bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pendidikan yang rendah, kesehatan
dan gizi yang buruk, minimnya pembangunan infrastruktur untuk fasilitas umum
yang memadai merupakan permasalahan dan isu utama pembangunan yang tak
ada habisnya di negara-negara dunia ketiga (berkembang) dan semestinya harus
segera diselesaikan.
Di Indonesia, berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS Pusat, per-maret
2014, Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan mencapai 28.280.010 atau
11, 25 % dari keseluruhan populasi. Dari jumlah yang fantastis tersebut, sebanyak
17.772.810 jiwa adalah penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan. Dengan
jumlah yang tidak sedikit ini, diperlukan pengayaan program-program
pemberdayaan untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Pemerintah telah menggulirkan ragam program untuk mempercepat
pengentasan kemiskinan. Meski hal ini belum berjalan optimal dan membuktikan
bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Jika ditelusuri lebih lanjut, hal
penting yang tidak boleh dikesampingkan dalam penerapan program-program
tersebut, adalah bagaimana cara agar program-program tersebut dapat
dilaksanakan secara efektif, menjangkau ke setiap sudut, mencapai hasil lebih
cepat namun menyeluruh, dan memiliki dampak positif yang berkelanjutan; bukan
hanya mengarah pada pembangunan masyarakat secara fisik semata, tetapi juga
mencakup pembangunan mental sebagai manusia seutuhnya, sehingga tercapailah
tujuan pembangunan dalam perspektif etik (Melkote & Steeves 2001/2008),
yakni: menjadikan masyarakat sejahtera, lahir dan batin.
Dalam perspektif komunikasi, munculnya konsep komunikasi
pembangunan (Communication for Development/ C4D) yang kemudian
2
berkembang dan memiliki spesifikasi lain, yaitu: komunikasi pemberdayaan
(Communication for Empowerment/ C4E), juga disinyalir bertolak dari
pemahaman bahwa diantara pondasi keberhasilan agenda pembangunan atau
pemberdayaan adalah dikarenakan keberhasilan penerapan komunikasi yang tepat
dan partisipasi aktif didalamnya. Maka komunikasi dianggap sebagai elemen
penting dalam pembangunan, yang tidak dapat dipisahkan dari agenda
pembangunan atau pemberdayaan itu sendiri.
Selain program pemberdayaan yang digulirkan oleh pemerintah di setiap
negara, keberadaan LSM-LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) yang familiar juga
disebut NGO (Non- Government Organization) yang bergerak di bidang
pemberdayaan masyarakat ikut membantu dalam usaha pembangunan negeri ini,
sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan dunia di negara-negara berkembang
lainnya.
Bahkan, aktivis - aktivis sosial yang bergerak secara individu dan
independen, tanpa membawa embel-embel lembaga juga bermunculan dari masa
ke masa, penuh sukarela membawa misi sosial yang juga bertujuan pemberdayaan
masyarakat sebagai sumbangsih bagi pembangunan negerinya dengan ragam
landasan motivasi serta profesi masing-masing tanpa adanya latar belakang
akademik kesejahteraan sosial sebagaimana pada umumnya para pekerja sosial.
Meski tak banyak, tapi berbagai aksi heroik berbasis tokoh peorangan ini
juga telah menyumbangkan bantuan yang sangat berarti bagi pembangunan
masyarakatnya. Dengan pengalaman mereka secara langsung di masyarakat dan
kekhasan ideologi yang mereka anut tentunya menjadikan mereka memiliki pola
penerapan komunikasi yang berbeda yang akan menarik untuk diteliti lebih
mendalam sebagai tambahan kekayaan intelektual di bidang komunikasi
pemberdayaan (C4E) dan dimungkinkan ditemukannya solusi-solusi praktis
dalam menangani permasalahan komunikasi khususnya dalam komunikasi
pembangunan.
3
Sebut saja, Mahatma Ghandi di India dengan prinsip satya graha
(penegakan kebenaran) dan ahimsa (tanpa kekerasan) nya yang mendunia,
Ariyaratne dengan gerakan Sarvodaya Shramadana (gerakan kemandirian) di
Srilanka, belum lagi Paulo Freire dengan konsep liberasi (teologi pembebasan)
berbasis gerakan conscientization (penyadaran) nya di Brazil, dan lain sebagainya.
Mereka mampu memulai program-program pemberdayaan masyarakat dari diri
mereka sendiri, tentunya dengan penerapan komunikasi yang khas.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia dengan kemajemukan suku,
budaya, agama, dan karakteristik penduduknya, dengan posisi sebagai negara
berkembang yang populasinya terbesar kelima di dunia mencapai 237.641.326
jiwa menurut sensus penduduk terakhir, tahun 2010 (Data BPS Pusat), tentunya
diikuti permasalahan pembangunan yang juga kompleks. Diperlukan sekali
adanya terobosan-terobosan baru dan ragam solusi yang praktis dan jitu dalam
mengatasi permasalahan tersebut. Penulis melihat, masih jarang pembahasan
tentang pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh terutama dengan perspektif
komunikasi. Dari beberapa contoh gerakan pemberdayaan berbasis tokoh di atas,
diasumsikan sangat menarik untuk dipelajari, sehingga dapat membawa kesegaran
bagi perspektif komunikasi pembangunan, utamanya komunikasi pemberdayaan.
Di Indonesia, keberadaan tokoh-tokoh aktivis individu ini masih dapat dihitung
dengan jari.
Achmad Nuril Mahyudin, adalah salah satu aktivis sosial Indonesia, yang
bergerak secara independen di bidang pemberdayaan masyarakat, berbasis
individu. Nuril, demikian dia biasa dipanggil, telah menekuni aktivitas sosial ini
selama 25 tahun (1989 – 2014); sebuah kurun waktu yang cukup panjang.
Hal yang tidak biasa bahwa sebagian besar dari dana kegiatan sosial
adalah dari kantongnya sendiri; 99% dari hasil penjualan lukisan dan tas
produksinya dengan brand “reptile®” dan “Amphibi®”, hasil penjualan karya
lukisnya, sementara sisanya dari bantuan insidentil perorangan maupun institusi.
Diluar masalah pendanaan, dia juga terlibat langsung dalam proses pengerjaan,
4
pembelanjaan, pendokumentasian, pengontrolan dan pengevaluasian program,
bersama dengan anggota masyarakat yang dia libatkan untuk dikaderkan.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa dia adalah seorang individu yang bersifat
institusional; karena dia berperan sebagai lembaga pemrakarsa, penyedia dan
penggalang dana, pembimbing program, pelaksana dan komunikator sekaligus.
Tentunya penelitian ini, menitikberatkan perannya sebagai aktivis sosial yang juga
berkapasitas sebagai komunikator pemberdayaan masyarakat.
Jenis aktivitas sosialnyapun sangat variatif, meliputi hampir semua kisi-
kisi utama kebutuhan masyarakat, diantaranya seperti: perawatan kesehatan,
pembangunan madrasah, pembelajaran sholat dan pembagian alat sholat,
pembagian tas dan alat tulis, pelestarian sepeda onthel, cagar gembala dan
sebagainya; meski menetapkan prioritas pada pengadaan sarana air bersih dengan
target 1000 sumur dan MCK di pelosok. Ketekunannya di dalam perjuangan
sosial telah juga menuai apresiasi melalui peliputan di berbagai media cetak
maupun elektronik dan penghargaan nasional, diantaranya yang terakhir adalah
sebagai Pahlawan untuk Indonesia 2014 versi MNC TV.
Salah satu fakta komunikasi unik yang ditemukan, berdasarkan observasi
pra-penelitian di wilayah aktivitas sosialnya, dia memilih untuk menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasinya dengan masyarakat pelosok
Ngawi yang notabene orang Jawa, meskipun dia seorang Jawa yang dapat
berbahasa Jawa secara aktif. Meskipun demikian, dia terlihat sangat dekat dengan
masyarakat binaannya.1
Anehnya, dia memilih memfokuskan kegiatan sosialnya di titik – titik
pelosok Ngawi, yang bukan wilayahnya sendiri: Lamongan, tempat dia
dibesarkan, ataupun Pamulang Tangerang Selatan, tempat dia membuka usaha
produksi tasnya, sebagai seorang pengusaha dan galeri lukisnya sebagai seorang
seniman.
1Observasi pra-penelitian di Dusun Kebon Waru Pandean Ngawi, 13 Desember 2013
5
Pada dasarnya, aktivitas Nuril bukan hanya bergerak di pedusunan di
Kabupaten Ngawi saja, tetapi juga di berbagai kantong-kantong kemiskinan di
beberapa wilayah di pulau Jawa. Namun dia memilih pedusunan pelosok yang
terletak di berbagai pedesaan Ngawi selama 10 tahun terakhir, dan khususnya di
Desa Pandean, Karang Anyar Ngawi sebagai pilot projectnya, secara intensif
selama 8 tahun terakhir, dikarenakan tingginya tingkat kemiskinan dan
keterbelakangan di daerah tersebut yang telah menghinggapi penduduk di wilayah
tersebut selama puluhan tahun, secara turun temurun, dilengkapi dengan sangat
minimnya bantuan dari pemerintah yang sampai kesana.
Pedusunan yang berada di Pandean Ngawi, sekitar 35% wilayahnya
merupakan hutan, perkebunan, dan persawahan dan terletak berbatasan dengan
Jawa Tengah, mesti dicapai dengan melalui jalanan bebatuan nan terjal, ataupun
disebrangi dengan sampan, di seberang aliran Sungai Bengawan Solo.
Indikasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dapat ditengarai dengan
jelas adalah aliran listrik yang sangat terbatas, buruknya sarana transportasi
berupa jalanan terjal tak beraspal yang bahkan membuat tetangga desa
sekitarnyapun enggan untuk datang kesana. Terlebih sarana air bersih yang sangat
minim terutama di musim kemarau. Mengambil air bermil-mil jauhnya dari
sumber air, ketiadaan kamar mandi yang layak, sehingga mandi di ruang terbuka
merupakan hal yang terpaksa dianggap lumrah oleh penduduk setempat. Profesi
sebagai petani dengan penghasilan minim dan rendahnya tingkat pendidikan juga
merupakan bentuk lain gambaran dari keterbelakangan mereka. Disanalah Nuril
memprioritaskan aktivitas pemberdayaan masyarakatnya pada pembangunan
sumur dan MCK yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka berikut
ragam aktivitas pemberdayaan lainnya. Atas dasar ini juga, peneliti menjadikan
Pandean Ngawi sebagai obyek penelitian ini.
Berawal dari satu aktivitas tersebut, Nuril melayani segala macam
kebutuhan masyarakat lainnya sebagai individu yang bergerak layaknya sebuah
6
institusi profesional: menginisiasi program, mendanainya sendiri, kemudian
mengimplementasikannya langsung bersama masyarakat lapisan bawah.
Aktivitas sosialnya tidak hanya beragam jenis programnya, namun juga
beragam jangkauannya, meliputi segala lapisan usia. Laki-laki, perempuan, tua,
muda, dari anak-anak hingga kakek nenek, berada dalam target pemberdayaannya.
Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa Nuril tentunya menggunakan
strategi yang variatif dan spesifik dalam berkomunikasi dengan seluruh pihak
dalam aktivitas sosialnya tidak hanya dalam penyampaian pesan
pemberdayaannya; namun juga dalam rangka mencapai tujuan program
komunikasi pemberdayaan yang diharapkan, yang tentunya menarik untuk diteliti
lebih lanjut sebagai prototype aktivis sosial di Indonesia.
Indonesia dengan kekhasan masyarakat, corak budaya yang beragam,
falsafah berfikirnya dengan latar religiusitas yang cukup kuat, tentunya tidak serta
merta mudah untuk menerapkan dan mengadopsi mentah-mentah model-model
komunikasi pemberdayaan yang sudah ada, baik yang bersumber dari penelitian
di negara-negara berkembang lainnya ataupun yang berbasis penelitian
komunikasi pembangunan berperspektif negara-negara maju yang dilakukan oleh
berbagai NGO internasional yang bergerak dibidang komunikasi pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat. Meskipun demikian, kerangka kerja (framework)
yang telah disusun oleh akademisi berdasarkan penelitian dan penerapan praktisi
di lapangan yang dibawahi oleh lembaga-lembaga tersebut, tentunya sangat
diperlukan sebagai batu pijakan yang kuat dalam menemukan hasil-hasil
penelitian yang menarik yang berbasis lokal dan independen.
Sebagaimana konsep tentang CNA (Communication Needs analysis),
yaitu: analisa kebutuhan-kebutuhan komunikasi secara umum dalam program
pembangunan, yang digunakan untuk memahami dan menganalisa isu-isu
komunikasi yang terdapat dalam program tersebut yang menjadi pintu masuk
dalam pembahasan tentang komunikasi pembangunan secara komprehensif
7
sebelum menuju tahapan berikutnya, seperti pendesainan strategi komunikasi,
implementasi program, yang disertai dengan penerapan monitoring dan evaluasi
(Monev). Belum lagi praktek pemberdayaan sebagai pendekatan komunikasi
pembangunan dengan perspektif yang khas seperti perspektif etik dan perspektif
teologi pembebasan yang diajukan oleh dua pakar komunikasi pembangunan
negara-negara berkembang, Melkote dan Steeves.
Kaitannya dengan hal diatas, pada observasi pra-penelitian, peneliti
mensinyalir ada sesuatu yang baru diluar mainstream yang ada tentang penerapan
komunikasi yang unik yang dikembangkan oleh Achmad Nuril Mahyudin dalam
aktivitasnya memberdayakan masyarakat yang lebih bercorak Indonesia dan dapat
menghantarkan pada penerapan komunikasi pemberdayaan berbasis local wisdom
(kearifan lokal). Maka, perlu diteliti, bagaimana komunikasi diterapkan dalam
pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen, khususnya sebagai praktisi
komunikasi pemberdayaan di lapangan, yang akan dibingkai dengan penerapan
CNA, berdasarkan perspektif khas yang dijadikan dasar pijakan tokoh aktivis
sosial tersebut. Diharapkan, dari penelitian ini, akan dapat menjadi panduan
(guidance) serta inspirasi bagi tokoh-tokoh independen lainnya yang akan ataupun
telah menekuni aktivitas sosial dimanapun berada, khususnya di Indonesia.
Terutama dalam memahami serta menangani permasalahan-permasalahan
komunikasi yang terjadi di lapangan, demi tercapainya tujuan pemberdayaan
masyarakat, dan pembangunan negeri ini dikemudian hari, ataupun dalam konteks
yang lebih luas di dunia.
Intensitas yang tinggi dan jam terbang Nuril yang cukup lama, sekitar 25
tahun dalam aktivitas sosial, menurut penulis, menjadikannya layak dijadikan
acuan dalam memahami seluk beluk komunikasi pemberdayaan masyarakat.
Meski sepak terjangnya dalam aktivitas sosial sudah beberapa kali diliput, baik
oleh media cetak maupun media televisi, namun belum ada yang meneliti dan
menyorot secara khusus tentang bagaimana pemberdayaan masyarakat melalui
komunikasi pembangunan yang dikembangkan oleh aktivis sosial Indonesia,
8
Achmad Nuril Mahyudin di desa Pandean, Karang Anyar Ngawi. Maka peneliti
melihat pentingnya diteliti tema tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dalam penelitian ini,
peneliti hendak menjawab rumusan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah komunikasi pemberdayaan masyarakat diterapkan
oleh aktivis sosial Achmad Nuril Mahyudin di Pandean Ngawi?”
Dan rumusan masalah tersebut akan dibantu dengan menjawab pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah CNA (Communication Needs Assessment) diterapkan dalam
komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen?
a. Apa saja program pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi oleh tokoh
aktivis sosial?
b. Bagaimanakah pendesainan stategi komunikasi dalam komunikasi
pemberdayaan tersebut diaplikasikan?
1) Apa sajakah tujuan pemberdayaannya?
2) Siapa sajakah sasaran pemberdayaannya?
3) Bagaimanakah pendekatan komunikasinya?
4) Apa saja saluran dan atau media komunikasi yang dipilih?
5) Apa saja hambatan komunikasinya?
c. Bagaimanakah monitoring dan evaluasi (Monev) yang
diselenggarakan dalam komunikasi pemberdayaan tersebut?
9
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menggambarkan tipologi komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat
berbasis tokoh independen.
2. Menemukan kekhasan fenomena komunikasi pemberdayaan masyarakat
berbasis tokoh beserta dinamika masalah dan solusi komunikasi yang
menyertainya.
3. Memahami tahapan-tahapan komunikasi pemberdayaan masyarakat yang
diinisiasi oleh aktivis sosial independen.
4. Mengkaji evaluasi kualitatif terhadap kualitas dan keberhasilan komunikasi
pemberdayaan masyarakat dalam perspektif dan pandangan stakeholder,
terutama respon masyarakat yang diberdayakan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi personil maupun institusi
khususnya di lembaga penelitian, perguruan tinggi, pustaka keilmuan, lembaga
pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat, serta organisasi sosial dan
kemasyarakatan formal maupun informal, di tingkat desa hingga tingkat nasional
bahkan internasional, baik manfaat secara teoritis, praktis, maupun metodologis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan landasan teoritis dalam mendapatkan
pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang kajian komunikasi
pemberdayaan masyarakat di Indonesia, khususnya yang berbasis tokoh
independen. Sehingga landasan ini dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam
menentukan kebijakan yang tepat, baik berbentuk undang-undang, kurikulum, visi
10
misi lembaga dan arah komunikasi yang lebih pro pemberdayaan masyarakat di
institusi terkait.
2. Manfaat Praktis
Ditingkat makro, penelitian ini dapat menjadi alternatif model komunikasi
pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh independen khas Indonesia yang dapat
disandingkan dengan model komunikasi pemberdayaan berbasis tokoh
independen di belahan bumi lainnya. Sehingga dapat menjadi pilihan solusi bagi
masalah-masalah pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat di lembaga
terkait. Karena keberhasilan komunikasi pemberdayaan masyarakat akan
mengarah pada keberhasilan komunikasi pembangunan yang merupakan salah
satu agenda sentral negara manapun di dunia.
Pada tingkatan mikro, penelitian ini dapat menjadi salah satu panduan
(guidance) bagi para pelaku aktivitas sosial lainnya, khususnya kalangan
independen yang tentunya merangkap juga sebagai praktisi komunikasi dalam
menangani masalah-masalah komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sejenis
di lapangan terutama dalam penerapan komunikasi pemberdayaan yang tepat
berikut dengan tahapan-tahapannya, serta dapat melakukan peningkatan-
peningkatan yang signifikan dalam aktivitas sosial yang dilakukannya. Secara
mendetail, para aktivis sosial akan dapat memahami pentingnya CNA dan
bagaimana menerapkannya sebagai basis penerapan proses program
pemberdayaannya. Para aktivis sosial juga dapat menjadikan devcomm
methodological framework contoh nyata tahapan ideal proses pemberdayaan,
mulai dari CBA, desain strategi komunikasi, implementasi program, hingga
Monev, dan bagaimana menyesuaikannya dengan pelaksanaan program yang
digagasnya dengan kekhasannya sendiri dan berdasarkan perspektif nilai yang
dimilikinya.
Penelitian ini juga berguna bagi spesialis komunikasi (communication
specialist) pada umumnya, khususnya para spesialis komunikasi pembangunan
11
(development communication specialists) untuk melakukan tugasnya memahami,
mengawal, dan mengevaluasi pelaksanaan program-program komunikasi
pembangunan ataupun pemberdayaan.
Disamping itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan juga oleh lembaga-
lembaga sosial pemerintahan maupun non pemerintahan, sebagai bahan
pertimbangan pencanangan program pemberdayaan masyarakat berikut penerapan
komunikasi pemberdayaan masyarakat yang sesuai di Indonesia, khususnya
pemberdayaan masyarakat di pelosok. Secara khusus, lembaga-lembaga terkait
dapat juga menjadikan penelitian ini sebagai contoh evaluasi pembanding
kualitatif dalam mengetahui kedalaman kepercayaan, saling pengertian, situasi
pemberdayaan dan keikutsertaan/ partisipasi masyarakat.
Sebagai tambahan, lembaga-lembaga sosial tersebut, dapat menggunakan
penelitian ini sebagai panduan pengevaluasian kerja spesialis komunikasi yang
bekerja di lembaga tersebut secara kualitatif.
3. Manfaat Metodologis
Secara metodologis, penelitian bergenre kualitatif ini dapat bermanfaat
bagi para peneliti ilmu sosial dan komunikasi pembangunan sebagai penyeimbang
pandangan dan perspektif komunikasi pembangunan, khususnya komunikasi
pemberdayaan yang selama ini didominasi oleh penelitian kuantitatif.
Penelitian ini juga dapat dijadikan salah satu batu pijakan, bahan refleksi,
maupun tinjauan pustaka bagi para akademisi dan peneliti dalam pengembangan
penelitian dalam rangka pengayaan ragam komunikasi pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat, terlebih yang berbasis tokoh independen, yang masih
terbuka luas untuk diteliti lebih mendalam dari segi-segi lainnya.
12
E. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dibangun dari kerangka pemikiran dan teoritis tentang
komunikasi pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:
E.1. Teori-teori Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat
Penelitian ini akan didekati dengan 4 macam teori, sebagai berikut:
E.1.1. Komunikasi Pembangunan
Komunikasi Pembangunan hadir sebagai sebuah studi komprehensif yang
secara konseptual bersumber dari teori komunikasi dan teori pembangunan yang
saling menopang dalam rangka mempercepat dan menuntaskan permasalahan
pembangunan. Studi komunikasi pembangunan menjadi kajian populer di negara
dunia ketiga dimana studi ini dalam bingkai teoritis dikembangkan melalui kajian
dan analisis mendalam yang diarahkan pada upaya pencarian konsep atau model
pembangunan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang akan menuntun
jalan bagi munculnya kesadaran baru dengan konsep-konsep yang bersifat
korektif.
Dalam memahami konsep komunikasi pembangunan tidak dapat
dilepaskan dari teori dan paradigma yang mengiringi perkembangan kajian ini.
Paradigma modernisasi yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dalam
pembangunan dengan pendekatan komunikasi yang top-down dan satu arah (one-
way communication), mendewakan kemampuan komunikasi masa dengan teori
difusi inovasinya; terbukti telah gagal dalam mencapai tujuan pembangunan. Dan
disinyalir menjadikan keadaan semakin memburuk dengan dinikmatinya hasil
pembangunan oleh segelintir kelompok elit saja. Kegagalan modernisasi yang
baru saja disebut merupakan bagian dari apa yang dikemukakan oleh teori
dependensi, sebagai kritik kelemahan teori modernisasi yang merupakan wajah
dari paradigma dominan pembangunan. Hadir sebagai paradigma kritis, teori
dependensi menjelaskan bahwa pembangunan dengan paradigma modernisasi
13
menjadikan negara-negara berkembang (dunia ketiga) memiliki ketergantungan
yang kuat terhadap negara-negara maju, sehingga menjadi tidak berdaya dan
semakin terbelakang. Namun sayangnya, teori ini tidak mampu memberikan
solusi untuk mengatasi keadaan yang ada. Paradigma partisipatoris muncul
kemudian, sebagai paradigma alternatif bagi komunikasi pembangunan. Dengan
mengusung pentingnya partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan
penerapan komunikasi dua arah yang tepat guna, dan penetapan tujuan
pembangunan yang komprehensif yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat
yang menyeluruh, paradigma ini dianggap lebih mampu dan adil dalam mengatasi
permasalahan pembangunan dibandingkan dua paradigma yang hadir sebelumnya
dan mulai diterapkan secara meluas sembari dikembangkan strategi dan tekhnik
praktis yang menyertainya.
Keluar dari perdebatan paradigma tersebut, dalam tataran praktis, studi
komunikasi pembangunan difokuskan untuk mencari strategi, tekhnik dan metode
yang tepat dimana komunikasi ditempatkan sebagai entitas penting bagi proses
pembangunan sebagai bentuk pendekatan antar disiplin untuk menjawab
tantangan dan tuntutan sekaligus memberikan pengaruh yang signifikan pada
pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini dapat dimengerti jika dilihat dari
kompleksitas permasalahan pembangunan seperti: sosial, ekonomi, politik, dan
budaya yang menjadikan pembangunan menjadi sebuah fenomena sosial. Oleh
karenanya, studi komunikasi pembangunan dianggap mampu untuk mengarahkan
perubahan dan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, konsep komunikasi pembangunan merupakan usaha
pemilihan strategi dan model komunikasi yang bertujuan untuk menyampaikan,
mengkaji, dan menjelaskan tentang suatu isu, ide, atau gagasan ideal yang
berkaitan dengan perubahan menuju pembangunan masyarakat yang akan
memberikan inspirasi segar dalam penggalian kreativitas, kepentingan, aspirasi,
dan kebutuhan individu, kelompok, dan masyarakat dan diharapkan akan
bermunculan ide, gagasan dan inovasi dari kalangan akar rumput (grassroots)
(Dilla, 2007: 2-4)
14
E.1.2. Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat
Komunikasi pemberdayaan masyarakat (KPM) merupakan entitas yang
tidak dapat terlepas dari komunikasi pembangunan (KP). KPM merupakan salah
satu strategi pembangunan yang mengedepankan pembangunan yang terpusat
pada manusianya (people-centered), pengoptimalan partisipasi masyarakat, dan
komunikasi dialogis yang berlangsung dua arah.
Kemunculan paradigma partisipatoris, memunculkan varian komunikasi
pembangunan yang beragam. Seperti berkembangnya konsep komunikasi
penunjang pembangunan (Development Support Communication/ DSC) yang lahir
dari semangat pemberdayaan. Dalam pandangan peneliti sendiri, sebagaimana
yang dikemukakan secara implisit oleh Melkote (Melkote & Steeves, 2008: 348-
352), dilihat dari diferensiasi DSC dan karakteristiknya, mempunyai konsep yang
sama dengan komunikasi pemberdayaan masyarakat, sehingga dapat disebut
sebagai istilah atau nama lain dari komunikasi pemberdayaan itu sendiri. Melkote
mengetengahkan perbedaan yang jelas antara keduanya. Komunikasi
pembangunan dipotret dalam paradigma modernisasinya memiliki struktur
komunikasi yang top-down, memiliki kecenderungan otoriter dengan
hubungannya yang bernuansa subjek-objek. Sementara komunikasi penunjang
pembangunan/ komunikasi pemberdayaan sendiri mengedepankan komunikasi
yang horizontal antar masing-masing individu atau kelompok dalam masyarakat
dengan hubungan yang bernuansa subjek-subjek. Dilihat dari level peranannya,
komunikasi pembangunan berada pada level internasional dan nasional, KPM
sendiri pada level lokal dan akar rumput (grassroots). Komunikasi pembangunan
berfokus pada penggunaan media-media besar seperti TV, radio, surat kabar, dsb
sementara KPM cenderung menggunakan media-media kecil atau menengah,
seperti: video, strip film, media tradisional, komunikasi interpersonal dan
kelompok. Pembangunan regional dan nasional, peningkatan masyarakat,
perubahan sosial terutama di bidang ekonomi merupakan tujuan utama dari
komunikasi pembangunan. Sementara KPM menjadikan pemberdayaan
15
masyarakat, keadilan sosial, pembangunan kapasitas dan kesetaraan sebagai
prioritas dalam tujuannya.
Maka, komunikasi pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai
upaya pembebasan dan pencerahan untuk meningkatkan harkat, martabat, serta
menanamkan jiwa kemandirian masyarakat sehingga seluruh aktivitas
pembangunan diarahkan pada pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh.
E.1.3. Kampanye Sosial
Kampanye menurut Roger dan Storey (1987) adalah serangkaian kegiatan
komunikasi terencana dan berkesinambungan yang bertujuan mencapai hasil atau
efek tertentu pada sejumlah besar khalayak pada periode waktu tertentu.
“A communication campaign (a) intends to achieve specific effects,
(b) in a relatively large number of individuals, (c) within a
specified period of time, and (d) through an organized set of
communication activities” (Rogers & Storey, 1987).
Adapun jenis kampanye dibagi menjadi tiga kategori (Charles U. Larson,
1992), yaitu:
1. Kampanye produk (Product oriented campaigns)
2. Kampanye pencalonan kandidat (Candidate Oriented Campaigns)
3. Kampanye ideologi atau misi sosial (Ideological or Cause Oriented
Campaigns).
Jenis kampanye yang ketiga inilah yang digunakan dalam pemberdayaan
masyarakat, karena kampanye ini bersifat khusus ideologis, berdimensi sosial dan
mengarah pada perubahan sosial, sehingga disebut juga sebagai kampanye sosial
atau kampanye perubahan sosial.
16
Dengan demikian, kampanye sosial dapat didefinisikan sebagai
serangkaian kegiatan komunikasi yang terencana, berkesinambungan, dan
periodik yang bertujuan membawa masyarakat kepada suatu perubahan sosial.
Kampanye sosial akan menjadi efektif ketika pesan yang disampaikan
memiliki fungsi dapat mengubah pola pikir masyarakat dan menggugah kesadaran
masyarakat pada suatu isu tertentu. Jenis pendekatan ini disebut oleh Kotler dan
Roberto (1989) sebagai salah satu solusi potensial dalam mengatasi masalah-
masalah sosial dengan mengubah sikap dan perilaku masyarakat (Kotler &
Roberto, 1989).
Kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, masalah yang dihadapi oleh
masyarakat akar rumput adalah kesadaran mereka terhadap kondisi ketidak-
berdayaan mereka dan bagaimana keluar dari situasi tersebut sehingga menjadi
lebih mandiri dan berdaya merupakan masalah yang cukup pelik, dan kampanye
sosial diperkirakan dapat membantu mengatasi permasalahan tersebut dengan
menggugah kesadaran masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikan dalam
kampanye tersebut oleh agen perubahan, dalam hal ini tokoh aktivis sosial yang
ada di wilayahnya.
E.1.4. CNA (Communication Needs Assessment)
CNA istilah yang sering digunakan untuk penilaian tentang kebutuhan
komunikasi, secara khusus ditujukan untuk menginvestigasi, memahami, dan
menentukan isu-isu yang berkaitan dengan komunikasi. Konsep ini biasanya
digunakan untuk meneliti lingkungan media, infrastruktur dan kebijakan
komunikasi, kapasitas komunikasi institusional, hambatan informasi, aliran
informasi formal maupun informal, serta jaringan. Secara singkat, CNA
digunakan untuk membahas isu-isu komunikasi seperti media, pesan, system
informasi, kapasitas komunikasi dan segala hal yang berkaitan langsung dengan
komunikasi. (Mefalopulos, 2008: 15, 149)
17
Sebagaimana dicontohkan oleh Cabanero-Verzosa (2005) (dalam
Mefalopulos 2008: 15), tentang penggunaan CNA dalam Program Pembangunan
Anak Usia Dini dan Nutrisi Uganda, disebutkan bahwa CNA digunakan untuk
menginvestigasi isu-isu komunikasi dan memahami perilaku dan praktik
masyarakat yang terkait dengan pola nutrisi yang sesuai dengan tujuan program.
Dimana tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pesan-pesan komunikasi dan
saluran-saluran komunikasi apa sajakah yang dapat diaplikasikan secara efektif
yang mengarah pada perubahan yang diharapkan.
E.2. Konsep-konsep pemberdayaan
Istilah pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari istilah pembangunan.
Demi memahami istilah ini, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang
konsep-konsep yang berkenaan dengan pemberdayaan.
E.2.1. Pemberdayaan dan Pembangunan
Untuk memahami konsep pemberdayaan secara utuh, perlu memahami
konsep pembangunan terlebih dahulu. Pembangunan adalah proses
berkesinambungan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Pada
awal-awal kemunculannya, konsep ini dipengaruhi dengan teori modernisasi yang
mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi Adam Smith, sehingga
menitikberatkan kesejahteraan kepada peningkatan pendapatan masyarakat dan
pembangunan infrastruktur. Dengan hadirnya paradigma partisipatoris yang
membawahi teori teologi pembebasan, pembangunan tidak lagi hanya dipahami
sebagai peningkatan ekonomi sebagai tolok ukur keberhasilannya. Untuk
mencapai tujuan pembangunan, peningkatan sumberdaya manusia haruslah lebih
dahulu diutamakan, yang tidak lain melalui upaya-upaya pemberdayaan.
Istilah pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata daya (power).
Yang lebih mengacu pada makna mengontrol daya (power over = controlling
power). Berdasarkan pemahaman ini, pemberdayaan adalah pembangunan dan
pelatihan kekuatan sebagai proses dimana individu atau masyarakat meraih
18
kontrol dan penguasaan penuh atas kondisi sosial ekonominya (Rappaport 1981
dalam Melkote & Steeves, 2001/2008) dan atas partisipasi demokratik di
komunitasnya (Zimmerman & Rappaport, 1988; dalam Melkote & Steeves,
2001/2008: 36) dan atas kehidupannya sendiri.
Payne (1997) menitikberatkan pemberdayaan pada kemampuan dalam
pengambilan keputusan dengan mengurangi hambatan-hambatan personal dan
meningkatkan kapasitas dan kepercayaan diri untuk menggunakan daya tersebut
untuk kemudian diteruskan kepada orang lain.
Dari beragam konsep pemberdayaan masyarakat yang telah dijelaskan
diatas, dapat dinilai bahwa konsep ini membangun paradigma baru dalam
pembangunan, dan semuanya mengarah pada empat sifat sebagaimana yang
diajukan oleh Robert Chambers, yakni konsep yang bersifat “people-centered,
participatory, empowering, and sustainable” (terpusat pada aktor, partisipatif,
memberdayakan, berkesinambungan) (Chambers, 1995).
Berdasarkan kerangka metodologi 4 fase bentukan divisi khusus
Development Communication (DevComm) di organisasi World Bank, akan
dibahas tahapan-tahapan pemberdayaan. Berbeda dengan divisi-divisi serupa di
lembaga-lembaga internasional sejenis, divisi DevComm ini difungsikan lebih
optimal untuk meningkatkan hasil program pembangunan yang dicanangkan oleh
World Bank. DevComm tidak hanya berfungsi untuk mendesain strategi
komunikasi yang efektif saja, namun juga dalam menginisiasi fase atau tahapan
dalam program pembangunan, dimana komunikasi juga digunakan sebagai alat
penelitian dan analisis dalam program-program tersebut. Kerangka 4 fase
sebagaimana yang diterapkan oleh DevComm ini meliputi: 1) CBA
(Communication-Based Assessment/ penilaian berbasis komunikasi); 2)
Pendesainan strategi komunikasi; 3) Implementasi program; 4) Monitoring dan
Evaluasi (Monev).
19
Pada tahapan pertama, CBA dilaksanakan untuk mengeksplorasi situasi
dan persepsi yang melingkupi setiap stakeholder atau pihak-pihak yang berkaitan
dengan program pembangunan termasuk program pemberdayaan yang akan
ditargetkan pada suatu wilayah. Dalam tahapan CBA ini, Spesialis Komunikasi
mempelajari kultur budaya, konteks sosial dan politik, untuk mengidentifikasi
pemuka-pemuka masyarakat (opinion leaders) dan para stakeholders; dalam
rangka menilai resiko-resiko yang dimungkinkan muncul, seperti penolakan
maupun konflik potensial dari masyarakat, termasuk juga mencari solusi-solusi
dan menentukan tujuan-tujuan yang dapat mendukung perubahan yang
diinginkan.
Pendesainan strategi adalah tahapan yang mesti dilakukan selanjutnya.
Tahapan ini diharapkan dapat mendefinisikan rancangan strategi dan pelaksanaan
program yang meliputi waktu dan biaya yang dibutuhkan, pendekatan komunikasi
yang dibutuhkan, termasuk pemilihan media dan pesan yang sesuai untuk masing-
masing sasaran berdasarkan analisis data yang terhimpun dari pelaksanaan
tahapan sebelumnya, CBA.
Implementasi program barulah dilaksanakan setelah strategi komunikasi
telah terdesain dengan baik. Dalam fase implementasi ini, program yang telah
dicanangkan dilaksanakan tahap demi tahap sesuai dengan media dan pendekatan
yang telah ditentukan dalam rancangan strategi.
Pada tahap akhir, monitoring dan evaluasi (Monev) dilaksanakan. Monev
meliputi pengawasan dan evaluasi terhadap jalannya proses selama program
berlangsung, yang biasa disebut evaluasi formatif atau monitoring; serta
pengukuran terhadap hasil akhir, yang disebut juga sebagai evaluasi sumatif.
Dalam penelitian ini, sebagaimana desain penelitiannya, dilakukan secara
kualitatif, dan yang dilihat adalah hal-hal yang tidak mudah untuk diukur secara
empiris, seperti kedalaman pemberdayaan dan partisipasi oleh masyarakat yang
dikenai program. Sehingga yang dijadikan tolok ukur adalah bukan sekedar
berapa jumlah program yang sudah tercapai tetapi bagaimana umpan balik dan
20
respon dari masyarakat atau para stakeholder yang berkaitan langsung maupun
tidak langsung dengan program pemberdayaan tersebut.
E.2.2. Partisipasi Masyarakat
Sebagaimana yang ditulis oleh Anyaegbunam et al (2004) (dalam
Mefalopulos, 2008: 10-11). Menurutnya, ada 4 tipologi partisipasi dalam konteks
pembangunan, dimulai dengan level yang terendah hingga level yang tertinggi,
yaitu:
1. Partisipasi Pasif Komponen masyarakat berpartisipasi dengan
diinformasikan tentang apa yang akan atau telah terjadi.
Umpan balik masyarakat sangatlah minim atau nyaris
tidak ada. Partisipasi dinilai hanya dari tingkat
kehadiran dalam program maupun dalam diskusi.
2. Partisipasi
Konsultatif
Komponen masyarakat berpartisipasi dengan
memberikan umpan balik akan pertanyaan dari peneliti
luar, komunikator ataupun tokoh pemberdaya. Meski
demikian, keputusan final berada di tangan tokoh di luar
masyarakat.
3. Partisipasi
Fungsional
Komponen masyarakat mengambil bagian dalam diskusi
dan analisis akan tujuan sementara yang telah
ditentukan oleh program. Dalam partisipasi tipe ini,
meski jarang sekali berujung pada perubahan tujuan,
namun bernilai dalam memberikan masukan bagaimana
mencapai tujuan tersebut. Pada tipe ini, komunikasi
horizontal sudah dilakukan
4. Partisipasi
terberdayakan
Komponen masyarakat mau dan mampu untuk menjadi
bagian dari proses dan analisis, sehingga mengarah pada
pengambilan keputusan bersama tentang apa yang harus
dicapai (tujuan) dan bagaimana. Maka masyarakat disini
memiliki posisi yang sama dalam pengambilan
keputusan yang terkait dengan hidup mereka.
Tabel 1.1.
Tingkatan Partisipasi
Sumber: Paulo Mefalopulos dalam Development Communication Sourcebook.
Broadening the Boundaries of Communication. Washington DC. : World Bank.
2008: 11
21
Empat tingkatan partisipasi, sebagaimana yang disebutkan diatas, serupa
dengan level-level partisipasi yang diajukan oleh World Bank meski dalam istilah
yang sedikit berbeda, yitu: 1) Pembagian informasi (information sharing); 2)
konsultasi (consultation); 3) kolaborasi (collaboration); 4) pemberdayaan
(empowerment). Pembagian informasi dan konsultasi berada dalam dua level
terbawah, sementara kolaborasi dan pemberdayaan merupakan dua level
partisipasi tertinggi. (Mefalopulos, 2008: 52)
E.2.3. Teologi Pembebasan (Liberation Theology)
Teologi pembebasan dengan paradigma partisipatorisnya dikemukakan
oleh Paulo Freire (1970) yang memiliki fokus terhadap keterbelakangan dan
bagaimana mengatasinya. Pembangunan menurut Freire, tidak hanya terfokus
pada pencapaian ekonomi atau harta kekayaan semata tetapi lebih mengedepankan
pada pembangunan manusia seutuhnya. Perspektif ini menegaskan bahwa hal
pertama dalam pembangunan yang perlu diperhatikan adalah pemberdayaan
masyarakat. Makna dari pemberdayaan adalah pembebasan masyarakat dari
keadaan tertindas, termarjinalkan, tidak berdaya dalam struktur sosial yang
melingkupi mereka (sosio-ekonomi, politik dan budaya). Konsep utama dalam
teori ini adalah “Conscientization” (penyadaran), yaitu bagaimana menyadarkan
masyarakat dengan kondisi terbelakang mereka dan bagaimana terbebas dari
kondisi tersebut. Ketika kesadaran itu tumbuh, maka masyarakat tersebut dapat
berfikir dan berusaha bagaimana terhindar dari penyebab keadaan mereka dengan
menemukan upaya bagaimana mengatasi keadaan mereka.
Perspektif ini lebih menekankan pada pendekatan humanistik dari pada
pendekatan struktural, dengan pendekatan bottom-up dan komunikasi dua arah
(two-way communication) dan berlandaskan nilai-nilai spiritual agama yang
menjadi landasan bagi penerapan pemberdayaan dengan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan sehingga mereka menjadi
masyarakat yang mandiri dan berdaya. Dalam perspektif ini, ajaran agama tidak
menjadi penghambat program pemberdayaan, justru menjadi kekuatan dan faktor
22
penting dalam usaha pembebasan dan pemberdayaan masyarakat dari
ketertindasan dan keterbelakangan. Baik yang berupa nilai-nilai ajaran dan
implementasinya maupun ritual-ritual keagamaan itu sendiri, dianggap sebagai
bagian tak terpisahkan dari usaha pemberdayaan itu sendiri untuk mencapai tujuan
pembebasan dan pemberdayaan manusia yang sejati dan seutuhnya. (Melkote &
Steeves, 2001: 273-276). Dalam penelitian ini, perspektif teologi pembebasan
diasumsikan sebagai jawaban teoritis bagi pertanyaan penelitian dalam
mengungkap perspektif komunikasi pemberdayaan masyarakat berbasis tokoh
independen yang dilihat dari nilai-nilai komunikasi yang diungkapkan.
E.3. Dinamika Pemberdayaan Masyarakat Desa
Desa sebagai wilayah yang berada dalam lingkup terbatas, merupakan
satuan pemerintahan terkecil dalam suatu Negara, dengan penduduk yang
umumnya bermata-pencaharian yang berkaitan langsung dengan iklim seperti
pertanian dan perikanan (Kartodikusumo 1965, Ogburn & Nimkoff, Landis)
seringkali diidentikkan dengan kesan terbelakang, tertinggal, miskin, kumuh, dan
tidak berpendidikan.
Hal tersebut berangkat dari kenyataan bahwa pembangunan wilayah dan
masyarakat belum merata, sebagian besar terpusat pada perkotaan dan pinggiran
kota. Sementara sebagian besar wilayah di pedesaan belum mendapatkan sentuhan
pembangunan yang maksimal terutama yang berada di daerah pelosok.
E.3.1. Permasalahan Masyarakat Desa
Pada dasarnya akar permasalahan dari ketidak berdayaan masyarakat,
terutama yang berada di pedesaan, adalah disebabkan oleh kemiskinan.
Poerwadarminta (1976) mengartikan kemiskinan secara harfiah dengan “tidak
berharta-benda” yang berasal dari kata dasar miskin. Secara epistemologi
kemiskinan adalah kondisi ketidakmampuan suatu individu maupun kelompok
dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
23
Kartasasmita (1997: 234) berpendapat bahwa kemiskinan adalah masalah
krusial dalam upaya pembangunan yang berbentuk ketimpangan, diawali dengan
merebaknya pengangguran dan keterbelakangan. Secara singkat Kuncoro (1997:
102-103) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan
dalam memenuhi standar hidup minimum. Adapun Friedmann (1992: 123)
memaknai kemiskinan sebagai dampak dari ketidakmerataan kesempatan dalam
pengaksesan kekuatan sosial.
Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa kemiskinan adalah
kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar individu ataupun
kelompok baik secara materi maupun lingkup sosial.
Dilihat dari faktor penyebab kemiskinan, terdapat 3 bentuk kemiskinan,
yaitu: kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural
(Kartasasmita, 1997: 235 dan Baswir, 1997: 23).
Kemiskinan natural adalah keadaan miskin dikarenakan sedari awalnya
dalam kondisi miskin. Masyarakat tersebut menjadi miskin karena ketiadaan
sumber daya yang memadai baik sumber daya alam maupun sumber daya
manusia. Baswir (1997 : 21) menambahkan bahwa kemiskinan jenis ini utamanya
akibat dari beberapa faktor alamiah seperti cacat, sakit, usia lanjut atau karena
bencana alam. Kartasasmita (1997: 235) menyebutnya sebagai “Persistent
Poverty” atau kemiskinan kronis yang telah terjadi secara turun temurun, yang
biasanya berada di daerah yang terisolir.
Adapun kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup, gaya hidup,
budaya yang enggan berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat
kehidupannya. Faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, tidak memiliki
keterampilan kerja menjadikan tingkat pendapatan mereka rendah dibandingkan
standar pendapatan pada umumnya di wilayahnya. (Baswir, 1997: 21).
Sementara kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
system dan struktur sosial yang timpang yang ditengarai dengan adanya kebijakan
24
yang berat sebelah, distribusi yang tidak merata, serta merebaknya korupsi dan
kolusi serta tatanan yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat
tertentu. Menurut Baswir, hal ini bisa juga disebabkan karena adanya upaya
menanggulangi kemiskinan natural, dimana pencanangan program dan kebijakan
yang tidak merata menimbulkan struktur masyarakat yang timpang sehingga
menimbulkan kelompok masyarakat miskin baru. Bentuk kemiskinan yang
disebut oleh Kartasasmita (1997: 236) sebagai “accidental poverty” ini merupakan
dampak akan adanya suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
E.3.2. Program Pemberdayaan Masyarakat Desa
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan bentuk
pembangunan lain yang tidak kalah penting dibandingkan pembangunan
infrastruktur di pedesaan. Maka perlu ditingkatkan pendidikan dan pelatihan,
formal maupun informal di pedesaan sehingga terbentuk pola pikirnya, memiliki
keterampilan dan keahlian yang memadai sehingga akhirnya dapat berfikir
mandiri dan maju demi kemajuan pedesaan.Dengan jumlah desa sebanyak 79.702
(data BPS Pusat 2012) dan jumlah penduduknya yang mencapai 119.321.070 jiwa
atau sama dengan 50,21 % (sensus penduduk 2010, BPS Pusat) dari keseluruhan
penduduk Indonesia, seharusnya pembangunan di pedesaan mendapat perhatian
yang khusus dan dukungan yang penuh dari pemerintah, karena desa merupakan
ujung tombak pemerintahan, garda terdepan dari pembangunan.
Meski masih jauh dari harapan, dan masih banyak desa-desa terutama
yang terletak di pelosok hampir tidak tersentuh oleh bantuan pemerintah, kita
tidak menutup mata bahwa pemerintah juga telah berupaya dalam mengatasi
permasalahan di pedesaan, yaitu dengan program-program pemberdayaan
masyarakat desa. Beberapa upaya pemerintah untuk membangun desa yaitu
program IDT (Inpres Desa Tertinggal), dirjen PMD (Pemberdayaan Masyarakat
Desa) di bawah kementerian Pembangunan dan IDT yang memfokuskan kepada
desa. Belum lagi keberadaan lembaga-lembaga pemberdayaan seperti LPMD
25
(Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa) dulu bernama LKMD (Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa) dengan beragam program dan bantuannya untuk
pemberdayaan masyarakat di pedesaan.Yang beberapa tahun terakhir ini mulai
digulirkan adalah PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) melalui
program bantuan permodalan bagi individu di pedesaan, yang mulai dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat desa, meski belum menjangkau daerah-daerah
pedesaan di titik jauh, yang benar-benar membutuhkan.
E.4. Aktivis Sosial sebagai Tokoh Pemberdayaan Masyarakat Desa
Aktivis sosial yang sering juga disebut relawan sosial (volunteer) adalah
orang yang berbuat untuk menolong dan memberdayakan masyarakat berdasarkan
keterpanggilan jiwa dan atas dasar rasa welas asih (philantrophy) dan dorongan
amal (charity) yang didorong oleh intuisi dan pengalaman hidup, sehingga disebut
juga dengan penolong alamiah (natural helper). Ada yang berbuat melalui Orsos
dan ada pula yang bergerak secara individu. Hal yang paling membedakan dengan
pekerja sosial adalah, aktivis sosial tidak memiliki dasar keilmuan khusus di
bidang kesejahteraan sosial, mereka memiliki latar belakang keilmuan yang
beragam atau bahkan latar kehidupan yang berbeda. Tentunya motivasi
berbuatnya juga berbeda, jika pekerja sosial berlandaskan pengembangan
kompetensi, maka aktivis sosial berlandaskan pada keterpanggilan jiwa. Tidak ada
standar-standar dan batasan yang jelas untuk aktivis sosial seperti pada pekerja
sosial. Namun, menurut hemat penulis, minimal aktivis sosial haruslah memiliki
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh pekerja sosial, sebagai yang
disebutkan diatas, meskipun tidak mesti dengan menempuh pendidikan
kesejahteraan sosial. Sebagaimana pekerja sosial, karena bidangnya adalah
kemanusiaan dan kesejahteraan sosial, akan lebih baiknya jika memiliki motivasi
keterpanggilan juga sebagaimana pada aktivis sosial.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka penelitian ini dapat dilihat
secara komprehensif pada model penelitian sebagai berikut:
26
Gambar 1.1.
Model Penelitian
Sumber: Peneliti
F. KERANGKA KONSEP
1. Komunikasi Komunikasi dalam penelitian ini dimaknai sebagai
pertukaran makna (shared meaning) dimana komunikasi
bukanlah sebagai proses linier dan statis namun sirkular
dan dinamis.
2. Pemberdayaan Istilah ini dimaksudkan usaha pembebasan kondisi
masyarakat yang tidak berdaya menjadi berdaya atau
mandiri, bukan hanya secara materil namun juga secara
mental. Pemberdayaan dalam penelitian ini berakar dari
konsep pembangunan dengan perspektif etik (Ethical
perspective), yaitu: pembangunan yang titik ukuran
keberhasilannya meliputi dua aspek penting yaitu:
peningkatan pendapatan perkapita dan pertumbuhan
mental spiritual. Dalam penelitian ini istilah
Pemetaan CNA (Communication Need Assessment)
Pada Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis Tokoh
Program- program Pemberdayaan
Masyarakat:
Ragam Program
Pemberdayaan
Desain Strategi Komunikasi:
1. Tujuan 2. Sasaran 3. Pendekatan 4. Saluran & Media 5. Hambatan
Monev:
1. Monitoring 2. Evaluasi
a. Pencapaian b. Feedback
Masyarakat
27
pemberdayaan, pembangunan, aktivitas sosial, program
kemanusiaan, perjuangan sosial digunakan secara
bergantian dan mewakili makna dari pemberdayaan.
3. Masyarakat Dalam penelitian ini istilah masyarakat khususnya
ditujukan pada sekelompok orang yang mendiami suatu
wilayah dan berada dalam kondisi ketidakberdayaan
baik secara ekonomi maupun secara mental.
4. Komunikasi
Pemberdayaan
Masyarakat
(KPM)
Suatu usaha pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
melalui pendekatan komunikasi, metode dan media
yang dianggap tepat dan mengedepankan bentuk
komunikasi dialogis atau dua arah; merupakan bagian
dari bidang komunikasi pembangunan dengan
paradigma partisipasi.
5. Berbasis Tokoh Usaha KPM yang dilakukan oleh seorang tokoh,
individu yang berperan sebagai aktivis sosial secara
independen dan tidak berasal dari institusi kelembagaan
tertentu.
6 CNA
(Communication
Needs
Assessment)
Diartikan sebagai penilaian kebutuhan komunikasi
Metode investigasi untuk menilai situasi yang berkaitan
dengan isu-isu komunikasi, yang mana pada penelitian
ini dipusatkan pada pembahasan tentang program-
program pemberdayaan, desain strategi komunikasinya
dan aplikasi Monev dalam program pemberdayaan
7. Program
Pemberdayaan
Program-progam pemberdayaan yang diinisiasi oleh
tokoh pemberdayaan masyarakat, baik program
komunikasi maupun non-komunikasi, yang
mengandung pesan-pesan pemberdayaan
8. Ragam Program Bentuk-bentuk program pemberdayaan menurut
bidangnya masing-masing
9. Tahapan-tahapan Proses dan urutan implementasi program pemberdayaan
28
dari A-Z yang diterapkan oleh tokoh yang diteliti
10.. Desain strategi
komunikasi
Perencanaan dan manajemen untuk pencapaian tujuan
pemberdayaan yang menjadi panduan bagaimana
mengimplementasikan program. Desain strategi ini
mencakup penetapan tujuan, pengenalan sasaran
pemberdayaan, penentuan pendekatan komunikasi,
pemilihan saluran & media yang tepat, disertai
penganalisaan hambatan.
11. Tujuan Dampak positif yang diharapkan dari masyarakat
setelah menerima pesan-pesan pemberdayaan dari
aktivis sosial.
12. Sasaran Digunakan bergantian dengan istilah audiens, stake
holder, masyarakat, ataupun komunitas. Dimaknai
sebagai individu perorangan ataupun kelompok
masyarakat yang dikenai/ merasakan program
pemberdayaan secara khusus.
13. Pendekatan Bagaimana aktivis sosial memilih pendekatan
komunikasi pesan-pesan pemberdayaan agar tujuan
komunikasi dapat sampai dengan efektif terhadap
masyarakat yang diberdayakan.
14. Saluran atau
Media
Meliputi segala macam bentuk saluran komunikasi,
tradisional maupun elektronik yang dapat
menghantarkan pesan pemberdayaan yang ingin
disampaikan. Seperti: video, radio, internet, teater,
musik, dongeng, kentongan, majalah, suratkabar,
brosur, dsb.
15. Hambatan Konflik, ketidak-lancaran komunikasi yang terjadi
dalam proses pemberdayaan yang mengacu pada tidak
tercapainya tujuan komunikasi pemberdayaan
masyarakat.
29
16. Monev Monitoring dan evaluasi. Monitoring maksudnya proses
pengawasan pelaksanaan program komunikasi atau
yang disebut juga dengan evaluasi formatif, yang
dilakukan oleh agen atau tokoh pemberdaya. Sementara
evaluasi dimaksudkan sebagai penilaian atau hasil akhir
program komunikasi pemberdayaan yang diukur secara
kualitatif melalui respon dan umpan balik masyarakat
terhadap program komunikasi pemberdayaan yang
dialaminya.
17. Monitoring Bentuk evaluasi formatif yang berlangsung selama
program pemberdayaan berjalan
18. Evaluasi Bentuk evaluasi sumatif yang dilakukan pasca program
pemberdayaan dimana penilaian tertuju pada kesesuaian
pencapaian program dengan tujuan yang dicanangkan
dan feedback dari masyarakat atas pendekatan KPM
yang mereka terima
19. Pencapaian Hasil akhir atau bentuk puncak dari program
pemberdayaan yang dilaksanakan berdasarkan tujuan
pemberdayaan
20. Feedback Respon, refleksi, umpan balik, atau tanggapan
masyarakat yang meliputi 3 aspek, yaitu aspek kognitif
(kesadaran/ pengetahuan), aspek afektif (sikap,
perasaan/ emosi) dan aspek konatif (perilaku/ tindakan)
berupa verbal maupun non-verbal terhadap model
komunikasi tokoh aktivis sosial di wilayahnya
G. METODE PENELITIAN
1. Metodologi
Desain penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat
eksploratif dengan pendekatan studi kasus. Data yang diharapkan adalah
30
eksplorasi penerapan komunikasi prototype Aktivis sosial Achmad Nuril
Mahyudin dalam pemberdayaan masyarakatnya berdasarkan CNA (Communiction
Needs Assessment) yang meliputi ragam dan tahapan program pemberdayaannya,
strategi komunikasi dan pelaksanaan Monev. Dalam hal strategi komunikasi, data
yang diharapkan adalah berupa tujuan, sasaran, pendekatan, saluran dan hambatan
komunikasi. Sementara dalam pelaksanaan Monev, data yang diharapkan adalah
bentuk monitoring yang diterapkan dan feedback masyarakat terhadap penerapan
komunikasi pemberdayaan masyarakat tokoh yang diteliti.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan
dokumentasi tokoh aktivis sosial berupa foto dan video rekaman. Observasi
lapangan mengarah pada bentuk-bentuk komunikasi dan pesan-pesan yang
disampaikan oleh aktivis sosial terhadap komunitasnya. Adapun wawancara
dilakukan dengan tokoh aktivis sosial, rekan aktivis sosial, tokoh masyarakat, dan
anggota masyarakat.
Sasaran Pokok dari objek Penelitian ini, adalah:
Pertama, Penerapan Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat berbasis
tokoh pada aktivis sosial independen, yaitu, Achmad Nuril Mahyudin, sebagai
prototype tokoh aktivis sosial di Indonesia, untuk diteliti penerapan komunikasi
pemberdayaannya, berdasarkan CNA (Communication Needs Assessment).
Kedua, kelompok masyarakat Pandean Ngawi yang menjadi sasaran
umum program komunikasi pemberdayaan oleh aktivis sosial, terutama untuk
diteliti bagaimana feedback masyarakat tersebut berikut kedalaman partisipasi
mereka terhadap program yang dirasakan oleh mereka secara langsung, sebagai
bagian dari proses evaluasi pada tahapan Monev.