bab i pendahuluan a. latar belakang orang sulawesi yang
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orang Sulawesi yang selama ini tinggal di dalam dan sekitar hutan bukanlah
tanpa sebab. Sejarah panjang penyingkiran telah menempatkan mereka pada tanah yang
saat ini ditempati. Sejak zaman perbudakan, yang memperluas perburuan hingga
menjangkau sebagian Sulawesi. Perburuan budak yang semakin meluas membuat
mereka yang awalnya tinggal di dataran rendah dan lembah, kemudian berimigrasi
secara besar-besaran menuju dataran tinggi pegunungan (Li, 2001; Reid, 20011: 128-
130).
Masuknya misionaris agama Kristen awal abad 20, khususnya ke wilayah
pegunungan Sulawesi, kembali menggiring penduduk ke dataran rendah setelah
sebelumnya disematkan identitas agama baru (Li, 2001: 124-128; Aditjondro 1979:
119). Ternyata, upaya menurunkan para penduduk dari pegunungan merupakan bentuk
akumulasi sumber daya bagi kepentingan kolonial (Li, 2012: 129-133). Semenjak
menjadi negara Indonesia, upaya penyingkiran petani pegunungan masih belum juga
berakhir. Gejolak yang terjadi akibat ketidakpuasan para pejuang yang awalnya bahu
membahu mengusir penjajah berujung pada kudeta. kelompok-kelompok yang
melakukan kudeta ini merasa memiliki peran penting namun saat lahir negara Indonesia
merasa terabaikan. Kudeta yang dilakukan membutuhkan sumber daya alam dan
manusia untuk memuluskan perjuangan dimaksud. Upaya yang dilakukan adalah
dengan menaklukkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan negara, seperti
wilayah pegunungan. Wilayah yang telah ditaklukkan ini kemudian dijadikan sebagai
2
lokasi strategis untuk perang gerilya. Akibatnya, memaksa sebagian petani pegunungan
menjadi manusia pengembara di hutan untuk menghindari pengejaran dan pembunuhan.
Setelah pengembaraan yang panjang dan kudeta dapat diberantas oleh negara,
bukan berarti, penyingkiran terhadap petani pegunungan berakhir, negara melaui
program resettlement1-nya kembali menyingkirkan mereka. Program resettlement
setelah dikaji kembali tidak lebih dari wajah hegemoni (Gramsci, 2013) rezim negara
yang merampas manusia dari sumber produksinya (Li, 2012: 146-152). Celakanya,
sebelum mereka disingkirkan terlebih dahulu dikambing hitamkan atas kerusakan hutan
oleh rezim negara (Kusworo, 2000). Setelah dengan terpaksa mengikuti kemauan
pemerintah yang sebelumnya membujuk bahwa tanah yang akan mereka tempati lebih
baik dari tanah yang mereka tempati namun, kenyataannya tidak demikian. Ternyata,
tempat yang telah mereka tinggalkan justru dipatok oleh rezim untuk kepentingan
proyek konservasi yang didanai oleh Bank Dunia (D’Andrea, 2013: 94-95: 108).
Agenda konservasi, salah satunya terkait dengan wacana perubahan iklim.
Hadirnya wacana perubahan iklim dengan berbagai skema di dunia akhir-akhir
ini, secara langsung mengusik kembali keberadaan dan akses atas sumber produksi
manusia yang tinggal dan hidup di dalam atau sekitar hutan. Agenda penyelamatan
bumi dalam proses perundingannya berujung pada tukar guling perdagangan karbon
(Steni, 2010: 23-29). Negara maju terdesak untuk menurunkan emisi karbon yang
berdampak pada pertumbuhan ekonominya (Uliyah dan Cahyadi, 2011). Negara
1 Program pemindahan masyarakat pegunungan dari dataran tinggi pegunungan ke dataran rendahdengan sebelumnya di beri identitas sebagai “masyarakat terasing”. Program ini di kelola olehDirektorat Tata Guna Tanah di bawah pertimbangan Direktorat Jenderal Agraria di bawah naunganDepartemen Dalam Negeri sebagai pelaksanaan UUPA No. 5 Tahun 1960 Pasal 14-15. Di SulawesiTengah, program ini dilaksanakan oleh Dinasa Sosial dengan nama Proyek PKMT (PemukimanKembali Masyarakat Terasing) (lihat dokumen Fatwa Tata Guna Tanah tahun anggaran 1985/1986 dilokasi tanah Desa Kaduwaa-Wanga).
3
berkembang tidak harus menurunkan emisi tetapi diwajibkan untuk ikut serta dalam
agenda perubahan iklim (Steni, 2010). Agenda menyelamatkan bumi atas dampak
perubahan iklim dalam proses wacananya justru “melenceng” ke agenda penyelamatan
ekonomi negara industri yang selama ini dianggap bertanggung jawab atas perubahan
iklim. Di sisi lain, menurut Harvey (2009: 107) dan Scheba (Tanpa Tahun: 5-7), bahwa
negara berkembang yang dinaungi rezim neoliberal melihat ini sebagai kesempatan
mendapat keuntungan. Artinya, rezim pemerintah menyediakan ruang sebebas-bebasnya
bagi pasar bergerak di wilayah kekuasaan secara politik dan yuridis. Lebih lajut
menurut Harvey (2009: 107-145), yang memungkinkan kedua kepentingan dapat saling
bertemu, yaitu; proyek “cuci tangan” negara industri dan kepentingan rezim neoliberal
adalah melalui mekanisme pasar. Pasar dalam logika neoliberlisme memahami bahwa
peran negara sebaik-baiknya mempermulus jalannya mekanisme pasar. Jadi,
neoliberalisasi di negara-negara pembangunan berlangsung dengan cara memfasilitasi
kompetisi antar firma, korporasi dan entitas terirorial serta menerima aturan-aturan
perdagangan bebas dan mendasarkan diri pada pasar ekspor yang terbuka. Namun,
negara-negara itu juga melakukan intervensi aktif dengan membangun infrastruktur-
infrastruktur bagi terciptanya suatu iklim bisnis yang bagus. Jadi, neoliberalisasi
membuka kesempatan bagi negara berkembang untuk meningkatkan posisi mereka
dalam kompetisi internasional karena neoliberalisasi memungkinkan terbangunnya
struktur intervensi negara yang baru. Namun, pada saat yang bersamaan, neoliberalisasi
memunculkan kondisi-kondisi bagi terciptanya formasi kelas elit, dan begitu kekuatan
kelas elit menguat, ada tendensi kelas elit itu akan membebaskan diri dari
ketergantungannya pada kekuasaan negara dan akan mengarahkan kekuasaan negara itu
4
agar searah dengan jalur neoliberal. Sasaran empuk adalah privatisasi tanah atau hutan
baik oleh pemerintah maupun rakyat melalui aktivisme dengan menyematkan mereka
identitas baru, sebagai masyarakat adat. Dengan disematkan identitas sebagai
masyarakat adat, oleh elit, bukan berarti nasib petani menjadi lebih baik. Yang terjadi
adalah kian rumit karena selain disingkirkan, ada petani yang dieksklusifkan.
Hutan di Provinsi Sulawesi Tengah meliputi daerah seluas 4,4 juta ha, yang
mewakili sekitar 64 persen dari total luas wilayah provinsi dan sekitar 800.000 orang
tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan, yang merupakan 33 persen dari jumlah
penduduk di provinsi tersebut (Suzanna, 2012: 11). Hutan di Sulawesi Tengah
merupakan hutan terbaik di pulau Sulawesi. Selain itu, juga dihuni oleh beragam spesies
baik flora maupun faunanya. D’Andrea (2013: 7) menuliskan:
“[...]. Antara dua puluh lima dan tiga juta tahun lalu, benturan geologis antaralempeng Asia dan Australia menciptakan bentuk aneh pulau Sulawesi denganpuncak-puncak gunung api dan lembah-lembahnya yang curam. Diapit olehlaut dalam, Sulawesi menjadi salah satu tempat di dunia yang memilikiendemik mahluk hidup paling kaya ragamnya. Para konservasionis menyatakansebanyak 98 persen mamalia dan 27 persen unggas merupakan binatangendemik di Sulawesi”.
Lebih lanjut D’Andrea (2013: 8) mengutip karya Alfred Russell Wallace (2000)
darimengenai penelitiannya di sulawesi sekitar tahun 1850-an:
“Terletak di tengah-tengah gugusan kepulauan ini dan rapat dikelilingi pulau-pulau yang kaya dengan bentuk kehidupan yang beraneka ragam, pulau inimenghasilkan suatu keanekaragaman yang tiap mahluknya begitumengagumkan. Meskipun jumlahnya masing-masing spesies hanya sedikit,ragamnya sangatlah kaya, dan banyak diantaranya begitu cantik dan hanyaada satu-satunya di muka bumi. [...] Sulawesi mempersembahkan suatu contohyang sangat mencengangkan bagi mereka yang tertarik untuk mempelajaripenyebaran binatang [...] yang menampakkan semua perubahan yangberlangsung di muka bumi”.
Sejak wacana perubahan iklim berhembus melalui REDD+ di Kota Palu yang
menjadi Ibu Kota Sulawesi Tengah di penghujung akhir tahun 2010. Meskipun Kota
Palu memiliki suhu yang sangat panas karena dilalui garis khatulistiwa, tiba-tiba bak
5
“gula” dihampiri oleh “semut-semut” dari mana saja. Bukan karena keindahan kotanya,
pemandangannya, atau adanya bencana, tetapi, karena hutannya seakan memiliki
“manis gula” sehingga mampu menyedot perhatian para “semut” untuk
menghampirinya. UN-REDD Programme Indonesia menetapkan Sulawesi Tengah
sebagai provinsi percontohan REDD+. Pilihan tersebut didasari sejumlah pertimbangan,
antara lain (1) tutupan hutan yang masih luas meskipun pengundulan terus terjadi; (2)
sebab-sebab pengundulan hutan yang relatif mudah dikenali; (3) kepadatan karbon
masih cukup tinggi; (4) komitmen politik PemerintahProvinsi; (5) REDD+ di daerah
tersebut bisa bermanfaat banyak bagi warga; dan (6) belum adanya inisiatif REDD+ di
daerah tersebut (Suzanna, 2012: 9).
Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam presentasinya pada G-20 di
Pittsburgh menyatakan komitmen Indonesia bersedia menurunkan emisi karbon hingga
26% dan jika mendapat pendanaan dari negera-negara internasional barkomitmen akan
menurunkan emisi karbon hingga 41 persen (Strategi Nasional REDD+, 2010: 3)
Kemudian direspon oleh Gubernur Sulawesi Tengah melalui pidatonya pada konfrensi
Durban tahun 2011 yang menyatakan bahwa Sulawesi Tengah siap berpartisipasi dan
berkomitmen dalam upaya dunia untuk mengurangi emisi karbon 3 persen (Susilo
Bambang Yudoyono, 2009: 1).
Tesis ini memfokuskan penyingkiran petani pegunungan Sulawesi melalui kisah
orang Dodolo yang mengembara ke hampir separuh hutan Sulawesi hingga menetap di
Desa Dodolo Sulawesi Tengah saat ini. Proses penyingkiran juga diwarnai gejolak-
gejolak yang terjadi di dataran tinggi Sulawesi. Proses ini, dirangkai dengan masa
kekinian dimana kepentingan keterwakilan aktor melalui aktivisme identitas masyarakat
6
adat dengan masuknya wacana REDD+ di Sulawesi Tengah yang telah menyingkirkan
sebagian petani sekaligus mengeksklusifkan petani lainnya. Khusus data lapangan, saya
batasi sampai di akhir bulan Juni tahun 2012, terhitung sejak bulan Januari saya tiba di
Sulawesi Tengah.
B. Kajian Pustaka
Anna Lowenhaupt Tsing; Friction: An Ethnography of Global Connection.
Istilah friction yang digunakan oleh Tsing mengambarkan metafora atas pergesekan
dari roda yang bergerak dan bergesekan dengan permukaan jalan, sehingga
menghasilkan gerakan, aksi dan efek panas serta cahaya (Tsing, 2005: 5). Pergesekan
yang digambarkan oleh Tsing berdampak luar biasa pada kerusakan lingkungan alam di
Kalimantan Selatan, terutama di masa Orde Baru melalaui perusahaan anak-anak
Soeharto penguasa Indonesia saat itu. Lebih lanjut menurutnya, respon atas
ketidakadilan melaui aktivisme yang bersatu di bawah slogan pemberdayaan
masyarakat lokal, dan atau masyarakat adat, melalui sistem komunikasi lintas batas saat
melakukan protes. Dengan menunjukkan faktor penting aktor yang mengadvokasi
lingkungan. Bagaimana budaya orang-orang yang “terisolasi” di dalam hutan menjadi
bahan perbincangan nasional dan transnasional. Oleh Tsing ditunjukan melalaui
pergesekan antara masyarakat adat dayak meratus dengan, perusahaan, negara dan dunia
luar dalam bingkai aktivisme. Claudia Francesca D’Andrea (2013); Kopi, Adat dan
Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, melalui study
kasus dinamika pengakuan orang Katu oleh taman nasional. Orang Katu mengunakan
adat sebagai siasat atas perjuangan mereka, termasuk membuat klaim teritorialisasi
tandingan (peta wilayah adat) atas teritorialisasi negara. Lebih lanjut, Darmanto dan
7
Abidah B. Setyowati (2012) dalam karyanya Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,
Kekuasaan, dan Politik Ekologi mengambarkan orang Mentawai bukanlah orang-orang
kalah. Orang Mentawai mampu beradaptasi dengan perubahan, serta memproduksi
wacana masyarakat adat untuk mendapat keuntungan tanpa merobah konsep tersebut.
Orang Mentawai digambarkan sebagai manusia yang aktif, strategis dan adaptif atas
desakan kekuasaan atasnya.
Sementara itu, kajian mengenai REDD+ sebelumnya telah dilakukan oleh Des
Christy (2013). Ia mengungkapkan polemik penolakan sosialisasi FPIC REDD+ oleh
petani di Desa Hano (nama desa disamarkan) Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi
Tengah. Penolakan terjadi karena sebelum sosialisasi diadakan, terlebih dahulu terjadi
pemasangan tapal batas kawasan Kesatuan Pemangku Hutan Dampelas Tinombo (KPH
DT) oleh pegawai Dinas Kehutanan. Des Christy yakin bahwa nantinya KPH DT
diperuntukkan untuk program REDD+. Bentuk protes terjadi karena perbedaan
pandangan mengenai hutan, antara penduduk Desa Hano dan Dinas Kehutanan.
Sehingga, lebih lanjut menurutnya sosialisasi, pemasangan patok KPH DT, dan uji coba
FPIC REDD+ dapat dilihat sebagai bentuk pengarahan perilaku demi membentuk suatu
keadaan yang sedemikian teratur untuk mempersiapkan REDD+. Menurutnya, hutan
yang diperdebatkan oleh penduduk Desa Hano dan Dinas Kehutanan. Bagi petani Desa
Hano, hutan adalah kebun tempat mereka menanam tanaman komoditi, sedang bagi
pemerintah Dinas Kehutanan, hutan dipersiapkan menjadi KPH untuk kepentingan
program REDD+.
8
Dalam karyanya The Will to Improve: Perencanaan,Kekuasaan dan
Pembangunan (2012) Tania Li mengkritik upaya para wali 2 yang menyusun kebijakan
atas masyarakat di pegunungan Sulawesi Tengah. Ia menjelaskan, sejak jaman kolonial
hingga awal reformasi, program-program yang di awali oleh niat baik untuk merubah
diterapkan pada masyarakat. Akan tetapi, upaya baik untuk merubah tersebut justru
membuat masyarakat pegunungan tidak menjadi lebih baik. Dengan cerdas Tania Li,
mengambarkan bahwa yang diuntungkan dari proses niat baik untuk merubah tersebut
adalah mereka yang mengklaim diri atau organisasinya sebagai wali dari masyarakat.
Artinya, adalah aktor yang mewakili kepentingan masyarakat pegunungan.
Sumbangsi saya dalam tesis ini, menunjukkan bagaimana proses penyingkiran
petani pegunungan Sulawesi Tengah dari sumber produksi mereka, yakni hutan yang
dihubungkan dengan siasat masyarakat adat yang digunakan aktivis dengan masuknya
agenda “cuci tangan” negara industri yang bernaung dalam bingkai wacana perubahan
iklim melalui kebijakan rezim neoliberal. Saya menelusuri kepentingan-kepentingan
aktor, institusi maupun rezim dibalik penyingkiran petani pegunungan Sulawesi.
C. Pertanyaan Penelitian
Penyingkiran petani pegunungan Sulawesi melalui kisah orang Dodolo serta
aktivisme masyarakat adat yang diusung oleh AMAN dalam bingkai wacana perubahan
iklim melalui skema REDD+, memunculkan pertanyaan; Pertama, mengapa indentitas
masyarakat adat disematkan pada orang Dodolo? Kedua, mengapa aktivisme
masyarakat adat dalam wacana REDD+ justru menyingkirkan sekaligus
mengekslusifkan petani? ketiga, bagaimana proses penyingkiran orang Dodolo?
2 Istilah ini digunakan oleh Li merujuk pada agen atau aktor yang berhasrat untuk memperbaiki keadaandan nasib para petani di pegunungan Sulawesi Tengah. Mereka yang dimaksud wali, adalah:pemerintah, aktivis, konsultan pemberdayaan dan lain sebagainya.
9
D. Kerangka Pemikiran
Penyingkiran adalah proses yang dialami oleh petani sehingga mereka
menyingkirkan diri atau disingkirkan dari sumber produksinya. Penyingkiran petani
terjadi melalui dua proses. Pertama, dengan cara paksa disertai kekerasan. Kedua,
dengan cara halus penuh tipu muslihat.
Penyingkiran dengan cara halus penuh tipu muslihat seperti yang dilakukan oleh
rezim pemerintah dalam hal ini oleh Dinas Sosial. Dinas Sosial melalui kebijakannya,
yang memisahkan orang Dodolo dari sumber produksinya dengan janji dan iming-iming
bahwa sumber produksi baru yang akan dituju lebih baik, dan ternyata tidak demikian.
Saya hubungkan pada masa kekinian, penyingkiran dengan cara halus penuh tipu
muslihat dilakukan dengan cara-cara modern yang tampak manusiawi serta semakin
kompleks baik aktor maupun wujudnya. Wacana program didesain seakan akan adalah
sebuah niat mulia sehingga, semua mahluk perlu berperan untuk menciptakan
kehidupan yang lebih baik yang selaras dengan alam. Program yang lahir mengunakan
teknologi canggih dan ilmu pengetahuan modern serta bahasa ilmiah yang teramat sulit
dipahami oleh petani. Program ini saya tunjukkan melalui wacana persiapan REDD+
baik yang bersifat global maupun lokal di Sulawesi Tengah. REDD+ adalah bentuk
proyek “cuci-tangan” negara industri. Dimana, melalui REDD+ yang dinaungi oleh
Protocol Kyoto memberi ruang bagi negara yang mendesain ekonomi dan perilaku
manusianya bergantung pada industri tetap membiarkan industrialisasi tidak ditekan
atau dihentikan, tetapi membuat proyek penurunan emisi karbon di negara lain melalui
mekanisme pasar. Sasaran proyek ini adalah hutan dimana petani hidup dan
menghidupi.
10
Penyingkiran dengan cara-cara paksa disertai kekerasan saya tunjukkan melalui
gejolak DI/TII dan PERMESTA yang memaksa petani pegunungan terpisah dari sumber
produksi, menjadi pelarian di hutan untuk menemukan sumber produksi baru yang aman
tanpa gangguan. Selama proses pelarian hingga hingga menemukan sumber produksi
baru, petani pegunungan beradaptasi dengan alam dan mahluk hidup lainnya, yang
tampak dari perubahan corak produksi-nya (mode of production). Undang Fadjar (2009:
12) menjelaskan yang dimaksud dengan corak produksi mengutip pandangan Shanin
(1990), menuliskan:
“Secara umum, corak produksi merepresentasikan “cara” yang ditempuhmasyarakat dalam melakukan proses produksi (ways of production) gunamenyediakan produk untuk memenuhi kebutuhan material. Dengan demikian,corak produksi akan mempengaruhi keseluruhan ciri hidup sebuah masyarakat.[...]Bahwa corak produksi terdiri dari : 1) kekuatan/daya produksi (force ofproduction) yang akan mempengaruhi “produktivitas”, dan 2) hubungan sosialproduksi (relation of production) yang akan membentuk posisi superior danposisi sub-ordinat sehingga hubungan sosial tersebut akan membentuk struktursosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Selain itu, Shanin (1990) jugamenjelaskan bahwa antara kekuatan produksi dan hubungan sosial produksisaling tergantung (interdependence).
Penyingkiran sebelumnya telah dikonsepkan oleh Derek Hall dkk (2011) dalam
karyanya Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Berangkat dari dua
pandangan mengenai penyingkiran (exclusion). Pertama disingkirkan dari suatu
wilayah kemudian, yang memiliki kekuatan menyingkirkan memberi tanda batas
(patok) atas wilayah tersebut agar, yang disingkirkan tidak memiliki akses untuk masuk
kembali. Kedua, petani dibuat seolah-olah memiliki akses atas lahan (hutan) di dalam
kawasan konservasi, disertai berbagai larangan dan aturan. Sehingga perlahan-lahan
mereka dikondisikan memilih untuk menyingkirkan diri (Hall dkk, 2011: 4). Kedua
proses penyingkiran atau double exclusion dapat dialami oleh petani (Hall dkk, 2011: 7-
8).
11
Menurut Derek Hall dkk (2011: 4-5) terdapat empat kekuatan (power) yang saling
berinteraksi sehingga terjadi penyingkiran (exclusion) terhadap pemilik lahan (hutan).
Kekuatan penyingkiran tidak serta merta hadir secara acak, tetapi dibentuk oleh relasi
kuasa. Empat kekuatan penyingkiran tersebut adalah, peraturan (regulation), pasar
(market), legitimasi (legitimation), dan paksaan (force). Dimana, peraturan (regulation)
adalah aturan-aturan dan undang-undang yang keabsahannya diakui oleh negara. Selain
itu, terdapat juga aturan-aturan dan hukum yang berlaku pada masyarakat.Yang tidak
tertulis, tidak formal, dan mengatur hubungan manusia dengan tanah (hutan)-nya.
Paksaan (force) adalah kekuatan yang tidak hanya dimiliki oleh negara melalui alatnya,
semacam militer. Tetapi, juga dimiliki oleh komunitas atau etnik yang tampak melalui
kekerasan terhadap sesamanya, dan memiliki kekuatan untuk menyingkirkan. Pasar
(market) adalah kekuatan yang menyingkirkan melalui kegiatan ekonomi yang
terbangun atas relasi manusia dan tanah (hutan). Dimana pasar berkuasa menentukan
harga, jenis komoditi yang ditanam oleh petani dan usaha-usaha pertanian. Selanjutnya
adalah legitimasi (legitimation) yakni relasi pemaknaan yang terbangun antara manusia
dan tanah (hutan), membentuk paham-paham dan nilai-nilai serta moral untuk menilai
relasi tersebut benar atau salah, layak atau tidak dan baik atau buruk, dan memiliki
kekuatan untuk menyingkirkan. Seperti, alih-alih pembangunan disertai pemberadaban
yang pada kenyataannya setelah menjadi praktik justru menyingkirkan pemilik lahan
(hutan).
Wacana persiapan sebelum REDD+ diimplementasikan bersentuhan dengan
aktivisme yang berjejaring secara nasional maupun internasional. Aktivisme ini
mengusung gerakan identitas masyarakat adat dan atau indigenous people dimana petani
12
seperti orang Dodolo kemudian disematkan sebagai masyarakat adat. Saya menelusuri
kembali apa itu adat serta wacana gerakan identitas masyarakat adat. Kemudian,
mengkonsepkan adat sebagai praktik bagi masyarakat. Menurut saya, adat dalam
praktiknya bagi masyarakat adalah konsensus yang keputusannya bersifatnya dinamis
dimana hal terpenting adalah orang duduk bermusyawarah. Jadi, kita tidak akan pernah
menemukan aturan, sanksi atau kesepakatan apapun yang sifatnya statis dan terus
bertahan atas nama adat. Karena unsur terpenting dari adat bukanlah hasilnya tapi,
bagaimana orang duduk bersama, bermusyawarah untuk menemukan kesepakatan
bersama atas persoalan mereka yang dihadapi.
Secara sadar atau tidak, proses aktivisme telah mengokohkan para aktivis
sebagai elit diantara petani. Termasuk aktivis yang mengusung gerakan masyarakat
adat. Dalam tesis ini, saya menemukan bahwa resep mengunakan identitas masyarakat
adat yang digunakan oleh aktivis dalam wacana REDD+ di Sulawesi Tengah,
berpotensi menyingkirkan petani sekaligus mengeksklusifkan petani lainnya. Untuk
memahami siasat aktivisme identitas masyarakat adat serta kepentingan AMAN
Sulteng, saya mengunakan konsep artikulasi Stuart Hall yang digunakan Oleh Tania M.
Li dan Claudia Francesca D'Andrea. Menurut Tania Li (2001) seperti yang dikutip oleh
Noer Fauzi (2005: 128-129) dalam karyanya Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat
Dunia Ketiga menuliskan:
Wacana masyarakat adat muncul dari pandangan-pandangan dan hubungan-hubungan baru yang membentuk kesempatan, namun tanpa jaminan. Terdapatpotensi untuk membangunnya suatu gerakan sosial yang luas dimana para aktiviskota dan rakyat pedesaan mulai mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yangsama. Ada juga resiko-resiko. Dalam rumusan Hall, artikulasi adalah suatuproses penyederhanaan dan pembuatan pagar serta hubungan. Bentuk-bentukyang terwujud telah ditentukan sebelumnya oleh struktur-struktur dan posisi-posisi yang objektif, melainkan muncul melalui proses aksi dan imajinasi yangdibentuk oleh “permainan sejarah, budaya dan kuasa yang berkesinambungan”.
13
D’Andrea (2013: 64) dalam karyanya Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi
dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah mendefinisikan
artikulasi:
“Artikulasi dapat mendefinisikan konstelasi luas dari kepentingan bersama atauberbagai kepentingan yang saling mengisi dan memobilisasi kekuatan sosial,bahkan melewati spektrum yang luas, namun yang penting adalah efek materialdari artikulasi tersebut. Tidaklah jelas, bagaimana sebenarnya identitas itusendiri dapat diartikulasikan. Artikulasi dari identitas adat adalah koneksi padasaat waktu tertentu dari kepentingan dan narasi identitas dengan kondisimaterial dari aktor tertentu dalam konteks ekonomi politik tertentu”.
E. Metode Penelitian
Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian
yang menimpa orang yang ingin kita pahami. Sistem makna ini merupakan kebudayaan
mereka: etnografi selalu mengimplikasikan teori kebudayaan. Kebudayaan, merujuk
pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan
pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial (Spradley, 1997: 5). Hal yang
memudahkan saya untuk mendapatkan informasi, ialah masuk ke rumah penduduk di
mana mereka berkumpul menghabiskan waktu setelah selesai bekerja sepanjang untuk
menikmati saguer 3. Selama penelitian di desa, saya menetap di dua rumah penduduk.
Pertama, di desa tetangga Desa Dodolo, yaitu desa Wanga. Selama sebulan dan bulan
berikutnya di rumah Sekretaris Desa Dodolo. Hal ini saya maksudkan untuk memahami
tanggapan penduduk Napu yang merasa Desa Dodolo adalah wilayah mereka.
Memahami peran dan intervensi pengaturan para aktor, saya mengikuti AMAN
Sulteng dan pertemuan-pertemuan persiapan hingga kesiapan REDD+ berlangsung di
Sulawesi Tengah. Proses persiapan di tahun 2011 REDD+ saya ikuti hanya sekedar
3 Salah satu minuman tradisional beralkohol, terbuat dari pohon nira dengan penyedap rasa akar salahsatu pohon di hutan. Orang Dodolo menyebut akar kayu, torode.
14
saja, melaui beberapa pertemuan dengan beberapa LSM, juga beberapa kesempatan saat
mereka melakukan sosialisasi di desa. Dalam proses kesiapan tahun 2012 saya
mengikuti hampir setiap agenda pertemuan di antara penyusun kebijakan, laporan-
laporan atau modul (membaca dengan seksama laporan atau modul yang mereka susun
serta memberikan analisis). Termasuk saat mereka melakukan sosialisasi di beberapa
desa, baik melaui agenda REDD+, maupun agenda AMAN Sulteng. Metodologi ini
untuk menelusuri intervensi kepengaturan (asal-usulnya, diagnosa dan resepnnya, serta
pembentukan arena oleh unsur-unsur yang disingkirkan dari perencanaan) dan analisa
mengenai apa yang terjadi bila intervensi tersebut bersilang-sengkarut dengan proses-
proses yang hendak mereka atur dan perbaiki (Li, 2012: 52).