bab i pendahuluan a. latar belakang · indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari perairan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Laut merupakan bagian terluas di permukaan bumi sebab ¾ permukaan
bumi ialah laut yang menghubungkan suatu negara dan negara lain. Selain itu,
laut juga penting dalam hubungan antar bangsa dan negara untuk mengatur
kompetisi antar bangsa dan negara dalam mencari dan mendayagunakan
kekayaan laut. Saat ini, pemanfaatan dan pengembangan perikanan serta
pertambangan yang terkandung di kawasan dasar laut (Sea Bed) semakin hari
pertumbuhannya semakin pesat. Oleh karena itu, perlu adanya pengaturan yang
mengatur tentang pelaksanaan hukum laut maupun pemanfaatan kawasan dasar
laut. Hal tersebut, menyebabkan penting pula adanya Hukum Laut
Internasional untuk mengatur jalur pelayaran dan perdagangan Internasional.
Secara geografis Indonesia merupakan negara maritim. Negara maritim
merupakan suatu konsep dimana negara dalam hal ini Indonesia mampu
memanfaaatkan semua potensi laut baik itu perikanan, kelautan,
pertambangan, wisata bahari maupun pertahanan negara. Seperti yang kita tahu
bahwa Indonesia memiliki wilayah perairan terbesar di dunia dan dua pertiga
dari luas wilayahnya adalah perairan. Potensi wilayah pesisir dan lautan
Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari Perairan Kepulauan seluas 2,9
juta km2, Laut Teritorial seluas 0,3 juta km2, luas ZEE sekitar 3,0 juta km2,
2
panjang garis pantai lebih dari 81.00 km87 dan disamping itu Indonesia
memiliki pulau berjumlah 17.504 pulau1.
Hukum laut pada pokoknya hanya mengatur kegiatan-kegiatan di atas
permukaan laut, dasar laut, serta kekayaan mineral yang terkandung
didalamnya. Hukum laut menjadi penting untuk mengatur sumber daya alam
serta untuk mengatur hal-hal tertentu, seperti jalur tambahan, zona ekonomi
eksklusif dan landas kontinen. Dalam konteks hukum nasional, Wilayah
Perairan diatur melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia adalah segala perairan sekitar, di antara,
dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang
termasuk dataran Negara Republik Indonesia yang berada di bawah kedaulatan
Negara Republik Indonesia.
Wilayah Perairan Teritorial (Terotorial Waters) Indonesia meliputi
Laut Teritorial (Teritorial Sea), Perairan Kepulauan (Achipelagic Waters), dan
perairan pedalaman (Inlands Waters). Sedangkan Perairan Pedalaman (Inland
Waters) terdiri atas Laut Pedalaman (Intenal Sea) dan Perairan darat (Inlands
Waters)2. Laut yang merupakan “wilayah Indonesia” dan yang ada di bawah
kedaulatan Indonesia merupakan kewenangan Indonesia dimana Indonesia
mempunyai hak-hak berdaulat yang merupakan kepentingan Indonesia.
Keterkaitan Indonesia cukup erat walaupun Indonesia tidak mempunyai
kedaulatan kewilayahan ataupun kewenangan dan hak-hak berdaulat atas laut
1Dikdik Mohammad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, PT
Reflika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 49. 2Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2011, hlm. 24.
3
tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah laut lepas dan kawasan
dasar laut Internasional3.
Hukum Internasional telah memberikan kontribusi besar dalam
menciptakan keadilan bagi setiap negara dengan mengatur secara internasional
kegiatan pemanfaatan laut dan mencegah eksploitasi sumber daya alam dan
pengklaiman batas laut wilayah secara berlebihan. Lahirnya konsepsi hukum
laut internasional tidak dapat terlepaskan dari sejarah pertumbuhan laut
internasional yang mengenal pertarungan antar dua konsepsi, yaitu: (Res
Communis) yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat
dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing
negara. (Res Nulius), yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki,
dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.4
Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah
mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma yang menguasai tepi Lautan
Tengah secara mutlak. Dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak
tanda-tanda bahwa dalam pandangan orang Romawi laut itu dapat dimiliki, di
mana pada zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan
dekat dengan pantainya telah diakui. Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas
laut yang berdekatan dengan pantai tersebut didasarkan atas konsepsi res
nulius. Menurut konsepsi res nulius, laut bisa dimiliki apabila yang berhasrat
memilikinya bisa menguasai dan mendudukinya.5
3Djalal Hasyim, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, Binacipta, Jakarta, 1979, hlm. 29. 4Ibid., hlm. 11. 5 Dikdik Mohammad Sodik, ibid., hlm. 3.
4
Ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang mengatur tentang
kedaulatan negara atas wilayah laut merupakan suatu ketentuan penting
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982. Zona-zona
maritim yang termasuk ke dalam kedaulatan penuh ialah perairan dalam,
perairan kepulauan (bagi negara kepulauan), dan laut teritorial. Ditinjau dari
segi Hukum Internasional, ada dua cara untuk menjelaskan konsep kedaulatan
di laut: pertama, kedaulatan dilihat dalam kaitannya dengan zona maritim, di
mana suatu negara pantai atau negara kepulauan mempunyai kedaulatan atas
perairan dalam, perairan kepulauan dan laut teritorial. Kedua, kedaulatan
dikaitkan dengan yurisdiksi suatu negara pantai. Menurut ketentuan-ketentuan
dalam Bab II, III DAN IV Konvensi Hukum Laut 1982, negara pantai dan
negara kepulauan mempunyai kedaulatan atas perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial, perairan yang merupakan selat, ruang udara di
atasnya dan juga dasar laut dan tanah dibawahnya demikian juga sumber daya
alam yang terkandung di dalamnya. Kedaulatan negara pantai meliputi pula
ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya termasuk sumber
daya ikan.
Dalam melaksanakan kedaulatan, diperlukan yurisdiksi yaitu
kewenangan hukum negara untuk membuat peraturan perundang-undangan
yang mengatur hubungan hukum yang dilakukan oleh orang (warga negara
atau warga negara asing) dan harta benda yang berada di wilayahnya.
Yurisdiksi ini mencakup pula kewenangan negara untuk memaksakan agar
subjek hukum menaati peraturan hukum. Yurisdiksi ini dapat diartikan sebagai
5
kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang-orang yang melanggar peraturan
perundang-undangan yang dibuat.
Sejarah perkembangan hukum laut pertama kali termuat dalam
Konferensi hukum laut yang pertama ialah Konferensi Perserikatan Bangsa-
bangsa tentang Hukum Laut I pada tahun 1985 United Nations Conventions on
the Law of the Sea (UNCLOS I 1985). Konferensi hukum laut yang kedua
UNCLOS II pada tahun 1960, The Thrid United Nation Convention Law of
Sea 1982 (Selanjutnya disebut UNCLOS 1982) merupakan konvensi hukum
laut atau hukum perjanjian laut yang dihasilkan dari konferensi PBB tentang
Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari tahun 1973
sampai dengan tahun 1982. UNCLOS mengatur tentang rejim-rejim hukum
laut, termasuk hukum Negara Kepulauan (yang mempunyai arti dan peranan
penting untuk menetapkan kedudukan Indonesia dalam rangka implementasi
wawasan Nusantara). Menindak lanjuti hal tersebut pemerintah mengeluarkan
UU No 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982. Maka sejak
berlakunya undang-undang ini pada 31 Desember 1985, Indonesia terikat
dalam konvensi Hukum Laut PBB dan harus menjadi pedoman dalam
pembuatan Hukum Laut Nasional selanjutnya. Ketentuan yuridis batas Landas
Kontinen diatur secara khusus dalam BAB VI Pasal 78-85 UNCLOS. Menurut
pasal 76 ayat (1) dinyatakan bahwa Landas Kontinen suatu negara pantai
meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya di daerah di bawah permukaaan laut
yang terletak di luar Laut Teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah
daratannya hingga pinggiran laut tepi kontinen atau hingga jarak 200 mil laut
dari garis pangkal di mana laut teritorial diukur. Mengacu pada ketentuan
6
tersebut, tampak jelas bahwa hak eksklusif suatu negara terhadap sumber-
sumber daya alam dari Landas Kontinen sudah cukup jelas tegas diatur dan
diakui. Dengan demikian hak berdaulat Indonesia ada pada Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) dan pada landas kontinen, di wilayah inilah negara pantai
memiliki hak eksklusif untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya. Negara-negara lain tidak boleh melakukan hal yang
sama tanpa ijin dan persetujuan dari negara pantai yang bersangkutan.6
Dengan telah di sahkannya Konvensi Hukum Laut 1982, tidak berarti
bahwa konvensi tersebut telah dapat menampung segala kepentingan negara-
negara. Pada masa sekarang ini, masalah-masalah yang nyata mulai timbul.
Salah satu penggunaan laut yang dapat menimbulkan sengketa adalah
mengenai pengaturan dan pengamanan baik bagi hak lintas bagi kapal-kapal
asing pada perairan yang berada di bawah yurisdiksi suatu negara. Beberapa
perkembangan terakhir dalam hukum perikanan internasional Konvensi
Hukum laut 1982 menetapkan berbagai macam zona maritim dalam kaitannya
dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan. Konvensi hukum laut
1982 berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum perikanan yang
berlaku di berbagai macam zona maritim yang berada di bawah dan diluar batas
yurisdiksi nasional. Ketentuan ini diatur dalam Bab V konvensi 1982 yang
memuat pengaturan hukum perikanan yang berada di rezim zona ekonomi
eksklusif dua negara pantai atau lebih, dan laut lepas.7
6Suryo Sakti Hadiwijoyo, ASPEK HUKUM WILAYAH NEGARA INDONESIA, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2012, hlm. 23. 7 Dikdik Mohammad Sodik, ibid., hlm. 84.
7
Guna mengatasi berbagai problematika yang timbul akibat pelaku IUU
(Illegal, unregulated and unreported) terhadap pencurian ikan (Ilegal Fishing)
hingga saat ini tercatat 317 kapal asing yang ditenggelamkan8. Salah satu
aspek yang perlu menjadi perhatian adalah mengembangkan landasan dan
kerangka hukum perikanan internasional yang memadai untuk mendukung
langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggung
jawab. Dalam Seminar Sespimiti Polri, Jakarta Selatan Jumat (20/10/2017)
Menko bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjajitan berpendapat bahwa
menurutnya “sanksi penenggelaman kapal sudah cukup dan pada tahun ini
kementerian diminta untuk fokus meningkatkan produksi agar jumlah ekspor
bisa meningkat. Menurutnya kapal yang terbukti dipakai pada kasus illegal
fishing disita dan dapat dijadikan sebagai aset negara. Luhut meminta agar
tidak ada lagi penenggelaman kapal pada tahun 2018 ini. Hal ini disampaikan
Luhut saat menggelar rapat koordinasi dengan kementerian di bawah
jajarannya pada Senin (8/1/2018). Pendapat yang sama juga dikatan oleh Wakil
Presiden Indonesia Jusuf Kalla bahwa menurutnya “akibat dari penenggelaman
kapal asing yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir karena tidak sedikit
negara yang protes ke Indonesia”, Jusuf Kalla meminta kebijakan
penenggelaman kapal asing pencuri ikan dihentikan. Kapal-kapal asing yang
yang ditanggap cukup ditahan kemudian nantinya bisa dilelang sehingga uang
dari hasil lelang tersebut dapat masuk ke kas negara. Kapal-kapal tersebut
8IHSANUDDIN (10/01/2018)
http://nasional.kompas.com/read/2018/01/10/09132351/penenggelaman-kapal-ala-susi-dipuji-
jokowi-dikritik-jk-dan-luhut
8
dapat dimanfaatkan karena Indonesia kekurangan kapal untuk menangkap
ikan9.
Menanggapi hal tersebut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti saat mengadakan konferensi pers di rumah dinasnya, Jakarta
Selatan (4/12/2017) memberikan tanggapan bahwa Menteri Susi tetap
konsisten dengan kebijakannya menenggelamkan kapal asing pencuri ikan.
Yang dimaksud dengan kapal asing menurut Pasal 1 angka 39 UU Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran ialah “Kapal yang berbendera selain bendera
Indonesia dan tidak tercatat dalam daftar kapal Indonesia”.10 Ilegal fishing
dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang melanggar hukum.Kegiatan
penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing
di perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang
memiliki yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan
dengan hukum dan peraturan negara itu (Activities conducted by national or
foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, without permission
of that state, or in contravention of its laws and regulation). Sedangkan
pencurian ikan Menteri Susi menegaskan bahwa penenggelaman kapal pencuri
ikan sudah diatur di dalam UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Dalam
Pasal 69 Ayat (1) UU No 45/2009 menyatakan, kapal pengawas perikanan
berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum dibidang
9 Ibid, Kompas.com "Penenggelaman Kapal ala Susi Dipuji Jokowi, Dikritik JK dan Luhut”.
Jakarta 10/01/2018.
https://nasional.kompas.com/read/2018/01/10/09132351/penenggelaman-kapal-ala-susi-dipuji-
jokowi-dikritik-jk-dan-luhut.
10UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
9
perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Sementara itu,
Pasal 69 Ayat (4) UU No 45/2009 berbunyi, "Dalam melaksanakan fungsi
sebagaimana ayat (1) penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan
tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal
perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup."11
Pasal 76 ayat 2 Undang-undang Perikanan menyebutkan bahwa “Benda
dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak
pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah
mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri”. Penenggelaman setelah
adanya putusan pengadilan Nomor 11 Tahun 2014 kemudian diperkuat oleh
SEMA Nomor 1 Tahun 2015.
Dari total penenggelaman kapal selama ini, ujar Susi, hampir 90 persen
merupakan hasil keputusan pengadilan. Ketika pengadilan memutus sebuah
kasus illegal fishing dengan sanksi pemusnahan kapal, maka pihaknya akan
menjalankan putusan tersebut dengan menghancurkan serta menenggelamkan
kapal. kapal-kapal yang terbukti mencuri ikan di Indonesia dianggap sebagai
pelaku kejahatan karena kapal tersebut memiliki kewarganegaraan (kapal
negara lain/asing). Jadi, kapal tidak dilihat sebagai alat bukti kejahatan kapal
hanya sebagai perantara tindakan pencurian ikan semata. Dari peristiwa
tersebut menimbulkan pro dan kontra terkait kebijakan Menteri Susi
menenggelamkan kapal asing yang tertangkap mencuri ikan di perairan
Indonesia. Menurut Presiden Jokowi melalu kebijakan penenggelaman kapal
asing pencuri ikan, Susi telah mewujudkan kedaulatan di Indonesia. Meskipun
11Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan.
10
diakui ada kebebasan tentang perikanan namun ada pula pembatasan-
pembatasan tertentu, baik yang ditetapkan dalam perjanjian yang diadakan oleh
negara-negara, maupun pembatasan-pembatan oleh kepentingan-kepentingan
dan hak-hak negara pantai, serta perlindungan perikanan sebagaimana
ditetapkan dalam UNCLOS 1982.12
Mengacu pada UNCLOS 1982, negara pantai mempunyai hak-hal
berdaulat dan yurisdiksi secara eksklusif dan khusus terkait dengan
pemanfaatan sumber daya alam ikan yang berada pada jalur ZEE, termasuk
pada dasar laut dan tanah dibawahnya. Ketentuan Bab V Konvensi megenai
ZEE memuat hak dan kewajiban bagi negara di dunia dalam pemanfaatan ZEE
suatu negara tertentu. Ketentuan yang berkaitan dengan sumber daya ikan
tersebut diatur dalam pasal 61 Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa negara
pantai diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah konservasi dengan
menetapkan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan dari sumber daya ikan
yang terdapat didalam zona ekonomi eksklusifnya. Kepentingan yang
berkaitan dengan pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan di ZEE
ditemukan dalam pasal 62 ayat 4 Konversi Hukum Laut 1982. Ketentuan dalam
pasal ini memberikan kewenangan kepada negara pantai untuk membuat
peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan kapal-kapal perikanan
asing di ZEE. Pasal 62 ayat 4 huruf (a) menetapkan hak negara pantai dalam
pengaturan surat izin penangkapan ikan kepada kapal-kapal perikanan asing
dan jenis penagkapan ikan yang boleh digunakan. Dalam arti ini, kegiatan
penangkapan ikan di ZEE hanya dapat dilakukan bila telah memperoleh surat
12 Frans E. Likadja dan Daniel F.Bessie, HUKUM LAUT DAN UNDANG-UNDANG PERIKANAN,
Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1998, hlm.31.
11
izin penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh negara pantai sesuai dengan
persyaratan yang berlaku.13 Meskipun ketentuan-ketentuan konvensi ini tidak
memberikan hak-hak perikanan eksklusif kepada negara pantai atas perikanan
di laut lepas di muka pantainya, namun rangkaian pasal-pasal ini merupakan
langkah penting ke arah perlindungan kepentingan yang sah bagi negara atas
perikanan yang berdekatan dengan pantainya, tanpa mengabaikan kepentingan
perikanan negara-negara lain.14
Yurisdiksi negara dalam prespektif hukum internasional, menurut
Anthony Csabafi dapat didefinisikan sebagai “State judisdiction in public
international law means the right of state to regulate of effect by legislatif,
excekutive, or judicial meansure the rights of persons, property, acts or events
with respect to matterd not exclusively of domestic concern” artinya bahwa hak
dari suatu negara untuk mengatur atau memperngaruhi dengan langkah-
langkah atau tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, atau yudikatif atas
hak-hak individu, hak milik, atau harta kekayaan, perilaku-perilaku atau
peristiwa-peristiwa yang semata-mata merupakan masalah dalam negeri.
Hukum internasional sebagai landasan implementasi memuat hak, kekuasaan
dan kewenangan suatu negara tidak semata-mata hanya berkaitan dengan
masalah dalam negeri, akan tetapi juga terkait dengan permasalahan yang
melibatkan dengan negara lain atau aspek hukum internasional. Sehubungan
dengan itu hal tersebut maka melalui hukum internasionallah negara dapat
menjalankan hak, kekuasaan tersebut dengan tetap memperhatikan yurisdiksi
13Ibid, hlm. 87. 14 Mochtar Kusumaatmadja, HUKUM LAUT INTERNASIONAL, Binacipta, Bandung, 1986. Hlm.
158.
12
negara lain. Aspek internasional inilah yang menjadi dasar bagi berlakunya
hukum internasional bagi suatu negara dalam menjalin hubungan dengan
negara lain.
Dari permasalahan tersebut penulis akan membahas secara khusus
bagaimana Tinjauan Yuridis Terhadap Penenggelaman Kapal Asing Pelaku
Ilegal, Unregulated and unreported (IUU Fishing). Definisi Yuridis secara
konseptual ialah Hukum atau dari segi hukum.15 Di Indonesia yuridis dapat
diartikan sebagai aspek hukum yang berasal dari pancasila. Yuridis juga secara
universal diartikan sebagai peraturan yang terdapat pada masing-masing
negara yang telah disahkan oleh pemerintah, jika peraturan ini dilanggar maka
yang melanggarnya akan dikenakan sanksi. Yuridis bersifat memaksa dimana
sesorang harus mematuhinya. Dari definisi tersebut penulis merumuskan
bahwa tinjauan yuridis ialah mempelajari dengan cermat, memeriksa untuk
memahami suatu pandangan dari segi hukum. Dalam hal ini penulis akan
mengkaji penelitian yang ditinjau dari peraturan perundang-undangan
Nasional maupun Internasional.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut, Apakah kebijakan penenggelaman kapal asing pelaku IUU
Fishing ((Ilegal, Unregulated and unreported) bertentangan dengan
UNCLOS?
15 M Marwan, dan Jimmy P, KAMUS HUKUM, Reality Publisher, Surabaya, 2009, hlm. 681.
13
C. TUJUAN PENELITIAN
Dilihat dari rumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan
penelitian hukum ialah Tinjauan Yuridis terhadap penenggelaman kapal asing
Pelaku Ilegal, Unregulated and unreported Fishing (IUU Fishing). yaitu,
Menguraikan bagaimana pengaturan hukum di Indonesia mengenai
penenggelaman kapal asing pelaku ilegal fishing bahwa hal tersebut sudah
tepat dilaksanakan oleh Indonesia sebagai negara pantai. Sebagai konvensi
internasional UNCLOS 1982 (The Thrid United Nation Convention Law of
Sea) memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan kepastian hukum
atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di wilayah perairan negara yang
meratifikasi UNCLOS ke dalam hukum nasionalnya. Untuk menjawab
rumusan masalah penulis berpendapat bahwa UNCLOS belum memberikan
kepastian hukum terhadap penenggelaman kapal asing pelaku IUU fishing,
UNCLOS secara detail tidak membahas tentang boleh atau tidaknya
menenggelamkan kapal pelaku IUU Fishing. Pada pasal 73 ayat (1) hanya
memberikan penegakan Peraturan Perundang-undangan bahwa Negara pantai
dapat melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif
mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa,
menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk
menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan,
sehingga pengaturan mengenai penenggelaman kapal asing pelaku IUU
Fishing lebih cenderung pengaturannya pada Hukum Nasional yaitu Undang-
undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
14
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat praktis dan
manfaat teoritis.
a. Manfaat praktis :
Adanya penulisan dan penelitian hukum, penulis berharap bahwa tulisan
ini dapat bermanfaat bagi Pengembangan Hukum Internasional, terlebih
khususnya dibidang Kelautan. Penelitian hukum ini diharapkan dapat
memperluas wawasan hukum mengenai Hukum Internasional dan Hukum
Kelautan baik didalam ranah hukum nasional maupun hukum Internasional
serta bagaimana ketentuan peraturan hukum yang pasti dan dapat diterapkan
apabila terjadi IUU fishing.
b. Manfaat teoritis :
Selain itu tulisan ini diharapkan bermanfaat untuk menjadi suatu rujukan
ketika dihadapkan dalam persoalan tentang pelanggaran-pelanggaran
terhadap pencurian ikan di wilayah kedaulatan negara oleh kapal-kapal
asing.
E. METODELOGI PENELITIAN
Untuk menjawab tujuan penelitian akan dilakukan Metode Penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penulisan dan penelitian hukum, jenis penelitian
hukum yang dilakukan oleh penulis ialah penelitian hukum Normatif.
Penemuan hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran
koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah
15
norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum,
serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan
hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum.16
2. Pendekatan
Dalam melakukan penelitian ini, karena dimaksudkan untuk melihat
kesesuaian atau ketidaksesuaian suatu tindakan (penenggelaman kapal)
dengan suatu instrument hukum (UNCLOS). Penulis berfokus kepada
pendekatan Perundang-undangan atau dalam hukum internasional lazim
digunakan istilah pendekatan perjanjian internasional (Treaty Approach).
Pendekatan ini mencakup segala macam bentuk perjanjian internasional
yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
berkaitan dengan IUU Fishing. Pendekatan perundang-undangan ini
mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang
dengan undang-undang lainnya.17
3. Pengumpulan Data
Kajian dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum
primer dan sekunder seperti buku-buku, jurnal-jurnal internasional
khususnya dibidang Hukum Laut Internasional, doktrin-doktrin dalam
artikel baik melalui hardcopy maupun softcopy, internet, kamus, serta
segala sesuatu yang masih berkaitan dengan topik ini. Selain itu penulis juga
melakukan penelitian dengan metode Interpretasi Perjanjian Internasional
yaitu proses untuk menemukan hukum melalui berbagai cara penafsiran
16 Peter Mahmud Marzuki, PENELITIAN HUKUM, Cetakan ke-12, PRENAMEDIA GROUP,
Jakarta, 2016, hlm. 47. 17 https://belapendidikan.com/macam-macam-pendekatan-dalam-penelitian-hukum/
16
dalam lapangan hukum Internasional, khususnya berbagai cara penafsiran
dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang diatur
dalam konvensi, pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan
pengadilan (nasional ataupun internasional).18
4. Bahan-bahan hukum penelitian
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu bahan hukum primer dan sekunder. Pertama, Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-
undangan dalam hal ini penulis fokus menggunakan Undang-undang
Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dan UNCLOS (United Nation
Convention on the Law of the Sea). Kedua, bahan hukum sekunder yaitu
bahan hukum yang berupa pendapat hukum/ doktrin/ teori-teori yang
diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun
website yang terkait dengan penelitian.19
18Dr. H.M. Fauzan, S.H., M.M., M.H. KAIDAH PENEMUAN HUKUM YURISPRUDENSI
BIDANG HUKUM PERDATA, PRENADAMEDIA GROUP, Jakarta, 2014, hlm. 68. 19 https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2014/08/09/data-sekunder-dalam-penelitian-hukum-normatif/ diakses pada tanggal 20, Februari 2019.