bab i pendahuluan a. latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri dalam jumlah yang besar. Besarnya jumlah tenaga kerja, tingginya jumlah pengangguran, serta minimnya lapangan kerja yang tersedia di Indonesia menjadi faktor pendukung peningkatan jumlah TKI yang bekerja ke luar negeri. Hal ini menjadi alternatif bagi Indonesia untuk mengurangi persoalan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di dalam negeri. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri ini juga menjadi salah satu sumber devisa yang potensial bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Laporan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia menyatakan bahwa remittance tahun 2013 (hingga bulan November 2013) mencapai Rp 81,34 Triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 11.000 per USD. 1 Berdasarkan data dari BNP2TKI, Saudi Arabia menempati posisi pertama sebagai negara yang menerima TKI sejak tahun 2006 hingga tahun 2011. Meskipun demikian, Saudi Arabia juga menempati posisi pertama sebagai negara dengan tingkat pengaduan TKI yang tinggi. 2 KJRI Jeddah mengatakan bahwa 1 BNP2TKI 2013, “Remitansi TKI Tahun 2013 Capai Rp 81,34 Trilyun”, diakses pada 01 Januari 2013, <http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9227-remitansi-tki-tahun-2013- capai-rp-8134-trilyun.html>. 2 Suprayogi, A 2013, “Malaysia dan Arab Saudi”, Negara Kasus TKI Tertinggi, diakses pada 01 Januari 2014, <http://news.liputan6.com/read/624151/malaysia-dan-arab-saudi-negara- kasus-tki-tertinggi>.

Upload: buihuong

Post on 03-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengirimkan tenaga

kerjanya ke luar negeri dalam jumlah yang besar. Besarnya jumlah tenaga kerja,

tingginya jumlah pengangguran, serta minimnya lapangan kerja yang tersedia di

Indonesia menjadi faktor pendukung peningkatan jumlah TKI yang bekerja ke

luar negeri. Hal ini menjadi alternatif bagi Indonesia untuk mengurangi persoalan

yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di dalam negeri. Pengiriman tenaga kerja

ke luar negeri ini juga menjadi salah satu sumber devisa yang potensial bagi

pertumbuhan perekonomian Indonesia. Laporan dari Badan Nasional Penempatan

dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia

menyatakan bahwa remittance tahun 2013 (hingga bulan November 2013)

mencapai Rp 81,34 Triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 11.000 per USD.1

Berdasarkan data dari BNP2TKI, Saudi Arabia menempati posisi

pertama sebagai negara yang menerima TKI sejak tahun 2006 hingga tahun 2011.

Meskipun demikian, Saudi Arabia juga menempati posisi pertama sebagai negara

dengan tingkat pengaduan TKI yang tinggi.2 KJRI Jeddah mengatakan bahwa

1 BNP2TKI 2013, “Remitansi TKI Tahun 2013 Capai Rp 81,34 Trilyun”, diakses pada 01 Januari

2013, <http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/9227-remitansi-tki-tahun-2013-capai-rp-8134-trilyun.html>.

2 Suprayogi, A 2013, “Malaysia dan Arab Saudi”, Negara Kasus TKI Tertinggi, diakses pada 01

Januari 2014, <http://news.liputan6.com/read/624151/malaysia-dan-arab-saudi-negara-kasus-tki-tertinggi>.

2

kasus yang terjadi di Saudi Arabia pada tahun 2010 sebanyak 1.546 kasus.3 Kasus

yang terjadi tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga seperti kekerasan seksual,

uang gaji yang bermasalah, overstayer, putusnya komunikasi dengan keluarga,

tidak mendapatkan cuti ataupun libur, tidak diberikan akses kesehatan, kasus

pembunuhan, dan berbagai kasus lainnya. Bahkan di Saudi Arabia, tidak jarang

TKI dijatuhi hukuman mati dengan berbagai alasan dan ini mengancam hak hidup

TKI, seperti Yanti Iriyanti pada 12 Februari 2008 dan Ruyati pada 18 Juni 2011.

Migrant Care menyatakan bahwa untuk tahun 2013 terdapat 42 kasus hukuman

mati untuk TKI di Saudi Arabia, dimana 9 kasus diantaranya mendapatkan vonis

tetap hukuman mati dan 33 kasus lainnya masih dalam proses.4

Permasalahan TKI di luar negeri sudah terjadi selama bertahun-tahun,

tetapi sampai saat ini tidak ada solusi nyata agar hak dari para TKI di luar negeri

dapat dijamin. Perlakuan yang melanggar hak asasi manusia ini pada umumnya

terjadi pada TKI yang bekerja di sektor informal, yang pada umumnya bekerja

sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT), supir, tukang kebun,

pramuniaga, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan keahlian

yang dimiliki, minimnya kemampuan bahasa untuk berkomunikasi, serta tidak

pahamnya terhadap aturan dan budaya di Saudi Arabia sering menjadi kendala

yang sangat besar bagi para TKI. Tidak hanya itu saja, pengiriman TKI secara

tidak resmi ini menjadi salah satu pendorong perlakuan yang tidak manusiawi

3 BNP2TKI 2011, “Turun, Penyelesaian Kasus TKI di Arab Saudi”, diakses pada 01 Januari 2014,

<http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/3953-turun-penyelesaian-kasus-tki-di-arab-saudi.html>.

4 Gunawan, R 2013, “Migrant Care: 256 TKI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri”, diakses

pada 02 Januari 2014, <http://news.liputan6.com/read/786508/migrant-care-256-tki-terancam-hukuman-mati-di-luar-negeri>.

3

terhadap TKI, dimana pada umumnya ketidaklengkapan dokumen yang sering

menjadi masalah di kemudian hari.

Permasalahan lain yang harus dihadapi oleh TKI di Saudi Arabia adalah

penerapan sistem Kafala di negara tersebut. Sistem Kafala merupakan

“sponsorship system that regulates residency and employment of the workers in

the Gulf Cooperation Council (GCC) countries” 5 atau “a system used to monitor

the construction and domestic migrant laborers in the Arab States of the Persian

Gulf” 6. Sistem kafala yang berlaku di Saudi Arabia memberikan ketentuan “an

employer assumes responsibility for a hired migrant worker and must grant

explicit permission before the worker can enter Saudi Arabia, transfer

employment, or leave the country. The kafala system gives the employer immense

control over the worker”.7 Dengan sistem ini, para TKI terikat dengan ketentuan

dari majikan yang memperkerjakan mereka. Sistem ini juga memperbolehkan

tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia TKI di Saudi Arabia.

Pembahasan untuk menghapus sistem ini belum dilakukan oleh pemerintah

Indonesia dalam upaya perlindungan TKI.

Pembentukan BNP2TKI merupakan sebuah langkah nyata dalam usaha

perlindungan TKI yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk melindungi TKI.

Tetapi ini juga belum cukup untuk mereduksi tindak kekerasan dan ketidakadilan

yang dialami oleh TKI. Melihat tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk

5 Bajracharya, R, “Kafala or Sponsorship System”, diakses pada 02 Januari 2014,

<http://ceslam.org/mediastorage/files/Kafala%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2%20or%20%C3%A2%E2%82%AC%CB%9CSponsorship%20System%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2.pdf>.

6 Human Right Watch 2008, “As If I Am Not Human” – Abuses Against Asian Domestic Workers in

Saudi Arabia, Human Right Watch, United States of America. 7 Ibid.

4

melindungi dan menjamin hak-hak TKI di Saudi Arabia, maka diplomasi menjadi

salah satu cara mencapainya. Tentunya dalam menghadapi permasalahan ini,

pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan telah ada upaya diplomasi yang

dilakukan untuk melindungi TKI yang mengalami ketidakadilan di Saudi Arabia.

Diplomasi yang telah dilakukan tersebut antara lain telah diadakan pertemuan

pada 28 Mei 2011 oleh Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi dengan Kepala

BNP2TKI yang menghasilkan Statement of Intens (SOI). Dalam pertemuan ini,

terjadi kesepakatan untuk membahas Memorandum of Understanding (MoU)

mengenai perlindungan dan jaminan sosial TKI antara pemerintah Indonesia dan

Saudi Arabia.

Penempatan TKI di Saudi Arabia saat ini sedang masuk kepada masa

moratorium (penghentian sementara) yang diberlakukan sejak 1 Agustus 2011

dengan alasan terlalu tingginya tingkat kasus ketenagakerjaan sampai kepada

tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara tersebut. Langkah

ini merupakan suatu bentuk ketegasan dalam perlindungan hak dari TKI.

Tanggung jawab pemerintah dalam melindungi TKI ditetapkan dalam Undang-

undang Nomor 39 Tahun 2004. Tidak hanya itu saja, Peraturan Pemerintah

Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja di Indonesia di Luar

Negeri juga mewajibkan pemerintah Indonesia untuk tegas dalam pelaksanaan.

Penelitian ini akan memiliki rentang waktu dalam masa moratorium yaitu sejak

Agustus 2011 dimana masa moratorium diberlakukan oleh Indonesia hingga

Februari 2014 yang ditandai dengan penandatanganan MoU antara Indonesia dan

Saudi Arabia terkait perlindungan TKI. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka

5

penulis tertarik untuk meneliti dengan judul “Diplomasi Indonesia terhadap Saudi

Arabia sebagai Negara Penerima Tenaga Kerja Indonesia pada Masa

Moratorium”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan

masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah: Apa yang dilakukan dan yang

belum dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui diplomasi terhadap Saudi

Arabia guna melindungi TKI pada masa moratorium?

C. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai perlindungan terhadap TKI telah banyak dilakukan,

namun dari sekian banyak penelitian yang telah dilakukan, belum ada penelitian

yang membahas mengenai diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia

terhadap Saudi Arabia dalam masa moratorium (penghentian sementara).

Berbagai penelitian yang telah dilakukan terkait perlindungan TKI, sebagian

besar membahas mengenai efektifitas kebijakan yang telah dilakukan oleh

pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu saja, sebagian besar lainnya membahas

mengenai perlindungan terhadap TKI ditinjau dari peran pemerintah dan NGO,

serta membahas permasalahan TKI dilihat dari aspek hukum yang berlaku di

Indonesia.

Fudianti Anggani dalam penelitiannya mengenai kebijakan pemerintah

Indonesia tentang perlindungan TKI dalam pemenuhan hak dasar TKI di luar

6

negeri8 menyatakan bahwa program penempatan TKI di Saudi Arabia menjadi

sebuah prospek yang baik bagi pemerintah Indonesia, dimana menjadi solusi atas

permasalahan pengangguran yang sangat tinggi jumlahnya di Indonesia serta

keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Tetapi di sisi lain, hal ini

memunculkan permasalahan baru dengan berbagai kasus kekerasan yang

menimpa TKI diakibatkan pengguna jasa yang kurang menghargai dan

menghormati hak-hak pekerja. Pemerintah Indonesia tentunya menghadapi

hambatan dalam merealisasikan perlindungan TKI di Saudi Arabia karena adanya

perbedaan landasan hukum yang digunakan di negara tersebut. Saudi Arabia

menganut dasar negara yang mengindikasi bahwa sistem politik yang diakui tidak

mengadopsi hukum internasional, seperti halnya dalam penerapan isu hak asasi

manusia dan gender, karena Saudi Arabia tidak meratifikasi konvensi yang

berkaitan dengan kedua isu tersebut.

Fudianti Anggani juga menyatakan bahwa perlindungan TKI secara

mutlak menjadi tanggung jawab penuh dari pemerintah. Peran negara ini tentunya

membutuhkan koordinasi dalam penangangan kasus TKI tersebut supaya tidak

memunculkan kecenderungan tumpang tindih wewenang dan kewajiban bagi

setiap instansi terkait yang menjadi focal point dari program penempatan TKI di

luar negeri. Kerjasama dengan negara penempatan tidak dapat dikesampingkan

dalam hal ini, karena dengan dialog melalui kerjasama bilateral dapat

menghasilkan agreement dasar yang mengikat secara hukum. Permasalahan

8 Anggani, F 2009, “Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Perlindungan TKI dalam Pemenuhan

Hak Dasar TKI di Luar Negeri (Studi Kasus: TKI di Arab Saudi)”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

7

mengenai TKI ini apabila tidak diselesaikan sesegera mungkin maka dapat

memicu munculnya konflik dalam hubungan bilateral.

Diplomasi bilateral memiliki peranan yang penting sebagai upaya

preventif perlindungan TKI di luar negeri guna tercapainya keberadaan “bilateral

agreement” antara negara pengirim dan negara penerima di bidang

ketenagakerjaan, hingga pengguna jasa TKI dapat menghargai hak-hak dasar dari

TKI. Tidak hanya itu saja, perbaikan tentunya harus dilakukan di dalam negeri,

seperti misalnya apabila pemerintah menginginkan negara penerima menaikkan

upah, maka kualitas dan kemampuan dari TKI tentu juga harus ditingkatkan.

Kebijakan dan peraturan domestik yang telah dirumuskan oleh pemerintah

Indonesia dijadikan prinsip dan dasar dalam proses penempatan TKI di luar

negeri. Kebijakan dan peraturan ini harus mampu memberikan kontribusi

perlindungan bagi keselamatan dan kesejahteraan TKI, walau diakui sangat sulit

untuk dapat membuat serta menyusun suatu peraturan yang dapat memuaskan

semua pihak. Meskipun demikian, pemerintah harus sebisa mungkin

mengakomodasi kepentingan dari semua pihak yang terkait, sedangkan upaya

hukum yang dapat dilakukan apabila terdapat pelanggaran hak TKI saat

penempatan yaitu tunduk pada peraturan negara setempat dengan mengikuti

kedaulatan teritorial suatu negara.

Ahmad Almaududy Amri meneliti mengenai pelaksanaan perlindungan

hukum bagi TKI sektor informal di Saudi Arabia9 menyatakan bahwa

perlindungan hukum terhadap TKI telah dilakukan dengan berbagai upaya oleh

9 Amri, AA 2011, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kerja Indonesia Sektor Informal

di Saudi Arabia”, Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

8

pemerintah Indonesia, dimana diantaranya menyiapkan perangkat hukum dalam

negeri dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait, terdapat upaya pemerintah

melalui perwakilan Indonesia di Saudi Arabia untuk melakukan penyelesaian

secara langsung dengan para pengguna jasa TKI di Saudi Arabia, dan adanya

upaya hukum oleh pemerintah Indonesia melalui pemerintah Saudi Arabia. Tetapi

meskipun demikian, perlindungan TKI di Saudi Arabia, khususnya di sektor

informal belum dapat dilakukan secara maksimal dikarenakan belum adanya

asuransi lokal di Saudi Arabia untuk menjamin keselamatan dari para TKI

tersebut.

Ahmad Almaududy Amri dalam penelitiannya menuliskan bahwa pada

tahun 2002, pemerintah Saudi Arabia melakukan kebijakan baru dalam bidang

ketenagakerjaan, yaitu program Saudisasi. Program Saudisasi merupakan suatu

pembangunan untuk melatih dan mendidik tenaga kerja Saudi Arabia dan

menggantikan para tenaga kerja asing yang ada di Saudi Arabia, dengan target

80% tenaga kerja Saudi Arabia harus sudah mengisi semua sektor lapangan kerja

di Saudi Arabia pada tahun 2012. Kebijakan ini tentunya dapat mengancam

lapangan kerja bagi para TKI dan tentunya dapat mempersempit lapangan kerja di

Saudi Arabia. Tujuan utama dari kebijakan Saudisasi adalah:

1. Meningkatkan lapangan kerja bagi warga negara Saudi Arabia di semua sektor

kegiatan ekonomi.

2. Mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing.

9

3. Menangkap kembali dan mereinvestasi pendapat yang diperoleh para tenaga

kerja asing di Saudi Arabia, yang selama ini dikirimkan sebagai remittance ke

negara asalnya.

Muslan Abdurrahman mengkaji mengenai permasalahan ketenagakerjaan

sebagai sebuah efek diskriminasi hukum dengan melihat banyaknya kasus TKI

illegal terutama yang ada di Malaysia.10

Ia menyatakan bahwa peraturan tentang

penempatan dan perlindungan TKI tidak sejalan dengan peraturan yang telah

ditetapkan melalui Kepmenakertrans Nomor 44 A/MEN/2002 yang kemudian

diganti dengan Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan

dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Kasus TKI illegal atau ketidakpatuhan TKI

dalam menjalankan prosedur resmi dari pemerintah dikarenakan perlakukan

eksploitasi oleh para calo yang pada akhirnya TKI tersebut menjadi permasalahan

baru yang harus ditangani oleh pemerintah. Selain itu, ia juga membahas tentang

hal-hal yang memicu munculnya perilaku ketidakpatuhan dikarenakan

diskriminasi melalui peraturan perundangan tentang penempatan TKI, dimana hal

ini menjadi pemicu dan faktor yang kuat terjadinya kasus TKI illegal.

Berdasarkan penjelasan mengenai beberapa penelitian diatas, peneliti

memandang bahwa penelitian yang selama ini dilakukan terkait dengan

perlindungan TKI lebih berfokus pada kebijakan dan perlindungan hukum, serta

tanggung jawab pemerintah dalam melindungi TKI tersebut. Pada pembahasan

mengenai perlindungan TKI, tidak ada pembahasan mengenai diplomasi yang

dilakukan oleh pemerintah Indonesia, mengingat bahwa diplomasi menjadi suatu

10

Abdurrahman, M 2006, Ketidakpatuhan TKI: Sebuah Efek Diskriminasi Hukum, UMM Press, Malang.

10

jalan untuk mencapai berbagai kepentingan yang ada baik dari negara pengirim

maupun negara penerima. Maka dari itu, hal ini yang membedakan penelitian ini

dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, dimana penelitian ini

pun menggunakan masa moratorium yang diberlakukan untuk penempatan TKI ke

Saudi Arabia sebagai pembeda yang lainnya dan menjadi nilai kebaruan dari

penelitian ini.

D. Kerangka Konseptual

1. Kebijakan Luar Negeri

Holsti memberikan pernyataan mengenai kebijakan luar negeri yaitu

“foreign policy also incorporates ideas that are planned by policy makers in order

to solve a problem or uphold some changes in the environment, which can be in

the forms of policies, attitudes, or actions of another states or states”.11

Dalam

buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia,

politik luar negeri didefinisikan sebagai suatu kebijakan yang diambil oleh

pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha

untuk mencapai tujuan nasional. Melalui politik luar negeri, pemerintah

memproyeksikan kepentingan nasional ke dalam masyarakat antar bangsa.12

Kepentingan nasional dari Indonesia adalah kepentingan bangsa Indonesia dalam

mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia, adalah Negara

Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur berdasarkan

Pancasila. Tujuan Nasional dari Indonesia adalah melindungi segenap bangsa

11

Holsti, KJ 1983, International Politics, A Framework for Analysis, Prentice Hall, London. 12

Sabir, M 1987, Politik Bebas Aktif: Tantangan dan Kesempatan, CV. Haji Masagung, Jakarta.

11

Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kebijakan luar negeri dibutuhkan oleh sebuah negara dalam

perjalanannya, karena suatu negara tentu akan berinteraksi dengan negara lain,

sehingga perlu dimiliki pedoman dasar sehingga mampu mencegah konflik yang

dapat merusak hubungan diplomatik dengan negara lainnya. Kebijakan luar negeri

dalam prosesnya dibagi mejadi tiga ruang lingkup, yaitu: pengaruh kebijakan luar

negeri (the influences of foreign policy), pembuatan kebijakan luar negeri (the

making of foreign policy), dan implementasi kebijakan luar negeri (the

implementation of foreign policy).13

Konsep dasar dalam pembuatan kebijakan

luar negeri adalah:14

1. Pembuat kebijakan

2. Tujuan

3. Prinsip

4. Kekuasaan untuk melaksanakan

5. Konteks dimana kebijakan luar negeri dirumuskan dan diimplementasikan.

Barston menyatakan bahwa dalam penetapan sebuah kebijakan luar negeri,

pemerintah suatu negara perlu memperhatikan perubahan yang terjadi di

lingkungan domestik maupun lingkungan internasional.15

Faktor internal atau

domestik menyangkut lokasi, latar belakang sejarah, budaya, organisasi,

13

Dawisha, A 1983, Islam in Foreign Policy, Cambridge University Press, London. 14

Dugis, V 2007, Analysing Foreign Policy, dalam Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. 20 (2); pp. 41 – 52. 15

Barston, RP 1989, Modern Diplomacy, Longman, London and New York.

12

kepentingan-kepentingan organisasi non-pemerintahan, stabilitas domestik,

pengaruh ekonomi, dan kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal mencakup

bentuk struktur yang berlaku di dalam sistem internasional, bentuk hubungan

lokal dan regional, pergerakan mata uang internasional, kebijakan negara tetangga

yang memiliki power yang kuat atau bekerjanya institusi internasional, serta

pengaruh transnasional.

Dalam pembahasan penelitian, kebijakan luar negeri akan lebih berfokus

pada pembuatan kebijakan luar negeri, dimana hal ini dibutuhkan dalam

merumuskan MoU ataupun Agreement antara pemerintah Indonesia dan

pemerintah Saudi Arabia yang dihasilkan melalui diplomasi bilateral. Dengan

berdasarkan pada tujuan nasional dari Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa

Indonesia dan tumpah darah Indonesia, maka pemerintah dapat menggunakan hal

ini sebagai landasan untuk mengadakan perjanjian dengan Saudi Arabia. Dalam

konteks ini, kepentingan dari Indonesia adalah melindungi TKI yang bekerja di

Saudi Arabia dan dapat merespon setiap kondisi yang terjadi di Saudi Arabia

(kondisi internasional) dan kondisi internal bangsa (kondisi nasional) melalui

kebijakan luar negeri yang akan dirumuskan. Dengan kebijakan luar negeri yang

tepat, maka pemerintah dapat mencapai tujuan dan kepentingannya untuk

melindungi TKI yang mengalami ketidakadilan di Saudi Arabia.

2. Diplomasi

Diplomasi sangat dibutuhkan dalam hubungan internasional, dimana

interaksi dari negara-negara yang sering terjadi menjadikan diplomasi sebagai

13

salah satu cara dalam hubungan tersebut. Diplomasi juga merupakan cara untuk

pelaksanaan politik luar negeri sebuah negara. Diplomasi merupakan komunikasi

yang dilakukan suatu negara-bangsa untuk mencapai kepentingan nasionalnya,

dimana diplomasi adalah “metode”-nya.16

Dari perspektif negara, diplomasi

merupakan proses implementasi politik luar negeri yang dilakukan melalui

korespondensi, pertukaran pandangan, lobi, kunjungan, maupun ancaman. 17

Untuk mencapai kepentingan Indonesia dalam konteks perlindungan TKI yang

berada di Saudi Arabia, maka Indonesia perlu melakukan diplomasi dengan

pemerintah Saudi Arabia.

Dalam mengimplementasikan diplomasi oleh suatu negara dapat dilakukan

melalui beberapa bentuk, yaitu:18

1. Direct Telecommunication

Direct telecommunication merupakan diplomasi yang dilakukan dengan

cara berkomunikasi secara langsung antar negara yang bersangkutan melalui

siaran radio, televisi, telepon, faximile, ataupun email.

2. Bilateral Diplomacy

Bilateral diplomacy merupakan komunikasi yang dilakukan dengan

melibatkan dua negara yang memiliki kepentingan di dalamnya. Bentuknya dapat

berupa negosiasi, pertemuan formal, lobi, ataupun representasi.

3. Multilateral Diplomacy

Diplomasi jenis ini melibatkan banyak negara di dalamnya. Diplomasi

multilateral banyak bermunculan dan digunakan dalam hubungan internasional. 16

Roy, SL 1995, Diplomasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 17

Barston, RP 1989, Modern Diplomacy, Longman, London and New York. 18

Berridge, GR 2005, Diplomacy Theory and Practice, Palgrave Macmillan, London.

14

Diplomasi multilateral terefleksi melalui organisasi-organisasi internasional,

seperti PBB, IMF, ataupun organisasi internasional lainnya yang melibatkan

banyak negara didalamnya.

4. Summitry

Summitry merupakan bagian dari diplomasi multilateral yang

menempatkan diplomasi pada konferensi tingkat tinggi, dimana diwakili oleh

Perdana Menteri atau Presiden. Summitry terkadang dapat menggagalkan

diplomasi dan selalu beresiko, dan mungkin hanya melayani tujuan propaganda

asing dan domestik.

5. Mediation

Mediasi merupakan bentuk khusus dari negosiasi yang dibentuk untuk

memberikan penyelesaian dari sebuah konflik. Dalam negosiasi ini, peranan

khusus dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dengan konflik

yang bersangkutan. Perubahan dalam tatanan politik global akhir-akhir ini

membuat diplomasi juga mengalami perubahan, terutama di dalam aktor yang

terlibat dalam diplomasi. Pada abad 21 ini, diplomasi tidak lagi mutlak dilakukan

oleh pemerintah saja, tetapi terdapat aktor-aktor non-pemerintah yang juga dapat

terlibat langsung di dalam diplomasi. Perubahan aktor-aktor dalam diplomasi

dikenal dengan istilah multi-track diplomacy yang dibagi menjadi 9 bagian, yaitu:

Track One: Goverment; Track Two: Nongoverment/Professional; Track Three:

Business; Track Four: Private Citizen; Track Five: Research, Training, and

15

Education; Track Six: Activism; Track Seven: Religion; Track Eight: Funding;

Track Nine: Communication/Media.19

Meskipun yang bertanggung jawab penuh dalam melakukan diplomasi

guna melindungi TKI dari pelanggaran hak asasinya adalah pemerintah, tetapi

pemerintah juga dapat melibatkan pihak swasta yang juga mengambil andil dalam

perekrutan dan penempatan TKI di luar negeri, sehingga pihak ini dapat

membantu pemerintah untuk mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, diplomasi

yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini lebih kepada diplomasi bilateral

antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Saudi Arabia. Keberhasilan

diplomasi Indonesia dalam menghasilkan Statement of Intent telah meningkatkan

posisi tawar Indonesia terhadap Saudi Arabia. Diplomasi menjadi sangat penting

terutama dalam pembahasan MoU penempatan dan perlindungan TKI di Saudi

Arabia dan juga dalam Senior Official Meeting, karena keberhasilan diplomasi

yang dilaksanakan akan menentukan hubungan bilateral Indonesia dan Saudi

Arabia kedepannya. Diharapkan kedua negara ini dapat menemukan jalan keluar

dari permasalahan TKI yang telah terjadi selama bertahun-tahun, tanpa

melibatkan pihak ketiga ataupun organisasi internasional di dalamnya.

3. Human Security

Gagasan mengenai human security ditekankan dengan jelas dalam Laporan

UNDP mengenai Human Development Report of the United Nations yang

memberikan definisi “the concept of security must change-from an exclusive

19

Diamond, L & McDonald, J 1996, Multi-track Diplomacy: A Systems Approach to Peace, Kumarian Press, Connecticut.

16

stress on national security to a much greater stress on people security, from

security through armaments to security through human development, from

territorial to food, employment, and environmental security”.20

Melalui konsep ini

dapat dilihat terjadinya pergeseran paradigma mengenai keamanan di dalam

negara dan hubungan internasional. Terdapat tujuh komponen human security

menurut UNDP, yaitu keamanan ekonomi (economic security), keamanan pangan

(food security), keamanan kesehatan (health security), keamanan lingkungan

hidup (environment security), keamanan personal (personal security), keamanan

komunitas (community security), dan keamanan politik (political security).

Pemenuhan ketujuh komponen dalam human security ini merupakan tanggung

jawab penuh pemerintah setiap negara.

Barbara Von Tigerstorm mengatakan bahwa kehadiran konsep human

security adalah sebagai perluasan konsep keamanan tradisional yang semula

berorientasi pada keselamatan dan keutuhan negara yang bergeser pada

perlindungan dan jaminan keamanan individu atau yang disebut “people centre

approach”.21

Meskipun konsep dari human security menitikberatkan kepada

keamanan manusia sebagai individu, tetapi peranan dan keberadaan negara tidak

terlepas dari hal ini. Konsep human security dan keamanan tradisional bukanlah

menjadi dua hal yang terpisah dalam tataran praktis. Jaminan terhadap human

security akan membuat kestabilan dari sebuah negara tetap terjaga, dimana hal ini

didasarkan pada terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar warga negaranya.

20

United Nation Development Program (UNDP), 1994, Human Development Report, Oxford University Press, Oxford.

21 Tigerstorm, BV 2007, Human Security and International Law: Prospects and Problems, Hart

Publishing, Oxford and Portland.

17

Johan Galtung menyatakan bahwa manusia perlu dijamin empat kebutuhan

dasar hidupnya, yaitu keberlangsungan hidup, kesejahteraan, identitas, dan bebas

dari tekanan yaitu bebas dari ancaman kekerasan baik yang bersifat langsung,

kultural, maupun struktural.22

Dengan melihat konsep human security, maka

pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab penuh dalam melindungi para

TKI yang bekerja di luar negeri. Komponen keamanan ekonomi, keamanan

pangan, keamanan kesehatan, dan keamanan personal harus dipenuhi dalam

perlindungan TKI, sehingga TKI yang bekerja di Saudi Arabia dapat menikmati

kesejahteraan hidup sebagai individu. Empat kebutuhan dasar tersebut pun

menjadi dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia, karena sering

sekali hal ini tidak dirampas dari para TKI dengan permasalahan-permasalahan

yang selama ini terjadi.

4. Convention on Protection on Migrant Workers and Their Families

Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB menerima dan mengesahkan

Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Hak Pekerja Migran dan

Anggota Keluarganya. Tujuan utama dari konvensi ini adalah melindungi hak-hak

buruh migran beserta dengan keluarganya. Dalam konvensi ini ingin ditekankan

bahwa buruh migran bukan sebagai komoditas ekonomi, tetapi manusia yang

memiliki hak asasinya yang perlu dihormati dan dilindungi. Konvensi ini

menekankan bahwa seluruh buruh migran dan anggota keluarganya untuk

memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa pembedaan apapun, seperti

22

Galtung, J & Webel, C 2007, Handbooks of Peace and Conflict Studies, Routledge, London and New York.

18

jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politik

atau lainnya, kebangsaan, asal-usul etnis atau sosial, kewarganegaraan, usia,

kedudukan ekonomi, kekayaan, status perkawinan, status kelahiran atau status

lainnya.

Hak-hak yang tercantum dalam ketentuan Konvensi Internasional tentang

Perlindungan atas Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya antara lain:23

1. Hak anti diskriminasi, dimana hak ini berkaitan dengan hak pekerja migran

guna memperoleh hak yang diatur dalam konvensi ini tanpa diskriminasi, baik

jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, kepercayaan, etnis, dan

sebagainya.

2. Hak hidup

3. Hak bebas dari kekerasan, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.

4. Kebebasan untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

5. Hak berpendapat.

6. Hak untuk bebas bekerja.

7. Hak keamanan pribadi dan privasi serta komunikasi dengan orang lain.

8. Perlindungan yang baik dalam proses kerja.

9. Hak atas perawatan kesehatan.

10. Hak atas pendidikan berdasarkan persamaan perlakuan dengan warga negara

dari negara yang bersangkutan.

11. Hak untuk berlibur, dan sebagainya.

Konvensi ini mengecualikan orang-orang yang berada di luar negeri tetapi

sebagai pekerja atau buruh, misalnya orang-orang yang bekerja pada organisasi

atau badan-badan internasional, atau oleh suatu negara, yang prosedurnya diatur

dalam hukum internasional atau berdasarkan perjanjian negara masing-masing.

Buruh migran juga tidak berlaku bagi penanam modal yang berada di negara lain,

pengungsi atau orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, pelajar, dan pelaut

serta buruh pada instansi lepas pantai yang belum diterima untuk bertempat

tinggal. Indonesia telah menandatangani konvensi ini pada tanggal 22 September

23

Lihat, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 45/158 tertanggal 18 Desember 1990.

19

2004 dan meratifikasi konvensi tersebut pada 2 Mei 2012. Dengan meratifikasi

konvensi ini, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak setiap

buruh migran Indonesia yang ada di luar negeri, tidak hanya itu saja, tetapi juga

melindungi kepentingan negara penerima buruh migran terkait dengan

pembatasan akses kategori pekerjaan guna melindungi warga negaranya.

E. Argumen Utama

Berdasarkan kerangka konseptual yang telah diuraikan diatas, maka yang

menjadi argumen utama dari penulis adalah dalam rangka perlindungan TKI di

Saudi Arabia, pemerintah Indonesia telah melakukan diplomasi terhadap

pemerintah Saudi Arabia, yaitu dengan diadakannya pertemuan Indonesia dan

Saudi Arabia yang menghasilkan Statement of Intens (SoI) serta telah

ditandatanganinya MoU antara Indonesia dengan Saudi Arabia untuk

perlindungan TKI. Selain itu, telah dilaksanakan juga beberapa SOM lainnya

terkait perlindungan TKI di Saudi Arabia. Meskipun demikian, masih terdapat

hal-hal yang tidak dilakukan Indonesia melalui diplomasi, yaitu tidak melakukan

diplomasi untuk penghapusan sistem Kafala yang ada di Saudi Arabia dan tidak

mempercepat penandatanganan MoU untuk dapat melindungi TKI yang masih

ada di Saudi Arabia selama masa moratorium. Selain itu, pemerintah Indonesia

belum dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi oleh TKI di Saudi

Arabia selama masa moratorium.

20

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu mengidentifikasi

permasalahan yang menyangkut diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia

dalam rangka perlindungan TKI di Saudi Arabia. Penelitian ini menggunakan

analisis data deskriptif dengan ditunjang teori-teori yang mendukung fakta yang

ada dan sedang berlangsung yang kemudian disusun dan dianalisis dalam sebuah

pembahasan yang sistematis.

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi

kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui

dokumen resmi dari Kementerian Luar Negeri serta berbagai sumber lainnya,

seperti buku, jurnal, surat kabar, annual review, dan media lainnya yang relevan

dengan penelitian ini yaitu mengenai diplomasi Indonesia terkait perlindungan

TKI di Saudi Arabia pada masa moratorium. Tidak hanya itu saja, teknik

pengumpulan data lainnya dilakukan melalui wawancara kepada pihak yang

memiliki otoritas terkait dengan penelitian ini, seperti Direktorat Perlindungan

Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri

dan BNP2TKI. Data yang telah dikumpulkan kemudian akan dianalisis untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang pada akhirnya dapat menghasilkan

kesimpulan penelitian berdasarkan temuan data tersebut.

21

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab, dimana pembahasan dalam masing-

masing bab akan dijelaskan secara rinci dalam sub-sub bab. Adapun sistematika

penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

tinjauan pustaka, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi

penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM TENAGA KERJA INDONESIA DI SAUDI

ARABIA

Bab ini berisi tentang kondisi TKI yang ada di Saudi Arabia dan

permasalahan yang dihadapi, serta kebijakan yang diterapkan oleh

pemerintah Indonesia dalam melindungi dan menyelesaikan

permasalahan TKI di Saudi Arabia.

BAB III DIPLOMASI YANG DILAKUKAN INDONESIA TERKAIT

PERLINDUNGAN TKI DI SAUDI ARABIA PADA MASA

MORATORIUM

Bab ini berisi tentang diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia baik untuk menyelesaikan permasalahan TKI yang terjadi di

Saudi Arabia maupun diplomasi preventif untuk merumuskan

perjanjian dalam rangka perlindungan TKI di masa mendatang.

22

BAB IV HAL YANG BELUM DILAKUKAN INDONESIA DALAM

MELINDUNGI TKI DI SAUDI ARABIA DAN TANTANGAN

YANG DIHADAPI

Bab ini berisi tentang hal-hal yang belum dilakukan oleh pemerintah

Indonesia selama masa moratorium guna melindungi TKI di Saudi

Arabia serta tantangan dan kendala dalam melakukan diplomasi dengan

pemerintah Saudi Arabia sehingga hal-hal tersebut belum dapat

dilakukan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian mengenai

diplomasi Indonesia terhadap Saudi Arabia pada masa moratorium dan

juga berisi saran terkait penelitian ini.