bab i pendahuluan a. latar belakangdigilib.uinsgd.ac.id/32629/4/4_bab1.pdf1 bab i pendahuluan a....

13
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan saat ini, pendidikan merupakan aspek terpenting dalam kemajuan suatu bangsa dan negara. Pasalnya, pendidikan menjadi pemeran utama dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas inilah yang akan siap menjadi garda terdepan dalam memajukan sebuah negara dan menentukan kualitas segala aspek kehidupan di masa mendatang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Presiden RI, Joko Widodo, bahwa pendidikan merupakan sebuah kunci agar sumber daya manusia di Indonesia berkualitas tinggi. Keluarga dan lembaga pendidikan memiliki peran utama dalam bidang pendidikan agar bisa menghasilkan SDM yang berkualitas. 1 Salah satu lembaga pendidikan dalam bentuk formal adalah sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan wadah untuk meningkatkan kualitas individu melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar, menurut Muhibbin Syah merupakan kegiatan yang berproses, yang merupakan sebuah unsur yang sangat vital di dalam setiap jenis ataupun jenjang pendidikan manapun. Berhasil atau tidaknya siswa dalam mencapai tujuan pendidikan sangat bergantung pada proses belajar siswa tersebut. 2 Melalui proses belajar yang baik, siswa akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan pemahaman yang baik serta berbagai pengalaman berharga dari sekolah tersebut. Selain itu, pendidikan karakter juga akan didapatkan dari bangku sekolah, sehingga nantinya siswa bukan hanya pintar dari segi keilmuan saja tapi juga memiliki akhlak dan etika yang baik. Oleh sebab itu, semua orang baik anak-anak, remaja atau dewasa sangat perlu untuk mendapat pendidikan, diantaranya dengan cara menempuh berbagai jenjang pendidikan yang ada. Berbagai jenjang pendidikan di Indonesia salah satunya adalah tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). SMA merupakan jenjang pendidikan yang disediakan untuk siswa yang akan melanjutkan pendidikannya dari Sekolah 1 Michael Reily, Jokowi Ungkapkan Pentingnya Kualitas SDM di Hadapan Anggota Dewan, Jakarta, 16 Agustus 2019, diakses pada katadata.co.id, 11 November 2019, 08.15 WIB, h. 1. 2 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Depok: Rajawali Pers, 2019), h. 67.

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Dalam kehidupan saat ini, pendidikan merupakan aspek terpenting dalam

    kemajuan suatu bangsa dan negara. Pasalnya, pendidikan menjadi pemeran utama

    dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia

    yang berkualitas inilah yang akan siap menjadi garda terdepan dalam memajukan

    sebuah negara dan menentukan kualitas segala aspek kehidupan di masa

    mendatang. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Presiden RI, Joko Widodo,

    bahwa pendidikan merupakan sebuah kunci agar sumber daya manusia di

    Indonesia berkualitas tinggi. Keluarga dan lembaga pendidikan memiliki peran

    utama dalam bidang pendidikan agar bisa menghasilkan SDM yang berkualitas.1

    Salah satu lembaga pendidikan dalam bentuk formal adalah sekolah. Sekolah

    sebagai lembaga pendidikan merupakan wadah untuk meningkatkan kualitas

    individu melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar, menurut Muhibbin Syah

    merupakan kegiatan yang berproses, yang merupakan sebuah unsur yang sangat

    vital di dalam setiap jenis ataupun jenjang pendidikan manapun. Berhasil atau

    tidaknya siswa dalam mencapai tujuan pendidikan sangat bergantung pada proses

    belajar siswa tersebut.2 Melalui proses belajar yang baik, siswa akan mendapatkan

    ilmu pengetahuan dan pemahaman yang baik serta berbagai pengalaman berharga

    dari sekolah tersebut. Selain itu, pendidikan karakter juga akan didapatkan dari

    bangku sekolah, sehingga nantinya siswa bukan hanya pintar dari segi keilmuan

    saja tapi juga memiliki akhlak dan etika yang baik. Oleh sebab itu, semua orang

    baik anak-anak, remaja atau dewasa sangat perlu untuk mendapat pendidikan,

    diantaranya dengan cara menempuh berbagai jenjang pendidikan yang ada.

    Berbagai jenjang pendidikan di Indonesia salah satunya adalah tingkat

    Sekolah Menengah Atas (SMA). SMA merupakan jenjang pendidikan yang

    disediakan untuk siswa yang akan melanjutkan pendidikannya dari Sekolah

    1 Michael Reily, Jokowi Ungkapkan Pentingnya Kualitas SDM di Hadapan Anggota Dewan,

    Jakarta, 16 Agustus 2019, diakses pada katadata.co.id, 11 November 2019, 08.15 WIB, h. 1. 2 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Depok: Rajawali Pers, 2019), h. 67.

  • 2

    Menengah Pertama (SMP). Usia siswa yang menempuh pendidikan SMA ini

    kisaran 15-18 tahun. Usia tersebut dalam psikologi perkembangan disebut dengan

    fase remaja akhir.3

    Dalam psikologi Islam, fase remaja akhir termasuk ke dalam masa akil

    baligh. Masa akil balig menandai perpindahan dari anak-anak menjadi dewasa.

    Usia balig pada laki-laki, umumnya pada usia 11-18 tahun. Sedangkan, usia balig

    pada perempuan umumnya lebih awal dari usia laki-laki, yakni antara 9-13 tahun.4

    Masa akil balig merupakan awal pencapaian kematangan intelektual bersamaan

    dengan kematangan organ seksualnya. Perubahan besar akan terjadi pada anak

    yang memasuki masa akil balig. Selain perubahan fisik dan sosial, terjadi juga

    perubahan dalam cara berpikir dan mengolah informasi, sehingga individu yang

    mencapai usia balig mulai memahami beban tanggung jawab atas apa yang

    dilakukannya.5

    Selain itu, masa akil balig juga mengalami periode individuasi. Mereka

    mengembangkan identitas diri dan membentuk pendapat sendiri yang mungkin

    berbeda dengan orang lain. Mereka mulai menyadari bahwa orang tua, guru atau

    temannya tidak selalu benar. Sebagai akibatnya, seringkali timbul konflik.6 Para

    pakar psikologi menyebutnya sebagai usia bermasalah atau masa yang penuh

    dengan persoalan.7

    Persoalan-persoalan di sekolah, misalnya, perkelahian, kasus bullying,

    pergaulan bebas, narkoba, dan lain sebagainya dapat ditemui secara langsung

    ataupun melalui media sosial. Hal tersebut bisa terjadi karena remaja sedang

    berada pada fase peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa. Sesuatu yang

    mengalami peralihan dari keadaan lama ke keadaan baru selalu memicu timbulnya

    3 Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2017), h. 206. 4 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Perspektif Hadis (Jakarta: PT Pustaka Al Husna

    Baru, 2004), h. 255–56. 5 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

    2008), h. 138. 6 Hasan, h. 139. 7 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017), h. 51.

  • 3

    gejolak dan goncangan.8 Pada fase tersebut, dengan segala gejolak dan goncangan

    pada dirinya, peran orang tua dan peran guru menjadi penting untuk mengarahkan

    agar remaja mampu menghadapi situasi sulitnya, sehingga ia bisa memahami

    dirinya sendiri dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik di rumah

    ataupun di sekolah.

    Di sekolah, para siswa pasti memiliki banyak tugas dan kegiatan yang harus

    dilakukan, mereka juga pasti dihadapkan dengan aturan-aturan yang harus

    dipatuhi. Seluruh tugas, kegiatan, bahkan program ataupun aturan yang ada di

    sekolah tidak lain hanya untuk sebuah pembelajaran siswa. Namun, tidak jarang

    ditemukan bahwa sebagian siswa mengalami hambatan-hambatan berupa

    kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada. Untuk dapat

    memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada di sekolah, siswa harus mampu mengatur

    dirinya agar tuntutan dapat terpenuhi sehingga hasil belajar pun dicapai dengan

    optimal. Namun demikian, masing-masing individu memiliki tingkat kemampuan

    mengatur diri yang berbeda. Ada yang mampu mengatur dirinya dengan baik dan

    ada pula yang kurang mampu mengatur dirinya dengan baik. Kemampuan

    mengatur diri ini, dalam psikologi, dikenal dengan istilah regulasi diri (self-

    regulation).9

    Regulasi diri dalam belajar sering disebut sebagai self-regulated learning.

    Self-regulated learning adalah kemampuan seseorang yang memiliki keaktifan

    dalam belajar baik secara metakognitif, motivasi ataupun perilakunya. Orang

    dengan kemampuan self-regulated learning yang tinggi, ia dapat mengelola

    pemikiran, perasaan dan tingkah lakunya dengan baik, sehingga ia mampu

    menghadapi situasi apapun dengan baik, terutama jika harus menghadapi tugas-

    tugas yang menurut dirinya sulit.10

    8 Syah, h. 51. 9 Arini Dwi Alfiana, “Regulasi Diri Mahasiswa Ditinjau dari Keikutsertaan dalam Organisasi

    Kemahasiswaan,” Jurnal Psikologi, 1.2 (2013). Diunduh pada 12 November 2019, dari

    http://ejournal.umm.ac.id/, h. 246. 10 Shofiyatul Azmi, “Self Regulated Learning Salah Satu Modal Kesuksesan Belajar dan

    Mengajar,” in Seminar ASEAN 2nd Psychology and Humanity, 2016. Diunduh pada 12 November

    2019, dari http://mpsi.umm.ac.id/, h. 401.

  • 4

    Kemampuan regulasi diri dalam belajar ini sangat penting, karena dengan

    regulasi diri yang baik, individu akan mampu menjalani kehidupannya lebih

    terarah meskipun banyak sekali tuntutan yang menghadang. Kemampuan regulasi

    diri yang baik dalam belajar membuat siswa mampu mengatur dirinya dengan

    baik. Penelitian yang dilakukan oleh Risa Rahayu menunjukkan bahwa terdapat

    hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan prestasi belajar pada siswa. Nilai

    korelasi yang diperoleh yaitu pada taraf signifikan 0,05.11 Dengan demikian,

    siswa yang mampu mengatur dirinya dengan baik, dapat mencapai hasil belajar

    yang optimal dan tujuan umum dari belajar pun akan tercapai dengan baik.

    Di SMA Plus Al-Ghifari, banyak sekali kegiatan-kegiatan yang harus

    dilaksanakan oleh siswa, mulai dari kegiatan intrakurikuler, yaitu kegiatan utama

    pembelajaran di sekolah, kegiatan kokurikuler seperti shalat duha berjamaah,

    mentoring, BTQ (Baca Tulis Quran) dan keputrian, hingga kegiatan

    ekstrakurikuler seperti OSIS, PRAMUKA, dan lain sebagainya. Dengan

    banyaknya kegiatan tersebut, idealnya, siswa SMA Plus Al-Ghifari memiliki

    kemampaun regulasi diri yang tinggi agar kegiatan-kegiatan di sana bisa

    dilaksanakan oleh seluruh siswa dengan baik dan optimal. Salah satu peran guru

    dalam meningkatkan kemampuan self-regulated learning siswa adalah dengan

    memberikan nasihat, arahan ataupun motivasi kepada siswanya. Setiap guru pasti

    menginginkan anak didiknya mampu melaksanakan tugas dengan baik dan

    mematuhi segala aturan yang ada, sehingga setiap guru sedikit banyaknya akan

    memberikan nasihat, arahan dan motivasi kepada siswanya di sela-sela proses

    pembelajarannya di kelas.

    Namun, usaha guru dalam memberikan nasihat, arahan dan motivasi di dalam

    kelas saja belum cukup mampu membuat siswa memiliki kemampuan regulasi diri

    yang baik. Sebagaimana fenomena yang ditemukan di SMA Plus Al-Ghifari,

    masih ada siswa yang memiliki kemampuan regulasi diri yang rendah. Hal ini

    dibuktikan dengan penelitian awal yang dilakukan melalui observasi di SMA Plus

    11 Risa Rahayu, “Hubungan antara Regulasi Diri dengan Prestasi Belajar pada Siswa” (Universitas

    Lampung, 2017). Diunduh pada 12 November 2019 dari https://digilib.unila.ac.id/, h. 58

  • 5

    Al-Ghifari yaitu adanya beberapa perilaku siswa yang kurang baik, di antaranya

    adalah jarang mengikuti shalat duha bersama, tidak bisa berkonsentrasi saat

    pembelajaran di kelas, dan beberapa siswa juga ada yang melanggar tata tertib

    sekolah, seperti terlambat masuk kelas dan keluar kelas tanpa izin. Fenomena-

    fenomena tersebut memang tidak jarang ditemukan di SMA lainnya. Karena

    memang, siswa SMA sedang berada pada fase remaja akhir, yang mana mereka

    sedang mengalami gejolak dalam dirinya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan

    keinginannya, yang terkadang mereka tidak memandang baik buruknya sesuatu

    yang ia lakukan tersebut. Dengan mengetahui hal tersebut, perlu adanya upaya

    yang harus dilakukan agar siswa tidak terjebak pada kondisi yang salah. Oleh

    karena itu, meningkatkan kemampuan self-regulated learning pada diri siswa

    remaja menjadi sangat penting.

    Dalam upaya meningkatkan kemampuan self-regulated learning pada siswa,

    tentu tidak terlepas dari peran guru di SMA Plus Al-Ghifari tersebut. Salah satu

    upaya yang dilakukan adalah dengan mengadakan kegiatan muḥāsabah bersama.

    Dalam istilah tasawuf, muḥāsabah adalah menghitung atau mengevaluasi diri.12

    Apabila seseorang melakukan muḥāsabah, maka tentunya orang tersebut akan

    menyeleksi mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk yang telah ia lakukan.

    Dengan begitu, orang tersebut mengetahui kebaikan dan keburukan pada dirinya.

    Kemudian dengan mengetahui kebaikan dan keburukan pada diri, ia akan

    berusaha memperbaiki diri sehingga kedepannya ia dapat memelihara diri untuk

    selalu melakukan kebaikan yang Allah sukai.13 Jadi, Seseorang yang melakukan

    muḥāsabah akan mampu mengelola dan mengatur dirinya dalam menentukan

    sebuah tindakan.

    Muḥāsabah yang dilaksanakan di SMA Plus Al-Ghifari adalah muḥāsabah

    yang digunakan sebagai metode untuk membina siswa dalam mengevaluasi diri.

    Sebagaimana penelitian awal melalui interview yang dilakukan pada salah

    seorang guru di SMA Plus Al-Ghifari mengatakan bahwa muḥāsabah di SMA

    12 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Angkasa, 2008), h. 881. 13 Azra, h. 882.

  • 6

    plus Al-Ghifari dilakukan selama satu hari satu malam secara bersama-sama

    dalam sebuah ruangan.14 Dengan adanya muḥāsabah tersebut diharapkan dapat

    menstimulus siswa untuk terjadinya proses regulasi diri, sehingga siswa menjadi

    mampu mengatur dirinya selama proses pembelajaran.

    Muḥāsabah yang dilaksanakan sebagai sebuah metode di SMA Plus Al-

    Ghifari menjadi sangat menarik untuk diteliti. Terlebih muḥāsabah tersebut telah

    didesain mengenai tempat, cara, dan waktunya. Muḥāsabah dilakukan pasti

    memiliki peran yang cukup penting bagi siswa, salah satunya dalam

    meningkatkan kemampuan self-regulated learning. Berangkat dari hal tersebut,

    penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dengan judul “Muḥāsabah

    sebagai Metode dalam Meningkatkan Kemampuan Self-Regulated Learning

    (Studi Deskriptif Siswa Kelas XII di SMA Plus Al-Ghifari Kota Bandung)”.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian

    ini adalah sebagai berikut:

    1. Apa latar belakang diadakannya kegiatan muḥāsabah di SMA Plus Al-

    Ghifari?

    2. Bagaimana proses pelaksanaan kegiatan muḥāsabah di SMA Plus Al-

    Ghifari?

    3. Apa peran muḥāsabah dalam meningkatkan kemampuan self-regulated

    learning pada siswa kelas XII di SMA Plus Al-Ghifari?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai

    berikut:

    1. Untuk mengetahui latar belakang diadakannya kegiatan muḥāsabah di

    SMA Plus Al-Ghifari.

    14 Wawancara pribadi dengan Usep Sofiyudin, Guru dan Wakil Kepala Sekolah bidang

    Kerohanian di SMA Plus Al-Ghifari, 4 November 2019, 10.37 WIB.

  • 7

    2. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan muḥāsabah di SMA

    Plus Al-Ghifari.

    3. Untuk mengetahui peran muḥāsabah dalam meningkatkan kemampuan

    self-regulated learning pada siswa kelas XII di SMA Plus Al-Ghifari.

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat yang bisa didapat dari penelitian ini secara garis besar dibagi

    menjadi dua bagian, yaitu:

    1. Manfaat Teoritis

    Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan kontribusi bagi

    pengembangan khazanah keilmuan dalam bidang tasawuf dan psikologi.

    Kemudian penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan sumbangan

    pemikiran serta penambahan wawasan bagi mahasiswa dan dosen Jurusan

    Tasawuf dan Psikoterapi.

    2. Manfaat Praktis

    Bagi peneliti, hasil penelitian ini bisa memberikan pengalaman, pemahaman

    dan wawasan baru terkait dengan bidang keilmuan peneliti. Bagi universitas, hasil

    penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai rujukan dalam

    penelitian serupa. Kemudian bagi lembaga-lembaga sekolah, hasil penelitian ini

    dapat dijadikan referensi bagi para pendidik untuk dapat mengaplikasikan metode

    muḥāsabah kepada siswa dalam meningkatkan kemampuan self-regulated

    learning.

    E. Kerangka Pemikiran

    Belajar merupakan proses terpenting dalam pendidikan di sekolah.

    Keberhasilan siswa dalam mencapai hasil yang optimal tergantung pada proses

    belajarnya. Dalam proses belajar di sekolah, siswa pasti dihadapkan pada berbagai

    tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan serta aturan-aturan yang harus

    dipatuhi. Hal tersebut mengharuskan siswa untuk memiliki kemampuan dalam

    mengarahkan dan mengatur dirinya dalam menghadapi segala tuntutan yang ada.

  • 8

    Kemampuan siswa dalam mengatur dirinya tentu berbeda-beda. Ada yang mampu

    mengatur dirinya dengan baik dan ada yang kurang mampu mengatur dirinya

    dengan baik.

    Dalam psikologi, kemampuan mengarahkan atau mengatur diri disebut

    dengan istilah regulasi diri (self regulation). Menurut Bandura, secara singkat Self

    regulation diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengatur perilakunya

    sendiri.15 Kemampuan regulasi diri ini menjadi penting untuk dimiliki oleh siswa.

    Sebab, siswa yang memiliki kemampuan regulasi diri yang baik akan membantu

    dirinya dalam memenuhi segala tuntutan yang ia hadapi. Penelitian terdahulu

    menemukan bahwasannya siswa yang berprestasi tinggi merupakan siswa yang

    mampu mengatur dirinya dalam belajar.16 Artinya, apabila siswa memiliki

    kemampuan regulasi diri yang tinggi maka prestasi belajarnya akan tinggi.

    Sebaliknya, apabila siswa memiliki kemampuan regulasi diri yang rendah maka

    prestasi belajarnya akan rendah.

    Regulasi diri dalam belajar sering diistilahkan dengan sebutan self-regulated

    learning. Dalam penelitian ini, Self-regulated learning yang dimaksud adalah self-

    regulated learning yang digunakan sebagai makna individual, sebuah dorongan

    dari dalam individu untuk dapat mengelola dirinya dengan baik sehingga siswa

    bisa menentukan cara terbaik dalam mencapai tujuannya. Sebagaimana yang

    diungkapkan oleh Santrock bahwa self-regulated learning berkaitan dengan

    pemantauan diri baik pikiran, perasaan ataupun tindakan yang terencana untuk

    dapat mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan akademik, misalnya

    meningkatkan pemahaman terhadap suatu materi yang diberikan oleh guru, atau

    tujuan sosioemosional, misalnya mampu mengontrol amarah.17

    Kemampuan self-regulated learning pada siswa tidak akan terjadi begitu saja

    tanpa adanya proses-proses yang dilakukan oleh siswa. Menurut Zimmerman,

    siswa yang mencapai kemampuan self-regulated learning adalah siswa yang telah

    15 Alfiana, h. 246. 16 John W. Santrock, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2017), h. 296. 17 Santrock, h. 296.

  • 9

    melakukan proses-proses sebagai berikut: forethought (memikirkan masa depan)

    yang berkaitan dengan tujuan dan rencana-rencana, performance (kinerja

    pelaksanaan) yang berkaitan dengan perilaku-perilaku yang muncul setelah

    memiliki tujuan dan rencana, dan self-reflection (refleksi diri) yang berkaitan

    dengan penilaian diri, evaluasi diri, dan reaksi diri serta kepuasan diri.18 Ketiga

    siklus itu merupakan proses yang terus menerus berulang-ulang secara tetap dan

    teratur dan saling berkaitan. Untuk menstimulus terjadinya proses-proses tersebut,

    maka diperlukan sebuah metode yang tepat. Salah satu metode yang bisa

    digunakan adalah dengan muḥāsabah diri.

    Dalam tasawuf, muḥāsabah dapat diartikan sebagai upaya untuk menghitung

    diri, evaluasi, atau introspeksi diri. Menurut Imam Al-Ghazali, hakikat

    muḥāsabah adalah mengevaluasi perbuatan yang telah lalu dan pengendalikan diri

    terhadap perbuatan yang akan datang.19 Muḥāsabah bukan hanya sekadar

    merenung, melakukan introspeksi, dan mawas diri, tapi juga kemudian melakukan

    perbaikan, dan meningkatkan prestasi semaksimal mungkin.20 Seseorang yang

    melakukan muḥāsabah, maka ia akan berusaha melakukan perbaikan diri yang

    kemudian membuat perencanaan-perencanaan tentang perbuatan apa saja yang

    sebaiknya dilakukan di waktu mendatang.

    Muḥāsabah sebagai sebuah metode berarti muḥāsabah dijadikan sebagai

    sebuah cara, dalam hal ini, untuk meningkatkan kemampuan regulasi diri dalam

    belajar (self regulated learning). Dalam praktiknya, muhasabah itu sendiri

    dilakukan dengan cara-cara tertentu. Menurut Imam Al-Ghazali, ada enam

    langkah awal yang harus dijalani, yaitu perjanjian dengan diri, pengawasan

    terhadap diri, perhitungan/pemeriksaan diri, penghukuman diri, perjuangan dalam

    melawan hawa nafsu dan menegur diri.21 Enam langkah muḥāsabah tersebut,

    18 Barry J Zimmerman, “Becoming a Self-Regulated Learner : An Overview,” Theory Into

    Practice, 41.2 (2002). Diunduh pada 12 November 2019, dari http://tandfonline.com/, h. 67. 19 Imam Al-Ghazali, Taman Kebenaran Spiritual Mencari Jati Diri Menemukan Tuhan (Jakarta:

    Turos Khazanah Pustaka Islam, 2017), h. 235. 20 Saifuddin Bachrun, Manajemen Muhasabah Diri (Bandung: Mizania, 2011), h. 35. 21 Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumiddin (Depok: Keira, 2018), h. 478.

  • 10

    dalam siklus milik Zimmerman untuk meningkatkan self regulated learning, mirip

    dengan apa yang dinamakan self reflection, yaitu refleksi diri.

    Setelah seseorang melakukan enam langkah awal tadi dalam muḥāsabah,

    maka orang tersebut akan dapat mengetahui dan sadar tentang baik buruknya apa

    yang telah dilakukan, sehingga akan terdorong untuk melakukan koreksi dan

    perbaikan-perbaikan.22 Dengan adanya dorongan untuk melakukan perbaikan,

    maka ia akan menentukan tindakan-tindakannya ke depan dengan cara

    menetapkan rencana-rencana. Artinya, ketika seseorang memiliki dorongan untuk

    melakukan pebaikan-perbaikan maka akan menstimulus terjadinya proses

    forethought (memikirkan masa depan). Setelah melakukan koreksi dan perbaikan-

    perbaikan diri untuk masa yang akan datang, maka kemudian seseorang akan

    melakukan tindakan nyata atau istilah Zimmerman disebut sebagai Performance

    (Kinerja Pelaksanaan).

    Pada akhirnya, jika muḥāsabah dilakukan oleh siswa kemudian muḥāsabah

    tersebut dapat menstimulus terjadinya proses-proses self reflection, forethought,

    dan performance tadi, maka muḥāsabah dapat meningkatkan kemampuan self-

    regulated learning. Seseorang yang memiliki self-regulated learning mempunyai

    kemandirian untuk mengatur dan mengelola kegiatan belajarnya,23 yaitu berupa

    mampu me-manage waktu, mengerjakan tugas tepat waktu, masuk sekolah tepat

    waktu, selalu mengikuti kegiatan yang ada di sekolah, dan lain sebagainya.

    Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa muḥāsabah itu, sebagaimana

    menurut Azyumardi Azra, sangat penting dalam kehidupan manusia, agar

    manusia memiliki kesadaran atas segala perbuatannya, tentunya dengan kesadaran

    itu lahir keinginan untuk memperbaiki diri dengan cara melakukan kebaikan-

    kebaikan dan mendekatkan diri pada Tuhannya. Seseorang yang melakukan

    muḥāsabah dengan baik dan benar akan lebih bijak dan lebih mampu mengatur

    dirinya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.24 Artinya bahwa muḥāsabah jika

    22 Bachrun, h. 35. 23 Azmi, h. 400. 24 Azra, h. 882.

  • 11

    dilakukan oleh siswa, maka dapat meningkatkan kemampuan self-regulated

    learning pada siswa tersebut.

    F. Problem Statements

    Setiap siswa di sekolah pasti dihadapkan dengan sejumlah tugas dan kegiatan

    yang harus dilakukan serta aturan-aturan yang harus dipatuhi. Untuk dapat

    memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada di sekolah, siswa harus memiliki

    kemampuan self-regulated learning (kemampuan mengatur diri dalam belajar).

    Namun pada kenyataannya, tingkat kemampuan self-regulated learning siswa

    berbeda-beda, dan masih terdapat siswa yang memiliki self-regulated learning

    yang rendah. Dalam rangka meningkatkan kemampuan self-regulated learning

    siswa, SMA Plus Al-Ghifari mengadakan program hidden curriculum, salah

    satunya adalah muḥāsabah yang dilakukan satu kali dalam setiap semester.

    G. Hasil Penelitian Terdahulu

    Pada fokus penelitian ini, ada beberapa tinjauan pustaka yang dijadikan

    rujukan dalam memberikan informasi terkait penelitian yang akan diteliti. Pada

    bagian ini akan dikaji dan ditelaah beberapa karya ilmiah yang memiliki relevansi

    dengan skripsi yang akan diteliti, di antaranya adalah:

    1. Penelitian yang dilakukan oleh Ardimen dan kawan-kawan dengan judul

    “Model Bimbingan Kelompok dengan Pendekatan Muḥāsabah”

    menyatakan bahwa Penelitiannya merupakan studi literatur untuk

    merumuskan inovasi sebuah model bimbingan konseling dengan

    pendekatan muḥāsabah. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa model

    bimbingan konseling dengan pendekatan muḥāsabah dapat memfasilitasi

    perkembangan individu secara optimal dan komprehensif dalam berbagai

    aspek perkembangan diri individu meliputi identitas diri, konsep diri,

    keyakinan diri, regulasi diri, integritas diri, penyesuaian diri, motivasi diri,

    motivasi berprestasi, komitmen religius, dan sikap optimis, yang kemudian

    individu tersebut mampu menghadapi tantangan perubahan dalam

  • 12

    kehidupannya.25 Selaras dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu

    tentang muḥāsabah. Namun, kali ini akan dikaji secara lebih khusus terkait

    muhasabah sebagai metode dalam meningkatkan salah satu aspek

    perkembangan diri, yaitu self-regulated learning.

    2. Skripsi yang ditulis oleh Siti Shahilatul Arasy dengan judul “Urgensi

    Muḥāsabah (Introspeksi Diri) di Era Kontemporer” menyatakan bahwa

    muḥāsabah tidak berhenti hanya pada melakukan autokritik terhadap diri,

    tetapi lebih dari itu memerlukan kesadaran futuristik, memiliki tujuan

    masa depan yang jelas dan mampu mengimplementasikan dengan tindakan

    nyata. Muḥāsabah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan mampu

    menyadarkan seseorang tentang kelebihan dan kekurangannya, sehingga

    dapat beradaptasi dan menjalani hidup dengan teratur serta berupaya

    untuk menjadi lebih baik. 26 Skripsi tersebut menjelaskan dan menguraikan

    bagaimana urgensi muḥāsabah di era kontemporer dengan menggunakan

    studi literatur atau library research, sedangkan dalam penelitian ini akan

    diuraikan bagaimana peran muḥāsabah pada siswa dengan menggunakan

    penelitian lapangan atau field research..

    3. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Nur Rachman dengan judul “Regulasi

    Diri dalam Belajar pada Mahasiswa yang Memiliki Peran Banyak”

    menemukan bahwa self-regulated learning pada mahasiswa dipengaruhi

    oleh kesadaran mahasiswa tersebut akan peran-perannya yang banyak

    sehingga dengan kesadaran itu ia dapat mengatur dirinya untuk bisa

    memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada sebagaimana perannya. Selain itu,

    faktor lain yang memengaruhi self regulated learning adalah kepribadian

    individu, nilai-nilai budaya dan agama, motivasi, keyakinan diri, dan

    25 Ardimen et al., “Model Bimbingan Kelompok dengan Pendekatan Muhasabah,” Ta’dibuna:

    Jurnal Pendidikan Islam, 8.2 (2019). Diunduh pada 14 November 2019, dari http://ejournal.uika-

    bogor.ac.id/ 26 Siti Shahilatul Arasy, “Urgensi Muhasabah (Introspeksi Diri) di Era Kontemporer,” 2014.

    Diunduh pada 27 November 2019, dari http://digilib.uin-suka.ac.id/

  • 13

    situasi yang menstimulus adanya proses regulasi.27 Jika penelitian tersebut

    berusaha mencari faktor-faktor yang mempengaruhi self-regulated

    learning pada mahasiswa, maka pada penelitian kali ini berusaha meneliti

    secara mendalam tentang salah satu upaya dalam meningkatkan self-

    regulated learning pada siswa, yaitu dengan muḥāsabah.

    27 Dwi Nur Rachmah, “Regulasi Diri dalam Belajar pada Mahasiswa yang Memiliki Peran

    Banyak,” Jurnal psikologi, 42.1 (2015). Diunduh pada 12 November 2019, dari

    http://journal.ugm.ac.id/