bab i pendahuluan a. latar belakang masalaheprints.umm.ac.id/52828/2/bab i.pdf · pidana mati dalam...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Positif Indonesia mengenal berbagai macam sanksi pidana dan
salah satunya yakni pidana penjara. Sanksi pidana merupakan penjatuhan
hukuman yang diberikan kepada seseorang yang dinyatakan bersalah dalam
melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis pidana ini sangat bervariasi,
sepertipidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara sementara waktu,
pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan pidana
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan pengumuman
putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan.
Tujuan dari sanksi pidana menurut Van Bemmelen adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk
menakutkan, memperbaiki dan untuk kejahatan tertentu membinasakan.Pidana
penjara dalam pasal 10 KUHP juga dikenal dalam rancangan KUHP terbaru yang
dengan sebutan lain yaitu pidana pemasyarakatan.1
Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang terpidana yang telah divonis
dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap
(inkraht).Fungsi pemidanaan pada saat ini tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi
pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan, rehabilitasi dan
reintegrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan. Penjeraan dalam sistem
pemidanaan memiliki unsur-unsur balas dendam di Lembaga Pemasyarakatan.
Para warga binaan pemasyarakatan sering mengalami siksaan, untuk memperbaiki
tingkah laku dan perbuatannya. Tindakan semena-mena atau kekerasan memang
rentan sekali terjadi terhadap tersangka, terdakwa maupun narapidana. Manusia
yang menjalani pidana penjara untuk tujuan penghukuman di Negara manapun
1 J.E. Sahetapy. 2007. Pidana Mati dalam Negara Pancasila. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 90.
2
dalam sejarah pernah mengalami masa-masa suram. Negara-negara Eropa barat
juga kerap kali melakukan kekerasan terhadap narapidana nya, bahkan hingga
abad ke -19, di Belanda masih berlaku tindakan memberi cap pada tubuh
narapidana dengan besi panas yang membara. Kedua fungsi pemidanaan tersebut
mengarahkan supaya narapidana tidak melakukan perbuatan pidana dan
menyadarkan serta mengembalikan warga binaan pemasyarakatan tersebut ke
dalam lingkungan masyarakat, menjadikan ia bertanggung jawab terhadap dirinya,
keluarga dan masyarakat sekitar atau lingkungannya.2 Pemidanaan pada saat ini
lebih ditujukan sebagai pemulihan konflik atau menyatukan terpidana dengan
masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa Sistem Pemasyarakatan yang berlaku
dewasa ini, secara konseptual dan historis sangat berbeda dengan apa yang
berlaku dalam Sistem Kepenjaraan. Asas yang dianut Sistem Pemasyarakatan
menempatkan narapidana sebagai subyek yang dipandang sebagai pribadi
danwarga negara biasa serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan
tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Perbedaan dua sistem tersebut memberi
implikasi perbedaan dalam cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan,
disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai. Gerakan-gerakan pembaharuan
Sistem Penjara terus berkembang, sebagai akibat dari gerakan kemanusiaan yang
menganggap narapidana sebagai manusiayang utuh dan harus disosialisasikan
serta ditunjang pula oleh penemuan-penemuan ilmiah baik ilmu sosial maupun
ilmu alam yang bersifat empiris.3
Warga binaan selaku terpidana yang menjalani pidana penjara memiliki
hak-hak yang dilindungi oleh hak asasi manusia dan undang-undang Indonesia,
salah satunya adalah dengan adanya pemberian remisi. Remisi pada hakekatnya
adalah hak semua narapidana dan berlaku bagi siapapun sepanjang narapidana
tersebut menjalani pidana sementara bukan pidana seumur hidup dan pidana mati.
Hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai remisi terdapat dalam Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah 2 Samosir Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia.BNDUNG: Bina Cipta, hlm. 4. 3 Muladi. 1992. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, hal. 97.
3
Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga
Binaan Pemasyarakatan, dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang
Remisi, serta secara khusus terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 yang merupakan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Eksistensi Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 terkaitdengan pemberian remisi dewasa ini
mengalami berbagai macam penolakan,hal ini karena adanya pengetatan
pemberian remisi terhadap pelaku tindak pidana terorisme, narkotika dan
psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, dan kejahatan trans nasional terorganisasi lainnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 menimbulkan berbagai
macam persoalan diantaranya adalah pandangan Yusril Ihza Mahendra bahwa
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengingkari asas kesamaan hak
dihadapan hukum (equality before the law) yang membedakan pemberian remisi
bagi terpidana kejahatan biasa dengan terpidana pelaku kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) terorisme, narkotika, psikotropika dan korupsi di Indonesia.
Persoalan lainnya mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012 lainnya muncul dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Mahfud
MD.yang menegaskan, pembatasan remisi, pembebasan bersyarat, dan hak
narapidana lain harus dilakukandengan payung hukum undang-undang bukan
dengan Peraturan Pemerintah (PP)4 seperti yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Uraian di atas menurut penulis menunjukkan bahwa pengetatan remisi
bagi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) terorisme, narkotika, psikotropika
dan korupsi di Indonesia bertentangan dengan landasaan idiil negara Indonesia
yaitu Pancasila, setidaknya pada prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab (sila
2) dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia(sila 5). Hak non diskriminasi
ini ini kembali dinyatakan dalam Pasal 27 ayat(1), Pasal 28 d ayat (1) dan Pasal
4 www.kompas.com/Indra Akuntono. Deytri Robekka Aritonang. batasi remisi dengan undang-undang. Diakses pada tanggal 17 mei 2014
4
28 h ayat (2) Undang Undang Dasar 1945dan bertentangan dengan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1995 tentangPemasyarakatan khususnya Pasal 5 yang
mengatur tentang hak-hak yang sama para napi didalam pembinaannya baik
perlakuan maupun pelayanan. Hak tersebut juga melanggar Pasal 7 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta Pasal 20 International Covenant of
Cultur and Politic Right (ICCPR) yang pada intinya menyatakan persamaan hak
dimuka hukum.
Salah satu bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) adalah korupsi
yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu
mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke
tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara
maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah
meluas dalam seluruh aspek masyarakat. Tindak pidana korupsi tidak hanya
dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan juga
penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha,
sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta membahayakan eksistensi negara5. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan
yang bukan saja dapat merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat
menimbulkan kerugiankerugian pada perekonomian rakyat. Tindak pidana korupsi
merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian
besar masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh
masyarakat bangsa-bangsa di dunia6
Pemberian remisi pada pelaku tindak pidana korupsi akan menimbulkan
konsekuensi serius atas pelaksanaan remisi karena akan terjadi dualisme pelaksanaan,
yaitu bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah
tanggal 12 November 2012 maka berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012 dan Surat Edaran Nomor M.HH-04.PK.01.05.04 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Intinya mereka akan
terkena pengetatan remisi. Bagi narapidana yang putusan pidananya telah
5 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2002. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hal. 133 6 Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional.
Bandung: Mandar Maju. Hal. 1
5
berkekuatan hukum tetap sebelum tanggal 12 November 2012 maka tidak berlaku
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dan surat edaran Nomor M.HH-8
04.PK.01.05.04 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012, intinya mereka tidak akan terkena pengetatan remisi.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Malang meraih peredikat satuan
kerja (satker) Wilayah Bebas Korupsi (WBK) yaitu mampu pemenuhan hak
Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa semakin profesional, akuntabel,
sinergis, transparan, dan inovatif. Bahkan, bisa menghilangkan pungutan liar.
Terkait dengan pemberian remisi dapat diketahui bahwa Lapas Wanita Kelas IIA
dan Lapas Kelas I Lowokwaru Malang memberikan remisi kepada 47 orang yang
mendapat remisi akhirnya bebas, sementara 1.055 sisanya masih harus menjalani
sisa hukuman. Narapidana di Lapas Lowokwaru dan LP Wanita Sukun, yang
mendapatkan remisi totalnya ada sebanyak 1.102 orang. Pemberian remisi
tersebut termasuk didalamnya terkait dengan pemberian remisi mengenai masalah
korupsi.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam pembatasan penulisan proposal penelitian penulisan hukum ini
penulis memilih Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota Malang sebagai lokasi
penelitian. Mengingat banyaknya narapidana/warga binaan yang dibina oleh
lembaga tersebut, maka penulis melakukan pembatasan yakni agar pembahasan
terarah dan lebih spesifik, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi hanya
pada pelaksanaan pembinaan yang diberikan kepada narapidana dalam tahap
remisi. Menarik untuk penulis teliti dalam proposal ini sehingga nantinya tidak
meluas atau keluar dari pokok bahasan, maka dalam proposal ini penulis
membatasi hanya pada pelaksanaan remisi yang difokuskan pada argumentasi dan
landasan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perumusan masalah dalam suatu penelitian diperlukan untuk memfokuskan
masalah agar dapat dipecahkan secara sistematis. Cara ini dapat memberi
gambaran yang jelas dan memudahkan pemahaman serta mencapai tujuan yang
6
dikehendaki.7 Berdasarkan latar belakang, maka penulis merumuskan masalah
yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana korupsi di
LAPAS Kelas IIA Kota Malang?
2. Kendala-kendala apakah yang terdapat di dalam pemberian remisi bagi
narapidana korupsi di LAPAS Kelas IIA Kota Malang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin di capai penyusun melalui penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana korupsi
di LAPAS Kelas II A Malang.
2. Untuk mengetahui faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemberian
remisi bagi narapidana korupsi di LAPAS Kelas IIA Kota Malang.
D. Manfaat Penelitian
1. Agar dapat memberikan referensi baru bagi mahasiswa hukum lainnya yang
ingin membahas mengenai pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana
tindak pindana korupsi.
2. Memberikan pengetahuan kepada para mahasiswa, aparat penegak hukum
dan narapidana itu sendiri agar lebih memahami remisi sebagai suatu hak
bagi narapidana.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data-data valid yang berhubungan dengan penulisan
ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, metode pendekatan yang digunakan penuis
adalah yuridis empiris, yaitu suatu usaha yang diteliti dengan sifat hukum
nyata atau sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat.8 Pendekatan yuridis
artinya mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan
7 Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan HRD.Jakarta: Pustaka Ilmu, Hal.25 8 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Proposal Penulisan Hukum Ilmu Hukum,
Bandung : Mandar Maju, Hal.61
7
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Penelitian yuridis empiris
ini, permasalahan dikaji dengan melakukan pendekatan langsung di Lapas
Klas IIA Kota Malang, yaitu dalam hal pelaksanaan pembinaan remisi
bagi narapidana tindak pidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Kota Malang lalu dikaitkan dengan ketentuan Perundang-undangan
yang berlaku.
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis,9 yaitu dengan
mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
teori-teori hukum sebagai objek penelitian dan juga penerapannya.
3. Penentuan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Permasyarakatan
Perempuan Klas IIA Kota Malang merupakan lembaga yang berada di
bawah Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Jawa Timur.
4. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini peneliti mencari dan mendapatkan data, baik
data primer maupun data sekunder diantaranya ialah sebagai berikut :
a. Data Primer
Data primer tersebut berupa hasil wawancara yang dilakukan
secara mendalam yang didasarkan kepada pedoman wawancara dan
juga berdasarkan jawaban dari nara sumber yang kemudian digali
lebih jauh lagi. Hasil wawancara yang dilakukan adalah untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Wawancara ini akan ditujukan
kepada narasumber yang peneliti anggap akan mampu menjawab dan
memeberi penejelasan tentang yang penelitian yang dilakukan.
Narasumber itu antara lain: Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Kota Malang, Para Narapidana tindak pidana korupsi yang berada
9 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, cet ke-2 (Jakarta : Gramedia, 1991),
hlm. 30.
8
di Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat tempat narapidana
bekerja pada pihak ketiga yang dijadikan tempat untuk pembinaan
narapidana pada tahap remisi.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder diantaranya ialah: buku-buku, hasil
penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, makalah hasil seminar, kamus-
kamus seperti Ensiklopedia, kamus Bahasa Indonesia, kamus Bahasa
Inggris, dan Kamus istilah hokum, serta sumber data yang berasal dari
Peraturan Perundang-undangan, yakni :
a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Lembaran Negara 1995/ 77 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3614;
b) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Narapidana Pemasyarakatan Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 140;
c) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Narapidana Pemasyarakatan,
Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 144;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Pembinaan
dan Pembimbingan Narapidana Pemasyarakatan tentang Perubahan
atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Narapidana Pemasyarakatan, Lembaran Negara
Tahun 2006 Nomor 61;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 Tentang Kerjasama
Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Narapidana
Pemasyarakatan, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 113;
f) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 1985
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan
Pengamat;
9
g) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.M.2.PK.04-10 Tahun
2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Remisi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipakai peneliti dalam melakukan
penelitian ini adalah:
a. Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi
pasif, yaitu peneliti datang ke tempat kegiatan orang yang diamati,
tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.10 Peneliti
mengamati proses pelaksaan remisi narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Kota Malang.
b. Wawancara (Interview)
Dalam wawancara ini peneliti melakukan wawancara secara
terstruktur dimana pengumpul data telah menyiapkan instrumen
penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis.11 Peneliti
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan kepada narapidana yang
melakukan remisi, serta kepada ketua Lembaga Pemasyarakatan
kelas IIA Kota Malang, Petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIA Kota Malang, Para Narapidana yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan dan masyarakat tempat narapidana bekerja pada
pihak ketiga yang dijadikan tempat untuk pembinaan narapidana
pada tahap remisi.
c. Dokumentasi
Dokumentasi yang peneliti dapatkan berupa file dan laporan yang
berasal dari Lapas, seperti visi dan misi, letak Geografis Lapas,
struktur organisasi, tugas staf, data tentang narapidana, gambar, dan
10 Ibid, hal. 227. 11 Ibid, hal. 233.
10
dokumen-dokumen statistik narapidana tindak pidana korupsi
dalam tahap remisi di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Kota
Malang.
6. Analisis Data
Untuk menghasilkan dan memperoleh data yang akurat dan objektif
sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam penelitian ini, maka analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data
deskriptif kualitatif dengan cara analisis konteks dari telaah pustaka dan
analisis pernyataan dari hasil wawancara dari informan. Dalam melakukan
analisis data peneliti mengacu pada beberapa tahapan, antara lain :
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan ke hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.12
Jadi dalam penelitian ini data-data yang sudah didapat dari
informan diantaranya, ketua Lapas, Petugas Lapas, narapidana, dan
pihak ketiga dalam hal ini yakni masyarakat, dipilih data yang
penting dan difokuskan ke pokok masalah penelitian.
b. Penyajian data
Penyajian data adalah mengolah data setengah jadi yang sudah
seragam dalam bentuk tulisan dan sudah memiliki alur tema yang
jelas (yang sudah disusun alurnya dalam tabel akumulasi tema).13
Dalam penelitan ini penyajian data disajikan dengan bentuk teks
narasi.
c. Pengambilan kesimpulan
Pengambilan kesimpulan dalam peneltian kualitatif merupakan
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada.14 Jadi dari dua
12 Ibid, hal. 247. 13 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba, 2010), hal.176. 14 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methode),
(Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 253.
11
teknik analisis data yaitu reduksi data dan penyajian data langkah
terakhir adalah pengambilan kesimpulan. Pengambilan kesimpulan
diambil dari data-data yang sudah di reduksi dan sudah disajikan.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Peneliti menggunakan Triangulasi data sebagai teknik pemeriksaan
keabsahan data. Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.15 Penelitian ini
menggabungkan data- data dari berbagai sumber dengan teknik yang
sama. Selain data-data yang bersumber dari narapidana, data juga
bersumber dari pekerja sosial dan masyarakat yang berada di lingkungan
Lembaga Pemasyarakatan.
F. Rencana Sistematika Penulisan
Pada penelitian ini, Penulis membagi pembahasan ke dalam empat bab,
dimana setiap bab dibagi atas beberapa sub-bab, sistematika penulisannya secara
singkat adalah sebagai berikut :
BAB I Bab ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan topik dari
penulisan penulisan dan sekaligus menjadi pengantar umum di
dalam memahami penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari
latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Sebagai Bab kajian teori yang kemudian akan diuraikan mengenai
tinjauan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan. Di dalam bab
ini akan diuraikan pengertian serta pembahasan terhadap beberapa
pokok permasalahan.
15 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitaitif, (Bandung: Remaja Rosdakakarya, 1996),
hal. 178.
12
BAB III Sebagai Bab hasil penelitian dan analisa. Dimana peneliti akan
menelaah data-data yang telah didapat, yang kemudian akan
dianalisa secara terperinci dan jelas terkait permasalahan yang
berhubungan dengan obyek yang diteliti.
BAB IV Sebagai Bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran atas hasil
dari analisa permasalahan yang diteliti.