesia selama ini,

faktor kesiapsiagaan dirasakan sangat pentin g ditingkatkan, bukan saja pada

tingkat pemerintah pusat maupun daerah, tapi juga pada tingkat komunitas atau

masyarakat yang lansung menjadi korban bencana itu sendiri. Hal ini disebabkan

kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana, dan

dalam konsep pengelolaan bencana yang berkembang saat ini. Secara sederhana

kesiapasiagaan dapat diartikan sebagai kegiatan dan langkah-langkah yang

9

diambil sebelum terjadinya bencana. Gellespie dan Streeter (1987) mendefinisikan

kesiapsiagaan sebagai perencanaan, identifikasi sumberdaya, sistem peringatan,

pelatihan, simulasi dan tindakan prabencana lainnya yang diambil untuk tujuan

utama meningkatkan keamanan dan efektivitas respon masyarakat selama

bencana.

Begitupun tingkat kesiapsiagaan yang dimiliki oleh masyarakat dapat

meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Ainudin, dkk (2012) menyatakan bahaya

gempa bumi dan tsunami akan menjadi bencana ketika masyarakat yang terkena

bencana tidak siap. Kesiapsiagaan yang efektif membantu menyelamatkan hidup

masyarakat, mengurangi cidera, membatasi kerugian properti dan meminimalkan

segala macam gangguan bencana (Mileti, 1999). Untuk membangun ketahanan

dalam menghadapi bencana perlu manajemen bencana yang komprehensif,

terutama pada kegiatan pra-bencana berupa peningkatan kesiapsiagaan. Oleh

karena itu, konsep kesiapsiagaan masyarakat sangat penting dalam sebuah

manajemen bencana

Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan banyaknya korban jiwa di

Kota Padang pada gempa 30 September 2009, dapat diasumsikan bahwa

pemerintah dan masyarakat Kota Padang masih belum siap dalam menghadapi

bencana, baik dari segi pengetahuan maupun sikap. Setidaknya ini tercermin dari

hasil penelitian GTZ (2010) tentang 30 Menit di Kota Padang: Pembelajaran

untuk Kesiapsiagaan danPeringatan Dini Tsunami dari GempaBumi 30 September

2009 menyebutkan pada saat gempa 30 Sepetember 2009 masyarakat umumnya

melarikan diri dengan sepeda motor dan mobil, sehingga terjadi kemacetan lalu

10

lintas yang parah. Bahkan diperparah dengan banyak kecelakaan juga terjadi.

Jalur evakuasi yang ditetapkan tidak cukup untuk menyalurkan massa. Warga,

juga tidak mempertimbangkan evakuasi vertikal sebagai pilihan dalam

penyelamatan diri. Evakuasi berlangsung hanya sebagai gerakan horisontal

menjauh dari pantai dan mengarah ke daratan. Kepanikan tidak cukup disitu saja,

kenyataan bahwa orang-orang bergerak ke arah laut untuk melihat laut makin

menciptakan kekacauan.

Kondisi tersebut sebenarnya sudah diprediksi jauh-jauh hari, dimana

dilatar belakangi hasil penelitian Lembaga Ilm u Pengetahuan Indonesia (LIPI)

sebelum bencana terjadi, tepatnya pada tahun 2006, mengungkapkan bahwa

tingkat kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang hanya 56% (LIPI,2006). Angka

tersebut tergolong rendah. Mengingat posisi Kota Padang sebagai daerah rawan

bencana, rendahnya angka kesiapsiagaan itu tentunya berkonsekuensi pada

ketidakmampuan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana. Walhasil,

pada gempabumi besar yang terjadi 3 tahun kemudian (30 September 2009)

masyarakat mengalami kepanikan. Banyak warga yang kehilangan arah dalam

menyelamatkan diri danjalan-jalan dipadati oleh orang-orang yang ketakutan dan

panik.

Meskipun pasca bencana tersebut kebijakan penanggulangan dan

pencegahan bencana semakin digalakkan oleh pemerintah Kota Padang,

kesiapsiagaan masyarakat ternyata tidak mengalami peningkatan berarti. Pada

gempa bumi yang terjadi tahun 2012, tiga tahun setelah gempa bumi besar

terakhir, masyarakat masih saja panik dan memenuhi jalanan tanpa terorganisir.

11

Sumber kepanikan terutama justrusaat sirine peringatan tsunami dibunyikan.

Tanpa komando, warga Kota Padang yang berada di zona merah dan kuning

tsunami, serentak eksodus kedaerah lebih tinggi radius dari 5 kilometer dari bibir

pantai, seperti kawasan bypass, kampus Unand dan Indarung. Jalan menjadi macet

total karena banyak warga menyelamatkan diri menggunakan kendaraan roda dua

dan roda empat. Shelter di beberapa kawasan yang telah dibangun bukanlah

menjadi pilihan utama masyarakat sebagai tempat penyelamatan. Masyarakat

lebih memilih untuk melakukan eksodus dengan menggunakan kendaraan pribadi,

baik itu motor maupun mobil, sehingga hal tersebut menjadi salah satu penyebab

kemacetan di beberapa titik jalan di Kota Padang. Banyaknya titik kemacetan juga

dinilai sebagai ketidaksiapan pemerintah dalam meyediakan jalur evakuasi bagi

masyarakat untuk menuju daerah yang aman (Padang Ekspres, 13 April 2012).

Secara mengejutkan rendahnya angka kesiapsiagaan dan pengetahuan

masyarakat Kota Padang juga terungkap dari hasil survei yang dilakukan BNPB

kerjasama Badan Pusat Statistik dan UNFPA pada tahun 2013, tentang tingkat

kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana gempabum i dan tsunami di kota

Padang.Dari 10 desa yang disurvei ternyata hanya 2 desa yang memiliki indeks

tingkat kesiapsiagaan dan pengetahuan yang berada dalam kategori sedang,

selebihnya berada pada kategori rendah.

12

Gambar 1.2. Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat Kota Padang 2013

Sumber: Dokumen BNPB, 2013

Padahal, berdasarkan catatan ahli gempa dan tsunami, wilayah Sumatra

Barat khususnya Kota Padang memiliki siklus 200 tahunan gempa besar yang

pada awalnya abad ke-21 ini telah memasuki masa berulangnya siklus tersebut.

Perkiraan ini didasarkan kejadian gempa dan tsunami yang pernah terjadi pada

172 tahun dan 208 tahun lalu, yaitu gempa bumi besar yang pernah melanda

Kepulauan Mentawai, di sisi barat Sumatra Barat dan Bengkulu pada tahun 1797

dan tahun1833 (Kogami, 2009).

Bukti-bukti secara meyakinkan yang menunjukan peristiwa tersebut akan

terjadi dalam waktu yang dekat, tentunya tidak dapat diketahui secara pasti.

Namun, terlepas benar atau tidaknya prediksi para ahli tentang akan terjadinya

gempa besar dan tsunami di wilayah barat Sumatra, konsep kesiapsiagaan bencana

harus tetap dilaksanakan, apabila sewaktu-waktu terjadi bencana, masyarakat

yang berada diwilayah barat Sumatra, khususnya Kota Padang sudah siap.

13

Selain itu, dilihat dari segi ekonomi dan politik, sebagai Ibukota Provinsi

Sumatra Barat, hampir seluruh kegiatan dipusat di Kota Padang. Fasilitas

pendidikan, kegiatan perekonom ian, pelabuhan, bandara, sarana -sarana pelayanan

publik berada di Kota Padang. Apabila terjadi gempabumi yang disertai tsunami

sudah bisa dipastikan semua aktivitas ekonomi dan politik akan lumpuh total .

Keadaan ini juga diperparah kepadatan penduduk, Kota Padang merupakan salah

satu kota berkembang di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai

1.214 per km2 (BPS Kota Padang, 2010).

Kepadatan penduduk suatu daerah yang rawan bencana merupakan

ancaman yang akan mem perparah banyaknya jatuh koraban jiwa. Menurut

Jefferis-Nilsen (2009) kepadatan penduduk menjadi salah satu peningkatan resiko

ancaman bencana di suatu wilayah, selain lokasi munculnya bencana, struktur dan

konstruksi bangunan, material bangunan, pemahaman masyarakat terhadap

potensi munculnya bencana, kurangnya persiapan (preparedness) yang dilakukan

oleh masyarakat dan pemerintah, serta pendidikan bencana yang kurang memadai.

Tingkat kepadatan jum lah penduduk di Kota Padang akan menyebabkan

banyaknya korban jiwa apabila terjadi bencana gempa dan tsunami. Semakin

tinggi kepadatan sebuah kawasan, maka semakin tinggi pula resiko kerentanan

yang dimiliki (Kidokoro, 2008). Kepala BNPB mengatakan, berdasarkan hasil

penelitian dengan menggunakan scenario modeling tsunami, diperkirakan lebih

dari 655.109 jiwa terancam tsunami. Dari jum lah tersebut, 265.000 jiwa warga

Kota Padang tinggal di daerah yang sangat rawan tsunami, dengan lebih dari

95.000 orang akan membutuhkan lebih dari 30 menit untuk mengevakuasi diri

14

ketempat yang lebih aman (Gema BNPB, 2011). Sehingga diperlu peran dan

upaya yang jelas dari Pemerintah Kota Padang dalam meningkatakan

kesiapsiagaan masyarakat, sebab tanpa adanya kesiapsiagaan, termasuk peringatan

dini dan persiapan evakuasi yang jelas, diperkirakan 60 persen penduduk Kota

Padang akan menjadi korban (Bahan Persentasi Walikota Padang, 2010). Artinya,

jika bencana tsunami terjadi, sudah bisa dipastikan berapa jumlah korban jiwa

yang akan terpapar bencana di Kota Padang.

Fenomena tersebut cukup menggambarkan betapa rentannya masyarakat

Kota Padang terhadap bencana gempa dan tsunami, sehingga upaya peningkatan

kesiapsiagan masyarakat harus segera diwujudkan. Tingginya ancaman gempa

bumi dan tsunami di Kota Padang harusnya diimbangi dengan tin gkat

kesiapsiagaan masyarakat yang tinggi. Kesiapsiagaan masyarakat yang tinggi

dapat meminimalisasi resiko bencana gempabumi dan tsunami. Kesiapsiagaan

dari pemerintah, individu dan rumah tangga serta komunitas sekolah yang tinggi

dapat meningkatkan upaya pengurangan resiko bencana secara terpadu dan

berkesinambungan.

Terlepas dari berbagai potensi bencana dan rendahnya kesiapsiagaan

masyarakat Kota Padang, menimbulkan spekulasi bagaimana upaya yang telah

dilakukan pemerintah Kota Padang dalam menyiapkan m asyarakatnya. Sebagai

Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota Padang memiliki tanggung jawab dalam

pengelolan bencana di Kota Padang Padang, termasuk dalam upaya meningkatkan

kesiapsiagaan masyarakat sebagai salah upaya dalam mengurangi resiko bencana.

Walaupun secara nasional pemerintah pusat telah melakukan berbagai upaya

15

dalam meningkatkan kesiapsiagaan bencana, namun pemerintah daerah memiliki

peran yang lebih utama. Keberadaan strategi kesiapsiagaan bencana ditingkat

nasional dan provinsi ada hal yang penting, tetapi yang juga sama pentingnya

adalah keharusan pemerintah daerah untuk mampu merancang dan

mengimplementasikan kebijakan strategis ditingkat daerah ataupu n lokal

(Kusumasari, 2014).

Peningkatan kesiapsiagan masyarakat menjadi salah satu upaya dalam

pengarungan resiko bencana yang akan terjadi dan akan menimpa masyarakat

kota Padang, sehingga kesiapsiagaan yang dibangun harus menyentuh seluruh

lapisan masyarakat. Sebagai salah kota yang paling rawan bencana di dunia, Ko ta

Padang harus mampu berusaha meningkatkan kesiapsiagaan untuk mengurangi

dampak bencana, sebagai bagian dari kebijakan penanganan bencana. Tanggung

jawab dan peran pemerintah dalam menyiapkan masyarakat untuk kondisi darurat

tergantung kemampuan pemerintah, sebagaimana diutarakan Kreps (1991) bahwa

masyarakat akan memiliki manajemen darurat yang efektif, sebagian besar sangat

tergantung pada kredibilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah.

Untuk itu Pemerintah Kota Padang beserta instansi–instansi lainnya seperti

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) giat melakukan berbagai kegiatan

pengurangan resiko bencana dalam bentuk kesiapsiagaan masyarakat.

Pengurangan resiko bencana dilakukan berupa edukasi masyarakat dan sekolah

serta pembenahan jalur – ja lur evakuasi. Pembenahan sistem peringatan dini juga

tidak luput dilakukan agar makin cepat tanggap jika bencana terjadi sehingga bisa

meminimalisir ja tuhnya korban jiwa. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemko

16

Padang dalam mensistematiskan pelaksanaan praktik pengurangan risiko bencana

dengan meningkatkan kesiapsiagaan, baik untuk pada pemerintahan, masyarakat

dan sekolah dengan memberdayakan seluruh stakeholders yang ada. Dan

kebijakan ini diwujudkan melalui konsep Pengurangan Resiko Bencana.

Dalam upaya pengurangan resiko bencana di Kota Padang telah pernah

ditetapkan pada tahun 2008. Upaya ini dimuat dalam Rencana Strategis–

Rencana Aksi Daerah untuk Pengurangan Risiko Bencana Kota Padang

(RENSTRA - RAD PRB), setelah penetapan RAD PRB pada tahun 2008 maka

disusunlah Peraturan Penanggulangan Bencana Kota Padang yang dimuat dalam

Perda No 3 Tahun 2008. Lahirnya Perda No 3 Tahun 2008 tentang

penanggulangan bencana, mengakibatkan pembaharuan terhadap Rencana Aksi

Daerah, yang mana dituangkan dalam Surat Keputusan Walikota No. 65 tahun

2012 tentang Rencana Aksi Daerah Kota Padang. Mengacu pada renstra RAD

PRB dan Surat Keputusan Walikota Kota Padang tersebut, kesiapsiagaan dalam

menghadapi ancaman bencana adalah satu hal yang penting untuk dibangun dalam

sistem pemerintah sebagai bentuk upaya pengurangan resiko bencana. Indikator

kesiapsiagaan akan terbangun apabila adanya pengetahuan yang memadai tentang

bencana dan penanggulangannya, adanya rencana evakuasi, adanya sistem

peringatan dini, tersedianya sum berdaya yang dapat dimobilisasi saat terjadi

bencana dan adanya kebijakan institusi dalam pengurangan risiko bencana.

Rangkain upaya kesiapsiagan yang dilakukan Pemerintah Kota Padang

terlihat belum optimal, hal tersebut tercermin dari tingginya angka korban jiwa

pada gempa 30 September 2009, kepanikan warga pada gempa 12 April 2012,

17

serta hasil penelitian yang lakukan oleh BNPB pada tahun 2013, menunjukan

bahwa kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang tidak menunjukan peningkatan

yang berarti. Sehingga program -program pengurangan resiko bencana dalam hal

kesiapsiagaan masyarakat perlu dikaji ulang dan perlu disempurnakan, agar apa

yang dilakukan pemerintah Kota Padang memberi dampak yang berarti bagi

peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan tidak hanya berupa slogan kosong.

Berdasarkan uraian tersebut, mengundang pertanyaan sudah sejauhmana

upaya yang telah dilakukan pemerintah Kota Padang terkait program

kesiapsiagaan bencana dan apa saja faktor penghambat upaya tersebut sehingga

kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang dari tahun ketahun tidak mengalami

peningkatan.

1.2. Rumusan Masalah

Setelah 5 tahun berlalunya gempa 30 September 2009 di Kota Padang,

namun masih menyisakan pekerjaan rumah untuk Pemerintah Kota Padang dalam

berbagai sektor penanggulangan bencana, salah satunya upaya peningkatan

kesiapsiagaan masyarakat dalam pengurangan resiko bencana gempa dan tsunami.

Berdasarkan beberapa hasil kajian, termasuk hasil penelitian LIPI (2006 ) dan

survei BNPB yang dilakukan pada tahun 2013 tentang indeks kesiapsia gaan

masyarakat Kota Padang, menunjukan rendahnya persentase tingkat

kesiapsaiagaan masyarakat Kota Padang, padahal ancaman gempa dan tsunami di

Kota Padang seperti bom waktu yang suatu saat dapat meledak. Di kutip dari

Prameshwari, 2011 menerangkan bahwa CNN bekerjasama California Teknologi

Institute yang pernah meneliti semua gempa yang terjadi di Indonesia,

18

menyatakan gempa bumi dan tsunami yang dahsyat sangat mungkin terjadi dalam

beberapa dekade mendatang di daerah sekitar pantai Padang.

Seharusnya hasil–hasil penelitian yang menyim pulkan akan terjadinya

gempa dan tsunami di Kota Padang, dapat memberikan efek kejut bagi pemerintah

dan masyarakat Kota Padang, bahwa mereka saat ini berada ditengah ancaman

bencana yang cukup dahsyat dan sudah mempersiapkan diri sedini mungkin.

Sehingga diperlukan komitmen Pemerintah Kota Padang dan langkah –langkah

untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa, mengurangi dampak kerugian serta

menghindari banyaknya kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh bencana di

Kota Padang. Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan

kesiapsiagaan, terutama kesiapsiagaan masyarakat. Sebab pemerintah

membutuhkan masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesiapsiagaan dalam

menghadapi suatu bencana untuk mengurangi risiko terhadap bencana (Matsuda

dan Okada, 2006). Namun, rangkaian program peningkatan kesiapsiagaan yang

dilakukan Pemerintah Kota Padang masih dinilai belum optimal, perlu sebuah

analisa yang mendalam terhadap upaya yang telah dilakukan, mengingat tidak

adanya peningkatan yang berarti kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang dari

tahun ke tahun.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan sebuah penelitian di Kota Padang tentang

bagaimana upaya menciptakan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana

gempabumi dan tsunami. Dari hasil review beberapa penelitian mengenai

bencana, sebagian besar penelitian mengenai pengurangan resiko bencana lebih

fokus membahas mengenai perubahan paradigma penanggulangan bencana

19

(lihat Mayena, 2012; Sternberg, 2013; Batbuyan, 2013, Victoria, dkk., 201;

Khan, 2008; Robert & Schneider, 2012; Baytiyeh & Naja, 2013; Nateghi, 2000),

bagaimana mengatasi kerentanan masyarakat dari bencana (lihat Mayo, dkk

., 2013; Mayena, 2012; Ainuddin & Routray, 2012; Virapart, 2011; Jhonson, dkk.,

2014; Troy Sternberg, 2013; Sobremisana & Pilar , 2014; Khairi, dkk., 2014;

Said, dkk., 2011), pengembangan konsep kesiapsiagaan (lihat Mayo, dkk.,

2013; Khairi, dkk , 2014; Ainuddin & Routray, 2012; Sternberg, 2013; Virapart,

2011; Jhonson, dkk., 2014; Said, dkk., 2011), dan pengembangan program

pengurangan resiko bencana (lihat Sternberg, 2013; Grundy, 2013;

Sobremisana & Pilar, 2014; Mayena, 2012; Mayo, dkk., 2013).

Namun, dalam beberapa penelitian tersebut masih terdapat sejumlah

kekurangan. Beberapa kekurangan yang tampak dari berbagai penelitian tersebut

adalah belum mampunya menjelaskan secara rinci upaya apa saja yang perlu

dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam pengurangan

resiko bencana.Pembahasan secara mendalam tentang pelaksanaan upaya

peningkatan kesiapsiagaan masyarakat oleh pemerintah daerah sebagai bentuk

upaya pengurangan resiko bencana pun jarang ditemui. Tidak ditemukan pula

penjelasa secara rinci langkah–langkah apasaja yang diambil pemerintah Daerah

dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bencana, pelaksanaan peran

pemerintah daerah hanya terkesan menilai dan memeriksa kesiapsiagan

masyarakat dan tidak menjelaskan upaya apasaja yang dilakukan apabila hasil

penilain kesiapsiagaan masyarakat rendah, tidak memaparkan tentang bagaimana

pemerintah daerah melakukan upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat

20

setelah pengintegrasian perjanjian Hyogo tentang Pengurangan resiko bencana

kedalam undang-undang penanggulangan bencana.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang telah diuraikan

sebelumnya, maka penelitian ini akan mengambil topik tentang Evaluasi

Kebijakan Peningkatan Kesiapsiagaan Masyarakat Kota Padang dalam

Menghadapi Bencana Gempabum i dan Tsunami. Dan penelitian ini berusaha

menjawab pertanyaan besar “Mengapa upaya peningkatan kesiapsiagaan

masyarakat oleh Pemerintah Kota Padang belum memberikan dampak yang

berarti terhadap tingkat kesiapsiagaan masyarakat Kota Padang dalam

menghadapi bencana gempabumi dan tsunami?. Untuk mempermudah proses

penelitian, pertanyaan besar tersebut di uraikan kedalam dua pertanyaan turunan

sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya kebijakan yang dilakukan Pemerintah Kota Padang

meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi resiko

bencana gempabumi dan tsunami?

2. Apasaja faktor penghambat yang dihadapi Pemerintah Kota Padang dalam

meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat ?

1.3 Tujuan Peneliti

1. Untuk mengevaluasi dan mengatahui sejauhmana upaya Pemerintah Kota

Padang dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana

gempabumi dan tsunami

21

2. Mengetahui Faktor-Faktor Penghambat yang dihadapi Pemerintah Kota

Padang dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat sebagai upaya

pengurangan resiko bencana gempabumi dan tsunami

1.4 Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini

diharapkan dapat memberi manfaat untuk:

1. Memberikan bahan masukan dan informasi serta dapat memberikan

sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi semua pihak dan instansi

terkait pelaksanaan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat sebagai upaya

pengurangan resiko bencana.

2. Memberikan gambaran pelaksanaan peningkatan kesiapsiagaan

masyarakat dalam pengurangan resiko bencana yang dilaksanakan di Kota

Padang.