bab i pendahuluan a. latar belakang masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/bab i.pdf · 2016. 5. 6. · 1...

9
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 masih menyiksakan pilu bagi banyak pihak, terutama bagi orang yang terkena dampak langsung dari peristiwa alam tersebut. Kesedihan banyaknya kehilangan nyawa, harta benda, dan rumah menyebabkan trauma bagi korban bencana alam. Mengenang kembali bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 bukanlah waktu yang singkat untuk dapat dihapus dari ingatan kita semua, terutama bagi yang terkena dampak langsung bencana erupsi Gunung Merapi walaupun sudah lima tahun yang lalu. Pemaknaan kata mengenang tidak selalu bermakna menyedihkan atau menguak luka lama, tetapi bisa bermakna positif jika memiliki muatan niat perubahan didalamnya. Bencana alam boleh datang dan mengubur sebagian harapan, namun manusia sebagai bagian dari alam itu sendiri sesungguhnya memiliki kekuatan untuk bisa bangkit dan berusaha menata kembali kehidupannya. Berawal dari meningkatnya aktivitas Gunung Merapi, yaitu peningkatan status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20 September 2010 yang direkomendasikan oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah tanggal 21 Oktober 2010 status berubah menjadi "siaga" sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena aktivitas yang semakin meningkat dengan ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan gempa

Upload: others

Post on 12-Nov-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 masih menyiksakan pilu

bagi banyak pihak, terutama bagi orang yang terkena dampak langsung dari

peristiwa alam tersebut. Kesedihan banyaknya kehilangan nyawa, harta benda,

dan rumah menyebabkan trauma bagi korban bencana alam. Mengenang kembali

bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 bukanlah waktu yang singkat

untuk dapat dihapus dari ingatan kita semua, terutama bagi yang terkena dampak

langsung bencana erupsi Gunung Merapi walaupun sudah lima tahun yang lalu.

Pemaknaan kata mengenang tidak selalu bermakna menyedihkan atau menguak

luka lama, tetapi bisa bermakna positif jika memiliki muatan niat perubahan

didalamnya. Bencana alam boleh datang dan mengubur sebagian harapan, namun

manusia sebagai bagian dari alam itu sendiri sesungguhnya memiliki kekuatan

untuk bisa bangkit dan berusaha menata kembali kehidupannya.

Berawal dari meningkatnya aktivitas Gunung Merapi, yaitu peningkatan

status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20 September 2010

yang direkomendasikan oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi

Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah tanggal 21 Oktober 2010 status

berubah menjadi "siaga" sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini kegiatan

pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena aktivitas yang semakin meningkat

dengan ditunjukkan dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan gempa

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

2

vulkanik. BPPTK Yogyakarta merekomendasi bahwa peningkatan status gunung

Merapi menjadi "awas" dan semua penghuni khususnya warga desa Balerante,

Kemalang, Klaten yang wilayahnya dalam radius 10 km dari puncak Gunung

Merapi harus segera dievakuasi atau diungsikan ke wilayah aman (bnpb.go.id

diakses 26 Maret 2015).

Akibat tragedi erupsi Merapi ini, sebanyak 14 desa habis terlahap letusan

Gunung Merapi terdapat 2.271 rumah rusak, merenggut kurang lebih 206 jiwa,

dan 1.548 ekor ternak mati. Kerugian material diperkirakan mencapai 5 triliyun

rupiah. Dari sektor perikanan, pariwisata, pertanian, UMKM, perhotelan, dan

ekonomi tidak berjalan semestinya. Dari sektor perikanan sendiri kerugian yang

diderita mencapai 11 miliar rupiah, sektor pertanian mengalami kerugian sekitar

247 miliar rupiah, terutama pada salak pondoh yang rugi 200 miliar rupiah.

Sedangkan pada sektor UMKM, 900 UMKM dari 2500 UMKM, untuk sementara

berhenti total. Kebanyakan usahanya adalah peternakan, holtikultura, dan

kerajinan (bnpb.go.id diakses 26 Maret 2015).

Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) penanganan bencana di Jawa

Tengah dan DIY mencatat total korban erupsi Merapi yang terkena gangguan jiwa

ringan mencapai 78 orang terdiri atas 43 korban di Yogyakarta, dan 35 korban di

Jawa Tengah. Departemen Sosial menambahkan total korban yang mengalami

gangguan jiwa berat mencapai 31 orang diantaranya 19 di Yogyakarta dan di Jawa

Tengah 12 orang. Untuk gangguan jiwa ringan sendiri hanya terjadi selama

kurang lebih 4 bulan. Berat ringannya gangguan jiwa korban erupsi Merapi

ditentukan dari berapa besarnya jumlah kerugian yang dialaminya (Jarot, 2010).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

3

Rincian diatas adalah dampak kerugian materiil yang kemungkinan sudah

mencapai trilyunan rupiah. Angka ini ditambah lagi dengan kerugian psikologis

yang ditanggung para warga terutama yang terkena dampak langsung erupsi

Merapi, mulai dari yang harus kehilangan hak-hak hidupnya, seperti hak untuk

bekerja, bermain, belajar, mengalami syndrome stress berupa setiap saat gelisah,

mood sedih yang ditunjukkan dengan perilaku menangis hingga gangguan jiwa

yaitu depresi, trauma, dan usaha bunuh diri. Individu yang selamat (tidak

meninggal) justru ditantang untuk bisa survive dalam situasi bencana.

Individu-individu tersebut adalah survivor atau penyintas, bukan hanya

korban. Penyintas bisa orang baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja,

pemuda, orang dewasa, tengah baya, masa matang, ataupun usia lanjut.

Kemampuan yang dimiliki individu remaja berimbang dengan bermacam tugas

dan tanggung jawab yang dibebankan kepada masing-masing individu.

Hasil wawancara yang didapat dari lingkungan adalah: mayoritas penduduk

di lereng Merapi tepatnya di desa Balerante bermata pencaharian sebagai peternak

sapi dan penambang pasir. Pendapatan penduduk sehari-hari dari hasil

menambang pasir yang tanpa harus mempunyai pendidikan yang tinggi. Akan

tetapi dengan adanya bencana erupsi Gunung Merapi membuat mata pencaharian

utama warga desa Balerante sebagai penambang pasir menjadi hilang. Menurut

hasil wawancara dengan subjek (Sisri usia 20 tahun jenis kelamin perempuan)

salah satu warga Balerante yang putus sekolah karena harus membantu

perekonomian keluarganya dengan cara menambang pasir dan mengurus

ternaknya. Subjek tersebut untuk menghilangkan rasa cemas, khawatir dengan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

4

cara meninggalkan bangku sekolah dengan cara menjadi penambang pasir.

Pendidikan yang rendah dan dengan pekerjaan yang bergantung pada alam,

umumnya warga desa Balerante kehilangan mata pencahariannya setiap cuaca

buruk dan aktivitas Gunung Merapi. Para penyintas khususnya remaja tidak

memiliki keahlian selain sebagai penambang pasir, dan berternak sapi.

Menghadapi situasi pasca bencana, para penyintas kususnya para remaja dapat

menyesuaikan diri dengan keadaan dan lingkungan setelah terjadinya erupsi

Merapi.

Para penyintas tersebut mampu mempersiapkan suatu ide untuk bertahan

hidup sebagai akibat dari aktivitas alam. Sehingga para penyintas tetap

mempunyai keyakinan dalam dirinya untuk bertahan hidup walaupun terjadi

aktivitas erupsi Gunung Merapi. Keberhasilan untuk menyesuaikan diri terhadap

keadaan dan lingkungan seperti yang dialami oleh para penduduk Balerante yang

rawan dengan aktivitas Gunung Merapi ditentukan oleh resiliensi yang baik pada

masing-masing individu terhadap apapun yang terjadi terhadap dirinya dan

keluarganya.

Menurut Vijayakumar, Thara, John, dan Chelleppa (2006), anak-anak dan

remaja lebih rentan dibandingkan orang dewasa dan menerima dampak yang

paling berat dari kejadian traumatis, karena mereka akan merasakan helplessness

and pasivity, lack of usual responsiveness, generalized fear, heightened arousal

and confusion” (hal. 226). Dampak berat tersebut salah satunya timbul dari

pengalaman tinggal di pengungsian tanpa adanya akses ke sekolah dan tempat

untuk bermain. Selain itu, banyaknya kasus kekerasan terhadap anak-anak dan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

5

juga wanita merupakan masalah yang cukup berat di dalam konteks pengungsian

(Pelupessy, Bretherton, Ride, 2011). Resiliensi merupakan hal yang penting

dalam perkembangan well-being pada anak-anak dan remaja, karena anak atau

remaja yang memiliki kemampuan resiliensi cenderung akan bisa melewati

keadaan hidup yang menyulitkan atau tantangan hidup dalam masa

perkembangan. Individu yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam coping

dan menyesuaikan diri dalam keadaan yang sulit cenderung akan terhindar dari

masalah yang menyulitkan di masa yang akan datang. Oleh karena hal tersebut,

penting untuk melihat gambaran resiliensi pada remaja, karena kerentanannya

akan trauma dan kegunaannya pada masa perkembangan selanjutnya.

Menurut Wardy (2012), keseimbangan psikis penduduk di daerah bencana

mengalami gangguan klinis berat seperti depresi atau stres pasca trauma karena

bencana adalah suatu peristiwa yang menakutkan dan mengancam jiwa manusia,

selain menghadirkan kenyataan baru bagi para penyintas, seperti kematian orang-

orang terdekat, hilangnya segala harta benda, dan mata pencaharian yang

menciptakan kesulitan dalam memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Latief juga mengatakan, “efek bencana Merapi memang bisa menimbulkan

tekanan psikologis bagi warga yang terkena dampak bencana. Selain warga harus

kehilangan anggota keluarga akibat awan panas, warga juga kehilangan harta

benda dan mata pencaharian. Tekanan psikologis seperti ini bisa membuat stres,"

ujar Latief saat berbincang-bincang dengan detikcom.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yuniardi (2009) pada korban lumpur

Lapindo menyebutkan bahwa bencana alam yang telah melanda, membuat

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

6

penyintas sering merasa sedih, marah namun tidak tahu harus marah seperti apa

dan kepada siapa, dan sering muncul perasaan putus asa dengan ketidakpastian

hidup. Pada subyek remaja, penyintas tanpa sadar meneteskan air mata bila

teringat rumah lamanya dan cemas serta gelisah bila memikirkan masa depan.

Penyintas juga menjadi sering mimpi buruk dan juga sulit tidur. Gejala-gejala

yang merupakan tanda-tanda awal dari Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

yang bila tidak tertangani bisa berujung depresi, sebagaimana sudah terjadi pada

banyak korban yang lain. Siapapun yang mengalami musibah sebagaimana tragedi

erupsi Merapi tentu akan merasakan hal yang sama. Untuk itu agar rasa stres yang

dirasakan tidak terus berlanjut hingga menjadi suatu gangguan jiwa, serta yang

lebih penting lagi adalah mencari solusi terbaik atas keadaan yang ada untuk dapat

bangkit kembali.

Para korban erupsi Merapi dengan seiring berjalannya waktu mampu

menemukan potensi resiliensi, yaitu sebuah upaya untuk menggali dan

menemukan potensi positif yang masih dimiliki atau bahkan yang menjadi ada

setelah kejadian yang dapat dijadikan sumber energi untuk menemukan solusi

terbaik dan bangkit kembali. Para korban bencana erupsi Merapi dengan seiring

berjalannya waktu, terlihat mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada

dan bahkan menemukan hikmah-hikmah yang memberi para korban energi untuk

merubah keadaan kembali seperti semula. Penyesuaian yang mampu membuat

individu mampu kembali hidup normal atau menjadi lebih baik, dimana usaha ini

disebut sebagai resiliensi. Miller (2003) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan

kegiatan yang terdiri dari motif untuk bangkit dari keterpurukan dan menjadi kuat

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

7

dalam menghadapi peristiwa traumatis agar mampu melanjutkan kehidupan

fungsional yang sejahtera.

Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi

dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang,

terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian-kejadian

traumatis. Resiliensi sesungguhnya dimiliki setiap orang serta bersifat umum,

dalam menghadapi situasi yang sama, dampak dan reaksi seseorang berbeda-beda.

Hal ini terkait dengan potensi, penghayatan subjektif yang dirasakan setiap

individu oleh karena itu pula bentuk resiliensi pada remaja khas pada setiap tahap

perkembangannya.

Resiliensi dipahami sebagai kemampuan untuk bangkit kembali setelah

mengalami kesulitan, untuk melanjutkan kehidupan dengan harapan akan menjadi

lebih baik (Rutter, 2006). Dalam perkembangannya, resiliensi dipandang bukan

hanya dipengaruhi oleh faktor individu dan genetis, namun juga banyak

dipengaruhi oleh budaya, dan lingkungan sekitar individu tersebut. Meskipun

suatu tingkah laku dinyatakan banyak dipengaruhi oleh faktor genetis, namun

pada manifestasinya, banyak dipengaruhi oleh faktor budaya, baik yang

meningkatkan, maupun yang justru menurunkan tingkat resiliensi

( Wong & Wong, 2006). Dalam model interaksi resiliensi yang diajukan oleh

Kumpfer (1999), budaya, bersama dengan keluarga, komunitas, dan juga rekan

sebaya, termasuk salah satu faktor di luar individu yang berinteraksi dengan faktor

internal individu resiliensi.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

8

Penelitian mengenai resiliensi pada masyarakat Indonesia sudah dilakukan

sejak beberapa tahun yang lalu. Contohnya adalah penelitian Lestari (2007) yang

meneliti mengenai pengaruh dukungan sosial terhadap tingkat resiliensi penyintas

gempa bumi. Kemudian ada penelitian oleh Hestyanti, Irwanto, Janssens, dan

Hendriks (dalam The International Confere nce on Psychology of Resilience,

2011) yang meneliti mengenai peranan dari coping style, hubungan antara

orangtua dan anak, serta partisipasi dalam aktivitas keagamaan terhadap resiliensi

anak korban bencana. Meskipun begitu, peneliti belum menemukan penelitian

yang fokus menyorot faktor nilai, norma, dan/atau praktek budaya sebagai

komponen yang berkaitan dengan kemampuan resiliensi.

Berdasarkan uraian diatas korban pasca erupsi Merapi mengalami goncangan

psikologis khususnya remaja dan pentingnya upaya menumbuhkan resiliensi

kepada para korban terutama usia remaja agar mampu bertahan dan bangkit

kembali, maka penelitian ini berfokus pada pemahaman resiliensi pada usia

remaja yang mengalami erupsi Merapi.

Alasan peneliti memelih remaja dikarenakan peneliti ingin mengetahui tinggi

rendahnya resiliensi pada remaja dan dikarenakan masa remaja adalah masa

dimana masa repruduksi yang bagus dan masa remaja rentan dibandingkan

dengan oarang dewasa saat tergoncang atau terkena masalah.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam dan

mendeskripsikan upaya resiliensi pada remaja korban bencana pasca erupsi

Merapi.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalaheprints.ums.ac.id/43530/5/BAB I.pdf · 2016. 5. 6. · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun

9

C. Manfaat Penelitian

Peneliti berharap dengan adanya penelitian tentang resiliensi pada remaja

korban pasca erupsi Merapi dapat membawa manfaat sebagai berikut:

1. Bagi subjek yang menjadi korban erupsi Merapi, dapat memberikan informasi

dan sumbangan pemikiran mengenai resiliensi pada remaja korban pasca

erupsi Merapi.

2. Bagi pemerintah dan pekerja sosial, dapat menjadi rujukan dalam model

intervensi psikologis untuk membantu para remaja yang menjadi korban

pasca erupsi Merapi.

3. Bagi pembaca yang memiliki akses terhadap penelitian ini, agar mendapat

pengetahuan dan menambah wawasan mengenai resiliensi pada remaja

korban pasca erupsi Merapi.