bab i pendahuluan a. latar belakang...

47
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan peningkatan pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka harapan hidup. Pada tahun 2000 terdapat 35 juta geriatri di Amerika Serikat. Jumlah ini diproyeksikan mencapai 53,7 juta pada tahun 2020 dan 70,33 juta pada tahun 2030. Walaupun populasi ini hanya 12% dari total populasi di Amerika Serikat, namun terhitung sekitar 30% obat diresepkan untuk populasi tersebut, dan diproyeksikan meningkat mencapai 40% pada tahun 2030 (Santell & Hicks, 2005). Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah lansia di Indonesia 17.717.800 jiwa atau 7,90% dan jumlahnya pada tahun 2010 diperkirakan 23.992.552 (9,77%) dan pada tahun 2020 28.822.879 (11,34%) (Martono, 2008). Masalah kesehatan usia lanjut adalah khas yang timbul akibat interaksi proses menua dan penyakit pada satu individu. Perubahan fisiologik akibat proses menua, multipatologik, presentasi penyakit tidak spesifik, dan penurunan status fungsional dapat berpengaruh terhadap terapi obat yang berujung pada masalah yang berkaitan dengan obat. Masalah medis yang kompleks (complex medicine) yang umumnya ditemui pada pasien lanjut usia, menyebabkan golongan usia ini rentan terhadap timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan obat (Drug Related Problems) (Pramantara, 2007).

Upload: buiphuc

Post on 26-May-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan

peningkatan pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka

harapan hidup. Pada tahun 2000 terdapat 35 juta geriatri di Amerika Serikat.

Jumlah ini diproyeksikan mencapai 53,7 juta pada tahun 2020 dan 70,33 juta pada

tahun 2030. Walaupun populasi ini hanya 12% dari total populasi di Amerika

Serikat, namun terhitung sekitar 30% obat diresepkan untuk populasi tersebut, dan

diproyeksikan meningkat mencapai 40% pada tahun 2030 (Santell & Hicks,

2005). Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah lansia di

Indonesia 17.717.800 jiwa atau 7,90% dan jumlahnya pada tahun 2010

diperkirakan 23.992.552 (9,77%) dan pada tahun 2020 28.822.879 (11,34%)

(Martono, 2008).

Masalah kesehatan usia lanjut adalah khas yang timbul akibat interaksi

proses menua dan penyakit pada satu individu. Perubahan fisiologik akibat proses

menua, multipatologik, presentasi penyakit tidak spesifik, dan penurunan status

fungsional dapat berpengaruh terhadap terapi obat yang berujung pada masalah

yang berkaitan dengan obat. Masalah medis yang kompleks (complex medicine)

yang umumnya ditemui pada pasien lanjut usia, menyebabkan golongan usia ini

rentan terhadap timbulnya masalah-masalah yang berkaitan dengan obat (Drug

Related Problems) (Pramantara, 2007).

2

Drug Related Problems (DRPs) merupakan masalah kesehatan yang serius

yang dapat terjadi pada semua tingkat umur, dapat mempengaruhi kualitas hidup

pasien serta menimbulkan dampak ekonomi yang cukup besar. Journal of the

American Medical Association (JAMA) melaporkan bahwa berdasarkan sebuah

meta analisis dari 39 studi perspektif pada bulan April 1998, dalam satu tahun

terdapat sekitar 2.216.000 pasien yang dirawat di rumah sakit akibat mengalami

Adverse Drug Reactions (ADRs) yang serius dan 106.000 pasien meninggal

karena masalah-masalah terkait obat. Dilihat dari segi ekonomi, DRPs merupakan

permasalahan yang memiliki dampak ekonomi sangat besar. Dampak ekonomi

terkait DRPs yang terjadi pada semua umur baik di rumah sakit, rumah perawatan

(nursing home), maupun komunitas mencapai $85 milyar per tahun, dengan

jumlah terbesar ($76,6 milyar) terjadi pada komunitas, sementara biaya langsung

terkait DRPs di rumah sakit dan rumah perawatan masing-masing sebesar $4

milyar (Besdine et al., 2003).

Menurut United States Pharmacopeia’s (USP) MEDMARX (sebuah

program nasional pelaporan medication error) terdapat 80.168 kasus medication

error yang terjadi pada pasien usia lanjut (65 tahun atau lebih). Jumlah tersebut

hampir mencapai 40% dari 202.476 kasus medication error yang terjadi dan

dilaporkan pada USP MEDMARX sejak 1 Januari 2002 hingga 31 Desember

2003. Diantara kasus tersebut, tipe yang paling sering muncul yaitu gagal

menerima obat (42%), dosis tidak tepat (18%), dan obat salah (10%) (Santell &

Hicks, 2005). Retrospective Analysis Mortalities Associated with Medication

Error melaporkan bahwa dari 5366 medication errors, tipe yang paling banyak

3

menyebabkan kematian pada pasien geriatri adalah pemberian obat yang tidak

tepat, yaitu 40,9% dari seluruh kejadian medication errors, dan 30,4% berupa

pemberian dengan dosis berlebih (Phillips et al., 2003).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyebab kematian

ke-4 di Amerika Serikat, dibawah penyakit kanker, penyakit jantung, dan penyakit

serebrovaskuler. Pada tahun 2000, lebih dari 119.000 kematian di Amerika

Serikat dan sekitar 2,74 juta kematian di seluruh dunia disebabkan oleh PPOK.

Penyakit ini merupakan satu-satunya penyebab kematian yang terus meningkat

dalam 30 tahun terakhir dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ketiga

pada tahun 2020. Menurut NHLBI, dampak ekonomi dari PPOK $23 milyar pada

tahun 2000 dan $32 milyar pada tahun 2002, yang terdiri dari $18 milyar biaya

langsung dan $14 milyar biaya tidak langsung (Bourdet & Williams, 2005). Di

Uni Eropa, total biaya langsung dari penyakit pernafasan adalah 6% dari total

anggaran dana kesehatan, dengan PPOK 56% dari biaya tersebut yaitu 38,6 juta

Euro (GOLD, 2007).

Sementara di Indonesia, belum ada data yang akurat tentang kekerapan

PPOK. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI tahun 1992

menyebutkan bahwa angka kematian karena penyakit bronkitis kronis, emfisema

paru, serta asma bronkiale menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian

terbanyak di Indonesia. Peningkatan penderita PPOK di Indonesia terkait dengan

beberapa faktor risiko yang meningkat di Indonesia, seperti kebiasaan merokok

yang masih tinggi, serta polusi udara terutama di kota-kota besar, daerah industri,

4

pertambangan, dan sebagainya, sehingga diperkirakan jumlah kasus PPOK akan

meningkat tajam di masa-masa yang akan datang (Anonim, 2003).

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Sardjito karena rumah sakit

tersebut merupakan rumah sakit tipe A pendidikan yang menjadi rujukan tertinggi

bagi rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian

Selatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hisyam dan Nurohman (2001)

dengan mengambil data dari rekam medis Rumah Sakit Dr. Sardjito antara tahun

1996 sampai dengan 1999, terdapat 55 pasien dengan PPOK eksaserbasi akut.

Sementara menurut penelitian Damayanti (2006) terdapat 59 pasien dengan

diagnosis PPOK yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Sardjito selama bulan Januari

sampai dengan Desember 2004, dan 76,27 % diantaranya berusia > 60 tahun.

Mengingat PPOK merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi,

morbiditas, dan mortalitas yang terus meningkat, serta risiko terjadinya DRPs

pada pasien usia lanjut besar, sedangkan jumlah populasi usia lanjut di Indonesia

terus meningkat, maka perlu dilakukan penelitian tentang kejadian DRPs pada

penatalaksanaan terapi PPOK terutama pada pasien usia lanjut. Hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada rumah sakit maupun

tenaga kesehatan terkait dengan tujuan meminimalisasi terjadinya DRPs sehingga

dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pasien.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah

sebagai berikut :

5

1. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan

ketepatan indikasi meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak

diterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di

RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007?

2. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan

keefektifan terapi meliputi obat salah dan dosis subterapi pada pengobatan

pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito

Yogyakarta tahun 2007?

3. Berapakah jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan

keamanan terapi meliputi dosis obat berlebih dan interaksi obat pada

pengobatan pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr.

Sardjito Yogyakarta tahun 2007?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan ketepatan indikasi

meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak diterapi pada pengobatan

pasien PPOK geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito

Yogyakarta tahun 2007.

2. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keefektifan terapi

meliputi obat salah dan dosis subterapi pada pengobatan pasien PPOK geriatri

yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007.

6

3. Jumlah dan persentase kejadian DRPs yang terkait dengan keamanan terapi

meliputi dosis obat berlebih dan interaksi obat pada pengobatan pasien PPOK

geriatri yang menjalani rawat inap di RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2007.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai salah satu bahan masukan bagi RS Dr. Sardjito Yogyakarta untuk

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit terhadap masyarakat

luas khususnya bagi pasien geriatri.

2. Sebagai bahan acuan dalam penelitian identifikasi DRPs pada pasien geriatri

selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

a. Definisi

PPOK adalah penyakit obstruksi saluran nafas kronis yang bersifat

progresif yang disebabkan oleh bronkitis kronis, emfisema, atau keduanya. Dalam

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2007,

definisi PPOK adalah suatu penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai

dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan

aliran udara ini biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi yang

abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya (GOLD, 2007).

7

Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis kronis atau

emfisema. Pasien pada umumnya mengalami kedua gangguan ini, dengan salah

satunya dominan. Bronkitis kronis didefinisikan sebagai terjadinya pengeluaran

mukus secara berlebihan ke batang bronkhial secara kronis atau berulang dengan

disertai batuk yang terjadi hampir setiap hari selama sekurang-kurangnya 3 bulan

dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut, dimana tidak terdapat penyebab

batuk kronis lain. Ciri khas dari bronkitis kronis adalah adanya pengeluaran

mukus yang berlebihan pada batang bronkus yang menyebabkan pasien

mengalami sesak nafas (Bourdet & Williams, 2005).

Emfisema merupakan kelainan paru-paru yang ditandai dengan

pembesaran jalan nafas yang sifatnya permanen mulai dari ujung bronkial sampai

bagian distal. Dilatasi atau pembesaran tersebut disertai dengan kerusakan pada

dinding alveolus sehingga terjadi gangguan pada transfer gas (Goldsmith &

Weber, 2000). Ada dua bentuk emfisema yaitu: (1) Sentrilobular dan (2)

Panlobular. Emfisema sentrilobular ditandai oleh kerusakan pada saluran napas

bronkhial yaitu pembengkakan, peradangan dan penebalan dinding bronkhioli.

Emfisema panlobular berupa pembesaran yang bersifat merusak dari distal alveoli

ke terminal bronkhiale (Yunus, 1997).

PPOK dikarakterisasi dengan eksaserbasi berulang yang terjadi karena

peningkatan lebih jauh respon inflamasi pada jalan nafas, kemungkinan besar

dipicu adanya infeksi oleh bakteri atau virus atau polutan dari lingkungan.

Definisi dari eksaserbasi sendiri adalah perburukan kondisi pasien jika

dibandingkan dengan keadaan stabil, hal ini terjadi di luar variasi yang biasanya

8

terjadi, terjadi secara akut dan membutuhkan perubahan pengobatan dari yang

biasanya secepat mungkin. Eksaserbasi akut ditandai dengan peningkatan sesak

nafas, peningkatan produksi sputum, serta perubahan warna sputum. Eksaserbasi

akut dibedakan menjadi 3 tipe yaitu :

1). Tipe I (eksaserbasi berat), bila pasien memiliki 3 gejala diatas

2). Tipe II (eksaserbasi sedang), bila pasien memiliki 2 gejala diatas

3). Tipe III (eksaserbasi ringan), bila pasien memiliki 1 gejala diatas ditambah

infeksi saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,

peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan

>20% baseline, atau frekuensi nadi >20% baseline (Bourdet & Williams,

2005; Anonim, 2003).

b. Klasifikasi

Menurut GOLD 2007, PPOK diklasifikasikan dalam 4 derajat seperti yang

terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Derajat Keparahan PPOK GOLD 2007

Tingkat Nilai FEV1 dan Gejala

I Ringan

Ditandai dengan keterbatasan aliran udara ringan (FEV1/ FVC < 70%, FEV1 > 80%). Umumnya, tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien biasanya bahkan belum merasa

bahwa paru-parunya bermasalah.

II Sedang

Ditandai dengan semakin memburuknya hambatan aliran udara (FEV1/FVC <70%; 50%<FEV1<80%), disertai dengan adanya

pemendekan dalam bernafas. Pada tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit.

III Berat

Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang semakin memburuk (FEV1/FVC <70%; 30%<FEV1<50%). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi

yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien. IV

Sangat berat

Ditandai dengan keterbatasan/hambatan aliran udara yang berat (FEV1/FVC <70%; FEV1<30% atau <50%) ditambah dengan adanya

gagal nafas kronik. (GOLD, 2007)

9

c. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang

dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor

paparan lingkungan antara lain adalah :

1). Merokok

Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking Control,

rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronis dan emfisema paru.

Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan FEV1. Secara

patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan

metaplasia epitel skuamosa saluran pernafasan, juga dapat menyebabkan

bronkokonstriksi akut (Soemantri & Uyainah, 2001).

2). Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik

yang terpapar debu silica, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu

gandum dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja

ditempat selain yang disebutkan tadi (Ikawati, 2007). Secara epidemiologi

didapatkan penurunan fungsi paru pada pekerja pabrik plastik yang terpejan

toluene diisocyanate, pabrik katun, dan lain-lain (Soemantri & Uyainah, 2001).

3). Polusi udara

a). Polusi udara dalam rumah

Pembakaran pada tungku dan kompor yang tidak berfungsi dengan baik

dapat menyebabkan polusi udara dalam ruangan. Polusi udara dalam ruangan

10

menyebabkan fraksi PPOK yang lebih besar dari SO2 atau partikel dari emisi

kendaraan bermotor (GOLD, 2007).

b). Polusi udara diluar rumah

Polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil, terutama dari emisi

kendaraan bermotor dikota-kota besar, menyebabkan penurunan fungsi respirasi

(GOLD, 2007). Zat-zat kimia juga dapat menyebabkan bronkitis seperti zat-zat

pereduksi (misalnya oksigen), zat-zat pengoksidasi seperti hidrokarbon, aldehid,

ozon yang banyak terdapat dalam polutan (Bourdet & Williams, 2005).

Sedangkan faktor yang berasal dari host atau pasiennya antara lain adalah :

1). Usia

Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK. Pada

pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia

menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin (Ikawati, 2007).

2). Jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini

terkait dengan kebiasaan merokok pada laki-laki. Namun ada kecenderungan

peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita

yang merokok (Ikawati, 2007).

3). Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi

Adanya gangguan fungsi paru merupakan faktor risiko, misalnya

defisiensi imunoglobin A (Ig A/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa

kanak-kanak seperti TBC dan bronchiectasis. Individu dengan gangguan fungsi

paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan

11

waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap

berkembangnya PPOK (Ikawati, 2007).

4). Predisposisi genetik, yaitu defisiensi α1 antitripsin (AAT)

Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan

oleh hilangnya elastisitas jaringan didalam paru-paru secara progresif karena

adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada

keadaan normal faktor protektif AAT menghambat enzim proteolitik sehingga

mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan AAT menyebabkan berkurangnya

faktor proteksi terhadap kerusakan paru (Ikawati, 2007).

c. Patogenesis dan Patofisiologi Penyakit

PPOK dikarakterisir adanya inflamasi kronik yang menyebabkan

kerusakan dan mempersempit saluran nafas. Proses tersebut tidak hanya terjadi

pada saluran pernafasan, tetapi juga meluas ke sistem pembuluh pulmonar dan

parenkim paru. Sel inflamasi yang berperan tidak hanya neutrofil, tetapi juga

makrofag dan limfosit CD 8+. Sel-sel inflamasi tersebut akan melepaskan

berbagai mediator kimia, meliputi leukotrien B4 (LTB4), interleukin 8 (IL-8), dan

tumor necrosis faktor α (TNF-α) yang dapat merusak struktur paru. Proses lain

yang ikut berperan penting dalam patogenesis PPOK, yaitu adanya stress oksidatif

dan ketidakseimbangan proteinase dan antiproteinase dalam paru-paru (Bourdet &

Williams, 2005).

Bronkitis kronik umumnya disebabkan oleh paparan polutan udara seperti

asap rokok. Di permukaan epitelial bronkus terdapat silia yang berfungsi untuk

membersihkan bronkus dari mukus dan iritan. Asap rokok dan polutan yang

12

terhirup menghambat pembersihan mukus oleh silia di permukaan epitelial

(mucociliary clearance), mengakibatkan iritan tidak dapat dikeluarkan dari

bronkus. Hal ini menyebabkan bronkiolitis, yang selanjutnya menyebabkan

hiperplasia, hipertrofi, proliferasi kelenjar mukus. Akibatnya terjadi hipersekresi

mukus dan lebih lanjut menyebabkan obstruksi pada bronkus. Karena adanya

mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia membersihkan mukus maka

pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu

Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae (Ingram, 2002; Ikawati,

2007).

Perubahan pada saluran nafas kecil yang terjadi pada bronkitis kronik

menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga

terjadi ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia dapat

mengakibatkan hipertensi pulmonary yang dapat diikuti dengan terjadinya gagal

jantung kanan (cor pulmonale) (Ikawati, 2007).

Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru-paru yang

bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Pada emfisema terjadi kerusakan

dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang.

Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada

hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hilangnya dinding alveolar berakibat

pada hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup.

Akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q

dipertahankan dengan lebih baik daripada pada bronkitis kronik. Oleh karena itu,

13

pada pasien emfisema lebih banyak mengalami dispnea (sesak nafas) daripada

pasien bronkitis (Ikawati, 2007).

d. Gambaran Klinis Penyakit

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala

ringan hingga berat. Adapun gejala klinik PPOK yaitu:

1). “Smoker’s cough”, biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin,

kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.

2). Sputum, biasanya banyak dan lengket, berwarna kuning, hijau atau

kekuningan bila terjadi infeksi.

3). Dispnea, ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran pernafasan.

Gejala-gejala tersebut mungkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak

nafas menjadi semakin nyata yang membuat pasien mencari bantuan medis

(Ikawati, 2007).

Sedangkan gejala eksaserbasi akut adalah : (1) peningkatan volume

sputum; (2) perburukan pernafasan secara akut; (3) dada terasa berat (Chest

tightness); (4) peningkatan kebutuhan bronkodilator; (5) lelah, lesu; dan (6)

penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah dan terengah-engah)

(Ikawati, 2007).

e. Diagnosis

Diagnosis klinis PPOK sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien

yang mengalami gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum, dispnea, dan

riwayat paparan suatu faktor risiko. Namun, adanya obstruksi saluran pernafasan

harus dikonfirmasi dengan spirometri. Spirometri memberikan penilaian yang

14

komprehensif terhadap volume dan kapasitas paru. Tanda terjadinya PPOK yaitu

nilai rasio FEV1/FVC <70% yang mengindikasikan terjadinya obstruksi saluran

nafas dan nilai FEV1 <80% prediksi yang menunjukkan bahwa obstruksi tersebut

bersifat irreversible (Bourdet & Williams, 2005).

FVC (Forced Vital Capacity) atau kapasitas vital paksa adalah pengukuran

kapasitas vital yang didapat dari ekspirasi yang sekuat dan secepat mungkin.

Sedangkan FEV (Forced Expiratory Volume) atau volume ekspirasi paksa yaitu

volume udara yang dapat diekspirasi kuat-kuat dalam waktu standar. Biasanya

FEV diukur selama detik pertama ekspirasi yang dipaksakan dan disebut FEV1.

Pada umumnya, orang dewasa muda yang sehat akan memiliki FVC sebanyak 4-5

liter dan FEV1 sedikitnya 75% dari volume tersebut. Pada kondisi normal

tersebut, perbandingan antara FEV1/FVC (disebut forced expiratory ratio) akan

bernilai sedikitnya 0,75. Pada penyakit obstruktif, terjadi pengurangan nilai FEV1

yang lebih besar dibanding FVC-nya sehingga rasio FEV1/FVC bisa kurang dari

0,75 (Ikawati, 2007).

Beberapa pemeriksaan penunjang lain juga bisa dilakukan, antara lain

pemeriksaan fisik, pemeriksaan foto thoraks, analisis gas darah (terutama untuk

menilai adanya gagal nafas), pemeriksaan darah rutin (Hb, Hmt, leukosit),

mikrobiologi sputum untuk melihat ada tidaknya infeksi, serta pemeriksaan kadar

α1-antitripsin (untuk pasien <40 tahun) (Anonim, 2003).

f. Penatalaksanaan PPOK

Sasaran penatalaksanaan terapi PPOK ini adalah mencegah progresifitas

penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi aktivitas, meningkatkan

15

status kesehatan, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mencegah dan mengobati

komplikasi, serta menurunkan morbiditas dan mortalitas. Menurut WHO,

penatalaksanaan PPOK terdiri dari 4 komponen utama, yaitu : (1) pemantauan dan

assessment penyakit, (2) mengurangi faktor risiko, (3) penatalaksanaan PPOK

stabil, dan (4) penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut. Penatalaksanaan terapi

PPOK dilakukan dengan tindakan non farmakologi maupun farmakologi.

Komponen (1) dan (2) termasuk dalam penatalaksanaan non farmakologi

sedangkan komponen (3) dan (4) termasuk dalam penatalaksaan farmakologi

(Bourdet & Williams, 2005; Ikawati, 2007).

Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil menurut Global Initiative for

Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007 ditunjukkan pada gambar 1.

Gambar 1. Algoritme Terapi PPOK Stabil Menurut GOLD 2007

I:Mild II:Moderate III:Severe IV:Very Severe

FEV1/FVC <0.70

FEV1≥80% prediksi

FEV1/FVC<0.70 50%≤FEV1<80%

prediksi

FEV1/FVC<0.70 30%≤FEV1<50%

prediksi

FEV1/FVC< 0.70 FEV1 < 30%

prediksi atau FEV1 <50% prediksi plus gagal nafas kronik

Penghindaran faktor risiko; vaksinasi influenza Tambahkan bronkodilator aksi pendek (jika diperlukan)

Tambahkan pengobatan reguler dengan satu atau lebih bronkodilator aksi panjang (jika diperlukan); tambahkan terapi rehabilitasi

Tambahkan inhalasi kortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang

Tambahkan oksigen jangka panjang jika terjadi kegagalan pernafasan kronis; Pertimbangkan pembedahan jika perlu

(GOLD, 2007)

16

1). Terapi Non Farmakologi

a). Berhenti merokok

Penghentian merokok merupakan tahap pertama yang penting yang dapat

memperlambat memburuknya fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan

meningkatkan kualitas hidup pasien (Ikawati, 2007). Selain dengan usaha

penerangan dan penyuluhan, dapat dilakukan dengan farmakoterapi yaitu terapi

penggantian nikotin (nicotine replacement therapy). Terapi penggantian nikotin

berupa pemberian nikotin dalam berbagai bentuk seperti gum, inhaler, spray,

transdermal patch, tablet sublingual, atau lozenges. Bupropion dan nortriptilin

juga dapat digunakan untuk mengatasi ketergantungan merokok (GOLD, 2007).

b). Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan

hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah

kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya (Anonim, 2003).

Pemberian long term oksigen (>15 jam sehari) pada pasien dengan

kegagalan respirasi kronik menunjukkan peningkatan harapan hidup, selain itu

juga memberikan keuntungan pada status hemodinamik, hematologik, kapasitas

latihan, mekanik paru, dan status mental. Terapi oksigen jangka panjang ini

ditujukan untuk pasien PPOK stage IV (sangat parah) terutama jika : (1) PaO2 ≤

7,3 kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia; atau (2)

PaO2 7,3 kPa-8,0 kPa (55-60 mmHg) atau SaO2 88% tetapi terdapat tanda

17

hipertensi pulmonar, edema periferal yang menunjukkan gagal jantung kongestif,

atau polisitemia (hematokrit > 55%) (GOLD, 2007).

Cara pemberian oksigen adalah dengan kanula hidung yang menyalurkan

24-28% oksigen (1-2 liter/menit). Tujuannya adalah mencapai PaO2 diatas 60

mmHg. Pada pasien yang diketahui menahan CO2 harus hati-hati dalam

menaikkan PaO2 terlalu tinggi karena akan menekan pernafasan (Ikawati, 2007).

c). Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya

kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena

hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme.

Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.

Gangguan keseimbangan elektrolit juga sering terjadi pada PPOK karena

berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan

ventilasi. Gangguan elektrolit yang sering terjadi adalah hipofosfatemia,

hiperkalemia, hipokalsemia, dan hipomagnesemia (Anonim, 2003).

d). Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi paru adalah mengurangi gejala, memperbaiki

kualitas hidup, meningkatkan partisipasi fisik dan emosi dalam aktivitas sehari-

hari (GOLD, 2007). Program rehabilitasi paru merupakan komponen integral

dalam penatalaksanaan PPOK dan termasuk di dalamnya fisioterapi bersamaan

dengan program berhenti merokok, latihan pernafasan, perawatan medis yang

optimal, dukungan psikososial, dan pemberian edukasi kesehatan (Bourdet &

Williams, 2005).

18

e). Vaksinasi

Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin

pneumococcal dari vaksinasi influenza pertahun. Vaksin influenza terbukti dapat

mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Bila pasien

terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan amantadin

dan rimantadin (Ikawati, 2007).

f). Pembedahan

Terapi pembedahan bertujuan untuk memperbaiki fungsi dan mekanik

paru, meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi, serta memperbaiki kualitas

hidup pasien. Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu: (1) bulektomi; (2) Bedah

Reduksi Volume Paru (BRVP)/Lung Volume Reduction Surgery (LVRS); atau (3)

transplantasi paru (Anonim, 2003).

2). Terapi Farmakologi

Terapi pada PPOK terdiri dari terapi untuk PPOK stabil, dan terapi untuk

eksaserbasi akut. Pada PPOK stabil, terapi farmakologi ditujukan untuk

mengurangi gejala dan komplikasi, termasuk mengurangi frekuensi dan keparahan

eksaserbasi serta memperbaiki status kesehatan dan toleransi latihan pasien.

Sedangkan pada eksaserbasi akut, terapi farmakologi ditujukan untuk mencegah

hospitalisasi atau menurunkan lama tinggal di rumah sakit, mencegah gagal nafas

akut, mengurangi gejala dan mengembalikan status klinis pasien (Bourdet &

Williams, 2005).

Penggunaan bronkodilator merupakan terapi utama untuk menatalaksana

gejala PPOK, bisa diberikan bila perlu atau secara reguler, tergantung pada

19

kondisi pasien. Bronkodilator utama adalah β2 agonis, antikolinergik, teofilin,

atau kombinasinya. Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara reguler hanya

boleh diberikan pada pasien yang telah tercatat (dari hasil spirometri) memang

berespon terhadap steroid, atau pasien yang FEV1 <50%. Penatalaksanaan terapi

untuk eksaserbasi akut umumnya memerlukan intervensi medis dan obat-obatan.

Bronkodilator inhalasi (terutama β2 agonis atau antikolinergik), teofilin, dan

kortikosteroid sistemik merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi

eksaserbasi akut. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti

peningkatan volume dan purulensi sputum dan demam sebaiknya diberi antibiotik

(Ikawati, 2007).

Obat-obat yang digunakan untuk terapi farmakologi PPOK yaitu :

a). Bronkodilator

Bronkodilator diberikan sebagai kebutuhan dasar untuk menghilangkan

gejala yang menetap atau memburuk. Yang termasuk bronkodilator dalam terapi

PPOK adalah β2 agonis, antikolinergik, dan metilksantin.

Secara umum, bronkodilator bekerja dengan mengurangi tahanan otot

polos bronkus saluran pernafasan sehingga meminimalkan keterbatasan aliran

udara. Pada pasien PPOK, manfaat klinis penggunaan bronkodilator meliputi:

peningkatan kemampuan beraktivitas, menurunkan air trapping pada paru-paru,

dan mengurangi gejala seperti dispnea. Namun demikian, penggunaan

bronkodilator tidak signifikan terhadap perbaikan fungsi paru, seperti FEV1. Efek

samping penggunaan bronkodilator adalah terkait dengan efek farmakologinya,

serta ketergantungan dosis (Bourdet & Williams, 2005).

20

(1). Antikolinergik

Apabila diberikan secara inhalasi, antikolinergik seperti ipratropium dan

atropine menyebabkan efek bronkodilatasi, yaitu melalui penghambatan secara

kompetitif terhadap reseptor kolinergik yang ada di otot polos bronkus. Aktivitas

tersebut akan menghambat asetilkolin, yang selanjutnya berefek pada

pengurangan cyclic Guanosine Mono Phosphate (cGMP), dimana cGMP ini

secara normal berperan pada konstriksi otot polos bronkus (Bourdet & Williams,

2005).

Terapi dengan antikolinergik merupakan terapi lini pertama pada penyakit

PPOK stabil. Antikolinergik menghasilkan perbaikan yang lebih besar daripada

β2 agonis saat dilakukan tes fungsi paru-parunya. Dengan demikian terdapat

hubungan penting antara sistem kolinergik sebagai mediator tonus bronchial pada

pasien PPOK. Antikolinergik dapat mempertahankan keefektifannya selama

bertahun-tahun dalam penggunaan yang teratur terus-menerus (Ikawati, 2007).

Ipratropium bromida dan tiotropium bromida merupakan golongan

antikolinergik yang dapat memberikan manfaat paling besar serta efek samping

yang paling kecil. Ipratropium tersedia dalam bentuk Metered Dose Inhaler

(MDI) dan larutan inhalasi yang menunjukkan puncak efek pada 1,5-2 jam dan

durasi kerja 4-6 jam (Bourdet & Williams, 2005).

Ipratropium bromida diberikan dengan dosis 2 inhalasi 4x sehari dan dapat

ditingkatkan sampai 12 inhalasi per hari jika perlu. Efek sampingnya jarang

terjadi dan biasanya berupa mulut kering, rasa pahit, batuk, dan mual (Goldsmith

& Weber, 2000).

21

(2). Simpatomimetik

Golongan β2 agonis bekerja dengan mengaktivasi adenilat siklase

sehingga meningkatkan pembentukan cyclic Adenosine Mono Phosphate (cAMP)

yang bertanggung jawab memperantarai terjadinya relaksasi otot polos bronkus.

Juga memperbaiki pembersihan mukosiliar. Terdapat beberapa evidence bahwa

obat simpatomimetik dapat meningkatkan kontraktilitas diafragma dan

memperbaiki cor pulmonale (Bourdet, dan Williams, 2005; Goldsmith & Weber,

2000).

Pada pasien dengan PPOK yang stabil, simpatomimetik direkomendasikan

sebagai terapi lini kedua, sebagai tambahan atau menggantikan ipratropium untuk

pasien yang tidak menunjukkan keuntungan klinik yang memuaskan dengan

menggunakan ipratropium saja. Sedangkan penggunaan β2 agonis pada

eksaserbasi akut merupakan pilihan pertama karena onset kerjanya yang cepat

(Ikawati, 2007).

Golongan β2 agonis ada yang mempunyai masa kerja pendek, misalnya

salbutamol, terbutalin, dan prokaterol. Dan ada juga yang mempunyai masa kerja

yang panjang seperti formoterol dan salmeterol. Meskipun pemberian β2 agonis

masa kerja pendek inhalasi hanya memberikan sedikit perbaikan pada FEV1

secara akut, namun dapat memperbaiki gejala dan toleransi latihan. Durasi β2

agonis masa kerja pendek sekitar 4-6 jam. Inhalasi β2 agonis masa kerja panjang

memberikan keuntungan durasi yang lebih panjang (sampai dengan 12 jam) tanpa

mengurangi efektifitas. Albuterol, tersedia dalam sediaan oral dan inhalasi,

22

merupakan golongan β2 agonis yang paling sering digunakan (Bourdet &

Williams, 2005).

Efek samping dari obat-obat golongan β2 agonis dapat berupa rasa gugup,

tremor, takikardi, palpitasi, mengantuk, nyeri kepala, mual, muntah, dan

berkeringat. Namun, efek samping sistemik ini jarang terjadi pada pemberian

secara inhalasi. Penggunaan beta-2 agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati

pada penderita dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung

kongestif, hipertiroid, atau diabetes (Setiawatia, 1995).

(3). Kombinasi simpatomimetik dengan antikolinergik

Kombinasi antara golongan bronkodilator itu sendiri telah banyak

digunakan dalam terapi PPOK, khususnya yang perkembangan penyakitnya

memburuk. Kombinasi bronkodilator dengan mekanisme aksi yang berbeda

memberikan kemungkinan efektifitas dalam penggunaan dosis dan menurunkan

potensial efek samping dari masing-masing obat. Kombinasi dari β2 agonis masa

kerja pendek dan panjang dengan ipratropium menunjukkan adanya pengurangan

gejala dan peningkatan fungsi jantung (Bourdet & Williams, 2005).

(4). Metilksantin

Golongan metilksantin seperti teofilin dan amonifilin, sudah cukup lama

digunakan sebagai lini pertama terapi PPOK. Namun dengan makin banyaknya

golongan β2 agonis dan antikolinergik inhalasi, serta banyaknya potensi interaksi

obat antara teofilin/aminofilin serta variabilitas respon antar dan inter pasien,

golongan metilksantin ini bergeser menjadi terapi lini ketiga (Ikawati, 2007).

23

Metilksantin menghasilkan efek bronkodilatasi melalui beberapa

mekanisme, yaitu: (1) penghambatan fosfodiesterase sehingga meningkatkan level

cAMP, (2) penghambatan influx ion kalsium ke dalam sel otot polos, (3)

antagonis prostaglandin, (4) stimulasi katekolamin endogen, (5) antagonis

reseptor adenosin, serta (6) penghambatan pelepasan mediator dari sel mast dan

leukosit (Bourdet & Williams, 2005).

Bentuk sediaan lepas lambat merupakan bentuk yang paling tepat untuk

terapi pemeliharaan PPOK, karena menghasilkan kadar serum yang lebih

konsisten. Penggunaan golongan metilksantin sendiri tidak banyak memberikan

perbaikan atau pemburukan pada perkembangan penyakit PPOK. Namun jika

diberikan sebagai terapi tambahan bagi bronkodilator lain yang mendukung

hipotesis bahwa terdapat efek sinergistik pada bronkodilatasi (Ikawati,2007).

Untuk terapi pemeliharaan, dosis awal teofilin yaitu 200 mg 2x sehari, dan

dapat dititrasi setiap 3-5 hari, sampai tercapai dosis targetnya. Sebagian besar

pasien memerlukan dosis antara 400-900 mg sehari. Penyesuaian dosis seharusnya

dilakukan berdasarkan kadar serum teofilin. Kadar terapetik teofilin adalah 10-20

mcg/mL, namun karena efek sampingnya yang tergantung dosis dan tidak

memberikan keuntungan tambahan pada kadar yang lebih tinggi, maka kadar

terapetik yang lebih umum digunakan yaitu 8-15 mcg/mL (terutama pada usia

lanjut (Bourdet & Williams, 2005).

Efek samping teofilin yang paling umum terkait dengan sistem

gastrointestinal, kardiovaskuler, dan sistem saraf pusat. Efek samping minor

berupa dispepsia, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, dan takikardi.

24

Toksisitas lebih serius yang terjadi pada kadar toksik dapat berupa aritmia dan

kejang (Bourdet & Williams, 2005).

b). Kortikosteroid

Pada penatalaksanaan terapi PPOK, penggunaan kortikosteroid sebagai

antiinflamasi memberikan keuntungan antara lain: (1) mereduksi permeabilitas

kapiler untuk mengurangi mukus; (2) menghambat pelepasan enzim proteolitik

dari leukosit; dan (3) menghambat prostaglandin. Penggunaan kortikosteroid

sistemik jangka pendek diberikan untuk penderita PPOK eksaserbasi akut,

sedangkan terapi inhalasi untuk penderita PPOK stabil derajat III atau IV

(FEV<50%) yang berulang kali mengalami eksaserbasi (Bourdet & Williams,

2005).

Beberapa produk kortikosteroid inhalasi tersedia di pasaran, namun

flutikason dan budesonid memberikan potensi dan bentuk sediaan yang lebih

nyaman bagi pasien karena membutuhkan inhalasi yang lebih sedikit dibanding

yang lain. Dosis tinggi budesonid berada pada kisaran 600-1000 µg/hari (3-5

inhalasi), sedangkan dosis pemeliharaan yang rendah antara 200-400 µg/hari (1-2

inhalasi). Flutikason memiliki potensi 220 µg/puff, dengan dosis pemeliharaannya

berada pada kisaran 220-440 µg/hari (Goldsmith & Weber, 2000).

Terapi untuk pasien eksaserbasi akut dimulai dengan metilprednisolon 0,5-

1 mg/kg setiap 6 jam. Bila gejala pasien telah membaik dapat diganti dengan

prednison 40-60 mg sehari. Steroid sebaiknya dihentikan secara tapering untuk

meminimalisasi penekanan hypothalamic pituitary adrenal (HPA). Bila

25

diperlukan terapi lebih lama, digunakan dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan

pada pagi hari atau selang hari (Ikawati, 2007).

Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan

terkait efek samping miopati steroid yang dapat mengakibatkan lemah otot,

penurunan fungsi pernafasan, dan kegagalan pernafasan pada pasien dengan

PPOK berat (GOLD, 2007). Efek samping kortikosteroid inhalasi relatif ringan

dibanding penggunaan secara sistemik. Sakit tenggorokan, suara parau,

candidiasis oral, dan kulit memar pernah dilaporkan terjadi. Efek samping

sistemik yang berat diantaranya supresi adrenal, osteoporosis, dan katarak

(Bourdet & Williams, 2005).

c). Kombinasi bronkodilator dan inhalasi kortikosteroid

Terapi kombinasi antara bronkodilator masa kerja panjang dengan inhalasi

kortikosteroid menunjukkan manfaat yang lebih besar dibanding pemberian

obatnya dalam bentuk tunggal. Misalnya kombinasi salmeterol dan flutikason atau

formoterol dan budesonid yang menunjukkan peningkatan outcome klinis seperti

FEV1, status kesehatan, dan frekuensi eksaserbasi. Kombinasi ini juga lebih

nyaman bagi pasien dan menurunkan kebutuhan jumlah inhalasi per hari (Bourdet

& Williams, 2005).

d). Antibiotik

Data menunjukkan bahwa sedikitnya 80% eksaserbasi akut PPOK

disebabkan oleh infeksi. Dari infeksi ini, 40-50%nya disebabkan oleh bakteri,

30% oleh virus, dan 5-10% tidak diketahui bakteri penyebabnya. Karena itu

26

antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam

penatalaksanaan PPOK (Ikawati, 2007).

Sebuah studi metaanalisis menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan

harus dimulai jika pasien memperlihatkan minimal 2 dari 3 gejala berikut:

peningkatan dispnea, peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi

sputum (Bourdet & Williams, 2005).

Terapi antibiotik dimulai dalam 24 jam setelah gejala terlihat untuk

mencegah percepatan penurunan fungsi paru-paru karena iritasi dan sumbatan

karena adanya proses infeksi. Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk

PPOK eksaserbasi akut dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada PPOK Eksaserbasi Akut

Karakteristik pasien Pathogen penyebab

yang mungkin Terapi yang direkomendasikan

Eksaserbasi tanpa komplikasi <4x eksaserbasi

setahun Tidak ada penyakit

penyerta FEV1 >50%

S. pneumonia, H. influenza, H. parainfluenzae, dan M. catarrhalis Umumnya tidak resisten

Makrolida (azitromisin, klaritromisin)

Sefalosporin generasi 2 atau 3

Doksisiklin

Eksaserbasi kompleks Umur >65 tahun >4x eksaserbasi

pertahun Tidak ada penyakit

penyerta FEV1 <50% tapi

>35%

Seperti diatas, ditambah H. influenzae dan M. catarrhalis penghasil beta laktamase

Amoksisilin/klavulanat Fluorokuinolon

(levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin)

Eksaserbasi kompleks dengan risiko Pseudomonas aeruginosa

Seperti diatas, ditambah P. aeruginosa

Fluorokuinolon (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin)

Terapi I.V. jika diperlukan : sefalosporin generasi 3 atau 4

(Bourdet & Williams, 2005)

27

e). Terapi pengganti AAT (α1 antitripsin)

Pasien dengan defisiensi α1 antitripsin secara genetik, selain dilakukan

terapi yang terfokus pada pengurangan faktor risiko dan gejala dengan pemberian

bronkodilator, dapat juga ditambahkan terapi untuk penggantian AAT. Terapi

pengganti AAT ini berupa infus pooled human AAT yang diberikan tiap minggu

untuk menjaga kadar AAT plasma berada diatas 10 mikromolar. Namun terapi ini

masih banyak menimbulkan masalah, kaitannya dengan harga yang mahal dan

ketersediaan produk yang memenuhi syarat. Saat ini ada 3 produk yang sudah

tersedia yaitu Prolastin, Aralast, dan Zemaira (Bourdet & Williams, 2005).

2. Drug Related Problems (DRPs)

DRPs merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman

pasien akibat terapi obat, sehingga secara aktual maupun potensial dapat

mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan (Cipolle et al., 1998).

DRPs dapat berupa masalah aktual maupun potensial. DRPs aktual adalah

problem atau masalah yang sudah terjadi pada pasien, dan farmasis harus

berusaha menyelesaikannya. Sedangkan DRPs potensial adalah suatu problem

atau masalah yang mungkin terjadi, suatu risiko yang dapat berkembang pada

pasien jika farmasis tidak melakukan suatu tindakan untuk mencegahnya (Rovers

et al., 2003).

Tabel 3 menunjukkan hubungan antara Drug Related Needs dan Drug

Related Problems. Sementara tabel 4 menunjukkan klasifikasi DRPs yang dibuat

berdasarkan masalah yang dialami pasien.

28

Tabel 3. Drug Related Needs dan Drug Related Problems

Drug Related Needs Drug Related Problems (DRPs) Ketepatan indikasi Terapi obat yang tidak perlu

Membutuhkan obat Efektivitas Obat salah

Dosis terlalu rendah Keamanan Adverse Drug Reaction

Dosis terlalu tinggi Kepatuhan pasien Gagal menerima obat

(Rovers et al., 2003)

Tabel 4. Kategori DRP dan Penyebabnya

Jenis DRPs Penyebab DRPs Terapi obat yang tidak perlu

Pasien menerima obat tanpa ada indikasi yang jelas Pasien menerima lebih dari satu macam obat yang sebenarnya tidak perlu (duplikasi terapi) Terapi non obat lebih sesuai bagi pasien Pasien menerima terapi obat untuk mencegah efek samping obat lain yang sebenarnya dapat dicegah Penggunaan obat adiktif

Indikasi yang tidak diterapi

Pasien membutuhkan terapi obat baru Pasien menderita penyakit kronis sehingga membutuhkan terapi obat lanjutan Kondisi pasien membutuhkan kombinasi obat Pasien berisiko mengalami komplikasi yang dapat dicegah dengan terapi profilaksis

Obat salah Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat Obat yang diberikan kepada pasien bukan merupakan obat yang paling efektif untuk penyakitnya Obat efektif tetapi bukan yang paling murah Obat efektif tetapi bukan yang paling aman Bakteri bersifat resisten terhadap obat

Dosis subterapi Dosis obat terlalu rendah untuk mencapai respon Kadar obat dalam darah berada di bawah kisaran terapi Frekuensi pemberian obat tidak tepat Cara pemberian obat tidak tepat

Adverse Drug Reaction (ADRs)

Pasien mengalami reaksi alergi terhadap obat Pasien mengalami reaksi idiosinkrasi terhadap obat Bioavailabilitas obat berubah karena terjadi interaksi dengan obat lain Efek obat berubah karena adanya induksi/inhibisi enzim oleh obat lain Efek obat berubah karena terjadi interaksi dengan makanan Efek obat berubah karena pendesakan ikatan obat-protein oleh obat lain

29

Tabel 4. (..Lanjutan)

(Cipolle et al., 1998)

a. Terapi obat yang tidak perlu

Terapi obat yang tidak perlu, selain menempatkan pasien pada risiko efek

samping atau toksisitas obat, juga meningkatkan biaya dari terapi itu sendiri.

Terapi obat dianggap tidak perlu untuk pasien jika tidak terdapat indikasi yang

jelas untuk obat tersebut. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa obat

digunakan untuk beberapa alasan, tidak hanya untuk mengobati penyakit maupun

mengurangi gejala, namun juga untuk profilaksis dan pencegahan dan untuk

proses diagnosis (Cipolle et al., 1998).

Jika seorang pasien menerima kombinasi terapi dimana penggunaan satu

obat sudah cukup efektif, maka pasien dianggap mendapatkan terapi obat yang

tidak perlu. Duplikasi seperti ini seringkali terjadi misalnya pada pasien yang

menerima lebih dari satu macam analgesik, antidiare, atau laksatif untuk indikasi

yang sama (Cipolle et al., 1998).

Terapi obat yang tidak perlu terjadi karena beberapa sebab, antara lain: (1)

tidak ada indikasi medis; (2) penggunaan obat adiktif/rekreasional; (3) terapi non

Jenis DRPs Penyebab DRPs Dosis terlalu tinggi

Dosis obat terlalu tinggi Kadar obat dalam darah melebihi kisaran terapi Frekuensi pemberian obat tidak tepat Durasi pemberian obat tidak tepat

Gagal menerima obat

Pasien tidak menerima obat yang tepat karena terjadi medication error (kesalahan peresepan, peracikan, atau pemberian obat) Pasien tidak mematuhi petunjuk penggunaan obat Pasien tidak mampu membeli obat Pasien kurang memahami petunjuk penggunaan obat Pasien tidak minum obat karena alasan pribadi

30

obat lebih sesuai untuk pasien; (4) duplikasi terapi; serta (5) penggunaan obat

untuk mencegah efek samping obat lain yang dapat dicegah (Cipolle et al., 1998).

b. Indikasi yang tidak diterapi

DRPs tipe ini terjadi apabila pasien memerlukan terapi obat baru untuk

penyakitnya, pasien memerlukan terapi tambahan untuk mendapatkan pengobatan

yang optimal, atau pasien berisiko untuk mengalami komplikasi sehingga

memerlukan terapi untuk mencegah penyakit tersebut (Cipolle et al., 1998).

Kontinuitas dalam terapi obat penting untuk diperhatikan, terutama pada

kasus penyakit dan gangguan kronis yang memerlukan terapi jangka panjang

untuk mengurangi simtom, misalnya nyeri pada pasien dengan rheumatoid

arthritis. DRPs kemungkinan dapat terjadi jika pasien tersebut pindah dari satu

rumah sakit ke rumah sakit lain, dari satu dokter ke dokter lain, atau dari satu

farmasis ke farmasis lain yang menyebabkan terapi mereka tidak dilanjutkan.

Dalam situasi ini, kontinuitas terapi obat akan terputus dan berdampak pada

terjadinya DRPs (Cipolle et al., 1998).

Contoh lain adalah pasien yang membutuhkan terapi kombinasi obat,

misalnya pada individu dengan Hodgin’s disease stage III yang memerlukan

kemoterapi kombinasi untuk memperoleh efek cell killer yang lebih besar. Hal

yang sama juga terjadi pada pasien tuberculosis yang membutuhkan minimal 2

antibakteri untuk eradikasi bakteri. Hal tersebut terkait risiko resistensi dan infeksi

yang berlanjut jika hanya menggunakan monoterapi (Cipolle et al., 1998).

Penyebab utama pasien membutuhkan terapi obat baru atau tambahan

yaitu: (1) untuk terapi kondisi sebelumnya yang belum diterapi; (2) untuk

31

memperoleh efek sinergis atau potensiasi; dan (3) untuk terapi pencegahan atau

profilaksis (Cipolle et al., 1998).

c. Obat salah

Suatu terapi dapat dikatakan tidak tepat atau salah apabila pasien tidak

memperoleh atau kemungkinan besar tidak akan memperoleh outcome terapi

yang diinginkan. Efektifitas dan toksisitas obat harus menjadi pertimbangan

farmasis pada saat menentukan terapi yang tepat untuk pasien. Adanya

keseimbangan antara keduanya akan meningkatkan kenyamanan dan kualitas

hidup pasien. Terapi obat bersifat individual untuk masing-masing pasien. Suatu

regimen dikatakan sebagai obat yang salah untuk pasien tertentu belum tentu

halnya demikian untuk pasien yang lainnya. Secara garis besar, pemilihan terapi

obat jarang yang bersifat 100% benar, namun juga jarang 100% salah (Cipolle et

al., 1998).

Keberhasilan dan keefektifan terapi obat tergantung pada identifikasi dan

diagnosis terhadap problem pasien. Faktor-faktor yang menentukan ketepatan

pemilihan terapi obat diantaranya kondisi medis pasien, keparahan penyakit,

penyakit infeksi dan organisme penyebab, usia, dan status kesehatan pasien

termasuk keadaan ginjal, hepatik, kardiovaskuler, neurologis, kognitif, dan

imunitas (Cipolle et al., 1998).

Beberapa penyebab ketidaktepatan pemilihan obat antara lain:

1). Pasien mengalami masalah klinis karena obat yang diberikan tidak efektif

2). Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat yang diterima

3). Obat yang diterima oleh pasien bukan merupakan obat yang paling efektif

32

4). Pasien menerima obat yang efektif tapi bukan yang paling murah

5). Pasien mempunyai kontra indikasi terhadap obat yang diterima

6). Obat yang diterima pasien tidak efektif terhadap bakteri penyebab infeksi

7). Pasien menerima kombinasi yang tidak diperlukan (Cipolle et al., 1998).

d. Dosis subterapi

Secara garis besar, regimen dosis obat yang dianggap sebagai dosis

subterapi apabila pasien telah diterapi sesuai dengan indikasinya, tidak mengalami

efek samping akibat obat, akan tetapi tidak memperoleh manfaat terapi yang

diinginkan (Cipolle et al., 1998).

Dikatakan dosis kurang atau dosis terlalu rendah adalah apabila dosis yang

diterima pasien berada dibawah 20% dari rentang dosis terapi yang seharusnya

diterima pasien. FDA menetapkan kriteria bioekuivalensi obat adalah sebesar 80-

125% pada 90% interval Area Under Curve (AUC) dan konsentrasi obat dalam

darah maksimum (Cmax). Kriteria ini digunakan pada obat baik yang

variabilitasnya rendah maupun tinggi (Food and Drug Administration, 2004).

Faktor penyebab dosis subterapi diantaranya: (1) dosis obat salah (terlalu

rendah); (2) frekuensi pemberian obat tidak tepat; (3) durasi terapi tidak tepat; (4)

penyimpanan obat tidak tepat; dan (5) cara pemberian obat tidak tepat (Cipolle et

al., 1998).

e. Dosis berlebih

Perubahan paling berarti dalam menapaki usia lanjut ialah berkurangnya

fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat

penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi

33

obat sering berkurang, dengan akibat perpanjangan atau intensitas kerjanya.

Dalam setiap keadaan perlu memakai dosis kecil bila dijumpai penurunan fungsi

ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang

sempit (Darmansjah, 2006). Pasien yang memiliki disfungsi ginjal akan

mengalami akumulasi obat atau metabolit obat yang eliminasinya tergantung pada

kerja sistem ginjal (Cipolle et al., 1998).

Menurut FDA, dikatakan dosis berlebih atau dosis terlalu tinggi adalah

apabila dosis yang diterima pasien berada 25% di atas dosis standar yang

seharusnya diterima (Food and Drug Administration, 2004). Apabila seorang

pasien telah mengalami efek abnormal potensial maupun aktual dari pengobatan,

seharusnya dosis obat atau interval pengobatan diturunkan berdasarkan pada level

obat tersebut terakumulasi dalam tubuh (Cipolle et al., 1998).

DRP jenis dosis berlebih ini dapat terjadi karena peningkatan level obat

dalam tubuh akibat beberapa hal berikut ini: (1) dosis obat salah (terlalu tinggi);

(2) frekuensi pemberian obat yang tidak tepat; (3) durasi pengobatan yang tidak

tepat (Cipolle et al., 1998).

Penyesuaian dosis untuk pasien lanjut usia biasanya berdasarkan nilai

klirens kreatininnya. Pengukuran klirens kreatinin, meskipun tidak sepenuhnya

akurat pada tiap individu, namun dapat digunakan untuk memperkirakan

penurunan fungsi ginjal. Banyak rumus yang dapat digunakan untuk memprediksi

nilai klirens kreatinin berdasarkan serum kreatinin dan variabel lain seperti umur,

jenis kelamin, ras, dan ukuran tubuh. Perhitungan klirens kreatinin yang paling

umum adalah menggunakan rumus Cockcroft dan Gault (Lindblad et al., 2005).

34

Namun pada penelitian ini klirens kreatinin pasien dihitung dengan rumus Jellife,

karena tidak semua berat badan pasien tercantum dalam rekam medis. Metode

Jellife memperhitungkan umur penderita dan pada umumnya dapat dipakai untuk

penderita dewasa yang berumur 20-80 tahun. Dengan metode ini makin tua

penderita makin kecil klirens kreatinin untuk konsentrasi kreatinin serum yang

sama. Untuk penderita wanita hendaknya menggunakan 90% dari klirens kreatinin

yang diperoleh untuk penderita pria (Shargel & Yu, 2005).

Keterangan :

ClCr = klirens kreatinin (ml/menit)

SeCr = serum kreatinin (mg/dL)

f. Interaksi Obat

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat

obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan; atau bila dua

atau lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas

satu obat atau lebih berubah. Interaksi obat dapat membahayakan, baik dengan

meningkatkan toksisitas obat atau dengan mengurangi khasiatnya (Fradgley,

2003).

Menurut jenisnya, interaksi obat dibedakan menjadi :

1). Interaksi Farmasetik/Inkompatibilitas

Interaksi ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang

tidak dapat campur (inkompatibel). Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat

(Setiawatib, 1995).

35

2). Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputi

absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi (Fradgley, 2003). Interaksi

farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan

dengan obat yang berinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar

obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi

sifat-sifat farmakokinetiknya (Setiawatib, 1995).

a). Interaksi pada proses absorpsi

Apabila obat diberikan secara per oral, absorpsinya di saluran pencernaan

kompleks dan bervariasi, sehingga menyebabkan interaksi obat tipe ini sulit

diperkirakan. Absorpsi saluran cerna obat dapat dipengaruhi oleh penggunaan

bersama bahan-bahan lain yang: (1) memiliki area permukaan tempat absorpsi

yang luas; (2) mengikat atau meng-khelasi; (3) mengubah pH lambung; (4)

mengubah motilitas gastrointestinal; atau (5) mempengaruhi transport protein

seperti p-glycoprotein. Interaksi yang mengurangi kecepatan absorpsi dan

interaksi yang mengurangi jumlah obat yang diabsorpsi perlu dibedakan.

Penurunan hanya pada laju absorpsi obat secara klinis tidak begitu penting,

sedangkan penurunan tingkat absorpsi akan secara klinis penting jika

menimbulkan kadar serum subterapetik (Hansten, 2004).

b). Interaksi pada proses distribusi

Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat

ikatan dengan protein plasma yang sama dan satu atau lebih obat didesak dari

ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini mengakibatkan peningkatan sementara

36

konsentrasi obat bebas (aktif). Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya

dengan protein tinggi (Fradgley, 2003).

c). Interaksi pada proses metabolisme

Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom

P450 monooksigenase. Induksi enzim oleh suatu obat dapat meningkatkan

kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek.

Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan peningkatan

toksisitas obat lain (Fradgley, 2003).

d). Interaksi pada proses eliminasi

Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerolus dan sekresi

tubular aktif. Ekskresi ginjal dari beberapa obat asam lemah atau basa lemah

dapat dipengaruhi oleh obat lain yang mempengaruhi pH urin. Untuk beberapa

obat yang eliminasinya melalui sekresi aktif ke dalam tubulus ginjal dapat

dipengaruhi oleh terapi obat yang menyertainya, sehingga mengubah kadar obat

dalam serum dan mengubah respon farmakologis (Hansten, 2004).

3). Interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada

sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik atau

antagonistik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik

seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang

berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan lamanya efek

farmakodinamik (Setiawatib, 1995). Efek yang terjadi pada interaksi

37

farmakodinamik dapat berupa: (1) sinergisme, (2) antagonisme, (3) efek reseptor

tidak langsung, serta (4) gangguan cairan dan elektrolit (Fradgley, 2003).

Selain ketiga jenis interaksi diatas, interaksi obat juga dapat dibedakan

menjadi:

1). Berdasarkan level kejadiannya, interaksi obat terdiri dari establish (sangat

mantap terjadi), probable (interaksi obat bisa terjadi), suspected (interaksi

obat diduga terjadi), possible (interaksi obat mungkin terjadi, belum pasti

terjadi), serta unlikely (interaksi obat tidak terjadi) (Tatro, 2001).

2). Berdasarkan onsetnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu

interaksi dengan onset cepat (efek interaksi terlihat dalam 24 jam) dan

interaksi dengan onset lambat (efek interaksi terlihat alam beberapa hari

sampai minggu) (Tatro, 2001).

3). Berdasarkan keparahannya, interaksi obat dibagi menjadi 3 tipe yaitu mayor

(dapat menyebabkan kematian), moderat (sedang), dan minor (tidak begitu

masalah, dapat diatasi dengan baik) (Tatro, 2001).

Langkah pertama dalam penatalaksanaan interaksi obat adalah waspada

terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin dapat berinteraksi

dengan obat lain. Kemudian perlu untuk dinilai apakah interaksi yang terjadi

bermakna klinis dan ditemukan kelompok pasien yang berisiko mengalami

interaksi obat. Langkah berikutnya adalah memberitahu dokter dan

mendiskusikan berbagai langkah yang dapat diambil untuk meminimalkan

berbagai efek samping obat yang mungkin terjadi. Beberapa strategi dalam

penatalaksanaan interaksi obat antara lain :

38

1). Hindari kombinasi obat yang berinteraksi

Jika risiko interaksi obat lebih besar daripada manfaatnya, maka harus

dipertimbangkan untuk memakai obat pengganti. Pemilihan obat pengganti

tergantung pada apakah interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang

berkaitan dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang spesifik

(Fradgley, 2003).

2). Penyesuaian dosis

Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka

perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat untuk mengimbangi

kenaikan atau penurunan efek obat tersebut (Fradgley, 2003).

3). Memantau pasien

Jika kombinasi obat yang saling berinteraksi diberikan, pemantauan

diperlukan, yang meliputi pemantauan klinis, pengukuran kadar obat dalam darah,

dan pengukuran indikator interaksi (Fradgley, 2003).

4). Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya

Jika interaksi obat tidak bermakna klinis, atau jika kombinasi obat yang

berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal, pengobatan pasien

dapat diteruskan tanpa perubahan (Fradgley, 2003).

g. Potentially Inappropriate Medications (PIMs)

Pasien usia lanjut sangat identik dengan adanya banyak penyakit pada

waktu yang bersamaan sehingga diresepkan banyak obat. Hal tersebut

meningkatkan risiko kejadian Adverse Drug Events (ADEs) serta interaksi obat-

obat atau obat-penyakit. Beberapa obat memberikan risiko khusus pada pasien

39

usia lanjut sebagai hasil dari perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada

kelompok usia tersebut. Sehingga peresepan beberapa obat dinilai kurang tepat,

terutama jika terdapat alternatif obat yang lebih aman (Gallagher & O’Mahony,

2008).

Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

PIMs pada geriatri, diantaranya kriteria Beers, STOPP (Screening Tool of Older

People’s Potentially Inappropriate Prescriptions), dan kriteria Laroche (French

list). Kriteria-kriteria tersebut merupakan hasil konsensus para ahli yang

dilakukan melalui studi literatur dan kuesioner yang dievaluasi oleh para ahli di

bidang geriatrik, farmakologi klinik, dan psikofarmakologi menggunakan teknik

Delphi yang dimodifikasi. Metode Delphi adalah suatu prosedur dan metode

untuk merumuskan satu kesimpulan mengenai sesuatu hal dimana informasi yang

akurat kurang mencukupi. Kriteria Beers merupakan kriteria yang pertama dan

paling sering digunakan. Kriteria Beers pertama kali dipublikasikan pada tahun

1991 dan diperbarui pada tahun 1997 dan 2003, dimana ada 48 obat yang

seharusnya dihindari pada pasien geriatri (independent diagnosis) dan 20 penyakit

atau kondisi medis dimana penggunaan obat-obat tertentu sebaiknya dihindari

(considering diagnosis) (Fick et al., 2003).

Meskipun kriteria Beers paling sering digunakan untuk mendeteksi PIMs

dalam studi epidemiologi skala besar, namun beberapa kriteria Beers masih

kontroversial. Beberapa obat dalam daftar kriteria Beers merupakan obat lama dan

sudah tidak tersedia di Eropa. Selain itu, beberapa obat dalam kriteria Beers

sebenarnya tidak dikontraindikasikan untuk pasien geriatri menurut beberapa

40

formularium terkini seperti British National Formulary. Kriteria Beers juga tidak

memasukkan sejumlah obat ke dalam PIMs misalnya interaksi obat-obat, atau

duplikasi kelas obat pada geriatri. Adanya kesalahan/kelalaian peresepan juga

tidak dipertimbangkan dalam kriteria ini, dan belum ada RCT prospektif yang

secara khusus menggunakan kriteria Beers sebagai intervensi untuk memperbaiki

ketidaktepatan pengobatan atau meminimalkan ADEs (O’Mahony et al., 2010).

Kriteria STOPP dipublikasikan pada tahun 2006, dimana di dalamnya

terdapat 65 obat yang termasuk PIMs dengan mempertimbangkan keadaan klinis

pasien. Sementara French list memasukkan 36 kriteria yang dapat dipakai pada

pasien berusia ≥75 tahun, 29 kriteria digunakan pada semua pasien (independent

diagnosis) dan 5 kriteria merupakan obat yang seharusnya dihindari pada kondisi

medis tertentu. Dua puluh lima kriteria obat dengan rasio manfaat-risiko yang

tidak menguntungkan, satu obat dengan efikasi yang dipertanyakan, dan 8 obat

yang termasuk keduanya (O’Mahony et al., 2010 ; Laroche et al., 2007).

3. Geriatri

Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Kriteria kelompok lanjut usia menurut Departemen Kesehatan RI yaitu kelompok

usia lebih dari 60 tahun. Sedangkan menurut WHO, usia yang termasuk kelompok

geriatri adalah lebih dari 65 tahun (Boedhi-Darmojo & Martono, 2006).

41

Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk

anatomi, fisiologi, psikologi, dan juga sosiologi. Perubahan fisiologi yang terkait

lanjut usia akan memberikan efek serius pada banyak proses yang terlibat dalam

penatalaksanaan obat (Prest, 2003).

a. Perubahan farmakokinetika

1). Absorpsi

Perubahan fisiologis yang terjadi pada fase ini antara lain penundaan

pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran darah jaringan,

serta perubahan motilitas gastrointestinal. Perubahan tersebut secara teori

berpengaruh terhadap absorpsi obat, namun sebagian besar obat diabsorbsi

melalui difusi pasif sehingga perubahan fisiologi terkait usia tidak berpengaruh

secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang terabsorpsi. Beberapa

pengecualian termasuk digoksin maupun obat dan substansi lain dengan

mekanisme aktif yang absorpsinya berkurang, contohnya adalah tiamin, kalsium,

besi, dan beberapa jenis gula (Prest, 2003; Linblad et al., 2005).

2). Distribusi

Dibandingkan dengan orang dewasa muda, orang lanjut usia mengalami

penurunan massa tubuh tanpa lemak, penurunan jumlah total dan presentasi kadar

air dalam tubuh, dan peningkatan lemak sebagai persentase dari massa tubuh.

Biasanya terdapat penurunan albumin serum yang mengikat berbagai jenis obat,

terutama asam lemah. Dapat pula terjadi peningkatan secara bersamaan α-acid

glycoprotein. Dengan demikian, rasio obat yang terikat terhadap obat bebas dapat

berubah secara bermakna. Perubahan aliran darah organ akan mengakibatkan

42

penurunan perfusi pada anggota gerak, hati, mesenterium, otot jantung, dan otak.

Perfusi menurun sampai dengan 45% pada pasien usia lanjut jika dibandingkan

dengan pasien usia 25 tahun (Katzung, 2004; Prest, 2003).

3). Metabolisme hati

Terdapat reduksi massa hati 35% mulai usia 30 tahun sampai dengan 90

tahun sehingga menurunkan kapasitas metabolisme intrinsik hati pada pasien usia

lanjut. Keadaan tersebut bersama-sama dengan penurunan aliran darah hati,

menjadi penyebab utama dalam peningkatan bioavailabilitas obat yang mengalami

metabolisme lintas pertama. Faktor lain yang berpengaruh pada metabolisme obat

oleh hati terkait dengan perubahan enzimatik yang muncul dengan bertambahnya

usia. Pada obat-obat dengan indeks terapetik sempit, perubahan-perubahan

tersebut dapat bermakna klinis (Prest, 2003).

4). Ekskresi ginjal

Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomeruler dan fungsi

tubuler, semuanya merupakan perubahan yang terjadi dengan tingkat yang

berbeda pada usia lanjut. Kecepatan filtrasi gromeruler menurun sekitar 1% per

tahun dimulai pada usia 40 tahun. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan

beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada usia lanjut (Prest, 2003).

b. Perubahan farmakodinamika

Perubahan-perubahan farmakodinamik pada pasien usia lanjut dapat

merubah respon terhadap obat. Perubahan yang terjadi meliputi penurunan

kemampuan dalam menjaga keseimbangan homeostatik serta perubahan pada

reseptor-reseptor spesifik dan sasaran.

43

1). Penurunan kemampuan dalam menjaga keseimbangan homeostatik

Endokrin, transmisi neuromuskular dan respon organ semuanya akan

menurun dengan bertambahnya usia, yang berakibat pada ketidakmampuan untuk

menjaga keseimbangan homeostatik. Sistem yang biasanya mengalami gangguan

antara lain pengaturan temperatur, fungsi usus dan kandung kemih, pengaturan

tekanan darah, keseimbangan cairan/elektrolit, dan fungsi kognitif (Prest, 2003).

2). Perubahan pada reseptor-reseptor spesifik dan tempat sasaran

Perubahan densitas reseptor atau afinitas molekul obat pada reseptor akan

merubah responnya terhadap obat. Gangguan aktivasi enzim atau perubahan

respon jaringan sasaran dapat menyebabkan perubahan respon terhadap obat.

Beberapa reseptor yang mengalami perubahan respon pada usia lanjut antara lain

adrenoreseptor alfa, adrenoreseptor beta, dan reseptor benzodiazepin (Prest,

2003).

4. Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang komplek menggunakan

gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan

personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medis

modern yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik

(Siregar & Amalia, 2003).

Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan

menyelenggarakan 2 jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesehatan

dan pelayanan administrasi. Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medis,

44

rehabilitasi medis, dan pelayanan perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan

melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan, dan unit rawat inap. Dalam

perkembangannya, terjadi perubahan fungsi klasik rumah sakit yang pada awalnya

hanya memberi pelayanan yang bersifat penyembuhan (kuratif) terhadap pasien

melalui rawat inap, saat ini pelayanan rumah sakit tidak saja bersifat

penyembuhan (kuratif), tetapi juga bersifat pemulihan (rehabilitatif). Kedua

dilaksanakan secara terpadu melalui upaya promosi kesehatan (promotif) dan

pencegahan (preventif) (Muninjaya, 1999).

Menurut SK Menteri Kesehatan RI Nomor 983/MENKES/SK/XI/1992

tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya

guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan

pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya

peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan (Siregar & Amalia,

2003).

Guna melaksanakan tugasnya rumah sakit mempunyai berbagai fungsi,

yaitu menyelenggarakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medik dan non

medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan

pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta administrasi umum dan keuangan

(Siregar & Amalia, 2003).

Berdasarkan jenis pelayanan dan kelasnya, rumah sakit dibedakan menjadi

4, yaitu :

a. Rumah Sakit kelas A, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan

medik spesialistik luas dan subspesialistik luas.

45

b. Rumah Sakit kelas B, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan

medik sekurang-kurangnya 11 spesialistik dan subspesialistik terbatas.

c. Rumah Sakit kelas C, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan

medik spesialistik dasar.

d. Rumah Sakit kelas D, yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan

medik dasar (Siregar & Amalia, 2003).

Rumah Sakit Dr. Sardjito adalah rumah sakit umum kelas A yang

merupakan rujukan untuk daerah Propinsi DIY dan Jawa Tengah bagian selatan.

Hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1174/MENKES/SK/2004 pada tanggal 18 Oktober 2004 tentang Penetapan Kelas

RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Rujukan yang diberikan adalah rujukan pelayanan

medis, rujukan pengetahuan maupun ketrampilan medis dan non medis (Anonim,

2009).

5. Rekam Medis

Definisi rekam medis menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal

Pelayanan Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang

identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan, dan

pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat di rumah

sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar & Amalia, 2003).

Rekam medis dianggap informatif apabila memuat informasi sebagai

berikut (Gitawati, 1996):

46

a. Karakteristik/demografi penderita (identitas, usia, jenis kelamin, pekerjaan,

dan sebagainya).

b. Tanggal kunjungan, tanggal rawat/selesai rawat.

c. Penyakit dan pengobatan sebelumnya.

d. Catatan anamnesis, gejala klinis yang diobservasi, hasil pemeriksaan

penunjang medis (laboratorium, EKG, dan sebagainya).

e. Catatan penatalaksanaan penderita, tindakan terapi obat, tindakan terapi non

obat.

f. Nama/paraf dokter yang menangani (diagnosis, penunjang, pengobatan) dan

petugas perekam data.

Rekam medis mempunyai beberapa kegunaan, diantaranya (Siregar &

Amalia, 2003):

a. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita.

b. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang

berkontribusi pada perawatan penderita.

c. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan penderita dan

penanganan atau pengobatan selama di rumah sakit.

d. Digunakan sebagai dasar untuk kaji ulang studi dan evaluasi perawatan yang

diberikan kepada penderita.

e. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan

praktisi yang bertanggung jawab.

f. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.

47

g. Sebagai dasar perhitungan biaya dengan menggunakan data dalam rekam

medis, bagi keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang

penderita.

F. Keterangan Empiris

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui jenis dan persentase

kejadian Drug Related Problems (DRPs) baik yang terkait ketepatan indikasi

meliputi terapi tanpa indikasi dan indikasi yang tidak diterapi, keefektifan terapi

meliputi obat salah dan dosis subterapi, maupun keamanan terapi meliputi dosis

berlebih dan interaksi obat pada pasien PPOK geriatri di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2007.