bab i pendahuluan a. latar belakang · merupakan laporan tertinggi yang diterima kpai. “anak...
TRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan hukum sifatnya universal, hukumxada pada
setiapxmasyarakat dimanapunxdi muka bumi ini, primitif atau modern suatu
masyarakat pasti mempunyai hukum, dimana hukum mempunyai hubungan
timbalxbalik dengan masyarakat. Hukumxsetidaknya mempunyai tiga peranan
utama dalam masyarakat, yaknixpertama, sebagai saranaxpengendalian sosial;
kedua sebagai sarana untuk memperlancarx proses interaksi sosial; ketiga, sebagaix
sarana untuk menciptakan sarana tertentu.1 Kelompok masyarakat berkembang
dari bentuk yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Bersamaan dengan itu,
timbulah hukum dalam masyarakat, mulai dari yang sederhana sampai pada
saatnya menjadi semakin rumit. Corak kehidupan masyarakat diikuti oleh corak
hukum yang berlaku pada masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya saling
pengaruh mempengaruhi. Setiap kelompok masyarakat selalu ada permasalahan
sebagai akibat perbedaan antara yang ideal dan aktual, antara yang standar dan
yang praktis. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai
variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan nilai
yang ideal dalam masyarakat seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan
menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Dalam situasi demikian, kelompok
1 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori & lmu Hukum : Pemikiran
Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermanfaat, PT. RajaGrafindo Persada, 2012, hlm.v
Kata Pengantar.
-
2
berhadapan dengan problema untuk menjamin ketertiban bila kelompok tersebut
ingin mempertahankan eksistensinya.2
Permasalahan pidana terkait Anak sebagai pelaku maupun sebagai korban
merupakan salah satu peristiwa hukum yang akhir-akhir ini marak terjadi di tengah
masyarakat dan permasalahan dalam penanganan anak yang diduga melakukan
tindak pidana merupakan permasahan tersendiri dalam penegakan hukum di
Indonesia. Data Komnas Perempuan dan Anak, telah menerima 26 ribu kasus anak
dalam kurun 2011 hingga September 2017. anak yang berhadapan dengan hukum
merupakan laporan tertinggi yang diterima KPAI. “Anak berhadapan dengan
hukum sebanyak 34 persen salah satu contohnya kasus kekerasan Thamrin City.
Selanjutnya permasalahan keluarga dan pengasuhan 19 persen,” kata Komisioner
KPAI Retno Listyarti dalam diskusi ‘Stop Bullying di Sekolah’ di DPP Partai
Solidaritas Indonesia (PSI), Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Rabu (4/10/2017).
Kasus lain yang diterima oleh KPAI seperti masalah pendidikan serta pornografi
dan cybercrime. Retno pun menyayangkan kasus bully di Thamrin City yang
berujung pencabutan KJP anak pelaku bully. “Melihat kasus Thamrin di mana 9
anak melakukan kekerasan di mana para pelaku KJPnya dicabut kemudian
dikeluarkan dari sekolah. Ini akan menjadi masalah baru karena sama saja pelaku
dicabut hak anaknya untuk mendapat pendidikan,” lanjut Retno.
“Memang ini kasus kekerasan tapi karena pelaku dan korban adalah anak-anak,
penyelesaian masalah ini tidak harus masuk ranah hukum,” sambung Retno.3
2 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Raja Grafindo, cet.viii, 2003,
hlm.5. 3 Davit Setyawan, KPAI Terima Aduan 26 Ribu Kasus Bully Selama 2011-2017,
http://www.kpai.go.id, diakses pada tanggal 25 Januari 2018 pukul 23.05 Wib
http://www.kpai.go.id,/
-
3
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara, dalam konstitusi
Indonesia anak memiliki peran strategis, hal ini secara tegas dinyatakan bahwa
negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh
karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik
bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekwensi dari ketentuan Pasal 28B
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan
membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi anak. Anak perlu
mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang
cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua
yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh
Anak, antara lain disebabkan oleh faktor diluar diri Anak tersebut, berdasarkan data
terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dari Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan menunjukan tingkat kriminalitas, dan pengaruh negatif
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, zat adiktif semakin meningkat.4
Berrbagai perbuatan dan tingkah laku anak pelaku tindak pidana
memerlukan pertimbang yang khusus dalam Dalam menghadapi dan
menangulanginya karena kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang
4 Kristiyanto,Sosialisasi-Ruu-Sistem-Peradilan-Pidana-Anak,http://ditjenpp.kemenkumham.g
o.id/harmonisasi-peraturan-lainnya/43-sosialisasi/571, diakses pada tanggal 24 Maret 2017 pukul
19.00 wib
-
4
khas. Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat
dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai
calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan
mental. Terkadang Anak mengalami situasi sulit yang membuatnya melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar
hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan dalam
penjara.5
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah
keturunan kedua. Dalam konsideran UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia
seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu
memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental
maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta
untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan diskriminasi.6
5 M. Nasir Djamil (pimpinan Panja Sistem Peradilan Pidana Anak Komisi III DPR RI), 2015,
Anak Bukan untuk Dihukum, Sinar Grafika, hlm. 1.
6 Ibid hlm.8
-
5
Seringkali pusat perhatian masyarakat mengarah pada sangsi pidana, yang
pada prinsip mengandung kebaikan di satu sisi dan kelemahan di sisi lainnya.
Walaupun yang menjadi titik kritik yang paling sering adalah kelemahan/
keburukannya yang digambarakan oleh sebagian besar kalangansebagai perlakuan
yang kejam. Terkait hal tersebut untuk membatasi penggunaan pidana,maka
diterapkanlah sanksi-sanksi lain salah satunya yaitu pidana denda yang tidak
bersifat pidana, yang bersifat perdata, mirip dengan pembayaran yang harus
dibayarkan pada perkara perdata, terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain.Namun dalam hukum pidana, denda dibayarkan kepada
negara. Seperti halnya yang dikemukakan Sutherland dan Cressey sebagaimana
dikutip oleh Suhariyono yang mengatakan bahwa, “pidana denda bermula dari
hubungan keperdataan”.7 Bahwa ketika seseorang dirugikan orang lain, ia boleh
menuntut ganti rugi atas kerusakannya. Jumlahnya tergantung dari besarnya
kerugian yang diderita serta posisi sosialnya yang tengah dirugikan. Penguasa pun
hendaknya menuntut pula sebagian dari pembayaran ini atau pembayaran tambahan
untuk ikut campur tangan pemerintah dalam pengadilan, atau atas tindakan
pemerintah terhadap yang membuat gugatan. Jadi, pidana denda pada mulanya
adalah hubungan keperdataan yaitu ketika seseorang dirugikan maka boleh
menuntut ganti kerugian atas kerusakan yang jumlahnya tergantung dari besarnya
kerugian yang diderita serta posisi sosialnya yang dirugikan itu. Penguasa pun
selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran tambahan untuk ikut campur
tangan pemerintah dalam pengadilan atau atas tindakan pemerintah terhadap yang
7 Suhariyono, Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, Pidana Denda sebagai Sanksi
Alternatif, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2012, hlm. 167.
-
6
membuat pelanggaran. Dalam perkembangannya, yang dirugikan mendapatkan
pembagian yang semakin menurun dan penguasa mendapat pembagian hasil yang
semakin baik dan akhirnya mengambil seluruh pembayaran ganti kerugian.8
Pidana denda sebagai salah satu pidana pokok dalam KUHP yang menjadi
urutan ke empat setelah ketiga jenis pidana yakni pidana mati, pidana penjara, dan
pidana kurungan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 KUHP, sering dijadikan
pilihan oleh pembentuk undang-undang di luar KUHP sebagai alternatif atau
kumulatif atau keduanya dari pidana penjara atau kurungan.9 Pada saat pidana
denda digunakan dan ditentukan sebagai pidana alternatif atau pidana yang
diancamkan secara tunggal dalam beberapa pelanggaran yang ditentukan dalam
Buku III KUHP, maka orang beranggapan bahwa pidana denda sebagai bagian dari
pidana pokok, akan mempunyai efek jera dan hal ini merupakan bagian dari
penderitaan. Paling tidak, pidana denda dapat dijadikan bagian dari perlindungan
masyarakat dan sekaligus pembimbingan. Pidana denda ini merupakan pidana yang
paling sedikit menimbulkan penambahan penderitaan dan yang sebenarnya terjadi
adalah pemindahan penderitaan.10
Menurut Muladi,11 tujuan pemidanaan dijadikan patokan dalam rangka
menunjang bekerjanya sistem peradilan pidana dimaksudkan untuk menciptakan
sinkronisasi yang bersifat fisik, meliputi sinkronisasi struktural (structural
synchronization), sinkronisasi substansial (substansial synchronization) dan dapat
pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural synchronization). Dalam hal
8 Ibid. 9 Ibid., hlm. 19. 10 Ibid., hlm. 18. 11 Muladi, op.cit., hlm. 2.
-
7
sinkronisasi kultural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme
administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam rangka
hubungan antar lembaga penegak hukum. Sedangkan menyangkut sinkronisasi
substansial, maka keserempakan itu mengandung makna baik vertikal maupun
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sementara
sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Pemahaman atas tujuan pemidanaan
melalui tiga pilar administrasi peradilan pidana tersebut merupakan prasyarat yang
harus dipenuhi apabila tidak ingin terjadi bias antara tujuan pemidanaan dengan
tujuan dari sistem peradilan pidana.
Dalam hal menangani anak sebagai pelaku tindak pidana, pemidanaan
terhadap Anak harus memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan mental anak,
sehingga harus diadakan perlakuan yang berbeda di dalam hukum acara dan
ancaman pidananya, dengan tujuan untuk lebih mengayomi anak tersebut agar
dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang dan memberi kesempatan
kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi
manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri, keluarga,
masyarakat.
“…the child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs
special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well
as after birth…(anak dengan alasan fisik dan ketidak matangan mental,
membutuhkan perlindungan dan kepedulian, termasuk perlindungan hukum yang
-
8
tepat, sebelum dan sesudah kelahirannya)” Deklarasi Wina tahun 1993 yang
dihasilkan oleh Konferensi Dunia tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM),
kembali menekankan prinsip “First Call for Children”, yang menekankan
pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak
anak atas “survival protection, development and participation. (kelangsungan
hidup, pengembangan dan partisipasi)” 12
Pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, diatur secara khusus dalam
Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden Nomor
36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak. Dalam pasal 1 butir
12 Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa hak Anak
adalah bagian dari hak azasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintahan dan negara”. Undang-undang
Nomor 17 tahun 2016 tetang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi
Undang-undang sendiri merupakan merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan
Konvensi hak-hak anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa negara sangat
memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib
dijunjung tinggi oleh setiap orang. Pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini,
diatur secara khusus dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tetang
12 Harkristuti Harkrisnowo, Tantangan dan Agenda Hak-Hak Anak, Jakarta, Newsletter
Komisi Hukum Nasional, Edisi Februari 2002, 2002, hlm 4.
-
9
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2016
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-undang dan Keputusan Presiden Nomor 36
tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak. Dalam pasal 1 butir 12
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa hak Anak
adalah bagian dari hak azasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintahan dan negara”. Undang-undang
Nomor 17 tahun 2016 tetang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi
Undang-undang sendiri merupakan merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan
Konvensi hak-hak anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Sistem pemidanaan terhadapa anak yang masih memperlakukan anak-anak
yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana sama halnya dengan pelaku orang
dewasa. Padahal pemidanaan itu sendiri lebih berorientasi kepada individu pelaku
atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/personal (Individual
responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk
bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak
merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan
/perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu
yang belum matang dalam berpikir.13 Anak yang melakukan tindak pidana harus
13 Mardjono Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku
Keempat, Ed.1, Cet.2, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, 1997, hlm.43.
-
10
diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak
artinya anak yang berhadapan dengan hukum sebaiknya penjatuhan pidana penjara
sebagai pilihan terakhir. Indonesia sudah memiliki aturan untuk melindungi,
mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak antara lain Undang-undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2016
tetang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang. Namun tampaknya tidak
cukup membawa perubahan yang signifikan bagi nasib dari anak-anak yang
berkonflik dengan hukum, dan apa yang diharapkan pada kenyataan sering tidak
dapat terlaksana dengan baik karena putusan hakim lebih bersifat punitive sehingga
merugikan si anak itu sendiri. Oleh karena itu sudah seharusnya sistem pemidanaan
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus memperhatikan kepentingan
anak dan sesuai dengan standar nilai dan perlakuan sejumlah instrumen nasional
maupun internasional yang berlaku untuk anak. Semua instrumen hukum
internasional dan instrumen hukum nasional ini dimaksudkan untuk memberikan
jaminan perlindungan hak-hak anak.
Pada Tahun 2012 Pemerintah RI telah melakukan perubahan atas
Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (PA) dengan
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SP2A).
Jika diperbandingkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak dengan Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak,
-
11
maka Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
lebih komprehensif dalam menempatkan posisi anak dalam hukum, dibandingkan
dengan Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak yang hanya
melindungi anak sebagai korban dan tidak bagi pelaku, sebagai pelaku terkadang
diposisikan sama dengan pelaku orang dewasa.
Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dikatakan komprehensif karena didalam undang-undang ini seluruh Aparat
Penegak Hukum dilibatkan untuk turut serta menyelesasikan masalah anak.
Semisal bagaimana aparat kepolisian, kejaksaan dan kehakiman terlibat aktif dalam
menyelesaikan kasus tanpa harus melalui proses pidana hingga menghasilkan
putusan pidana.
Disamping itu, dalam sumber daya manusianya, aparat penegak hukumnya
khsusnya penyidik, penuntut umum serta hakim dituntut untuk memahami
persoalan anak dengan mengikuti pendidikan penradilan anak. Demikian pula
dengan advokat yang harus pula dituntut untuk mengetahui persoalan anak.
Kemajuan lain dari Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak adalah penahanan sementara anak ditempatkan di Lembaga
Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Penempatan
Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA) dimaksudkan agar anak tidak bergabung dengan tahanan orang
dewasa.
-
12
Konsep Restorative Justice sebagai alternative penyelesaian perkara pidana
anak, Restorative Justice dimaknai sebagai suatu proses dimana semua pihak yang
terkait dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan
masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan
datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui upaya diversi yang dilakukan
oleh pihak Kepolisian ketika kasus anak telah dilaporkan di Kepolisian dengan
menggunakan otoritas diskresi. Diskresi adalah adalah pengalihan dari proses
pengadilan pidana secara formal ke proses non formal untuk diselesaikan secara
musyawarah. Pendekatan ini dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak
yang berkonflik dengan hukum.
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif yang kemudian diterapkan
sebagai salah satu upaya penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum
dengan melibatkan keluarga, tokoh masyarakat, pelaku, korban dan pihak-pihak
terkait lainnya, dengan penekanannya kembali kepada keadaan semula tanpa ada
unsur pembalasan. Jadi Restorative Justice diartikan sebagai keadilan
penyembuhan, pemulihan rasa keadilan bagi korban, sehingga tidak ada lagi unsur
balas dendam dan penghukuman terhadap pelaku.
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sitem Peradilan pidana
Anak, pada tahapan pemeriksaan ditingkat proses hukum baik ditingkat Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan diharuskan Anak yang beronflik dengan
hukum dilakukan upaya Diversi dengan pendekatan Keadilan Restoratif, Syarat
untuk dilakukan Diversi tentunya dengan kejahatan yang ancaman hukumannya
kurang 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Namun jika dalam
-
13
proses tidak menghasilkan penyelesaian maka kasus Anak yang beronflik dengan
hukum diproses di pengadilan dengan menggunakan pendekatan peradilan anak.
Pada proses ini, dilakukan dengan memperhatikan usia anak yakni khusus
anak dibawah 12 tahun dilakukan hukuman tindakan dan anak berumur 12 tahun
hingga umur 18 tahun dilakukan hukum tindakan dan pemidanaan.
Mengapa anak sampai tega melakukan tindak pidana, hal ini ada beberapa
kemungkinan antara lain kurangnya pendidikan moral atau agama.atau mungkin
juga melihat film kekerasan yang kemungkinan ditiru tanpa mengetahui akan
berdampak pada ancaman pidana.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana barang siapa yang melakukannya. Larangan itu merupakan dasar bagi
adanya perbuatan pidana. Dapat pula dikatakan, bahwa justru asas legalitas inilah
yang merupakan dasar dari pada “perbuatan pidana”. Tanpa adanya peraturan
terlebih dahulu mengenai perbuatan apa yang terlarang, maka kita tidaklah
mengetahui adanya perbuatan pidana.
Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan
aturan-aturan untuk menentukan perbuatan –perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman berupa suatu pidana tertentu,
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Menentukan dengan cara
bagaimana pengenaan pidana itu dilaksanakan apabila ada orang yang melanggar
larangan tersebut.
Pada bulan Juni 2016 sejumlah siswa SMP Sahara Kota Padang merayakan
kelulusannya dengan konvoi sepeda motor di jalan-jalan Kota Padang, tanpa sebab
-
14
yang jelas salah satu Anak yaitu Fauzan Arsi Putra yang dibonceng oleh temannya
melayangkan Gear yang telah diikatkan ke sabuk dengan serampangan saat
melewati sejumlah siswa dari SMPN 12 Kota Padang yang kebetulan sedang
berjalan di trotoar sehingga Gear tersebut mengenai muka anak Gion Salendra yang
mengakibatkan luka parah pada matanya. Orang tua dari Gio Salendra merasa tidak
senang karena anaknya menderita luka parah kemudian melaporkan Fauzan Arsi
Putra ke Polresta Padang sehingga Fauzan Arsi Putra diproses secara hukum
dimana saat itu Fauzan Arsi Putra berumur 17 (tujuh belas) tahun, dimana pihak
Polresta Padang memproses Anak tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor
11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
-
15
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka kami mengemukakan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa dasar dan pertimbangan Penuntut Umum mengajukan tuntutan
terhadap Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam kasus putusan perkara
Nomor :07/Pid.Sus-Anak/2017/Pn.Pdg?
2. Apa dasar dan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam kasus putusan perkara Nomor
:07/Pid.Sus-Anak/2017/Pn.Pdg?
3. Apakah tuntutan Penuntut Umum dan putusan Hakim telah sesuai dengan
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka
tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar dan pertimbangan Penuntut Umum
mengajukan tuntutan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana
dalam kasus perkara dalam kasus putusan perkara Nomor
:07/Pid.Sus-Anak/2017/Pn.Pdg?
2. Untuk mengetahui dasar dan pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dalam kasus
putusan perkara Nomor :07/Pid.Sus-Anak/2017/Pn.Pdg?
-
16
3. Apakah Pemidanaan yang diterapkan oleh Penuntut Umum maupun
Hakim Anak sudah sesuai dengan SOP dan UU No.11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dan masukan
bagi pelaksanaan penelitian di bidang yang sama untuk masa mendatang
pada umumnya dan masukan serta sumbangan bagi ilmu pengetahuan
khususnya pada hukum pidana.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi secara ilmiah bagi masyarakat umum dan
penegak hukum sehingga diharapkan dapat lebih mengetahui dan
mengerti tentang sistem pemidanaan edukatif terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana, dan dengan adanya informasi tersebut diharapkan
juga dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat.
E. Kerangka Teoritis
Teori-teori yang relevan dan berhubungan serta cocok untuk dipakai
membahas dan mengkaji permasalahan yang disajikan menurut persepsi
penulis adalah :
1. Teori Absolut atau Teori pembalasan (Vergeldings Theory)
Dalam bahasa latin teori absolut disebut juga quia peccatum, teori
ini muncul pada abad 18 yang dianut oleh Immanuel Kant, Hegel,
Herbart, Stahl, Leo Palak da beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya
-
17
pada filsafat katolik dan demikian pula sarjana Islam yang mendasarkan
teorinya pada qishas dalam Al Quran.14Teori pembalasan mengatakan
bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki
kejahatan. Kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk
dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu
kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana
itu, setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada
pelanggar.15 Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu
yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan , hakikat suatu pidana
ialah pembalasan. Pelaku tindak pidana harus dibalas.
2. Teori Relatif dan tujuan (doeltheorie)
Pemidanaan harus mempunyai tujuan yaitu pencegahan
(deterence), yang terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a. Prevensi umum (General Deterence)
Bentuk tertua dari prevensi umum dipratekkan sampai revolusi
Perancis, prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang
lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan,
kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu
dipertontonkan didepan umum dengan sangat ganasnya, supaya
anggota masyarakat takut melihatnya. Untuk itu terkenallah adagium
“nemo prudens punit, quia peccatum, sed net peccatur” (supaya
14A.Z Abidin dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta,
PT. Yarsif Watampone, hal 45 15Ibid, ham 45
-
18
khalayak ramai betul-betul takut melaksanakan kejahatan maka perlu
pidana yang ganas dan pelaksanaannya didepan umum)16
b. Prevensi khusus (Special Deterence atau Individual Deterence)
Prevensi khusus dianut oleh Van Hammel (Belanda) dan Von Liszt
(Jerman) mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah
mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar
melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.
Van Hammel menunjukkan bahwa Prevensi Khusus suatu pidana
adalah :
1) Pidana harus memuat sesuatu unsur menakutkan supaya
mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak
melaksanakan niat buruknya.
2) Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.
3) Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak
mungkin diperbaiki.
4) Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahankan tata tertib
hukum17
3. Teori Gabungan (Vereeningings Theorie)
Teori Gabungan (Vereeningings Theorie) mendasarkan
pemidanaan kepada perpaduan antara teori pembalasan (Vergeldings
Theorie) dengan teori tujuan (Doelteorien). Teori Gabungan
(Vereeningings Theorie) tidak saja mempertimbangkan masa lalu
16Ibid, ham 48 17 Ibid, hal 50
-
19
(seperti yang terdapat dalam teori pembalasan) tetapi juga harus
bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksud
dalam teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus
memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim maupun kepada penjahat
itu sendiri disamping kepada masyarakat.
F. Konseptual
Untuk menghindari kerancuan dalam arti pengertian, maka perlu
kiranya dirumuskan beberapa defenisi dan konsep. Adapun konsep – konsep
yang penulis gunakan sebagai berikut:
1. Pengaturan
Pengertian pengaturan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
proses, cara, perbuatan mengatur. Jika dihubungkan dengan proposal ini
maka dapat kita mengetahui bagaimana pengaturan dalam tatanan Norma
Undang-Undang yang mengatur mengenai Anak.
2. Tujuan
Pengertian tujuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang merupakan
kata benda yang dapat diartikan yakni cita-cita, maksud, sasaran, sehingga
tujuan dapat diartikan merupakan suatu cita-cita dan impian yang hendak
diraih untuk mewujudkan cita-cita dimaksud oleh suatu organisasi dimasa
depan. Jika dihubungkan dengan proposal ini maka dapat diartikan
maksud dan cita-cita pemidanaan yang hendak diraih harus tetap
memperhatikan tujuan utama dan dasar dari Peradilan Anak yaitu untuk
-
20
memberikan perlindungan dan mewujudkan kesejahteraan anak serta
mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan..
3. Pemidanaan
Sebelum membicarakan masalah pemidanaan, terlebih dahulu akan
dibahas pengertian pidana. Istilah pidana sering diartikan sama dengan
istilah hukuman. Tetapi sebenarnya kedua istilah ini tidaklah sama
karena hukuman adalah suatu pengertian umum sebagai suatu sanksi
yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada
seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus
yang berkaitan dengan hukum pidana. Pidana harus dikaitkan dengan
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.”18
Mulyatno berpendapat, bahwa istilah “hukuman” yang berasal
dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan
“wordt gestraf” adalah istilah-istilah yang konvensional. 19 Beliau
tidak setuju dengan istilah-istilah tersebut, dan menggunakan istilah
“pidana” untuk menterjemahkan perkataan “straf” dan istilah
“diancam dengan pidana” untuk menggantikan istilah “wordt gestraf.”
Menurutnya, kalau kata “straf” itu kita terjemahkan dengan
“hukuman,” maka “strafrecht” seharusnya diartikan sebagai
18 R. Sugandi, KUHP Dengan Penjelasan, Surabaya, Usaha Nasional, 1990, hlm.5 19 Elwi Danil dan Nelwitis, Diklat Hukum Panitensier, Padang, 2002, hlm.10
-
21
“hukum-hukuman.” Lebih jauh beliau menjelaskan, “dihukum” berarti
“diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.
Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang
maknanya lebih luas dari pada pidana, sebab mencakup juga keputusan
hakim dalam lapangan hukum perdata.20
Pendapat senada dikemukakan pula oleh Sudarto, yang
mengatakan bahwa “penghukuman” berasal dari kata dasar “hukum”,
sehingga dapat diartikan sebagai “menerapkan hukum” atau
“memutuskan tentang hukumnya” (berechten). Menetapkan hukum
untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana
saja; tetapi juga hukum perdata. Oleh karena itu, istilah yang dipakai
adalah “penghukuman”, atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh
hakim. Penghukuman dalam arti yang demikian itu dapat disamakan
maknanya dengan “sentence” atau “veroordeling”, misalnya dalam
pengertian “sentence conditionaly” atau “veroorwaardelijk
veroordeeld” yang sama artinya dengan “dipidana bersyarat”.
Akhirnya Sudarto mengemukakan, bahwa penggunaan istilah “pidana”
untuk mengganti atau menterjemahkan perkataan “straf” lebih tepat
dari pada memakai istilah “hukuman.”21
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu sinonim dengan
perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut, Sudarto mengatakan :22
20Ibid, hlm.11 21Ibid, hlm. 12 22 P.A.F. Lamintang,, Op.cit, hlm. 49
-
22
Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat
diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang
hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu
tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga
hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana,
maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman
dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan
atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman
dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau
verroordeling. Dengan demikian, pemidanaan dapat diartikan sebagai
penjatuhan pidana oleh hakim pada pelaku tindak pidana yang
merupakan konkritisasi atau realisasi dari ketentuan pidana dalam
undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak.23 Dalam hal ini
pemidanaan yang dimaksud adalah penjatuhan pidana oleh hakim
terhadap pelaku tindak pidana anak yang masih dibawah umur sesuai
dengan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
4. Tujuan Pemidanaan
Pemidanaan di Indonesia merupakan hal yang paling penting
dalam mewujudkan berhasil atau tidaknya usaha negara sebagai pejabat
yang berwenang menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana.
Pemidanaan bukan semata-mata dilihat sebagai suatu penjatuhan pidan
23 Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 73
-
23
saja, melainkan dalam pemidanaan itu juga terkait lembaga-lembaga
pidana.
Dalam seminar kriminologi ke-3 tahun 1976 telah merumuskan hal
berikut:24
Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana
untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap
kejahatan dengan memperbaiki atau memulihkan kembali
(rehabilitasi) si pembuat tanpa mengurangi keseimbangan kepentingan
perorangan (pembuat) dan masyarakat.
Peradilan pidana sekarang ini didasarkan atas beberapa tingkat
yang tujuannya antara lain adalah membatasi wewenang yang mungkin
timbul dalam hukum pidana dan mengawasi serta membatasi pelaksanaan
dari kekuasaan itu. Wewenang yang ada pada negara dibatasi dan didesak
sampai kepada fungsinya untuk menegakkan ketertiban masyarakat.
Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang
(dalam pengertian sosiologi) atau membangkang (dalam pengertian
kriminologi) yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.
Tidak ada masyarakat yang luput dari kejahatan. Menurut Saparinah Sadli,
perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata terhadap
norma sosial yang mendasari kehidupan sosial dalam masyarakat. Dengan
24 Djoko Prakoso, 1988, Hukum Penitensier di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 38
-
24
demikian, kejahatan di samping merupakan masalah kemanusiaan juga
merupakan masalah sosial.25
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah
satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang
kebijakan penegakan hukum nasional, yaitu segala usaha untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Jadi masalah penanggulangan kejahatan, selain
merupakan masalah sosial juga merupakan masalah kebijakan.
Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial
itulah, Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah kejahatan
(tindak pidana), harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :26
a. Tujuan penggunaan hukum pidana Indonesia harus
memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila;
b. Perbuatan yang diusahakan untuk menanggulangi adalah
perbuatan yang tidak dikehendaki masyarakat;
c. Penggunaan hukum pidana harus memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil;
d. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kemampuan
daya kerja badan penegak hukum.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa hukum pidana bertujuan
untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan
25 Ibid, hlm. 40 26 Ibid, hlm. 41
-
25
terhadap perbuatan itu dikenakan sanksi yang tegas oleh penguasa serta
untuk mencegah terjadinya kekacauan dan memelihara ketertiban dalam
masyarakat. Oleh karena itu pidana dijatuhkan untuk menciptakan dan
memelihara ketertiban yang sudah ada dalam masyarakat.
Di Indonesia, penjatuhan pidana bertujuan untuk membina diri
terpidana agar dapat menjadi baik dengan memberikan pendidikan dan
latihan yang berguna bagi diri mereka dan masyarakat, setelah mereka
menjalani masa pidana. Oleh karena itu dalam sistem hukum Indonesia,
pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak boleh
merendahkan martabat manusia, karena Indonesia menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Dengan demikian, dalam sistem hukum pidana Indonesia,
pemidanaan bertujuan untuk membina terpidana agar dapat menjadi orang
baik, sehingga dapat kembali menjadi angota masyarakat yang sadar
hukum.
Bertolak dari pemikiran bahwa pidana pada hakikatnya hanya
merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep Rancangan KUHP
Baru pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam
merumuskan itu, konsep bertolak dari keseimbangan antara dua sasaran
pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/ pembinaan
individu pelaku tindak pidana.27
Dengan berkembangnya sistem Restorative Justice (keadilan yang
merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat pelaku
27 Ibid. hlm. 36
-
26
mengembalikan keadaan kepada kondisi semula, keadilan yang bukan saja
menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga
memperhatikan keadilan bagi korban. pemahaman ini telah diakomodir
oleh R-KUHP tahun 2012 yang pada BAB III dengan judul Pemidanaan
dalam pasal 54 R-KUHP tersebut dijelaskan Tujuan pemidanaan yakni :
Pasal 54 ayat (1) :
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan nama
hukum demi pengayoman masyarakat;
b) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh Tindak Pidana
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
d) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e) Memaafkan terpidana.
Pasal 54 ayat (2) R-KUHP “Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan dan merendahkan martabat manusia”.
G. Metode Penelitian
Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif,
yakni pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan
cara menelaah teori-terori, konsep-konsep, azas-azas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini, yang terdiri dari
bahan hukum primer, sekunder dan tertier.
-
27
1. Jenis dan Bahan Hukum
Penelitian yang dilakukan menggunakan data-data sebagai berikut :
a. Data Primer
Adalah bahan-bahan penelitian yang berasal dari peraturan-peraturan
dan ketentuan yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang
dirumuskan.
Diantaranya :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
pidana Anak.
b. Data Sekunder
Adalah bahan-bahan penelitian yang berasal dari literatur atau hasil
penelitian seperti buku-buku, makalah, jurnal maupun hasil penelitian
yang ditulis oleh para ahli hukum yang berkaitan dengan judul penulis.
c. Data Tertier
Adalah bahan-bahan penelitian yang berasal dari majalah dan surat
kabar, yang kesemuanya berfungsi sebagai informasi lini pertama
(first line information).
2. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
-
28
Pada tahap ini dihimpun data dari berbagai bahan dan
literatur-literatur yang relevan dan berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti.
b. Studi Lapangan (Field Reserch)
Field research ini dimaksudkan untuk mendapatkan data lapangan
serta pandangan para pakar hukum tentang permasalahan penelitian.
Cara memperoleh bahan hukum tersebut adalah dengan melakukan
wawancara terstruktur.
3. Analisis
Untuk menyimpulkan hasil penelitian dan untuk mencapai hasil
yang obyektif maka bahan hukum disusun, diklasifikasikan, dicatat dan
dianalisa secara kualitatif. Penyusunan bahan hukum bertujuan untuk
menyeleksi bahan hukum yang relevan dengan penelitian ini. Klasifikasi
bahan hukum bertujuan untuk memisahkan antara bahan hukum yang
diperoleh dari penelitian pustaka (library research) dan penelitian
lapangan (field research).