bab i pendahuluan 1.1. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/91053/po...perkiraan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga
lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia, Australia dan Lempeng Pasifik. Bagian
selatan dan timur Kepulauan Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc)
yang memanjang dari Pulau Sumatera – Jawa – Nusa Tenggara – Sulawesi, yang
berupa pegunungan vulkanik tua dan vulkanik muda. Kondisi tersebut sangat
berpotensi menimbulkan bencana seperti letusan gunungapi (Hendarsah, 2012).
Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG),
Indonesia memiliki 13% jumlah gunung api yang ada di dunia yaitu 129
gunungapi, selain itu 60% dari jumlah gunungapi yang tersebar di Indonesia
merupakan gunungapi yang memiliki potensi letusan yang cukup besar (Zaenudin,
dkk, 2013).
Erupsi Gunungapi Merapi merupakan bencana alam yang kerap melanda
kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Erupsi Gunungapi Merapi
menimbulkan banyak kerugian baik secara materil maupun non materil. Kerugian
yang ditimbulkan dari erupsi tersebut tidak hanya terjadi pada saat terjadinya
erupsi Gunung Merapi saja, namun juga pasca erupsi Gunungapi Merapi. Pasca
erupsi Gunungapi Merapi, jutaan kubik material piroklastik yang menumpuk
dilereng Gunung Merapi ikut terbawa oleh runoff air hujan kemudian masuk ke
aliran sungai yang berhulu di lereng Gunung Merapi serta terbawa oleh aliran
sungai tersebut menuju daerah hilir.
Erupsi Gunungapi Merapi yang mengeluarkan ancaman lava, lahar, dan
awan panas ketika hujan deras menyebabkan adanya daerah rawan bahaya lahar
dingin yang bahayanya bisa jauh lebih luas dari bahaya yang ditimbulkan saat
erupsi Gunungapi Merapi itu sendiri. Menurut Lavigne dalam Hisse (2012)
kejadian banjir lahar pada Gunungapi Merapi dipicu oleh dua mekanisme proses
antara lain: 1) Erupsi Gunungapi Merapi yang menghasilkan lahar primer secara
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
langsung akibat bercampurnya material piroklastik, runtuhan kubah lava dengan
aliran air dan 2) Aliran lahar yang dipicu oleh curah hujan yang tinggi di puncak
dan terjadi pada musim penghujan yang biasanya terkonsentrasi pada periode
November-April.Erupsi Gunungapi Merapi meninggalkan berbagai bentuk
permasalahan yang cukup kompleks, baik dalam bidang sosial, lingkungan,
kondisi fisik wilayah maupun bidang ekonomi yang masih dirasakan hingga saat
ini. Peta zonasi anacaman banjir lahar Gunungapi Merapi disajikan pada Gambar
1.1.
Wilayah yang berpotensi terkena ancaman bahaya banjir lahar, salah
satunya adalah Kabupaten Sleman. Bencana banjir lahar telah mengakibatkan
kerugian material dan non-material yang sangat besar karena telah merusak
berbagai fasilitas dan menelan banyak korban. Bencana membawa perubahan
pada kondisi asset, akses dan aktivitas, sehingga menyebabkan pola penghidupan
masyarakat di Kabupaten Sleman mengalami perubahan. Menurut Rencana
Kontijensi Kabupaten Sleman tahun 2009, wilayah Kabupaten Sleman meliputi 17
kecamatan terdiri dari 86 desa, sebagian besar berada pada kawasan rawan
bencana baik yang berasal dari Gunung Merapi, gempa bumi, banjir lahar maupun
oleh angin ribut. Kawasan rawan bencana Gunung Merapi meliputi tujuh
kecamatan, baik bahaya primer (erupsi Merapi) maupun sekunder (banjir lahar
dingin).
Tiga dari tujuh kecamatan yang termasuk dalam kawasan rawan bencana
di Kabupaten Sleman ditetapkan sebagai daerah rawan bencana banjir lahar
dengan tingkat kerawanan yang tinggi, diantaranya adalah Kecamatan
Cangkringan, Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Kalasan. Hal ini dikarenakan
pada ketiga kecamatan tersebut dialiri oleh tiga sungai besar yang memotong
wilayahnya. Sungai-sungai yang dimaksud adalah Kali Kuning, Kali Opak dan
Kali Gendol.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Gambar 1.1. Peta Zonasi Bahaya Banjir Lahar Gunungapi Merapi. Sumber : http://merapi.bgl.go.id/
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Kerawanan bencana alam Gunungapi Merapi ini telah diperparah oleh
beberapa permasalahan lain yang muncul dan memicu meningkatnya kerentanan.
Laju pertumbuhan penduduk akan banyak membutuhkan kawasan hunian baru
yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus berkembang dan
menyebar hingga mencapai wilayah marginal yang tidak aman seperti berada pada
kawasan rawan bencana dan kawasan lindung. Tabel 1.1 berisi mengenai
informasi kepadatan penduduk yang terus mengalami kenaikan pada tiap
periodenya, mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan penduduk yang juga
semakin meningkat, khususnya untuk Kabupaten Sleman. Kerentanan non fisik
yang salah satunya berupa kerentanan sosial merupakan sebab dan akibat dari
besarnya kerugian karena bencana gunung berapi. Kerentanan sosial menunjukkan
perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa dan kesehatan penduduk
apabila ada bahaya (Habibi dan Buchori, 2013).
Tabel 1.1. Kepadatan Penduduk Hasil Sensus Tahun 1971-2010
Kabupaten/ Luas Wilayah Kepadatan Penduduk
Kota Km2 Persentase 1971 1980 1990 2000 2010
Kulonprogo 586,28 18,4 632 649 635 633 663
Bantul 506,85 15,91 1.122 1.252 1.357 1.541 1.798
Gunung Kidul 1.485,36 46,63 418 444 438 451 455
Sleman 574,82 18,04 1.024 1.178 1.358 1.568 1.902
Yogyakarta 32,5 1,02 10.490 12.252 12.679 12.206 11.958
DIY 3.185,81 100 781 863 914 979 1.085
Sumber: Dinas Kesehatan Prov. DIY, 2013
Penilaian terhadap kerentanan merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam kegiatan mitigasi bencana. Menurut peraturan kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) nomor 2 tahun 2012, penilaian
terhadap kerentanan itu sendiri didasarkan pada empat aspek penting yang berupa
kerentanan fisik, kerentanan ekonomi, kerentanan sosial serta kerentanan
lingkungan. Melihat pentingnya aspek spasial pada analisis statistik dalam
penilaian tingkat kerentanan bahaya banjir lahar di wilayah kajian, maka
digunakan suatu bentuk metode analisis yang menggabungkan antara kedua faktor
tersebut. Dipilihlah metode spatial multi criteria evaluation (SMCE) yang
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
merupakan suatu metode yang menggabungkan multi criteria analysis dengan
analisis spasial. Metode ini menggunakan input data spasial dan data statistik.
Hasil (output) dari metode ini berupa peta komposit yang memiliki data atribut
berupa data statistik dan data spasial yang berisiinformasi tentang tingkat atau
kelas kerentanan. Hasil inilah yang mempermudah stakeholder dalam mengambil
keputusan dan perencanaan terkait dengan manajemen bencana (Rahmat, 2014).
1.2. Rumusan Masalah
Banyaknya gunungapi yang aktif di Indonesia sering memunculkan
bencana baik saat terjadi erupsi maupun pasca erupsi berlangsung. Gunungapi
Merapi merupakan salah satu gunungapi aktif yang masih tercatat hingga saat ini.
Gunungapi Merapi berada di Jawa bagian tengah (mencakup sebagian wilayah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah) yang
mempunyai ketinggian 2.914 meter di atas permukaan laut. Ancaman bahaya dari
dampak erupsi Gunungapi Merapi terbukti nyata telah menimbulkan kerugian
yang diantaranya berupa banyaknya permukiman yang telah hancur serta
banyaknya korban jiwa, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Tabel Jumlah Korban pada Wilayah yang Terkena
Dampak Bahaya Erupsi Merapi Tahun 2010
Lokasi Meninggal Rawat Inap Mengungsi
(jiwa) (jiwa) (jiwa)
Kab. Sleman 163 276 110.729
Kota Yogyakarta - - 2.922
Kab. Bantul - - 9.651
Kab. Kulon Progo - - 2.782
Kab. Gunung Kidul - - 10.478
Kab. Klaten 13 80 97.091
Kab. Boyolali 3 37 49.147
Kab. Magelang 15 82 82.994
Kota Magelang - 23 3.767
Kota Wonosobo - - 116
Kab. Kendal - - 51
Kab. Purworejo - - 300
Jumlah 194 498 370.028
Sumber :http://www.slemankab.go.id/
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
Pasca erupsi Gunungapi Merapi, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
khususnya di Kabupaten Sleman sangat rawan terkena bahaya luapan banjir lahar.
Hal ini didasarkan pada aspek lokasi, dimana letak kabupaten tersebut berada
pada lokasi yang paling dekat dengan Gunungapi Merapi, seperti halnya di
Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Kalasan.
Banyaknya kerugian yang ditimbulkan oleh bahaya Gunungapi Merapi menjadi
suatu bentuk pertimbangan besar dalam upaya yang dapat dilakukan untuk
meminimalisir jumlah korban. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan dalam
langkah mitigasi bencana ini adalah dengan penilaian kerentanan terhadap bahaya
banjir lahar. Dengan mengetahui tingkat kerentananan pada masing-masing
wilayah administrasi maka dapat dilakukan pengambilan kebijakan bagi
stakeholder dalam mengelola wilayahnya agar risiko yang ditimbulkan dari
adanya bahaya banjir lahar dapat dikurangi. Berdasarkan fenomena di lapangan
ini dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana persebaran tingkat kerentanan sosial banjir lahar secara spasial
di Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan
Kalasan, Kabupaten Sleman, DIY?
2. Faktor apa yang paling menentukan tingkat kerentanan sosial pada
masing-masing wilayah administrasi?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui persebaran tingkat kerentanan sosial banjir lahar di Kecamatan
Cangkringan, Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Kalasan, Kabupaten
Sleman, DIY secara spasial.
2. Mengkaji faktor yang paling menentukan tingkat kerentanan sosial pada
masing-masing wilayah administrasi.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
1.4. Manfaat Penelitian
Sejalan dengn tujuan-tujuan tersebut maka diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat, khususnya untuk:
1. Teoritis
Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat memberikan
suatu pengetahuan baru yang kiranya dapat bermanfaat dan
memberikan inspirasi serta dapat digunakan sebagai bahan acuan
terhadap penelitian selanjutnya terkait dengan topik kebencanaan.
2. Praktis
Penelitian ini dapat melatih dalam permasalahan nyata yang ada pada
suatu kejadian, khususnya untuk pemerintah dan masyarakat terutama
dalam memberikan masukan serta sumbangan pemikiran dalam
menentukan perumusan kebijakan serta perencanaan yang terkait dengan
manajemen kebencanaan.
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Konsep Kerentanan
Kerentanan merupakan karakteristik dan keadaan masyarakat, sistem atau
aset yang membuatnya rentan terhadap efek yang merusak dari bahaya. Terdapat
banyak dimensi dalam kerentanan yang meliputi aspek sosial, psikologis,
ekonomi, demografi dan politik sehingga ada banyak faktor yang membuat orang
menjadi rentan, bukan hanya dari penyebab langsung, tetapi juga akar penyebab
yang kompleks dalam masyarakat. Kerentanan bergerak secara dinamis dalam
keadaan perubahan yang konstan. Keadaan yang kompleks dan beragam ini
mengakibatkan elemen kerentanan dalam masyarakat juga ikut berubah, sehingga
perubahan ini terjadi di berbagai bagian masyarakat, dalam cara yang berbeda dan
pada waktu yang berbeda (Twigg, 2004).
Menurut Muta’ali (2012), tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan
fisik (infrastruktur), sosial kependudukan dan ekonomi. Kerentanan fisik
(infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik (infrastruktur) yang rentan
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
terhadap faktor bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari
berbagai indikator sebagai berikut :
1. Presentase kawasan terbangun
2. Kepadatan bangunan
3. Presentase bangunan konstruksi darurat
4. Jaringan listrik
5. Rasio panjang jalan
6. Jaringan telekomunikasi jaringan PDAM
7. Jalan kereta api
Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam
menghadapi bahaya (hazard). Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain:
1. Kepadatan penduduk
2. Laju pertumbuhan penduduk
3. Presentase penduduk usia tua, balita dan penduduk wanita
Terakhir adalah kerentanan ekonomi. Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu
kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya (hazard).
Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya:
1. Presentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang
rawan terhadap pemutusan hubungan kerja).
2. Presentase rumah tangga miskin.
Menurut Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) nomor 2 tahun 2012, kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu
komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan
dalam menghadapi ancaman bencana. Kerentanan dinilai dari sekumpulan kondisi
dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) yang
berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan
bencana. Setiap kerentanan memiliki variabel/indikator tertentu seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1.2.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Gambar 1.2. Bagan Indeks dan Variabel Kerentanan.
Sumber: BNPB, 2012.
Bentuk kerentanan sosial menurut BNPB (2012) dapat dinilai berdasarkan
kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko
bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat
kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi
bahaya.
Kerentanan sosial menunjukkan potensi kehilangan pada elemen risiko
khusus yang merujuk pada keadaan manusia, disertai kondisi yang menyertainya
seperti usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang ekonomi atau
faktor lain yang dapat menyebabkan mereka berada dalam kondisi rentan
(Birkmann & Wisner, 2006 dalam Hizbaron, 2010).
Menurut Rahmat (2014), berdasarkan penelitian terdahulu, ditetapkan
variabel yang mempengaruhi tingkat kerentanan sosial terhadap suatu ancaman
bahaya di suatu wilayah, yang meliputi:
1. Jumlah penduduk
Kerentanan akan muncul ketika terdapat manusia sebagai obyek terkena
bencana. Semakin banyak manusia yang berada di wilayah bencana,
maka semakin rentan terhadap bencana.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
2. Kepadatan penduduk
Tingginya kepadatan penduduk mampu mengurangi tingkat pelayamam
sosial wilayahnya, dimana akses masyarakat dalam mendapatkan
mendapatkan pelayanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan
berkurang sehingga hal ini mengurangi kesiapan dan pemahaman
penduduk dalam menghadapi bencana. Kepadatan penduduk yang tinggi
juga mempersulit proses evakuasi.
3. Rasio jenis kelamin
Wanita memiliki rasa kekhawairan yang lebih tinggi dibandingkan
penduduk laki-laki. Oleh sebab itu, pada situasi darurat bencana, wanita
sulit mengambil keputusan. Selain itu wanita memiliki keterbatasan
mobilitas dalam proses evakuasi.
4. Jumlah penduduk lanjut usia
Penduduk usia lanjut memiliki mobilitas yang terbatas dan memiliki
kecenderungan untuk enggan meninggalkan tempat tinggalnya, sehingga
mempersulit dalam proses evakuasi.
5. Jumlah penduduk anak-anak
Penduduk usia muda memiliki resistan yang kecil terhadap penyakit dan
memiliki sumberdaya yang rendah. Selain itu penduduk usia muda
memiliki mobilitas yang rendah kaitannya dengan evakuasi bencana.
6. Jumlah penyandang cacat
Penyandang cacat memiliki kemungkinan memiliki ketidakmampuan dan
sifat keterbelakangan dalam bertindak pada situasi bencana dan juga
memiliki keterbatasan mobilitas.
Konsep kerentanan berakar dari setiap domain ilmiah. Dalam domain ilmu
sains, kerentanan sosial dinyatakan sebagai bagian intrinsik dari sistem terancam
atau dampak bahaya. Ilmu sains juga menjelaskan bahwa kerentanan sosial
sebagai hasil kuantitatif dari kerugian dan kerusakan, ilmu-ilmu sosial
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
menerangkan bahwa kerentanan sosial sebagai proses dalam melewati bahaya itu
sendiri untuk menentukan kondisi tidak menguntungkan, hal ini disebut
kerentanan. Penyebab kerentanan bukan hanya tergantung pada terjadinya bahaya,
tetapi juga dipengaruhi oleh atribut sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam
pengaturan yang berbeda, ilmu terapan melihat fungsi spasial-temporal dalam
pola kerugian serta kerusakan dan juga dalam kondisi tidak menguntungkan.
Berbasis lokasi, konsep kerentanan menjelaskan bahwa kondisi interaksi sosial
dalam batas-batas geografis dan temporal yang ditentukan, akan mempengaruhi
tingkat kerugian dan kerusakan berbanding lurus dengan tingkat keparahan
bahaya (Hizbaron, dkk, 2012).
1.5.2. Ancaman Bahaya Banjir Lahar Terkait Aktivitas Gunungapi
Terdapat dua macam bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan
gunungapi, diantaranya bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer
adalah bahaya yang langsung dihadapi oleh karena keluarnya bahan pada waktu
terjadi letusan seperti aliran lahar, bahan lepas dan bahaya awan panas. Sedangkan
bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi ketika erupsi gunungapi telah selesai
yang salah satu contohnya berupa banjir lahar yang sering juga disebut lahar hujan
atau lahar sekunder atau lahar dingin (Wahyono, 2002).
Bahaya sekunder yang dapat ditimbulkan terkait aktivitas gunungapi
adalah terbentuknya lahar. Lahar adalah campuran antara bahan erupsi gunungapi
terutama abu vulkanikdengan air yang berasal dari hujan dan tertampung di dalam
kawah gunungapi. Lahar merupakan hal yang paling sering diperhatikan dalam
melakukan langkah mitigasi bencana, khususnya di Indonesia yang pada
umumnya memiliki curah hujan yang tinggi. Selain itu lahar juga mempunyai
daya luncur yang sangat tinggi dan dapat menempuh jarak yang cukup jauh
dengan kecepatan sekitar 40-60 km/jam (Sumintadireja, 2000).
Lahar dapat dibedakan menjadi dua jenis, diantaranya bisa disebut sebagai
lahar panas jika suhunya lebih tinggi terhadap lingkungan sekitarnya yaitu lahar
erupsi/lahar primer, atau lahar dingin jika suhunya sama atau lebih dingin
terhadap lingkungan sekitarnya atau sering disebut juga lahar hujan/lahar
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
sekunder (Sumintadireja, 2000). Tabel 1.3. memperlihatkan istilah lahar panas
dan lahar dingin secara sederhana.
Tabel 1.3. Lahar primer dan lahar sekunder
Suhu Asal air
Danau kawah Hujan lebat
Panas Erupsi/lahar primer, langsung
berasal dari kawah
Lahar hujan panas/lahar
sekunder
Dingin Lahar berhernti, akibat dinding
kawah roboh
Lahar hujan dingin/lahar
sekunder
Sumber: Suryo dan Clarke, dalam Sumintadireja, 2000
Menurut Smith dan Fritz dalam Hisse, dkk (2012), lahar merupakan
terminologi Jawa untuk mengilustrasikan aliran bongkah batuan, hancuran batuan,
kerikil, pasir dan debu yang dikontrol oleh gaya gravitasi dan material berasal
dari hasil letusan gunungapi. Kejadian lahar juga memiliki beberapa karakteristik
baik yang berupa debris flow dengan konsentrasi bahan padat lebih dari 60%
ataupun hyperconcentrated flow dengan kandungan sedimen antara 20%-60%
volume. Lavigne dalam Hisse, dkk (2012) membedakan lahar berdasarkan
mekanisme terbentuknya, lahar dibagi menjadi tiga, antara lain:
1. Lahar Syn-Eruptive atau lahar yang terbentuk pada saat letusan.
2. Lahar Post-Rruptive atau lahar yang terjadi pasca letusan.
3. Lahar Non-Eruptive yang terbentuk tidak diawali dengan adanya
letusan dan biasanya terjadi pada Gunungapi yang tidak
aktif/dorman.
Gambar 1.3. menunjukkan mekanisme terbentuknya lahar yang terjadi di
Indonesia. Banjir lahar ini dapat terjadi akibat hujan yang terus menerus dalam
jangka waktu tertentu di atas timbunan endapan material vulkanik di sekitar
puncak dan lereng gunungapi yang menyebabkan endapan material menjadi jenuh
dan mudah longsor atau runtuh (Kusumobroto, 2010).
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Gambar 1.3. Tipologi lahar yang sering terjadi di Indonesia.
Sumber: Lavigne dalam Hisse J, 2012.
1.5.3. Metode Spatial Multi Criteria Evaluation (SMCE)
Multi criteria analysis merupakan metode analisis statistik. Metode ini
tidak mempertimbangkan aspek spasial yang akhir-akhir ini mulai dikembangkan
di berbagai metode. Aspek spasial menjadi sangat penting karena di dalam aspek
spasial terdapat unsur ruang dimana aplikasi statistik berlangsung. Melihat
pentingnya aspek spasial pada analisis statistik, akhirnya dikembangkan suatu
metode yang menggabungkan multi criteria analysis dengan analisis spasial yang
disebut dengan spatial multi criteria evaluation (SMCE). Metode ini
menggunakan input data spasial dan data statistik yang kemudian menghasilkan
peta dengan komposit data. Output yang dihasilkan dari metode ini mampu
membantu untuk menentukan suatu perencanaan dan membantu pengambil
keputusan untuk mengambil keputusan secara lebih spesifik dibandingkan dengan
analisis statistik biasa (Hizbaron, dkk, 2010).
Proses analisis yang dilakukan dengan menggunakan SMCE dapat
digambarkan pada Gambar 1.3. Pada gambar tersebut dijelaskan bagaimanan
menyusun suatu peta komposit yang terdiri dari berbagai jenis dan bermacam-
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
macam data. Sebelum data dikombinasikan, dilakukan proses standarisasi dan
kemudian dilakukan overlay sehingga menghasilkan peta komposit (Rahmat,
2014).
Gambar 1.4. Proses Analisis pada Metode SMCE
Sumber: Saaty, 1980 (dalam Rahmat, 2014)
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
1.6. Penelitian Sebelumnya
Pencatatan dari penelitian sebelumnya didasarkan pada tema yaitu banjir lahar ataupun penelitian dengan pemakaian metode yang
serupa. Daftar penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini disajikan pada Tabel 1.3.
Tabel 1.4. Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Sekarang
Peneliti dan
Tahun Judul Penelitian Lokasi Metode Data Hasil
Subarkah,
2009
Spatial Multi Criteria
Evaluation For Tsunamis
Vulnerability Case Study of
Coastal Area Parangtritis
Yogyakarta
Parangtritis
Yogyakarta
Spatial Multi
Criteria
Evaluation
Data
kependudukan,
Citra Quickbird,
dan peta kontur
1. Tsunami dengan ketinggian run up 10
meter mampu merendam seluruh kawasan
penelitian.
2. Sebagian besar bangunan merupakan
bangunan tidak tahan bencana
3. Infrastruktur untuk zona pengungsian
harus dibangun dengan baik agar
masyarakat di daerah tersebut dapat
mempergunakan dengan baik.
Permatasari,
2011
Evaluasi Pengembangan
Wilayah Permukiman Berbasis
Analisis Risiko Banjir Lahar di
Kali Putih,
Magelang
Analisis peta
RBI dan Citra
IKONOS serta
Peta RBI, Citra
IKONOS dan
data primer
1. Perlu adanya perencanaan permukiman
yang berbasis bencana.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Daerah Sepanjang Kali Putih,
Kabupaten Magelang, Provinsi
Jawa Tengah.
survei lapangan
Hadiputro,
2011
Dampak Bencana Aliran Lahar
Dingin Gunungapi Merapi
Pasca Erupsi di Kali Putih
Kali Putih,
Magelang
Pengukuran
lapangan dan
analisis data
sekunder
Data primer 1. Selama terjadinya erupsi Gunungapi
Merapi terdapat kecenderungan aliran
lahar dingin ke arah bagian barat (daerah
bahaya tipe I) salah satunya adalah Kali
Putih.
2. Hasil letusan ada sampai saat ini
diperkirakan mencapai 60x103m3.
3. Bila terjadi bencana akibat debris-flow
maka kerugian diperkirakan mencapai
Rp140.490,55 juta, kembali normal
memakan waktu selama 15 tahun.
Hizbaron,
dkk, 2012
Urban Vulnerability in Bantul
District, Indonesia—Towards
Safer and Sustainable Development
Bantul
District
SMCE for
Social
Vulnerability,
and SMCE for
Physical
Primary data,
and secondary
data.
1. SMCE-SV and SMCE-PV can assess
urban vulnerability from a multi-scale
observation and it is best to work in a
spatial manner.
2. Integrating the urban vulnerability
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
Vulnerability assessment into the risk-based spatial
plan requires strategic, technical,
substantive and procedural dimensions.
Rahmat, 2014
Penilaian Kerentanan Fisik,
Sosial dan Ekonomi Dusun-
Dusun di Sekitar Kali Putih
Terhadap Banjir Lahar
Gunungapi Merapi
Kali Putih,
Magelang
Spatial Multi
Criteria
Evaluation
Data primer
hasil checklist
dan observasi,
data
kependudukan,
Citra Quickbird
dan Geo-Eye
tahun 2010, peta
RBI
1. Penilaian kerentanan fisik di dusun-dusun
di sekitar Kali Putih .
2. Penilaian kerentanan sosial di dusun-
dusun di sekitar Kali Putih.
3. Penilaian kerentanan total dilakukan
dengan menggunakan tiga skenario dan
menunjukkan pola yang hampir sama
antara wilayah hilir, tengah dan hulu.
Setyaningrum,
2014
Kerenanan Sosial Terhadap
Banjir dan Aset Penghidupan
Masyarakat Bantaran Sungai
Bengawan Solo Kota Surakarta
Paska Relokasi Mandiri.
Bantaran
Sungai
Bengawan
Solo Kota
Surakarta
Spatial Multi
Criteria
Evaluation,
SWOT
Data Primer
hasil checklist,
data sekunder
1. Informasi tingkat kerentanan
2. Kondisi aset penghidupan (livelihood
asset) masyarakat paska terjadinya
relokasi.
3. Bentuk strategi yang sesuai dalam
menurunkan tingkat kerentanan terhadap
bahaya banjir.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
Rizal, 2015
Analisis Kerentanan Fisisk
Bahaya Lahar di Desa Sekitar
Kali Putih Kabupaten
Magelang.
Desa-desa
Sekitar
Kali Putih,
Magelang.
Spatial Multi
Criteria
Evaluation
Data Primer
hasil checklist,
data sekunder
1. Kondisi daerah penelitian pasca bencana
banjir lahar.
2. Penilaian kerentanan fisik pada daerah
penelitian yang menghasilkan dua
skenario yaitu equal dan fisik.
3. Bentuk mitigasi bencana yang sudah
diterapkan di wilayah penelitian.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
1.7. Kerangka Pemikiran
Adanya aktivitas vulkanis memacu terjadinya ancaman runtutan bencana
kegunungapian, seperti halnya yang terjadi di Gunungapi Merapi. Terdapat dua
macam bahaya yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan gunungapi, diantaranya
bahaya primer dan bahaya sekunder. Salah satu bencana sekunder yang terjadi
adalah banjir lahar di wilayah-wilayah bantaran sungai yang berhulu dari
Gunungapi Merapi. Beberapa wilayah yang terdampak langsung diantaranya
Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Ngemplak dan Kecamatan Kalasan,
Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kerentanan menurut UNISDR (2009), diartikan sebagai suatu karakteristik
atau keadaan masyarakat atau suatu sistem yang mempengaruhi besar kecilnya
dampak kerusakan yang diakibatkan oleh adanya bahaya atau bencana. Terdapat
banyak aspek dalam melihat dan memperhitungkan suatu kerentanan, yaitu aspek
fisik, sosial, ekonomi dan faktor lingkungan. Dalam pengkajian kerentanan ini
ditujukan untuk meningkatkan atau mengurangi kemampuan masyarakat dalam
mencegah, meredam dan menanggapi dampak bahaya tertentu.
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko
bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat
kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi
bahaya. Dari pernyataan tersebut maka dapat disebutkan bahwa variabel-variabel
yang mempengaruhi kerentanan sosial berupa kepadatan penduduk, kelompok
rentan yang terdiri dari rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio penyandang
cacat dan kelompok umur. Selain faktor sosial faktor fisik dan lingkungan pun tak
bisa luput dari penentu tingkat kerentanan karena kedua faktor tersebut sangat
mempengaruhi tingkat bahaya pada suatu wilayah. Faktor fisik dilihat dari aspek
bangunan dan infrastruktur sedangkan faktor lingkungan dilihat dari topografi
wilayah seperti lereng, serta besaran wilayah terimbas yang dapat dilihat
berdasarkan radius (buffer) yang terbentuk dari sumber bencana.
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
Variabel-variabel yang digunakan merupakan variabel yang memiliki kelas
dan jenis data yang berbeda. Sehingga perlu dilakukan analisis secara spasial
dengan tekhnik analisis berupa pengklasifikasian (scoring), untuk menetapkan
tingkat kerentanan masing-masing wilayah administrasi. Kerangka pemikiran
yang diacu ditampilkan pada Gambar 1.5.
Gambar 1.5. Kerangka Pemikiran
Gunungapi Merapi
Aktivitas Vulkanis
Erupsi Bahaya primer Bahaya
sekunder
Ancaman terhadap
elemen risiko
Faktor yang berpengaruh
terhadap kerentanan
Fisik Lingkungan Ekonomi Sosial
Pengklasifikasian
tingkat kerentanan
sosial
Faktor yang
paling
menentukan
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
1.8. Batasan Operasional
a. Gunungapi
Gunungapi adalah lubang kepundan atau rekahan dalam kerak bumi tempat
keluarnya cairan magma atau gas atau cairan lainnya ke permukaan bumi.
Matrial yang dierupsikan ke permukaan bumi umumnya membentuk kerucut
terpancung (DESDM, 2011).
b. Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 tahun 2007).
c. Banjir lahar
Banjir lahar adalah aliran endapan material lepas hasil erupsi gunungapi yang
diendapkan pada puncak dan lereng yang terangkut oleh hujan atau air
permukaan. Aliran lahar ini berupa aliran lumpur yang sangat pekat sehingga
dapat mengangkut material berbagai ukuran. Bongkahan batu besar dapat
mengapung pada aliran lumpur ini. Lahar juga dapat merubah topografi
sungai yang dilaluinya dan merusak infrastruktur (DESDM, 2011).
d. Kerentanan
Kerentanan adalah kelemahan nyata dari suatu sistem fisik dan sosial untuk
bahaya tertentu (Dilley, 2005).
e. Kerentanan Sosial
Kerentanan Sosial adalah fungsi kompleks yang terdiri dari yang terdiri dari
variabel sosial, ekonomi, politik dan budaya (Dilley, 2005). Kerentanan sosial
merupakan perasaan tidak aman di kehidupan individu, keluarga dan
komunitas ketika menghadapi perubahan di luar lingkungannya (Serrat,
2008).
PENAKSIRAN TINGKAT KERENTANAN SOSIAL TERHADAP BAHAYA BANJIR LAHAR PASCAERUPSI GUNUNGAPI MERAPI(Studi Kasus: Kec. Cangkringan, Kec. Ngemplak dan Kec. Kalasan, Kab. Sleman, Prov. DIYDEVIE ANIKA BANU AUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/