bab i pendahuluan a. latar belakang masalahdigilib.uinsgd.ac.id/753/4/4_bab1sd4.pdf · menurut...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan memahami agama sebagai kebenaran absolut, sebagian masyarakat
meyakini bahwa tidak bisa dibandingkan agama yang satu dengan agama lainnya.
Para penganut agama tersebut sering menggunakan klaim kebenaran (truth claim)
terhadap agama yang dianutnya sehingga orang-orang mengakui kebenaran mutlak
terhadap agama yang dianutnya dan tidak bisa diganggu gugat termasuk
dibandingkan. Bahkan agama yang diyakini memiliki kebenaran mutlak tersebut
sering digunakan para penganutnya untuk mempertahankan identitasnya,
menyerang dan menghancurkan pihak lawan.
Hubungan Kristiani dan Islam cenderung bersifat ambivalen, bisa konflik dan
bisa konsruktif.1 Aspek-aspek ganjil dan positif hubungan kedua komunitas agama
tersebut dapat dilihat dalam sejarah interaksi kedua komunitas itu. Menurut
Mahmoud Ayoub, Al-Qur’an hanya meletakkan sikap kaum Muslim pada saat
tertentu terhadap kaum dan agama Kristen dengan pertimbangan-pertimbangan
politik, ekonomi, dan sosial konkrit, bukan pertimbangan teologi.2
Namun, menurut ahli agama lain bahwa sebagian besar aspek negatif dan
positif dari hubungan itu berakar dari penekanan yang disengaja terhadap teks-teks
1 Mahmoud Ayoub, Akar-Akar Konflik Muslim- Kristen: Persfektif Muslim Timur Tengah, dalam
Buku: Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Passing Over Melintas Batas Agama. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 191. 2 Ibid.
tertentu dari Kitab Injil dan Al-Qur’an yang dianut oleh masing-masing
pemeluknya.3 Salah satu contohnya yaitu pada saat Bapak gereja awal berperang
secara kokoh terhadap ekslusivisme keagamaan seperti yang ditunjukkan dalam
sebuah slogan yang terkenal “Extra ecclesiam nulla salus” dengan mengutip sebuah
firman Yesus yang terdapat dalam Matius Surat keduabelas ayat tigapuluh, “Siapa
yang tidak bersama aku berarti menentangku, dan siapa tidak berkumpul denganku,
maka tersesat.” Pada saat itu pula ditemukan spirit inklusivisme dalam kitab
Cornelius di mana St. Peter berucap kepadanya, “Demi sebuah kebeanaran saya
berkata bahwa Tuhan tidak mengasihi siapa-siapa; tetapi dalam setiap bangsa, dia
yang tunduk kepada-Nya dan bekerja dengan benar, diterima di sisi-Nya” (Act
10:34-35).
Kajian Kristiani dan Islam dapat dilihat secara rinci dari hasil kajian Wilfred
Cantwell Smith melalui hubungan paralel atau pebandingan. Smith mengkaji
agama dari aspek doktrin terutama hubungan proporsional atau pendekatan
persamaan dan perbedaan yang sejajar. Padahal agama sebagai objek kajian para
ahli ilmu agama dapat dikaji melalui pendekatan berbagai aspek. Manifestasi dari
agama itu, perwujudannya sangat beragam. Manifestai tersebut dapat juga disebut
sebagai ekspresi keberagamaan atau pengalaman keagamaan. Smith sendiri
memahami agama terdiri dari beberapa bentuk sebagai unsur keagamaan. Unsur-
unsur tersebut adalah ajaran, symbol, praktek dan lembaga.4
3 Alwi Shihab, Hubungan Islam dan Kristen Abad 21, dalam dalam Buku: Hidayat, Komarudin dan
Ahmad Gaus AF. 1998. Passing Over Melintas Batas Agama.PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm. 185. 4 Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama- Suatu Pengantar Awal, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1996, hlm, 3.
Menurut Joseph M. Kitagawa, agama itu dapat dipelajari dengan tujuh macam
dari ilmu Perbandingan Agama atau Ilmu Agama berdasar pendekatannya yaitu
sejarah Agama Umum, Sejarah Agama Khusus, Perbandingan Agama, Sosiologi
Agama, Psikologi Agama dan Fenomenologi Agama.5
Begitu juga menurut Ninian Smart seorang ahli studi agama mengungkapakan
bahwa agama sebagai organisme yang memiliki multidimensi, seperti doktrin
(doctrine), mitologi (mythology), etika (ethics), ritual (ritus), institusi sosial (sosial
institution) dan pengalaman keagamaan (religious experience).6 Dengan demikian
seharusnya agama dapat dikaji dari berbagai dimensi.
Wilfred Cantwell Smith seorang ahli Ilmu Perbandingan Agama yang terkenal
dengan teori personalisasi (personalization) dapat mengkaji agama pada aspek
pemahaman doktrin dengan metode perbandingan. Pemahaman doktrin agama
dalam masyarakat termasuk pemahaman seseorang terhadap nilai dan norma,
karena agama merupakan salah satu sturuktur institusional penting yang
melengkapi keseluruhan sistem sosial.7 Setiap agama pada umumnya menawarkan
nilai dan norma berupa ajaran yang mirip sama tentang moral, keselamatan,
kemanusiaan, perdamaian batin individu agar manusia menjadi beradab. Ajaran
atau doktrin dari masing-masing agama senantiasa merupakan pedoman atau aturan
bagi pemeluk agama. Masing-masing penganut agama tertentu meyakini kebenaran
terhadap ajaran agama yang dianutnya.
5 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life. Oxford University Press, US, 2001,
hlm, 5 6 Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline, Fortress Press Minneapolis, USA,
1995, p. 308. 7 Thomas F. Ode’a, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Terjemahan Tim Yasogama, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995, cet. ke-6, hlm. 1.
Ternyata Agama yang dianggap sering diklaim memiliki kebenara absolut itu
bisa dikaji dengan metode perbandingan. Bagi Smith, hubungan agama Kristiani
dan Islam dapat dikaji dengan melihat hubungan paralel atau hubungan
proporsional dari unsur-unsur kedua agama tersebut termasuk dimensi doktrin atau
teologi yang dimiliki masing-masing agama. Agama tidak hanya memiliki
perbedaan tetapi juga memiliki kemiripan doktrin antara agama satu dengan agama
lainnya. Fenomenanya adalah hasil pemikiran Smith tentang beberapa persamaan
dan perbedaan antara Kristiani dan Islam yang ditulis dalam berbagai buku.
Kajian agama yang dilakukan Smith melahirkan teori personalisasi. Teori
Personalisasi yang diungkapkan Smith digunakan untuk dialog agama yang
menekankan sikap yang harus digunakan dalam menghadapi agama lain yaitu sikap
yang menganggap orang lain sebagai bagian dari “kita” atau dalam bahasa Inggris
disebut “we”, bukan “it”, “you” dan “They”.8 Dia menyarankan kapada penstudi
agama untuk bersikap kesataraan dengan menggunakan kata “kita” atau dalam
bahasa Inggris disebut “we” sebagai puncak personalisasi. Sebagaimana dia
ungkapkan dengan ungkapan Bahasa Inggris, We all are talking with each other
about us.9
Pentingnya hasil karya Smith mengenai doktrin teologi Kristiani dan Islam
tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian. Ketertarikan penulis
dalam penelitian ini adalah adanya kecenderungan dari Smith mengkaji agama
pada aspek doktrin dan dengan metode perbandingan. Padahal banyak tokoh-tokoh
8 Romdon, 1996, hlm,12 9 Ibid
ahli ilmu agama lainnya mengkaji dari aspek sosial, dan budaya, filsafat dan
sebagainya dalam memahami agama.
Fenomena analisa perbandingan mengenai doktrin teologis antara Kristiani dan
Islam yang ditulis Wilfred Cantwell Smith menimbulkan masalah penelitian
sehingga perlu dikaji. Masalah penelitian itu adalah Bagaimana Pemikiran Wilfred
Cantwell Smith menganalisa beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi
Kristiani dan Islam? Masalah penelitian ini berupaya memahami konsep ajaran
agama Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred Cantwell Smith.
B. Rumusan Masalah
Perhatian dalam penelitian ini terfokus pada pemahaman atau pemikiran dari
Wilfred Cantwell Smith sebagai ahli Ilmu Agama mengenai beberapa persamaan
dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam. Fokus penelitian ini cenderung
pada deskripsi analisis mengenai perbandingan doktrin teologi Kristiani dan Islam.
Kajian ini termasuk kajian agama sebagai pemahaman,10 dan kajian agama sebagai
sistem budaya yang memiliki simbol,11
Simbol-simbol agama tersebut dijadikan cara dalam memahami atau
menafsirkan pemikiran agama mengenai konsep doktrin teologi Kristiani dan Islam
dari ahli Ilmu Agama yang dianggap penting dalam mengkaji agama. Deskripsi
analisis pemahaman Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan perbedaan
10 Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia,
Bandung, 2000, cet. ke-1, hlm.72. 11 Clifford Geertz, From the Native’s Point of View: On the Nature of Anthropological
Understanding, Paul Rabinow dan Wiliam M Sulivan (Ed.), Interpretive Sosial Science A Reader,
University of California Press, California, 1979, p. 228.
doktrin teologi Kristiani dan Islam dinyatakan dalam tiga rumusan pertanyaan.
Ketiga rumusan pertanyaan itu adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kronologis riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith,
termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya?
2. Bagaimana analisa persamaan dan perbedaan doktrin teologis
Islam dan Kristen menurut Wilfred Cantwell Smith?
3. Bagaimana implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai
persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam dalam Ilmu
Agama?
C. Tujuan dan Keguanaan Penelitian
Kegiatan penelitian ini merupakan proses pencarian pemahaman analisa
perbandingan ajaran Kristiani dan Islam menurut Ahli ilmu Agama berdasarkan
tulisan-tulisan yang dibuat Wilfred Cantwell Smith.
Menyadari hal tersebut tujuan penelitian ini tidak lepas dari pemahaman
Joachim Wach bahwa mempelajari agama atau bagian agama adalah dengan
maksud to understand meaning, bukan to know.12
Dengan demikian terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
yaitu untuk memahami,
12 Romdon, 1996, hlm. 2.
1. Kronologis riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith, termasuk
pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya.
2. Analisa beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologis
Kristiani dan Islam menurut Wilfred Cantwell Smith
3. Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan
dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam dalam Ilmu Agama.
Kegiatan ini diharapkan memenuhi kepentingan-kepentingan dan tujuan
tertentu yaitu untuk kepentingan akademik dan berupaya mengatasi persoalan sosial
keagamaan. Secara akademis penelitian ini memiliki keterkaitan dengan relevansi,
unik, penting dan menambah pustaka. Hasil penelitian ini diharapkan berguna
untuk menambah pustaka atau referensi dalam kajian agama menurut ahli ilmu
agama. Fenomena agama khususnya ide doktrin teologi Kristiani dan Islam sebagai
hasil penelitiannya di satu sisi, dan di sisi lain, ahli agama sebagai pengkaji agama.
Keduanya dapat dipahami dalam pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai
persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam sehingga perlu diteliti
guna menambah informasi.
Pengkajian mengenai pemikiran Wilfred Cantwell Smith sebagai ahli ilmu
agama penting untuk diteliti, karena untuk menambah wawasan akademik, dan
memelihara integritas sosial berdasarkan pemahaman keberagamaan. Secara
akademik, kajian ini relevan dengan jurusan Perbandingan Agama, karena Ilmu
Perbandingan Agama memiliki unsur kajian diantaranya pemahaman, doktrin,
ritual dan tokoh agama atau umat. Hal tersebut sesuai dengan hasil kajian agama
menurut Joachim Wach bahwa pengalaman keberagamaan dapat diungkapkan
dalam bentuk pemikiran, peribadatan dan kelompok sosial.13
Pemikiran ahli ilmu agama merupakan bagian dari kajian Ilmu Perbandingan
Agama secara literatur. Hal ini relevan dengan kajian keberagamaan (religious
studies), karena penelitian ini mengkaji agama sebagai kajiaan teoritis dari ahli Ilmu
Agama. Sebagaimana Capps ungkapkan, “Simply put, religious studies provides
training and practice (each an essential quality of a discipline) in directing and
conducting inquiry regarding the subject-fields) utilizes prescribed modes and
techniques of inquiry to make the subject of religion intelligible. This is its twofold
task: to discover as well as to elicit its subject’s intelligibility.”14
Penelitian ini termasuk kajian agama dengan cara dideskripsikan oleh ahli ilmu
agama. Sebagaimana lebih lanjut Capps uraikan bahwa agama dapat dikaji dengan
cara deskripsi atau dipertanyakan dengan kalimat, How shall religion be
described?15 Gambaran ini termasuk bagaimana cara mengkaji agama dari ahli ilmu
agama. Fenomenanya dapat dilihat dari tulisan-tulisan Smith mengenai beberapa
persamaan dan perbedaan Kristiani dan Islam dengan melihat aspek doktrinya.
Penelitian tentang doktrin teologi menurut Wilfred Cantwell Smith masih
terbatas kajiannya terutama di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang cara
memandang bentuk doktrin teologi Kristiani dan Islam. Apabila terdapat penelitian-
penelitian lain yang berkaitan dengan tema tersebut telah dilakukan peneliti lain,
13 Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, Terjemahan Djamannuri (Ed), PT. Rajawali Press,
Jakarta, 1978, Cet. Ke-5, hlm, VIII. 14Walter H. Capps, 1995, p. xiv. 15 Ibid.p.xvii.
penelitian ini dapat menambah informasi yang sudah ada terutama dalam aspek
pemahaman doktrin. Di samping itu penelitian ini diharapkan memberi
pengetahuan keherensi dan konvergensi antara pemahaman teori, khususnya Ilmu
Perbandingan Agama (religious studies) melalui pendekatan makna filosofis dari
gejala teks.
Selain itu, penelitian ini relevan dengan konteks pembangunan (reformasi)
nasional Indonesia. Dilihat dari keberadaan Wilfred Cantwell Smith sebagai ahli
Ilmu agama yang menggunakan metode perbandingan dapat dijadikan rujukan atau
referensi dalam berdalog antara muslim dan kelompok Kristiani. Penelitian ini
dapat memberi kontribusi informasi dalam dialog keberagamaan, karena terdapat
model interaksi agama. Model interaksi itu adalah interaksi antara doktrin teologi
Kristiani dan Islam yang diharapkan dapat berdampak pada tanggung jawab
manusia dalam memelihara integritas termasuk integrasi nasional yang menjadi
bagian tak tepisahkan dengan tanggung jawab global termasuk bagi para penganut
agama. Sebagaimana konsep Global Responsibility yang diungkapkan Hans Kung
diantaranya, tidak ada dialog keberagamaan tanpa mempelajari dasar agama-agama
(No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).16
Upaya-upaya mengintegrasikan peran masyarakat beragama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara tersebut dianggap penting, dan perlu mendapat perhatian,
karena upaya tersebut relevan dengan upaya memelihara integrasi bangsa yang
plural termasuk isu-isu agama.
16 Hans Kung, Global Responsibility in Search of A New World Ethic, Translated John Bowden,
Crossroad, New York, 1991, p. vii-xii.
Khusus bagi kelompok muslim Indonesia, karena posisinya dianggap sebagai
kelompok mayoritas, maka peran masyarakat muslim dituntut dalam pelaksanaan
perubahan yang telah diprogramkan oleh Negara. Dengan demikian usaha-usaha
yang mengarah pada upaya integrasi bangsa dianggap penting pula dalam program
pembangunan nasional yang berlandaskan norma-norma pluralisme dan
multikulturalisme atau Bhineka Tunggal Ika. Oleh karena itu penelitian ini
diharapkan menjadi salah satu referensi yang berguna untuk melihat isu
keberagamaan secara lebih dialogis, proporsional dan sosial-kultural. Karena
kemajemukan masyarakat Indonesia secara etnis dan agama akan memiliki pola-
pola hidup yang berbeda terutama akibat berbagai pengaruh yang ditimbulkan, baik
internal maupun eksternal masyarakat.
D. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini diawali dengan penemuan penulis mengenai masalah substantif.
Masalah substantif dalam penelitian ini adalah pemikiran Wilfred Cantwell Smith
tentang beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam.
Pemikirang Wilfred Cantwell mengenai doktrin Kristiani dan Islam dipahami
sebagai gejala agama, karena doktrin merupakan aspek dari kajian agama.
Pendekatan Smith mengenai agama adalah internalistik yang berupa teologi yang
merupakan pendukung dari ilmu agama atau Ilmu Perbandingan Agama.
Kemudian, penulis mendisain penelitian ini dengan beberapa pertanyaan untuk
dicari jawaban-jawabannya. Untuk mencari jawaban tersebut penulis menggunakan
kerangka teoritis atau teori-teori yang dikerangkakan (dikonstruksi). Rumusan
teoritis yang digunakan untuk memahami pemikiran Wilfred Cantwell Smith
mengenai beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam
adalah paradigama filosofis dengan pendekatan analisis tekstual.
Adapun paradigma content analisis atau analisis tekstual itu didukung dengan
paradigma filosofis.17 Penelitian dengan menggunakan analisis tekstual ini
digunakan karena bersentuhan langsung dengan teks, dan analisis isi yang
melibatkan pertimbangan fenomena di dalam teks.18 Melalui paradigma filosofis
penulis berusaha memahami pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai
persaman dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam.
Peran kerangka teori dalam penelitian ini sebagai persfektif. Ia digunakan
untuk menyelami proses penelitian, sebagai cara pandang dan untuk menafsirkan
atau memahami doktrin teologi Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred
Cantwell Smith. Pemahaman kerangka teori ini sesuai dengan peran teori sebagai
persfektif atau paradigma yang dijadikan sebagai sudut pandang untuk memahami
atau menafsirkan dan memaknai setiap fenomena, baik benda, tulisan maupun
orang dalam rangka membangun konsep.
Terdapat beberapa buku yang memuat pembahasan pemikiran Wilfred
Cantwell Smith mengenai agama. Buku-buku itu dianggap dapat membantu penulis
dalam penelitian mengenai doktrin Kristiani dan Islam dari pemikiran Wilfred
Cantwell Smith diantaranya, On Understanding Islam Selected Studies diterbitkan
17 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2001, cet. ke-1, hlm.129. 18 Jane Stokes, How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk melaksanakan Penelitian
dalam Kajian Media dan Budaya, terjemahan Santi Indra Astuti, Bentang, Bandung, 2006, cet. ke-
1, hlm, 59.
oleh Mouton di New York pada tahun 1981. Kitab Suci Agama-Agama yang
diterbitkan oleh Teraju di Jakarta pada tahun 2005. Islam dalam Sejarah Modern
yang terjemahan Abusalamah dan diterbitkan oleh penerbit Bhratara pada tahun
1962 di Jakarta merupakan kajian Islam yang cenderung dengan pendekatan doktrin
dan sejarah. Buku Memburu Makna Agama, yang diterjemahkan Landung
Simatupang, Penyunting, Ahmad Baiquni, diterbitkan di Bandung oleh Mizan pada
tahun 2004, dapat memberikan informasi dalam kajian ini.
E. Langkah-Langkah Penelitian
Penelitian ini memiliki prosedur penelitian yang disebut langkah-langkah
penelitian. Di dalam langkah-langkah penelitian ini menjelaskan bagaimana cara
yang digunakan penulis dalam penelitian ini. Sesuai derngan format penulisan
skripsi langkah-langkah penelitian ini terdiri atas metode penelitian, penentuan
jenis data yang dikumpullkan, sumber data yang diperoleh, cara pengumpulan data
yang akan digunakan, cara pengolahan dan analisa data yang akan ditempuh.19 Di
samping itu, penulis mencantumkan pula garis besar penulisan laporan, untuk
mengetahui gambaran yang akan dilaporkan dalam skripsi ini.
1. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode content analisis untuk mengkaji beberapa
doktrin Kristiani dan Islam yang bersumber dari buku-buku yang ditulis Wilfred
19Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Pedoman Penulisan
Skripsi, Laboratorium Fakultas Ushuluddin, Bandung, 2008, cet.ke-1, hlm.46.
Cantwell Smith. Penggunan metode content analysis ini sesuai dengan
pengertiannya yaitu metode yang digunakan dalam jenis penelitian yang bersifat
normatif, dengan menganalisis sumber-sumber tertentu.20
Metode analisis isi (content analysis) ini digunakan mengingat dari aksioma
yang timbul yaitu terdapat proses pemahaman dari Wilfred Cantwell Smith
mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam. Hal ini sesuai pula
dengan pemahaman Muhadjir bahwa content analisis berangkat dari aksioma studi
tentang proses dan isi komunikasi yang merupakan dasar bagi semua ilmu sosial.21
2. Jenis Data yang Dikumpulkan
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian dan tujuan penelitian, maka jenis
data dalam penelitian ini merupakan data yang benar-benar dapat menjawab
rumusan atau fokus permasalahan. Data tersebut berupa ungkapan-ungkapan yang
dideskripsikan melalui kata-kata atau tulisan-tulisan sebagai hasil pemikiran yang
terdapat dalam buku-buku pustaka. Terdapat tiga jenis data yang diperlukan.
Pertama, data yang berkaitan dengan kronologis riwayat hidup. Kedua, data yang
berkaitan dengan pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai beberapa persamaan
dan perbedaan doktrin teologi Kristiani dan Islam. Ketiga, data yang berkaitan
dengan implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan
perbedaan doktrin Kristiani dan Islam dalam Ilmu Agama.
20 Ibid, hlm. 47 21 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1996, Edisi III,
hlm. 49.
Pendekatan ilmu yang digunakan dalam penelitian ini adalah teologi, filsafat
dan Antropologi Budaya yang dijadikan pendukung dalam ilmu Perbandingan
Agama.
3. Sumber Pengambilan Data
Sumber data dalam penelitian ini merupakan bahan yang penulis gunakan
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sumber pengambilan data tersebut
diperoleh dari buku-buku, artikel dan situs Web. Sumber data tersebut terbagi
dalam dua kategori yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer
adalah buku-buku, artikel dan situs web yang ditulis Wilfred Cantwell Smith.
Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku atau artikel-artikel dan situs
web yang ditulis orang lain atau orang tertentu berkaitan dengan pemikiran Wilfred
Cantwell Smith mengenai doktrin Kristiani dan Islam. Kedua sumber tersebut
dijadikan bahan yang akan dikaji untuk menemukan jawaban-jawaban yang ditulis
dalam rumusan masalah penelitian.
4. Cara Pengumpulan Data yang Digunakan
Penulis mengumpulkan data berdasarkan, pada rumusan masalah, tujuan
penelitian, paradigma, teori dan metode penelitian. Penulis menggunakan cara studi
pustaka atau studi dokumentasi untuk menemukan data-data yang diperlukan.
Kajian pustaka ini sesuai dengan pemahaman Noeng Muhadjir bahwa kajian
pustaka seluruh substansinya memerlukan olahan filosofik atau teoritik dan terkait
dengan values.22
Untuk memperoleh jawaban yang diperlukan terdapat beberapa langkah dalam
menyusun pengumpulan data. Pertama, penulis menentukan beberapa buku, artikel
dan situs web yang dianggap bermanfaat dan relevan dengan pemikiran Wilfred
Cantwell Smith mengenai beberapa persamaan dan perbedaan doktrin teologi
Kristiani dan Islam. Kedua, penulis membaca beberapa judul buku, artikel dan situs
web tersebut dengan menyesuaikan dengan relevansi pertanyaan yang telah disusun
dalam rumusan masalah. Penulis memindai kandungan-kandungan bab-bab atau
bagian-bagian paragraf tertentu dalam tulisan di buku, artikel dan situs web yang
telah ditentukan. Dalam langkah ini penulis juga mencatat judul, penulis dan
perincian-perincian lainnya yang terdapat dalam sumber data tersebut, terutama
topik-topik utama yang diliput dan beberapa kalimat mengenai subyek yang
berkaitan pertanyaaan penelitian. Ketiga, penulis mengidentifikasi beberapa buku,
artikel dan situs web yang dianggap menjawab pertanyaan penelitian. Penulis
membaca buku, artikel dan situs web yang telah diidentifikasi sebagai sesuatu yang
relevan dan dianggap penting untuk menjawab pertanyaan penelitian.
5. Cara Pengolahan dan Analisa Data yang Ditempuh.
Tahap berikutnya setelah data terkumpul, penulis mengolah dan menganalisis
data tersebut. Tujuan analisis data adalah menyederhanakan seluruh data yang
22Ibid. hlm. 159.
terkumpul, menyajikannya dalam suatu susunan yang sistematis, mengolah dan
menafsirkan atau memaknai data yang diperoleh.
Untuk mengolah dan menganalisis data, penulis melakukannya berdasarkan
ciri-ciri tertentu.23 Pertama, teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang
telah dirancang. Kedua, teks diproses secara sistematis, di sini teks dipilih mana
yang termasuk dalam suatu kategori, dan mana yang tidak termasuk ditetapkan
berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan. Kategori yang digunakan dalam analisis
data ini adalah proporsional atau sebanding dalam menentukan persamaan dan
perbedaan. Ketiga, proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah ke
pemberian sumbangan pada teori, artinya ada relevansi teoritiknya. Keempat,
proses analisis tersebut didasarkan pada deskrisipsi yang dimanifestasikan.
6. Garis Besar Penulisan Laporan
Hasil penelitian ini dilaporkan dalam bentuk skripsi sebagai bukti
pertanggungjawaban penulis dalam kegiatan penelitian ilmiah. Adapun garis-garis
besar penulisan laporan hasil penelitian itu diantaranya; Bab Pertama mengenai
Pendahuluan. Di bab ini penulis menjelaskan, latar belakang masalah, rumusan
penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan langkah
penelitian. Bab Kedua tentang tinjauan teoritis mengenai agama dan sistem
keyakinan. Di bab ini penulis menjelaskan berbagai studi pustaka dan teori
mengenai agama dan sistem keyakinan. Di samping itu penulis juga menjelaskan
secara singkat agama Kristiani dan Islam. Bab Ketiga tentang pembahasan hasil
23 Ibid, hlm. 51.
penelitian. Di bab ini penulis mendeskripsikan dan menganalisis kronologis riwayat
hidup Wilfred Cantwell Smith, pemikiran persamaan dan perbedaan doktrin
Kristian dan Islam, dan implikasinya bagi ilmu agama. Bab keempat membahas
tentang kesimpulan dan saran. Di sub bab mengenai kesimpulan, penulis akan
menjawab beberapa pertanyaan penelitian secara ringkas sebagai jawaban singkat
dari pertanyaan penelitian. Sedangkan hal-hal yang diungkapkan dalam saran
penelitian ini, penulis mengajukan saran menyangkut hal-hal yang perlu dilakukan
oleh peneliti lain dalam penelitian selanjutnya yang belum ditemukan oleh penulis
dalam penelitian ini. Di samping itu, penulis mengungkapkan pula beberapa
komentar terhadap pemikiran-pemikiran Wilfred Cantwell Smith, baik mendukung
maupun mengkeritiknya berdasarkan fenomena yang ditemukan penulis di
lapangan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
AGAMA DAN RUANG LINGKUP SISTEM KEYAKINAN
Manusia sebagai makhluk yang memahami kesadaran spiritual dapat
mengungkapkan kesadarannya itu dalam bentuk agama. Dalam memelihara
kehidupan masyarakat, agama sangat diperlukan. Kontribusi nilai-nilai agama
sangat diperlukan terutama dalam upaya membangun etika yang diperlukan
masyarakat. Sebagaimana konsep Global Responsibility yang diungkapkan Hans
Kung bahwa ada beberapa pola dalam membentuk tanggung jawab dunia. Pertama,
dunia tidak akan bertahan tanpa adanya etika dunia (No survival without a world
ethic); Kedua, tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian keberagamaan (No
world peace without religious peace); Ketiga, tidak ada perdamaian keberagamaan
tanpa dialog keberagamaan (No religious peace without religious dialogue);
Keempat, tidak ada dialog keberagamaan tanpa mempelajari dasar agama-agama
(No religious dialogue without investigating the foundation of the religions).24
Dalam bab ini secara teoritis penulis mendeskripsikan pengeritian agama, teori
sistem keyakinan dan klasifikasi agama.
A. Pengertian Agama
Kata “Agama” terdiri dari dua perkataan yaitu kata “a” yang berarti tidak, dan
“gama” berarti kacau atau berantakan. Jadi arti “agama” itu adalah tidak kacau atau
tidak berantakan. Lebih jelas lagi arti agama itu adalah teratur atau peraturan.25
Istilah agama ini memiliki bermacam-macam pengertian. Seorang ahli agama telah
24 Hans Kung, Global Responsibility …, hlm, vii-xii. 25 Moenawar Chalil, Definisi dan Sendi Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm.19.
mengumpulkan 50 definisi agama, dan beberapa mahasiswa Fakultas Ushuluddin
dari sebuah perguruan tinggi telah berhasil mengumpulkan 98 definisi agama.26
Dengan demikian definisi agama itu berjumlah banyak. Namun penulis di bab ini
hanya menunjukkan beberapa definisi agama menurut beberapa ahli.
Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan agama dari bahasa asing yaitu
kata “relegere”, “religion, “religie” atau “religi” dan “din”. Kata “religi” berasal
dari bahasa Latin. Arti kata “relegere” adalah mengumpulkan dan membaca.
Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan. Ini
terkumpul dalam Kitab Suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain kata
itu berasal dari kata “religere” yang berarti mengikat. Ajaran-ajaran agama memang
mempunyai sifat mengikat bagi manusia.27 Sedangkan istilah “religi” berasal dari
bahasa Belanda dan kata “religion” berasal dari bahasa Inggris.28
Selain perkataan itu dalam bahasa Inggris istilah agama itu disebut ‘religion’
dan ‘religious’. Sedang dalam bahasa Arab disebut “din” dengan memanjangkan
“I”. Atau sempurnanya disebut “ad-Dien”.29
Dengan melihat pemahaman agama di atas, penulis menemukan tiga
peristilahan yaitu “agama”, “religi” dan “ad-Dien”. Menurut Endang Saifudin
Anshari bahwa dalam arti teknis dan terminologis ketiga istilah tersebut berinti
makna yang sama, walaupun masing-masing mempunyai arti etimologis dan
26 Djam’anuri. (editor), Agama Kita Persfektif Sejarah Agama-Agama Sebuah Pengantar Kurnia
Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, cet. ke-1, hlm. 27. 27 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, 1984, jilid ke-1, hlm.
10. 28 Endang Saifudin, Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama , Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hlm. 124 29 ibid.
sejarahnya sendiri.30 Dengan demikian, sekalipun yang berbeda itu hanya latar
belakang sejarahnya, namun sudah tentu dari perbedaan itu akan menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi yang berbeda dari masing-masing peristilahan tersebut.
Perkataan kata “ad-Dien” berasal dari bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an yang
sendiri berarti “millah”, “madzhab” dan “tadbier”. Muhammad Adnan pun
menerjemahkan kata “ad-Dien” itu adalah asy-syari’ah, ath-thoriqoh dan al-millah
yang dapat disaring dalam perkataan peraturan dari Allah swt.31
Sedangkan Harun Nasution menjelaskan kata “din” bahwa dalam bahasa Semit
kata itu berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata itu
mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.32
Secara rinci kata “dien” itu termasuk masdar dari kata kerja daana- yadinu.
Secara bahasa kata itu memiliki arti bermacam-macam diantaranya, cara atau adat
kebiasaan, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan Tuhan,
pembalasan, perhitungan, hari kiyamat, nasihat, dan agama.33 Tetapi secara umum
kata “dien” itu diartikan dengan undang-undang atau peraturan Tuhan yang mesti
ditaati dan dipatuhi oleh manusia.
Selanjutnya di dalam Al-Qur’an kata “dien” memiliki persamaan dengan kata-
kata lainnya diantaranya, kaata shirath (QS. al-fatihah: 5), hukum (QS. Yusuf: 76),
millah (QS. Al-an’am: 156), sabil (QS. An-Nahl: 125), al-Ibadah (QS. Al-Araf:
29).
30 ibid. 31 Muhammad Adnan, Tuntutan Iman dan Islam, Jakarta, 1970, hlm.9. 32 Harun Nasution, hlm. 9 33 Moenawar Chalil, hlm. 13.
Selain itu Harun Nasution menjelaskan bahwa intisari dari pengertian istilah-
istilah yang berkaitan dengan agama itu adalah ikatan.34 Menurut Harun, agama
mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Manusia
dalam kehidupan sehari-harinya sangat dipengaruhi oleh ikatan tersebut, karena
ikatan itu bersumber dari suatu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia dan
kekuatan itu bersifat gaib yang tak dapat dipahami dengan pancaindera manusia.
Munngkin ikatan itu cenderung dipahami secara rasional dan keyakinan.
Para ahli lain pun menjelaskan mengenai pengertian agama, termasuk para
sarjana agama. Para ahli tersebut diantaranya, Hasbi Ash-shiddieqy
mengungkapkan bahwa agama adalah suatu kumpulan peraturan yang ditetapkan
Allah untuk menarik dan menuntun para umat yang berakal kuat dan patuh akan
kebajikan, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan kejayaan,
kesentosaan di akhirat, negeri yang abadi mengecap kelezatan yang tak ada tolok
bandingannya serta kekal selama-lamanya.35
Ahmad Abdullah Al-Masdoesi pun menjelaskan pengertian agama dengan
bahasa Inggris, “Religion is code of life revealed to mankind from time ever since
the appereance of man in this is globe, and is embodied in its final perfect from in
the Holly Qur’an which revealed by God to His last apostle Muhammad Ibn Adb
Allah (pease be upon him), a code of life certain clear and complete guidance
concerning both the spiritual and the material aspects of life.36
34 Harun Nasution, hlm. 10. 35 Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I, Bulan Bintang, Jakarta, 1964, hlm. 17. 36 Ahmad Abdullah Al-Masdoosi, Living Religion of The world , Karchi, 1962, p. 7-8.
Mukti Ali seorang ahli Ilmu Perbandingan Agama Indonesia mendefinisikan
agama yaitu kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum yang
diwahyukan kepata utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia
dan di akhirat. Sedangkan Sidi Gazalba mendefinisikan agama hampir sama dengan
Mukti Ali yaitu sebagai kepercayaan pada dan hubungan manusia dengan yang
kudus, dihayati sebagai hakikat yang baik, hubungan itu menyatakan diri dalam
bentuk serta sistem dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.37
Secara rinci Endang Saepudin Anshari menjelaskan bahwa agama, religi dan
dien adalah suatu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya
sesuatu yang mutlak di luar manusia, dan suatu sistem ritus (tata peribadatan)
manusia kepada yang dianggapnya yang mutlak itu, serta sistem norma (tata
kaidah) yang menyatakan hubungan manusia dengan manusia dan hubungan
manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan termaktub.38
Sedangkan menurut WJS. Poerwadarminta bahwa agama merupakan segenap
kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dan sebagainya) serta dengan ajaran kebaktian
dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Misalnya Islam,
Buddha, Kristen.39
Di dalam kamus The Holy Intermediate Dictionary of American English,
sebagaimana dikutif oleh Nasruddin Razak bahwa religi dijelaskan sebagai Belief
37 Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara, Jakarta, 1962), hlm.
22. 38 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam Pustaka, Bandung, 1983), hlm, 9. 39 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985), cet. ke-
8, hlm. 18.
in and worship of God or the super natural.40 Artinya kepercayaan dan
penyembahan kepada Tuhan atau kepada Dzat yang Maha Mengatasi. Kamus
lainnya yaitu kamus The Advanced learning Dictionary of Current English tercatat
bahwa religi adalah Belief in existence of supernatural rulling power the creator
and controller of the continues to exist after the death of body. 41Artinya agama
merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan kodrat yang maha mengatasi,
menguasai, menciptakan dan mengawasi terus menerus keberadaan manusia setelah
mati.
Secara psikologi, Hidayat Nataatmaja menjelaskan arti agama sebagai
pedoman sempurna agar manusia mampu mengembangkan fitrahnya secara utuh.42
Ahli Psikologi lainnya Ogburn dan Nimhoff menjelaskan bahwa agama adalah
suatu pola kepercayaan, sikap-sikap emosional dan praktek-praktek yang dipakai
oleh sekelompok manusia untuk mencoba memecahkan soal-soal “ultimate” dalam
kehidupan manusia.43
Penjelasan agama tersebut mirip dengan penjelasan Immanuel Kant yang
dikutif oleh Hasanudin. Kant berpendapat bahwa agama adalah perasaan kejiwaan
manusia yang berdasar dan bersumber pada Tuhan.44 Penjelasan psikolog agama
lainnya sebagaimana disebutkan oleh William James bahwa agama merupakan
perasaan dan pengalaman batin insan secara individual yang menganggap bahwa
40 Nasruddin Razak, Dienul Islam, Al- Ma’arif, Bandung, 1981, hlm. 60. 41 Ibid., hlm, 61. 42 Hidayat Nataatmaja, Karsa Menegakkan Jiwa Agama, Iqro, Bandung, hlm. 129. 43 Rasyidi, Empat Kuliah Agama Islam di Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, Cet.
ke-2, hlm. 50. 44 A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kulia Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1982, hlm, 81.
mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sebagai Tuhan.45 Selain itu
dijelaskan pula bahwa agama merupakan suatu kata yang dapat digunakan untuk
menjelaskan emosi dan perasaan yang biasa.
Zakiah menjelaskan tentang agama dengan mengutif beberapa pendapat ahli
ilmu agama lainnya seperti Frazer, James Martineau, dan Mattegart.46 Frazer
mengungkapkan bahwa agama adalah kekuatan yang lebih tinggi dari pada
manusia, yaitu kekuasaan yang disangka oleh manusia untuk dapat mengendalikan,
menahan atau menekan kelancaran alam dan kehidupan manusia. Martineau
menjelaskan bahwa agama adalah kepercayaan kepada yang hidup abadi, di mana
diakui bahwa dengan fikiran dan kemauan Tuhan, alam ini diatur dan kelakuan
manusia diperbuat. Sedangkan Mategart berpendapat bahwa agama adalah suatu
keadaan jiwa atau lebih tepat keadaan emosi yang berdasarkan kepercayaan akal
kerahasiaan diri kita dengan alam semesta. Thoules menambahkan bahwa ketiga
definisi tersebut terdapat dalam pandangan ilmu jiwa umum, karena perasaan itu
dapat dibagi tiga segi yakni, tanggapan, emosi dan dorongan.
Tokoh lainnya yang berhaluan atheis seperti Karl Mark mengungkapkan bahwa
agama atau religion is the sigh of the pressed creature, the heart of heart less world,
just as at is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.47 Artinya
agama adalah keluh kesah makhluk tertindas, hati nurani dari dunia yang tidak
berhati, tepatnya bahwa agama adalah jiwa dari keadaan yang tidak berjiwa. Ia
adalah candu masyarakat. Pendapat Mark ini mungkin melihat realitas agama
45 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 30. 46 Ibid., hlm. 36. 47 Karl Mark and F. Engels, On Religion, p. 42.
menunjukkan peran yang melegitimasi masyarakat tertindas dalam memasuki dunia
modern. Agama yang dilihatnya terutama agama-agama di Erofa.
Goulson pun menyatakan bahwa agama adalah hasil dari pengaruh hubungan
khusus antara manusia dengan lingkungannya.48 Sedangkan menurut Khan, agama
adalah hasil produksi alam bawah sadar manusia dan bukan merupakan hal yang
mempunyai wujud dalam alam nyata.49
Agama sebagai refleksi dari keyakinan tidak hanya terbatas pada kenyataan
saja, tetapi juga refleksi dalam tindakan kolektivitas umat. Hal itu dipertegas oleh
penjelasan Koentjaraningrat bahwa refleksi cara beragama tidak hanya terbatas
pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam perwujudan tindakan
kolektivitas penganutnya atau dimensi religiusitas yang terangkum dalam empat
unsur. Pertama, emosi keagamaan, yaitu aspek keagamaan yang mendasar, yang
ada dalam lubuk hati manusia, yaitu menyebabkan manusia beragama menjadi
religius atau tidak religius. Kedua, sistem kepercayaan yang mengandung sistem
keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib,
makhluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematiaan. Ketiga, sistem upacara atau
Ritual keagamaan yang dilakukan oleh para penganutnya yaitu sistem kepercayaan
yang bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan atau
realitas mutlak. Keempat, umat atau kelompok keagamaan yaitu kesatuan sosial
yang menganut suatu sistem kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara
keagamaan.50
48 C.A. Goulson, Science and Christian Belief, Moskow, 1970, p. 4. 49 Waheeduddin Khan, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Pustaka, 1983, Bandung, hlm. 6. 50 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, UI-Press, Jakarta, 1987, hlm. 81.
Secara singkat hal tersebut dikemukakan pula oleh Harun Nasution bahwa
unsur-unsur yang terdapat dalam agama adalah kekuatan gaib, keyakinan manusia,
respon yang bersifat emosionil dari manusia dan paham adanya yang kudus (sacred)
dan suci.51
B. Teori Sistem Keyakinan
Sistem keyakinan merupakan salah satu unsur dari empat unsur agama atau
religi yaitu emosi keagamaan, sistem keyakinan, ritual keagamaan dan lembaga
keagamaan. Secara Antropologi Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa terdapat
tiga konsep yang berorientasi pada keyakinan religi. Pertama, teori Lang mengenai
Dewa Tertinggi. Teori ini dikemukakan oleh Andrew Lang (1844-1922). Dia
seorang satrawan Inggris yang pernah menulis buku berjudul, The Making of
Religion (1898). Di buku itu dia menjelaskan dua bagian yaitu gejala psikologi dan
keyakinan orang-orang suku bangsa primitif tentang tokoh dewa tertinggi. Di
bagian pertama buku itu dia menjelaskan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu
kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas
pikiran manusia yang rasional. Gejala-gejala gaib itu menurut dia lebih kuat pada
orang-orang bersahaja yang kurang aktif hidup dengan pikirannya, dibandingkan
dengan orang-orang yang cenderung bergantung pada berfikir rasional, seperti
sikap orang-orang Erofa. Di bagian kedua, dia menjelaskan suatu analis tentang
foklor dan mitologi suku-suku bangsa di berbagai daerah di muka bumi. Di dalam
mitologi suku bangsa itu, Lang menemukan adanya tokoh Dewa yang dianggap
51 Harun Nasution, Islam …, hlm. 11.
dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban
alam dan kesusilaan. Pemahaman atau keyakinan terhadap dewa-dewa itu menurut
Lang terdapat pada suku-suku bangsa yang masih rendah sekali tingkat
kebudayaannya yang dicirikan dengan hidup berburu atau meramu. Keyakinan
pada Dewa-Dewa tertinggi itu menurut Koentjaraningrat terdesak oleh keyakinan
pada makhluk-makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang,
hantu dan lain-lainnya.
Kedua, teori kekuatan luar biasa. Teori ini dikemukakan oleh R.R. Marett
(1866-1940). Dia seorang ahli kesusastraan Yunani dan Rumawi Kilasik, tetapi dia
banyak membaca karangan foklor dan etnografi yang ditulis para pendeta nasrani.
Dia menulis buku berjudul The Melanesians (1891). Di buku itu dia menjelaskan
tentang keyakinan orang Melanesia yang disebut mana yang dipancarkan oleh roh-
roh atau dewa-dewa, dan dapat dimiliki manusia. Menurut keyakinan orang-orang
Malanesia, orang yang memiliki mana adalah orang yang selalu berhasil dalam
pekerjaannya, berkebun, berburu, atau pekerjaan mencari ikan. Secara singkat
menurut Marett bahwa orang yang memiliki mana itu adalah orang yang berkuasa
dan mampu memimpin yang lain.
Marett mengajukan teori asal mula religi manusia bahwa pangkal religi adalah
suatu emosi atau getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap
hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa. Menurut manusia purba
bahwa gejala alam yang luar biasa dianggap memiliki kekuatan luar biasa pula. Hal
ini berarti kekuatan tak dapat diterangkan dengan akal manusia biasa dan ia disebut
kekuatan supernatural. Karena konsep ini dianggap membahas sistem keyakinan
manusia purba yang lebih tua dari konsep animisme maka konsep ini disebut
preanimisme.
Ketiga, teori animism dan spiritisme. Tokoh teori ini diantaranya A.C Kruyt
(1869-1949). Dia menulis berbagai buku. Salah satu judul buku itu berjudul Het
Animisme in den Indischen Archipel (1906). Di buku itu, dia tidak hanya menulis
tentang bentuk religi manusia kuno yang berpusat pada kekuatan gaib atau
supernatural, tetapi juga membahas zat halus yang memberi kekuatan hidup dan
gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Kruyt menyebut zat halus ini
dengan nama zielestof. Zat ini berada dalam berbagai makhluk termasuk di dalam
beberapa bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda.
Beberapa bagian tubuh manusia yang dijadikan tempat zat halus itu
diantaranya, kepala, rambut, kuku, isi perut, pusat, gigi, ludah, keringat, air mata,
air seni, darah dan kotoran manusia. Beberapa binatang yang dijadikan tempat zat
halus diantaranya, kunang-kunang, laba-laba, jangkrik, kupu-kupu, burung, tikus,
ular, dan harimau. Sedangkan tumbuh-tumbuhan yang mengandung zat halus
diantaranya, padi, nyiur, pohon aren, kampar, dan karet. Benda-benda yang biasa
mengandung zat halus atau zielestof itu seperti besi, batu, periuk dan benda-benda
pusaka. Menurut Kruyt keyakinan terhadap zat halus atau zielestof disebut
animisme.
Selain zat halus itu yang dimiliki makhluk hidup dan benda itu terdapat pula
makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Sebagian besar
makhluk halus tidak tinggal di tempat makhluk halus asalnya tetapi diam di
sekeliling lingkungan manusia seperti di pohon yang besar, mata air, persimpangan
atau di pelangi. Makhluk halus itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan mansia,
karena ia mempunyai kemauan sendiri, dapat bergembira apabila diperhatikan oleh
manusia, tetapi dapat pula marah apabila diabaikan. Sistem keyakinan mengenai
adanya makhluk-makhluk halus tersebut menurut Kruyt disebut spiritisme.
1. Kepercayaan Terhadap Hal Yang Gaib
Suatu konsepsi mengenai azas religi yang berorientasi kepada sikap manusia
dalam menghadapi dunia gaib atau hal yang gaib berasal dari ahli teologi Rudolf
Otto. Konsep itu diuraikannya dalam sebuah buku yang telah menarik perhatian
kalangan luas, berjudul Das Heilige (1917).
Menurut Otto, semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat
kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha-
dahsyat (tremendum) dan keramat (sacer) oleh manusia. Sifat dari hal yang gaib
serta keramat itu adalah maha-abadi, maha-dahsyat, maha-baik, maha-adil, maha-
bijaksana, tak terlihat, tak berobah, tak terbatas dan sebagainya. Pada dasarnya, sifat
dan azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia manapun juga, karena “hal
yang gaib serta keramat” itu memang memiliki sifat sifat yang sebenarnya tak
mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia. Tetapi dalam semua
masyarakat dan kebudayaan didunia, “hal yang gaib dan keramat” tadi, yang
menimbulkan sikap kagum-terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia, dan
mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya.
Faktor adanya religi menurut Otto adalah sikap kagum-terpesona, manusia
tertarik untuk bersatu dengan hal yang gaib, keramat dan tak dapat dijelaskan
dengan akal manusia itu. Hal itu nampak dalam pandangan Otto pada sub-judul dari
buku tersebut di atas, yang berbunyi, “Uber dan irrational in der idée des
gottlichen”. Teori itu sangat disetujui dan diterima oleh para ahli teologi dan
penganut agama. Namun menurut Koentjaraningrat, teori itu hanya cocok untuk
menerangkan sikap manusia yang menganut agama-agama besar seperti Islam,
Kristen, atau Katolik, tetapi tidak untuk menerangkan adanya ratusan sistem
kepercayaan dan religi yang kecil dalam masyarakat yang bersahaja. Otto tidak
berusaha untuk menerapkan teorinya terhadap sistem religi dan kepercayaan dalam
masyarakat bersahaja. Menurut Otto sistem religi dan masyarakat bersahaja belum
merupakan agama, tetapi hanya suatu tahap pendahuluan dari agama yang sedang
berkembang. Dia berusaha menerapkan konsepnya terhadap religi dan kepercayaan
manusia dalam masyarakat bersahaja ini, serta cara dia mempergunakan bahan
etnografi, menunjukan kelemahannya dalam ilmu antropologi menurut ahli
Antropologi. Meskipun demikian, teori tersebut masih dianggap penting, karena
menunjukan adanya suatu unsur penting dalam tiap sistem religi, kepercayaan atau
agama, yaitu suatu emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam, yang
disebabkan karena sikap kagum-terpesona terhadap hal hal yang gaib dan keramat.
Menurut Koentjaraningrat52 sistem keyakinan dalam religi berwujud pikiran
dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang
sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib (kosmologi), tejadinya alam dan dunia
(kosmogoni), zaman akhirat (escatologi), wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh
nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk-makhluk halus
52 Koentjaraningrat, Sejarah…, hlm. 81
lainnya. Selain itu sistem keyakinan itu menurut Koentjaraningrat menyangkut
sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan dan ajaran doktrin
religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
Sistem keyakinan itu umumnya terdapat dalam narasi suci yang berbentuk
tertulis maupun tidak tertulis. Narasi suci itu berisi ajaran doktrin, tafsiran,
dongeng-dongeng suci dan mitologi dalam bentuk prosa maupun puisi. Isi pesan
narasi suci itu menceritakan kehidupan yang dianggap roh, dewa dan makhluk-
makhluk halus dalam dunia gaib lainnya. Narasi suci itu biasanya dikumpulkan
dalam sebuah kumpulan tulisan yang sering disebut dengan Kitab Suci. Sistem
keyakinan ini menurut Koentjaraningrat terbentuk oleh emosi keagamaan yang
merupakan komponen utama dari gejala religi.
2. Bentuk Ungkapan Keagamaan Secara Intelektual
Sistem keyakinan merupakan bagian dari pengalaman keagamaan secara
teoritis. Secara umum Wach mengungkapkan bahwa pengalaman keagamaan atau
emosi keagamaan dapat diekspresikan dalam tiga bentuk yaitu teoritis, praktis dan
sosilogis.53 Pengalaman keagaman secara teoritis merupakan ungkapan
keberagamaan secara intelektual yang disusun secara sistematis.
Pengalaman keagamaan secara teoritis berkaitan dengan simbol. Kata
“simbol” berasal dari kata “symballien” bahasa Yunani. Kata ini berarti pertalian
yang spontan dan berkesinambungan antara dua bagian, yaitu bagian fisik konkrit
53 Joachim Wach, hlm.VIII
dan realitas yang bersifat spiritual atau diberi makna. Sombol ini dapat diuraikan
secara konseptual, menjurus pada perbuatan dan berfungsi secara integratif.
Menurut Wach pengalaman keagamaan yang diungkapkan secara intelektual
bisa bersifat spontan, belum mantap atau baku dan tradisional. Secara rinci unsur-
unsur ungkapan pengalaman keagaman teoritis secara intelektual itu diantaranya,
mite, doktrin, dogma, kredo, dan kitab suci.54
Ungkapan Steithal tetang mite sebagaimana dikutif Wach bahwa biasanya mite
dipahami sebagai sesuatu yang bertentangan dengan fakta, tetapi di balik mite itu
terdapat realitas-realitas atau fenomena asli kehidupan spiritual.55 Wach
menunjukkan bahwa di dalam mite tersebut terkandung persoalan-persoalan yang
perlu ditemukan jawaban-jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan itu diantaranya,
mengapa kita ada di sini? Dari mana kita datang? Untuk tujuan apa? Mengapa kita
melakukan ini? Mengapa kita mati?
Bentuk kedua ungkapan keagamaan secara intelektual adalah doktrin. Doktrin
ini merupakan penjelasan mengenai hal-hal yang terkandung dalam simbol yang
digambarkan mite secara sistematis. Doktrin ini ditetapkan sebagai norma dan
dipertahankan untuk menghindari dari penyimpangan. Perkembangan doktrin ini
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, keinginan untuk bertautan, suatu
dorongan yang sifatnya sistematis. Kedua, keinginan untuk memelihara kemurnian
pandangan. Ketiga, keinginan untuk tahu, kemauan untuk mengisi kehidupan.
54 Ibid., hlm. 98-146. 55 Ibid., hlm. 99.
Keempat tantangan keadaan. Kelima, adanya kondisi-kondisi sosial, terutama
adanya suatu pusat kekuasaan.
Pengetahuan tentang doktrin biasanya disebut teologi. Menurut Richardson,
teologi dan nalar bukan hanya menjadi sumber pengetahuan tentang Tuhan, tetapi
juga merupakan cara-cara intelektual untuk merumuskan dan melihat lebih jelas
kebenaran Tuhan.56 Hal tersebut sesuai dengan peran akal yaitu sebagai alat bantu,
penopang atau alat penghubung, dan sebagai alat kritik, baik kritik maupun
formulasi yang kreatif.
Dalam perkembangan pemikiran Islam, istilah teologi itu hampir mirip dengan
ilmu kalam. Ilmu itu berfungsi menegaskan dan menunjukkan rasionalitas iman.
Ilmu kalam ini berbeda dengan penerimaan yang tanpa bertanya atau taklid
berdasarkan otoritas seorang imam. Definisi Ilmu kalam menurut Ibnu Khaldun
adalah suatu disiplin ilmu yang memberikan sarana untuk menguji dogma iman
melalui argumen-argumen yang rasional dan menunjukkan kesalahan para
pembaharu yang berkaitan dengan iman yang dilakukan golongan tradisionalis.57
Esensi dari doktrin ini adalah pengakuan terhadap Keesaan Allah. Kelompok
Muslim yang menggunakan Ilmu Kalam ini umumnya menggunakan Al-Qur’an,
sunnah dan ijma sebagai sandarannya. Sedangkan kelompok Muslim yang liberal
lebih mengutamakan akal sebagai sumbernya atau sama kedudukannya dengan
sumber yang disebut sebelumnya. Menurut Muhammad Abduh seorang modernis
Islam bahwa akal dapat menguji bukti-bukti bagi keimanan dan aturan tingkah laku
56 Ibid., hlm. 104. 57 Ibid.
yang telah ditetapkan agama untuk mengetahui apakah benar-benar berasal dari
Tuhan. Dalam sejarah pemikiran Islam, timbulnya Ilmu Kalam ini dibentuk di
Madinah setelah masyarakat Muslim melakukan kontak dengan teologi Kristen.
Masa perdebatan ilmu kalam ini terjadi ketika kelompok Mu’tazilah
dipertentangkan dengan golongan mutakallimin. Sedangkan masa kejayaan ilmu
kalam ini adalah masa Asyariah dan sintesa pemikiran Al-Gadzali. Pemikiran al-
Gadzali ini diikuti oleh kelompok muslim konservatif dan selanjutnya memasuki
periode pemikiran modern.
Dengan demikian doktrin tersebut memiliki beberapa fungsi, penegasan,
penjelasan, pengaturan kehidupan normatif dalam melakukan pemujaan dan
pelayanan, dan fungsi pertahanan iman serta penegasan hubungannya dengan ilmu
pengetahuan yang lain (apologetic).58
Isi dokrtrin keagamaan berkaitan dengan masalah hakikat realitas mutlak
(teologi), alam semesta (kosmologi) dan manusia (antropologi). Realitas mutlak ini
terangkum dalam pembahasan mengenai Tuhan. Pembahasan alam semesta
menunjukkan kehidupan yang tidak mutlak di dunia. Fenomena manusia
merupakan fenomena yang terdapat di alam semesta.
Bentuk lain dari ungkapan pengalaman keagamaan secara intelektual adalah
dogma. Dogma ini mewakili sebuah norma tertentu. Dogma timbul apabila
wewenang sebuah kekuasaan menetapkan dan diakui secara jelas. Kata “dogma “
ini berasal dari bahasa Yunani yang berlawanan dengak kata “doxa” (pendapat).
Dengan kata lain dogma ini merupakan suatu keputusan di antara pelbagai macam
58Ibid., hlm. 103.
teologi. Dogma ini berkembang dan terdapat dalam berbagai agama, termasuk
agama Kristen dan Islam. Menurut Harnack bahwa terdapat sepuluh faktor yang
membantu pertumbuhan dogma dalam agama Kristen. Pertama, konsep-konsep dan
perkataan-perkataan dalam tulisan yang kanonik. Kedua, tradisi terdahulu yang
tidak dimengerti. Ketiga, kultus. Keempat, keinginan untuk menyelaraskan diri
dengan dunia luar. Kelima, faktor-faktor politik dan sosial. Keenam, ide-ide moral
yang berubah. Ketujuh, konsistensi logika. Kedelapan, harmonisasi
kecenderungan-kecenderungan yang terdapat dalam Gereja. Kesembilan,
penolakan doktrin-doktrin yang keliru. Kesepuluh, kebiasaan-kebiasaan.59
Fungsi dogma ini berfungsi untuk memberikan ketentuan dan kepastian yang
lebih jelas terhadap keyakinan-keyakinan agama, namun tidak sulit dengan
ketepatan dan ketegasan akan timbul adanya bahaya-bahaya ketegaran dan
kemandegan.60
Dogma-dogma dalam agama itu diungkapkan dalam pengalaman keagamaan
dalam bentuk kredo. Semua agama besar dunia memiliki kredo yang dirumuskan
oleh para tokoh-tokohnya melalui kutipan-kutipan dari teks suci. Dalam agama
Kristen terdapat berbagai kredo sebagai bentuk pernyataan keimanan sesuai dengan
kelompok-kelompok keimanan yang prinsif. Selain kredo ekumene, ada pula kredo
agama Katolik Yunani, Katolik Romawi, dan Evangelis. Kredo evangelis dapat
dilihat menjadi bermacam-macam seperti Kredo Lutheran, Reformasi, Anglikan,
Presbyterian dan sebagainya.
59 Ibid. 60 Ibid.
Selanjutnya ungkapan keagamaan secara teoritis lainnya adalah Kitab Suci.
Kitab suci ini berasal dari ungkapan dari mulut ke mulut atau dari tradisi lisan.
Tradisi lisan itu dituangkan dalam cerita-cerita suci, nyanyian, doa dan menjadi
tulisan klasik atau kitab suci. Tradisi lisan sampai menjadi kitab suci itu mengalami
proses yang bertingkat, atau memiliki tingkatan-tingkatannya.
Buku-buku suci ini merupakan tulisan-tulisan yang mempunyai ciri mengikat
(normatif). Teks klasik atau kitab suci itu berfungsi untuk menggembirakan,
memperteguh keyakinan, dan untuk mendidik. Hal tersebut terlihat dari tulisan
kitab suci agama seperti Bibel, Al-Qur’an, Avesta, Weda, Ginza, Grath, Tripitaka
yang cenderung mengungkapkan norma kehidupan.
Untuk memahami kandungan isi pesan kitab suci itu dibutuhkan para ahli kitab
suci tertentu. Para ahli itu berperan menjelaskan makna dari kandungan kitab suci.
Dalam Kristen Katolik, jemaah agama ini merujuk pada para pastor secara hirarkis
yang bersumber pada Paus di Roma. Para penganut Kristen Protestan merujuk pada
tokoh-tokoh gerejanya, seperti Martin Luther dan Calvin. Para penganut Islam
merujuk pada hasil tulisan dari penafsir, seperti tafsir ibn Katsir, Kurtubi, Jalalaen,
al-Maraghi dan sebagainya.
Apabila perasaan keagamaan yang mulai terbentuk terus dipupuk dengan
kekuatan keyakinan (iman), maka kekuatan keyakinan tersebut dapat menyatu padu
dengan konstruksi kepribadian seseorang dengan penganutnya, sehingga dalam
perilaku dan tingkah lakunya merupakan pencerminan dari sistem keyakinannya.
Selain itu, sistem keyakinan bagi orang yang beragama secara fungsional turut
menentukan landasan moral dalam segala perilakunya. Karena itu dengan percaya
kepada Tuhan, hati manusia akan mendapatkan siraman ketentraman, ketenangan,
kebahagiaan, kedamaian dan dapat membangkitkan optimisme gairah kerja dan
segala perilakunya.
C. Klasifikasi Agama
Terdapat beberapa pengklasifikasian agama yang dilakukan para ahli agama.
Para ahli agama mengelompokkan agama-agama itu menjadi agama-agama besar
– agama kecil, agama wahyu-agama alam, agama konvensional - agama modern,
agama tinggi – agama rendah dan sebagainya. 61
Selain itu ada pula agama dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu agama
primitif dan agama yang telah meninggalkan fase keprimitifan.62 Agama yang
termasuk agama Primitif diantaranya dinamisme, animism dan politeisme.
Sedangkan Djam’anuri memilih pengklasifikasian berdasarkan bukan wahyu
dan wahyu, atau agama bukan semit dan semit.63 Kelompok agama yang termasuk
bukan wahyu atau bukan semit terbagi empat kelompok berdasarkan asal usul
bangsanya diantaranya, Bangsa Mongolis melahirkan Konfusianisme, Taoisme,
Shintoisme. Bangsa Arya memunculkan Hinduisme, Jainisme Sikhisme dan
Zoroastrianisme. Bangsa Missellaneous melahirkan Buddhisme. Bangsa
Paganisme melahirkan berbagai agama yang dikelompokkan dalam paganism.
Sedangkan kelompok agama yang termasuk agama wahyu atau agama semit
diantaranya Islam, Kristen dan Yudaisme.
61 Djam’anuri, hlm. 27. 62 Harun Nasution, hlm.11 63 Djam’anuri, hlm. 28.
Sesuai dengan objek kajian penelitian, penulis akan menguraikan secara
teoritis agama Kristen dan Islam. Kedua agama ini termasuk agama wahyu dan
semit.
3. Agama Kristiani
Secara kronologi Agama Kristiani lahir setelah lahirnya agama Yahudi.
Sebagaimana agama lalinnya kelahiran agama Kristiani sebagai reformasi dari
agama-agama sebelumnya. Kehadiran Yesus di dunia dianggap sebagai juru
selamat dan sebagai pendiri agama ini.
Secara umum agama Kristiani ini terbagi dalam tiga kelompok yaitu Katolik,
Kristen Protestan dan Kristen Ortodox. Masing-masing kelompok disebut sebagai
agama. Sering orang menyebut masing-masing agama tersebut dengan istilah
“Agama Katolik”, Agama Kristen” dan “Agama Kristen Ortodox”. Khusus untuk
Agama Kristen Protestan biasanya para penganutnya menyebut agama Kristen.
Pengklasifikasian ketiga agama dalam agama Kristiani ini muncul secara jelas pada
saat reformasi di dalam perkembangan agama Kristiani yang diwujudkan dengan
gerakan Marthin Luther.
Agama Kristiani ini bersumber dari Yesus dari Nazaret dan gerakan sosial
keagamaannya. Bagi penganut agama Katolik, hidup, ajaran dan kematian yang
dialami Yesus merupakan tindakan Allah melalui manusia. Para penganut Katolik
memahami tiga point penting berkaitan dengan Yesus. Pertama, pada pewartaan
Yesus, Dia adalah awal, akhir hidup dan memanggil Abraham dan Musa menyapa
manusia sehingga manusia tidak dapat mengelakkan jawaban (Kerajaan Allah).
Kedua, pada tindakan Yesus, Allah yang oleh Yesus disebut Bapak yang
menawarkan kehidupan-Nya kepada semua orang agar mereka punya hidup dalam
kelimpahan. Ketiga, pada kematian Yesus, orang Kristiani meyakini terbuka jalan
supaya segala yang hidup menemukan hidup dalam Allah. Dengan demikian
mereka yang tergabung dalam gerakan Yesus mengakui dan mengimani Allah yang
bertindak bersama manusia dalam sejarah manusia, dan mengakui Yesus sebagai
Kristus. Kristus dipahami oleh penganut Kristiani sebagai “juru selamat”, bahasa
Arabnya “al-masih”
Terdapat periodesasi sejarah yang dialami kelompok Kristiani. Pada abad I
sampai dengan abad II Masehi, penganut Agama Kristiani ini dengan sebutan
jemaat rumah. Mereka hidup di tengah-tengah dunia Yahudi, Yunani, dan Romawi.
Pada abad IV sampai dengan XVI Masehi, masyarakat Kristiani hidup dalam
Kekaisaran Roma-Jerman. Pada abad XVI sampai dengan XX, penganut Kristiani
dalam lingkungan Negara-negara termasuk Gereja Katolik dan banyak gereja lain
di seluruh dunia. Pada abad XXI Agama Kristiani hidup di tengah-tengah aneka
kebudayaan, agama dan pergulatan sosial politik.
Selanjutnya dasar iman Kristiani dapat dipahami dari ungkapan Thomas
Michel seorang tokoh Agama Katolik yang banyak belajar tentang agama Islam.
Dia mengungkapkan bahwa agama Kristiani didasarkan pada iman para rasul.64
Para rasul yang dimaksud dia adalah sekolompok murid Yesus khususnya
kelompok inti yang berjumlah dua belas orang yang dipanggil untuk mengikuti
64 Thomas Michel. Pokok-Pokok Iman Kristiani – Sharing Iman Seorang Kristiani dalam Dialog
Antar Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2001, hlm. 45.
Yesus dan terlibat dalam misi Yesus. Mereka hidup selama 1-3 tahun menyaksikan
perbuatan-perbuatan dan mendengarkan ajaran Yesus. Kelompok ini bersama
Yesus termasuk ketika Yesus dikhianati menuruth keyakinan orang-orang
Kristiani. Bahkan penurut pengakuan penganut Kristiani bahwa ada seorang murid
bernama Yohanes berada di bawah salib, ketika Yesus wafat.
Agama Katolik menurut Djam’anuri bersumber pada tiga sumber yang
berbeda.65 Pertama, hidup, keyakinan, dan usaha dari jemaat-jemaat sepanjang
sejarah. Di sini tradisi kitab suci berperan sebagai Kisah Awal Jemaat Kristiani.
Kedua, kesepakatan-kesepakatan antar jemaat tentang keyakinan iman yang
dirumuskan pada pertemuan seluruh pemimpin Katolik yang membahas keyakinan,
ritual dan kehidupan. Kesepakatan itu biasanya disebut konsili. Ketiga, tradisi tidak
tertulis menyangkut kebiasaan-kebiasaan dalam ritual dan moral.
Secara sederhana pokok-pokok ajaran Agama Kristiani termasuk Katolik,
Kristen dan Ortodox mengandung beberapa hal, diantaranya konsep Allah,
inkarnasi, Yesus, sebutan untuk Yesus, Trinitas, Maria, Penebusan, Gereja dan
Sakramen.66
Berkaitan dengan pokok-pokok ajaran Kristiani ini Thomas Michel
menjelaskan dengan sederhana. Orang-orang Kristiani meyakini bahwa Allah itu
abadi, Maha Kuasa, Maha Tahu, Pencipta alam semesta dan segala isinya,
penyelenggara kehidupan, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun,
Transenden sekaligus Imanen, Maha Besar dan Hakim bagi seluruh umat manusia
65 Djam’anuri, hlm. 77. 66 Thomas Michel., hlm. 45-79.
di Akhir zaman. Selain itu Allah memberi ganjaran dan hukuman yang abadi. Sabda
dan kebijaksanaan-Nya merupakan perwahyuan diri-Nya. Allah pun memiliki
pesan yang abadi, Sabdanya kekal, tidak diciptakan dan tidak terpisahkan dari
Allah.
Orang-orang Kristiani menyebut Bapa untuk memanggil Allah itu. Panggilan
Bapa itu merupakan istilah yang biasa digunakan oleh kalangan Yahudi untuk
menyebut Allah sebagai Bapak, dan umat Yahudi sebagai anak-Nya. Penyebutan
Bapa tersebut dapat dilihat dalam salah satu bagian kitab Mazmur Daud. Di sana
disebutkan bahwa Allah bersabda kepada bangsa Yahudi, “Kamu adalah anak-Ku,
hari ini Aku tinggal bersamamu.” Dalam kesaksian Hosea disebutkan, “Aku
memanggil anak-Ku (bangsa Yahudi) keluar dari Mesir.” Yesus pun menggunakan
itu dengan makna kedekatan hubungan dan kekeluargaan. Yesus mengajarkan
murid-murid-Nya untuk memanggil Allah dengan sebutan Abba (Bapa). Hal ini
bagi orang Kristiani menunjukkan bahwa Yesus memiliki hubungan afektif
semacam cinta kasih, sebagaimana hubungan anak-anak dengan ayah mereka
dengan memanggil Bapak. Pemahaman ini bagi mereka adalah makna metafora
yang diambil dari pengalaman manusiawi.
Konsep inkarnasi dipahami oleh penganut Kristiani sebagai penjelamaan.
Orang Kristiani berkeyakinan bahwa sabda Allah yang kekal diwahyukan dalam
pribadi manusia Yesus. Oleh karena itu, bagi orang Kristiani bahwa Yesus tidak
menyampaikan wahyu dalam bentuk kitab, melainkan diri Yesus itu telah menjelma
menjadi wahyu Allah, atau Yesus adalah wahyu Allah.
Pribadi Yesus mengalami siklus hidup sebagaimana manusia pada umumnya,
yaitu lahir, hidup dan wafat. Yesus lahir dari rahim Maria di Kota Nazareth. Maria
diakui oleh orang-orang Kristiani sebagai wanita perawan ketika melahirkan Yesus.
Dengan kata lain, Yesus dikandung atas kuasa Allah (Roh Kudus) dan dilahirkan
oleh perawan Maria. Yesus mengajarkan pesan-pesan pokok kepada rasulnya dan
pengikutnya selama hidupnya. Pesan itu berisi cara-cara hidup diantaranya,
bertobat kepala Allah, penerimaan kerajaan Allah, memerangi kuasa Setan,
mengampuni dosa-dosa atas nama Allah, menghibur orang sakit, bergaul dengan
para pendosa, mengkritik para pemimpin Yahudi, meramalkan krisis besar yang
melanda dunia, dan membentuk komunitas murid-murid untuk mewartakan pesan-
Nya kepada orang-orang lain.
Cerita luar biasa lainnya yang diakui para penganut Kristiani adalah Allah
membangkitkan Yesus setelah tiga hari wafat. Di sini orang Kristiani memahami
bahwa Allah membangkitkan Yesus dari mati. Yesus menampakkan diri beberapa
kali kepada para murid-muridnya dan kemudian diangkat ke surga.
Orang-orang Kristiani menyebut nama Yesus dengan beberapa nama,
diantaranya putera Allah, anak manusia, Tuhan, Kristus, Sang Sabda, hamba Allah,
penyelamat, nabi (pembawa pesan Allah kepada manusia terutama orang-orang
miskin), Imam perjanjian baru antara Allah dan manusia, Gembala yang baik,
jalan kebenaran, Citra Allah dan sebagainya.
Konsep Trinitas merupakan pemahaman teologi Kristiani untuk menunjuk
pada Tuhan Bapak, Yesus dan Roh Kudus. Konsep Trinitas ini dipahami orang
Kristiani sebagai konsep monoteisme Kristiani. Konsep Trinitas ini berbeda dengan
konsep Triteisme (tiga Tuhan). Ketika orang-orang Kristiani berbicara Trinitas, hal
itu bagi mereka selalu dalam rangka mengungkapkan Ke-Esa-an Allah.67 Salah satu
yang mendasari mereka memahami Trinitas adalah Kitab Perjanjian Baru dalam
Injil Matius ditulis, “Baptislah dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.”
Dalam Injil Yohanes, Yesus berkata, “Saya dan Bapa adalah satu.” Menurut
Thomas, hal ini memiliki makna kekhususan dan kedekatan hubungan dalam kasih,
kehendak dan perbuatan. Yesus diyakini orang-orang Kristiani melaksanakan
kehendak Allah sebagai Tuhan Bapak, karena segala yang dipelajari dan diketahui
Yesus, telah disampaikan Tuhan Bapak kepada Yesus. Namun di sisi lain Yesus
mengakui bahwa Tuhan Bapak lebih besar (lebih tinggi stratanya) dari Yesus.
Sebagaimana dikutif Thomas, “Bapa lebih besar dari Aku.”68
Sedangkan pemahaman orang-orang Kristiani mengenai Roh Kudus dipahami
sebagai Roh Allah. Bagi orang-orang Kristiani, Roh Kudus bukanlah ciptaan yang
terpisah dari Allah, tetapi Allah sendiri yang hidup dan berkarya dalam hati manusia
dan dalam alam raya ciptaan-Nya. Roh Kudus dipahami mereka sebagai kehadiran
Tuhan yang imanen, aktif berkarya di dunia ini. Dalam peristiwa proses kelahiran
Yesus, orang-orang Kristiani memahami bahwa Yesus dikandung dan dibimbing
dari kuasa Roh Kudus sampai Yesus tiba di gurun pasir. Sebagian pemahaman
orang-orang Kristiani menyatakan bahwa dalam Injil digambarkan bahwa Roh
Kudus turun ke atas Yesus dalam rupa burung merpati pada awal karya kenabian-
Nya.
67 Ibid., hlm. 57. 68 Ibid., hlm. 59.
Selain itu orang Kristiani memandang bahwa Roh Kudus membimbing dan
mengajar jemaat Kristiani untuk menyingkap misteri Allah dan memberi inspirasi
untuk penulisan Kitab Suci. Dalam kitab lainnya Roh Kudus pun sering disebut
sebagai penolong, Roh Kebijaksanaan, Iman, Semangat, Kasih, dan Kegembiraan.
Secara sederhana orang Kristiani memahami rumusan Trinitas sebagai dogma,
yaitu Allah yang satu dan sama menyatakan diri-Nya dalam tiga pernyataan.
Pertama, sebagai Pencipta yang Maha Kuasa dan Tuhan atas Kehidupan. Orang-
orang Kristiani menyebut-Nya “Bapa” atau “Bapa kami”. Kedua, sebagai Allah
yang mewahyukan Sabda Ilahi-Nya dalam diri manusia Yesus. Orang Kristiani
menyebut-Nya “Putera”. Ketiga, sebagai Allah yang hadir secara imanen, aktif,
dan memberikan daya hidup dalam alam raya. Orang Kristiani menyebut-Nya
“Roh Kudus”.
Pemahaman mengenai Maria, orang Kristiani tidak pernah menganggap Maria
sebagai isteri Allah, tetapi sebagai manusia dan wanita yang suci dan perawan.
Mereka meyakini bahwa Maria tidak pernah berdosa. Banyak orang memasang
gambar atau patung Maria di rumah maupuan di tempat lainnya. Mereka mengakui
bahwa mereka melakukan semua itu bukan untuk menyembah dia (Maria),
melainkan untuk menunjukkan kedekatan Allah saja. Selain itu mereka melakukan
itu untuk menunjukkan kedekatan dan penghormatan terhadapnya. Orang-orang
Kristiani biasa memohon Maria untuk berdoa kepada Allah bersama mereka dan
untuk mereka. Mereka percaya bahwa Maria yang mengandung Yesus dengan
kuasa Allah. Menurut pemahaman orang Kristiani bahwa pada saat Maria
mengandung Yesus, Sabda Allah yang kekal mewujud dalam daging Yesus. Oleh
karena itu orang-orang Kristiani menyebut Maria dengan Theotokos (Bunda Allah)
sebagai bentuk penghormatan. Namun hal itu bagi orang Kristiani bukan berarti
bahwa Allah yang kekal mempunyai ibu. Mereka meyakini bahwa Allah tidak
pernah menurunkan anak secara fisik.
Konsep lainnya dalam pokok-pokok ajaran Kristiani adalah Penebusan.
Orang-orang Kristiani memahami penebusan dengan mengkaitkan pada peristiwa
kematian Yesus. Bagi mereka terdapat tiga hal penting dengan kematian Yesus.
Pertama, kematian Yesus dipahami sebagai pembebasan dari kekuatan dosa
dan maut. Bagi mereka, Yesus hidup di antara kami dalam kesucian, mengajarkan
kasih, dan membuktikannya melalui pelayanan-Nya kepada orang miskin dan sakit,
mengajak orang untuk hidup benar dan taat pada Allah.
Kedua, kematian Yesus sebagai “silih” atau pelunasan atas dosa. Orang-orang
Kristiani memandang bahwa kerusakan berat yang terjadi di alam ini akibat
kesalahan atau ditimbulkan dosa yang melanggar kebaikan Allah dan tatanan moral.
Kerusakan ini merupakan sesuatu yang berada di luar individu yang melakukan
dosa dan hal itu mencemari seluruh umat manusia. Hal itu merupakan sumber
munculnya perasaan berdosa dan perlu disucikan. Dengan demikian bagi orang
Kristiani, Yesus telah membersihkan dosa-dosa itu dengan kematiannya. Yesus
dianggap orang Kristiani telah merobohkan tembok penyekat antara Allah yang
Maha baik dan manusia yang penuh dosa. Tindakan tersebut hanya bisa dilakukan
oleh Yesus yang tidak berdosa dan Yesus mampu menyatu dengan kebijaksanaan
Ilahi.
Ketiga, kematian Yesus dipahami orang-orang Kristiani sebagai kasih yang
memperbaharui. Mereka memahami bahwa kematian Yesus memiliki daya kasih
yang dapat menyentuh dan mengubah hati manusia sehingga kehidupan manusia
dapat diperbaharui. Sebagaimana disebutkan dalam Injil Yohanes bahwa “Tak ada
kasih yang lebih besar daripada orang yang menyerahkan nyawanya bagi saudara-
saudaranya.”
Ajaran pokok Kristiani mengajarkan pula tentang Gereja dan Sakramen. Kata
“gereja” dipahami orang-orang Kristiani pada dasarnya sebagai “jemaat Kristiani.”
Mereka tidak terlalu memahami kata “gereja” sebagai bangunan atau struktur
organisasi umat Kristiani. Mereka memahami bahwa keberadaan Gereja (Jemaat
Kristiani) di dunia ini menunjukkan karya yang telah, sedang, dan akan
dilaksanakan oleh Allah bagi umat manusia melalui manusia Yesus.
Sedangkan kata “sakramen” dipahami orang-orang Kristen sebagai suatu
kenyataan yang tampak yang menghadirkan rahmat penyelamatan Allah. Sakramen
ini bisa pula dipahami sebagai suatu tanda yang tampak dari karya Allah yang tidak
tampak. Secara umum dalam agama Kristiani termasuk dalam Gereja Protestan,
sakramen itu ada dua macam yaitu Baptis dan ekaristi. Tetapi dalam gereja Katolik
dan Orthodox terdapat lima macam sakramen lain, sehingga jumlah sakramen
menjadi tujuh macam diantaranya sakramen Baptis, sakramen penguatan,
sakramen perkawinan, sakramen Imamat, sakramen pengampunan dosa, sakramen
minyak suci dan sakramen ekristi.
Dalam kajian ini, Smith Cenderung lebih menekankan pada agama Kristen
Prostestan daripada Katolik dan Ortodox. Mungkin latar belakang agama yang
dianut keluarganya, keaktifan dia di gereja sewaktu remaja dan lingkungan Eropa
yang memiliki banyak penganut Protestan menjadi faktor penyebab dalam
kajiannnya.
4. Agama Islam
Istilah “Islam” merupakan nama agama yang memiliki makna sebagai
penyerahan diri, damai dan selamat. Istilah “Islam” tersebut berbeda dengan nama-
nama agama lainnya. Apabila agama Buddha, Khonghucu, Tao, dan Kristen
cenderung mengkaitkan nama agama itu dengan nama pendiri atau tokoh agama,
kitab dan tempat lahirnya agama, seperti agama Buddha dikaitkan dengan nama
pendirinya yaitu Shidarta Buddha Gautama. Agama Khonghucu dapat dikaitkan
dengan nama Khonghucu atau Confucu sebagai tokoh agama tersebut. Agama Tao
dapat dihubungkan dengan Tao sebagai Kitabnya. Agama Kristiani dapat pula
dikaitkan dengan Yesus Kristus sebagai pendiri atau tokohnya. Agama Hindu
dikaitkan dengan nama tempat yaitu lembah Hindustan. Sedangkan agama Islam
tidak dikaitkan dengan nama Muhammad. Dengan kata lain Agama yang dibawa
Muhammad itu adalah agama Islam, sehingga agama ini bukan Muhammadisme,
sebagaimana yang ditulis para orientalis.69
Kata “Islam” berarti “masuk dalam perdamaian” dan orang yang beragama
Islam disebut Muslim. Dengan kata lain seorang Muslim merupakan orang yang
membikin perdamaian dengan Tuhan dan dengan manusia. Hubungan perdamaian
69 H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung, 1993, cet.ke-2, hlm.
49.
manusia dengan Tuhan ditunjukkan dengan sikap tunduk dan patuh secara total
kepada kehendak-Nya. Sedangkan hubungan perdamaian dengan manusia tidak
hanya meninggalkan pekerjaan jelek dan menyakitkan orang lain, tetapi juga
berbuat baik kepada orang lain. Kedua hubungan tersebut merupakan esensi dari
agama Islam.
Pemahaman lainnya diungkapkan Harun Nasution. Dia memahami bahwa
Islam adalah agama dalam pengertian ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan
kepada manusia melalui seorang Rasul.70 Dia menegaskan bahwa Islam pada
hakekatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi
mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam memiliki berbagai aspek,
diantaranya aspek moral, mistisisme, falsafat, sejarah, kebudayaan dan sebagainya.
Adapun sumber dari ajaran-ajaran tersebut adalah Al-Qur’an dan Hadits. Dua
sumber ini dianggap sebagai sumber asli dari ajaran-ajaran Islam dalam segala
aspeknya. Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam, karena ia merupakan
Sabda Tuhan atau Kalamullah atau disebut wahyu. Sedangkan Hadits merupakan
cerita-cerita yang bersumber dari perkataan, perbuatan dan sikap Muhammad
terhadap persoalan kehidupan manusia. Terkadang Hadits ini disebut pula Tradisi
Islam. Di samping itu ada pula consensus para ulama dan pendapat ulama dijadikan
sebagai sumber hukum Islam.
Ajaran Islam yang terpenting adalah ajaran Tauhid. Ajaran Tauhid ini
merupakan pengakuan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran Tauhid ini
menjadi dasar untuk ajaran-ajaran lainnya seperti masalah kerasulan, wahyu, kitab
70 Harun Nasution, hlm. 24.
suci Al-Qur’an, soal percaya kepada ajaran Nabi Muhammad atau soal Mu’min dan
Muslim, soal yang tidak percaya seperti kafir dan musyrik, hubungan makhluk
(manusia) dengan khalik (pencipta), masalah hari akhir (surga dan neraka), dan
sebagainya. Dalam tradisi Suni ajaran Islam itu terangkum dalam rukun iman dan
rukun Islam. Rukun Iman berkaitan dengan kepercayaan kepada Allah, malaikat,
kitab, rasul, hari akhir dan takdir. Sedangkan rukun Islam berkaitan dengan
syahadat (kesaksian), shalat, zakat, puasa dan menunaikan ibadah haji.
Fenomena Agama Islam secara umum kini terbagi dalam kelompok besar yaitu
suni dan syiah. Berbeda dengan klasifikasi dalam Kristen, kelompok suni dan syiah
ini tetap dianggap muslim (beragama Islam) oleh kedua kelompok ini. Artinya
kelompok ini tidak melahirkan agama baru, melainkan aliran. Berbeda dengan
klasifikasi dalam agama Kristiani, dimana kelompok-kelompoknya melahirkan
agama baru.
Pembagian kelompok ini cenderung berdasarkan pada nuansa politik yaitu
pada saat proses pembentuk kepemimpinan setelah Nabi Muhammad meninggal
dunia. Kelompok Suni merupakan kelompok yang berorientasi pada pembentukan
kepemimpinan berdasarkan musyawarah. Kelompok ini mengakui kepemimpinan
empat sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali) setelah Nabi Muhammad
meninggal. Sedangkan kelompok Syi’ah merupakan kelompok yang cenderung
hanya mengakui kepemimpinan Ali saja sebagai pemimpin mereka. Kaum Suni
memahami bahwa kepala Negara tidak mesti dari keturunan Nabi melalui Fatimah
dan Ali. Kaum Syi’ah justru memahami dan meyakini bahwa hanya keturunan Nabi
yang boleh menjadi kepala Negara. Dari pemahaman ini berkembang pada
pemikiran tentang jabatan kepala Negara jaman sekarang. Di satu sisi meyakini
bahwa jabatan kepala Negara mempunyai sifat turun temurun dari bapak ke anak.
Di sisi lain memahami bahwa pengangkatan kepala Negara didasarkan atas
kesanggupan serta keahlian dan bukan atas keturunan.
Selain itu dalam aspek teologi, Islam memiliki berbagai aliran, seperti aliran
bercorak liberal, tradisional, tidak terlalu liberal, dan tidak terlalu tradisional.
Dalam aspek hukum Islam atau fiqh terdapat empat kelompok pemahaman
mengenai hukum Islam yaitu, Hanafi, Maliki dan Syafi’i, dan Hambali.
Pemahaman-pemahaman terhadap hukum Islam, ada yang menggunakan
tekstual atau tradisional dan ada yang bersifat kontekstual yang cenderung
menggunakan akal. Pemahaman yang bersifat tekstual yaitu pemahaman yang
langsung berdasarkan teks Al-qur’an dan Hadits. Sedang pemahaman kontekstual
yaitu pemahamn yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, tetapi aplikasinya
disesuai dengan konteks masyarakat tertentu. Dalam pemahaman kontekstual Al-
Qur’an dan Hadits berfungsi sebagai konfirmasi. Salah satu contoh yang cenderung
menggunakan tradisional menurut Mukti Ali adalah pengikut-pengikut Ahmad bin
Hanbal. Mereka berjuang berabad-abad lamanya menentang pemikiran-pemikiran
yang bebas yang berusaha untuk melampaui pemikiran-pemikiran ulama-ulama
yang lalu. Mereka pula menentang pemikiran-pemikiran ilmu kalam dan
pendekatan agama secara mistis.71
Khusus mengenai Islam di Indonesia, Harun menilai bahwa Islam di Indonesia
secara umum dikenal hanya pada aspek teologi dan aspek hukum. Itu juga orang
71 H.A. Mukti Ali, hlm. 9-10.
Indonesia melihatnya hanya dari satu kelompok saja. Dalam bidang teologi, hanya
aliran tradisionalnya terutama aliran jabariah yang mengajarkan fatalisme. Aliran
ini dapat menimbulkan kesalahfahaman bahwa Islam mengajarkan kesenangan
materi, karena sorga dan neraka diberi gambaran sebagai kesenangan materi dan
kesenangan jasmani. Sedang dalam bidang hukum Islam, hanya mazhab Safi’i yang
banyak dipelajari orang Indonesia. Sehingga Harun berkesimpulan bahwa
pengetahun orang Indonesia mengenai Islam tidak sempurna.72
Untuk menghindari kesalahfahaman dan untuk menyempurnakan pengetahuan
tentang Islam, Harun mengajukan adanya perubahan dalam memahami
pengetahuan Islam. Beliau mengajukan adanya spesialisasi atau mengetahui aspek-
aspek, dan aliran-aliran lain dalam Islam.
Pendapat lainnya Mukti Ali menjelaskan bahwa cara mendekati dan
memahami Islam dengan tiga cara, yaitu naqli (tradisional), aqli (rasional), dan
kasyfi (mistis).73 Pendekatan-pendekatan ini menurut Mukti Ali sudah ada dalam
fikiran Nabi Muhammad Saw dan terus digunakan oleh ulamg-ulama Islam setelah
beliau wafat. Pasang surut pendekatan ini sering berganti dan berbeda-beda
dilakukan para ulama hingga sekarang. Namun menurut Mukti Ali terdapat tradisi
yang kaku sekarang ini dalam memahami Islam yaitu tradisi yang dilakukan oleh
kalangan Wahabiyah di Arab Saudi dan Tariqat As-Sanusiyah di Afrika Utara.74
72 Harun Nasution, hlm. 34. 73 H.A. Mukti Ali, hlm. 9. 74 Ibid.
Agama Islam yang dikaji Smith dalam perbandingannya lebih pada kelompok
Islam Suni daripada Islam Syiah. Mungkin pergaulan Smith dengan orang-orang
Islam Suni yang menjadi faktor yang mempengaruhi kajiannya itu.
BAB III
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
BEBERAPA PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
DOKTRIN TEOLOGIS ANTARA KRISTIANI DAN ISLAM MENURUT
PEMIKIRAN WILFRED CANTWELL SMITH
Kata "persamaan" dan ”perbedaan” sering penulis dengar dan baca ketika
mengkaji sesuatu yang bersifat ilmiah melalui metode perbandingan. Banyak kajian
ilmiah yang memuat perbandingan antara sesuatu dengan sesuatu lainnya termasuk
dalam kajian agama. Dalam kajian Agama sering para ahli membandingkan unsur-
unsur agama yang satu dengan agama lainnya, seperti konsep ketuhanan,
keselamatan, kitab suci, pendiri agama, ritual, pengalaman keagamaan dan lembaga
atau komunitas sosialnya. Kajian agama melalui metode perbandingan yang banyak
dilakukan sebagian para pengkaji agama biasanya hanya pada hal-hal yang nampak.
Hal itu sepintas dirasakan sebanding atau proporsional, padahal hal itu tidak
proporsional. Contohnya perbandingan Yesus dengan Muhammad. Secara sepintas
hal itu sebanding atau proporsional karena keduanya dipahami sebagai pendiri
agama. Yang satu sebagai pendiri agama Kristiani dan yang satunya lagi sebagai
pendiri Islam. Tetapi apabila dipahami dari aspek pemahaman penurut
penganutnya, hal itu dapat dikatakan tidak sebanding. Yesus bagi orang Kristiani
dipahami sebagai sabda Tuhan atau wahyu, sedangkan Muhammad dipahami
sebagai nabi atau utusan Tuhan (bukan wahyu Tuhan), karena bagi orang Muslim
yang dimaksud wahyu itu adalah Al-Qur’an.
Namun ketika penulis mengkaji pemikiran Smith mengenai perbandingan
antara doktrin Islam dan Kristiani, penulis dapat memahami pentingnya
proporsional unsur-unsur agama yang berdasarkan pemahaman para penganutnya.
Smith menekankan pentingnya proporsional tersebut. Pemahaman agama menurut
penganutnya itu menjadi dasar proporsionalnya unsur-unsur agama jika unsur-
unsur agama tersebut dibandingkan. Baik doktrin Islam maupun Kristiani dapat
dianalisa melalui perbandingan dengan mengutamakan proporsional dari
pemahaman penganut kedua agama tersebut. Oleh karena itu untuk memahami
pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai perbandingan doktrin teologis antara
Kristiani dan Islam, dan sesuai dengan rumusan masalah penelitian, di dalam bab
III ini penulis akan menguraikan riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith termasuk
karya-karyanya, pemikiran mengenai persamaan dan perbedaan doktrin teologis,
dan implikasi pemikiran Smith tersebut dalam kajian agama.
A. Kronologis Riwayat hidup Wilfred Cantwell Smith
Wilfred Cantwel Smith adalah seorang teolog dan sejarawan agama yang lahir
di Toronto pada tanggal 21 Juli 1916, anak kedua dan bungsu dari seorang keluarga
yang berstatus ekonomi mapan. Dia seorang anak yang orang tuanya memiliki
perusahaan Ballpoint Parker di Kanada. Pada usia antara delapan dan tujuh belas
tahun dia memasuki Upper Canada College.
Keluarga Smith termasuk keluarga yang berada dalam bidang akademik
maupun dalam bisnis. Kakak Smith yaitu Arnold Cantwell Smith banyak berkiprah
dalam urusan diolomatik di Negara Kanada. Dia pernah menjadi duta besar Kanada
untuk pemerintah Mesir dan Uni Sovier. Dia pernah juga menjadi sekjen Negara-
negara persemakmuran bekas penjajahan kerajaan Inggris.
Keluarga Smith yang menganut agama Kristiani, sekte Presbitarian. Hali ini
menjadi faktor bahwa Smith termasuk orang yang taat dan saleh dalam menerapkan
ajaran agamanya. Smith adalah aktivis gereja yang dominan dan sangat fanatik
terhadap keyakinan yang dipegangnya, hal ini dipengaruhi oleh sikap keagamaan
dan pengalaman keagamaan yang telah menjadi sebuah kepribadian yang
melahirkan sikap “Close System” dalam menerima pendapat ajaran Kristiani dan
sekte yang lain. Biasanya setiap sekte dalam ajaran Kristiani mempunyai sikap
dominasi yang berlebihan, kadang menimbulkan konflik sosial dan politik.
Mungkin sikap tersebut dipengaruhi dengan semangat kebebasan beragama di
Eropa. Sikap kompetitif antara sekte, yang juga berkembang dan teralami oleh
Smith dalam kehidupan sebagai seorang yang beragama. Terkadang muncul sikap
emosi dan sikap menyudutkan diantara para penganut sekte-sekte agamanya itu.
Keluarga Smith yang menganut agama Kristiani dalam anggota keluarganya
itu bersifat plural. Ibunya adalah penganut aliran Kristiani metodis. Ketika masih
muda Smith memahami doktrin Kristiani metodis hanya sebatas literal dan hal ini
menajadi pengalaman berharga bagi dirinya. Smith kemudian memahami doktrin
tidak hanya secara literal, akan tetapi ia menafsirkan dan menjabarkan secara
intelektual dan terbuka.
Dalam melihat dan memahami agama tersebut, terkadang agama sebagai suatu
simbol dan realitas yang agung dan sakral. Dia memahami makna dan esensi dari
sesuatu simbolisasi itu. Simbol menyatakan atau mengekspresikan tentang arti
agama yang diwujudkan dalam pengembangan institusi. Sikap agama mewujudkan
kepemilikannya dan dijabarkan dalam doktrin teologi.
Ketika Smith menjelang dewasa, pemikirannya mulai mengalami perubahan
yang asalnya ortodoks, tapi kemudian dia mampu bersikap modern dan
semangatnya sangat terbuka dan pluralis. Dia tidak setuju tentang konsep
keselamatannya untuk orang Kristiani saja, tetapi menurutnya semua umat yang
beragama mendapatkan kasih sayang dari Tuhannya. Smith sangat memegang
semangat puritanisme Calvinistik, yaitu ajaran dalam agama protestan yang keras.
Konsep Smith tentang komunitas agama bukan merupakan milik suatu sekte
dalam agama, tetapi kebersamaan dan kesatuan agama. Hal ini yang menjadi titik
acuan bagi Smith untuk mengembangkan ide-ide mengenai agama. Sejak dia
memasuki jenjang perguruan tinggi, dia telah tertarik mengembangkan gagasan
ekumene, yaitu gagasan untuk menyatukan semua mazhab dalam melakukan misi.
Ide ini pertama dikembangkan sejak awal abad ke-20 dan sasarannya kepada
missionaries di luar negeri dan di kampus di mana Smith kuliah pada saat itu.
Kata “ekumene” berasal dari bahasa Yunani kuno yang berati rumah tangga,
semakin besar ruang lingkupnya, kata “ekumene” ini tidak hanya rumah tangga
dalam arti sempit, tetapi lebih luas lagi menjadi dunia. Namun, suatu hal yang
negatif dari ekumene adalah sikap yang berlebihan yang mengarah pada dominasi
dan eksploitasi.
Dilihat dari hasil karya-karyanya, Smith sangat memelihara tradisi humanistik,
yang memandang agama sebagai sesuatu yang hidup yang menurutnya agama
memiliki peranan untuk mengembalikkan hakikat manusia yang sesungguhnya.
Saat Smith masih sekolah di Upper Colledge dan di Lycee Champollion,
Grenomble, Prancis, Smith menunjukkan kemampuan dan otoritas di bidang bahasa
dan sejarah, sehingga banyak pengkajian dan studi agamanya menggunakan
pendekatan sejarah.
Pada tanggal 7 Pebruari 2000, dunia telah kehilangan salah satu ahli Ilmu
Perbandingan Agama yang sangat berpengaruh. Pada waktu itu Smith meninggal
dunia. Para kolega menempatkan dia sebagai salah satu pemikir kajian keagamaan
secara perbandingan pasca perang dunia kedua.75
1. Kehidupan Karir
Ketika Smith masih kecil dia sekolah di Upper college dan Lyceee hampolion,
Grenoble, Prancis. Smith kemudian masuk perguruan tinggi dan menamatkan S-1
nya di Universitas Toronto, Kanada dalam bidang orientalis studies. Kemudian dia
melanjutkan studinya ke West Minister College Universitas Cambridge dalam studi
bahasa Arab sampai perang dunia ke-2. Pada selang waktu antara tahun 1941-1945
dia menyempatkan waktu untuk mengajar di India. Dari sanalah dia mendapatkan
kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan penganut agama-agama yang
lain.76
Sekembalinya dari india dia kembali ke Amerika dan di sana dia
menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Princeton dengan pembimbingnya
adalah Prof K. Hitti, dia diangkat menjadi professor untuk studi ilmu perbandingan
Agama di Universitas Mc. Gill Institute of Islamic Studies. Pada Tahun 1964 dia
menjadi direktur Harvard Unversity’s Center for the Study of World Relgions. Baik
di Harvard maupun di Mc Gill dia mengumpulkan para mahasiswa maupun staf
pengajar dari agama-agama besar yang dipelajari di sana dan meminta mereka
mengembangkan dan menguji teologi mereka dengan tujuan menyusun teori-teori
75http://news.harvard.edu/gazette/2001/11.29/27-memorialminute. html diundu
pada tanggal 14 januari 2012. 76 Adeng Muhtar Ghjali, hlm.141.
yang dapat diterima oleh orang Yahudi, Islam, Buddha, Kristiani dan yang lain guna
meyakinkan dalam tradisi akademis.
2. Karya Publikasi W.C. Smith
Terdapat beberapa bentuk karya ilmiah yang telah dihasilkan Smith,
diantaranya buku, dan artikel ilmiah. Di bawah ini terdapat sebelas buku penting
yang ditulis Smith diantaranya;
1. Modern Islam in India: A social Analysis. Lahore, Minerva, 1943. Edisi
Revisi: London V. Golanez, 1946. Buku ini diterbitkan kembali: Lahore,
Sh. M. Ashraf, 1963, 1969, New York, Russel & Russell, 1972; dan ditulis
oleh penyusun tak dikenal dengan Edisi tanpa ijin, diterbitkan di Lahore,
nama penerbit Rippon, tahun 1947 (dengan sebuah bab palsu “Towards
Pakistas”).
2. Pakistan as an Islamic State, Lahore, Sh. M. Ashraf, 1951.
3. Islam in Modern History, Princeton University Press, 1957. Diterbitkan
kembali di London, oleh penerbit Oxford University Press, 1958; di New
York, New American Library (mentor Books) tahun 1958; Princeton and
London, Princeton University Press (Princeton Paperback), 1977. Direkam
untuk orang buta, Inc, Washington, 1973. Diterjemahkan ke dalam Bahasa
Arab, (diterbitkan tanpa ijin 1960, disusun 1975), Bahasa Swedia, 1961,
Bahasa Prancis, 1962, Bahasa Indonesia 1962-1964, Bahasa Jerman, 1963;
Bahasa Jepang 1974; Beberapa bagian buku itu diterjemahkan ke bahasa
Urdu (1958-1959, 1960) dan bahasa Arab, 1960.
4. The Faith of Other Men, Toronto, Canadian Broadcasting Corporation,
1962. Edisi diperluas; New York, New American Library, 1963. Diterbitkan
kembali: New York, New American Library (Mentor Books), 1965:
London, New English Library (mentor Books), 1965: New York and
London, Harper & Row (torcbook), 1972. Diterjemahkan kedalam bahasa
Swedia, 1965. Bab II berjudul (The Christian in a Religiously Plural World)
dicetak ulang dalam Religious Diversity (infra) dalam bentuk rangkuman,
juga dalam tulisan John Hick dan Brian Hebblethwaite, ditambahkan
Christianity and Other Religions, London, Collins, fount Paperback, 1980.
5. The Meaning and End of Religion: A New Approach to the Religious
Traditions of Mankind, New York, Macmillan, 1963. Diterbitkan kembali:
New York, New American Library (mentor Books), 1964: London, New
English Library (Mentor Books), 1965; San Pransisco, Harper & Row, dan
London: SPCK, 1978.
6. Modernization of A Traditional Society, Bombay, Calcutta, dll, Asia
Publishing House, 1965. Bab I dicetak ulang dalam jumlah sedikit dalam
jurnal Religious Diversity (infra).
7. Questions of Religious Truth. New York, Charles Scribner’s Sons; dan
London, V.Gollancz Ltd., 1967. Diterjemahkan dalam Bahasa Jepang,
1971. Bab II berjudul Is The Qur’an the Word of God? Dicetak ulang dalam
jumlah terbatas dalam jurnal Religious Diversity (infra).
8. Religious Diversity, Willard G Oxtoby, ed, New York and London, Harper
& Row, 1976.
9. Belief and History, Charlottewile: Univesity Press of Virginia, 1977.
10. Faith and Belief, Princeton: Princeton: University Press, 1979.
11. Towards a World Theology, London, Macmillan, and Philadelphia,
Westminster, 1981.
Penulis menemukan duapuluh artikel umum yang ditulis Smith diantaranya,
1. The Comparative Study of Religion: Reflections on the Possibility and
Purpose of a Religious Science, di Mc Gill University, faculty of Divinity,
Inaugural Lectures (montreal, McGill University, 1950.
2. The Christian and the Religions of Asia, dalam: Changing Asia: Report of
the Twenty Eighth Annual Couchiching Conference: Sebuah proyek kerja
sama The Canadian Institute on Public Affairs dan the Canadian
Broadcasting Corporation (Toronto, Canadian Institute on Public Affairs,
1959). Dicetak ulang di Occasional Papers, Department of Missionary
Studies, International Missionary Council (World Council of Churches),
London, No. 5 (April, 1960), juga dalam Christianity’s Third Great
Challenge, The Christian Century 77: 17 (April, 17, 1960). Dicetak dalam
bentuk rangkuman, The Beacon, London 39 (1962).
3. Comparative Religion: Whither and Why? dalam Mircea Eliade dan Joseph
M. Kitagawa editor, The History of Religions: Essays in Methodology
(Chicago, The University of Chicago Press, 1959), pp 31-58. Dicetak ulang
dalam bentuk rangkuman dalam jurnal Religious Diversity (supra).
Diterjemahkan dalam bahasa Urdu, 1962, Bahasa Jepang 1962 dan Jerman
1963.
4. Mankind’s Religiously Divided History Approaches Self-consciousness,
Harvard Divinity Bulletin 29:1 (1964), pp. 31-58. Dicetak ulang dalam
bentuk rangkuman dalam jurnal Religious Diversity (supra). Diterjemahkan
dalam bahasa Jerman 1967.
5. Scularism: The Problem Posed, Seminar, New Delhi, 67 (1965).
6. Religious Atheism? Early Buddist and Recent American. Milla wa Millaa,
Melbourne, 6 (1966).pp 5-30. Dicetak ulang dalam, John Bowman, Editor,
Comparative Religion: The Charles Strong Trust Lectures 1961-1970
(Leiden, E.J Brill, 1972).
7. The Mission of the Church and the Future of Missions, dalam George
Johnston anf Wolfgang Roth, Editor, The Church in the Modern World:
Essays in Honour of James Sutherland Thomson (Toronto, the Ryerson
Press, 1976).
8. Traditional Religions and Modern Culture, dalam Proceedings of the XIth
International Congress of the International Association for the History of
Religions, vol. I. The Impact of Modern Culture on Traditional Religions
(Leiden, E. J. Brill, 1968). pp. 55-72. Dicetak ulang dalam bentuk
rangkuman dalam Religious Diversity (Supra).
9. Secularity and the History of Religion, dalam Alberth Schilitzer, editor, The
Spirit and Power of Christian Secularity (Notre Dame and London,
University of Notre Dame Press, 1969).
10. Studies of Religion in a Global Context, dalam Study of Religion in Indian
Universities: A Report of the Consultation Held in Bangalore pada bulan
September, 1967 (Bangalore), Bangalore Press, n.d 1970.
11. Participation: The Changing Christian Role in Other Culture, Occasional
Bulletin, Missionary Research Library, New York, 20:4 (1969) 1-13.
Dicetak ulang dalam Religion and Society, Bangalore, 17:1 (1970) 56-74,
dalam bentuk rangkuman dalam Gerald H. Anderson and Thomas F.
Stransky, editor. Mission Trends No. 2 (New York, Paulist Press, and Grand
Rapids, Eerdamans, 1975, pp.218-229, dan dalam Religious Diversity
(supra).
12. A Human view of truth, SR: Studies in Religion/ Sciences Religieuses I
(1971), 6-24. Dicetak ulang dalam John Hick editor, Truth and Dialogue:
The Relationship between World Religions (London, Sheldon Press, 1974;
Truth and Dialogue in World Religions: Conflicting Truth-Claims
(Philadelphia, Westminster Press, 1974) pp. 20-44, dengan edisi baru,
Conflicting Truth Claims: A. Rejoinder, pp. 156-162.
13. Programme Notes for a Mitigated Cacophony (Sebuah artikel pandangan
terhadap R.C Zaehner, Concordant Discord, 1970), The Journal of Religion
53 (1973).
14. On “Dialogue and Faith”: A Rejoinder (To Eric J. Sharpe, “Dialogue and
Faith, dalam masalah yang sama), Religion 3 (1973), 106-114.
15. The Finger that Points to the Moon: Reply to Per Kvaerne (Kvaerne,
Comparative Religion: Weither and Mhy?” A Reply to Wilfred Cantwell
Smith, dalam masalah yang sama, Temenos, Helsinki, 9 (1973) 169-172.
16. World Religions (dalam bagian, What’s in Store for 74? Looking Ahead in
Various Areas of Contemporary Life), The Christian Century, 91:1 (1974).
17. Religion as Simbolism, Introduction to Propaedia, Part 8 Religion,
Encyclopaedia Britannica, 15 th, (Cicago, Encyclopaedia Britannica, 1974),
vol. 1. pp. 498-500.
18. Methodology and the Study of Relgion: Some Misgivings, dalam Robert D.
Baird editor, Methodological Issues in Religious Studies (Chico, Calif.,
New Horizons Press, 1975), pp.1-25. (Discussion, pp 25-30. “Is the
comparative Study of Religion Possible? Panel Diskusi, dengan Jacob
Neusner, Hans H. Penner, pp. 95-109, tanggapan, pp. 123-124.
19. An Historian of Faith Reflects on What We are Doing Here, dalam Donald
G. Dawe and John B. Carman, Editor, Christian Faith in a Religiously
Plural World (Maryknoll, New York, Orbis, 1978), pp. 139-148.
20. Divisiveness and Unity, dalam Gremilion, Joseph editor., Food/ Energy and
the Major Faiths (Maryknoll, New York: Orbis, 1978),pp. 71-85.
Tulisan-tulisan Smith terdapat juga di artikel-artikel yang mengkaji Pendidikan,
Kajian Timur dan Barat, dan Budaya. Artikel-artikel yang memuat tulisan Smith itu
berjumlah delapan artikel diantaranya,
1. Achievement Test in History, Education, Lucknow, 24: 1 (1945) 57-62.
2. Objective Test in History, Education, Lucknow, 1945. Dicetak ulang dalam
The Punjab Educational Journal, Lahore, 1944.
3. The Place of Oriental Studies in a Western University, Diogenes no. 16,
1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956, Bahasa Jerman 1957 dan
bahasa Spanyol 1958.
4. The YMCA and the Present, Bulletin, National Council of Young Men’s
Christian Association of Canada, Toronto, 1960.
5. Non-western Studies: The Religious Approach, dalam A Report on an
Invitational Conference on the Study of Religion in the State University,
oktober 1964 di Indiana University Medical Center (New Haven, the
Society for Religion in Higher Education, 1965.
6. Objectivity and the Humane Sciences: A New Proposal, Transactions of the
Royal Society of Canada, Ottawa, royal Society of Canada, 1975. Dicetak
ulang dalam bentuk ringkasan dalam Religious Diversity (supra) dan
Claude Fortier et.al., Symposium on the frontiers and Limitations of
Knowledge/Colloque sur les frontiers et limites du savoir (Ottawa, royal
Society of Canada, 1975.
7. The Royal of Asian Studies in the American University, The plenary
address of the New York State conference for Asian studies, Colgate
University, Oktober 1975.
8. The University, artikel tinjauan terhadap Murray Ross, the University: the
Anatomy of Academy, New York, 1976, dan dalam Dalhousie Review,
thinking about Persons, Humanitas, 1979.
Secara khusus Smith juga menulis Artikel Tentang Islam. Di bawah ini terdapat
tigapuluh delapan artikel Islam diantaranya,
1. The Mughal Empire and the Middle Class: A Hypothesis, Islamic culture,
Hyderabad, 1944.
2. Lower Class Uprisings in the Mughal Empire, Islamic Culture,
Hyderabad, 1946.
3. The Muslim World, dalam one family , Toronto, Missionary Society of
the Church of England in Canada, volume 2 1947-1948.
4. Hyderabad, Muslim Tragedy, Middle East Journal, 1950.
5. The Muslim and the West, foreign Policy Bulletin, New York, 1951.
6. Islam Confronted by Western Secularims, Revolutionary Reaction, dalam
Dorotha Seelye Franck, editor, Islam in the modern world: A Series of
Address Presented at the fifth Annual conference on Middle east affairs,
Washington, Middle east institute, 1951. Diterjemahkan dalam Bahasa
Arab, 1953.
7. Modern Turkey- Islamic Reformation? Islamic Culture, Hyderabad,
1952. Dicetak ulang dalam bentuk ringkasan, Die Welt des Islams, 1954.
8. Pakistan, Collier’s Encyclopedia, 1953.
9. The Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, The Islamic
Literature, Lahore, 1953.
10. The Importance of Muhammad, Artikel tinjauan, the Canadian Forum,
1954.
11. The Intellectuals in the Modern Development of the Islamic World, dalam
Sydney Nettleton Fisher, editor, social Forces in the Middle East, Ithaca,
Cornell University Press, 1955.
12. Propaganda (Muslim), Twentieth Century Encyclopedia of Religious
Knowledge, grand Parids, Baker, Volume 2, 1955.
13. Ahmadiyyah, Encyiclopedia of Islam, new edition , Leiden and London,
E, J. Bill, 1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956.
14. Amir Ali, Sayyid, Encyclopedia of Islam, new edition, Leiden and
London, E, J. Bill, 1956. Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956.
Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956.
15. The Christian and the near East Crisis, The British Weekly, London,
no.3638 Desember, 1956. Dipublikasikan juga dalam The Presbyterian
Record, Toronto, 1957.
16. The Muslim World, (pamphlet), Urusan Aktual angkatan Perang Canada,
volume 10 no. 4, Ottawa, Departemen Pertahanan Nasional, 1956.
Diterjemahkan dalam Bahasa Prancis, 1956.
17. Islam in the Modern World, current History, 1957. Dicetak ulang,
Enterprise, Karachi, Januari, 4, 1958, Morning News, Karachi, april, 12,
1959.
18. Independence Day in Indonesia, The Mc Gill News, Montreal, Winter,
1957.
19. Aga Khan III, Encyclopedia Americana, 1958.
20. Law and Ijtihad in Islam: Some Considerations on Their relation to Each
Other and to Ultimate and Immediate Problems, Dawn, Karachi, Januari
5, 1958. Dicetak Ulang dalam Pakistan Quartely, Karachi, 1958, dan di
International Islamic Colloquium Papers, December 29, 1957, Lahore,
Punjab University Press, 1960.
21. Some Similarities and differences between Christianity and Islam:
an essay in Comparative Religion, dalam James Kritzeck and R. Bayly
winder, editor, the world of Islam: Studies in Honour of Philip K. Hitti
(London, Macmillan: and New York, St. Martin’s Press, 1959.
Diterjemahkan dalam bahasa Urdu, 1964.
22. India, Religion and Philosophy: Islam, Encyclopedia Americana, 1960.
Dicetak ulang dalam W. Norman Brown, editor, India, Pakistan, Ceylon,
Edisi Revisi (Philadelphia, University of Pannsylvania. Press: London,
Oxpord University Press, 1964.
23. Modern Muslim Historical Writing in English, dalam C.H Philips, Editor,
Historians of India, Pakistan and Ceylon (Historical Writing on the
Peoples of Asia, London Oxford University Press, 1961.
24. The comparative Study of Religion in General and the Study of Islam as
a Religion in Particular, dalam Colloque sur la sociologie musulmane:
Actes 11-14 September 1961.
25. Iblis, Encyclopedia Britannica, 1962.
26. The Historical Development in Islam of the Concept of Islam as an
Historical Development, dalam Bernard Lewis and P.M. Holt, editor,
Historians of the Middle East (Historical Writing on the Peoples of Asia,
London, Oxford University Press, 1962.
27. The Ulama in Idian Politic, dalam C. H. Philips, Editor Polities an Society
in India (London, George Allen & Unwin Ltd, 1963.
28. Druze, Encyclopaedia Britannica, 1963.
29. Koran (Qur’an), Encyclopaedia Britannica, 1964.
30. The Concept of Shari’a among some Mutakalimun, dalam George
Makdini Editor, Arabic and Islamic studies in Honor of Hamilton A. R.
Gibbs, Leiden, E. J Brill, 1965.
31. The Islamic Near East: Intelectual Role of Librarianship, Library
Quarterly 35, 1965. Dicetak ulang oleh Tsuen-Hsuin Tsien dan Howard
W. Winger, Editor, Area Studies and the Library, Chicago & Landon, The
University of Chicago Press, 1966.
32. The Crystalization of Religious communities in Mughul India, dalam
Mojtaba Minovi and Iraj Afshar, editor, Yad-name ye Irainis (sic)-ye
Minorsky (Ganjine-ye Tahqiqat-e Irani, no 57. Publication of Tehran
University, no 1241, Tehran, Intisharat Daneshgah, 1969.
33. The End is near, diterbitkan dalam Aziz Ahmad dan G.E von Grunebaum,
editor, Muslim self-Statement in India and Pakistan 1857-1968,
Wiesbaden, Otto Harrassowitz, 1970.
34. Orientalism and truth: A Public Lecture in Honor of T. Cuyler Young,
Horatio Whitridge Garrett Professor of Persian Language and History,
Chairman of the Departement of Oriental Studies, Princeton, Program in
Near Eastern Studies, Princeton University, 1969.
35. Arkan dalam David P. Little, editor Essays on Islamic Civilization
Presented to Niyazi Berkes, Leiden, E.J, Brill, 1976. Diterjemahkan
dalam Turkish, 1977.
36. Faith and Belief (some considerations from the Islamic instance), dan
Faith and Belief Journal of the Departement of Philosophy, university of
the Punjab, Lahore.
37. Interpreting Religious interrelations: An Hostorian’s View of Christian
and Muslim, dalam SR: Studies in Religion/ Sciences religieuses, 1976-
1977.
38. Tauhid and the Integration of Personality, Studies in Islam: Quarterly
Journal of the Indian Institute of Islamic Studies, New Delhi, 1979.
B. Analisa Beberapa Persamaan dan Perbedaan Doktrin Kristiani dan Islam
Smith menulis suatu pengalaman keagamaan yang berbeda dengan ahli agama
lainnya. Dia mengomentari pemahaman tokoh agama yang bernama Mani.
Sebagaimana dia ungkapkan, “tampaknya tidak seorang pun [pemuka religius besar
di dunia ini—kecuali Mani (216-277M) yang dikenal sebagai agama
Manichaeanisme] yang secara sadar dan terencana mendirikan suatu religi.”77
Argument ini menunjukkan adalanya faktor eksternal yang hadir dan “sama”
77 Wilfred Cantwell Smith. Memburu Makna Agama, Penerjemah Landung Simatupang, Penyunting
Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2004, hlm. 156.
sebagai subyek kelahirannya, Dialah Tuhan. Kemudian, manusia sesungguhnya
adalah hewan yang berTuhan.78
Agama dalam pengertian sekarang, menurut Smith datangnya belakangan.
Pengetahuan religi seseorang semestinya dibarengi dengan religi orang lain agar
paham makna “agama” secara “kelahiran dan tujuan.” Walaupun kata Smith, ‘tidak
semua pengamat percaya pada Tuhan dan tidak semua orang taat peduli pada
sejarah; tetapi sulit menghindari keduanya.79
Secara khusus Smith mengkaji hubungan proporsional antara Islam dan
Kristiani dalam sub judul, Muslim- Christian Relations: Some Similarities an Some
Differences Between Christianity and Islam.80 Smith mulai membandingkan
doktrin Islam dan Kristiani mengenai ungkapan “Kehendak Tuhan”. Menurut
Smith orang-orang Kristiani dan Islam menggunakan ungkapan ini, namun
menunjukkan konsep yang berbeda. Orang-orang Kristiani telah biasa
menggunakan ungkapan itu dalam doa-doa mereka, karena Kristus mengajarkan
mereka (orang Kristiani) dengan berkata, “Kamu akan diperlakukan”. Ungkapan
ini berkaitan dengan suatu aspirasi terhadap urusan duniawi sesuai dengan pola
yang lebih tinggi yaitu kedatangan Kerajaan Tuhan. Pemahaman tersebut menurut
Smith merupakan ungkapan yang penuh makna dan kehendak Tuhan memiliki
konotasi moral yang sangat besar. Bagi orang Kristiani berjuang untuk mencapai
kehendak Tuhan merupakan panggilan tertinggi –dan kegagalan besar jika tidak
berjuang. Smith menunjukkan imbangan konsep ini dalam Islam, dengan
78 Ibid., hlm. 202. 79 Ibid., hlm. 226. 80Wilfred Cantwell Smith, On Understanding Islam Selected Studies, Mouton, New York, 1981, p.
233.
menggunakan istilah yang bersifat teknik teologinya yaitu “ridha (ridwan, mardl)
yang berarti senang. Namun istilah yang lebih umum bagi orang Muslim menurut
Smith adalah amr (perintah).
Smith mengungkapkan perbandingan yang dilakukan orang lain. Seseorang
mungkin bersfekulasi menyusun hubungan, kehendak Tuhan dalam Kristiani
sebanding dengan Syariah (hukum) dalam Islam. Perbandingan ini menurut Smith
merupakan bersifat kasar, tetapi tidak berbahaya karena setiap orang akan melihat
kurang paralel dan barangkali hal ini merupakan seimbang sehingga mendorong
beberapa orang melihat hubungan parsial.
Smith menunjukkan dua kata yang berkaitan dengan istilah “kehendak Tuhan”
dalam Islam yaitu mashiah dan iradah. Sebagaimana menurut orang Muslim, Smith
menyatakan bahwa kehendak Tuhan bagi Islam bukan apa yang seharusnya
manusia kerjakan, tetapi apa yang seharusnya Tuhan kerjakan. Bagaimanapun juga
Kehendak Tuhan menurut Smith beroperasi, dengan sangat menarik. Kehendak
Tuhan itu akan tidak berarti dalam kegiatan berdoa, apabila kehendak Tuhan itu
sungguh-sungguh diperlakukan Tuhan. Pada kenyataannya, barangkali hal itu akan
menjadi lucu, atau kurang ajar, seseorang berkata ‘karena perbuatannya (manusia)”
terhadap kehendak Tuhan. Ini bukan konsep moral melainkan sesuatu yang
menentukan (determinist one).
Smith mengembangkan pemikiran kehendak Tuhan itu dengan proporsi orang-
orang Kristiani. Menurut Smith, imbangan atau perbandingan bagi orang-orang
Kristiani, mereka juga kadang-kadang menyebut kehendak (will) secara rancu,
tetapi masalah teologi hubungan perintah Tuhan dan mashiah-Nya sering
ditempatkan dalam lingkaran orang Kristiani dalam istilah pengetahuan Tuhan
(nasib, takdir, kedaulatan dan sebagainya). Bagi orang-orang Muslim kehendak
Tuhan merupakan apa yang terjadi dan telah diperintahkan Tuhan. Dalam istilah
manusia Kehendak Tuhan itu merupakan apa yang seharusnya terjadi. Smith
menegaskan pemahaman orang Islam bahwa seseorang bisa tidak memenuhi
perintah Tuhan, tetapi tidak bertentangan dengan kehendak-Nya.
Dalam istilah yang sangat umum, Smith mengungkapkan bahwa semua orang
bisa memohon. Seorang Muslim sesuai dengan ayat “Kamu akan diperlakukan”
sesuai dengan kata “Islam”. Seorang Muslim didefinisikan sebagai orang yang
menerima perintah untuk memiliki peraturan yang berlaku di bumi (sebagaimana
mereka kerjakan di Surga seperti orang-orang Kristiani tambahkan), untuk
memiliki kedatangan kerajaan-Nya (secara politik Negara Islam).
Bahkan terdapat dalam perkembangan sejarah dua gerakan keagamaan itu
akhirnya memiliki hubungan paralel yang rancu. Istilah Islam mulai bermakna
sebagai penerimaan aktif (kehendak untuk menerima pengabdian) kepada perintah
Tuhan. Hal itu merupakan awal penerimaan sikap aktif dari sikap pasrah menjadi
mashiah Tuhan. Hal ini akan menjadi menarik untuk menyelidiki perkembangan
dan meneliti hubungan yang mungkin tepat dengan kejatuhan agama dan budaya
Islam dalam abad baru-baru tertentu. Menurut Smith hal ini mungkin menjadi
imbangan teologi transisi dari aktifisme menjadi pasif.
Menurut Smith perbandingan Al-Qur’an dalam Islam dan Bible dalam
Kristiani sungguh masuk akal. Hal itu diakui secara luas, dan mungkin dikatakan
valid pada tingkatan pertama kira-kira. Namun penyelidikan lebih dekat
menunjukkan bahwa perbandingan itu menjadi terlalu sederhana. Smith telah
mengajukan perbandingan lebih internalistik. Secara mendasar dalam jiwa
keagamaan menurut Smith agak lebih valid yaitu perbandingan Al-Qur’an dalam
Islam sebanding dengan pribadi Yesus Kristus dalam Kristiani. Hubungan paralel
lebih lanjut, Smith membandingkan antara Muhammad dan Santo Paul (bagi katolik
Roma Santo Peter), dan antara Hadith dengan Bible. Smith Menunjukkan intinya
bahwa sentral sistem Islam yang berfokus pada wahyu itu adalah Al-Qur’an, yang
merupakan karunia Tuhan bagi manusia dan inti Agama. Muhammad merupakan
pribadi yang menyampaikan pesan ini kepada setiap manusia, mendakwahkannya,
dan implikasinya mengorganisir masyarakat yang diterimanya sebagai sesuatu yang
bersifat normatif. Komunitas ini secara bertahap tumbuh sebagai kesatuan literatur
yang memperhatikan secara lengkap dan implementasinya dijelaskan secara
lengkap pula bahwa pesan ini terangkum dalam sunnah nabawiyah. Smith
menyimpulkan, pemikiran itu menjadi jelas bahwa tiga unsur dalam skema yaitu
Al-Qur’an, Nabi (prophet) dan Hadits memiliki kedekatan atau sebanding dalam
Kristiani yaitu Yesus, Santo Paul (atau duabelas rasul atau sejaman dengan Santo
Paul) dan Bibel (khususnya Kitab Perjanjian Baru).
Menurut Smith, Bibel merupakan catatan wahyu, bukan wahyu itu sendiri.
Kebenaran sejati ini jelas telah merebut pemahaman secara lebih kuat dalam
pemikiran orang Kristiani baru-baru ini daripada kejadian pada masa lalu. Kejadian
itu dipertegas ketika seseorang memahami kesalahan penafsiran dari orang-orang
Muslim terhadap Kitab-Kitab Injil bahwa Tuhan telah mewahyukannya (Injil-injil)
kepada Isa (Yesus), sebagaimana dalam Al-Qur’an surat ke-57 ayat ke-27). Hal ini
tidak bisa, dan dianggap kesalahan oleh orang-orang Kristiani dan para sejarah
Agama. Hal itu mengakibatkan beberapa orang-orang Kristiani tersenyum dan yang
lainnya melakukan protes. Secara singkat hal itu menggambarkan bahwa sesuatu
telah menjadi masalah karena hubungan paralel antara Al-Qur’an dan Perjanjian
Baru atau salah satu dari empat kitab orang Muslim –termasuk beberapa orang
Kristiani, telah menjadikannya secara fasih. Sebenarnya hubungan paralel antara
Perjanjian Baru –khususnya empat Kitab Injil (perjanjian Baru), dengan Hadits
nampak menjadi dekat dengan pemikiran orang-orang. Apabila orang Muslim
mengatakan bahwa Yesus membawa Injil, sebanding dengan perkataan orang-
orang Kristiani bahwa Muhammad membawa sahthan atau al-kutubu al-sittah.
Smith melanjutkan perbandingannya dengan mengungkapkan bahwa
keselamatan dari dua tradisi keagamaan Islam dan Kristiani adalah dengan
keyakinan-keyakinan kepada Tuhan dan wahyu-Nya. Bagi orang Muslim
keyakinan itu adalah keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa. Keyakinan
itu tidak hanya dalam sebuah kitab tetapi apa yang kitab harus katakan. Apa yang
Al-Qur’an harus katakan itu secara fundamental adalah pentingnya sebuah moral
yaitu keyakinan yang bermaksud meluruskan dirinya sendiri secara aktif dengan
orientasi moral. Karena hukum itu menyangkut komunitas dan ummah, maka
hukum itu bersifat sosial. Hubungan paralel di kalangan orang-orang Kristiani,
menunjukkan bahwa keyakinan berada dalam Tuhan dan Kristus yang berarti hidup
dalam naungan Kristus, juga berhubungan atau berpartisipasi di dalam Gereja.
Kemudian terdapat pula hubungan lebih lanjut di tempat lain yang telah Smith
bayangkan, bahwa mediator antara manusia dan Tuhan dalam Islam adalah
kebajikan. Kebenaran sejati ini juga terdapat dalam Keyakinan Yahudi (bahkan
sebelum tradisi agama Semit). Oleh sebab itu St. Paul menitik beratkan bahwa
keyakinan Abraham (Ibrahim) terkandung baginya kebajikan dan tersedia juga bagi
para pendosa.
Hal ini mengarahkan orang beragama baik Muslim maupun Kristiani untuk
memahami hubungan paralel lainnya yang jelas dan standar, juga keduanya tidak
bisa disangkal antara peran teologi dalam Kristiani dan peran teologi dalam Islam.
Walaupun hal itu absah, Smith mengingatkan bahwa adanya bahaya akibat dari
terlalu penyederhanaan itu. Bagi orang-orang Kristiani, teologi sejak awal telah
menjadi sentral. Menurut Smith, orang-orang Kristiani bisa menduga kebenarannya
bahwa teologi dan doktrin adalah sentral juga dalam keyakinan lainnya. Memang
kadang-kadang ungkapan pertanyaan mereka mengenai agama-agama yang dianut
seseorang dapat diungkapkan dalam pertanyaan, Apa yang mereka yakini?
Walaupun apa yang orang-orang yakini itu secara nyata bukan masalah pokok
keagamaan, dan sering (dalam Mesir Kuno, dan Polinesia modern) dengan susah
menyamakan dengan masalah pokok itu. Hal ini dipersulit dengan kekacauan
menggunakan kata “keyakinan (belief)” pada kepercayaan yang sangat berbeda.
Untuk alasan tertentu, pengaruh tradisi Yunani terhadap perkembangan awal
Kristiani dan unsur terbesar Yunani dalam budaya Barat secara umum sangat
penting. Teologi telah memainkan dan terus memainkan peran yang sangan
dominan dalam Kristiani. Ungkapan intelektual dari keyakinan telah dianggap
sebagai ungkapan utama. Secara sederhana hal ini bukan masalah dengan Islam.
Semua pengkaji Islam hati-hati menganggap penilaian dari pernyataan Bergstrasser
bahwa ungkapan tegas dari keyakinan Islam adalah hukum. Menurut Smith begitu
banyak masalah ini yang dia argumentasikan dalam beberapa cara yang
menganggap bahwa hukum bagi Islam sejajar dengan teologi dalam Kristiani.
Smith menemukan para pengkaji Kristiani kadang-kadang dikagetkan ketika
mereka pertama kali menemukan bahwa para pemimpin keagamaan dari beberapa
orang Muslim telah menyangkal teologi sebagai materi studi yang tidak penting,
hanya selingan atau kesia-siaan manusia. Untuk melengkapi masalah tersebut,
Smith menjelaskan bahwa teologi (ilm al-kalam) bagi Islam sejajar dengan filsafat
agama bagi orang-orang Kristiani. Hal ini merupakan sesuatu yang serius, materi
pelajaran yang brilian bagi orang-orang yang memperhatikan soal tersebut. Hal itu
berguna sebagai pembelaan, tetapi bukan masalah pokok dalam perkembangan
utama, dianggap tidak penting, dan mengandung kecurigaan.
Hal yang sama mirip dengan jelas bahwa mesjid dalam Islam sejajar dengan
gereja dalam Kristiani. Pada awalnya mungkin hal itu dianggap benar. Tetapi
dengan lebih hati-hati, perbandingan terhadap mesjid adalah kapel (gedung gereja
dalam Kristiani). Mesjid adalah suatu kumpulan, lebih dari itu adalah sebuah
institusi yang bersifat eklesia (komunitas keagamaan). Perbedaan mendasar dalam
persoalan orang Kristiani kembali dengan sejarah. Hal itu nampak pada perbedaan
kehidupan keagamaan Yahudi dan awal munculnya Kristiani, antara tempat
beribadah cultic (Kristiani awal) dengan tempat beribadahnya tipe kumpulan yang
menjadi sinagog (tempat beribadah Yahudi). Gereja Kristiani memiliki kedua unsur
tersebut. Islam menyangkal kependetaan, tidak pernah mengenal tipe cultic
sehingga tidak pernah mengenal tempat ibadah itu kecuali semacam al- Haramain
(istilah itu berarti pencerahan, selain di dua kota ini, mesjid-mesjid di seluruh dunia
secara teknis tidak ditahbiskan pada bangunan-bangunan).
Poin ini bisa diteruskan lebih lanjut. Istilah gereja (Church) memiliki makna
sebagai bangunan lokal gereja, fokus jemaah atau kumpulan manusia, hanya
sebagai makna yang diperoleh. Makna utamanya adalah komunitas pribadi
(community of persons). Dalam teori atau aspirasi komunitas total orang-orang
Kristiani atau dalam praktek secara lebih jauh lagi merupakan kumpulan manusia
atau jemaah lokal seperti dalam Gereja Presbyterian, orotodox dan sebagainya.
Sebuah bangunan gereja lokal adalah sebuah gereja (dan bukan kapel) sejauh ia
memiliki persetujuan yang diformalkan dari komunitas yang lebih luas.
Seorang Kristiani adalah anggota suatu gereja. seorang Muslim bukan anggota
suatu mesjid. Terbukti telah disebutkan bahwa tidak ada pertentangan dalam Islam
mengenai gereja orang-orang Kristiani. Pada satu sisi poin ini valid, di sisi lain,
seseorang berargumen bahwa dalam beberapa cara secara khusus menganggap
berbagai macam gereja orang Kristiani (denomination) sebanding dengan
persaudaraan Sufi dalam dalam Islam. Dengan ketentuan-ketentuan tertentu, Smith
mengusulkan penyelesaian sementara dari persamaan kedua agama tersebut sebagai
berikut, Mesjid bagi Islam sejajar dengan kapel bagi Kristiani, tariqah (dengan
zawiyahnya dan sejenisnya) bagi Islam sejajar dengan gereja bagi Kristiani.
Jika ada kebenaran dalam tingkatan ini sejajar dengan tingkatan kedua, maka
(Smith yakin bahwa hal itu memiliki penilaian pembenaran sosiologi dan teologi).
Menurut Smith bahwa orang beragama dengan seketika mengakui dan menuntut
perbaikan lebih lanjut mengenai asumsi ketiga dan keempat atau lebuh lanjut. Salah
satu dari berbagai kesulitan yang mencolok adalah bahwa seorang Muslim tidak
perlu menjadi anggota sebuah tariqah, walaupun banyak orang dengan beberapa
cara, sepanjang sebuah struktur terkait (tapi tentu bukan dengan cara-cara lain)
hubungan paralel itu akan tergambarkan dengan sebuah oraganisasi semacam
keanggotaan YMCA yang didalamnya merupakan tambahan atau pilihan.
Penyelidikan bermanfaat, Smith mengusulkan bidang lainnya yang menjadi
pemikirannya bahwa ide petunjuk (huda) bagi sebagian kalangan Islam sejajar
dengan roh suci bagi Kristiani. Orang-orang Muslim kurang tertarik dengan teologi
ini. Sebagaimana Smith tegaskan, belum banyak mengembangkan sebuah doktrin
hidayah Allah, secara khusus hidayah-Nya bagi komunitas Muslim itu. Namun
dalam hukum, jika bukan teologi maka doktrin ijma merupakan salah satu
gambaran penghukuman (pendirian) bahwa Kekuasaan Tuhan (dalam beberapa
perasaan penebusan) berhadapan dengan orang yang tidak mengurung inisiatif
terdahulu-Nya dalam wahyu yang terang. Kasih dan sayang-Nya dalam kekusaan-
Nya membawa manusia untuk taat dan berhubungan erat dengan Dia, walaupun
puncaknya secara sejarah pengirimannya Al-Qur’an merupakan proses
berkelanjutan.
Tentu saja konsep roh dalam Kristiani memiliki hubungan kedekatan paralel
dengan Islam dalam ide petunjuk Tuhan (hidayah, al-Hadt) daripada dalam
beberapa ide yang dihubungkan dengan kata “ruh”. Hal ini menurut Smith
membawa kita pada hubungan paralel lainnya yang telah menimbulkan sangat
berkeingintahuan. Tentu saja dorongan keingintahuan dan jauh dari hal yang biasa
dibayangkan orang. Salah satu yang menunjukkan kepada Smith, mungkin secara
sementara digambarkan dalam kebiasaan antara pemikiran Trinitas Kristiani dan
nama-nama Tuhan dalam Islam yang Sembilan puluh Sembilan. Kemiripan itu
tidak begitu banyak di dalamnya sebagaimana dalam bentuk hubungannya.
Sekali lagi Smith mengusulkan bahwa sebuah analogi bagi suatu muslim
liberal, seorang sarjana literatur dengan gelar doktornya di London (Mani).
Kehebatan atas ketaajuban dan kecepatan penyangkalan dinyatakan, tetapi Smith
merasa tidak meyakininya. Muslim itu memiliki semacam suatu tradisi
meremehkan terhadap ajaran trinitas Kristiani yang secara mudah. Dia tidak bisa
menganggap masalah sebagaimana orang Muslim berhadapan dengan hubungan
Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang menimbulkan beberapa kesamaan bagi orang
Kristiani di bidang ini. Namun baru-baru ini, Smith menemukan sebuah diskusi
yang hati-hati dan diperpanjang juga sejenisnya telah nampak dalam kenyataannya.
Tentu saja ada ungkapan baik, “Mereka bukan Dia, bukan pula mereka yang
lainnya melebihi daripada Dia” secara indah bisa dilakukan tanpa modifikasi
berbagai konsep modern tentang pribadi orang kedua dan ketiga dari Trinitas.
Persamaan lainnya dalam pandangan Smith bahwa seharusnya ada anggapan
yang diduga benar bahwa Islam menurut Kristiani sebagaimana Kristiani menurut
Islam. Hal ini tidak menghiraukan sejarah yang mana hal itu sangat angkuh tidak
dihiraukannya nilai-nilai tertentu. Masalah yang sangat penting apakah agama yang
satu mendahului atau mengikuti agama yang lainnya secara kronologi. Menurut
Smith orang-orang Muslim telah lama dibingungkan dan terganggu oleh fakta
bahwa orang-orang Kristiani menolak Muhammad dan Islam dengan sangat
bersemangat (berapi-api) orang-orang Muslim melakukannya tehadap orang
Kristiani. Mereka menanyakan mengapa orang-orang Kristiani bisa tidak mengakui
sedikit pun bahwa Muhammad sebagai Nabi asli. Namun menurut Smith hubungan
paralel itu sejajar dengan semangat berapi-apinya orang-orang Muslim menolak
Ghulam Ahmad dan gerakan Ahmadiyah Qadyan. Hal itu secara mudah berkenaan
dukungan dengan orang-orang penggantinya. Orang-orang Kristiani menerima
seluruh kitab suci Yahudi ke dalam Bibel miliki mereka. Di sisi lain hal itu tidak
gampang menjadi puas ketika gerakan berikutnya muncul, setelah yang satu telah
menduga bahwa masalah keagamaan akhirnya terjawab.
Terdapat sejumlah wilayah lain yang di dalamnya salah satunya bisa
mengkaitkan dengan masalah jenis, mencari terus hubungan paralel yang bisa
diterima dan mengajukan sesuatu yang baru dan halus. Smith mengakhiri dengan
suatu keberanian dan pemikiran propokatif tertentu, salah satu yang mungkin
melukai perasaan baik orang Kristiani maupun Muslim dan mendapatkan ejekan
dari pengkaji perbandingan agama. Walaupun di dalamnya Smith menyampaikan
bukan karena hal itu penting menjadi valid, tetapi karena dia menunjukkan suatu
pelajaran penting secara potensi. Hal itu menimbulkan beberapa implikasi khusus
dalam bentuk tajam dan kesulitan-kesulitan dari jenis karya itu. Smith
menunjukkannya dalam bentuk suatu pertanyaan, Adakah beberapa analogi antara
pentingnya ekaristi bagi orang-orang Kristiani dan pentingnya menghafal Al-
Qur’an bagi orang Muslim?
Smith menganggap bahwa dia bisa membayangkan dengan baik seluruh
jawaban terhadap pertanyaan ini mungkin “tidak”. Barangkali pengajuan yang
seimbang berdasarkan satu atau dua pertimbangan secara logis bisa dicapai dalam
jawaban positif yang bisa menyokong. Hal yang lebih penting bahwa dengan
beberapa pertimbangan menunjukkan bahwa pertanyaan itu mungkin tidak bisa
dijawab semuanya. Kemungkinan hal terakhir ini pada dasarnya adalah masalah
penting. Berbagai alasan yang telah menunjukkan dia untuk mengajukan
pertanyaan pada semuanya mungkin sama dalam pemikirannya, termasuk analogi
pertama yang telah dia gambarkan di atas. Kekuatan yang dimiliki telah lahir
dengan penuh semangat dalam wacana mengenai orang-orang Muslim dan
Kristiani, antara peran Kristus dan peran Al-Qur’an. Dengan penuh rasa hormat
terdapat poin-poin di dalam diri orang-orang Kristiani dan Muslim yang memahami
ketuhanan yang telah menerima inisiatif dan diturunkan dalam kehidupan dunia
secara umum. Al-Qur’an –sebelum eksis dan terciptanya doktrin bagi Muslim
merupakan sesuatu yang nyata di dalamnya terdapat sifat alami yakni supernatural.
Masalah itu merupakan tempat keabadian yang telah menghancurkan waktu. Tentu
saja Al-Qur’an bukanlah tinta dan kertas, tetapi isi Al-Qur’an, pesannya, sabdanya,
terutama maknanya.
Hafidz yang dikenal sebagai pengingat, secara literal diartikan “penghafal”,
memiliki jiwa yang sesuai dengan dirinya telah mendalaminya dalam suatu cara
yang bisa dianggap logis mendorong analogi orang-orang Kristiani dengan apa
yang terjadi ketika orang-orang Kristiani dalam pelayanan umat sesuai dengan diri
tubuh Kristus. Kasus ini merupakan ungkapan Tuhan yang mendunia, sifat
supernatural dan perwujudan keabadian.
Sekurang-kurangnya seseorang mesti mencatat bahwa penghormatan umat
Muslim terhadap hafiz, merupakan hal penting. Kecakapan bagi hafiz sendiri secara
sederhana bukanlah pengakuan kemampuan intelektual. Untuk mengingat Al-
Qur’an hal itu sungguh berbeda dengan mengingat Mu’alaqat. Melalui karya
Muslim ini (hafiz) sepertinya mendapat “karunia” Tuhan terus tetap pada kitab dan
kertas di dalamnya abadi dan menemaninya, sehingga ia menjadikan dirinya pribadi
yang hidup di jaman sekarang secara tetap.
Namun menurut Smith poin penting dalam masalah ini tidak hanya ajuan itu
apakah benar atau salah, tetapi lebih dari itu yaitu pertanyaan, bagaimana bisa
seseorang mungkin mengetahui? Bagaimana seseorang mendapatkan keterangan
apa yang dialami orang Kristiani dalam komuni (umat) dan apa yang dialami orang
Muslim dalam diri hafiz, bisakah dibandingkan? Seseorang mungkin bertanya,
tetapi mereka tidak bisa bercerita dengan mudah, karena mereka tidak mengetahui
seluruh pelayanan Umat Kristiani itu. Seseorang mungkin bertanya kepada orang
Kristiani, tetapi mereka tidak mengetahui pentingnya upacara orang Muslim. Tentu
saja kedua kelompok itu sedikit kehilangan kemampuan untuk menjelaskannya.
Katakanlah kepada mahasiswa perbandingan agama bahwa apa yang mereka alami
bermaksud diri mereka, biarkan sendiri menilai orang lain itu. Orang beragama
tidak bisa menjelaskan secara terperinci kepada orang luar mengenai pelayanan
umat atau pengalaman nyata yang penting. Mahasiswa perbandingan agama sedang
berhubungan tidak hanya dengan hal yang tidak dinyatakan secara jelas, tetapi
dengan semacam pengajuan yang samar dan sering tak terucapkan dalam hal yang
tidak dinyatakan secara jelas. Posisinya seringkali berada pada tempat yang sangat
sulit. Sifat yang sangat sulit ini telah ditunjukkan Smith dan menjadi cukup
menarik dalam dirinya untuk menilai dengan pertanyaannya yang lebih sulit.
Sebagaimana Smith telah tunjukkan di atas. Dia tidak percaya seluruhnya bahwa
terdapat semacam dorongan analogi sebagaimana nampak pada Smith semacam
ketika dia pertama kali memikirkan tetang hal itu. Dalam beberapa kasus Smith
merasa bahwa masalah itu menjadi bernilai. Penyelidikan yang hati-hati dari
literatur pada dua sisi itu, mencerahkan pemikiran tidak tergantikan oleh diskusi
personal dengan dua komunitas itu mungkin akhirnya menuntun mahasiswa
berdisiplin dan peka pada suatu posisi dimana dia akan mampu memberi beberapa
jenis jawaban yang memenuhi syarat pada pertanyaan yang Smith tanyakan. Tentu
saja pada saat itu Smith sendiri mengaku belum cukup melakukan penelitian.
Smith menyimpulkan bahwa baik persamaan maupun perbedaan yang dimiliki
orang Kristiani dan Muslim itu (doktrin Islam dan teologi) mungkin tidak terlalu
nampak. Menurut dia semuanya akan menjadi mirip antara unsur-unsur penting
tradisi keagamaan yang dapat disamakan daripada kesamaan, dengan studi
perbandingan yang bersifat hati-hati, dan yang bisa menjadi lebih berhasil jika hal
ini diakui secara tegas.
Tentu saja seseorang mungkin heran bahwa keyakinan bukanlah akhir suatu
masalah pribadi secara mendasar yang dalam beberapa hal mirip kebenarannya di
dalam tradisi masing-masing diantara pribadi-pribadi yang menyusun itu. Jika
seseorang berusaha menganggap lebih bermakna daripada bentuk luarnya.
Sebaliknya seseorang dengan susah sedang belajar agama dalam suatu perasaan
penting, maka seseorang itu mesti meneruskan perhatian sepenuhnya dan mesti siap
menuntun dan memberi bantuan pada tempat-tempat yang tidak dapat dipercaya.
Untuk megetahui beberapa persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan
Islam berdasarkan hubungan parallel, di bawah ini penulis rangkum hubungan
paralel pemikiran Smith itu dalam bentuk tabel. Tabel ini mendeskripsikan
hubungan proporsional doktrin Kristiani dan Islam berdasarkan pemahaman dari
kedua penganut agama masing-masing. Terdapat tigabelas poin yang penulis
temukan berkaitan dengan doktrin Kristiani dan Islam yang menjadi bahan
pembahasan Smith. Ketigabelas poin itu adalah sebagai berikut:
Tabel.1
Hubunggan Paralel
NO MATERI KRISTIANI ISLAM KETERANGAN
1
Kehendak
Tuhan
Menggunakan
istilah
kehendak
Tuhan
Menggunakan
kehendak Tuhan
sama
biasa
digunakan
dalam doa-doa,
karena Kristus
mengajarkan
mereka (orang
Kristiani)
dengan
berkata,
“Kamu akan
diperlakukan”.
Ungkapan ini
berkaitan
dengan suatu
aspirasi
terhadap
urusan duniawi
Biasa digunakan
dalam doa,
Iradah Allah
yang
menentukan
nasib atau takdir
Maknanya
berbeda
sesuai dengan
pola yang lebih
tinggi yaitu
kedatangan
Kerajaan
Tuhan.
istilah
pengetahuan
Tuhan (nasib,
takdir,
kedaulatan dan
sebagainya).
Kehendak
Tuhan
(mashi’ah,
iradah) Tuhan
bukan apa yang
seharusanya
manusia
kerjakan
melainkan apa
yang Tuhan
kehendaki atau
kerjakan
Hubungan paralel
Istilah
Kehendak
Tuhan bagi
Kristiani
Bermakna
syariah (hukum)
bagi orang Islam
Hubungan paralel
4 Sabda
Tuhan/
Kalamullah
Yesus Kristus. Al-Qur’an Hubungan paralel
5 Utusan/
Nabi
Santo Paul
(bagi katolik
Roma Santo
Peter),
Muhammad Hubungan paralel
6 Cerita
tentang
utusan/Nabi
Bible Hadith Hubungan paralel
7 Sistem
keyakinan
keyakinan
berada dalam
Tuhan dan
Bagi Msulim
keyakinan itu
adalah
Hubungan paralel
keselamatan Kristus yang
berarti hidup
dalam naungan
Kristus, juga
berhubungan
atau
berpartisipasi
di dalam
Gereja.
keyakinan
terhadap apa
yang
Muhammad
bawa (Al-
Qur’an yang
mengandung
pesan moral
Karena hukum
itu menyangkut
komunitas dan
ummah, maka
hukum itu
bersifat sosial.
Menurut
perkataan
orang-orang
Kristiani
bahwa
Muhammad
membawa
sahthan atau
al-kutubu al-
sittah.
Menurut Orang
Muslim bahwa
Yesus membawa
Injil,
Hubungan paralel
Keyakinan
kepada Tuhan
dan wahyu-
Nya
Keyakinan
kepada Tuhan
dan wahyu-Nya
sama
Bagi orang
Kristiani
keyakinan
berada dalam
Tuhan dan
Kristus yang
berarti hidup
dalam naungan
Kristus,
Bagi orang
Muslim
keyakinan itu
adalah
keyakinan
terhadap apa
yang
Muhammad
bawa. Al-
Qur’an
Hubungan paralel
mengajarkan
pentingnya
sebuah moral
yaitu keyakinan
yang bermaksud
meluruskan
dirinya sendiri
secara aktif
dengan orientasi
moral.
8 Keyakinan Keyakinan
berhubungan
atau
berpartisipasi
di dalam
Gereja.
Karena hukum
itu menyangkut
komunitas dan
ummah, maka
hukum itu
bersifat sosial
Hubungan paralel
keyakinan
Abraham
(Ibrahim)
terkandung
baginya
kebajikan dan
tersedia juga
bagi para
pendosa.
mediator antara
manusia dan
Tuhan dalam
Islam adalah
kebajikan.
Hubungan paralel
hukum teologi Hubungan paralel
filsafat agama
Kristiani.
teologi (ilm al-
kalam)
Hubungan paralel
9 Gereja,
Mesjid, dan
komunitas
kapel (gedung
gereja dalam
Kristiani).
Mesjid (gedung) Hubungan paralel
gereja
(Church)
memiliki
makna sebagai
Mesjid
bermakna
gedung atau
tempat ibadah
berbeda
bangunan lokal
gereja, fokus
jemaah atau
kumpulan
manusia,
gereja orang
Kristiani
(denomination)
persaudaraan
Sufi dalam
dalam Islam
Hubungan paralel
Seorang
Kristiani
adalah anggota
suatu gereja.
seorang Muslim
bukan anggota
suatu mesjid
Berbeda
gereja bagi
Kristiani.
tariqah (dengan
zawiyahnya dan
sejenisnya) bagi
Islam
Hubungan paralel
10 Roh Suci roh suci bagi
Kristiani
Hidayah atau ide
petunjuk (huda)
bagi kalangan
orang Islam
Hubungan paralel
11 Konsep
Tuhan
Trinitas
Kristiani
nama-nama
Tuhan dalam
Islam yang
Sembilan puluh
Sembilan
Hubungan paralel
12 Pengakuan Menurut orang
Kristiani
bahwa orang-
orang Muslim
menolak Mirza
Ghulam
Ahmad dan
gerakan
Ahmadiyah
Qadyan.
Orang Muslim
menanyakan
mengapa orang-
orang Kristiani
bisa tidak
mengakui
sedikit pun
bahwa
Muhammad
Hubungan paralel
sebagai Nabi
asli.
13 Pengalaman
keagamaan
apa yang
dialami orang
Kristiani dalam
komuni Gereja
(umat)
apa yang dialami
orang Muslim
dalam diri hafiz
(Al-Qur’an)
Hubungan paralel
Dengan demikian analisa Wilfred Cantwell Smith dalam mengungkapkan
persoalan agama baik Kristiani maupun Islam cenderung menggunakan pendekatan
keyakinan (faith). Kajian dengan menggunakan pendekatan keyakinan seperti ini
memiliki karakter internalistik, ineffable, transenden dan berdimensi privat, sesuai
dengan pemahaman para penganut agama masing-masing.
Hal tersebut berbeda dengan kajian agama yang sering dilakukan oleh sebagian
pengkaji agama yang memiliki karakter sebagai tradisi (tradition). Karakter kajian
yang dengan pendekatan tradisi tersebut memiliki sifat eksternalistik, sosial, dan
historis.
C. Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith
Kajian mengenai beberapa persamaan dan perbedaan Islam dan Kristiani
menurut Wilfred Cantwell Smith, memiliki implikasi terhadap kajian ilmu agama.
Imlikasi tersebut penting digunakan untuk kajian Ilmu Agama dan dialog
keberagamaan. Dalam kajian ilmu agama, menurut Smith tugas pokok seorang
pengkaji ilmu perbandingan agama seabagaimana dikutif Zakiah Daradjat
dirumuskan dengan, it is the business of comparative religion to construct statement
about religion that are intelligible within at least two traditions simultaneously.81
Pemahaman tersebut dapat dibuktikan dengan pernyataan Muzammil Siddiqi82
seorang direktur Masyarakat Islam di Orange County California, anggota dewan
Tinggi Masjid-Masjid Makkah bahwa,
Wilfred Cantwell Smith, barangkali salah seorang cendekiawan
Islam non-Muslim paling terkemuka, membuat komentar menarik
tentang kebenaran. Dalam Bahasa Arab, ada tiga kata berbeda yang
diterjemahkan sebagai kebenara: Sihdq, haqq, dan shahih. Kata yang
pertama biasanya digunakan bagi orang, misalnya untuk menyebut
orang yang jujur dan tulus. Yang kedua digunakan untuk
menggambarkan realitas kebenaran dalam artian faktual. yang ketiga
adalah kebenaran dalam artian pernyataan yang tepat, mungkin
pernyataan yang tepat secara gramatis yang, pada pihak lainnya penuh
dengan kebohongan. Sebagai seorang Muslim, saya memang mellihat
ketulusan, pengabdian yang mendalam dan komitmen pada banyak
orang, apakah itu Musllim, Kristiani, Yahudi, Buddhis, Hindu atau
lainnya. Saya yakin ada orang-orang yang jujur dan tulus dalam setiap
komunitas iman. Pada peringkat kedua, kebenaran realitas dan faktual,
saya juga melihat beberapa kebenaran dan realitas dalam tradisi-traadisi
religious yang lain, Islam berbicara tentang wakyu Allah yang
diberikan kepada semua orang. Karena Allah adalah Kebenaran, maka
realitas kebenaran Allah ini harus juga ada pada seluruh umat manusia.
Pada peringkat ketiga, saya juga mengkui bahwa sering kali kita
membuat pernyataan-pernyataan yang tepat secara gramatis dan
berpikir bahwa itu memang benar, tapi sesungguhnya tidak benar.
Namun kita harus tetap meneruskan pencarian kita bagi kebenaran dan
ketulusan di antara semua orang.
Analisa Smith tentang perbandingan itu direspon juga oleh M. Sastraprateja
seorang cendekiawan Protestan. Menurut M. Sastraprateja, Wilfred Cantwell Smith
membedakan tiga aras perbandingan Agama sebagai disiplin Ilmu yaitu
menemukan fakta luar, mempelajari makna religious dan menarik generalisasi. Dua
81 Zakiah Daradjat dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi Aksara dan Depag, Jakarta, 1996, cet.ke-1,
hlm, 86 82 George B. Grose dan Benyamin J. Hubbard (editor), Tiga Agama Satu Tuhan, Terjemahan Santi
Indra Astuti, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 163.
aras pertama berkaitan dengan penentuan data; menemukan fakta kehidupan
religious berbagai komunitas bangsa manusia di masa lalu dan masa kini. Menurut
dia bahwa kita terlibat dalam fakta eksternal dan penafsiran makna. Baru pada tahap
ketiga kita menemukan berbagai titik temu. Generalisasi di sini berlaku bukan
dalam arti ilmu-ilmu positif, yaitu hukum-hukum yang sifatnya hipotesis,
melainkan suatu konvergensi titik temu tanpa mereduksi fakta religious ke dalam
suatu kesatuan metafisik.83
Bagi Smith, bangkitnya kesadaran diri dalam sejarah religius umat manusia
merupakan ‘kejadian yang drastis.’ Akibatnya susah diramalkan secara meyakinkan
oleh siapa saja.84 Dengan demikian, manusia dengan iman religiusnya selalu akan
hidup di dunia. Mereka terpengaruh dan ditentukan oleh tekanan-tekanan dunia,
terbatasi dalam ketidaksempurnaan dunia.85 Akibatnya, agama dan manusia akan
selalu berdampingan, saling menguntungkan serta membentuk hubungan yang
saling melengkapi. Berhentinya kemansiaan, adalah berhentinya agama, begitu
pula sebaliknya. Manusia dituntut untuk selalu meredefinisi keagamaan dan
kemanusiaannya. Memang gagasan ini sungguh prestisius dan ambisius, tetapi
harus dikerjakan oleh manusia yang percaya bahwa setiap diri ada keterbatasannya
dan setiap agama mengharuskan kearifan pemeluknya.
Dengan demikian pemikiran Smith tentang hubungan doktrin Islam dan
Kristiani memiliki implikasi terhadap kajian Ilmu Agama (religious studies) dan
83 M. Sastraprateja, Ilmu Perbandingan Agama dan Disintegrasi Umat Beragama, dalam Buku:
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. 1998. Passing over Melintas Batas Agama. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 339. 84 Wilfred Cantwell Smith, 2004, hlm. 342. 85 Ibid. 264.
dialog kebergamaan. Dalam kajian Ilmu Agama, seorang pengkaji agama dengan
pendekatan teologi dan metode perbandingan dalam membandingkan agama satu
dengan agama lainnya perlu memperhatikan proporsional unsur-unsur agama yang
dibandingkan itu, sesuai pemahaman dari penganut agama masing-masing.
Untuk memahami proporsional pemahaman keagamaan dari penganutnya itu,
Smith menggunakan pendekatan lebih ke dalam, sehingga kajiannya memiliki ciri
internalistik, ineffable, transenden dan berdimensi privat. Internalistik dapat
dipahami sebagai sesuatu yang bersifat kedalam (buka ke luar). Apabila kita
melihat penganut agama, maka yang kita pahami adalah bagaimana penganut
agama itu memahami sesuatu yang berkaitan dengan agama, bukan hanya nama
agama penganut itu. Ineffable adalah kemampuan seseorang dalam memahami
sesuatu yang berkaitan dengan agama. Transenden adalah pemahaman seseorang
terhadap sesuatu yang sakral di luar jangkauan dirinya. Berdimensi privat
merupakan corak keberagamaan yang menekankan pada asperk pribadi seseorang.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Pemahaman Wilfred Cantwell Smith mengenai doktrin Kristiani dan Islam
merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini. Doktrin Kristiani dan Islam dapat
dibandingkan dengan mempertimbangkan proporsional. Pertimbangan
Proporsional tersebut didasarkan menurut pemahaman para penganut agama
masing-masing, sehingga pertimbangan proporsional tersebut menimbulkan
hubungan paralel di antara doktrin agama masing-masing. Para penganut agama
dan pengkaji agama menganggap bahwa suatu yang diyakini oleh penganut agama
tertentu sejajar dengan apa yang diyakini penganut agama lainnya.
Adanya gejala beberapa persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam
itu dapat dibandingkan menurut pemahaman Wilfred Cantwell Smith. Hal ini tidak
lepas dari pemahaman keberagamaan orang-orang Kristiani dan Islam dalam
memahami doktrin masing-masing. Ekspresi keberagamaan mereka yang
diwujudkan dalam bentuk sistem keyakinan sebagai salah satu ekspresi keagamaan.
Secara sederhana, beberapa persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan
Islam menurut pemahaman Wilfred Cantwell Smith memiliki karakter tertentu
dalam analisanya. Hubungan paralalel dari kedua agama tersebut menjadi dasar
untuk membandingkan doktrin Kristiani dan Islam. Uraian sederhana mengenai
persamaan dan perbedaan doktrin Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred
Cantwell Smith tersebut dapat dirangkum dalam kesimpulan. Selain itu penulis
memberikan beberapa saran atau rekomendasi kepada peneliti lain yang merasa
tertarik untuk mendalami masalah penelitian ini yang tidak ditemukan penulis
selama penulis melakukan penelitian. Oleh karena itu di bab IV ini penulis akan
menguraikan kesimpulan dan saran.
A. Kesimpulan
Untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai kesimpulan penelitian ini,
penulis menguraikan tiga hal penting. Pertama, kronologis riwayat hidup Wilfred
Cantwell Smith, termasuk pendidikan dan karya-karya yang telah dibuatnya.
Kedua, Analisa persamaan dan perbedaan doktrin teologis Islam dan Kristen
menurut Wilfred Cantwell Smith. Ketiga, Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell
Smith mengenai persamaan dan perbedaan doktrin Islam dan Kristiani dalam Ilmu
Agama.
Wilfred Cantwel Smith adalah seorang teolog dan sejarawan agama yang lahir
di Toronto pada tanggal 21 Juli 1916. Di lahir dari keluarga yang berada dalam
bidang akademik maupun dalam bisnis, kakak Smith yaitu Arnold Cantwell Smith
banyak berkiprah dalam urusan diolomatik di Negara Kanada, dia pernah menjadi
duta besa Kanada untuk pemerintah Mesir dan Uni Sovier. Dia pernah juga menjadi
sekjen Negara-negara persemakmuran bekas penjajahan kerajaan Inggris.
Latar belakang agama Kristen, sekte Presbitarian dalam keluarga Smith
menjadikan Smith sebagai orang yang taat dan saleh dalam menerapkan ajaran
agamanya. Keluarga Smith yang menganut agama Kristen dalam anggota
keluarganya itu bersifat plural. Ibunya adalah penganut aliran Kristen metodis.
Ketika masih muda Smith memahami doktrin Kristen metodis hanya sebatas literal
dan hal ini menajadi pengalaman berharga bagi dirinya. Smith kemudian
memahami doktrin tidak hanya secara literal, akan tetapi ia menafsirkan dan
menjabarkan secara intelektual dan terbuka.
Ketika Smith masih kecil dia mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi
langsung dengan penganut agama-agama yang lain. Hal itu membawa pengaruh
pada saat menjelang dewasa, pemikiran Smith mulai mengalami perubahan yang
asalnya ortodoks, tapi kemudian dia mampu bersikap modern dan semangatnya
sangat terbuka dan pluralis,.
Dia tidak setuju tentang konsep keselamatannya untuk orang Kristen saja,
tetapi menurutnya semua umat yang beragama mendapatkan kasih sayang dari
Tuhannya. Smith sangat memegang semangaat puritanisme Calvinistik, yaitu
ajaran dalam agama protestan yang keras.
Beberapa karya yang dibuat Smith tentang kajian agama-agama di dunia
diantaranya buku-bukunya yang terkenal adalah; The Muslim League, 1942-1945
(1945), Pakistan as an Islamic State: Preliminary Draft (1954), Islam in Modern
History: The tension between Faith and History in the Islamic World (1957), The
Meaning and End of Religion (1962), Modern Islam in India: A Sosial Analysis
(1963), The Faith of Other Men (1963), Questions of Religious Truth (1967),
Religious Diversity: Essays (1976), Belief and History (1977), On Understanding
Islam: Selected Studies (ed. 1981), Scripture: Issues as Seen by a Comparative
Religionist (1985), Towards a World Theology: Faith and the Comparative History
of Religion (1989), What Is Scripture? A Comparative Approach (1993), Patterns
of Faith Around the World (1998), Faith and Belief (1987), Believing (1998),
Wilfred Cantwell Smith: A Reader (2001).
Pada tanggal 7 Pebruari 2000 Smith yang dikenal sebagai ahli Ilmu
Perbandingan Agama dan perannya sangat berpengaruh meninggal dunia. Para
kolega menempatkan dia sebagai salah satu pemikir kajian keagamaan secara
perbandingan pasca perang dunia kedua.
Analisa persamaan dan perbedaan doktrin teologis Islam dan Kristen. Smith
membandingkan doktrin Islam dan Kristen mengenai berbagai hal diantaranya,
Kehendak Tuhan, Sabda Tuhan/ Kalamullah, Utusan/ Nabi, Cerita tentang
utusan/Nabi, System keyakinan keselamatan, Gereja, Mesjid, dan komunitas, Roh
Suci, Konsep Tuhan, Pengakuan dan Pengalaman keagamaan.
Ungkapan “Kehendak Tuhan” orang-orang Kristen dan Islam menurut Smith
menunjukkan konsep yang berbeda. Orang-orang Kristen telah biasa menggunakan
ungkapan itu dalam doa-doa mereka, karena Kristus mengajarkan mereka (orang
Kristen) dengan berkata, “Kamu akan diperlakukan”. Ungkapan ini berkaitan
dengan suatu aspirasi terhadap urusan duniawi sesuai dengan pola yang lebih tinggi
yaitu kedatangan Kerajaan Tuhan. Pemahaman tersebut menurut Smith merupakan
ungkapan yang penuh makna dan kehendak Tuhan memiliki konotasi moral yang
sangat besar. Bagi orang Kristen berjuang untuk mencapai kehendak Tuhan
merupakan panggilan tertinggi –dan kegagalan besar jika tidak berjuang. Smith
menunjukkan imbangan konsep ini dalam Islam, dengan menggunakan istilah yang
bersifat teknik dalam teologinya yaitu “ridha” (ridwan, mardl) yang berarti senang.
Namun istilah yang lebih umum bagi orang Muslim menurut Smith adalah amr
(perintah).
Doktrin Kristiani dan Islam menggunakan istilah “kehendak Tuhan”. Orang-
orang Islam menggunakan istilah “mashiah dan iradah” yang berarti kehendak
Allah. Istilah itu merupakan sifat dari Tuhan. Dalam dokritn Kristianai kehendak
Tuhan biasa digunakan dalam doa-doa, karena Kristus mengajarkan mereka (orang
Kristen) dengan berkata, “Kamu akan diperlakukan”. Ungkapan ini berkaitan
dengan suatu aspirasi terhadap urusan duniawi sesuai dengan pola yang lebih tinggi
yaitu kedatangan Kerajaan Tuhan. Dalam doktrin Islam kehendak Tuhan biasa
digunakan dalam doa dengan menggunakan istilah Iradah Allah yang menentukan
nasib atau takdir.
Dalam doktrin Kristiani kehendak Tuhan diartikan dengan istilah pengetahuan
Tuhan (nasib, takdir, kedaulatan dan sebagainya). Hal ini memiliki hubungan pralal
dengan doktrin Islam Kehendak Tuhan (mashi’ah, iradah) Tuhan. Istilah itu berarti
bukan apa yang seharusanya manusia kerjakan melainkan apa yang Tuhan
kehendaki atau kerjakan.
Di sisi lain istilah Kehendak Tuhan bagi Kristen sejajar dengan makna dalam
doktrin Islam sebagai syariah (hukum) bagi orang Islam. Sabda Tuhan/ Kalamullah
dalam doktrin Kristiani adalah Yesus Kristus. Sedangkan Sabda Tuhan dalan
doktrin Islam adalah wahyu yang disebut Al-Qur’an.
Akibat dari pemahaman tersebut, maka istilah utusan/ Nabi dalam doktrin
Kristiani disebut Santo Paul (bagi katolik Roma Santo Peter), sedangkan dalam
doktrin Islam utusan atau nabi itu adalah Muhammad. Begitu juga cerita tentang
utusan/Nabi dalam doktrin Kristiani disebut Bible terutama Perjanjian Baru.
Sedangkan dalam doktrin Islam dinamakan Hadith.
Selanjutnya mengenai sistem keyakinan atau doktrin tentang keselamatan
dalam Kristiani dipahami bahwa keyakinan berada dalam Tuhan dan Kristus yang
berarti hidup dalam naungan Kristus, juga berhubungan atau berpartisipasi di dalam
Gereja. Sedangkan dalam doktrin Islam dipahami bahwa keyakinan itu adalah
keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa (Al-Qur’an yang mengandung
pesan moral). Karena hukum itu menyangkut komunitas dan ummah, maka hukum
itu bersifat sosial.
Apabila orang Islam memahami bahwa Yesus membawa Injil, maka hal itu
sejajar dengan pemahaman orang Kristiani bahwa Muhammad membawa sahthan
atau al-kutubu al-sittah.
Di samping itu doktrin Kristiani dan Islam mengajarkan tentang keyakinan
kepada Tuhan dan wahyu-Nya. Bagi orang Kristen keyakinan berada dalam Tuhan
dan Kristus yang berarti hidup dalam naungan Kristus. Bagi orang Muslim
keyakinan itu adalah keyakinan terhadap apa yang Muhammad bawa yaitu Al-
Qur’an. Al-Qur’an mengajarkan pentingnya sebuah moral yaitu keyakinan yang
bermaksud meluruskan dirinya sendiri secara aktif dengan orientasi moral. Ajaran
keyakinan dalam doktrin Kristiani berhubungan atau berpartisipasi di dalam Gereja.
Hal itu sejajar dengan pemahaman orang Islam bahwa karena hukum (fiqh) itu
menyangkut komunitas dan ummah, maka hukum itu bersifat sosial.
Orang-orang Kristiani memahami bahwa dalam keyakinan Abraham (Ibrahim)
terkandung baginya kebajikan dan tersedia juga bagi para pendosa. Dalam doktrin
Islam orang-orang Islam memahami bahwa mediator antara manusia dan Tuhan
dalam Islam adalah kebajikan. Dalam ajaran Kristiani ada yang disebut hukum. Di
dalam ajaran Islam terdapat teologi. Dalam ajaran Kristiani ada filsafat agama
Kristen, di dalam ajaran Islam ada teologi (ilm al-kalam).
Orang-orang Kristiani memahami kapel sebagai gedung gereja. Hal itu sejajar
dengan orang-orang Islam yang memahami Mesjid sebagai gedung tempat ibadah
ritual. Selain itu di dalam ajaran Kristen ada gereja (Church) memiliki makna
sebagai bangunan lokal gereja, fokus jemaah atau kumpulan manusia. Hal ini
berbeda denga ajaran Islam bahwa mesjid bermakna gedung atau tempat ibadah.
Apabila orang-orang Kristiani memahamai Gereja sebagai komunitas orang
Kristiani (denomination). Hal itu memiliki proporsional dalam ajaran Islam dengan
persaudaraan Sufi. Seorang Kristiani adalah anggota suatu gereja. Sedangkan
seorang Muslim bukan anggota suatu mesjid. Dengan demikian Gereja bagi
Kristtiani, sama halnya dengan tariqah (dengan zawiyahnya dan sejenisnya) bagi
Islam.
Konsep mengenai roh suci. Orang-orang Kristiani meyakini adanya Roh Suci.
Pemahaman orang Kristiani terhadap Roh Suci itu sebanding dengan orang Islam
yang percaya dengan Hidayah atau ide petunjuk (huda) Allah.
Begitu juga orang-orang Kristiani memahami konsep Trinitas yaitu Tuhan
Bapak, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Bagi orang Kristiani hal itu merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisah. Pemahaman orang Kristiani tersebut sebanding
dengan pemahaman orang-orang Islam tentang nama-nama Tuhan dalam Islam
yang sembilan puluh sembilan yang disebut asmaul husna.
Menurut Smith apabila orang-orang orang-orang Muslim menolak terhadap
kehadiran Mirza Ghulam Ahmad dan gerakan Ahmadiyah Qadyan. Hal itu sejajar
bagi orang Kristiani dengan pemahaman orang-orang Muslim yang menanyakan
mengapa orang-orang Kristen bisa tidak mengakui sedikit pun bahwa Muhammad
sebagai Nabi asli.
Selanjutnya mengenai pengalaman keberagamaan. orang-orang Kristiani
mengalami pengalaman keberagamaan di dalam komuni Gereja (umat).
Pengalaman keagamaan itu dapat dipahami oleh orang-orang Islam yang
mengalami hafidz atau membaca Al-Qur’an.
Implikasi pemikiran Wilfred Cantwell Smith mengenai persamaan dan
perbedaan doktrin Islam dan Kristiani berpengaruh dalam kajian Ilmu Agama dan
praktek dialog keberagamaan.
Semith memahami bahwa tugas Ilmu Perbandingan Agama adalah menyusun
pernyataan-pernyataan tentang agama yang dapat dimengerti sekurang-kurangnya
dua agama secara simultan. Pemahaman tersebut diakui oleh cendekiawan non
Kristiani yang mengakui bahwa Wilfred Cantwell Smith membuat komentar
menarik tentang kebenaran. Dalam Bahasa Arab, ada tiga kata berbeda yang
diterjemahkan sebagai kebenaran: Sihdq, haqq, dan shahih. Kata “Sihdq” biasanya
digunakan bagi orang yang jujur dan tulus. Kata “haqq” digunakan untuk
menggambarkan realitas kebenaran dalam artian faktual. Kata “shahih” adalah
kebenaran dalam artian pernyataan yang tepat, mungkin pernyataan yang tepat
secara gramatis yang, pada pihak lainnya penuh dengan kebohongan.
Dalam berdialog kajian perbandingan doktrin Kristiani dan Islam itu penting,
karena dapat memahami konsep-konsep doktrin yang diyakini penganut agama
masing-masing. Dalam kajian Ilmu Agama, seorang pengkaji agama dalam
membandingkan agama satu dengan agama lainnya perlu memperhatikan
proporsional unsur-unsur agama yang dibandingkan itu. Tentu saja proporsional itu
menurut pemahaman penganut agama masing-masing. Untuk memahami
proporsional pemahaman keagamaan dari penganutnya itu, Smith menggunakan
pendekatan lebih ke dalam, sehingga kajiannya memiliki ciri internalistik,
ineffable, transenden dan berdimensi privat. Dia tidak menggunakan pendekatan
yang mengutamakan sifat eksternalistik, sosial dan historis.
B. Saran
Setelah penulis melakukan penelitian beberapa persamaan dan perbedaan
doktrin Kristiani dan Islam menurut pemikiran Wilfred Cantwell Smith, penulis
menyarankan kepada peneliti lainnya untuk meneliti lanjutan terhadap hal-hal yang
belum ditemukan penulis dalam penelitian ini. Penulis menyadari ada hal-hal yang
belum sepenuhnya penulis deskripsikan secara terperinci dalam penelitian ini.
Masih banyak unsur-unsur agama lainnya dalam Kristiani dan Islam perlu diteliti,
contohnya doktrin tentang alam, makna hidup, eskatologi dan sebagainya. Ritual
keagamaan dan sosial keagamaan dari kedua agama itu perlu juga dikaji dengan
menggunakan perbandingan yang proporsional.
Di samping itu penulis menyarankan dalam kajian agama Kristiani dan Islam
perlu dikaji dengan metode perbandingan yang menggunakan pendekatan
eksternalistik yang menggunakan karakter sosial dan historis, agar dapat
memperkaya dan mengembangkan kajian keberagamaan.