bab i pendahuluan a. latar belakang masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/bab i pendahuluan.pdf ·...
TRANSCRIPT
![Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana yang tercantumkan dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan.1 Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama
(equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law).2 Dalam negara yang
menganut paham negara hukum berlaku prinsip-prinsip pokok Negara Hukum,3 antara lain
mengatur tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia diatur di dalam undang-undang, baik di dalam Undang-undang Dasar 1945 maupun
undang-undang yang mengatur khusus tentang hak asasi manusia.4 Hak asasi manusia
merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia dari sejak dalam kandungan. Oleh karena
itu wajib untuk dihormati, dilindungi serta mendapat perlakuan hukum yang adil serta mendapat
perlakuan yang sama di depan hukum.5
1.Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekretaris Jendral MPR RI, Jakarta,
2010, hlm. 46 2Munir Fuady 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), Bandung: Refika Aditama hal, 207:
Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17
tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang
rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan
warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan
tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini
masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun. 3 Menurut Scheltema dalam B. Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum, Jentera (Jurnal
Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004,
hlm.124-125. 4 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5 Pasal 3 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
![Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/2.jpg)
Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi
manusia7 dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.
8 Hal ini
juga diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 G ayat (1)9dan Pasal 28 H ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945.10
Dalam prinsip kesetaraan hal yang paling fundamental dari hak
asasi manusia adalah meletakkan orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam hak asasi
manusia, sedangkan prinsip pelanggaran diskriminasi adalah bagian penting dari prinsip
kesetaraan. Sedangkan kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu, suatu negara tidak
boleh mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara memiliki kewajiban
positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-
kebebasan.11
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu dari berbagai macam bentuk
tindak pidana kekerasan yang telah teridentifikasi dalam masyarakat internasional.12
6 A.Nunuk.P.Murniati Getar Gender 1, Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik,Ekonomi,
Hukum dan HAM, Indonesia Tara, Magelang, 2004, hal. 223 menyatakan: Kekerasan adalah perilaku atau perbuatan
yang terjadi dalam relasi antar manusia, baik individu maupun kelompok, yang dirasa oleh salah satu pihak sebagai
satu situasi yang membebani , membuat berat, tidak menyenangkan, tidak bebas. Situasi yang disebabkan oleh
tindak kekrasan ini membuat pihak lain sakit, baik secara fisik maupun psikis serta rohani. Selanjutnya Pasal 1
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mendefinisikan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga. 7Pasal 1 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 8Mudjiati, Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang
Responsif Gender diunduh dari situs www.djpp.depkumham.go.id, diakses 5 April 2013.
9 Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”.
10
Pasal 28 H ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. 11
Jack Donely, Universal Human Right in Theory and Practice dalam Hukum Hak Asasi Manusia. (Ed. Knut
D. Asplund, Suparman marzuki, Eko Riyadi) Yogyakarta: PUSHAM UII. 2008, hlm.11 12
PBB mendefinisikan istilah kekerasan terhadap perempuan pada deklarasi tahun 1993 sebagai semua
tindakan kekerasan berdasarkan gender (maksudnya atas dasar pertimbangan gender) yang mengakibatkan
kerugian/bahaya/melukai secara fisik, sexual,psikologi maupun penderitaan kepada perempuan, termasuk pula
tindakan mengancam, kekerasan, perampasan secara sewenang-wenang terhadap kebebasan, apakah itu terjadi di
![Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/3.jpg)
Konsideran Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut Undang-Undang PKDRT) butir a, b dan c dijelaskan
bahwa setiap warga negara berhak mendapat rasa aman dari segala bentuk kekerasan13
terutama
terhadap perempuan,14
dalam kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi,
sedang sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga.15
Sebelum disahkannya Undang-Undang PKDRT dalam banyak kasus kekerasan yang
terjadi pada umumnya para pelakunya terkena ancaman hukum berdasarkan Pasal 351 KUHP
(penganiayaan), Pasal 352 KUHP (penganiayaan ringan), Pasal 353 KUHP (penganiayaan yang
direncanakan), Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat), Pasal 355 KUHP (penganiayaan berat
ranah public maupun kehidupan pribadi (any act of gender-based violence that result in, or is likely to result in,
physical, sexual or psychological harm or suffering to women, including threat of such acts, coercion or arbitrary
deprivation of liberty, whether occurring in public or private life). Pada tahun 1995, the Beijing Platform of Action
(Andre Vesa dalam Aroma Elmina Martha, “Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di
Indonesia dan Malaysia“Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm.1) 13
Ratna Batara Munti dalam Novianty Djafri, Jurnal INOVASI, Volume 5, Nomor 4, Desember 2008 ISSN
1693-9034, hlm 246 menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam
berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:1) Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan,
pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya
berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lainlain, serta berlaku
kasar.2) Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina,
mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan
pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.3) Kekerasan ekonomi, berupa tidak
diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan
memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan
memutuskan. 4. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun
ekonomis. Lihat juga, A.Nunuk.P.Murniati, Op.Cit. hlm. 223, dan Kristi Purwandari dalam kelompok kerja
“convention Watch” Pusat kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia penyunting: Achie Sudiarti Luhulima
Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Alumni,
Jakarta, 2000,hal. ix, serta pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga. 14
Konsideran Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga butir a,a) setiap warga Negara berhak mendapat rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) segala bentuk
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran c) korban kekerasan dalam rumah
tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat
kemanusiaan. 15
Konsideran Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga butir huruf d .
![Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/4.jpg)
yang direncanakan), jika perbuatan tersebut dilakukan kepada ibunya, bapaknya menurut
undang-undang, isterinya atau anaknya maka ancaman hukuman ditambah dengan sepertiga.
Ketentuan di atas meskipun memang tidak secara khusus mengatur tentang kekerasan dalam
rumah tangga, tapi setidaknya dapat digunakan untuk mengadukan para pelaku ke kepolisian dan
bahkan KUHP memberikan ancaman hukuman lebih berat jika penganiayaan itu dilakukan
terhadap isteri atau suami yang jelas menurutnya karena pemberatan hukumanini juga ditujukan
kepada suami atau isteri yang melakukan penganiayaan, maka setidaknya Pasal 356 mengandung
prinsip keadilan gender.16
Ada beberapa hambatan yang mempersulit upaya penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga di Indonesia diantaranya adalah kakunya penegak hukum dalam menegakkan peraturan
dan sebagian besar masih berpedoman kepada KUHP walaupun sudah ada peraturan yang
mengatur tentang KDRT. Serta adanya beberapa kelemahan dalam KUHP dalam penangangan
KDRT.17
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga tidak sejalan dengan pengertian dan tujuan
dari terbentuknya sebuah rumah tangga (perkawinan) baik menurut hukum positif, adat dan
agama. Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.” Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat atau disebut
hubungan formil. Sebaliknya, ikatan batin adalah hubungan yang tidak formil atau suatu
16
Nursyahbani Katjasungkana, Seminar Aspek Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan, BPHN, Jakarta, 15-
16 Desember 1994. 17
Rika Saraswati Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hal 225-226: 1) Belum memberikan perlindungan yang memadai terhadap kekerasan selain jenis
fisik, yaitu psikis, penelantaran rumah tangga, dan seksual;2) Tidak ada pidana minimum dalam KUHP hingga
putusan yang dijatuhkan pada pelaku seringkali tidak sesuai harapan korban;3) KUHP hanya mengatur sanksi
pidana, belum ada sanksi pembatasan gerak pelaku dan kewajiban untuk menyembuhkan korban.
![Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/5.jpg)
hubungan yang tidak dapat dilihat. Dalam kehidupan bersama ikatan batin tercermin dari adanya
keturunan. Perkawinan ini seharusnya membuat suami dan istri merasa nyaman, diperhatikan,
dibutuhkan, bebas dari keterasingan dan kesepian sehingga kebutuhan terdalam sebagai manusia
dapat terpenuhi. Dalam kenyataannya, tujuan perkawinan tersebut sering tidak tercapai karena di
dalam perkawinan tersebut sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga terutama kekerasan
terhadap perempuan. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan perkawinan yang ada di Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan tujuan perkawinan
adalah ”membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Sejalan dengan tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, Soemijati menyatakan: “tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan keluarga bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, memperoleh keturunan yang
sah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh hukum".18
Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan soal yang mengenai orang-
orang yang bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga merupakan kepentingan seluruh
keluarga dan bahkan masyarakat adatpun ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Bagi
hukum adat perkawinan itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak bersifat keduniaan, melainkan
juga bersifat kebatinan atau keagamaan.19
Sedangkan Perkawinan ideal ialah suatu bentuk
perkawinan yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi
berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau
18
Soemijati (dalam bachtiar, 2004), Pengertian Perkawinan Makalah Masalah Tujuan Definisi Perkawinan
MenurutPara Ahli, dalam
http://www.metrorealita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=73&Itemid=15. 19
Soepomo 1989, Bab-bab Tentang Hukum Adat,Jakarta: Pradnya Paramita cet.12 hal. 55
![Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/6.jpg)
norma-norma yang berlaku dalam masyarakatsetempat.20
Tujuan perkawinan bagi masyarakat
hukum adat yang bersifat kekerabatan,21
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan
keturunan menurut garis kebapakan22
atau keibuan23
atau keibu-bapakan24
, untuk kebahagiaan
rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan
untuk mempertahankan kewarasan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku
bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang
dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat juga berbeda antara
20
Purwadi2005, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm. 154. 21
Yaswirman 2011, Hukum Keluarga Karakteristik Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam
Masyarakat Matriniel Minangkabau, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hal 177 menyatakan: Bentuk kekerabatan
masyarakat saling terkait dengan hukum, sementara hukum menentukan bentuk kekerabatan. Untuk menetukan
bentuk kekerabatan suatu masyarakat dapat dilihat dari bentuk apa hukum perkawinan dan kewarisan yang mereka
terapkan. Hukum perkawinan dan kewarisan berpangkal dari garis keturunan. Adapun bentuk keturunan yang
kemudian membentuk garis keturunan yang kemudian membentuk garis kekerabatan itu ada tiga macam: Pertama
patrilineal, yang melahirkan kesatuan-kesatuan keluarga yang menghubungkan keturunan atas dasar garis keturunan
ayah; karena itu anak-anak mempunyai suku (clan) sama dengan suku (clan) ayahnya. Kedua matrilineal, yang
melahirkan kesatuan-kesatuan keluarga yang menghubungkan keturunan atas dasar keturunan ibu; karena itu anak-
anak masuk ke dalam suku (clan) ibunya. Ketiga parental bilateral, yang melahirkan kesatuan-kesatuan keluarga
yang menhubungkan keturunan kepada ayah dan ibu, sehingga ayah dan ibu sama-sama memiliki kekerabatan
secara hukum dalam garis keturunan keluarga. lihat juga Djamanat Samosir 2013, Hukum adat Indonesia, Eksistensi
dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, hlm. 273. 22
Djamanat Samosir 2013, Hukum Adat Indonesia Esistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum di
Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, hal 281-282 :”Bentuk perkawinan pada masyarakat hukum patrilineal
(kebapakan) adalah perkawinan jujur yaitu perkawinan dengan pemberian/pembayaran perkawinan (jujur,belis) oleh
pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Maksud dari pembayaran/pemberian jujur atau belis oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan adalah sebagai pertanda atau lamba ng diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri
dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, dan bahkan masyarakatnya dengan kata lain dengan perkawinan, istri
berada dibawah kekuasaan kerabat suami, artinya hidup matinya istri tanggung jawab kerabat suami, berkedudukan
hukum dan menetap (tinggal) dipihak kerabat suami, anak-anak dan keturunannya melanjutkan keturunan suaminya,
harta kekayaan yang dibawa istri dalam perkawinan semuanya dikuasai suami. 23
Djamanat Samosir, 2013 hlm. 284 :” Bentuk perkawinan pada masyarakat hukum matrilineal dinamakan
perkawinan semendo, adalah bentuk perkawinan yang bertujuan mempertahankan garis keturunan pihak ibu.
Semendo berarti laki-laki dari luar. Sejak perkawinan suami dan istri tetap dalam keluarga masing-masing. Tetapi
anak keturunannya masuk keluarga istrinya/kerabat istrinya dan si bapak tidak mempunyai kekuasaan terhadap
anak-anaknya”. 24
Djamanat Samosir, 2013: “Berlainan dengan kedua bentuk perkawinan pada patrilineal dan matrilineal,
dalam masyarkat hukum bilateral (Parental) bentuk perkawinan ialah perkawinan bebas/mentas/mandiri . Setelah
perkawinan suami dan istri memisahkan diri dari kekuasaan orang tua dan kerabat masing-masing untuk
membangun keluarga/rumah tangga sendiri.hlm 285
![Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/7.jpg)
suku bangsa yang satu dan daerah yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara
perkawinannya.25
Sedangkan menurut hukum Islam perkawinan ialah “aqad yang bersifat luhur dan suci
antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami isteri dan
dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang,
kebajikan dan saling menyantuni, keadaan yang lazim disebut sakinah”.26
Selanjutnya tujuan
perkawinan menurut agana Islam27
adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah (kedamaian), mawadah (cinta), dan rahmah (kasih sayang),28
Bisa di artikan bahwa
tujuan dari perkawinan itu adalah untuk terciptanya keluarga yang selalu diberikan kedamaian,
ketentraman , selalu penuh dengan cinta dan kasih sayang.
Konflik suami istri menurut penjelasan Al-Qur‟an disebut dengan nusyuz, yang secara
umum mempunyai pengertian perubahan sikap salah seorang antara suami atau istri. Nusyuz dari
pihak suami terhadap istri biasanya ditandai dengan berubahnya sifat lembut dan penuh ramah
serta kasih menjadi sikap acuh, kasar, bermuka masam serta hilangnya kasih sayang terhadap
istrinya. Sedangkan nusyuz istri terhadap suami biasanya ditandai dengan ditinggalkannya
kewajiban sebagai istri, seperti bersikap menantang, keluar rumah tanpa izin suami, menolak
berhubungan seks dan lain-lain29
.
25
Hilman Hadikusuma1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, Bandung: Mandar Maju, hlm 23. 26
Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:Rineka Cipta, hlm 2 27
Lihat juga tujuan perkawinan menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. 28
Ketiga istilah ini dapat kita temui dalam firman Allah:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan
kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.” (QS. Ar Rum [30]:21). 29
Lihat Ensikklopedia Islam , NAH-SYA, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,1993) hlm 49-50, Lihat juga,
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Surabaya; Mahkota, 1989), foot note no.
291
![Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/8.jpg)
Dalam kurun waktu yang sangat panjang dirasakan benar bahwa kenyataan sosial
budaya memperlihatkan hubungan perempuan dan laki-laki yang timpang. Kaum perempuan
masih diposisikan sebagai bagian dari kaum laki-laki (subordinasi), dimarjinalkan dan bahkan
didiskriminasi. Ini bisa dilihat pada peran-peran mereka, baik sektor domestik (rumah tangga)
maupun publik, para pemikir feminis mengemukakan bahwa posisi-posisi perempuan itu
disamping karena faktor ideologi dan budaya yang memihak kaum laki-laki, keadaan timpang
tersebut boleh jadi juga dijustifikasi oleh pemikiran kaum agamawan, hal ini misalnya pada
penafsiran mereka atas surat al-Nisa ayat 34 :
(Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka ( laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah
taat kepada Allah lagi memelihara diri. Ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah
memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu,maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar).
Para ahli tafsir menyatakan bahwa qawwam dalam ayat tersebut berarti pemimpin,
penanggung jawab, pengatur dan pendidik. Kategori-kategori ini sebenarnya tidaklah menjadi
persoalan serius sepanjang ditempatkan secara adil dan tidak didasari oleh pandangan yang
diskriminatif. Akan tetapi, secara umum para ahli tafsir berpendapat bahwa superioritas laki-
![Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/9.jpg)
laki adalah mutlak. Kelebihan laki-laki dari perempuan sebagaimana dinyatalkan dalam ayat
diatas oleh para penafsir al-Qur‟an karena akal dan fisiknya. Al-Razi misalnya, didalam
tafsirnya mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan meliputi atas dua hal: al’Ilm
dan kemampuan (al-Qudrah).30
Surat An-Nisa ayat 34 di atas juga merupakan salah satu ayat yang membahas kelebihan
derajat pria dari wanita dalam hal kepemimpinan. Kemudian beranggapan bahwa dengan dasar
tersebut, kaum laki-laki berhak berbuat seenak hati terhadap kaum wanita. Sebab sebuah
himbauan yang tersurat maupun tersirat dalam ayat itu adalah bahwa kaum pria harus menjadi
pemimpin bagi kaum wanita dengan memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap
mereka bukanya untuk menguasai ataupun memonopoli.
Menurut Mustafa Al-Maragi Apabila suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal
yang akan menimbulkan perselisihan, maka suami harus memberi nasehat dengan baik, kalau
ternyata istri masih berbuat durhaka hendaklah suami berpisah ranjang. Kalau istri masih berbuat
semcam itu dan meneruskan keduhakaannya maka suami boleh memukulnya dengan syarat tidak
melukai badannya atau memukul daerah-daerah sensitif.31
Terbentuknya Undang-Undang PKDRT yang disahkan pada tanggal 22 September 2004
tidak terlepas dari peran pemerintah di dalamnya karena Undang-undang merupakan landasan
hukum yang menjadi dasar dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah,32
serta
diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara
lain mengatur mengenai pencegahan, perlindungan33
terhadap korban, dan penindakan terhadap
30 Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, Juz X, (Teheran : Dar al-Kutubt), hlm. 88
31Ahmad Mushthafa Al-Maragi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghi, Toha Putra, Semarang. 2009, hlm. 45.
32 Yuliandri, 2010, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik (gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), hlm 1. 33
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga manyatakan perlindungan adalah “segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban
![Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/10.jpg)
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan
keluarga. Akan tetapi pada kenyataannya secara umum kasus KDRT di Indonesia masih tinggi,
bahkan cenderung mengalami peningkatan.
KDRT sebagian besar menjadi penyebab utama perceraian. Dalam lingkup Pengadilan
Agama perceraian harus wajib diselesaikan dulu dengan mediasi sesuai UU Perkawinan No.1
Tahun1974. Sementara di Pengadilan Negeri belum ada dasar hokum yang mengatur mediasi
sebagai alternative penyelesaian. Dalam lingkup pidana lebih dikena lmediasi penal sebagai
metode penanganan perkara KDRT.
BerdasarkanUndang-Undang PKDRT pada Pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasukan ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Maksud Undang-undang P K DRT, ini tentunya agar kalaupun terjadi pemidanaan,
pidana yang dijatuhkan akan cenderung ringan sehingga titik akhirnya diharapkan perkawinan
pelaku dan korban tidak akan pecah.34
Namun demikian banyak kasus kekerasan dalam rumah
tangga yang dikenakan pidana penjara daripada pidana denda. Pidana penjara yang dijatuhkan
hakim ini patut dipertanyakan apakah pidana penjara dapat menimbulkan efek jera pada di
terpidana mengingat banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dilakukan suami terhadap
isteri dengan beralasan untuk mendidik isteri supaya patuh dan taat kepada suaminya, lebih-
yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga social, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya,
baik sementara maupun berdasarkan penetapan hakim. 34
Guse Prayudi, 2008, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta:
Merkid Press, hlm 120
![Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/11.jpg)
lebih dengan dianutnya sistem patriarkat di masyarakat memberi tempat dominan kepada
kaum pria untuk menjadi kepala rumah tangga dan sekaligus penentu kebijakan dalam rumah
tangga,bahkan banyak kasus terjadi pelaku yang kemudian dilaporkan atau diadukan melakukan
tindak pidana KDRT ternyata pada awalnya merupakan korban dari jenis tindak pidana KDRT
lainnya yang dilakukan oleh korban yang sebenarnya adalah pelaku awaldari sebuah proses
kelahiran serangkaian KDRT dalam lingkup rumah tangganya.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana
merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang
mengatakan bahwa: “hukum pidana merupakan the older philosophy of crime control ”.35
Sampai saat ini pun, hukum pidana masih digunakan dan “diandalkan” sebagai salah satu sarana
politik kriminal.36
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya ancaman pidana pada hampir setiap
produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh badan legislatif negara ini, meskipun produk
perundang-undangan tersebut tidak termasuk dalam perundang-undangan yang tidak mengatur
secara spesifik tentang suatu tindak pidana.
Kondisi demikian membawa konsekuensi terhadap Sistem Peradilan Pidana Indonesia
dalam menangani tindak kejahatan hampir seluruhnya selalu berakhir di penjara. Padahal penjara
bukanlah satu-satunya solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya tindak
kejahatan dengan “kerusakan” yang ditimbulkannya masih bisa di restorasi, sehingga kondisi
yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan
adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Paradigma penghukuman tersebut dikenal
sebagai restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya
kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat. Restorative justice dapat diimplementasikan
35
Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968, hlm. 3 36
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 39
![Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/12.jpg)
dalam penyelesaian perkara melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR merupakan
tindakan memberdayakan penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya damai yang
lebih mengedepankan prinsip win-win solution, dan dapat dijadikan sarana penyelesaian
sengketa disamping penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan.
Penelantaran rumah tangga merupakan perkembangan hukum pidana yang semula
berorientasi pada kepentingan pribadi atau bersifat privat bergeser menjadi hukum publik.
Penuntutan terhadap pelaku kejahatan bukan lagi menjadi urusan korban, melainkan sudah
menjadi kewajiban Negara yang bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan.37
Penuntutan
perkara delik penelantaran lebih tepat diserahkan sepenuhnya pada kehendak korban, karena
muatan kepentingan privat delik tersebut terutama menyangkut nafkah dalam perkawinan lebih
dominan dibandingkan dengan bentuk tindak pidana KDRT.38
Dalam proses penyelesaian perkara KDRT digunakan sarana mediasi penal (jalur non
litigasi) yang implementasinya didasarkan pada keberadaan:
a. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/200S/SDEO PS tanggal 14 Desember 2009 Tentang
Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR);
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008
Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri;
c. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batas
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, yaitu terhadap tindak pidana
dengan kerugian kecil dan disepakati oleh para pihak yang berperkara, melalui prinsip
musyawarah mufakat, serta menghormati norma hukum sosial/adat dan berasaskan
keadilan bagi para pihak.
37
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2011, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan di
Indonesia, Jakarta, Laporan Penelitian, hlm 2 38
Secara garis besar, penanganan perkara penelantaran rumah tangga dilakukan dalam 2 (dua) fase, yaitu: 1)
pra ajudikasi, yaitu suatu fase yang dimulai dari penyelidikan dan dilanjutkan dengan penyidikan oleh penyidik,
sampai pada penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum dan 2) ajudikasi, yaitu suatu fase dimulainya proses
persidangan atas perkara yang bersangkutan mulai dari penetapan hari sidang, mencocokkan identitas terdakwa,
menanyakan status penahanan, pemberitahuan hak-hak terdakwa untuk didampingi penasehat hukum, pembacaan
surat dakwaan, pembuktian, tuntutan pidana, pembelaan hingga penjatuhan pidana. Eva Achjani zulfa, 2008,
Keadilan Restoratif di Indonesia, Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Restoratif Dalam Praktek
Penegakan Hukum Pidana, Disertasi, Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm 22
![Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/13.jpg)
Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme di luar peradilan saat ini semakin lazim
dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu menjangkau rasa
keadilan, walaupun para praktisi dan ahli hukum berpandangan bahwa ADR hanya dapat
diterapkan dalam perkara perdata, bukan untuk menyelesaikan perkara pidana karena pada
asasnya perkara pidana tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar peradilan.
Penyelesaian perkara pidana dalam restorative justice dapat dicontohkan dalam bentuk mediasi
penal, karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat signifikan dalam proses
penegakan hukum, walaupun mungkin menyimpang dari prosedur legal system.
Pada Tahun 2017 jumlah kasus yang dilaporkan meningkat sebesar 74 % dari tahun 2016.
Jumlah kasus KTP 2017 sebesar 348.446, jumlah ini melonjak jauh dibandingkan dengan tahun
sebelumnya sebesar 259.150. Berdasarkan data-data yang terkumpul tersebut jenis kekerasan
terhadap perempuan yang paling menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah KDRT/RP
(ranah personal) yang mencapai angka 71% (9.609). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan dan
tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan seksual. Posisi kedua KtP di ranah
komunitas/publik dengan persentase 26% (3.528) dan terakhir adalah KtP di ranah negara
dengan persentase 1,8% (217). Pada ranah KDRT/RP kekerasanyang paling menonjol adalah
kekerasan fisik 3.982 kasus (41%), menempati peringkat pertama disusulkekerasan seksual kasus
2.979 ( 31%), psikis 1.404 (15%) dan ekonomi 1.244 kasus (13%).39
Data di atas tidaklah menunjukkan jumlah kekerasan dalam rumah tangga yang
sebenarnya, dipercaya masih banyak perkara kekerasan dalam rumah tangga yang tidak
dilaporkan40
atau diangkat ke ranah hukum pidana (dark number). Peningkatan jumlah kasus
39
Komnas Perempuan, Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Populisme, Catatan
Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017,Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan, 2018. 40
Dalam Luhulima, A.S, 2000, Pemahaman Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif
Pemecahannya, Jakarta: PT.Alumni: Harkrisnowo menyatakan penyebab adanya non reporting crime (kejahatan
![Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/14.jpg)
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga itu diantaranya dilatar belakangi oleh
berbagai faktor,faktor intern41
, faktor extern42
,faktor budaya, idiologi43
dan sampai pada
kesadaran masayarakat yang masih rendah terhadap permasalahan kekerasan yang dialaminya,
bahkan kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai
permasalahan biasa.44
Hal ini sering disebabkan karena Kekerasan dalam rumah tangga sering
tidak dilaporkan)adalah:1) Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya baik secara fisik,
psikologis, sosial; 2) Si korban berkewajiban melindungi nama baik keluarganya terutama pelaku adalah anggota
keluarga; 3) Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana belum tentu dapat membuat dipidananya pembuat ; 4)
Sikorban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa cemar yang lebih tinggi lagi bagi dirinya, misalnya
publikasi di media massa; 5) Si korban khawatir ada pembalasan dari pelaku; 6)Lokasi kantor polisi yang jauh dari
tempat tinggal korban membuatnya enggan melapor; 7) Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak
akan mendapatkan perlindungan khusus dari penegak hukum; 8)Ketidak tahuan korban bahwa yang dilakukan
terhadapnya merupakan suatu bentuk tindak kekerasan. 41
Moerti Hadiati Soeroso 2010, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis,
Jakarta: Sinar Grafika, hlm 136-137, menyatakan: hambatan yang datang dari korban (intern) dapat terjadi karena:
a) korban tidak mengetahui bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami merupakan perbuatan pidana
atau perbuatan yang dapat dihukum. Oleh karena itu, korban tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya;
b) korban membiarkan tindakan kekerasan terhadap dirinya sampai berlarur-larut. Hal ini bisa disebabkan oleh
korban berpendapat bahwa tindakan suami akan berubah; c) korban berpendapat apa yang dialaminya adalah takdir
atau nasibnya sebagai istri. Hal ini bisa disebabkan oleh korban berpendapat bahwa tindakan suami akan berubah; d)
korban mempunyai ketergantungan secara ekonomi pada pelaku tindak kekerasan; e) korban
mempertahankan status sosialnya, sehingga kalau sampai tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangganya
diketahui oleh orang lain, akan memperburuk status social keluarganya di dalam masyarakat; f) korban takut akan
ancaman dari suami; g) korban khawatir keluarga akan menyalahkan dirinya karena dianggap tidak dapat
menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri; h) korban terlambat melaporkan tindakan kekerasan yang
dialami, sehingga bukti-bukti fisik sudah hilang. 42
Moerti Hadiati Soeroso, 2010 hlm.137-138,menyatakan:hambatan extern 1) Hambatan dapat dilakukan
oleh keluarga korban, karena kekerasan dalam rumah tangga adalah aib keluarga yang harus ditutupi agar tidak
diketahui oleh masyarakat. Alasan yang lain adalah karena tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
merupakan urusan domestik atau urusan intern keluarga.2) Hambatan yang lain datang dari masyarakat. Masih ada
pendapat yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan keluarga bukan merupakan kejahatan
yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Pendapat demikian masih masih mewarnai berbagai kalangan dalam
masyarakat, sehingga akan merupakan hambatan bagi penegak hukum di bidang tindak kekerasan dalam rumah
tangga, 3) Hambatan dari Negara: a) Hambatan ini berupa ketentuan bahwa biaya visum et repertum harus
dikeluarkan oleh korban. Bagi korban yang tidak mampu, hal ini merupakan hambatan dalam mencari keadilan. b)
Selain itu dimasukkannya kekerasan fisik, psikis dan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri ke dalam
delik aduan, sangat membatasi ruang gerak istri. Meskipun dalam undang-undang tidak disebutkan delik aduan
absolute atau delik aduan relatif, tetap saja menempatkan istri pada posisi subordinatif. Hal ini tercantum dalam
Pasal 51, 52 dan 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004. Padahal pada awalnya sudah ditentukan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu delik, suatu perbuatan yang dapat diproses secara hukum. 43
Bashim Kamla 1996, Menggugat Patriaki, Pengantar Tentang Persoalan Terhadap Kaum Perempuan,
Terjemahan Nursyahbani. Katjasungkana, What is Patriartichy, Yogyakarta: Benteng Kalyamamitra, hlm 1:
“melekatnya sistem patriarki adalah ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuandan
bahwa perempuan harus dikontrol laki-laki dan bahwa perempuan adalah milik laki-laki”. 44
Dalam Silfia Hanani, Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Institusi Adat Minangkabau
(Suatu Upaya Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Berbasis Perspektif Lokalitas dan Religius),Conference
Proceeding, Annual International Conference on Islamic studies (AICIS XII), hlm. 576 Banyaknya kasus KDRT
yang tidak dilaporkan ke pihak yang bertanggungjawab, salah satunya diakibatkan oleh kesadaran masyarakat yang
![Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/15.jpg)
bersifat kontiniu (cyclical violence), bagi pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga sendiri
mengangap hal ini merupakan suatu hal yang wajar.
Pengesahan Undang-Undang PKDRT merupakan tonggak bersejarah dalam penanganan
perkara KDRT. Beberapa kelebihan Undang-Undang PKDRT dibandingkan KUHP adalah:45
1. Undang-Undang PKDRT telah membawa kasus KDRT dari wilayah privat suami-istri
ke ranah publik;
2. Saksi korban yang selama ini terabaikan bisa dijadikan dasar hukum dengan ditambah
satu alat bukti lain;
3. Lingkup rumah tangga tidak hanya meliputi suami-istri, tetapi lebihdiperluas lagi sesuai
isi Pasal 2 Undang-Undang PKDRT;46
4. Lingkup KDRT tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga mencakup kekerasan psikis,
penelantaran rumah tangga, dan seksual.
Selain adanya kelebihan, ada juga beberapa kelemahan atau celah hukum utama yang
terkandung dalam Undang-Undang PKDRT ini hingga menghambat upaya KDRT di Indonesia
yaitu:
1. Undang-Undang PKDRT tidak mempunyai hukum acara sendiri sehingga penegak
hukum berpedoman pada KUHAP yang kaku dan tidak ramah terhadap korban
KDRT47
;
2. Dengan tidak mempunyai hukum acara sendiri, Undang-Undang PKDRT juga tidak
memberikan peluang bagi metode penyelesaian sengketa alternativ selain pengadilan
masih rendah terhadap hal ini. Kasus KDRT masih dianggap sebagai kasus domestik yang tidak mangkus
dipublikasikan. Hal ini menjadi salah satu penyebab tidak tersentuhnyapenyelesaian kasus KDRT di Indonesia. 45
Jamaa, L dan Hadidjah 2008, Hukum Islam dan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Surabaya: PT. Bina Ilmu hlm. 37-39. 46
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. 47
Fatahillah A. Syukur 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktek
di Pengadilan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hlm. 47.
![Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/16.jpg)
(misalnya mediasi), padahal pengadilan tidak selalu tepat dan cocok dalam menangani
kekhasan perkara KDRT48
;
3. Dimasukkannya kekerasan fisik, psikis dan seksual yang dilakukan suami terhadap
istri ke dalam delik aduan sangat membatasi ruang gerak yang menempatkan istri pada
posisi subordinatif; 49
4. Undang-Undang PKDRT memberikan peluang pemberlakuan KUHP karena tidak ada
aturan yang mencabut berlakunya ketentuan dalam tindak pidana sejenis (tidak seperti
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam klausulanya menutup
kemungkinan tersebut);
5. Ancaman pidana Undang-Undang PKDRT berbentuk alternative (penjara atau denda);
seharusnya berbentuk kumulatif (penjara atau denda); seharusnya berbentuk kumulatif
(penjara dan/atau denda) hingga lebih bisa memberikan efek jera pada pelaku KDRT;
6. UU PKDRT tidak mengatur ancaman bagi pelaku untuk membayar sejumlah uang
kepada korban untuk pemulihan akibat KDRT. Ancaman denda dalam UU ini
dibayarkan kepada Negara.
Selain hal di atas Undang-Undang PKDRT Pasal 44 ayat (4), Pasal 45 ayat (2), dan Pasal
46, tidak dijelaskan apakah pasal tersebut merupakan delik aduan absolute atau delik aduan
relatif. Karena ketidak jelasan pengaturan ini perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga
tetap dalam posisi yang lemah di mata hukum. Ada suatu kebimbangan lain bagi perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga apabila seorang suami melakukan tindak kekerasan
dilaporkan kepada aparat penegak hukum maka tidak jarang malah akan terjadi perceraian
48
Fatahillah A. Syukur 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) Teori dan Praktek
di Pengadilan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 49
Komnas Perempauan 2008, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Jakarta: Komnas Perempuan, hlm. 64-67.
![Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/17.jpg)
sementara kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga ini memiliki ketegantungan
ekonomi terhadap suaminya. 50
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, yang dimaksud perempuan dalam
kajian ini adalah para istri. Adapun yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam
rumah tangga?
2. Bagaimanakah kebijakan mediasi penal dalam memberikan perlindungan terhadap
perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
3. Bagaimanakah konsep pengaturan perlindungan terhadap perempuan korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dalam perspektif hukum pidana?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan tentang pengaturan perlindungan
terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan tentang kebijakan mediasi penal
dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
50
Guse Prayudi 2008, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Yogyakarta:
Merkid Press,hlm.133.
![Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/18.jpg)
3. Untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan tentang konsep pengaturan
perlindungan terhadap perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam
perspektif hukum pidana.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya temuan yang dimaksud diatas, diharapkan nantinya dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun manfaat praktis:
1. Manfaat teoritis
Temuan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pangetahuan baru
bagi pengembangan Ilmu hukum terutama Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan
dengan pengaturan sanksi pidana yang terjadi pada kekerasan terhadap rumah tangga.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi bagi pengambil
keputusan baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif serta lembaga-lembaga yang
peduli terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga baik kalangan akademisi,
praktisi maupun masyarakat lainnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana terhadap Perempuan Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (suatu Kajian dalam Perspektif Hukum Pidana)” sejauh yang
diketahui dan setelah melakukan studi literatur baik melalui perpustakaan Program Pascasarjana
maupun penelusuran media internet tidak ditemukan judul dan permasalahan yang sama dengan
penelitian ini. Namun demikian ada beberapa penelitian terdahulu yang erat kaitannya dengan
penelitian ini, diantaranya:
![Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/19.jpg)
1) Disertasi dengan judul “Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Budaya Maja Labo
Dahu Orang Bima, yang diteliti oleh Hamidsyukrie ZM. Kajian dari disertasi ini adalah
menjelaskan tentang konstruksi gagasan, nilai-nilai dan norma-norma apa yang
memungkinkan dan mendorong suami melakukan kekerasan terhadap istri, relasi kuasa
yang terbangun antara suami dan istri, pemahaman dan pemaknaan kekerasan menurut
perspektif budaya Maja Labo Dahu, dan resistensi dan respon masyarakat, Negara
terhadap kekerasan yang dialami istri.51
2) Disertasi dengan judul “ Ketaatan dan Coping Mechanisme Terhadap Pembatasan Gerak
Perempuan di Rumah Tangga. Studi Kasus Para Perempuan di Majelis Taklim
Jami‟iyyat Al-Nisa Tangerang –Banten”. Yang diteliti oleh Ulfah Fajarini. Penelitian
disertasi ini menelaah mengenai ketaatan dan Coping Mechanism terhadap pembatasan
gerak perempuan dalam rumah tangga.52
3) Disertasi yang berjudul, “Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan
di Indonesia dan Malaysia” yang diteliti oleh Aroma Elmina Martha. Penelitian disertasi
ini menguraikan tentang pembahasan risalah Undang-Undang dan latar belakang
pembentukannya termasuk perdebatan antara para anggota Dewan di dua Negara
Indonesia dan Malaysia.53
4) Disertasi dengan judul, “Hukum Berkeadilan Jender” yang diteliti oleh Agnes Widanti.
Fokus penelitian ini adalah keadilan jender dalam sistem perburuhan.54
51Hamidsyukrie ZM,2009, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Budaya MajaLabo Dahu orang Bima.
Disertasi, Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
52
Ulfah Fajarini, 2012, Ketaatan dan Coping Mechanisme Terhadap Pembatasan Gerak Perempuan di
Rumah Tangga. Studi Kasus Para Perempuan di Majelis Taklim Jami’iyyat Al-Nisa Tangerang –Banten, Disertasi,
Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. 53
Aroma Elmina Martha, 2010, Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
dan Malaysia, Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia. 54
Agnes Widanti 2004, Hukum Berkeadilan Jender, Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro.
![Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/20.jpg)
Secara ringkas perbedaan tulisan dari keempat penulis diatas dengan permasalahan yang
dibahas dalam disertasi ini disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini;
Tabel 1
Perbandingan Keaslian Penelitian Disertasi
No Nama
Penulis Judul Disertasi Fokus Bahasan
Fokus Penulis (Perbedaan)
Hamidsyukrie ZM55
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Budaya Maja Labo Dahu Orang Bima
menjelaskan tentang konstruksi gagasan, nilai-nilai dan norma-norma apa yang memungkinkan dan mendorong suami melakukan kekerasan terhadap istri, relasi kuasa yang terbangun antara suami dan istri, pemahaman dan pemaknaan kekerasan menurut perspektif budaya Maja Labo Dahu, dan resistensi dan respon masyarakat, Negara terhadap kekerasan yang dialami istri
Sementara penelitian peneliti ini menjelaskan tentang; perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, Pengaturan perlindungan terhadap perempuan koban kekerasan dalam rumah tangga, dan persoalan terkait perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif kebijakan hukum pidana.
Ulfah Fajarini56
Ketaatan dan Coping Mechanisme Terhadap Pembatasan Gerak Perempuan di Rumah Tangga. Studi Kasus Para Perempuan di Majelis Taklim
menelaah mengenai ketaatan dan Coping Mechanismeterhadap pembatasan gerak perempuan dalam rumah tangga
Penelitian yang penulis lakukan ini lebih luas dan menggunakan penedekatan yuridis normatif.
55
Hamidsyukrie ZM,2009, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Budaya MajaLabo Dahu orang Bima.
Disertasi, Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. 56
Ulfah Fajarini, 2012, Ketaatan dan Coping Mechanisme Terhadap Pembatasan Gerak Perempuan di
Rumah Tangga. Studi Kasus Para Perempuan di Majelis Taklim Jami’iyyat Al-Nisa Tangerang –Banten, Disertasi,
Program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia.
![Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/21.jpg)
Jami’iyyat Al-Nisa Tangerang-Banten
Aromo Elmina Martha57
Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dan Malaysia
menguraikan tentang pembahasan risalah Undang-Undang dan latar belakang pembentukannya termasuk perdebatan antara para anggota Dewan di dua Negara Indonesia dan Malaysia
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
F. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Menurut Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research
menjelaskan teori adalah “ Suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan proposisi yang
menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar
variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”.58
M. Solly Lubis
menyebutkan: “bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan,
pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam
57
Aroma Elmina Martha, 2010, Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
dan Malaysia, Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia. 58
Fred N. Kerlinger,2004, Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
hlm.. 14
![Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/22.jpg)
membuat kerangka berfikir dalam penulisan.59
Sedangkan Gorys Keraf mendefinisikan teori
adalah “asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat
dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada”.60
a. Teori Perlindungan Hukum
Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu legal protection
theory, sedangkan dalam bahasa Belanda , disebut dengan theorie van de wettelijke bescheming,
dan dalam bahasa Jerman disebut dengan theorie der rechtliche schutz. Menurut Fitzgerald
sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini
bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato,
Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam
menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta
antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa
hukum dan moral adalah cerminan adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari
kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.61
Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya
adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah Negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi
rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep rechtstaat dan rule of the law. Dengan
menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip
perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum tindak
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat lahirnya konsep-konsep tentang
59
M.Solly Lubis,1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, hlm.80. 60
Garys Keraf,2001, argumentasi dan Narasi, Jakarta: Gramedia, hlm. 47. 61
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 53
![Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/23.jpg)
pangakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan dari peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.62
Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyrakat
karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat
dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum
adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi
untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum
harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan
masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan
antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.63
Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak
asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.64
Selanjutnya menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif. Perlindungan Hukum yang
preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan
pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkandiskresi dan
perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk
62 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, hlm. 38 63 Satjipto Raharjo,Op Cit, hlm.54 64
Ibid, hlm 69
![Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/24.jpg)
penanganannya di lembaga peradilan.65
Sedangkan menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra
bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar
adaptif dan fleksibel, melaikan juga predektif dan antipatif.66
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum
melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat di bedakan mejadi 2, yatitu:67
a) Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangan-
undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan
rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b) Perlindungan Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti
denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Menurut R. La Porta dalam Jurnal of Financial Economics, bentuk perlindungan
hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan
(prohibited) dan bersifat hukuman (sanction).68
Bentuk perlindungan hukum yang paling nyata
65 Ibid, hlm 54 66
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra,1993 Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rusdakarya,
hlm. 118
67 Muchsin,2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Surakarta: Magister Ilmu
Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, hlm. 20 68 Rafael La Porta, “Investor Protection and Cororate Governance; Journal of Financial
Economics”, no. 58 , (Oktober 1999): hlm 9.
![Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/25.jpg)
adalah adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan
lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) lainnya. Hal ini
sejalan dengan pengertian hukum menurut Soedjono Dirdjosisworo yang menyatakan bahwa
hukum memiliki pengertian beragam dalam masyarakat dan salah satunya yang paling nyata
dari pengertian tentang hukum adalah adanya institusi-institusi penegak hukum.
Perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan aspek keadilan. Menurut Soedirman
Kartohadiprodjo, pada hakikatnya tujuan hukum adalah mencapai keadilan.
b. Teori Pembentukan Perundang-Undangan
Istilah perundang-undangan ditemukan dalam judul buku yang ditulis Bagir Manan :
Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. (Cetak tebal miring dari penulis). Di dalam buku
M. Solly Lubis yang berjudul Landasan dan Teknik Perundang-undangan, istilah tersebut juga
ditemukan. Bahkan menurutnya perundang-undangan diartikan sebagai proses pembuatan
peraturan negara. Dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan,
pengesahan atau penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan. Adapun
yang dimaksud dengan peraturan negara menurut M. Solly Lubis meliputi segala peraturan baik
yang dibuat oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah, tidak hanya terbatas pada
undang-undang.69
Maria Farida Indrati Soeprapto juga mengemukakan, istilah perundang-undangan
(legislation, wetgeving atau gesetzgebung) yang artinya berbeda dengan pengertian yang
dikemukakan oleh M. Solly Lubis. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto perundang-undangan
mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda, yaitu:70
69
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 13. 70
Maria Farida Indrati Soeprapto, op. cit., hlm. 3.
![Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/26.jpg)
(1) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-
peraturan negara, baik di tingkat Pusat, maupun di tingkat Daerah;
(2) Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil
pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
Istilah “perundangan” dalam frase „peraturan perundangan”, asalnya berasal dari kata
“undang” yang kemudian mendapat awalan per- dan akhiran –an. Kata “undang” juga memiliki
konotasi lain di luar konteks “undang-undang”. Yang dimaksud dalam konteks ini tentunya
adalah kata “undang” yang berkaitan dengan “undang-undang”, bukan kata “undang” yang
berkonotasi lain. Sedangkan, istilah “perundang-undangan” dan “peraturan perundang-
undangan” berasal dari kata “undang-undang”, yang menunjuk kepada jenis atau bentuk
peraturan yang dibuat oleh penguasa, baik Pusat maupun Daerah. Undang-undang yang
demikian ini menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto disebut dengan undang-
undang dalam arti materiil.71
Sebagai catatan mengenai penggunaan beberapa istilah sebagaimana tersebut di atas
adalah bahwa istilah-istilah tersebut tidaklah mutlak dipakai secara konsisten, karena dalam
konteks tertentu lebih tepat digunakan istilah “perundang-undangan”, dan dalam konteks lain
lebih tepat digunakan istilah “peraturan perundang-undangan”. Penggunaan istilah “peraturan
perundang-undangan” lebih berkaitan atau lebih relevan dalam pembicaraan mengenai jenis atau
bentuk peraturan (hukum). Dalam konteks lain lebih “kena” dipakai istilah perundang-undangan
saja, misalnya istilah Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar Perundang-undangan, dan
sebagainya.72
Adapun penggunaan istilah “peraturan perundangan” sebaiknya dari segi bahasa
lebih disempurnakan dengan istilah “peraturan perundang-undangan.”
71
Purnadi Purbacara dan Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 4. 72
Rosjidi Ranggawidjaja, loc. cit.
![Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/27.jpg)
Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu proses pembentukan hukum
yang dilakukan oleh pemerintahan, dan harus memenuhi persyaratan. Alat pemerintahan yang
menetapkan adalah pemerintah yang berwenang, khususnya berwenang menetapkan ketentuan
hukum yang berlaku umum, dan penetapan pembentukan hukum dilakukan melalui prosedur
yang telah ditentukan.73
Menurut Van der Vlies, perumusan tentang asas pembentukan peraturan peraturan
perundang-undangan yang baik (algemen beginselen van behoorlijke regelgeving), dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu asas formal (formele beginselen) dan asas materiil (materiel
beginselen)
Asas formal meliputi:74
a. het beginsel van duidelijke doelstelling (asas tujuan yang jelas);
b. het beginsel van het juiste organ (asas organ/lembaga yang tepat);
c. het noodzakelijkheids beginsel (asas perlunya pengaturan);
d. het beginsel van uitvoerbaarheid (asas dapat dilaksanakan);
e. het beginselvan consensus (asas konsesus).
Asas-asas materiil meliputi:75
a. het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematick (asas
terminology dan sistematika yang jelas);
b. het beginsel van de kenbaarheid (asas dapat dikenali);
c. het rechtsgelijkheidsbeginsel (asas perlakuan yang sama dalam hukum)
d. het rechtszekerheidsbeginsel (asas kepastian hukum);
73
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Jakartaa: Sinar Grafika.hlm.63. 74
I.C Van der Vlies dalam Yuliandri, Op.Cit. hlm 113-114 75
Ibid.
![Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/28.jpg)
e. het beginsel van de individuele rechtsbedeling (asas pelaksanaan hukum sesuai
dengan individual).
Menurut A.Hamid S. Attamimi, dalam kontesk pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia, asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dapat disusun sebagai
berikut:
a. Cita hukum Indonesia;
b. asas Negara berdasar hukum; dan
c. asas pemerintahan berdasar system konstitusi;
d. asas-asas lainnya.76
Dengan pengertian yang demikian, maka yang dimaksud peraturan perundang-
undangan menurut pandangan kedua ahli hukum itu tidak lain adalah undang-undang dalam arti
materiil (wet in materiële zin). Soehino nampaknya juga memberikan pengertian yang sama.
Menurutnya peraturan perundang- undangan itu adalah undang-undang dalam arti materiil, yang
meliputi peraturan yang mempunyai tingkat paling tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar sampai
dengan peraturan yang tingkatannya lebih rendah.77
Peraturan perundang-undangan atau undang-undang dalam arti materiil ini menurut
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dapat dibagi ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu :
(1) Peraturan Pusat (Algemene Verordening) yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat yang berlaku umum di seluruh atau sebagian wilayah negara; dan
(2) Peraturan setempat (Locale Verordening) yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh
penguasa setempat dan hanya berlaku di tempat atau daerah itu saja.78
76
Ibid. hlm 115 77
Soehino, op. cit., hlm. 18. 78
Ibid, hlm. 5-6.
![Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/29.jpg)
Menurut P.J.P Tak, peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis negara atau
pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.
Bersifat dan berlaku secara umum maksudnya tidak mengidentifikasi individu tertentu, sehingga
berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan
mengenai pola tingkah laku tersebut. Dalam kenyataan, terdapat juga peraturan perundang-
undangan seperti undang-undang yang berlaku untuk kelompok tertentu, objek tertentu, daerah
atau waktu tertentu. Dengan demikian pengertian mengikat secara umum pada konteks ini
sekedar menunjukkan tidak menentukan secara konkrit (nyata) identitas individu objeknya.79
Buys mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai ’algemene bindende
voorschriften’, yaitu peraturan-peraturan yang mengikat secara umum. Sedangkan Logemann
menambahkan rumusan Buys itu dengan anasir ’naar buiten werkende voorschriften’, sehingga
pengertian peraturan perundang-undangan menurut Logemann adalah ’algemene bindende en
naar buiten werkende voorschriften’, yaitu peraturan-peraturan yang mengikat secara umum dan
berdaya laku ke luar.80
c. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara
lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada si pembuat undang-undang tetapi
juga kepada pengadilan dan juga para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan yang
menerapkan undang-undang.81
Kebijakan hukum pidana (penal policy) juga merupakan bagian
dari kebijakan kriminal (kriminal policy) dan merupakan bagian dari integral dari kebijakan
79
Bagir Manan, Dasar-Dasar…,op. cit., hlm. 24. 80
Rosjidi Ranggawidjaja, Pedoman Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Cita Bhakti
Akademika, Bandung, 1996, hlm. 9. 81
Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008,
hlm.43.
![Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/30.jpg)
sosial (social policy). Menurut Marc Ancel kebijakan kriminal adalah the rational organization
of the control of crime by society.82
Pengertian serupa juga diberikan oleh Sudarto yang
mendfinisikan kebijakan kriminal (criminal policy) sebagai suatu usaha yang rasional dari
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.83
Dalam kesempatan lain beliau mengemukakan definisi singkat, bahwa politik kriminal
merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan”.84
Istilah kebijakan diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek
(Belanda).Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat
pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalamkepustakaan asing istilah “politik
hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal
law policy” atau ”strafrechtspolitiek”.85
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat
dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal.
Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.86
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang
dicita-citakan.87
82
Marc Ancel, Social Defence: A. Modern Approach to Criminal Problems, London,Routledge & Kegan,
Paul, 1965, hlm. 209 83
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung Alumni, 1986, hal.38.
84
Sudarto, 1981, Op.Cit, hlm. 38.
85
Barda Nawawi, Op.Cit.hlm .26.
86
Sudarto, Op.Cit.hlm.159.
87
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung, Sinar Baru, 1983,
Hlm. 20.
![Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/31.jpg)
Mahfud M.D., juga memberikan definisi politik hukum sebagai kebijakan mengenai
hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.Hal ini juga
mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat
konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.88
Sementara
Solly Lubis juga mengatakan bahwa politik hukum pidana adalah kebijaksanaan politik yang
menentukan peraturan hukum apa seharusnya berlaku mengatur berbagai kehidupan
masyarakat dan bernegara.89
A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana
yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan:
1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan
atau diperbaharui;
2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;
3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.90
Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan oleh A. Mulder di atas,
maka ruang lingkup kebijakan hukum pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup
luas, yaitu meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk
pembaharuan substansi hukum pada masa yang akan datang, dan bagaimana penerapan hukum
pidana ini melalui komponen sistem peradilan pidana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah
upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga
harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti
88 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998,, hlm 2.
89
Solly Lubis, Serba Serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 19. 90
Barda Nawawi, 2008, Op.Cit. hlm. 23.
![Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/32.jpg)
bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah
sebelum suatu kejahatan terjadi.
Oleh karena itu kelemahan atau kesalahan kebijakan pidana dapat dipandang sebagai
kesalahan yang sangat strategis, karena hal ini dapat menghambat penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana. Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan
undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat
(socialwelfare). Dengan demikian, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana
juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (socialpolicy). Kebijakan
sosial dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraanmasyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat.91
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kebijakan hukum pidana sangat erat kaitannya
dengan penegakan hukum. Dalam hal ini arti penegakan hukum itu sendiri adalah suatu proses
untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai
keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Dengan demikian perumusan pikiran pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan menentukan bagaimana penegakan hukum
itu dijalankan.92
Dalam hal ini peranan peraturan hukum sangat besar kaitannya dengan pelaksanaan
peraturan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dapat diartikan pula bahwa
keberhasilan atau kegagalan aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya telah dimulai
sejak peraturan hukum tersebut dibuat. Misalnya, badan legislatif atau instansi yang berwenang
91
Ibid. hlm. 27. 92
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, CV. Sinar Baru, Bandung, 2005,
hlm. 24.
![Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/33.jpg)
membuat peraturan tersebut telah membuat peraturan yang sulit dilaksanakan oleh masyarakat,
sejak saat itulah awal kegagalan produk peraturan yang dibuat oleh badan tersebut. Hal ini dapat
diakibatkan dalam peraturan tersebut memerintahkan sesuatu hal yang tidak didukung oleh
sarana yang mencukupi, akibatnya, peraturan tersebut gagal untuk dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum.93
d. Teori Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) memiliki karakteristik yang cukup efektif untuk menjaga
harmoni dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
Dalam kamus bahasa Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, kata kearifan
lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Wisdom sama dengan
kebijaksanaan dan lokal berarti setempat. Secara umum kearifan lokal dapat diartikan sebagai
pandang-pandangan atau gagasan-gagasan setempat (local) yang berisikan nilai-nilai yang baik
serta bersifat bijaksana, penuh kearifan yang tertanam serta diikuti oleh masyarakat., Kearifan
lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dariperiode panjang yang berevolusi
bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-
sama.94
Gobyah menyatakan, kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai- nilai
suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal
merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.
Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.95
93
Ibid, hlm 25 94
E. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini, Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario:
Ecodynamic Analysis and the Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp. 95
Gobyah, I. Ketut, „Berpijak Pada Kearifan lokal‟, www.balipos.co.id. Diakses pada 4 Februari 2018
![Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/34.jpg)
Sementara Moendardjito96
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai
local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya
adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut; Pertama, sebagai penanda identitas sebuah
komunitas, Kedua, sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan
kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.
Keempat, mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan
meletakkannya diatas commonground/ kebudayaan yang dimiliki. Kelima, mendorong
terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk
menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang
dipercayai berasal dan tumbuh diatas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.97
e. Teori Hukum Responsif
Lahirnya hukum responsif dilatar belakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial
seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban,
dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum
96
Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta, 1986, hlm. 40-41 97
Sumarmi, Amirudin 2016, Kearifan Lokal dalam Melestarikan Lingkungan Hidup, Jurnal Pedidikan: Teori , Penelitian, dan Pengembangan, Vol. 1, Nomor 4, bulan April 2016, hal. 727
![Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/35.jpg)
yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut
untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Philippe Nonet dan Philip
Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi
persoalan-persoalan itu. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, hukum berkembang sesuai
perkembangan masyarakat sebagaimana halnya suatu evolusi, hukum berkembang dari tipe yang
kurang ideal (represif), menuju ideal (otonom) sampai tipe paling ideal (responsif).
Tiga keadaan pokok mengenai hukum dasar masyarakat, berdasarkan teori Nonet dan
Selznick adalah :
1. Hukum represif; hukum sebagai alat kekuasaan represif, hukum tunduk pada politik
kekuasaan, ketidaktaatan dipandang sebagai penyimpangan, kritisme dipandang
sebagai ketidaksetiaan, mempertahankan status quo penguasa.
2. Hukum otonom; hukum sebagai pranata yang mampu menetralisir / menjinakkan
represif dan melindungi integritas hukum itu sendiri. Tujuan hukum adalah legitimasi,
hukum merdeka dari politik dan terdapat pemisahan kekuasaan timbulnya kritisme
hukum.
3. Hukum responsif; hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan
sosial dan aspirasi masyarakat. Tujuan hukum dalam kompetisi; legitimasi terletak
pada keadilan substantif, terdapat integrasi antara politik dan hukum. 98
Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya
hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet melalui
tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu
98 Saifullah,2006, Hukum sebagai kendali atau kontrol social, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung:
Refika Aditama,Hlm.62.
![Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/36.jpg)
gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pan- dangan kritis. Teori ini
berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Sifat responsif dapat diartikan
sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh
pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum
di dalam perspektif konsumen”. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah:
a. pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
b. pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di
luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan
melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai
tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka
menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang
baku dan tidak fleksibel. 99
Dalam tipe hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator atau sarana
menanggapi kebutuhan dan aspirasi sosial. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti
melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan
kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M. Schur, sekalipun hukum itu
nampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses
sosial, sebab hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di
dalam keadaan yang berubah pula.100
99 Philippe Nonet and Philip Selznick, “Law and So- ciety Transtition: Toward Responsive Law”, dalam
Satya Arinanto, “Politik Hukum 2”, Kumpulan Makalah Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana FH UIEU,
Jakarta, 2001. 100
Satjipto Rahardjo.1980, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa
![Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/37.jpg)
Nonet dan Selznick lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana
respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang
terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan
sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Bahkan menurut Nonet-Selznick, hukum
responsif merupakan program dari sosiological jurisprudence dan realist jurisprudence. Dua
aliran tersebut, pada intinya menyerukan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-
batas formalisme, perluasan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan
hukum.Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa
transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif
tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan
tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta
akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.
2. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang ingin data akan diteliti.101
Kerangka konsep akan menjelaskan
mengenai pengertian-pengertian tentang kata-kata penting yang terdapat dalam suatu penulisan,
sehingga tidak ada kesalah pahaman tentang arti kata yang dimaksud.102
a. Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dan sebagianya)
memperlindungi.103
Asal kata perlindungan hukum berasal dari kata perlindungan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan perlindungan adalah usaha sistematik
101
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 132 102
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta,Sinar Grafika, 2009, hlm. 221
103 W.J.S Purwanarmita, 19884, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka hlm.72
![Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/38.jpg)
memberikan sesuatu.104
Dalam Undang-Undang PKDRT mengatakan bahwa perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan
oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan perlindungan
yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
Saksi dan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan
yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan
rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror,
dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. W.J.S Poerwadarminta mengatakan kata
perlindungan berasal dari kata lindung yang artinya bernaung meminta pertolongan (kepada yang
berkuasa, dan sebagainya supaya selamat tidak tidak kena bencana dan sebagainya) kata lindung
tersebut berubah menjadi perlindungan apabila ditambah awalan pe- yang artinya melindungi.105
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap
subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun bersifat
represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai
suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu
keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.106
Dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan definisi tentang
perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
104
Anonim, 1992, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Jakarta: Depdikbud, Balai Pustakan, hlm.
595 105
W.J.S Poerwadarminta, Op.Cit, hlm 599 106
Rahayu, 2012, Pengangkutan Orang, Semarang: etd.eprints.ums.ac.id, UMS Press, hlm 102
![Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/39.jpg)
memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
b. Pengertian Korban
Pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk membantu dalam
menentukan secara jelas batasan yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh
kesamaan cara memandang. Korban tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan,
tetapi juga bisa sekelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan
tertentu, korban bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya.107
Mengacu pada pengertian korban tersebut dapat dilihat bahwa korban di atas dapat
dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orag perorangan atau kelompok yang secara
langsung menderita akibat perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian penderitaan bagi
dirinya sendiri atau kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat
atau tanggungan la ngsung dari korban dan orang- orang yang mengalami kerugian ketika
membantu korban mengatasi penderitaannya atau mencegah viktimisasi.
c. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 1 ayat (1) adalah:
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga termasukancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menurut Siti108
dapat berbentuk:
1. penganiayaan fisik (seperti pukulan, tendangan);
107
P.A.P. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Di , hlm. 181 108
Ibid.
![Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/40.jpg)
2. penganiayaan psikis atau emosional (seperti ancaman, hinaan,cemoohan);
3. penganiayaan finansial, misalnya dalam bentuk penjatahan uang belanja secara paksa
dari suami;
5. penganiayaan seksual (pemaksaan hubungan seksual)
d. Mediasi Penal
Dari perspektif terminologinya Mediasi Penal dikenal dengan istilah mediation
incriminal cases, mediation in penal matters, victim offenders mediation, offendervictim
arrangement (Inggris), strafbemiddeling (Belanda), der AuBergerichtlicheTatausgleich
(Jerman), de mediation penale (Perancis). Menurut Ms.Toulemonde (Menteri Kehakiman
Perancis) Mediasi Penal (penal mediation) adalah “Sebagai suatu alternatif penuntutan yang
memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban”.
Sedangkan Martin Wright mengartikan Mediasi penal sebagai “a process in which
victim(s)and offender(s) communicate with the help of an impartial third party, eitherdirectly
(face- to-face) or indirectly via the third party, enabling victim(s) toexpress their needs and
feelings and offender(s) to accept and act on theirresponsibilities”.(Suatu proses di mana korban
dan pelaku kejahatan saling bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga baik secara
langsung atau secara tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga sebagaipenghubung,
memudahkan korban untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan
juga memungkinkan pelaku menerima dan bertanggung jawab atas perbuatannya).109
e. Kebijakan Hukum Pidana
109
Lilik Mulyadi, “Mediasi Penal” Dalam Sistem Peradilan Pidana Pengkajian Asas,Norma, dan Praktik,
Makalah Seminar hasil penelitian tentang, “Mediasi Penal Dalam SistemPeradilan Pidana di Indonesia”, yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil
Mahkamah Agung RI, pada tanggal 26 Oktober 2011, Jakarta, hlm.1.
![Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/41.jpg)
Secara terminologi kebijakan berasal dari istilah ”policy” (Inggris) atau “politiek”
(Belanda). Terminologi tersebut dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi
untuk mengarahkan pemerintah (termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau
menyelesaikan urusan-urusan publik.110
Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah
kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan politik hukum pidana. Dalam kepustakaan
asing istilah politik hukum pidana ini dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy,
criminal law policy atau strafrechtspolitiek.111
Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau
kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan
tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara
maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi
kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu
kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.112
f. Rumah tangga
Pengertian rumah tangga dapat merujuk kepada kata keluarga. Keluarga dalam Pasal 1
angka 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang berbunyi: “Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah sampai
derajat tertentu atau hubungan perkawinan.” Keluarga yang terbentuk dari hubungan
perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
110
Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer,
Yogyakarta, Universitas Atmajaya, 1999, hlm 10
111
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hlm. 159. 112
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Jakarta, 2011, hlm. 27
![Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/42.jpg)
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 113
G. Metode Penelitian
Metode merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda penelitian dan
ilmu tentang alat-alat untuk penelitian.114
Metode penelitian merupakan ilmu mengenai jenjang-
jenjang yang harus dilalui dalam suatu proses penelitian, atau ilmu yang membahas metode
ilmiah dalam mencari, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.115
Peter
Mahmud Marzuki menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.116
Metode penelitian adalah hal yang sangat penting dalam suatu penelitian ilmiah, karena
nilai, mutu dan hasil dari suatu penelitian ilmiah, sebagian besar ditentukan oleh ketepatan dalam
penelitian metodenya.
Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau
aturan hukum. Penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu
bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan
maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah sesuatu peristiwa
sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum. Sehingga
113
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 114
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitataif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1993, hlm.15 115
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004,hlm 1. 116
Peter Mahmud Marzuki., Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, Cet. VI, 2010, hlm. 35
![Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/43.jpg)
apabila orang akan memulai suatu peristiwa hukum dan selanjutnya akan dicari rujukan pada
sistem norma, seperti peraturan perundangan, asas-asas hukum maupun doktrin-doktrin hukum
yang diajarkan para ahli untuk mencari konstruksi hukumnya.117
Soejono Soekanto dan Sri
Mamudji menyatakan, bahwa penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.118
Metode yang dipakai untuk penelitian disertasi ini adalah pendekatan terhadap Undang-
Undang yaitu dengan menganalisa kebijakan hukum pidana dalam Undang-Undang No. 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam hal perumusan tindak pidana
serta sistem sanksi pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
2. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif.
Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang
lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan. Hal ini disebabkan karena
penelitian lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di
perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari
penelitian empiris.119
117
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hlm. 36. 118
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tijauan Singkat, Jakarta,
Rajawali, 1985, hlm.14-15. 119
Bambang Waluyo,2010,Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 13.
![Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/44.jpg)
Menurut Sutrisno, penelitian kualitatif (qualitative research) adalah: “suatu penelitian
yang ditujukan untuk mendiskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas social,
sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok”.120
Adapun jenis penelitian yang digunakan pada penelitian disertasi ini adalah dengan
meneliti bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana yang terdapat
di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) serta
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh atau dikumpulkan terutama dengan cara
mempergunakan data sekunder dan didukung oleh data primer. Data sekunder yaitu data yang
diperoleh dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan
pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang
biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi.121
Adapun bahan hukum yang
dikumpulkan melalui kajian pustaka meliputi:
a. Bahan-bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hukum yang secara langsung berkaitan
dengan pengaturan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun bahan hukum primer
yang berkaitan langsung tersebut adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945;
2) Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT
dan Peraturan Pelaksanaanya;
3) Peraturan perundang-undangan tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
120
Sutrisno,1998,Metode Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, hlm 60. 121
Hilman Hadikusuma.,1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung:Mandar
Maju, hlm .65
![Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/45.jpg)
4) Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara pembentukan
peraturan perundang-undangan;
5) Risalah sidang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berkaitan dengan
objek yang diteliti;
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Adapun bahan hukum sekunder tersebut meliputi buku-buku teks, hasil penelitian
sebelumnya, makalah, artikel, jurnal dan dokumen lain yang berkaitan dengan objek
penelitian. Bahan hukum sekunder ini dijadikan sebagai petunjuk dalam melaksanakan
penelitian.122
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Adapun bahan hukum ini
antara lain kamus, ensiklopedia, majalah hukum dan sebagainya123
.
Untuk mendapatkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier dilakukan dengan
penelusuran baik secara konvensional maupun melalui teknologi elektronika (internet) yang
terkait dengan bahasan dari penelitian ini. Penelusuran secara konvensional dilakukan dengan
mengunjungi atau mendatangi perpustakaan diantaranya: perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Andalas dan beberapa perpustakaan di Perguruan Tinggi terkemuka seperti
perpustakaan Universitas Indonesia, Universitas Pandjajaran di Bandung, Universitas Gadjah
Mada di Yogya, serta Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta guna memperoleh data risalah
terbentuknya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penelusuran
dengan teknologi elektronik dilakukan dengan cara mengunduh situs internet yang terkait dengan
objek penelitian
122
Peter Mahmud Marzuki.2010, Op.Cit hlm. 39. 123
Nico Ngani, 2012, Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum,Yogyakarta:Pustaka Yustisia, hlm. 78
![Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahscholar.unand.ac.id/49430/2/BAB I PENDAHULUAN.pdf · Kekerasan6 dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia7](https://reader033.vdocuments.pub/reader033/viewer/2022060803/60870e08d15a061a5a421067/html5/thumbnails/46.jpg)
4. Analisis Data
Analisis diartikan sebagai proses penguraian dari konsistensi terhadap gejala-gejala
tertentu.124
Analis yang dimaksud di sini adalah analisis terhadap bahan-bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Mengingat penelitian ini termasuk kategori
penelitian hukum normatif, maka analis bahan hukum tersebut dilakukan dengan analisis
normatif kualitatif.125
. Oleh karena itu analisis data yang dilakukan adalah analisis terhadap isi
atau disebut analisis isi (content analysis).126
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data dilakukan dengan cara mesistematika
terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarati membuat klasifikasi terhadap bahan-
bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan yang
dilakukan dalam analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data yang diperoleh di
analisis secara deskriptif kualitatif yaitu analisa terhadap data yang tidak bisa dihitung. Bahan
hukum yang diperoleh selanjutnya dilakukan pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokan ke
dalam bagian-bagian tertentu untuk diolah menjadi data informasi.
124
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Op.Cit, .hlm. 63. 125
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Rineka Cipta, Jakarta,
2005, hlm. 56 126
Lexy Y. Maleong, 1999, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Remadja Karya, Jakarta, hal.9.