bab i pendahuluan a. latar belakang masalah perkawinan...
TRANSCRIPT
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah akad serah terima antara pria dan wanita untuk
membentuk keluarga yang abadi serta menjadi pasangan yang dapat hidup dengan
bahagia.1 Ada suatu pernyataan yang dicetuskan menurut Zakiyyah Darajat beserta
teman-temannya yang memberikan arti dari perkawinan sebagai”akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah
atau tazwij atau semakna keduanya”.2
Perkawinan merupakan salah satu aspek yang penting dalam
keberlangsungan kehidupan manusia, bagi setiap manusia normal perkawinan itu
menjadi kebutuhan dasar (basic demand). Jika seseorang hidup tanpa perkawinan,
kehidupannya kurang sempurna serta menyalahi fitrahnya sebagai manusia.
Sebagaimana Allah SWT, yang telah menciptakan seluruh makhluk yang berada di
muka bumi ini saling berpasang-pasangan.3 Adapun hal ini sesuai dengan Q.S Az-
Zariyat ayat 49, yaitu:
٤٩ - مكلعل نیجوز انقلخ ءيش لك نمو نوركذت
“Dan segala sesuatu yang telah kami ciptakan itu berpasang-pasangan agar kalian mengingat (kebesaran Allah)”.4
Dari makhluk yang telah diciptakan berpasang-pasangan inilah Allah SWT
menjadikan manusia berkembang biak untuk melanjutkan kehidupan dari
keturunan ke keturunan selanjutnya.5 Perkawinan merupakan ibadah paling lama
dan unik dalam pelaksanaanya, penyatuan ikatan suci tersebut dilakukan antara pria
1 Sohari,Sahrani, “Fikih Munakahat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2010), hlm. 8. 2 Zakiyyah Darajat, dkk., “Ilmu Fiqh”, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), Jilid II
hlm. 48. 3 Mardi Candra, “Aspek Perlindungan Anak Indonesia (Analisis tentang Perkawinan di
Bawah Umur)”, (Jakarta: Kencana, 2018), cet. Ke-1, hlm. 22-23. 4 Quran Kemenag RI 5 Abdul Rahman Ghazaly, “Fiqh Munakahat”, cet. Ke-8, (Jakarta: Prenadamedia Grup,
2019), hlm. 9.
dan wanita perlu memperhatikan kematangan dan kemampuan fisik dan mental,
apabila hal tersebut diperhatikan akan menentukan salah satunya terhadap
keberhasilan dalam berumah tangga.
Adapun rukun dan syarat sahnya perkawinan, yaitu adanya calon mempelai
suami, calon mempelai istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qobul. Menurut
Hukum Islam perkawinan dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat
sahnya perkawinan, namun tidak demikian apabila perkawinan tersebut
dihubungkan dengan ketentuan yang telah diatur pada Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun”.
Dapat diartikan, apabila seseorang yang hendak melaksanakan perkawinan
harus berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, yaitu 19 tahun baik pria dan
wanita. Diperkuat juga dalam pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam sebelum
dilakukannya Judicial Review yang menyatakan bahwa: “Untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan
calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Bila merujuk kepada Al-Quran dan Hadits, tidak akan ditemukan aturan
mengenai batasan usia minimal bagi seseorang untuk dapat melaksanakan
perkawinan. Tetapi dalam agama Islam memahami istilah “ba’ah” atau
kemampuan menjadi acuan bagi orang yang hendak melaksanakan perkawinan.
Istilah ba’ah dalam perkawinan, yaitu kemampuan dalam berbagai soal, seperti
kemampuan memberikan nafkah lahir dan batin terhadap istrinya, atau juga
kemampuan menahan amarah terhadap diri sendiri. Apabila kemampuan itu mampu
dimiliki, maka syariat Islam memperbolehkan bagi orang tersebut untuk
melaksanakan perkawinan. Tetapi, apabila belum mampu, hendaklah berpuasa
dahulu sebab dengan berpuasa dapat meredakan hasratnya.6 Sebagaimana
Rasulullah SAW bersabda:
جوزتیلف ةءابلا مكنم عاطتسا نم بابشلا رشعم ای صلى الله عليه وسلم الله لوسر انل لاق صلى الله عليه وسلم دوعسم نب الله دبع نع
ءاجو ھل ھنإف موصلاب ھیلعف عطتسی مل نمو جرفلل نصحأو رصبلل ضغأ ھنإف
“Wahai sekalian para pemuda, siapa diantara kalian yang telah mempunyai kemampuan maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang belum mampu, maka hendaklah baginya berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat meredakan nafsunya” (HR. Bukhari-Muslim).7 Adanya pembatasan usia minimal ini diharapkan tujuan perkawinan dapat
terealisasikan dengan baik, terhindar dari perpisahan serta dapat memperoleh anak
cucu yang diharapkan, yaitu sehat jasmani dan rohani, karena apabila perkawinan
dijalankan oleh pasangan yang telah memiliki kemampuan baik lahir maupun
bathin setidaknya dalam menghadapi suatu permasalahan tidak akan emosi
berlebihan dan dapat menyelesaikan dengan kepala dingin. Selain itu juga, dengan
pembatasan usia minimal perkawinan dapat menahan naiknya kelahiran anak serta
pertambahan masyarakat.8 Selain itu juga dapat menurunkan banyak resiko pada
ibu dan anak.
Dikalangan masyarakat Indonesia, batasan usia minimal perkawinan pada
Undang-Undang Perkawinan ini memang menimbulkan pro dan kontra sehingga
masyarakat mengalami dilematika apalagi setelah diubahnya batasan usia minimal
perkawinan menjadi 19 tahun bagi pria dan wanita. Dengan adanya perubahan
menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengenai batasan usia minimal
perkawinan khususnya pada Pasal 7 ayat (1) yang semula batasan usia minimal bagi
perempuan 16 (enam belas) tahun setelah dirubah menjadi 19 (sembilan belas)
tahun, tidak menutup kemungkinan pelaksanaan perkawinan usia dini yang telah
ditentukan masih tetap akan terjadi, karena realitas yang terjadi di masyarakat
6 A, Zuhdi Muhdlor, “Memahami Hukum Perkawinan” , (Bandung: al-Bayan, 1995), cet.
Ke-2, hlm. 23. 7 HR. Al-Bukhari (no. 5066) Kitab an-Nikaah. 8 Ahmad Rofiq, “Hukum Perdata Islam di Indonesia”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 59.
cukup bertolak belakang dengan peraturan yang diharapkan sebagai solusi yang
dapat menyelesaikan permasalahan terhadap perkawinan usia dini, serta berbagai
masalah yang berhubungan dengan permasalahan perkawinan.
Dalam prakteknya, masih ada cerita masyarakat di Indonesia yang
melakukan perkawinan dibawah usia, dan bertolak belakang dengan apa yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang. Sebagaimana yang terjadi di Kecamatan
Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat, informasi ini diperoleh langsung dari
Bapak Ruhyan Soleh selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Sindangkerta. Menurutnya bahwa di wilayah Kecamatan Sindangkerta masih
ditemukan pasangan calon pengantin yang kurang usia dari ketentuan dalam
Undang-Undang.9 Namun jumlah tersebut tidak signifikan jika dibandingkan
dengan yang melakukan perkawinan diatas usia yang telah ditentukan oleh
pemerintah, yaitu sebanyak 467 pasang.
Bahwa ternyata setelah melakukan penelitian memang belum ada sosialisasi
secara besar-besaran, tetapi dengan melihat jumlah perkawinan yang terjadi di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Sindangkerta bahwa masih banyak yang
melakukan perkawinan diatas usia daripada yang melakukan perkawinan dibawah
usia sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Usia Perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang,
walaupun masih ada faktor-faktor yang menjadi penghambat tingkat kesadaran
hukum masyarakat.
Indonesia merupakan negara hukum, supaya suatu peraturan itu berjalan
sebagaimana mestinya salah satunya yaitu, dengan meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat supaya mematuhi suatu peraturan perundang-undangan yang belaku
khususnya mengenai batasan minimal usia perkawinan.
Untuk mengatasi kesadaran hukum masyarakat mengenai batasan usia
minimal perkawinan supaya perkawinan dibawah usia berkurang bahkan tidak
terjadi lagi perlunya berbagai elemen untuk membantu meningkatkan kesadaran
9 Hasil Wawancara Bersama Bapak Ruhyan Soleh pada tanggal 16 Oktober 2020.
hukum pada masyarakat baik dari pemerintah, pendidik, tokoh agama dan
masyarakat itu sendiri.
Kesadaran hukum yang bagus dapat dilihat dari masyarakat yang mematuhi
suatu peraturan yang berlaku.10 Oleh karena itu, apakah masyarakat di Kecamatan
Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat sudah memiliki tingkat kesadaran hukum
yang baik ataukah belum?
Dari masalah di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut hal tersebut,
penulis mengambil judul penelitian “Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat di
Kecamatan Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat Sejak Pemberlakuan
Perubahan Usia Perkawinan Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa faktor pendukung kesadaran hukum masyarakat sejak pemberlakuan
perubahan usia perkawinan menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tentang Perkawinan?
2. Bagaimana faktor penghambat kesadaran hukum masyarakat sejak
pemberlakuan perubahan usia perkawinan di Kecamatan Sindangkerta,
Kabupaten Bandung Barat?
3. Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat di Kecamatan Sindangkerta
Kabupaten Bandung Barat sejak pemberlakuan perubahan usia perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tentang Perkawinan?
10 Hamda Sulfinadia, “Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat Studi Atas
Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan”, (Sleman: CV Budi Utama, 2020), hlm. 10.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor pendukung kesadaran hukum masyarakat sejak
pemberlakuan perubahan usia perkawinan menurut Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tentang Perkawinan.
2. Untuk mengetahui faktor penghambat kesadaran hukum masyarakat sejak
pemberlakuan perubahan usia perkawinan di Kecamatan Sindangkerta,
Kabupaten Bandung Barat.
3. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat di Kecamatan
Sindangkerta Kabupaten Bandung Barat sejak pemberlakuan perubahan usia
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tentang Perkawinan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Diharapkan dapat berguna dalam perkembangan ilmu hukum keluarga
khususnya kajian kepenghuluan dalam bidang batasan usia minimal
perkawinan.
b. Diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi masyarakat di bidang
hukum keluarga.
2. Kegunaan Praktis
a. Memberikan pengetahuan mengenai kondisi sosial yang terjadi di masyarakat
pasca pemberlakuan peraturan ini.
b. Diharapkan dapat menjadi bahan tambahan bagi mahasiswa yang akan
melakukan penelitian berhubungan dengan batasan usia minimal perkawinan.
E. Tinjauan Pustaka
Adapun skripsi yang membahas tentang Batas Usia Perkawinan sudah
sangat banyak diantaranya yaitu:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Nisa Ikhlasiyah, “Tinjauan
Yuridis Terhadap Penetapan Batas Minimal Usia Dalam Perkawinan Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dihubungkan Dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”. Hasil
penelitiannya mengungkapkan bahwa bagaimana tinjauan yuridis dan sosiologis
kepada anak yang melakukan perkawinan dibawah batas usia yang telah diatur.
Tujuannya agar mengetahui tinjauan yuridis dan sosiologis kepada anak yang
melakukan perkawinan dibawah usia yang telah ditentukan kemudian dihubungkan
dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan
perlindungan bagaimana terhadap anak yang melaksanakan perkawinan dibawah
usia yang telah ditentukan. 11
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Ujang Firmansyah, “Implementasi
Mashlahah Mursalah dalam Pembatasan Usia Nikah Menurut Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Serta Harmonisasinya”. Hasil penelitiannya
mengungkapkan bahwa terdapat poin-poin kemaslahatan atau kebaikan dalam
kedua peraturan mengenai pembatasan usia perkawinan, yaitu salah satunya supaya
terhindar dari perceraian.12
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Rizel Juneldi, “Analisis Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Menurut Perspektif Hukum
11 Nisa Ikhlasiyah, “Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Batas Minimal Usia Dalam
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, (2018).
12 Ujang Firmansyah, “Implementasi Mashlahah Mursalah dalam Pembatasan Usia Nikah Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Serta Harmonisasinya”, Thesis Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, (2014).
Perkawinan Islam”. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa apa yang
melatarbelakangi perubahan batasan usia minimal dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, khususnya pada
Pasal 7 ayat (1). Sebagaimana kita mengetahui di Undang-Undang Perkawinan
sebelumnya terdapat adanya diskriminasi antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan mengenai boleh melakukan perkawinan. Dan apabila ditinjau dari
perspektif hukum perkawinan Islam bahwasannya tidak ada nash yang jelas
mengatur mengenai batasan usia minimal dapat melakukan perkawinan. Namun,
dengan adanya perubahan mengenai penambahan usia dapat melakukan
perkawinan tidak lain hanya untuk kemaslahatan khususnya bagi kedua pihak.13
F. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan suatu pernyataan mengenai konsep
pemecahan suatu masalah yang telah dirumuskan atau diidentifikasi.14
1. Teori Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum merupakan proses psikis yang ada di dalam diri
manusia yang kemungkinan tampak dan kemungkinan pula tidak tampak.
Penekanan kesadaran hukum adalah nilai-nilai mengenai fungsi hukum itu
sendiri dan bukan suatu penilaian hukum terkait peristiwa yang nyata pada
masyarakat tertentu.
Kesadaran hukum memiliki hubungan dengan kepatuhan pada hukum.
Semakin bagusnya kesadaran hukum pada seseorang, maka bagus pula
kepatuhan terhadap hukumnya. Tetapi apabila kesadaran hukumnya rendah,
maka akan terjadi pelanggaran hukum, dengan bermacam bentuk pelanggaran,
serta kerugian bagi pihak yang melanggar.Pemahaman dan pengetahuan pada
masyarakat terhadap hukum akan berpengaruh terhadap kesadaran hukum.15
13 Rizel Juneldi, “Analisis Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Menurut Perspektif Hukum Perkawinan Islam”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, (2020).
14 Iwan Hermawan, “Metode Penelitian Pendidikan (Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed Methode”, (Kuningan: Hidayatul Quran, 2019), Cetakan Pertama, hlm. 126.
15 Hamda Sulfinadia, Op. Cit. hlm. 12.
Kesadaran hukum merupakan unsur mental yang berada di dalam diri
setiap manusia. Kesadaran hukum dapat diukur dengan beberapa indicator,
yaitu: pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikaf hukum, pola perilaku
hukum, dan rasa terikat serta terdorong untuk melaksanakan demi hukum.16
Adapun kepatuhan seseorang dapat dilihat dari Firman Allah SWT
dalam Quran Surat An-Nisa ayat 59, yaitu:
ª ىلا هودرف ءيش يف متعزانت ناف مكنم رملاا ىلواو لوسرلا اوعیطاو ª اوعیطا اونما نیذلا اھیای
٥٩ - لایوأت نسحاو ریخ كلذ رخلاا مویلاو ±اب نونمؤت متنك نا لوسرلاو
“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul utusan Allah (Muhammad), dan ulil amri (pemerintah) diantara kamu. Maka, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul Allah (Haditsnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang deminikan itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”17
Ayat ini menyeru kepada orang-orang yang beriman supaya mematuhi
terhadap aturan Allah SWT hadits Rasulullah SAW. dan ulil amri atau
pemerintahlm. Salah satu aturan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu mengenai
Batasan minimal usia perkawinan yang terdapat dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2. Teori Ijma
Dalam Langkah penentuan minimal usia perkawinan atas dasar
maslahah mursalahl. Namun apabila dikaitkan dengan sifatnya, yaitu ijtihadi
karena batasan minimal usia perkawinan tidak dijelaskan dalam nash.18
Ijtihad merupakan suatu kegitan yang mana dilakukan oleh ahli fikih
guna mendapatkan hukum tingkat zanny. Gerbang ijtihad untuk orang yang
16 Hamda Sulfinadia, Op. Cit. hlm. 10. 17 Quran Kemenag RI 18 Ibid, hlm. 188.
memahami fiqh terbuka luas dengan pertimbangan bahwasannya hukum-
hukum yang ada pada nash terbatas, sedangkan aktivitas manusia itu terus
menerus tanpa ada batas maka tidak mungkin dikembalikan dari yang tanpa
batas terhadap yang terbatas.19
Ijma merupakan metode ijtihad dengan cara bermusyawarah untuk
menghasilkan mufakat yang dilakukan oleh semua mujtahid setelah Nabi
Muhammad SAW wafat dalam suatu masalah yang belum diketahui hukumnya
di dalam nash baik Al-Quran maupun Hadits. Definisi ijma menurut jumhur
ulama, yaitu:
يعرش مكح ىلع ھتافو دعب روصعلا نم رصع ف م.ص دمحم ةمأ نم نیدھتجملا قافتا وھ عامجلإا
“Ijma adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya pada suatu masa terhadap sesuatu hukum syara”20
Mewujudkan rumah tangga sejahtera adalah impian setiap
pasangan yang akan membangun sebuah rumah tangga. Aspek penting yang
akan berpengaruh terhadap rumah tangga seseorang salah satunya, yaitu dari
segi usia. Maka dari itu pemerintah berani membuat aturan mengenai batasan
minimal usia perkawinan, aturan tersebut bertujuan agar terciptanya maslahat
bagi kedua kedua belah pihak yang hendak membangun rumah tangga.
Dalam arti luas perkawinan dapat diartikan sebagai suatu
kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita saling memautkan diri
untuk membangun rumah tangga sebagai satu keluarga.21 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai
ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dengan
bersandar pada Ketuhanan Yang Maha Esa.22
19 Juhaya S.Praja, “Teori Hukum dan Aplikasinya”, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011),
hlm. 69. 20 Abdullah, Safe”i, “Ushul Fiqh”, (Bandung: Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN SGD
Bandung, 2018), Cet. Ke- 1, hlm. 115-116. 21 Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi Pusat Kajian Hukum,
Gender, Masyarakat-Fakultas Hukum, UGM ICJR, Kalyanamitra, Ecpat Indonesia, “Naskah Akademik RUU Perubahan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, (Jakarta: Ecpat Indonesia, 2019), hlm. 6.
22 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Masyarakat di Indonesia pada umumnya institusi keluarga dan
perkawinan dianggap hal yang penting. Namun dari tujuan perkawinan itu
sendiri diartikan dengan bermacam-macam makna, tidak selalu sama dengan
yang diharapkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Perihal ini terlihat masih
banyaknya pelaksanaan perkawinan dengan tujuan yang sangat luas, misalnya
kepentingan orang tua dalam menstabilkan ekonomi supaya dapat menaikkan
status sosial pasangan atau keluarga. Segi ekonomi tidak hanya menjadi alasan
dari pasangan yang akan melakukan perkawinan melainkan alasan utama dari
pihak keluarga pasangan untuk menikahkan anak atau kerabat keluarganya.
Aspek tersebut dapat mempengaruhi terhadap peristiwa terjadinya praktik
perkawinan pada anak usia dini dan perkawinan yang tidak dicatat.23
Pengaturan batasan minimal usia perkawinan seperti yang telah
diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dianggap berlawanan dengan UUD
Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan HAM (Hak
Asasi Manusia), khususnya hak anak. Pasal 7 tersebut memberi anggapan
bahwa dibolehkannya perkawinan dini. Hal ini diperkuat dengan adanya
Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa Pasal 7 ayat
(1) frasa usia “16 (enam belas) tahun” Undang-Undang tentang Perkawinan
berlawanan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Dalam Amar Putusan menyatakan bahwa MK memerintahkan
pembentuk Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun
sejak putusan tersebut ditetapkan untuk melakukan perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.24
Kini, pengaturan mengenai batasan usia minimal perkawinan yang
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Pasal 7 ayat 1 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
23 Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi Pusat Kajian Hukum,
Gender, Masyarakat-Fakultas Hukum, UGM ICJR, Kalyanamitra, Ecpat Indonesia, Op. Cit. hlm. 6. 24 Ibid, hlm. 2.
tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan
apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun.”25
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 baru disahkan pada tangga
14 Oktober 2019, sedangkan baru diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2019.
Batasan minimal usia boleh melakukan perkawinan pada Undang-Undang
tersebut, yaitu pada usia 19 (sembilan belas) tahun. Terkait Undang-Undang
tentang Perkawinan yang baru diamandemen pada 2019 karena hal ini
merupakan salah satu pengembangan hukum Islam dan batasan usia merupakan
ijtihadi. Para ulama berbeda pendapat karena dalam Al-Quran tidak dijelaskan
batasannya usia berapa begitu juga dalam Hadits sama. Ini merupakan lahan
ijtihad para ulama.
Di dalam hukum Islam atau dalam hukum positif itu perlunya
unifikasi hukum atau keseragaman hukum, harus dilihat dari berbagai aspek
salah satunya secara psikologis, sosiologis dan aspek-aspek yang lain. Oleh
karena itu, undang-undang tentang Perkawinan baru diamandemen pada tahun
2019.
25 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Batas minimal usia perkawinan
UU No 1/1974 ttg Perkawinan
UU No 16/2019 ttg Perubahan atas UU No
1
/1974
Naskah akademik perubahan
usia perkawinan
L/P
19 Tahun Pendukung Penghambat
Kesadaran
Masyarakat
G. Langkah-langkah Penelitian
a. Metode Penelitian
Istilah “deskriptif” berasal dari istilah bahasa Inggris to describe yang
berarti memaparkan atau menggambarkan sesuatu hal, misalnya keadaan, kondisi,
situasi, peristiwa, kegiatan dan lain-lain. Penelitian deskriptif adalah penelitian
yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal lain-lain yang
sudah disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.26
Metode penelitian deskriptif , yaitu sebuah metode yang digunakan untuk
menggambarkan beragam fenomena dan fakta-fakta yang ada di masyarakat
dengan menggali secara lebih dalam terhadap pemberlakuan perubahan usia
perkawinan menurut pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.27 Kemudian
metode ini dikembangkan dengan permasalahan yang dibahas oleh penulis, yaitu
dengan memaparkan data (deskriptif analisis) tentang kesadaran hukum masyarakat
terhadap pemberlakuan perubahan usia perkawinan menurut Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
1 Tentang Perkawinan.
b. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian yang penulis pilih di Kecamatan Sindangkerta Kabupaten
Bandung Barat. Alasan penulis memilih lokasi ini karena masih ada masyarakat
yang mengetahui dan memahami tentang perubahan terkait batasan usia minimal
perkawinan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tentang Perkawinan, pada saat hendak
mendaftarkan perkawinannya di KUA.
26 Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik”, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2019), hlm. 3.
27 Beni Ahmad Saebani, “Metode Penelitian Hukum”, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hlm. 57.
c. Sumber Data
Sumber data di dalam penelitian adalah subjek yang dari mana data itu dapat
diperoleh. Apabila dalam penelitian menggunakan kuesioner ataupun wawancara
dalam pengumpulan datanya, maka sumber data itu disebut dengan responden,
yaitu orang yang memberi jawaban atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh peneliti, baik pertanyaan secara tertulis maupun secara lisan.
Apabila peneliti menggunakan teknik observasi, maka sumber datanya bisa
berupa benda, gerak atau proses terjadinya sesuatu. Apabila peneliti menggunakan
dokumentasi, maka dokumen atau catatlah yang menjadi sumber data.28
Sumber data ada dua macam yaitu primer dan sekunder:
1. Sumber Primer
Data primer adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang
diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh subjek
yang sudah jelas dapat dipercaya serta dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya, dalam hal ini subjek penelitian (informan) yang berkenaan
dengan masalah yang diteliti.29
Sumber data primer, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
Sindangkerta, Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Sindangkerta,
Tokoh Masyarakat, dan Masyarakat di Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten
Bandung Barat.
2. Sumber Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
grafis, (seperti table, catatan, notulen rapat, SMS, dan lain-lain), foto-foto, film,
28 Suharsimi Arikunto, Op. Cit. hlm. 172. 29 Ibid, hlm. 22.
rekaman video, rekaman suara, dan lain-lain yang dapat memperkaya sumber
data primer.30 Sumber data sekunder, yaitu Al- Quran, Hadits, Undang-Undang
Perkawinan, buku, karya ilmiah, dan internet yang berkaitan dengan penelitian
ini.
d. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian merupakan jawaban atas
pertanyaan penelitian yang diajukan terhadap masalah yang telah dirumuskandan
pada tujuan yang telah ditentukan. Maka dari itu, jenis data tersebut diklasifikasi
harus sesuai dengan butir-butir pertanyaan yang telah diajukan, dan terhindar dari
jenis data yang tidak relevan dengan pertanyaan tersebut walaupun dapat saja
dijadikan penambahan sebagai pelengkap.31
Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik berupa fakta ataupun angka.32
Data yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu jenis data kualitatif. Data-data
yang diperoleh dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 dan litelatur baik dari
buku-buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
Menurut teori penelitian kualitatif, agar penelitiannya berkualitas, maka data yang
dikumpulkan haruslah lengkap, yaitu baik dari data primer dan data sekunder.33
e. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data itu tergantung pada jenis dan sumber data yang
diperlukan.34 Adapun teknik pengumpulan data yang akan dipakai dalam penelitian
ini, yaitu:
30 Suharsimi Arikunto, Op. Cit. hlm. 22. 31 Cik Hasan Bisri, “Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi
Bidang Ilmu Agama Islam”, (Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada, 2003), hlm. 63. 32 Ibid, hlm. 161. 33 Ibid, hlm. 21-22. 34 Cik Hasan Bisri, Op. Cit. hlm. 65.
1. Pengamatan
Pengamatan (observasi) merupakan suatu teknik dalam pengambilan
data secara langsung terhadap keadaan atau fenomena yang terdapat
dilapangan. Di dalam penelitian pengamatan (observasi) dpat dilakukan
dengan tes, kuesioner, rekaman gambar, rekaman suara.
2. Wawancara
Wawancara atau dapat juga disebut interviu adalah sebuah
percakapan yang dilakukan antara pemberi jawaban (narasumber) dan
penanya, dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber untuk
memperoleh informasi. Adapun narasumber penelitian, yaitu Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan Sindangkerta, Pegawai Kantor Urusan Agama
Kecamatan Sindangkerta, Tokoh Masyarakat di Kecamatan Sindangkerta,
Tokoh Agama di Kecamatan Sindangkerta dan Masyarakat di Kecamatan
Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat.
3. Studi Dokumentasi
Dokumentasi asal katanya dari dokumen, yang artinya barang-
barang tertulis.35 Studi Dokumentasi merupakan metode untuk pengumpulan
data, yang data tersebut bersumber dari buku-buku, karya ilmiah, dokumen,
atau internet yang dapat membantu penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data kualitatif berbentuk deskriptif, sehingga apabila data
semua terkumpul, selanjutnya melakukan analisis. Adapun untuk melakukan
analisis ada beberapa tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Menelaah data yang telah dikumpulkan, data disini bersumber dari Al-
Quran, Hadits, Undang-Undang, buku-buku, jenis tulisan ilmiah dan
rekaman yang berkaitan dengan penelitian ini.
35 Suharsimi Arikunto, Op. Cit. hlm. 201.
b. Mengklasifikasikan data, yaitu dengan data-data yang sudah ada kemudian
dilakukan klasifikasi menurut jenis data yang dibutuhkan sesuai dengan
pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian.
c. Analisis data, setelah diklasifikasikan, kemudian dilakukan analisis dengan
menghubungkan data-data dengan teori-teori.