bab i pendahuluan a. latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/73420/potongan/s1...rt-pcr...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Protein merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
menjalankan fungsi pertumbuhan dan metabolisme (Young, 2001; Pencharz, 2012).
Protein sebagian besar diperoleh dari makanan berasal dari hewan. Seiring
meningkatnya kebutuhan dan kesadaran masyarakat tentang manfaat gizi, kebutuhan
pangan asal pangan hewan dari hari ke hari semakin meningkat. Salah satu bahan
pangan yang digemari adalah daging dan produk olahannya, seperti bakso. Hal ini
dikarenakan, selain mempunyai cita rasa yang enak, mengandung protein dalam jumlah
yang tinggi, terutama asam amino essensial yang tidak dapat dihasilkan sendiri oleh
tubuh (FAO/WHO, 2000). Untuk mencukupi kebutuhan masyarakat tersebut, harus
dipikirkan tentang pengadaan produk protein hewani secara cerdas, sehat, produktif,
dan aman, sehingga kualitas dari sumber daya manusia di Indonesia juga dapat
meningkat.
Pengadaan produk protein hewani tentunya tidak hanya difokuskan dari segi
kuantitasnya saja, tetapi juga segi kualitas, terutama keamanannya. Keamanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk pencegahan pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan bahan lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (PP RI, 2004). Pemerintah
merealisasikan penyediaan daging yang aman dengan menetapkan slogan daging
2
ASUH, yakni aman, sehat, utuh dan halal. Aman berarti daging tidak mengandung
bahaya yang dapat menimbulkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia. Sehat
berarti daging memiliki zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh.
Utuh berarti daging tidak dikurangi atau dicampur dengan bagian lain dari hewan
tersebut atau bagian dari hewan lain. Halal berarti hewan dipotong dan ditangani sesuai
syariat agama Islam. Pangan halal didefinisikan sebagai bahan pangan yang tidak
mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam serta
pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam (DEPAG RI, 2001).
Adanya peraturan dan undang-undang yang mengatur keamanan dari produk
pangan tersebut, seharusnya dapat menimbulkan rasa aman dari konsumen dalam
mengkonsumsi daging atau produk olahannya. Namun, pemalsuan produk olahan
daging ternyata masih sering kita dengar sampai saat ini. Salah satu modus yang
dilakukan adalah mencampurkan daging hewan lain dalam pembuatan produk olahan
untuk menekan biaya produksi, sehingga didapat produk yang mirip.
Banyak kasus yang diangkat tentang pemalsuan ini di berbagai wilayah tanah
air, salah satunya adalah pencampuran daging sapi dengan daging tikus. Tikus
merupakan hewan pengerat yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, mulai
dari tikus rumah (Rattus rattus), tikus sawah (Rattus argentiventer), dan tikus
laboratorium (Rattus novergicus). Pada umumnya, tikus dianggap sebagai hewan yang
merugikan, karena sering merusak hasil pertanian dan perkebunan (Singleton, 1997)
dan sebagai vektor dari berbagai macam penyakit. Penyakit tersebut meliputi
leptospirosis (Leptospira interogans), pes (Yersina pestis) (Anonim, 2012), rat bite
3
fever (Streptobacillus monilliforme) (Elliott, 2007). Pencampuran daging secara ilegal
juga dapat dikategorikan dalam tindak penipuan konsumen yang dapat dibawa ke ranah
hukum. Kesimpulan dari uraian diatas adalah produk olahan dengan campuran daging
tikus berpotensi membahayakan kesehatan sehingga perlu dikembangkan metode
deteksi agar tidak dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, teknik deteksi dan
identifikasi jenis hewan menjadi sangat penting dalam daging dan produk olahan untuk
mengetahui keaslian produk. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan dan
kehalalan pangan, serta melindungi konsumen dari pemalsuan informasi. Metode
analisis yang akurat dengan prosedur sederhana dan cepat sangat diperlukan untuk
pelabelan sumber organisme produk daging.
Real-Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) adalah suatu metode analisis
yang dikembangkan dari reaksi PCR (Johansson, 2006). Dalam ilmu biologi molekular,
RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR untuk mengamplifikasi (memperbanyak)
sekaligus menghitung (kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi
tersebut (Yepihardi, 2009). RT-PCR memungkinkan dilakukan deteksi dan
kuantifikasi (sebagai nilai absolut dari hasil perbanyakan DNA atau jumlah relatif
setelah dinormalisasi terhadap input DNA) terhadap sekuen spesifik dari sampel DNA
yang dianalisis (Vaerman, 2004). Dibandingkan dengan PCR konvensional, teknik ini
termasuk lebih cepat. Hal ini karena tidak diperlukannya tahap elektroforesis DNA,
serta relatif tidak berbahaya karena penggunaan EvaGreen® dalam pewarnaan DNA
mempunyai tingkat mutagenesis yang lebih rendah daripada Etidium Bromide (EtBr),
yang merupakan senyawa karsinogenik (Burns et al., 2005).
4
Primer BatL 5310 (Forward primer) dan R6036R (Reverse Primer) yang
diadopsi dari penelitian Balakirev dan Rozhnov (2012), dapat digunakan untuk
mengamplifikasi DNA target pada sapi dan tikus. Primer yang mempunyai panjang
masing-masing 23 basa ini, diperkirakan dapat mengamplifikasi 748 bp fragmen gen
cytochrome c oxidase I (COI) yang terdapat dalam mitokondria tikus dan sapi, pada
suatu kondisi yang optimum. Penggunaan mtDNA sebagai target sekuen amplifikasi
dikarenakan mtDNA mempunyai jumlah kopi yang banyak dalam suatu sel, sehingga
keberhasilan amplifikasi dari suatu sampel menjadi lebih baik (Butler, 2005; Galtier et
al., 2009).
Produk PCR biasanya dianalisis menggunakan teknik elektroforesis dan
Melting Curve Analysis (MCA). Akan tetapi, teknik ini tidak cocok digunakan pada
penelitian ini. Teknik MCA mempunyai prinsip pemisahan terutama berdasarkan
panjang basa produk produk PCR, yang mana pada penelitian ini mempunyai panjang
basa yang sama, sehingga tidak dapat digambarkan karakteristik melt-curve sapi dan
tikus dari produk yang diperoleh.
Analisis produk RT-PCR pada penelitian ini dilakukan dengan teknik High
Resolution Melting Analysis (HRMA) yang mempunyai prinsip seperti Melting Curve
Analysis (MCA). Pada teknik ini, produk PCR yang dihasilkan akan dicari kurva
lelehnya dengan perubahan suhu leleh yang sangat kecil (Applied Biosytem, 2010).
Kurva leleh sendiri dipengaruhi oleh panjang basa, persen GC, dan kompleksitas dari
produk PCR. Dengan demikian, produk PCR yang mempunyai panjang produk yang
sama, tetapi mempunyai urutan basa yang berbeda, dapat memberikan kurva leleh yang
5
berbeda akibat terdapat perbedaan persen GC dan kompleksitas dari produk.
Spesifisitas pun dapat diperoleh dengan melihat Tm dari produk yang spesifik pada
kurva turunan melt-peak. Tm produk inilah yang dapat dijadikan dasar dalam analisis
sumber hewan (sapi dan tikus) dari suatu sampel bakso.
Pada penelitian Balakirev dan Rozhnov (2012), primer BatL 5310 dan R6036R
digunakan untuk membuat taksonomi tikus Vietnam dan Sundaland menggunakan
PCR konvensional. Namun, belum ditemukan publikasi ilmiah bahwa primer ini dapat
digunakan untuk mendeteksi daging tikus dalam bakso sapi menggunakan metode
Real-Time PCR yang dikombinasi HRMA. Pada penelitian ini, ingin diketahui apakah
primer BatL dapat digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus (Rattus
argentiventer) dalam bakso dengan metode Hot-Start Real-Time PCR yang
dikombinasikan dengan HRMA.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi optimum yang harus dicapai dalam amplifikasi DNA tikus
dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus sehingga
mendapatkan target amplifikasi yang optimum?
2. Apakah metode Real-Time PCR yang dikombinasi dengan HRMA dengan primer
bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus dapat digunakan untuk
mendeteksi cemaran daging tikus pada produk bakso?
6
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui metode analisis yang dapat mendeteksi cemaran daging tikus
dalam produk olahan pangan daging sapi.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui kondisi optimum yang harus dicapai dalam amplifikasi DNA
tikus dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus,
sehingga didapatkan target amplifikasi yang optimum.
b. Mengetahui metode Real-Time PCR yang dikombinasikan dengan HRMA
dengan primer bertarget gen cytochrome c oxidase I (COI) tikus dapat
digunakan untuk mendeteksi cemaran daging tikus pada produk bakso.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna dalam pengembangan metode deteksi cemaran daging
tikus pada produk olahan daging yaitu bakso, sehingga nantinya dapat diaplikasikan
dalam deteksi daging tikus untuk mengurangi keresahan konsumen tentang keamanan
produk pangan asal daging dengan lebih responsif.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tikus
Tikus termasuk dalam kerajaan Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata,
kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang
7
terdapat di Pulau Jawa yaitu Bandicota indica, Mus caroli, kelompok Mus musculus,
Rattus argentiventer (tikus sawah), R. rattus (tikus rumah), R. exulans, R. tiomanicus
(tikus pohon), dan R. norvegicus (Aplin et al., 2003).
Berdasarkan ukuran dan akses, R. argentiventer, R. rattus, dan R. norvegicus
adalah spesies-spesies yang berpotensi untuk dimanfaatkan dagingnya. Tikus-tikus ini
memiliki bobot yang dapat mencapai 200 g, bahkan R. norvegicus dapat mencapai 500
g (Myers dan Armitage, 2004).
Rattus norvegicus
R. norvegicus dikenal sebagai tikus got, tikus coklat, tikus rumah besar, atau
tikus laboratorium. Jenis tikus ini paling banyak ditemukan di perkotaan, di antara
tempat-tempat tinggal manusia. Tikus ini juga dapat ditemukan di daerah persawahan,
terutama saat masa panen tiba (Prakash, 1988). Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak
digunakan sebagai hewan percobaan (dikenal sebagai tikus putih) dan sebagai hewan
peliharaan dengan warna bervariasi (Baker et al., 1979).
R. norvegicus mempunyai tubuh yang diliputi kulit dan rambut kasar berwarna
kecoklatan (terkadang disertai titik-titik hitam atau putih) yang warnanya semakin
terang mendekati tubuh bagian bawah. R. norvegicus memiliki telinga dan ekor yang
tebal, dengan ukuran panjang ekor lebih pendek dibanding panjang badan. Tikus jenis
ini sering salah dikenali sebagai tikus hitam (Rattus rattus) karena kemiripannya. Akan
tetapi bila diperiksa lebih lanjut, kedua tikus ini dapat dibedakan berdasarkan
kelenturan punggungnya. R. norvegicus memiliki punggung yang kuat dan cenderung
kaku, sementara Rattus rattus lentur (Myers dan Armitage, 2004).
8
Hubungan antara tikus dan manusia yang bersifat mutualisme terjadi pada tikus
albino (Rattus norvegicus Strain Albino) atau mencit albino (Mus musculus Strain
Albino) yang merupakan hewan laboratorium. Jenis tikus ini sering dijadikan hewan
percobaan untuk pengujian obat manusia dan tingkat toksisitas racun hama terhadap
manusia. Tikus dan mencit laboratorium merupakan jenis albino yang kehilangan
pigmen melaninnya, yang mana sifat ini menurun pada anak-anaknya (Barnett dan
Anthony, 2002).
Gambar 1. Rattus norvegicus dewasa (Aplin et al., 2003)
Rattus argentiventer
Rattus argentiventer atau tikus sawah, dikenal sebagai hama utama yang sering
ditemui di suatu persawahan. Hewan ini beradaptasi dengan baik pada daerah yang
tergenang air dan tersembunyi di balik rerumputan tebal. Penyebaran R. argentiventer
adalah daerah Asia Tenggara yang banyak terdapat sawah dan perkebunan. Adanya
sumber makanan yang melimpah menyebabkan pertumbuhan yang cepat, bahkan
kadang tidak mudah untuk dikendalikan (Aplin et al., 2003).
9
Rattus argentiventer berukuran sedang, dengan bulu oranye-coklat dorsal agak
kaku yang kadang mempunyai bercak hitam. Bulu pada perut bervariasi dari warna
putih keperakan sampai abu-abu kusam, dan sering ada coret gelap di sepanjang garis
tengah perut. Moncongnya cukup panjang dengan telinga besar yang berbulu jarang.
Kadang terdapat warna oranye yang berbeda dari bulu, biasanya muncul dari dalam
telinga, meskipun kadang hilang pada pada hewan yang lebih tua. Ekor biasanya lebih
pendek daripada kepala sampai badan dan gelap (Jacob et al., 2003).
Tikus ini kadang salah dikenali dengan Rattus rattus atau tikus hitam yang
sering berada di got, rumah, atau tempat gelap lainnya. Adanya corak kuning di telinga
Rattus argentiventer menjadi pembeda yang jelas diantara keduanya, yang mana pada
Rattus rattus tidak ditemukan hal tersebut (Leung et al., 1999).
Gambar 2. Rattus argentiventer dewasa dari Indonesia (Aplin et al., 2003)
10
2. Metode deteksi cemaran pangan
Tuntutan pengembangan metode deteksi dan identifikasi jenis daging dan
produk olahannya terus meningkat sebagai suatu upaya perlindungan konsumen,
perdagangan dan pelaksanaan undang-undang pelabelan pangan. Teknik identifikasi
jenis daging yang cepat, murah dan akurat sangat diperlukan untuk mengetahui sumber
daging yang digunakan dalam produk olahan. Pencegahan praktek kecurangan
(pemalsuan) dalam produk menjadi bagian penting dalam mengontrol regulasi produk
pangan. Menurut Ballin (2010), pemalsuan atau penipuan daging dan produk
olahannya dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok pemalsuan yang paling
mungkin terjadi yaitu asal daging, substitusi daging, perlakuan pada saat pengolahan
daging dan penambahan bahan lain. Pengelompokan berdasarkan jenis substitusi
daging diantaranya substitusi sumber daging lain, lemak dan protein. Beberapa teknik
analisis identifikasi substitusi daging dan produk olahannya disajikan pada Tabel I.
Suatu organisme hidup mempunyai satu susunan tertentu dari protein atau asam
nukleat, sehingga keragaman protein dari organisme dapat dijadikan alat atau penanda
untuk menelusuri asal-usul atau kekerabatan suatu jenis hewan. Identifikasi suatu jenis
daging dan produk olahannya dapat dilakukan dengan metode berdasarkan pemisahan
fraksi molekul (elektroforesis), metode imunologi (single diffusion, double diffusion,
ELISA = enzym linked immunosorbent assay, RID = radial immunodiffusion, CIE =
counter immunoelectrophoresis), komposisi asam lemak (chromatography gas dan
high performance liquid chromatography). Semua metode tersebut mempunyai
kelemahan yaitu hanya bisa dilakukan dalam bentuk segar (mentah), memerlukan
11
sampel yang cukup banyak dan keakuratan rendah dalam keadaan matang (daging
olahan) (Kesmen et al., 2007).
Tabel I. Berbagai jenis teknik analisis dalam deteksi jenis hewan penghasil
nutrisi (Ballin, 2010)
Substitusi Daging Teknik Analisis
Daging (jenis hewan) ELISA
LC
Isoelectric focusing
Capilary gel electrophoresis
PCR
Real-time PCR
RFLP
RAPD
Sekuensing
SSCA
CSGE
Daging (jaringan) Mid-infrared spectroscopy
ELISA
Lemak (nabati) LC-MS/MS
HPLC
GC-MS
APPI LC-MS/MS
GC-FID
Lemak (hewani) GC
Protein (nabati) HPLC
ELISA
Protein (hewani) Microsphere-based flow cytometric
immunoassay
LC
ELISA
Protein (melamin dan urea) Head space GC-MS
LC-MS/MS
Head space GC-MS
Keterangan: APPI (atmospheric pressure photoionization), CSGE (conformation
sensitive gel electrophoresis), ELISA (enzyme-linked immuno sorbent assay), FID
(flame ionization detector), GC (gas chromatography), HPLC (high performance
liquid chromatography), LC (liquid chromatography), MS (mass spectrometry), PCR
(polymerase chain reaction), RAPD (random amplified polymorphic DNA), RFLP
(restriction fragment length polymorphism).
12
Perkembangan pesat dalam teknologi molekuler memungkinkan teknik analisis
berbasis DNA dan menyebabkan perubahan dalam identifikasi jenis daging yang
biasanya dilakukan identifikasi dari protein. Degenerasi DNA memiliki keuntungan
yang membedakan antara jenis hewan yang berbeda. Dibandingkan dengan protein,
DNA memiliki stabilitas termal yang lebih tinggi, terdapat dalam sebagian besar sel
dan memungkinkan untuk memperoleh informasi tanpa mengetahui jaringan asal.
Metode amplifikasi yang paling populer adalah polimerase chain reaction
(PCR). Teknik PCR mampu membuat target yaitu asam nukleat lebih dari satu miliar
kali lipat dari sampel DNA yang sangat sedikit atau dalam batas deteksi (Nollet dan
Toldrá, 2011). Oleh karena itu, sampel yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan
dengan pengujian berbasis protein. Teknologi DNA (hibridisasi DNA, Polymerase
Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA = PCR-RAPD, PCR-
Restriction Fragment Length Polymorphism = PCR-RFLP, PCR dengan primer
spesifik), merupakan metode yang sangat praktis dan akurat, mempunyai kelebihan
dapat mendeteksi protein yang sudah terdegradasi (matang atau produk olahan) dalam
kandungan yang sangat sedikit (μg) (Nuraini, 2004). Beberapa jenis analisis PCR
digunakan karena mudah mengamplifikasi daerah target dari template DNA dalam
waktu yang lebih singkat sehingga cocok untuk identifikasi daging dan produk olahan
daging.
Identifikasi jenis hewan merupakan salah satu tujuan penggunaan penanda
DNA. Hal ini dilakukan untuk bermacam kepentingan, salah satunya adalah untuk
menghindari terjadinya pencemaran pada produk pangan, sehingga dapat
13
mengidentifikasi suatu bahan yang tidak seharusnya ada. Identifikasi asal daging pada
sampel produk sangat berguna bagi konsumen karena beberapa alasan yaitu
kemungkinan kerugian ekonomi dari substitusi daging tersebut yang termasuk
penipuan produk, terhadap kesehatan individu yang mungkin dapat mengalami alergi
spesifik pada daging tertentu dan alasan keagamaan (Miguel et al., 2004). Deteksi dan
identifikasi daging juga sangat bermanfaat dalam pelabelan produk untuk
menginformasikan keamanan produk bagi konsumen.
3. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in-vitro untuk
menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara menyintesis molekul
DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim
polimerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer. Metode ini berjalan secara
enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu (Buzdin dan Lukyanov, 2007).
Target PCR yaitu asam nukleat (DNA) untai ganda yang diekstraksi dari sel dan
terdenaturasi menjadi asam nukleat beruntai tunggal. Komponen reaksi PCR terdiri
atas template DNA, pasangan primer berupa oligonukleotida spesifik untuk target gen
yang dipilih, enzim (umumnya Taq polymerase, enzim thermostable dan thermoactive
yang berasal dari Thermus aquaticus), larutan penyangga dan trifosfat deoxynucleoside
(dNTP) yang digunakan untuk amplifikasi target gen secara eksponensial dengan hasil
replikasi ganda dari target awal (Muladno, 2010; Gaffar, 2007; Sulistyaningsih, 2007).
Reaksi ini dilakukan dalam suatu mesin pemanas yang diprogram secara otomatis
14
disebut thermocycler. Mesin tersebut menyediakan kondisi termal yang diperlukan
untuk proses amplifikasi (Nollet dan Toldrá, 2011).
a. Template DNA
Template DNA adalah molekul DNA untai ganda yang mengandung sekuen
target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA bukan merupakan faktor utama
keberhasilan PCR. Berapapun panjangnya jika tidak mengandung sekuen yang
diinginkan, maka proses PCR tidak akan berhasil. Namun sebaliknya, jika ukuran DNA
tidak terlalu panjang tapi mengandung sekuen yang diinginkan maka PCR akan
berhasil (Sulistyaningsih, 2007).
Konsentrasi DNA juga dapat mempengaruhi keberhasilan PCR. Jika
konsentrasinya terlalu rendah maka primer mungkin tidak dapat menemukan target dan
jika konsentrasi terlalu tinggi akan meningkatkan kemungkinan mispriming. Perlu
diperhatikan kemurnian template karena akan mempengaruhi hasil reaksi
(Sulistyaningsih, 2007).
b. Primer
Susunan primer merupakan salah satu kunci keberhasilan PCR. Pasangan
primer terdiri dari 2 oligonukleotida yang mengandung 18-28 nukleotida dan
mempunyai 40-60% GC content. Sekuen primer yang lebih pendek akan memicu
amplifikasi produk PCR non spesifik. Ujung 3' primer penting dalam menentukan
spesifisitas dan sensitivitas PCR. Ujung ini tidak boleh mempunyai 3 atau lebih basa
G atau C, karena dapat menstabilkan annealing primer non spesifik. Ujung 3' kedua
15
primer tidak boleh komplementer satu dengan yang lain karena hal ini akan
mengakibatkan pembentukan primer-dimer yang akan menurunkan hasil produk yang
diinginkan. Ujung 5' primer tidak terlalu penting untuk annealing primer, sehingga
memungkinkan untuk menambahkan sekuen tertentu, misalnya sisi restriksi enzim,
start codon ATG atau sekuen promoter (Sulistyaningsih, 2007).
Konsentrasi primer biasanya optimal pada 0,1-0,5 μM. Konsentrasi primer
yang terlalu tinggi akan menyebabkan mispriming (penempelan pada tempat yang tidak
spesifik) dan akumulasi produk non-spesifik, serta meningkatkan kemungkinan
terbentuk primer-dimer. Sebaliknya, bila konsentrasi primer terlalu sedikit maka PCR
menjadi tidak efisien sehingga hasilnya rendah (Sulistyaningsih, 2007).
c. Enzim DNA polimerase
DNA polimerase adalah enzim yang mengkatalisis polimerisasi DNA. Dalam
perkembangannya, banyak digunakan enzim Taq DNA polymerase yang memiliki
keaktifan pada suhu tinggi, sehingga penambahan enzim tidak perlu dilakukan di setiap
siklus dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin (Gaffar, 2007).
Enzim Taq DNA polymerase terdiri atas dua macam yaitu enzim alami yang
diisolasi dari sel bakteri Thermus aquaticus dan enzim rekombinan yang disintesis di
dalam sel bakteri Escherichia coli (Muladno, 2010). Enzim ini masih mempunyai
aktivitas eksonuklease dari 5' ke 3' tetapi tidak mempunyai aktivitas eksonuklease dari
3' ke 5'. Konsentrasi enzim yang dibutuhkan untuk PCR biasanya 0,5-2,5 unit.
Kelebihan jumlah enzim mengakibatkan akumulasi produk non spesifik, sedangkan
16
jika terlalu rendah maka dihasilkan sedikit produk yang diinginkan (Sulistyaningsih,
2007).
d. Larutan buffer
Larutan buffer yang biasa digunakan untuk reaksi PCR mengandung Tris-HCL
10 mM pH 8,3, KCl 50 mM dan MgCl2 1,5 mM. Optimalisasi konsentrasi ion Mg2+
merupakan hal yang penting. Konsentrasi ion ini mempengaruhi beberapa hal yaitu
annealing primer, suhu pemisahan untai template dan produk PCR, spesifisitas produk,
pembentukan primer-dimer serta aktivitas dan ketepatan enzim Taq Polymerase. PCR
harus mengandung 0,5-2,5 μM Mg2+ dari total konsentrasi dNTP. Konsentrasi yang
lebih tinggi akan meningkatkan produk PCR, tetapi menurunkan spesifisitasnya.
Konsentrasi ion ini tergantung pada konsentrasi bahan-bahan yang mengikatnya seperti
dNTP, EDTA dan fosfat (Sulistyaningsih, 2007).
e. Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP)
Deoxynucleotide Triphosphate merupakan material utama untuk sintesis DNA
dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP. Konsentrasi dNTP
yang masing-masing sebesar 20-200 μM dapat menghasilkan keseimbangan optimal
antara hasil, spesifisitas dan ketepatan PCR. Konsentrasi masing-masing dNTP harus
seimbang untuk meminimalkan kesalahan penggabungan. Deoxynucleotide
Triphosphate akan menurunkan Mg2+ bebas, sehingga mempengaruhi aktivitas
polimerase dan menurunkan annealing primer. Konsentrasi dNTP yang rendah akan
meminimalkan mispriming pada daerah non target dan menurunkan kemungkinan
17
perpanjangan nukleotida yang salah. Dengan demikian, spesifisitas dan ketepatan PCR
meningkat pada konsentrasi dNTP yang lebih rendah (Sulistyaningsih, 2007).
Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama yaitu denaturasi
(pemisahan untai ganda DNA), annealing (penempelan primer), dan ekstensi
(pemanjangan primer). Proses yang dimulai dari denaturasi, penempelan dan ekstensi
disebut sebagai satu siklus. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses
elektroforesis dan digunakan untuk analisis lebih lanjut (Weissensteiner et al. 2004).
Produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis gel yang diwarnai dengan etidium
bromida dan divisualisasikan dengan sinar ultraviolet (Nollet dan Toldrá, 2011).
a. Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai
tunggal. Hal ini disebabkan suhu denaturasi yang tinggi yang mengakibatkan putusnya
ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Pada tahap ini, seluruh reaksi
enzim tidak berjalan (Gaffar, 2007). Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90-
95oC selama 3 menit untuk meyakinkan bahwa molekul DNA yang ditargetkan ingin
dilipatgandakan jumlahnya benar-benar telah terdenaturasi menjadi untai tunggal. Pada
denaturasi berikutnya, hanya diperlukan hanya 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik
pada suhu 97oC (Muladno, 2010).
Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sekuen target. Jika sekuen target kaya akan
G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi dan
waktu denaturasi yang terlalu lama mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
18
aktivitas enzim Taq polymerase. Waktu paruh aktivitas enzim tersebut adalah >2 jam
pada suhu 92,5oC, 40 menit pada 95oC dan 5 menit pada 97,5oC (Muladno, 2010;
Sulistyaningsih, 2007).
b. Penempelan primer
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah
spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini, ikatan
hidrogen akan terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada template.
Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50-60oC. Spesifisitas PCR sangat tergantung
pada suhu melting (Tm) primer, yaitu suhu dimana separuh jumlah primer menempel
pada template. Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 5oC di bawah Tm,
yang dihitung dengan formula Tm = 4oC (G+C) + 2oC (A+T). Semakin panjang ukuran
primer, semakin tinggi temperaturnya (Muladno, 2010). Selanjutnya, DNA polimerase
akan berikatan, sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak
akan putus kembali apabila dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya (Gaffar, 2007).
Suhu dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk annealing primer juga tergantung
pada komposisi basa, panjang, dan konsentrasi primer (Sulistyaningsih, 2007).
c. Reaksi polimerisasi
Umumnya reaksi polimerisasi (extension) atau perpanjangan rantai, terjadi pada
suhu 72oC karena merupakan suhu optimum Taq polymerase. Primer yang telah
menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3'nya dengan penambahan
dNTP yang komplemen dengan template oleh DNA polimerase (Gaffar, 2007).
19
Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72oC diperkirakan
antara 35 sampai 100 nukleotida per detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi
garam, dan molekul DNA target. Dengan demikian, untuk produk PCR sepanjang 2000
pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap pemanjangan primer
ini. Biasanya di akhir siklus PCR, waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang
sampai 5 menit, sehingga seluruh produk PCR diharapkan berbentuk DNA untai ganda
(Muladno, 2010).
Gambar 3. Siklus PCR (Gaffar, 2007)
4. Real-Time PCR (RT-PCR)
Real-time PCR merupakan teknologi terkini yang digunakan dalam amplifikasi
DNA. Pada real-time PCR, jumlah DNA yang diamplifikasi dapat langsung teramati
seketika sehingga tidak memerlukan analisis dengan elektroforesis gel untuk
mengetahui produk PCR. Real-time PCR lebih dikenal sebagai quantitative PCR
karena kemampuan analisisnya yang sensitif, spesifik dan reproducible sehingga
mengurangi kesalahan pada hasil (Burns et al., 2005).
ULANG
SIKLUS PENEMPELAN PRIMER
20
Instrumen Real-Time PCR mendeteksi produk PCR dengan mengukur
peningkatan pewarna (dye) fluorescent yang berpendar ketika terikat dengan double-
stranded DNA. Karena sifat inilah maka pertumbuhan fragment DNA hasil amplifikasi
dapat diikuti secara seketika, semakin banyak DNA yang terbentuk semakin tinggi pula
intensitas fluorescent yang dihasilkan. Quantitative PCR dimungkinkan dapat
mendeteksi secara akurat konsentrasi DNA hingga hitungan pikogram atau setara
dengan sel tunggal karena sensitifitas dye yang sangat tinggi. Hasil peningkatan
fluorescent digambarkan melalui kurva amplifikasi yang menunjukkan tiga fasa yaitu
fasa awal, fasa eksponensial atau puncak dan fasa plateau atau stabil (Vaerman, 2004).
Gambar 4. Bentuk kurva pada Real-Time PCR (Bio-Rad, 2006)
Instrument Real-Time PCR memiliki tiga komponen utama yaitu thermal block
cycler sebagai akurasi data, optical system sebagai deteksi data, dan software sebagai
21
analisis data. Real-time PCR juga dapat menganalisis banyak sampel dalam waktu
bersamaan menggunakan multiwell plates (Rocheb, 2008).
Contoh label yang dapat berikatan dengan DNA adalah pewarna (dye) SYBR®
green I dan EvaGreen® dimana label tersebut merupakan label yang tidak spesifik dan
akan berikatan dengan semua jenis DNA untai ganda. EvaGreen® merupakan label
fluoresen yang efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan komponen label kimia
lainnya dan juga mudah digunakan. Penentuan konsentrasi primer yang optimum dapat
dengan mudah dicapai dengan menggunakan EvaGreen® sebagai bahan fluoresen
dibandingkan dengan menggunakan bahan yang lainnya seperti TaqMan dan
Molecular Beacon (Pestana et al., 2010). Akan tetapi, EvaGreen® tidak dapat
membedakan satu DNA dengan DNA yang lainnya, maka penting untuk menganalisis
kurva pelelehan (Melting Curve Analysis) pada akhir pengujian dengan Real-Time PCR
(Pestana et al., 2010).
5. Melting Curve Analysis (MCA)
MCA adalah suatu analisis untuk memperkirakan karakteristik denaturasi DNA
untai ganda menjadi DNA untai tunggal selama mengalami pemanaasan. Suhu dimana
50% dari DNA terdenaturasi dikenal sebagai Tm (melting temperature). Nilai suhu
melting point ini sangat bergantung dari panjang sekuen DNA dan komposisi dari basa
Guanin dan Sitosin pada DNA.
Spesifitas primer dapat ditingkatkan dengan optimasi suhu leleh (melting
temperature) dari fragmen DNA. Optimasi dapat dilakukan dengan Melting Curve
Analysis (MCA). Prinsip MCA adalah perbedaan suhu leleh suatu fragmen DNA yang
22
dipengaruhi oleh panjang dan sekuen dari fragmen tersebut. Bila hanya ada 1 jenis
fragmen DNA untai ganda, maka akan muncul 1 melting curve (Lyon, 2001; Ririe et
al., 1997).
6. High Resolution Melting Analysis (HRMA)
High Resolution Melting Analysis (HRMA) adalah sebuah teknik analisis yang
tergolong baru untuk mendeteksi variasi genetik pada sekuen DNA (Vossen et al.,
2009). Teknik ini merupakan pengembangan dari teknik Melting Curve Analysis
(MCA) yang mempunyai prinsip perbedaan suhu leleh suatu sekuen dari produk PCR.
Teknik ini mulai terkenal sejak ditemukannya dsDNA binding-dye yang lebih baik,
serta didukung alat RT-PCR generasi terbaru dan software analisisnya. HRMA ini
dapat membedakan sekuen DNA berdasarkan komposisinya, panjang, GC content, dan
bentuk komplemen heliksnya (Applied Biosystems, 2010). Jika dibandingkan dengan
teknik MCA, HRMA berbeda dalam 3 hal :
1. Secara kimia, HRMA menggunakan dye yang lebih terang emisinya, dalam
konsentrasi yang tinggi.
2. Secara instrumental, HRMA membutuhkan alat yang dapat mengumpulkan
data fluoresensi pada resolusi yang lebih tinggi.
3. Secara piranti lunak, HRMA membutuhkan software yang dapat menganalisis
data fluouresensi dengan algoritma yang agak berbeda.
Sebagai teknik yang baru berkembang dalam analisis produk PCR, HRMA
dilaporkan banyak digunakan dalam analisis Single Nucleotide Polymorphism (SNP).
Reed dan Wittwer (2004) melihat sensitivitas dan spesifisitas teknik HRMA suatu SNP
23
dengan panjang fragmen yang berbeda. Pereyra et al. (2012), menggunakan HRMA
dalam SNP yang terkait inflamasi pada kelahiran bayi prematur. Selain itu, masih
banyak kegunaan dari HRMA, seperti DNA fingerprinting, investigasi keragaman
populasi bakteri maupun virus, dan identifikasi spesies (Kappa Biosytems, 2010).
Banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam merancang HRMA untuk
mendapatkan hasil yang memuaskan, seperti kualitas dan kuantitas DNA, design
primer serta konsentrasi dan kemurniannya, konsentrasi Mg2+, dan panjang amplikon
dari hasil PCR (Kappa Biosytems, 2010; Applied Biosytems, 2010). Selain itu, jenis
intercalating/binding dye yang digunakan menjadi salah satu hal yang menjadi
komponen kunci keberhasilan HRMA. Berikut ini akan dipaparkan beberapa jenis
binding dye yang sering digunakan dalam proses Real-Time PCR dan kompabilitasnya
dengan HRMA :
Non-saturating dyes
SYBR® Green I merupakan sebuah contoh dye yang paling sering dipakai dalam
penggunaan Real-Time PCR, tetapi sayangnya tidak kompatibel dalam analisis HRMA.
Hal ini dikarenakan pada konsentrasi tinggi, SYBR® Green I menstabilkan dupleks dari
DNA dan menghambat DNA polimerase, sehingga dalam proses amplifikasi
digunakan konsentrasi rendah. Pada konsentrasi rendah, SYBR® Green I dapat
terdistribusi ulang di bagian yang sudah terlepas (meleleh) menjadi single-stranded
DNA, ke bagian yang belum terlepas, atau masih dalam bentuk double-stranded DNA,
sehingga tidak terdapat perubahan dalam fluoresensi (Gambar 5).
Saturating dyes
Dari kelemahan yang ditunjukkan jenis non-saturating dye, dikembangkan
24
jenis baru yang tidak menghambat DNA polimerase atau merubah Tm dari suatu produk
PCR. Dye dengan jenis ini dapat ditambahkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi
dari jenis sebelumnya. Distribusi ulang tidak dapat terjadi karena dsDNA sudah jenuh
(saturated) oleh binding dye. Dengan demikian, pada saat proses melting, bagian yang
sudah terlepas akan kehilangan binding dye dan menyebabkan perubahan fluoesensi
(Gambar 5). Salah satu contohnya adalah SYTO9® dan LCGreen®.
Release-on-demand dyes
EvaGreen® merupakan salah satu contoh dari jenis binding dye ini.
Penambahan dye dapat dilakukan pada konsentrasi yang lebih rendah. Hal ini
disebabkan adanya penemuan metode baru dalam emisi fluoresensi, dimana sinyal
flouresensi akan padam (quenched) saat berada dalam kondisi bebas dalam larutan.
Saat dye berinterkalasi dengan DNA, faktor pemadaman flouresensi akan hilang lalu
berfluoresensi dengan intensitas yang tinggi (Gambar 5).
Gambar 5. Mekanisme beberapa jenis binding dye yang digunakan dalam Real-
Time PCR dan HRMA (Kappa Biosytems, 2010)
25
7. DNA mitokondria
Mitokondria merupakan organel sel penghasil energi yang terdapat dalam
sitoplasma. DNA mitokondria (mtDNA) memiliki sejumlah sifat genetik khas yang
membedakannya dari genom inti. Genom mitokondria berbentuk sirkuler, beruntai
ganda, memiliki panjang sekitar 16,5 kb yang mengandung basa guanine (G) dan
cytosine (C) berkisar antara 32-45,6%. Kedua basa tersebut menyebar tidak merata
diantara kedua untai DNA. Distribusi asimetrik nukleotida menimbulkan heavy strand
(untai berat) dan light strand (untai ringan) ketika molekul mtDNA dipisahkan dalam
gradien basa CsCl. Heavy strand atau untai H berisi lebih banyak nukleotida guanin
(G) yang mempunyai berat molekul terbesar diantara keempat nukleotida, sedangkan
Light strand atau untai L berisi lebih sedikit basa G. Pada Gambar 6 akan diberikan
ilustrasi tentang genom yang terkandung dalam mitokondria manusia (Homo sapien).
Pada mitokondria susunan genom dan karakteristiknya mirip pada tiap individu, yang
membedakan adalah pola dan susunan dari basa nukleotidanya.
Gambar 6. Susunan genom dari mitokondria manusia (Homo sapien) (Taylor &
Turnbull, 2005).
26
Genom mitokondria terdiri atas genom penyandi rRNA, tRNA, dan protein sub
unit kompleks enzim rantai respirasi, juga memiliki urutan nukleotida daerah control
region non penyandi (non-coding region) yang dikenal dengan daerah displacement
loop (D-Loop) (Taylor dan Turnbull, 2005). Replikasi mtDNA dimulai dengan untai-
H yang terdapat dalam daerah D-loop mitokondria. Sebanyak 28 produk gen dikodekan
dari untai-H, sedangkan untai-L mentranskripsi delapan RNA transfer (tRNA) dan
enzim yang disebut ND6.
Jumlah molekul DNA mitokondria dalam sel sangat bervariasi. Rata-rata
terdapat 4-5 salinan molekul mtDNA per mitokondria. Setiap sel dapat berisi ratusan
mitokondria yang secara matematis bisa sampai beberapa ribu molekul mtDNA dalam
setiap sel seperti dalam sel telur (ovum), namun rata-rata diperkirakan terdapat sekitar
500 mtDNA dalam setiap sel. Hal tersebut menjadikan keberhasilan isolasi mtDNA
lebih besar (relatif terhadap penanda DNA nukleus) pada sampel biologis yang
mungkin telah rusak karena panas atau kelembaban. Perbandingan karakteristik dasar
DNA inti dan DNA mitokondria disajikan pada Tabel II.
Tabel II. Karakteristik DNA inti dan DNA mitokondria manusia (Butler, 2005)
Karakteristik DNA inti DNA mitokondria
Ukuran genom ~ 3,2 milyar pb ~ 16.569 pb
Jumlah kopi/sel 2 (1 alel setiap tetua) Dapat >1000
Total DNA/sel 99,75% 0,25%
Struktur Linier Sirkuler
Diturunkan dari Ibu dan bapak Ibu
Pasangan kromosom Diploid Haploid
Rekombinasi generasi Ya Tidak
Replikasi Ya Tidak
Keunikan Unik untuk setiap
individu
(kecuali kembar identik)
Tidak unik untuk setiap
individu
(relatif sama dengan ibu)
Laju mutasi Rendah ± 5-10 kali lipat dari DNA inti
27
DNA mitokondria diketahui memiliki laju mutasi yang lebih tinggi, sekitar 5-
10 kali DNA nukleus, terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1000 kopi) dalam tiap
sel, dibandingkan DNA nukleus (kromosomal) hanya berjumlah dua kopi. DNA
nukleus merupakan hasil rekombinasi DNA kedua orangtua sementara DNA
mitokondria hanya diwariskan dari ibu atau maternally inherited (Butler, 2005). DNA
mitokondria pada sel anak seluruhnya disumbangkan oleh ibu dan sperma sama sekali
tidak berkontribusi. Keunikan sistem penurunan yang menarik ini telah dimanfaatkan
dalam berbagai bidang yaitu penentuan hubungan kekerabatan, studi evolusi dan
migrasi, bidang forensic, dan identifikasi penyakit genetik.
Kemungkinan memperoleh kembali DNA mitokondria dari sampel biologis
dalam jumlah sedikit atau dari sampel biologis yang sudah terdegradasi adalah lebih
besar daripada DNA inti karena molekul DNA mitokondria terdapat dalam ratusan
sampai ribuan kopi dibanding DNA inti yang hanya dua kopi pada setiap selnya. Oleh
karena itu, otot, tulang, rambut, kulit, darah dan cairan tubuh lainnya dapat digunakan
sebagai sumber materi untuk penentuan lokus DNA mitokondria apabila terjadi
degradasi yang disebabkan oleh peralatan atau karena waktu (Butler, 2005).
Penelitian tentang identifikasi jenis daging telah dilakukan oleh beberapa
peneliti dengan penggunaan DNA mitokondria. Gen-gen yang paling sering digunakan
sebagai penanda jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom b (cyt b), 12S
dan 16S subunit ribosom RNA dan daerah displacement loop (D-loop) (Fajardo et al.,
2010). Kesmen et al. (2007) menggunakan DNA mitokondria untuk mendeteksi
adanya daging babi, kuda dan keledai pada sosis. Primer spesifik dirancang pada daerah
28
mitokondria yang berbeda-beda untuk setiap jenis ternak yaitu gen ATPase6/ATPase8
untuk kuda, gen ND2 (NADH dehidrogenase subunit 2) untuk keledai dan gen ND5
(NADH dehidrogenase subunit 5) untuk babi. Panjang fragmen teramplifikasi untuk
kuda, keledai dan babi berturut-turut sepanjang 153, 145 dan 227 pb. Kumar et al.
(2011) menggunakan teknik PCR tunggal untuk deteksi daging kambing (Capra
hircus). Primer spesifik kambing (DAF-01 dan DGR-04) dirancang pada daerah kekal
D-loop mitokondria dan dihasilkan produk PCR sepanjang 294 pb.
8. Gen Cytochrome c oxidase I (COI)
Cytochorome oxidase I (COI) adalah suatu gen yang menyandi salah satu
subunit dari kompleks (IV) protein dalam respirasi. Kompleks (IV) ini sendiri terdiri
dari 13 polipeptida, yang mana subunit I, II, dan III dikode oleh DNA mitokondria,
sedangkan subunit IV, Va, Vb, VIa, VIb, VIc, VIIa, VIIb, VIIc, dan VIII dikode oleh
DNA kromosomal (Kadenbach et al., 1983; Shoffner dan Wallace; 1995). Enzim ini
terletak di lapisan membran dalam dari mitokondria dan merupakan enzim ketiga dan
terakhir dalam rantai proses transpor elektron dari fosforilasi oksidatif mitokondria
(OMIM, 2010). Gen ini sendiri mempunyai divergenitas genotip yang cukup tinggi,
bahkan mencapai rata-rata 9,6% dalam filum Chordata (Herbert et al., 2003). Dengan
demikian, gen ini sering digunakan dalam penentuan sumber organisme dari suatu
sampel DNA, yang berguna dalam barcoding suatu spesies serta penentuan taksonomi
dan kekerabatan antar jenis hewan (Balakirev dan Rozhnov, 2012).
Sekuen gen COI yang berasal dari tikus spesies Rattus norvegicus mempunyai
panjang sekuen 1545 bp (NCBI, 2013) dan pada sapi (Bos Taurus) mempunyai panjang
29
1545 bp (NCBI, 2008). Gen COI dari spesies Rattus norvegicus disajikan pada Gambar
7.
Gambar 7. Daerah gen COI dalam mitokondria Rattus norvegicus (NCBI 2013).
Haider et al. (2012) melaporkan suatu metode dalam deteksi berbagai daging
menggunakan teknik PCR-RFLP (PCR-Retriction Fragment Length Polymorphism).
Jenis daging yang diidentifikasi adalah sapi, ayam, kalkun, kambing, babi, kerbau, unta
dan keledai. Sampel yang digunakan adalah daging murni yang masih segar serta
sampel darah untuk beberapa spesies. Sepasang primer universal digunakan untuk
mengamplifikasi daerah COI yang menghasilkan produk PCR sepanjang 710 bp.
Produk ini kemudian dipotong menggunakan berbagai enzim endonuklease, yaitu
Hind II, Ava II, Rsa I, Taq I, Hpa II, Tru 1I and Xba I. Dengan teknik ini, terbukti dapat
dibedakan jenis daging karena 7 enzim endonuklease yang digunakan mempunyai
target spesifik masing-masing, sehingga kombinasi dari potongan yang dihasilkan dari
tiap enzim tersebut dapat menjadi informasi jenis daging dari sampel yang diteliti.
Spychaj et al. (2009) melaporkan tentang identifikasi daging babi, sapi, dan
bebek, dalam berbagai kombinasi campuran daging tersebut dengan ayam, kalkun dan
angsa. Che et al. (2007) mengidentifikasi cemaran babi pada produk pangan untuk
30
verifikasi kehalalan pangan. Dalmasso et al. (2004) mengidentifikasi jenis hewan pada
bahan pakan dengan metode multipleks PCR. Ghovvati et al. (2009) melakukan
identifikasi jenis hewan untuk mendeteksi pemalsuan produk pada industri pangan.
Bottero et al. (2003) melakukan penelitian pada produk susu untuk mengidentifikasi
asal susu dari sapi, kambing dan domba perah dengan metode Multipleks PCR. Zhang
et al. (2007) menggunakan metode Real-Time PCR untuk mengidentifikasi adanya
DNA sapi pada daging, susu dan keju.
9. Bakso
Bakso (Gambar 8) merupakan olahan daging yang dibentuk menyerupai bola
dengan ukuran tertentu. Pembuatan bakso sendiri diolah dengan berbagai bumbu-
bumbuan, garam dapur, dan tepung tapioka (Purnomo and Rahardian, 2008).
Terkadang, dalam pembuatan bakso ditambahkan dengan Natrium Trifosfat dan
Monosodium Glutamat untuk meningkatkan kapasitas pengikatan air. Selain itu, zat
tersebut juga dapat menambah cita rasa makanan (Huda et al, 2010).
Gambar 8. Bakso
31
F. Landasan Teori
Bakso merupakan salah satu produk olahan dari daging. Daging sendiri
merupakan salah satu bentuk jaringan makhluk hidup yang terdiri dari berbagai sel,
yang mengandung DNA. DNA tidak rusak oleh pemanasan dan mempunyai sifat unik
kepada setiap organisme (Matsunaga et al. 1999). Adanya perbedaan urutan basa DNA
terutama pada gen cytochrome c oxidase I dalam mitokondria sapi dan tikus dapat
digunakan sebagai penanda spesifik cemaran daging tikus menggunakan metode Real-
Time PCR dengan primer BatL 5310 dan R6036R dan analisis HRMA yang
memberikan puncak Tm yang spesifik pula.
Prinsip dari metode ini adalah sepasang primer akan menempel pada gen
cytochrome c oxidase I (COI) mitokondria tikus dan sapi, lalu sekuen DNA tersebut
dapat dikenali oleh Taq DNA Polimerase dan dapat diamplifikasi selama beberapa
siklus. Hasil pembacaan berupa kurva fluoresensi terhadap siklus yang berasal dari
pendaran fluoresen label yang digunakan (dalam hal ini EvaGreen®).
Sinyal fluoresensi dari EvaGreen® tidak spesifik karena EvaGreen®
berinterkalasi dengan semua dsDNA yang ada. Untuk membedakan satu dsDNA
dengan dsDNA yang lainnya, harus dilakukan analisis kurva pelelehan dengan resolusi
yang tinggi (High Resolution Melting Analysis) pada akhir pengujian dengan Real-
Time PCR. HRMA dapat membedakan produk PCR dengan lebih akurat, sehingga dari
Tm produk PCR hasil amplifikasi daging sapi dan tikus yang muncul pada puncak yang
berbeda dapat dijadikan dasar pembeda kedua jenis daging tersebut.
32
G. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori tersebut maka dapat ditulis hipotesis sebagai
berikut,
1. Dengan kondisi yang optimum pada Real-Time PCR, primer yang digunakan
dapat menempel pada gen target cytochrome c oxidase I (COI) sapi dan tikus
serta dapat teramplifikasi dengan baik.
2. Adanya puncak spesifik untuk tikus dan sapi pada kurva melt-curve pada
metode Real-Time PCR yang dikombinasikan dengan HRMA, dapat dijadikan
dasar dalam mendeteksi cemaran daging tikus pada produk olahan daging yaitu
bakso.