bab i pendahuluan a. latar belakang penelitianrepository.unpas.ac.id/28772/3/f.bab i.pdfdan/atau...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang
perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi
barang atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Sehingga barang atau jasa yang
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun dalam negeri.
Kondisi demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih jenis dan
kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan
konsumen.1 Dengan kemajuan kegiatan ekonomi perdagangan yang semakin
terbuka, saat ini Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan sebagai akibat
adanya keterbukaan dan perdagangan bebas, dan untuk itu bangsa Indonesia
dituntut untuk dapat memiliki daya saing yang kuat.2
1 Penjelasan Konsideran Undang-Undang Nonor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. 2 Ibid.
2
Sebagaimana diketahui, dari keterbukaan itu akan memberikan begitu
banyak tantangan baik sebagai konsumen ataupun sebagai pelaku usaha.
Dalam perkembangannya interaksi antara pelaku usaha dan konsumen ini
tidak sepenuhnya dapat berjalan mulus, banyak kendala yang datang dan
justru memperburuk hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Ketidak
harmonisan ini kerap kali justru berawal datang dari konsumen karena
konsumen merupakan pemakai jasa atau barang.
Konsumen kerap menjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha, tidak mudah untuk
mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip pelaku
usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal
seminimal mungkin. Prinsip ini sangat berpotensial merugikan kepentingan
konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.3
Masalah tersebut sebenarnya bukan masalah baru. Banyak tindakan dari
pelaku usaha yang merugikan konsumen seperti tidak memberikan informasi
yang benar kepadaa konsumen terkait dengan produknya, sehingga hak
konsumen atas adanya perlindungan hukum terhadap konsumen dan
keselamatan suatu produk boleh dikatakan belum berfungsi. Dengan harga
mahal sekalipun bukanlah suatu jaminan bahwa barang tersebut bebas atau
terhindar dari risiko yang ada.
Produk kosmetik merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang
kian berkembang. Pada era modern saat ini kosmetik merupakan kebutuhan
3 Penjelasan Atas Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
bagian ke I Umum, hlm. 34.
3
harian yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama kaum perempuan
yang ingin tampil cantik dan menarik di muka umum, selain itu kosmetik juga
memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kepercayaan diri seseorang,
sehingga tidak heran jika kebutuhan kosmetik semakin meningkat dari tahun
ke tahun, karena dengan gaya hidup yang lebih kompleks kosmetik sendiri
sudah menjadi kebutuhan pokok seperti halnya sandang dan pangan.
Keadaan seperti ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab dengan memproduksi atau memperdagangkan kosmetik
yang tidak memenuhi persyaratan untuk di edarkan kepada konsumen.
Kebanyakan konsumen wanita sangat tertarik untuk membeli produk kosmetik
dengan harga murah serta hasilnya cepat terlihat. Oleh karena itu, wanita
banyak yang memakai jalan alternatif untuk membeli suatu produk walaupun
produk kosmetik yang dibelinya tidak memenuhi persyaratan serta tidak
terdaftar dalam BPOM.
Menurut BPOM walaupun perkembangan industri kosmetik mengalami
peningkatan namun masih banyak pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
dalam menyediakan dan/atau mengedarkan kosmetik. Dalam rangka
pengawasan keamanan, dan mutu kosmetik yang beredar di Indonesia, selama
tahun 2014 BPOM telah melakukan sampling dan pengujian laboratorium dan
pemeriksaan 6.372 sarana distribusi kosmetika.
4
Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa 2.104 sarana distributor atau
pelaku usaha kosmetik telah melakukan pelanggaran, antara lain karena4 :
1. 150 sarana distribusi kosmetik menjual kosmetik mengandung bahan
berbahaya yang dilarang untuk kosmetika.
2. 1.876 sarana distribusi kosmetik tidak terdaftar dan tidak memiliki izin
edar (termasuk kosmetik palsu).
3. 78 sarana distribusi kosmetika menjual kosmetik rusak/kadaluarsa.
Temuan BPOM tersebut diatas, menunjukan bahwa pelanggaran yang
paling banyak dilakukan oleh pelaku usaha yaitu diproduksinya kosmetik
ilegal (yang tidak memiliki izin edar) yang berbahaya. Berdasarkan fakta
tersebut terlihat bahwa masih banyak pelaku usaha yang melanggar atau
menyalahi ketentuan yang telah diatur oleh pemerintah terkait pembuatan
dan/atau penyediaan kosmetik yang beredar di Indonesia.
Kosmetik sangat dekat berhubungan dengan kesehatan, karena efek
pemakaian kosmetik yang mengandung bahan berbahaya bisa berdampak
buruk bagi kesehatan tubuh terutama kulit. Undang-Undang Nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan telah memberikan pedoman bagi pelaku usaha dalam
menyediakan dan/atau mengedarkan kosmetik, yaitu tidak boleh
menggunakan bahan berbahaya dan harus meiliki izin edar. Adapun
pengaturan mengenai penyediaan dan/atau pengedaran kosmetik tidak boleh
mengandung bahan berbahaya terdapat dalam Pasal 98 Undang-undang
kesehatan yang menyatakan bahwa :
4 BPOM, “laporan Tahunan BPOM tahun 2013” <http://www.pom.go.id> diakses pada
tanggal 5 Februari 2017 pukul 20.12 WIB
5
“Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau”
Terkait pengaturan tentang penyediaan dan/atau pengedaran kosmetik harus
memiliki izin edar, tercantum dalam Pasal 106 ayat (1) dan (2) Undang-
undang Kesehatan yang berbunyi :
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan.
Penyediaan dan/atau pengedaran kosmetik tidak boleh menggunakan
bahan berbahaya diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika,
menyatakan bahwa :
“Industri kosmetika tidak diperbolehkan membuat kosmetik dengan menggunakan bahan kosmetika yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”
Lebih lanjut Peraturan kepala BPOM mengatur mengenai pengertian
kosmetik berbahaya yang dilarang beredar di Indonesia. Kosmetik berbahaya
adalah kosmetik yang menggunakan campuran bahan yang diperbolehkan
namun melebihi persyaratan mutu yang telah diakui atau sesuai dengan
ketentuan undang-undang serta kosmetik yang menggunakan campuran bahan
yang dilarang untuk digunakan dalam pembuatan kosmetika karena tidak
memenuhi syarat keamanan, dan kemanfaatan.5
5 Peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor HK
03.1.23.08.11.07517 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis bahan Kosmetika.
6
Menurut Sumiaty Haslinda kepala seksi pemeriksaan BPOM, pada
kasus-kaus kosmetik ilegal yang berbahaya, zat berbahaya yang sering
ditemukan dalam kosmetika diantaranya merkuri, rhodamin b, hidrokinon dan
asam retinoat. Merkuri adalah logam berat yang berbahaya dan bersifat racun
serta mengandung zat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker.
Rhodamin B, yang sering disalah gunakan pada kosmetik sediaan tata rias (eye
shadow, lipstick), merupakan pewarna kertas, tinta dan tekstil. Penggunaan
pewarna ini dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dan mengandung zat
karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker. Hidrokinon banyak
disalahgunakan pada produk pencerah kulit. Penggunaan hidrokinon dapat
menyebabkan iritasi kulit, membuat kulit menjadi merah dan terasa terbakar.
Asam retinoat biasanya ditemukan pada kosmetik berbahaya untuk peeling
(pengelupas kulit), dalam penggunaannya dapat menyebabkan rasa terbakar
dan kerusakan pada kulit.6
Bagi pelaku usaha yang menyediakan dan mengedarkan dan tidak
memiliki izin edar sebagaimana melanggar ketentuan Undang-undang
Kesehatan maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) akan dilakukan
beberapa upaya yaitu melalui jalur Non Pro Justitia dan Pro justitia yang
dilakukan oleh BPOM selaku PPNS untuk memberikan peringatan, maupun
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang diduga telah memproduksi
kosmetik yang tidak sesuai dengan Undang-undang Kesehatan dan juga
6 BPOM “Dampak Penggunaan Kosmetik mengandung Bahan Berbahaya”
<http://www.pom.go.id> diakses pada tanggal 16 Februari pukul 09.36 WIB
7
beberapa upaya yang dilakukan pemerintah melalui BPOM, Polri, serta
instansi terkait untuk mengurangi peredaran kosmetik ilegal yang berbahaya
dengan cara membawa kasus-kasus tersebut ke muka pengadilan.7
Apabila pelaku usaha yang terbukti menyediakan dan/atau mengedarkan
kosmetik berbahaya dan tidak memiliki izin edar yang diproses ke pengadilan
maka akan dikenakan ketentuan pidana. Undang-undang Kesehatan mengatur
ketentuan pidana tercantum dalam pasal 196 dan pasal 197. Adapun ketentuan
tersebut menyatakan sebagai berikut :
Pasal 196 Undang-undang Kesehatan
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkaan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pasal 197 Undang-undang Kesehatan :
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkaan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”
Salah satu kasus kosmetik berbahaya dan tidak memiliki izin edar yaitu
kasus Afrizal. Afrizal telah memproduksi dan mengedarkan kosmetik ilegal
yang berbahaya kurang lebih dari tahun 2008 hingga tahun 2013. Pada tahun
2013 BPOM melakukan pemeriksaan terhadap toko milik Afrizal. Dari hasil
7 Wawancara dengan Bapak Komang Andaru P., S.H. selaku Analis Pemeriksa Sarana dan
Penyidik Obat dan Makanan BPOM Bandung pada tanggal 25 April 2017 di kantor BPOM Bandung.
8
pemeriksaan tersebut diketahui kosmetik yang diedarkan oleh Afrizal
mengandung bahan berbahaya yaitu merkuri (Hg). Tahun 2014 Pengadilan
Negeri Bandung memutus Afrizal dengan pidana 6 bulan penjara dan denda
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).8
Dalam Undang-undang Kesehatan tidak diatur mengenai perlindungan
hukum bagi korban yakni konsumen kasus kosmetik ilegal yang berbahaya.
Hal tersebut dapat dilihat dari Undang-undang Kesehatan bahwa tidak ada
ketentuan yang mengatur khusus masalah perlindungan hukum bagi konsumen
yang mengalami kerugian akibat pemakaian kosmetik yang berbahaya bagi
kesehatan. Oleh karena itu, bagi konsumen yang mengalami kerugian masih
menggunakan ketentuan UUPK untuk menjamin dan melindungi hak-hak
yang dimilikinya.
Dengan adanya UUPK diharapkan dapat menjamin tercapainya
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang mempunyai kedudukan yang
lemah dibandingkan dengan pelaku usaha itu sendiri. Faktor utama yang
menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen yang
rendah. Oleh karena itu, UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang
kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan
dan pendidikan konsumen terutama pada kasus kosmetik ilegal yang
berbahaya.
8 Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 639/Pid.B/2014/PN.Bdg.
9
Pelaku usaha yang memproduksi dan menjual kosmetik ilegal yang
berbahaya tidak hanya melanggar ketentuan Unadang-undang Kesehatan saja
melainkan melanggar pula ketentuan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur
mengenai kewajiban-kewajiban pelaku usaha dalam memproduksi barang
dan/atau jasa.
Adanya kasus kosmetik ilegal yang berbahaya yang dilakukan oleh
pelaku usaha telah melanggar ketentuan sebagaimana disebutkan pada Pasal 7
UUPK. Pelaku usaha mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana
diatur dalam Pasal 7 UUPK. Inti dari pasal tersebut adalah pelaku usaha harus
memiliki itikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, dan menyatakan
bahwa pelaku usaha harus memuat dan memberikan informasi yang benar,
jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang
diproduksinya. Tujuan diaturnya kewajiban pelaku usaha adalah untuk
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperjual
belikan berdasarkan ketentuan standar mutu yang telah ditentukan undang-
undang.9
Pasal 4 UUPK memberikan hak kepada konsumen, bahwa masalah
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang
paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen.10 Barang dan/atau
jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih
9 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya”, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 235. 10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT
Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hlm. 29.
10
membahayakan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam
masyarakat. Terhadap hal yang ditimbulkan oleh itikad tidak baik yang
dilakukan oleh pelaku usaha sudah ada ketentuan administratif, sanksi perdata,
bahkan memberikan ancaman pidana bagi pelaku usaha yang tidak
mempunyai itikad tidak baik tersebut.11
Selain pelaku usaha yang dibebani tanggung jawab untuk memberikan
ganti rugi terhadap konsumen yang dirugikan, pelaku usaha harus
dipertanggungjawabkan secara pidana untuk menimbulkan efek jera sehingga
pelaku usaha dapat lebih memperhatikan produk yang diperdagangkannya.
Hal tersebut dikarenakan tindak pidana yang terjadi terhadap konsumen selain
merugikan konsumen juga dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang
ekonomi karena ada kepentingan ekonomi didalamnya yang hendak
dilindungi, agar tatanan perekonomian nasional tetap langgeng, berkembang
baik, dan tidak kacau.
Selanjutnya, berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam bentuk skripsi dengan
judul : “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
USAHA YANG MEMPRODUKSI DAN MENJUAL KOSMETIK
ILEGAL YANG BERBAHAYA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN”
11 Ibid.
11
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana kualifikasi delik terhadap pelaku usaha yang memproduksi dan
menjual kosmetik ilegal yang berbahaya berdasarkan putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor: 639/Pid.B/2014/PN.BDG ?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha
yang memproduksi dan menjual kosmetik ilegal yang berbahaya menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ?
3. Upaya apa yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi tindak
pidana peredaran kosmetik ilegal yang berbahaya di pasaran ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis kualifikasi delik
terhadap pelaku usaha yang memproduksi dan menjual kosmetik ilegal
yang berbahaya berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bandung
Nomor: 639/Pid.B/2014/PN.BDG.
2. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganilisis sistem
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha yang memproduksi
12
dan menjual kosmetik illegal yang berbahaya menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
3. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganilisis upaya yang dilakukan
pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana peredaran kosmetik
ilegal yang berbahaya di pasaran.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoritis
maupun secara praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan Ilmu hukum
secara umum khususnya di bidang hukum pidana, perundang-undangan
dan bagi sistem peradilan pidana khususnya yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana pelaku usaha sebagai bentuk perlindungan
terhadap konsumen.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
sumbangan pemikiran bagi setiap pihak yang terkait seperti pemerintah,
praktisi hukum, akademisi, lembaga konsumen, pelaku usaha dan
konsumen atau masyarakat di bidang hukum pidana khususnya
pertanggungjawaban pelaku usaha dalam upaya penegakan hukum
perlindungan konsumen.
13
E. Kerangka Pemikiran
Negara Indonesia adalah Negara hukum hal tersebut tercermin didalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan : “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Maka dari itu sebagai Negara hukum sudah
seharusnya hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Hukum itu bertujuan menjamin
adanya kepastian Hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula
bersendikan kepada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata, baik materil dan spiritual dalam era demokrasi
ekonomi berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.12
Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa,
yang berarti memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu sandang, pangan,
papan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan ketenteraman hidup. Tujuan
pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat
bagi setiap penduduk, jadi tanggung jawab untuk terwujudnya derajat
kesehatan yang optimal berada di tangan seluruh masyarakat Indonesia,
pemerintah dan swasta bersama-sama.
Penegakan hukum kasus kosmetik ilegal yang berbahaya terjadi
semenjak dibelakukannya Undang-undang Kesehatan. Kasus kosmetik ilegal
yang berbahaya merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang
12 Penjelasan Konsideran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
14
Kesehatan. Masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana dalam
Undang-undang Kesehatan adalah :
1. Perbuatan yang dilarang;
2. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;
3. Pidana yang diancamkan.
Penegakan hukum kasus kosmetik ilegak yang berbhaya harus dilakukan
untuk mencapai asas dan tujuan sebagaimana disebutkan Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-undang Kesehatan, yaitu :
Pasal 3 :
“Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”
Asas Hukum Kesehatan berdasarkan Undang-Undang Hukum Kesehatan
Nomor 36 tahun 2009 yaitu:
1. Asas perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dilandasi atas
perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
tidak membeda-bedakan golongan, agama, dan bangsa;
2. Asas manfaat berarti memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara;
15
3. Asas usaha bersama dan kekeluargaan berarti bahwa penyelenggaraan
kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan yang dilakukan oleh seluruh
lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
4. Asas adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus
dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan
masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
5. Asas perikehidupan dalam keseimbangan berarti bahwa penyelenggaraan
kesehatan harus dilaksanakan seimbang antara kepentingan individu dan
masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiel dan spiritual;
6. Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus berlandaskan pada kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi nasional
seluas-luasnya.
Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan menyatakan yang disebut sehat adalah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
Proses penegakan hukum akan berkaitan pula pada perlindungan hukum
bagi korban terutama dalam hal ini yaitu konsumen kasus kosmetik ilegal
yang berbahaya. Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang
diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen juga
perlindungan konsumen ini adalah suatu upaya hukum yang diberikan kepada
konsumen pada saat konsumen tersebut mulai melakukan proses pemilihan
16
serangkaian atau sejumlah barang yang disini adalah kosmetik selanjutnya
memutuskan untuk menggunakan kosmetik tersebut, hingga akibat yang
terjadi setelah kosmetik tersebut dipergunakan oleh konsumen.
Hukum Perlindungan Konsumen berhubungan dengan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV, yang menyatakan:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;
c. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang.
Masalah konsumen merupakan masalah semua orang, dengan demikian
masalah konsumen merupakan masalah nasional yang harus diperhatikan dan
diawasi oleh pemerintah. 13 Tujuan penyelenggaran, pengembangan dan
pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk
meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung
mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan
penuh rasa tanggung jawab.14
Fungsi hukum berarti belum sangat berfungsi disini karena masih
banyak produk kecantikan yang beredar ilegal atau tidak terdaftar di Balai
13 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hlm 4. 14 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen,Grasindo, Jakarta, 2000, hlm 18.
17
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sehingga banyak produk kecantikan
yang tidak layak untuk di konsumsi oleh konsumen. Fungsi hukum sebagai a
Tool of Social Control menurut Ronny Hantijo Soemitro15 :
“Kontrol sosial, merupakan aspek normatif dari kehidupan social atau dapat disebut sebagai pemberi definisi tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya, seperti larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan, dan pemberian ganti rugi.” Dunia usaha pada era sekarang ini telah terkontaminasi oleh arus
globalisasi yang menawarkan prinsip-prinsip ekonomi kapitalis dan liberalis,
neo liberal dan imperalisme modern.16 Akibatnya, dunia usaha lebih banyak
memusatkan perhatiannya pada upaya untuk meraih keuntungan semata-mata,
tanpa melihat konsumen adalah sebagai mitra bisnis (stake holder) yang juga
mempunyai hak untuk hidup layak dan sejahtera. Di sinilah pentingnya negara
harus “campur tangan” untuk memproteksi hak-hak konsumen, yang dikenal
sebagai perlindungan konsumen yang sejauh ini berada dalam posisi yang
lemah.
Lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen juga
disebabkan karena mulai dari proses sampai hasil produksi barang dan atau
jasa yang dihasilkan tanpa campur tangan konsumen sedikitpun.17
Pengertian konsumen yang dimaksud pada Pasal 1 angka 2 UUPK
adalah
“setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
15 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hlm. 71. 16 Muhammad Yunus, Bisnis Sosial Sistem Kapitalisme Baru Yang Memihak Kaum
Miskin, (Terjemahan Alex Tri Kantjono), Gramedia, Jakarta, 2011. 17 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, PT. Mandar Maju, 2000,
hlm. 37.
18
lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Kemudian pengertian pelaku usaha yang dimaksud pada Pasal 1 angka 3
UUPK adalah
“setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Selanjutnya pengertian barang yang dimaksud pada Pasal 1 angka 4
UUPK adalah
“setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.”
Konsumen yang menggunakan atau mengkonsumsi kosmetik ilegal yang
berbahaya dapat dikatakan telah menjadi korban akibat perbuatan pelaku
usaha yang tidak jujur dalam pembuatan barang dan/atau jasa. Berdasarkan
hal tersebut, undang-undang memberikan hak-hak tertentu kepada konsumen
yang apabila hak-hak tersebut dilanggar akan berpotensi terjadinya kejahatan
terhadap konsumen 18 . Hak-hak konsumen yakni tertuang dalam Pasal 4
UUPK, menyebutkan tentang hak-hak konsumen :
a. Hak katas kenyamanan, keamanan, dan kesalamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diinginkan;
18 Didik M. ARif Masur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara
Norma dan Realita, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2007, hlm. 25.
19
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam prakteknya banyak konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang
tidak jujur, nakal yang jika ditinjau dari aspek hukum merupakan tindak
pelanggaran hukum. Akibatnya konsumen menerima barang dan atau jasa
tidak sesuai dengan kualitas, kuantitas dan harganya karena masih kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang memilih kosmetik yang baik, tepat dan aman
untuk digunakan juga masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang
kosmetik palsu yang berbahaya yang beredar di pasaran sehingga
menyebabkan masih banyaknya masyarakat yang dirugikan dan tertipu dalam
memilih kosmetik tersebut.
Di sisi lain karena ketidak tahuan dan kekurang sadaran konsumen akan
hak-haknya maka konsumen menjadi korban pelaku usaha.19
Sebagai konsekuensi dari hak konsumen, maka kepada pelaku usaha
dibebankan kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-
Undang Perlindungan konsumen, salah satunya:20
19 Abdul Halim Barkatullah , Hukum Perlindungan Konsumen, (Banjarmasin: FH. Unlam
Press, 2008), hlm. 5.
20
“beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;”
Selain kewajiban pelaku usaha, di dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen juga diatur berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 825.
Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut dapat dibagi kedalam dua larangan pokok
yaitu:
a. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat
dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau
dimanfaatkan oleh konsumen.
b. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan
tidak akurat, yang menyesatkan konsumen.
Berbagai larangan bagi pelaku usaha sesuai Pasal 8 UUPK baik larangan
mengenai kelayakan produk, berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya
berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum”
yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu
sebelum barang dan/atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk
dikonsumsi masyarakat luas.21
20 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. 21 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit.,. hlm. 42.
21
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UUPK
diatur khusus dalam pasal 19 sampai dengan pasal 28. Dari sepuluh pasal
tersebut, dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Tujuh pasal, yaitu pasal 19, pasal 20, pasal 24, pasal 25, pasal 26,
dan pasal 27, yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha.
b. Dua pasal, yatu pasal 22 dan pasal 28 yang mengatur mengenai
pembuktian.
c. Satu pasal, yaitu pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa
dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk
memberikan ganti rugi kepada konsumen.
Harkristuti Harkrisnowo membedakan berbagai perilaku yang
merugikan konsumen yaitu merupakan perbuatan melawan hukum (sebagai
kasus perdata) dan tindak pidana. UUPK telah memberikan akses dan
kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi dan
sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan
dirumuskan sistem pertanggungjawaban produk oleh pelaku usaha (product
liability).22 Dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat dilakukan atas
landasan adanya : Pelanggaran jaminan, kelalaian dan tanggung jawab mutlak.
UUPK menyertakan tanggung jawab produk dalam pasal 7 sampai pasal
11 (product liability) adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang
atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau
22 Harkristuti Harkrisnowo, “Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka Sistem Peradilan
di Indonesia”.(Jakarta: Lokakarya Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan konsumen, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan 1996), hlm. 6.
22
dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan
suatu produk (prosessor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual
dan mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.23
Perlindungan Konsumen menganut beberapa asas, berdasarkan Pasal 2
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen yaitu
1. Asas manfaat, mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2. Asas Keadilan, partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dengan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, memberikan jaminan
atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum, baik pelaku usaha maupun konsumen harus
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
23 Ansorulloh Najmuddin, Dilema Perundang-undangan di Indonesia,
http://indoprogress.blogspot.com, diakses pada tanggal 26 Februari 2017 pukul 18:36 WIB.
23
perlindungan konsumen, serta negara menjamin adanya kepastian
hukum.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang
menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun
dalam berbagai aktifitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan
konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai
tujuan hukum.24
Penegakan hukum pidana adalah suatu cara menanggulangi kejahatan
yang dilakukan pelaku usaha, dengan diterapkannya hukum pidana terhadap
pelaku usaha diharapkan dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku usaha,
sehingga dapat mengurangi tindakan pelaku usaha yang merugikan
konsumen.
Penerapan hukum pidana sendiri tidak bisa dilepaskan dari
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, suatu
konsep dasar atau “basic concept” dari suatu sistem tertentu adalah
merupakan pokok-pokok pikiran mengenai pengertian, asas, sistimatika dan
struktur yang berlaku menurut sistem hukum tertentu.25 Uraian tentang konsep
dasar hukum pidana akan meliputi uraian tentang:26
1. Unsur-unsur suatu tindak pidana (element of crimes).
2. Klasifikasi tindak pidana.
24 Achmad Ali, Op.cit., hlm. 95-96. 25 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum pidana, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
54. 26 Ibid, hlm. 55.
24
3. Pertanggungjawaban pidana (criminal liability)
4. Alasan-alasan pengurangan atau penghapusan pidana
(criminal defenses).
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana yang beliau
definisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut.27
Jonkers merumuskan strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang
diartikannya sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum
(wedderrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan
yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.28
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan
yang melanggar hukum harus diberikan sanksi agar tertib hukum dapat
terpelihara. Oleh karena itu, agar seseorang dapat dihukum maka perbuatan
yang dilakukannya harus mengandung unsur melawan hukum dan unsur
kesalahan, baik itu berupa kesalahan maupun kealpaan.
Lebih lanjut Simons29 mengatakan sifat yang melawan hukum seperti
dimaksud di atas itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan
tersebut adalah bertentangan dengan sesuatu peraturan dari undang-undang,
27 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1; Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 71.
28 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education & Pu-KAP Indonesia, Yogyakarta, 2012, hlm. 20.
29 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 186.
25
hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan merupakan suatu unsur dari delik
yang mempunyai arti yang tersendiri seperti halnya dengan unsur-unsur yang
lain.
Pertanggungjawaban terhadap suatu tindak pidana merupakan suatu
proses dilanjutkannya celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap
perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana oleh hukum pidana dan si
pelaku merupakan subjek hukum yang dianggap memenuhi persyaratan untuk
dijatuhi pidana.30
Berdasarkan rumusan delik diatas pelaku usaha yang memproduksi dan
menjual kosmetik ilegal berbahaya dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya secara pidana karena telah diatur dalam Ketentuan pidana.
Menurut Fletcher, teori kesalahan normative menyebabkan “if” ‘guilty’ is
synonymous with being ‘found liable under the law’, then it would de
analytically true that the states punishes only the guilty”. Dengan demikian,
jika kesalahan adalah dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum maka setiap
pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika pada waktu melakukan
tindak pidana terdapat kesalahan pada diri pembuat31.
Maka konsekuensi hukum dari pelaku usaha yang memproduksi dan
menjual kosmetik ilegal yang mengandung bahan kimia berbahaya yang pada
akhirnya mengakibatkan kerusakan fisik bagi konsumen harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya atas dasar kesalahan yang telah
30 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
pendekatan Restoratif Suatu terobosan hukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hlm. 47. 31 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 86.
26
dibuat dengan sengaja tersebut dapat dijerat beberapa pasal Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu :
a. Pasal 196 yang mengatur mengenai persyaratan standar keamanan,
khasiat, keamanan, dan mutu sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan.
Pasal 196 :
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
b. Pasal 197 Jo. pasal 106 ayat (1) yang mengatur mengenai izin edar sediaan
famasi dan/atau alat kesehatan.
Pasal 197 :
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)”
c. Pasal 198 Jo. Pasal 108 atau pasal 98 ayat (2) yang mengatur mengenai
keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian.
Pasal 198 :
“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Terhadap pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang merugikan
konsumen atau melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat
27
dikenakan sanksi administratif dan sanski pidana sesuai yang diatur dalam
Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 UUPK.
Sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 60 UUPK. Sanksi
administratif ini merupakan suatu hak khusus yang diberikan oleh Undang-
Undang Perlindungan Konsumen kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar
pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan
oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap para pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran.
Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ditetapkan juga sanksi
pidana terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap undang-
undang ini. Sanksi pidana yang diatur terdiri atas pidana pokok dan pidana
tambahan.
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan
oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha.
Sanksi pidana pokok diatur dalam Pasal 62 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang bunyinya sebagai berikut
:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamuPasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
28
tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”
Selain sanksi pidana pokok, Undang-undang Perlindungan Konsumen
juga mengatur tentang sanksi pidana tambahan, yakni dalam Pasal 63 yang
bunyinya sebagai berikut :
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi; d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menebabkan
timbulnya kerugian konsumen; e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. Pencabutan izin usaha.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian yang menggambarkan fakta-fakta yang timbul dari masalah-
masalah yang penulis teliti yang kemudian akan dianalisis sebagai berikut :
1. Spesifikasi penelitian
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan :32
“Spesifikasi dalam penelitian bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan”
Peneliti menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dan
penulis menganalisis dan memaparkan mengenai objek penelitian
32 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 97.
29
penelitian dengan memaparkan situasi masalah untuk memperoleh
gambaran situasi dan keadaan, yang kemudian dianalisis untuk
menghasilkan beberapa kesimpulan mengenai permasalahan yang dikaji
yaitu dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha yang
memproduksi dan menjual kosmetik ilegal yang berbahaya dengan
mendasarkan pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen untuk kemudian di analisis.
2. Metode Pendekatan
Pada penelitian ini, metode pendekatan yang dipergunakan dalam
penelitian adalah metode dengan cara pendekatan yuridis-normatif
dengan menganalisa undang-undang yang mengatur hal-hal yang menjadi
permasalahan di atas. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro :33
“Metode pendekatan digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan-permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundangan yaitu hubungan peraturan perundangan satu dengan peraturan perundangan lainnya serta kaitannya dengan penerapan dalam praktek .”
Dalam penelitian hukum yang mengutamakan pada penelitian
norma-norma atau aturan-aturan, studi kepustakaan ditunjang oleh studi
lapangan mengenai permasalahan yang terjadi di dalam dunia bisnis
pelaku usaha berkenaan dengan masalah kegiatan produksi dan penjualan
kosmetik ilegal yang berbahaya yang dilakukan oleh pelaku usaha
berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
33 Ibid, hlm. 97.
30
yakni penelitian terhadap asas manfaat, asas adil dan merata, dan asas
perikehidupan dalam keseimbangan. Kemudian berdasarkan Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yakni
penelitian terhadap asas kepastian, kemanfaatan, daan keadilan atau
kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan terhadap
pedoman perilaku pelaku usaha dalam melakukan kegiatan bisnisnya.
3. Tahapan Penelitian
Berkenaan dengan digunakannya metode penelitian yuridis-normatif,
maka penelitian dilakukan melalui dua tahapan, yaitu :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Merupakan suatu teknik pengumpulan data yang diperoleh dengan
menggunakan data kepustakaan dan diperoleh dari data sekunder.
Dimulai dengan pengumpulan peraturan perundang-undangan serta
teori-teori dan pendapat para ahli hukum yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha yang
memproduksi dan mejual kosmetik ilegal yang berbahaya. Bahan-
bahan penelitian ini diperoleh melalui :
1) Bahan hukum primer
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan :34
34 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2012, hlm.13.
31
“Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang
mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan obyek.”
Bahan hukum primer dalam penelitian ini berupa :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Amandemen Ke-4.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
5. Keputusan Presiden No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Depertemen.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 140/Menkes/Per/III/1991
tentang Wajib Daftar Alat kesehatan, kosmetika, dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/MENKES/PER/VII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 63
Tahun 2013 tentang Izin Produksi Kosmetika.
9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.2995 tentang
Pengawasan Pemasukan Kosmetik.
32
10. Keputusan badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745 tentang
Kosmetik.
11. Putusan Pengadilan Negeri Bandung, Nomor:
639/Pid.B/2014/PN.Bdg.
2) Bahan hukum sekunder
Menurut Soerjono Soekanto :35
“Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti: buku-buku, tulisan-tulisan para ahli, hasil karya ilmiah dan hasil penelitian.”
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku,
tulisan-tulisan para ahli, hasil karya ilmiah, hasil penelitian, Hasil
seminar, dan lan-lain.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti ensiklopedia, artikel mengenai konsumen dan
pelaku usaha, kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia,
bibliografi, penelurusan bahan di internet (virtual research)
mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku usaha dan peredaran
kosmetik ilegal berbahaya, dan lain-lain yang dipergunakan untuk
melengkapi atau menunjang data penelitian.
35 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hlm.52.
33
b. Penelitian Lapangan
Soerjono Soekanto menyatakan:36
“Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu mengumpulkan dan menganalisis data primer yang diperoleh langsung dari lapangan untuk memberi gambaran mengenai permasalahan hukum yang timbul di lapangan dengan melakukan wawancara tidak terarah (nondirective interview)”
Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk mendukung data sekunder
dengan melakukan wawancara yang dilakukan kepada pihak yang
lebih berkompeten, dan dilakukan kepada instansi-instansi terkait
permasalahan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku usaha
yang memproduksi dan menjual kosmetik ilegal yang berbahaya
dalam upaya penegakan hukum perlindungan konsumen.
4. Teknik pengumpulan data
a. Penelitian Kepustakaan
1) Menginventarisir peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum
terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku usaha yang memproduksi dan menjual kosmetik ilegal
yang berbahaya dalam upaya penegakan hukum perlindungan
konsumen.
2) Studi Dokumen
Menurut Soerjono Soekanto:37
36 Soerjono Soekanto,Op.Cit, hlm. 228. 37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hlm. 66.
34
“Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data
yang dilakukan melalui data tertulis dengan
mempergunakan content analysis”
Dalam penelitian ini ditelaah data yang diperoleh dalam peraturan
perundang-undangan, ensiklopedia, artikel mengenai konsumen
dan pelaku usaha, kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia,
bibliografi, penelurusan bahan di internet (virtual research)
mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku usaha dan
peredaran kosmetik ilegal berbahaya, dan lain-lain.
3) Menganalisis apakah suatu aturan bertentangan dengan aturan
yang lain atau tidak, serta sejauh mana sinkronisasi dan
harmonisasi hukum.
b. Penelitian Lapangan
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro :38
“Wawancara adalah proses tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Dalam proses wawancara (interview) ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau penanya atau disebut dengan intervier”
Studi lapangan dalam penelitian ini berupa wawancara dengan
berbagai pihak yaitu kepada Bagian Penyidik obat dan makanan Balai
Besar POM di Bandung, dan kepada Hakim Anggota Pengadilan
Negeri Kota Bandung yang dilakukan secara langsung.
38 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hlm.71-73.
35
5. Alat Pengumpulan Data
Alat adalah sarana yang dipergunakan untuk pengumpulan data
dalam penulisan hukum. Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam
penulisan skripsi ini yaitu :
a. Penelitian kepustakaan
Alat yang digunakan dalam penelitian kepustakaan berupa alat tulis
seperti pulpen, flashdisk dan buku catatan untuk mencatat bahan-bahan
yang diperlukan.
b. Penelitian lapangan
Penelitian lapangan adalah cara memperoleh data yang bersifat primer
dengan mengadakan wawancara dengan berbagai intansi terkait, maka
diperlukanlah alat pengumpul data terhadap penelitian lapangan ini
berupa pedoman wawancara, kamera, dan alat perekam (tape
recorder), atau alat penyimpanan.
6. Analisis Data
Menurut Soerjono Soekanto :39
“Analisis yang diteliti dan dipelajari adalah obyek penelitian yang utuh yang bertujuan untuk mengerti dan memahami melalui pengelompokkan dan penyeleksian data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.”
39 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 228.
36
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara yuridis
kualitatif untuk mencapai kepastian hukum, dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan serta menggali nilai hukum yang hidup
dimasyarakat baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Analisis
secara yuridis kualitatif dilakukan untuk mengungkap realita yang ada
berdasarkan hasil peneltian yang diperoleh berupa penjelasan mengenai
permasalahan yang dibahas.
7. Lokasi Penelitian
Dalam hal penelitian lapangan, penulis melakukan penelitian di
berbagai lokasi, antara lain:
a. Studi Pustaka
1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, yang
beralamat di Jalan Lengkong Besar Dalam Nomor 17 Bandung;
2) Perpustakaan Pusat Universitas Pasundan Bandung, yang beralamat
di Jalan Dr. Setiabudhi, Bandung;
3) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, yang
beralamat di Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung.
b. Penelitian Lapangan
1) Balai Besar POM di Bandung, Jalan Pasteur No. 25 Bandung, Jawa
Barat – 40171.
2) Pengadilan Negeri bandung, Jalan LL. RE. Martadinata No. 74-80,
Kota Bandung.
37
8. Rencana Jadwal Penelitian
Dalam hal ini peneliti melakukan berbagai kegiatan yang diawali
dengan pencarian judul dan setelah judul disetujui, peneliti mencari bahan
penulisan dengan jadwal kegiatan yaitu sebagai berikut:
No. Jenis Kegiatan 2016 2017 Des Jan Feb Mar Apr Mei
1 Persiapan Judul & Acc Judul
2 Persiapan Studi Kepustakaan
3
Bimbingan UP, Koreksi, Revisi dan Acc untuk diseminarkan
4 Seminar UP 5 Pelaksanaan Penelitian
6 Penyusunan data Bab I sampai Bab V, Bimbingan dan Acc
7 Sidang Komprehensif
8 Perbaikan, Perjilidan dan Pengesahan