bab i pendahuluan a. latar belakangeprints.ums.ac.id/18669/2/bab_i.pdf · faktor penyebab yang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia, secara normatif konstitusional, adalah negara berdasarkan
hukum, atau yang sering juga disebut sebagai negara hukum. Di tengah-tengah
itu polisi merupakan salah satu pilar yang penting, karena badan tersebut
mempunyai peranan sangat penting dalam mewujudkan janji-janji hukum
menjadi kenyataan (Rahardjo, 2007: xxv). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1998) polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara
keamanan dan ketertiban umum, menangkap orang yang melanggar undang-
undang. Pada hakekatnya tugas pokok polri adalah menegakkan hukum dan
membina keamanan dan ketertiban masyarakat atau Kamtibnas (Kunarto,
1997: 111).
Institusi berlambang Tri Brata ini belakangan memang terus diuji citranya
akibat diterpa berbagai persoalan yang terus bermunculan seperti tidak ada
habisnya. Belum tuntas satu kasus, muncul kasus baru. Apalagi di era
kesenjangan ini membuat segalanya sangat transparan dan menjadikan rakyat
sangat kritis dan berani melawan kemapanan semu. Bila diarifi beragam
fenomena kerakyatan menuntut kasus Marsinah, kasus Udin, kasus Priok dan
kasus-kasus lain yang memiliki derajad keseriusan sangat tinggi justru tidak
terungkap. Masyarakat juga memprediksi kasus Andi Arif, sebagai contoh
2
loyalitas Polri terhadap kekuasaan tertentu secara hierarki komando. Kasus
Trisakti dipertanyakan kalangan intelektual sebagai rekayasa pengalihan
perhatian aksi reformasi dengan mengorbankan Polri (Tabah, 1998: 2).
Selanjutnya dari kajian di Indonesian Police Watch (IPW) yang
mengungkapkan tentang terjadinya aksi pungli atau pungutan liar, pemerasan,
suap-menyuap di lembaga kepolisian. Dari kasus tersebut justru yang paling
mengerikan terjadi di lembaga pendidikan kepolisian. Kejahatan tersebut telah
meracuni dunia kepolisian dari tingkat bawah hingga atas (Suwarni, 2009: 2).
Contoh lebih aktual di tahun 2010 kasus kepolisian yang ramai
diperbincangkan adalah adanya Markus atau makelar kasus di tubuh Polri.
Dalam situs berita online berita.liputan6.com tanggal 22 Maret 2010
diceritakan bahwa kasus bermula saat mantan Kabareskrim Komjen Polisi
Susno Duadji yang terang-terangan membuka aib institusinya sendiri dengan
mengungkap adanya jenderal yang berperan sebagai makelar kasus di Institusi
Kepolisian. Adanya jenderal Markus tersebut dikaitkan dengan kasus korupsi
dan pencucian uang senilai Rp. 25 miliar dengan tersangka pegawai pajak
Gayus T. Tambunan. Diduga, kasus ini sempat ditutup akibat ulah dari
jenderal Markus. Persoalan yang menimpa kepolisian ini berbuntut panjang
hingga tudingan Susno ini membuat Brigjen Radja Erizman dan Brigjen
Edmon Ilyas merasa dirugikan dan merekapun akhirnya saling menjatuhkan
(http://berita. liputan6.com, 24/4/2011).
Kasus lain yang tidak kalah menghebohkan adalah persoalan rekening
gendut sejumlah perwira di lembaga Kepolisian Republik Indonesia,
3
tampaknya, belum mendapatkan jawaban pasti. Hal ini disebabkan
pengumuman hasil penyelidikan terhadap rekening yang mengundang
kecurigaan publik itu tidak memuaskan. Dari 23 rekening yang mencurigakan,
17 diantaranya dianggap wajar. Polisi pun tidak berani menyebutkan nama
serta inisial pemiliknya. Alasannya, jika hasil penyelidikan itu dibeberkan
secara detail, maka justru pihak kepolisian telah melanggar undang-undang
(majalah.tempointeraktif. com, 24/4/2011). Kasus tersebut menambah daftar
panjang kasus di tubuh Polri.
Gambaran-gambaran citra negatif Institusi Kepolisian tersebut akan
membentuk stereotipe tertentu di masyarakat. Stereotipe merupakan bentuk
kontroversial pengelompokan karakterisasi. Stereotipe mendorong pembacaan
karakter dari sudut pandang nilai baku, yang ditentukan sebelumnya oleh
konvensi sosial. Perepresentasian identitas sosial dari sudut pandang stereotipe
merupakan praktik yang sangat umum dalam media. Penstereotipean sebuah
mediasi yang menerjemahkan kompleksitas karakter individu kedalam
sejumlah pengkhasan (distinctions) sederhana yang didefinisikan secara sosial
(Thwaites, Davis dan Mules, 2002: 227). Sedangkan menurut Jhonson dalam
Liliweri (2005: 208) mengemukakan, stereotipe adalah keyakinan seseorang
untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang
orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman. Keyakinan
itu membuat orang untuk memperkirakan perbedaan antar kelompok yang
mungkin terlalu tinggi atau terlalu rendah sebagai ciri khas individu atau
kelompok sasaran.
4
Menurut Sarlito W. Sarwono dan Eko A Meinarno (2009:226), stereotipe
adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, sehingga stereotipe merupakan
faktor penyebab adanya prasangka dan diskriminasi. Prasangka sendiri adalah
suatu penilaian terhadap suatu kelompok atau individu yang terutama
didasarkan pada keanggotaan kelompok orang itu, pengamat menilai orang
lain tidak berdasarkan kategori sosial atau kategori rasial mereka dan tidak
berdasarkan informasi atau fakta tentang diri mereka sebagai individu (Sears,
Freedman dan Peplau, 1994: 149).
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lepore & Brown (dalam Baron
dan Byrne, 2006), bahwa stereotipe berhubungan dengan prasangka, yaitu
prasangka mengaktifkan stereotipe dan stereotipe menguatkan prasangka.
Faktor penyebab yang mempengaruhi prasangka sendiri adalah pertama, sikap
etnosentrisme yang cenderung menganggap baik kelompok sendiri dan
menganggap buruk kelompok luar. Kedua, adanya kenyataan sederhana
bahwa setiap hari seseorang selalu melakukan penilaian terhadap orang yang
tidak dikenal. Ketiga, berdasarkan pengalaman tentang beberapa individu dari
kelompok lain, seseorang bisa membuat generalisasi mengenai kelompok itu.
Keempat, seseorang cenderung menentukan stereotipe yang menunjang
anggapan tentang bagaimana seharusnya hubungan dan hak-hak istimewa dari
kelompok-kelompok yang berbeda. Terakhir, seseorang cenderung melakukan
prasangka terhadap orang yang bersaing dengannya (Horton dan Hunt, 1992,
65).
5
Berikutnya, stereotipe merupakan faktor penyebab adanya diskriminasi.
Stereotipe secara umum diartikan pelabelan negatif terhadap kelompok atau
jenis kelamin tertentu. Akibat dari stereotipe ini biasanya timbul diskriminasi
dan berbagai ketidakadilan (Nugroho, 2008: 12). Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik yang berakibat pengurangan, penyimpanan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau pengunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya (Rumadi, 2006:
270).
Dari data-data di atas, stereotipe dapat dikaitkan dari tingkatan penyebab
munculnya penilaian stereotipe terhadap Institusi Kepolisian yaitu pertama,
karakteristik prilaku individu polisi sendiri. Berbagai contoh prilaku individu
polisi yang menyimpang dari sosok polisi yang seharusnya seperti yang
diutarakan di awal-awal paragraf adanya pengunaan kekerasan seorang polisi
dalam penyelidikan, persekongkolan polisi dengan penjahat dalam kasus
kasus kriminal, seorang polisi yang melakukan pungutan liar, seorang polisi
yang melakukan korupsi dan beberapa prilaku polisi yang tidak menunjukan
mentalitas sebagai aparat dan penegak hukum.
Kedua, peran kepolisian dalam masyarakat. Polisi pada dasarnya memiliki
peran sebagai pengayom masyarakat sekaligus menjaga ketertiban masyarakat
6
(Kamtibmas). Meskipun begitu berat peran yang diemban polisi, tapi citra
polisi dimata masyarakat belum dapat disebut menggembirakan. Acapkali
terdengar nada-nada sumbang yang di alamatkan kepada polisi, bahkan citra
tersebut telah mengkristal membentuk stigma yang cenderung miror. Hal ini
tentu saja tidak menguntungkan bagi kredibilitas Institusi Kepolisian,
disamping merugikan masyarakat sendiri dalam rangka menciptakan
keamanan dan ketentraman (Tabah, 1998: 137). Dalam filsafat liberal, polisi
menjadi tokoh antagonis, yaitu yang ditakdirkan untuk berhadapan dan
“bermusuhan” dengan rakyat. Polisi sudah menjadi simbol kekuasaan publik
dan karena itu “jahat”. Sebutan yang paling simpatik yang masih tersisa bagi
polisi adalah sebagai “penjaga status quo”, yaitu aparat yang menjaga agar
kondisi hukum yang ada dipertahankan (Rahardjo, 2007: 198).
Salah satu jenis media massa yang mengkontruksi realitas tentang Institusi
Kepolisian adalah sampul majalah Tempo. Sampul sendiri menurut George
Gerbner (1958) sampul majalah yaitu identitas perusahaan dan penghimpun isi
pemberitaan yang memegang peran utama dalam memasarkan sebuah majalah
yang bertujuan untuk membentuk karakter budayanya. George Gerbner
menyatakan salut pada majalah percintaan, desain dan isi sampulnya
menggambarkan syarat yang harus dipenuhi dan bagaimana hubungan pasar
dengan majalah itu (Baehr dan Gray, 1997 : 97).
Majalah Tempo dipilih oleh peneliti sebagai objek peneliti karena selama
tahun 2010 banyak menyajikan berita utama bertemakan kepolisian. Selain itu
majalah Tempo saat memberitakan Institusi Kepolisian berusaha
7
mengkontruksi realitas dalam masyarakat menjadi realitas media. Sebanyak
sembilan edisi dari lima puluh dua edisi atau sekitar 17% yang bergambar
sampul depan tentang Institusi Kepolisian. Sehingga perhatian majalah Tempo
tentang Kepolisian pada waktu itu cukup tinggi. Berikut adalah tabel
kesembilan sampul Tempo yang mengulas tentang Institusi Kepolisian.
Tabel 1.1
Sampul majalah Tempo yang merepresentasikan
tentang Institusi Kepolisian selama periode 2010
No. Edisi Tanggal terbit Gambar
Sampul
1. 05/39 29 Maret 2010
2. 06/39 05 April 2010
8
3. 07/30 12 April 2010
4. 08/39 19 April 2010
5. 10/39 03 Mei 2010
6. 18/39 28 Juni 2010
9
7. 21/39 19 Juli 2010
8. 26/39 23 Agustus 2010
9. 33/39 11 Oktober 2010
Peneliti memilih sampul majalah Tempo karena secara umum majalah ini
sendiri banyak menuai kritikan karena gambar sampulnya yang terlalu berani.
Seperti sampul majalah Tempo edisi 18/39, saat itu Polri mengajukan protes
atas sampul majalah Tempo yang menggambarkan pria berseragam polisi
tengah menggiring celengan babi. Polri menilai gambar itu tidak beretika.
"Ketika ada gambar polisi yang menggiring celengan babi rasanya etikanya
kurang. Mungkin siapapun akan risih melihat itu," kata Wakadiv Humas
10
Mabes Polri Brigjen Pol Zainuri Lubis di Mabes Polri, Jl Trunojoyo. Zainuri
menilai, Tempo tidak memakai bahasa etik yang tepat, tidak memakai
kedewasaan dan pertimbangan pikiran, dan kelihatannya cenderung emosional
(www.detiknews.com, 27/09/2011).
Selain itu jauh hari, masih ada sampul yang mengalami kecaman habis-
habisan oleh orang Kristen (tidak semua) atas covernya yang dianggap
sensasional. Cover edisi 4-10 Februari 2008 itu sendiri diakui oleh
perancangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci “The Last Supper”,
perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridNya sebelum Dia disalibkan.
Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah
Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi
sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan The
Last Supper (rumametmet.com, 07/02/12).
Dalam dunia jurnalistik, majalah Tempo telah menjelma menjadi
barometer majalah berita di Indonesia. Simbol kebebasan berekspresi ini
menyajikan porsi berita baik berskala regional maupun internasional dalam
bentuk politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, seni dan
olahraga. “Dalam hal bahasa, Tempo memainkan peranan yang unik. Tempo
menggunakan kata-kata yang biasanya dipakai untuk sajak, tanpa terasa berat
atau sok pintar. Cara ini terasa segar dan belum pernah dipakai oleh majalah
atau koran Indonesia lainnya” (Janet Steele, 2007:62).
Dalam ilmu komunikasi, peneliti memilih objek penelitian ini karena
fenomena tentang Kepolisian yang direpresentasikan oleh majalah Tempo
11
sangat menarik. penelitian sampul majalah Tempo akan lebih difokuskan pada
pesan sebagai elemen komunikasi. Dalam studi pesan sampul majalah Tempo
tidak semata-mata berfungsi sebagai daya tarik penjualan. Ilustrasi dalam
sampul tersebut membawa pesan-pesan secara simbolik, baik secara aspek
visual ataupun aspek verbal untuk dikomunikasikan ke pembaca.
Ketepatan komunikasi menunjukkan kepada kemampuan orang untuk
mereproduksi atau menciptakan suatu pesan dengan tepat. Dalam komunikasi,
istilah ketepatan digunakan untuk menguraikan tingkat persesuaian diantara
pesan yang diciptakan oleh komunikator dan reproduksi dari komunikan
mengenai pesan tersebut, atau dengan kata lain tingkat penyesuaian arti pesan
yang dimaksudkan oleh komunikator sama dengan arti yang diinterpretasi
oleh komunikan. Kekurangan ketepanan atau perbedaan arti diantara yang
dimaksudkan oleh komunikator dengan interpretasi komunikan dinamakan
distorsi. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa informasi dan arti pesan
berubah dari apa yang dimaksudkan, ketika pesan itu melewati individu-
individu dalam jaringan komunikasi. Proses komunikasi kebawah, keatas,
horizontal dan berbagai arah ada yang terjadi dengan cara yang simultan,
secara seri atau berantai. Pesan yang didistribusikan dengan cara yang
simultan mudah kena perubahan dan distorsikan bila dibandingkan dengan
komunikasi interpersonal (Muhammad, 2007: 206-207).
Dengan demikian perlu untuk dikaji secara mendalam agar dapat
menelaah makna pesan dibalik kata-kata dan gambar visual di dalam sampul
majalah Tempo. Maka dari itu, diperlukan kajian tentang pesan untuk
12
menggalinya. Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan
semiotika (Fiske, 2010: 60). Semiotika dari Charles Sanders Pierce merupakan
analisis yang tepat sebagai alternatif untuk mengungkapkan pesan yang
direpresentasikan sampul depan majalah Tempo, karena ilustrasi pesan berupa
visual seperti gambar kartun, foto dan karikatur yang mana merupakan paduan
kompleks dari ikon, indeks dan simbol, selain itu Charles Sanders Pierce lebih
menekankan pada cara tanda dikaitkan dengan objeknya. Dari interpretasi
tersebut, maka dapat diungkapkan muatan pesan yang terkandung dalam
ilustrasi sampul depan majalah Tempo selama 2010 tentang konstruksi realitas
Institusi Kepolisian di mata majalah Tempo.
B. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang diatas tersebut maka secara umum penelitian ini
ingin melihat bagaimana simbol-simbol sosial dan pemaknaan tentang
stereotipe terhadap Institusi Kepolisian yang direpresentasikan dalam sampul
majalah Tempo selama tahun 2010. Secara khusus lebih jauh penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe tentang karakteristik
individu polisi yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo
selama tahun 2010?
2. Bagaimana simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe tentang peran polisi
yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo selama tahun 2010?
13
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe berdasarkan
karakteristik individu polisi yang direpresentasikan dalam sampul majalah
Tempo selama tahun 2010.
2. Mengetahui simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe tentang peran polisi
yang direpresentasikan dalam sampul majalah Tempo selama tahun 2010.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi majalah Tempo
Sebagai acuan bahwasanya setiap simbol-simbol pesan yang dibawa
sampul majalah Tempo tidak semuanya dapat diterima oleh khalayak
karena sifat penyampaiannya yang satu arah sehingga dapat menimbulkan
distorsi pesan.
2. Bagi Institusi Kepolisian
Sebagai acuan bahwasanya saat ini media-media seperti sampul majalah
Tempo sering mengkonstruksi berita-berita tentang Institusi Kepolisian.
3. Bagi masyarakat
Masyarakat secara umum, dapat memberikan pengetahuan mengenai
simbol-simbol sosial yang direpresentasikan sampul majalah Tempo,
sehingga masyarakat akan jeli dalam menyimak isi pesan sebenarnya dari
sampul majalah tersebut. Diharapkan masyarakat untuk tidak melihat
media yang memberitakan Institusi Kepolisian dari satu sisi saja.
Masyarakat tidak punya gambaran asli tentang polri .
14
4. Bagi Program Studi
Memberikan sumbangan pemikiran atau referensi penelitian yang dapat
digunakan sebagai referensi semua pihak baik dosen maupun mahasiswa
akan perkembangan penelitian dalam Ilmu Komunikasi khususnya
penelitian yang menggunakan analisis semiotika.
5. Bagi Peneliti
Memberikan pengetahuan bahwa sampul majalah ternyata mempunyai
pesan yang terkandung di balik pesan visual dan verbalnya.
E. Kajian Teori
1. Definisi Komunikasi
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan
manusia lainnya. Manusia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya,
bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu
ini memaksa perlu berkomunikasi. Oleh sebab itu, menurut Dr. Everett
Kleinjan dari East West Center Hawaii, “komunikasi sudah merupakan
bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernapas” (Cangara,
2006:1). Sepanjang manusia hidup, ia perlu berkomunikasi. Komunikasi
merupakan salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan
umat manusia untuk berhubungan dengan sesamanya.
Dedy Mulyana (2005:41) menuturkan bahwa istilah “komunikasi” atau
communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin communicatio
15
dan berasal dari kata communis yang berarti “sama”. Sama di sini diartikan
sebagai sama makna.
Para ahli mendefinisikan komunikasi menurut sudut pandang mereka
masing-masing. Karena dalam sejarah ilmu komunikasi itu dikembangkan
dari ilmuwan yang berasal dari berbagai disiplin. “Sarah Trenholm dan
Arthur Jensen mendefisikan komunikasi adalah: “A process by which a
source transmits a message to a reciever through some channel”
(komunikasi adalah suatu proses di mana sumber mentransmisikan pesan
kepada penerima melalui beragam saluran)” (Wiryanto, 2006:6).
Stoner dan Wankel komunikasi adalah: “Communication as the
process by which people attempt to share meaning via the transmission of
symbolic messages (Komunikasi sebagai proses dengan mana orang-orang
berusaha memberikan pengertian melalui penyampaian pesanpesan berupa
lambang)” (Moekijat, 1993:2). Raymond S. Ross mendefinisikan
“komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan
simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar
membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan
yang dimaksudkan oleh sang komunikator” (Wiryanto, 2006:6).
Bernard Berelson dan Gary A. Steiner “komunikasi adalah “transmisi
informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan
menggunakan simbol-simbol⎯kata-kata, gambar, figur, grafik, dan
sebagainya” (Mulyana, 2005:62).
16
Secara umum komunikasi didefinisikan sebagai proses pengiriman
pesan secara disengaja atau kebetulan antara orang pertama dengan orang
lain (Gamble dan Gamble, 2005:7). Menurut Mulyana (2005: 68),
komunikasi adalah suatu proses yang dinamis yang secara sinambungan
mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan ini,
maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator
yang secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan.
Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang
sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat (Cangara,
2006:1). Harold D. Laswell dalam Cangara menuturkan tiga fungsi dasar
yang menjadi penyebab manusia perlu berkomunikasi, pertama, adalah
hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya. Melalui komunikasi
manusia dapat mengetahui peluang-peluang yang ada untuk dimanfaatkan,
dipelihara, dan menghindar pada hal-hal yang mengancam alam
sekitarnya. Melalui komunikasi manusia dapat mengetahui suatu kejadian
atau peristiwa. Kedua, upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungannya. Proses kelanjutan suatu masyarakat sesungguhnya
tergantung bagaimana masyarakat itu bisa beradaptasi dengan
lingkungannya. Ketiga, upaya untuk melakukan transformasi warisan
sosialisasi. Suatu masyarakat yang ingin mempertahankan keberadaannya,
maka anggota masyarakatnya pun dituntut untuk melakukan pertukaran
nilai, perilaku, dan peranan (Cangara, 2006:2).
17
Dari situ komunikasi jelas tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan
umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung pada
struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat (Cangara, 2006:3).
Jadi pada dasarnya komunikasi merupakan suatu proses yang tertanam
dalam kehidupan kita sehari-hari yang menginformasikan cara kita dalam
menerima, memahami, dan mengkonstruksi pandangan kita tentang
realitas dan dunia.
2. Mazhab Komunikasi
Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering
dijadikan landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti
berbagai fenomena komunikasi. Kedua mazdab itu adalah komunikasi
sebagai proses transmisi pesan dan komunikasi sebagai pembangkitan
makna.
a. Komunikasi sebagai Proses Transmisi Pesan
Menurut Onong Uchjana Efendy dalam Jamaludin (2010: 9),
komunikasi sebagai proses adalah proses di mana seseorang individu
(komunikator) mengoperkan perangsang (biasanya berupa lambang
bahasa) untuk merubah tingkah laku individu-individu yang lain.
Sedangkan menurut Cangara (2006: 49), suatu proses kegiatan yang
berlangsung secara dinamis.
Menurut John Fiske (2010: 9), model kerja proses ini
dititkberatkan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi
18
pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan bagaimana
transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab ini
tertarik dengan dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi.
Cara pandang komunikasi sebagai suatu proses ini melihat seorang
pribadi memengaruhi perilaku atau state of mind pribadi lain. Melihat
dari sisi lain, kecenderungan komunikasi sebagai proses berbicara
tentang kegagalan komunikasi. Dalam mazhab ini pula, melihat pesan
sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui proses komunikasi. Jadi
mazhab pertama ini mempercayai bahwa tujuan merupakan suatu
faktor krusial dalam memutuskan apa yang membentuk pesan (Fiske,
2010:9). Berikut adalah gambar dari komunikasi sebagai proses.
Skema 1.1
Model Proses Komunikasi Shannon dan Weaver
(Sumber: Fiske, 2010:14)
b. Komunikasi sebagai Pembangkitan Makna
Menurut Fiske dalam model komunikasi sebagai pembangkitan
makna, mencoba untuk mengakrabkan dengan sejumlah istilah baru.
Seperti halnya tanda, pertandaan, ikon, indeks, denotasi, konotasi yang
19
semuanya mengacu pada berbagai cara menciptakan makna. Model ini
tidak mengandung anak panah yang menunjukan arus pesan. Model ini
adalah model struktural dan setiap anak panah menunjukan relasi di
antara unsur-unsur dalam penciptaan makna. Model struktural ini tidak
mengasumsikan adanya serangkaian tahapan atau langkah yang dilalui
pesan. Melainkan, lebih memusatkan perhatiannya pada analisis
serangkaian relasi terstruktur yang memungkinkan sebuah pesan
menandai sesuatu.
Dengan kata lain, model ini memusatkan perhatian pada apa yang
membuat tulisan di atas kertas atau suara di udara menjadi pesan. Studi
komunikasi dalam hal ini menekankan pada studi tentang teks dan
kebudayaan. Di mana studi ini tidak memandang kesalahpahaman
sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi. Hal itu,
mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima.
Maka dari itu, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B,
melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang
elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan
produser/pembaca. Untuk mengkaji hal ini, metode utamanya adalah
semiotika (Fiske, 2010:59-60).
Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya lebih
memfokuskan pada model komunikasi sebagai pembangkitan makna
(the generation of meaning). Sebab penelitian ini menitikberatkan
kepada makna yang dibuat oleh pembacanya.
20
3. Elemen Komunikasi
Sebagaimana diketahui bahwa semua interaksi dalam komunikasi
mempunyai berbagai elemen untuk mendukung terjadinya proses
komunikasi. Sebagaimana juga diutarakan oleh Onong Uchjana Effendy,
seluruh interaksi dalam komunikasi mempunyai berbagai elemen di
dalamnya. Di antaranya:
a. Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang
atau sejumlah kelompok.
b. Encoding: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran kedalam
bentuk lambang.
c. Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang
disampaikan oleh komunikator.
d. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator
kepada komunikan.
e. Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.
f. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi atau efek pada komunikan
setelah diterpa pesan.
g. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila
tercapaikannya pesan dari komunikator.
h. Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi
sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda
dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya
(Uchjana, 2001: 18-19).
21
Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya akan lebih
difokuskan pada sisi pesan atau message sebagai elemen komunikasi.
Sebab kajian yang akan dilakukan adalah kajian tentang pesan. Menurut
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss (2009: 80) pesan adalah teks
atau seperangkat tanda yang terorganisir dan memiliki makna dalam
komunikasi. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Cangara (2006:
23), pesan merupakan sesuatu yang disampaikan pengirim kepada
penerima. Menengok dari sisi lain, pesan dibangun lebih dari sekedar
menyampaikan informasi, melainkan pesan memberitahukan kepada orang
lain tentang diri sendiri, masa lalu, kebudayaan, dan harapan (Litlejohn
dan Foss, 2009:204).
Littlejohn menguraikan bahwa teori pembuatan pesan (message
production) dan penerimaan pesan (message reception) menggunakan tiga
tipe penjelasan psikologis, yaitu:
a. Trait explanations
Tipe ini lebih memfokuskan pada pada karakteristik individual
yang relatif statis dan cara karakteristik berasosiasi dengan sifat-sifat
variabel lain, memfokuskan pada hubungan antara tipe personalitas
tertentu dan jenis pesan-pesan tertentu. Teori-teori ini memprediksikan
bahwa ketika seseorang memiliki sifat-sifat personalitas tertentu, akan
cenderung berkomunikasi dengan cara-cara tertentu pula dalam
menyampaikan atau menerima pesan.
22
b. Behavioral Explanations
Tipe ini lebih memfokuskan pada sisi perilaku. Bagaimana
perilaku berkembang, bagaimana perilaku menentukan dalam
berhubungan, merasakan, memikirkan dan mencirikan atau
membedakan dengan yang lain.
c. Cognitive Explanation
Tipe ini lebih memfokuskan pada sisi pikiran, yang mana berusaha
menangkap mekanisme-mekanisme yang ada dalam pikiran saat
informasi diperoleh dan diorganisir. Mekanisme tersebut seperti
bagaimana memori dipakai, bagaimana seseorang mencurahkan
pikirannya dalam seni, bagaimana pesan didesain untuk
menyempurnakan tujuan dan kepentingan yang sama (Littlejohn,
1995:94).
Berdasarkan penelitian data di atas penelitian yang akan dilakukan
nantinya lebih berfokus pada penerimaan pesan (message reception)
karena sifat dari komunikasi massa pada sisi komunikan sendiri yang
heterogen, anonim dan tersebar. Ketepatan komunikasi menunjukkan
kepada kemampuan orang untuk mereproduksi atau menciptakan suatu
pesan dengan tepat. Dalam komunikasi, istilah ketepatan digunakan untuk
menguraikan tingkat persesuaian diantara pesan yang diciptakan oleh
komunikator dan reproduksi dari komunikan mengenai pesan tersebut,
atau dengan kata lain tingkat penyesuaian arti pesan yang dimaksudkan
oleh komunikator sama dengan arti yang diinterpretasi oleh komunikan.
23
Kekurangan ketepanan atau perbedaan arti diantara yang dimaksudkan
oleh komunikator dengan interpretasi komunikan dinamakan distorsi.
Hasil penelitian menunjukkkan bahwa informasi dan arti pesan berubah
dari apa yang di maksudkan, ketika pesan itu melewati individu-individu
dalam jaringan komunikasi. Proses komunikasi kebawah, keatas,
horizontal dan berbagai arah ada yang terjadi dengan cara yang simultan,
secara seri atau berantai. Pesan yang didistribusikan dengan cara yang
simultan mudah kena perubahan dan distorsikan bila dibandingkan dengan
komunikasi interpersonal (Muhammad, 2007: 206-207).
Menurut Fiske, studi tentang teks dan kebudayaan mempunyai
pemahaman atas apa yang membentuk pesan. Studi ini mempunyai
pandangan bahwa pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui
interaksinya dengan komunikan menghasilkan makna. Komunikator, yang
didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya.
Penekanan bergeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca’. Membaca
adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi
atau bernegoisasi dengan teks. Negoisasi ini terjadi karena komunikan
membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan
kode dan tanda yang menyusun teks. Negoisasi juga melibatkan
pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Maka
komunikan dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang
berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama
(Fiske, 2010:10).
24
4. Level Komunikasi
Komunikasi mempunyai berbagai tingkatan, sebagaimana dituturkan
oleh Stephen W. Littlejohn secara umum kegiatan atau proses komuikasi
kedalam empat tingkatan sebagai berikut:
a. Interpersonal communications
Proses komunikasi yang terjadi secara langsung antara seseorang
dengan orang yang lainnya, biasanya bersifat privasi.
b. Group communications
Kegiatan komunikasi yang berlangsung didalam suatu kelompok.
Pada tingkatan ini, setiap individu yang terlibat masing-masing
berkomunikasi sesuai dengan peran dan kedudukannya dalam
kelompok. Biasanya dalam keputusan dilakukan secara musyawarah.
c. Organizational communications
Komunikasi organisasi mencangkup kegiatan komunikasi dalam
suatu organisasi dan komunikasi antar organisasi. Perbedaan dengan
komunikasi kelompok bahwa sifat organisasi lebih formal dan
mengutamakan prinsip-prinsip efisiensi dalam melakukan kegiatan
komunikasi.
d. Mass communications
Pada tingkatan ini kegiatan komunikasi ditujukan kepada
masyarakat luas. Biasanya komunikasi ini dilakukan dengan
mengunakan media perantara. (Littlejohn, 1995: 14).
25
Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti nantinya berada pada
tingkatan komunikasi yang akan dikaji adalah komunikasi pada tingkatan
komunikasi massa. Mursito BM dalam Nur Heni Widyastuti (2009: 18)
mengatakana bahwa media massa memiliki enam karakteristik khusus
yang bersifat umum, pertama, penyampaian pesan ditujukan ke khalayak
luas, heterogen, anonim, tersebar, sertatak, serta tidak mengenal batas
geografis-kultural. Kedua, bentuk kegiatan komunikasi yang dilakukan
bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Ketiga, pola
penyampaiannya cenderung berjalan satu arah. Keempat, komunikasi
massa dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisir, dengan
manajemen modern. Kelima, penyampaian pesan dilakukan secara berkala,
tidak bersifat temporer. Keenam, isi pesan yang disampaikan mencakup
berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat informatif, edukatif, maupun
hiburan.
Media massa memang secara teoritis memiliki fungsi sebagai
informatif, edukatif, maupun hiburan, namun kenyataannya media massa
mampu memberikan efek lain. Efek media massa tidak hanya
mempengaruhi sikap seseorang namun dapat pula mempengaruhi perilaku,
bahkan pada tataan yang lebih jauh dapat mempengaruhi sistem sosial
maupun budaya di masyarakat (Indico, 2010: 202).
Nurudin (2007: 2), pada dasarnya komunikasi massa sendiri adalah
studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan,
pembaca/pendengar/penonton yang akan coba diraihnya, dan efeknya
26
terhadap mereka. Menurut Deddy Mulyana (2005:75), komunikasi massa
(mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media
massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi),
yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang
ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat,
anonim, dan heterogen. Begitu juga dengan pendapat Gerbner dalam
Sunarjo dan Sunarjo dalam Jamaludin (2010:15), komunikasi massa
adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga
dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam
masyarakat industri.
Semua tingkatan dalam komunikasi tentunya mempunyai fungsi
masing-masing. Begitu juga dengan komunikasi massa yang mempunyai
fungsi. Menurut Dominick, fungsi komunikasi massa adalah:
a. Pengawasan
Pada fungsi media yang satu ini mungkin lebih jelas atau nyata.
Pengawasan merujuk pada peraturan yang lebih cenderung pada berita
dan informasi dari media.
b. Penafsiran (interpretan)
Media massa tidak hanya memberikan fakta-fakta dan data-data.
Media juga menyediakan informasi pokok penjelasan dan arti pada
moment tersebut.
27
c. Hubungan
Media massa dapat bekerjasama dengan elemen-elemen dari
masyarakat secara langsung untuk menyambung hubungan komunikasi
antarpersonal.
d. Pengiriman Nilai-nilai
Pengiriman nilai-nilai ini merupakan salah satu fungsi komunikasi
massa yang paling luas, meskipun paling sedikit dibicarakan.
Pengiriman nilai-nilai ini tidak dapat dihindari, karena selalu hadir
dalam berbagai bentuk komunikasi yang mempunyai dampak pada
penerimaan individu.
e. Hiburan
Dalam fungsi-fungsi media yang menduduki posisi terlaris adalah
hiburan. Terutama televisi sebagai hiburan dengan kira-kira
tigaperempat dari acara yang disuguhkan oleh media (Dominick dalam
Jamaludin, 2010: 15).
Dari fungsi komunikasi di atas sudah barang tentu komunikasi massa
menduduki posisi teratas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana
diungkapkan oleh Nurudin, suatu kenyataan yang tidak bisa terbantahkan
dan sangat memengaruhi proses komunikasi dalam masyarakat modern
sekarang ini adalah keberadaan media massa (cetak ataupun elektronik).
Media massa telah menjadi fenomena tersendiri dalam proses komunikasi
dewasa ini. Bahkan ketergantungan manusia terhadap media sudah
sedemikian besar.ketergantungan tinggi pada media massa tersebut akan
28
mendudukkan media sebagai alat yang akan ikut membentuk apa dan
bagaimana masyarakat (Nurudin, 2007:33). Oleh sebab itu, dalam
pembahasan ini menandakan bahwa komunikasi massa mempunyai andil
yang cukup besar dalam membentuk sikap khalayak.
5. Majalah
Berbicara mengenai media yang digunakan dalam komunikasi
memang bermacam-macam, namun yang bisa menjangkau khalayak lebih
luas adalah media massa, salah satunya majalah. Majalah merupakan salah
satu media yang digunakan dalam proses komunikasi massa. Majalah
identik dengan suatu media yang dicetak dan dikemas secara khusus dan
biasanya tersegmentasi. Klapper mengkarakteristikan majalah dalam 3
aspek meliputi:
a. Majalah lebih beragam dan tersegmentasi;
b. Majalah lebih personal penggunaannya;
c. Tema majalah lebih bersifat mendalam, memungkinkan pembacanya
untuk menganalisis kembali pesan yang disampaikan (Klapper,
1960:16).
Majalah sendiri mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dari sekedar
menyampaikan dan menyebarkan informasi. Karena majalah juga
merupakan refleksi dari masyarakat atau keadaan zamannya, maka dari
situ pula pembaca diharapkan akan mendapatkan gambaran utuh mengenai
segala sesuatu. Menurut Kurniawan Junaedhi, majalah adalah (sebuah)
penerbitan berkala yang terbit secara teratur dan sifat isinya tak
29
menampilkan pemberitaan atau sari berita, melainkan berupa artikel atau
bersifat pembahasan yang menyeluruh dan mendalam (Junaedhie,
1995:xiii)
Melihat dari sejarahnya, majalah mulai dikenal oleh masyarakat luas
sekitar tahun 1941 oleh Benjamin Frankin dan Andre Bradford. Mereka
berdua menerbitkan dan memperkenalkan majalah pertama di Amerika
kala itu. Benjamin Frankin mendirikan General Magazine dan Andre
Bradford mendirikan American Magazine. Pada tahun 1821 The Saturday
Evening Post menjadi majalah pertama yang menyebar di seluruh penjuru
Amerika. Berselang sembilan tahun Louis A. Godey memperkerjakan
Sarah Josepha sebagai editor wanita pertama untuk majalah wanita
Godeys Lady Book. Majalah pertama yang mengedepankan investigasi
jurnalistik adalah McClure’s Magazine yang didirikan oleh Samuel A.
McClure pada tahun 1893. Sedangkan majalah pertama yang berisi berita
umum adalah majalah Time yang didirikan oleh Henry Luce pada tahun
1923, kemudian disusul terbitnya majalah Fortune, Life, Sports Illustrated,
The New Yorkers pada tahun 1925, Ebony dan Jet pada tahun 1945. Pada
tahun 1993 majalah mulai merambah ke dunia maya yakni internet.
Newsweek adalah majalah yang menerbitkan edisinya melalui internet.
Pada tahun 1997 Dennis Publishing, pemilik majalah Rolling Stone
meluncurkan majalah Maxim yang sukses dalam satu dekade. Di era tahun
2000 Oprah Winref meluncurkan majalah gaya hidup bernama O (Biagi,
2010: 92).
30
Salah satu majalah Indonesia yang terkenal adalah majalah Tempo.
Secara visual bila melihat dari segi desain sampul majalah Tempo
merupakan bentuk dari komunikasi yang pesan-pesannya ditransfer dan
disampaikan melalui desain dalam bentuk tanda-tanda visual untuk
mewakili suatu maksud tertentu didalam pesannya. Maksud pesannya
terkemas dalam bentuk visual yang sarat akan lambang, tanda, kode, dan
makna. Jadi berbagai macam gambaran akan termuat berbagai hal
didalamnya dan maknanya-pun tidak dapat disebutkan secara definitif
melalui tampilannya. Pada proses ini kultur dan berbagai konvensi
masyarakat sangat berpengaruh pada pemahaman pesan.
Desain visual sampul majalah Tempo sebagai bentuk konstruksi tanda,
merepresentasikan ide kepada publik.
Sampul majalah sendiri menurut George Gerbner (1958) sampul
majalah yaitu identitas perusahaan dan penghimpun isi pemberitaan yang
memegang peran utama dalam memasarkan sebuah majalah yang
bertujuan untuk membentuk karakter budayanya. George Gerbner
menyatakan salut pada majalah percintaan, desain dan isi sampulnya
menggambarkan syarat yang harus dipenuhi dan bagaimana hubungan
pasar dengan majalah itu. Ellen McCracken menjelaskan bagaimana peran
sampul depan majalah ini dalam tulisannya The Cover : window to the
future self dalam buku Turning It On, A Reader in Women and Media. Ia
menulis bahwa sampul majalah menjadi sebuah nilai tambah serta menjadi
iklan yang paling penting yang dilakukan oleh sebuah majalah, karena
31
inilah salah satu alat yang bisa membedakan majalah satu dengan yang
lain. Gaya dan aliran suatu majalah adalah elemen terpenting dalam
memposisikan sebuah majalah dimana majalah tersebut akan menawarkan
dan membentuk pembaca melalui sebuah proses pemahaman (Baehr dan
Gray, 1997 : 97).
McCracken menjelaskan tentang fungsi dari sampul majalah yaitu
untuk membantu apa yang dibangun majalah tersebut dengan melekatkan
definisi awal melalui judul majalah, berita utama, dan foto. Kalimat,
penekanan, warna, gambar visual dari keindahan yang ideal dan
keberhasilan, gambaran tersembunyi dari karya yang dinikmati sampai
pada posisi pada isi sebuah majalah. Pembaca tidak harus melihat sebuah
isi majalah dari sampulnya, tapi model interpretasi yang diberikan adalah
bagian dari simbol yang ada pada sampul yang mempunyai pengaruh yang
kuat. Sampul adalah hal yang paling penting dalam pemasaran di dunia
majalah, dan melalui perannya sebagai identitas gaya, sistem semiotik, dan
kerangka. Hubungan saling mempengaruhi dari fotografi, kata verbal, dan
teks yang berwarna dalam tiap sampul majalah menciptakan nilai yang
dimuat dalam pengertian kebudayaan tetapi bermaksud untuk menarik
meningkatkan penjualan. Sampul majalah menjalankan peran sebagai
pengenal aliran, sistem tanda, dan kerangka untuk meraih hasil. Setiap
peran yang dimainkan sangat dekat hubungannya dengan struktur
komersial dari industri majalah dan akan menjadi berbeda dengan tujuan
32
majalah lain yaitu untuk melakukan perubahan (Baehr dan Gray, 1997 :
100).
Desain dari sampul majalah sendiri tidak sekedar menjadi konsumsi
desainernya, namun membawa orang-orang “pemakainya atau
pembacanya” untuk membentuk makna. Pada desain sampul majalah
Tempo, perhatian audiens atas sesuatu (makna dibalik tanda dalam desain)
akan terbangun. Pilihan visual, penggunaan kata, dan simbol yang tepat
membuat khalayak segera membentuk pemaknaan ataupun mengenali
maksud desain sampul tersebut. Pada dasarnya komunikasi merupakan
suatu bentuk transfer informasi pesan dari sumber ke penerima. Dalam
pertukaran ini dibutuhkan media. Terdapat tiga kategori utama media
yakni:
a. Media presentasional; berupa tubuh, wajah, dan suara. Media ini
menggunakan bahasa natural untuk kata-kata yang diucapkan,
ekspresi, bahasa tubuh, dan seterusnya. Media ini membutuhkan
kehadiran komunikator sebagai medium. Media jenis ini dibatasi oleh
ruang dan waktu (disini-sekarang) dan menghasilkan tindakan
komunikasi.
b. Media representasional; berupa buku, foto, lukisan, tulisan, arsitektur,
dekorasi interior, dan lain-lain. Terdapat beberapa media yang
menggunakan konvensi-konvensi keindahan dan kebudayaan untuk
menciptakan teks dari beberapa jenis. Media ini bersifat
representasional dan kreatif. Media jenis ini membuat teks yang dapat
33
merekam media dari kategori satu dan dapat eksist secara independent
dari komunikator.
c. Media mekanis; yaitu telepon, radio, dan televisi. Media ini adalah
transmiter media dari kategori satu dan dua. Perbedaan utama antara
kategori dua dan ketiga, bahwa media kategori ketiga menggunakan
channel (Fiske, 2010:29-30).
Disini desain sampul majalah Tempo yang kebanyakan berupa
karikatur dan foto masuk dalam kategori kedua (representasional), karena
dalam desain sampul majalah Tempo tidak dibutuhkan kehadiran
komunikator secara langsung. Komunikator ada ketika sampul majalah
Tempo tersebut dibuat. Transfer informasi pesan yang dibuat sampul
majalah Tempo berupa tanda-tanda yang sarat akan makna.
6. Semiotika
Banyak hal yang dapat dikomunikasikan di dunia ini. Proses
komunikasi yang dilakukan oleh manusia dengan sesamanya yakni melalui
perantara tanda-tanda. Karena tanda-tanda (signs) itu sendiri merupakan
basis dari seluruh komunikasi. Menurut Littlejohn dan Foss (2009: 80)
sejatinya ada beberapa tradisi yang memberikan kontribusi bagaimana
pesan itu disusun dan disampaikan serta bagaimana pesan tersebut
diartikan, diantaranya melalui semiotika, fenomenologis, sosiopsikologis,
dan sosiokultural. Dalam pembahasan ini, akan memfokuskan untuk
mengkaji tentang bagaimana pesan dibuat dan pesan dimaknai lewat
semiotika.
34
“Studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan
dengan semiotika” (Fiske, 2010:60). Sementara itu, menurut Yasraf Amir
Piliang (2003:21) semiotika (semiotics) adalah “ilmu tentang tanda dan
kode-kodenya serta penggunaannya dalam masyarakat”. Sedangkan
menurut Riyadi Santoso (2003:1) “Ilmu yang mempelajari sistem tanda
seperti: bahasa, kode, sinyal, dan lain sebagainya” adalah semiotika.
Semiotik pada dasarnya lebih merunjuk pada “doktrin formal tentang
tanda-tanda” (Sobur, 2004:13). Yang menjadi dasar dari studi ilmu
semiotika adalah “konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem
komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri
pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-
tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan dapat menjalin
hubungannya dengan realitas” (Sobur, 2004:13).
Semiotik adalah topik baru dan tidak mudah untuk dilakukan, karena
didalam teori tersebut terdapat suatu teori yang menjelaskan sebuah
filosofi tentang teori logika yang sulit untuk dimengerti. Pada awal
kemunculannya, teori semiotika telah diajarkan di sekolah Peirce. Teori
semiotika yang diajarkan oleh Peirce, dapat diaplikasikan untuk
komunikasi pada skala tim, namun cukup sulit untuk dimengerti karena
memilki vocabulary yang rumit. Semiotik sebagai bagian dari desain
grafis sejak beberapa abad yang lalu, telah diberikan secara kontiyu
sebagai dasar untuk mengkritisi teori sosial, dekonstruksi, dan hubungan
interaktif pada humanitas (Storkerson, 2010:2). Jika dilihat secara
35
eksplisit, semiotika adalah jantung dari teori desain, yang mana hanya
sebagai mesin implicit (subconscious) pada praktek desain grafis
(Storkerson, 2010:6).
Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semion yang
berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar
dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Istilah
semiotika atau semiotika itu sendiri, dimunculkan pada akhir abad ke-19
oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce. Charles
Sanders Peirce (1839-1914) adalah seorang ahli matematika, ilmu kimia,
ilmuan, dan seorang filosofer analisis kurva (Storkerson, 2010:6).
Semiotik Charles Sanders Peirce adalah sebuah cara yang digunakan untuk
memahami bagaimana memberikan arti, ditinjau dari semua aspek, yang
membutuhkan pemikiran (Storkerson, 2010:6). Terutama yang merunjuk
pada doktrin formal tentang tanda-tanda. Tanda-tanda adalah “perangkat
yang kita pakai dalam upaya memaknai makna yang terkandung
didalamnya” (Suprapto, 2006:113). Sehingga dalam semiotika hendak
mempelajari bagaimana manusia memaknai hal-hal. “Memaknai berarti
bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda” (Sobur, 2004:15).
Maka, yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda,
tidak hanya pada bahasa dan sistem komunikasi yang telah tersusun oleh
tanda-tanda, melainkan pada dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan
36
pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak
demikian manusia tidak akan dapat menjalin hubungannya dengan realitas.
Dunia semiotika modern memiliki dua tokoh penting, yaitu Ferdinand
de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Sobur, istilah semiotika
ini dipopulerkan oleh Charles Sanders Pierce yang berasal dari Amerika.
Kendatipun demikian, ada yang menyebutnya sebagai semiologi yang
diprakarsai oleh Ferdinand De Saussure dari Prancis. Dari kedua istilah
itu, pada dasarnya samasama mempelajari makna atau arti dari suatu tanda
atau lambang. Yang membedakan adalah menunjukan pemikir
pemakainya (Sobur, 2005:11).
a. Ferdinand de Saussure
Tokoh semiotika pertama adalah Ferdinand de Saussure seorang
ahli lingustik dari Swiss. Menurut Saussure sistem tanda disebut
dengan semiologi, tanda tersebut mempunyai dua entitas yaitu penanda
(signifier) dan petanda (signified) (Sudjiman dan Zoest, 1992:42).
Secara implisit tanda dianggap sebagai alat komunikasi antara dua
orang manusia secara disengaja dan bertujuan menyatakan maksud.
Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa, sedangkan bahasa
merupakan suatu kesatuan sistem tanda yang mampu mengungkapkan
ide-ide. Jadi, tanda dapat mengekspresikan ide-ide yang ada pada
benak manusia sehingga mampu diterjemahkan atau dimaknai. Tanda
menurut Saussure selalu mempunyai tiga wajah, yaitu :
37
1) Tanda itu sendiri (sign)
2) Aspek material (entah berupa suara, huruf, bentuk, gambar, gerak)
dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan oleh
aspek material (signifier) Aspek mental atau konseptual yang
ditunjuk oleh aspek material (signified). (Sunardi, 2002:48)
Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari
signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental.
Lebih jelas berikut peta model semiotika dari Ferdinand de Saussure:
Skema 1.2
Model semiotika Ferdinand de Saussure
(Sumber: Fiske, 2010:66)
Berdasarkan model pemaknaan ini, petanda lebih banyak
merupakan produk kultur tertentu seperti halnya juga penanda.
Petanda-penanda tersebut merupakan konsep mental yang digunakan
untuk membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga bisa
memahami realitas tersebut (Fiske, 2010: 66-67).
38
Salah satu pengikut Ferdinand de Saussure yaitu Roland Barthes,
membuat suatu model sistematis dalam menganalisa tanda-tanda.
Kajian Barthes lebih terfokus pada signifikasi dua tahap, yaitu
signifikasi tahap pertama(denotasi) dan signifikasi tahap kedua
(konotasi). Berikut ini adalah pemaknaan tanda menurut Roland
Barthes :
Skema 1.3
Model Peta Tanda Roland Barthes
(Sumber : Cobley & Jansz, 1999: 69).
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa menurut Barthes, tanda
denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Denotasi
merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami
oleh hampir semua anggota kebudayaan. Pada saat yang bersamaan
pula, tanda denotatif dapat menjadi penanda konotatif(4). Penanda
konotatif yang dihubungkan dengan petanda konotatif (5), akan
39
membentuk tanda konotatif (6). Pada signifikasi tingkat dua, yakni
konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-
penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-
keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi
sosial tertentu.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,
yang disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan
dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku
dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang
unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada
sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat
memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004:71).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem signifikasi dari tanda, Barthes dalam
jurnal internasional Muslikh Madiyant (2009) yang berjudul
SINEMASASTRA: Mencari Bahasa Di DalamTeks Visual mengatakan:
“semiologi have the object of research as any sign system,
both in substantial and nonsubstansial form such as images,
behaviour, melodius sounds, objects, and the complex
substance that can be found in rituals, protocols or
40
performance. As a matter of fact, all of that build the
marking system”.
Semiologi memiliki objek penelitian berupa sistem tanda apa saja,
baik dalam wujud substansial dan nonsubstansial seperti gambar,
tindaktanduk, bunyi melodius, benda-benda, dan substansi kompleks
yang dapat ditemukan dalam ritus-ritus, protocol-protokol atau
pertunjukan. Pada hakikatnya, semua itu membangun sistem
penandaan.
Roland Barthes identik dengan penggunaan istilah mitos(myth).
Mitos menurut Barthes adalah sistem semiologis tingkat kedua atau
metabahasa. Mitos merupakan bahasa kedua yang berbicara mengenai
sebuah bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem yang pertama
(penanda dan petanda) yang memunculkan makna-makna denotatif
menjadi sebuah penanda bagi suatu makna mitologis konotatif tingkat
kedua. Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi
hegemonis atau dengan kata lain, telah diterima sebagai hal yang
”normal” dan ”alamiah”, mereka akan berfungsi sebagai peta-peta
makna yang menunjukkan bagaimana memahami dunia. Konotasi-
konotasi hegemonis inilah yang disebut mitos (Barker, 2005: 93).
Semiotika digunakan pada analisis media dengan asumsi media
dikomunikasikan oleh seperangkat tanda. Dengan mempertanyakan
bagaimana tanda tersebut bekerja, adalah tugas semiotika untuk
menganalisisnya. Teks media tersusun atas seperangkat tanda (yang
41
terbentuk bahasa) tidak pernah membawa makna tunggal didalamnya.
Kenyataanya teks media selalu memiliki ideologi dominan yang
terbentuk melalui tanda tersebut. Ini berarti teks media membawa
kepentingan-kepentingan tertentu yang luas dan kompleks (Sobur,
2004: 138)
b. Charles Sanders Peirce
Semiotika model Charles Sanders Peirce lebih memfokuskan
perhatiannya pada tanda yang dikaitkan dengan objeknya. “Peirce
melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda
(interpretant)” (Piliang, 2003:266). Tanda,
menurut pandangan Peirce adalah “....something which stands to
somebody for something in some respect or capacity” dari definisi
Peirce ini tampak peran subjek (somebody) sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika
(Piliang, 2003:266).
Dengan semiotika, maka dalam perjalanannya tidak lepas dari
suatu tanda yang menandakan sesuatu selain dirinya dan makna
(meaning) yang merupakan hubungan suatu objek atau idea dan suatu
tanda. Tanda pada dasarnya akan mengisyaratkan suatu makna yang
hanya dapat dipahami oleh manusia yang menggunakannya.
Bagaimana manusia dapat menangkap sebuah makna tergantung pada
bagaimana manusia dapat mengasosiasikan objek atau idea dengan
42
tanda. Dimana hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Charles Sanders Peirce bahwa semiotika sebagai “a relationship
among a sign, an object, and a meaning (suatu hubungan di antara
tanda, objek, dan makna)” (Sobur, 2004:16).
Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, dapat dipersepsi oleh
indra kita; tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri; dan
bergantung pada pengamatan oleh penggunanya sehingga dapat
disebut sebagai tanda. “Peirce melihat tanda, acuannya, dan
penggunaannya sebagai tiga titik dalam segitiga” (Fiske, 2010:62).
Model yang dikeluarkan oleh Peirce ini sangatlah sederhana, berikut
penjelasan yang dikeluarkan oleh Peirce:
“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk
sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada
seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda
yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang.
Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda
pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya” (Fiske,
2010:63).
43
Skema 1.4
Unsur Makna Dari Peirce
(Sumber: John Fiske, 2010:63)
Menurut Peirce, salah satu bentuk dari tanda adalah kata.
Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk dari tanda. Sementara
interpretant adalah tanda yang ada di dalam benak seseorang tentang
obyek yang dirujuk sebuah tanda. Dimana ketiga istilah tersebut,
menunjukkan panah dua arah yang menekankan bahwa masing-masing
istilah yang dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain.
“Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri⎯objek,
dan ini dipahami oleh seseorang: dan ini memiliki efek di benak
penggunanya⎯interpretant” (John Fiske, 2010:63). Apabila ketiga
elemen makna itu saling berinteraksi di dalam benak-benak seseorang,
maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda-tanda
tersebut. Jadi makna akan lebih baik dirumuskan melalui relasi satu
tanda dengan tanda yang lain. Karena makna merupakan suatu hasil
yang dinamis antar tanda, interpretant, dan objek.
Sementara itu, dalam ranah ilmu semiotika sebuah teks yang
terdapat pada suatu gambar dapat terlihat adanya aktivitas penanda:
44
yakni, suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang
menghubungan objek dan interpretasi. Tanda, menurut pandangan
Peirce, adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated) serta hadir
dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. Hal ini terlihat
bahwa sistem panandaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
mendesain suatu gambar.
Untuk menjelaskan cara dalam menyampaikan makna dalam
gambar, Peirce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing
menunjukkan hubungan yang berbeda di antara tanda dan objeknya
yakni sebagai berikut:
1) Ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan dengan objek yang
diwakilinya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda yang
mempunyai ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan.
Misalnya, Foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Sultan, peta
Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang
digambarkan dalam bentuk peta itu.
2) Indeks adalah tanda yang mempunyai hubungan sebab akibat
dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti.
Misalnya, asap dan api menunjukkan adanya api, jejak telapak kaki
di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat
tersebut.
45
3) Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau
perjanjian yang telah disepakati bersama. Simbol baru dapat
dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati
sebelumnya. Contohnya, Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia
adalah burung yang memiliki perlambang kaya makna, namun bagi
orang yang memiliki latar budaya berbeda, misalnya orang Inggris,
Garuda Pancasila dipandang sebagai burung elang biasa
(Tinarbuko, 2009:16-17).
Ketiga kategori tipe tanda, ikon, indeks, dan simbol dapat
dimodelkan ke dalam sebuah segitiga. “Peirce merasa bahwa ini
merupakan model yang sangat bermanfaat dan fundamental”
(Suprapto, 2006:120-121).
Skema 1.5
Unsur Makna Dari Peirce
dalam Ikon, Indeks dan Simbol
(Sumber: Fiske, 2010:70)
Tidak dapat dipungkiri bahwa melalui analisis semiotika dapat
menjelaskan mengenai jalinan tanda atau ilmu tentang tanda secara
46
sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta
proses signifikasi yang menyertainya. Oleh sebab itu, belakangan ini
semiotika menunjukan perhatian besar dalam produksi tanda yang
dihasilkan oleh masyarakat dan budaya yang salah satunya tercemin
pada desain sampul majalah Tempo yang merepresentasikan Institusi
Kepolisian yang sarat akan simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe di
dalamnya.
Model semiotika Charles Sanders Peirce dipilih oleh peneliti
karena merupakan analisis yang tepat sebagai alternatif untuk
mengungkapkan pesan yang direpresentasikan sampul depan majalah
Tempo, karena ilustrasi pesan berupa visual seperti gambar kartun,
foto dan karikatur yang mana merupakan paduan kompleks dari ikon,
indeks dan simbol, selain itu Charles Sanders Pierce lebih menekankan
pada cara tanda dikaitkan dengan objeknya. Dari interpretasi tersebut,
maka dapat diungkapkan muatan pesan yang terkandung dalam
ilustrasi sampul depan majalah Tempo selama 2010 tentang konstruksi
realitas Institusi Kepolisian di mata majalah Tempo.
7. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang membahas tentang kajian semiotika pada sampul
majalah Tempo pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu: Aji
Widodo (2010) berupa skripsi berjudul Pemaknaan Karikatur ”Ancang-
Ancang Cicak Vs Buaya”: Studi Semiotik tentang Pemaknaan Karikatur
”Ancang-Ancang Cicak vs Buaya” pada Majalah Tempo Edisi 3-9
47
Agustus 2009). Lebih jauh penelitian ini membahas tentang penggambaran
dari sampul majalah Tempo saat peristiwa yang sedang dialami oleh
bangsa Indonesia, dimana dalam pertengahan tahun 2009 terjadi
ketegangan hubungan antara aparat penegak hukum di Indonesia yaitu
Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Perseteruan dua Institusi ini digambarkan karikatur dua ekor hewan
yang didentifikasikan sebagai cicak dan buaya yang berperawakan
layaknya manusia yang sedang bertarung di arena mirip pertarungan
gladiator guna memperebutkan gelar sebagai pemenang sedangkan
diatasnya adalah penonton yang melihat pertarungan itu yaitu sekumpulan
hewan tikus yang kelihatan senang dan antusias melihat pertarungan
antara kedua hewan tersebut.
Kemunculan gambar karikatur tersebut disebabkan karena pada
pertengahan tahun ini masyarakat dikejutkan oleh perseteruan yang terjadi
antara aparat penegak hukum di negeri ini yang sebenarya tugas mereka
membasmi korupsi malah terlibat perselisihan. Perseteruan yang membuat
malu aparat penegak hukum dan membuat tertawa para koruptor yang
awalnya takut akan Polri dan KPK, justru dengan keadaan tersebut
membuat mereka semakin tenang karena aparat yang akan mengusut kasus
mereka justru sibuk dengan perselisihan mereka.
Istilah "Cicak versus Buaya" diawali statemen Kabareskrim Mabes
Polri, Komjen Pol Susno Duadji yang merasa tersinggung dengan aksi
penyadapan terhadap handphone pribadinya. Ketika itu, Susno
48
mengistilahkan cicak untuk lembaga anti korupsi (KPK) yang menyadap
telepon pribadinya. "Masak cicak kok berani lawan buaya". Ternyata
ketegangan cicak dan buaya tak berhenti sampai di situ. Kini ada tindakan
kejut lanjutan yang dilakukan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri yang
melakukan pemeriksaan terhadap delapan pejabat KPK sekaligus. Kabiro
Hukum KPK, Chaidir Ramli menjelaskan pemeriksaan pimpinan dan staf
KPK oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri terkait dengan dugaan
penyalahgunaan kewenangan KPK.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah saat ini bangsa Indonesia
mengalami hal yang saat kritis dimana dua institusi penegak hukum yang
dipercaya masyarakat sedang berselisih paham atas tindakan yang
dilakukan kedua belah pihak, dari sisi Polri mereka sudah berani
memenjarakan dua pimpinan KPK yang saat itu sangat gencar melawan
ketidakadilan yang sudah diterima masyarakat, permasalahan hukum di
Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya,
perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Penelitian lain yang lebih menonjolkan stereotipe yaitu oleh Dida
Aruming Dyah (2010) berupa thesis berjudul The Stereotypes of Cuban-
American as Reflected in Bad Boys II, Directed by Michael Bay. Penelitian
ini menganalisa bagaimana dua karakter polisi menggambarkan
stereotipe-stereotipe orang Kuba-Amerika. Keduanya diperankan oleh dua
aktor Hollywood berkulit hitam yaitu Martin Lawrence dan Will Smith.
49
Berdasarkan hasil analisa peneliti, didapati bahwa sterotipe orang
Kuba-Amerika adalah; mereka penjual narkoba, kejam, dan punya
hubungan yang kuat pada keluarga inti. Mereka juga berbicara
menggunakan bahasa Spanglish untuk berkomunikasi dengan sesama.
Salah satu stereotipe yang baik adalah dilihat dari segi kesehatan orang
Kuba-Amerika yang lebih baik jika dibandingkan dengan masyarakat
Hispanic-Amerika.
Berdasarkan dari penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti ingin
melengkapi dua penelitian di atas. Dari skripsi Aji Widodo (2010) berupa
skripsi berjudul Pemaknaan Karikatur ”Ancang-Ancang Cicak Vs
Buaya”: Studi Semiotik tentang Pemaknaan Karikatur ”Ancang-Ancang
Cicak vs Buaya” pada Majalah Tempo Edisi 3-9 Agustus 2009), peneliti
berusaha melengkapi pemaknaan sampul-sampul majalah Tempo tentang
Institusi Kepolisian dari penelitian terdahulunya. Sedangkan dari tesis
milik Dida Aruming Dyah (2010) berjudul The Stereotypes of Cuban-
American as Reflected in Bad Boys II, Directed by Michael Bay, peneliti
berusaha melengkapi tentang stereotipe dari kepolisian yang ada di
Indonesia khususnya.
50
F. Definisi Konsep
1. Sampul majalah Tempo
Salah satu ciri khas dari majalah berita adalah desain sampulnya atau
halaman satu. Ukuran publikasinya biasanya berukuran tabloid atau 8,5 x
11 inci. Dari ukuran tersebut menyebabkan berita mana yang harus fokus
dipilih menjadi berita utama dan tergambar di sampulnya, sebab jika
dimuati tiga atau empat berita maka halaman sampul akan penuh dan
padat. Sampul biasanya berupa foto atau gambar lainnya. Sampul biasanya
berupa foto atau gambar lainnya. Sampul sering juga dilengkapi dengan
teater headline atau berita lain yang ada dalam publikasi. Sering sekali
berita sampul (cover story) diletakkan di halaman tengah atau dalam
beberapa halaman khusus yang tidak berada dihalaman awal (Rolnicki,
Tate dan Taylor, 2008: 301-302).
Desain sampul majalah Tempo yang diusungnya lebih banyak
digambarkan melalui gambar kartun karikatur yang sarat akan simbol-
simbol kritikan sosial di dalamnya. Dibandingkan dengan majalah-majalah
sejenis lainnya, desain sampul majalah Tempo memiliki karakteristik kuat
dan memiliki ciri khas majalah yang independent. Pengambaran tokoh
sebagai berita utama yang terpampang di sampul majalah dikemas secara
unik dan artistik dengan tujuan supaya pesan yang akan disampaikan
menarik dan tidak terlihat monoton sehingga desain sampul majalah
Tempo mampu menjadi magnet para khalayak luas saat melihatnya dalam
menyampaikan pesannya.
51
Selama tahun 2010 sampul majalah Tempo telah menerbitkan
sembilan sampul yang menggambar tentang Institusi Kepolisian. Secara
kasat mata gambaran dari sampul majalah tersebut delapan diantaranya
digambarkan dalam bentuk karikatur. Karikatur sendiri adalah sebuah
kritik dalam bentuk gambar yang sarat pesan moral (Waluyanto, 2000:
129). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998) karikatur diartikan
sebagai gambar olok-olok yang mengandung pesan, sindiran dan
sebagainya. Merupakan gambaran yang diadaptasi dari realitas, tokoh-
tokoh yang digambarkan adalah tokoh-tokoh bukan fiktif yang ditiru untuk
memberikan persepsi tertentu terhadap pembaca.
Hanya satu sampul dari sampul majalah Tempo tentang Institusi
Kepolisian yang berupa foto jurnalistik. Sebuah foto mampu berdiri
sendiri dan memiliki nilai berita, atau yang biasa disebut single picture.
Namun foto juga dapat sebagai pelengkap atau penegas dari sebuah berita.
Sebuah foto dapat mewakili ribuan kata atau kalimat. Nilai sebuah foto
sama halnya dengan sebuah informasi atau berita (tulisan). Foto jurnalistik
adalah foto dengan kriteria yang mengungkapkan dan memaparkan semua
aspek dari semua kenyataan dengan menyiratkan rumus 5W+H (Alwi,
2004:7).
Foto jurnalistik menurut Oscar I. Motuloh, adalah suatu medium sajian
untuk menyampaikan beragam bukti visual atas beberapa kejadian pada
masyarakat seluas-luasnya, bahkan hingga kerak di balik peristiwa
tersebut, tentu dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Motuloh, 2003:1).
52
Sedangkan menurut Hermanus Prihatna, foto berita atau foto
jurnalistik adalah sebuah berita visual yang disampaikan pada masyarakat
luas dan tentunya mempunyai nilai berita tinggi bahkan sampai kejadian
secepat mungkin. Syarat utama yang paling mendasar dari sebuah berita
haruslah ingin diketahui orang banyak dan dari sudut pandang itulah kita
bisa menilai kekuatan foto yang dapat disebut sebagai foto berita
(Prihatna, 2003:1).
Melihat dari perbandingan sampul majalah yang lebih menonjolkan
sisi karikatur yang merupakan gambar sindiran tentunya hal ini akan
berdampak pada khalayak yang melihatnya. Setiap khalayak,
membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media yang
digunakan yakni dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa maupun
pelaksana makna sosial atau pesan sosial yang akan dikomunikasikan
sepertihalnya majalah Tempo. Seharusnya makna sosial atau pesan sosial
harus disesuaikan dengan maksud dari pihak komunikator dan ditangkap
dengan baik oleh para pembaca yang melihatnya. Media alternatif yang
membawa simbol-simbol sosial yang didalamnya terkandung suatu pesan-
pesan tersirat yang dapat ditemukan pada desain sampul majalah Tempo.
Sampul-sampul tersebut yang menerpa pembaca atau komunikan secara
satu arah tentunya akan ditafsirkan dalam berbagai makna. Makna-makna
pesan dalam sampul majalah Tempo tersebut bukan tidak mungkin akan
menciptakan distorsi pesan seperti penstereotipean terhadap Institusi
Kepolisian.
53
2. Stereotipe terhadap Institusi Kepolisian Dalam Sampul Majalah
Tempo
Sampul majalah Tempo yang akan menjadi objek penelitian ini adalah
kesembilan sampul majalah yang merepresentasikan tentang Institusi
Kepolisian yang terbit di tahun 2010. Pada dasarnya gambaran-gambaran
Institusi Kepolisian oleh majalah Tempo hampir kesemuanya berupa
kritikan atau sindiran. Tentu saja gambar-gambar sampul Institusi
Kepolisian dengan demikian akan membentuk citra negatif berupa
stereotipe tertentu di masyarakat. Stereotipe merupakan bentuk
kontroversial pengelompokan karakterisasi. Stereotipe mendorong
pembacaan karakter dari sudut pandang nilai baku, yang ditentukan
sebelumnya oleh konvensi sosial. Perepresentasian identitas sosial dari
sudut pandang stereotipe merupakan praktik yang sangat umum dalam
media. Penstereotipean sebuah mediasi yang menerjemahkan kompleksitas
karakter individu kedalam sejumlah pengkhasan (distinctions) sederhana
yang didefinisikan secara sosial (Thwaites, Davis dan Mules, 2002: 227).
Menurut Jhonson (1986) mengemukakan, stereotipe adalah keyakinan
seseorang untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung
negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pengalaman. Keyakinan itu membuat orang untuk memperkirakan
perbedaan antarkelompok yang mungkin terlalu tinggi atau terlalu rendah
sebagai ciri khas individu atau kelompok sasaran (Liliweri, 2005: 208).
54
Menurut Sarlito W. Sarwono dan Eko A Meinarno (2009:226),
stereotipe adalah dasar dari prasangka dan diskriminasi, sehingga
stereotipe merupakan faktor penyebab adanya prasangka dan diskriminasi.
Prasangka sendiri adalah suatu penilaian terhadap suatu kelompok atau
individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok orang itu,
pengamat menilai orang lain tidak berdasarkan kategori sosial atau
kategori rasial mereka dan tidak berdasarkan informasi atau fakta tentang
diri mereka sebagai individu (Sears, Freedman dan Peplau, 1994: 149).
Sedangkan menurut David O. Sears (1994: 148) stereotipe merupakan
suatu keyakinan tentang sifat-sifat pribadi yang dimiliki orang dalam
kelompok atau kategori sosial tertentu. Stereotipe biasanya meliputi
pemberian ciri negatif kepada orang yang berbeda dengannya.
Dalam melihat stereotipe Institusi Kepolisian yang direpresentasikan
oleh majalah Tempo peneliti mengelompokkan sampul majalah kedalam
prasangka sosial dilihat dari karakteristik dan peran negatif polisi. Secara
harfiah karakteristik dapat diartikan sebagai kualitas moral, kekuatan
moral, nama atau reputasi. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
(1998), karakteristik adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Sedang
berkarakter berarti mempunyai watak, mempunyai kepribadian (Kamisa
1997:281). Dorland’s Pocket Medical Dictionary dalam M. Furqon
Hidayatullah (2008:11) menyatakan bahwa karakteristik adalah sifat nyata
55
yang menjadi pembeda yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut
yang diamati pada individu.
Peran sendiri menurut Horton dan chester (1992:118), mengartikan
peran sebagai perilaku yang dimainkan dari seseorang (lembaga) yang
mempunyai status tertentu. Institusi Kepolisian memegang peran yang
sangat besar dalam menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi
masyarakat.
Dari segi sosiologi, peran (role) selalu ditinjau dalam hubungan
dengan kelompok. Sebagaimana manusia satu sama lain mengadakan
interaksi dan mengadakan pengaruh timbal balik, demikian pula kelompok
dan lembaga-lembaga sosial mengadakan interaksi satu sama lain dan
mempengaruhi lingkunganya. Sebaliknya setiap lembaga sosial peka
sekali terhadap perubahan lingkunganya, terhadap nilai-nilai kelompoknya
serta penilaian orang terhadap lembaga sosial tadi (Susanto, 1999:231).
Secara umum peran merupakan seperangkat patokan yang membatasi
apa prilaku yang mesti dilakukan seseorang yang menduduki suatu posisi
(Suhardono, 1994: 15).
Dengan menganalisis sampul majalah Tempo melalui gambaran
karakteristik dan peran negatif maka akan mengetahui makna tersirat dari
simbol-simbol yang dibawa oleh gambar-gambar sampul majalah Tempo.
3. Semiotika Model Charles Sanders Peirce
Berkenaan dengan gambar yang berada dalam sampul majalah Tempo
yang berupa delapan gambar karikatur dan satu gambar foto, untuk
56
mengkaji semua gambar tersebut dalam perspektif semiotika, dapat
membedahnya lewat sistem tanda. Gambar-gambar tersebut menggunakan
sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik verbal maupun yang berupa
ikon. Sobur berpendapat bahwa pada dasarnya lambang yang digunakan
terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah
bahasa yang dikenal. Sedangkan lambang non verbal adalah bentuk dan
warna yang disajikan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk
realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau mirip dengan
keadaan sebenarnya seperti gambar benda, orang, atau binatang. Ikon di
sini digunakan sebagai lambang ataupun simbol (Sobur, 2005:116).
“Secara etimologis, lambang ataupun simbol sendiri berasal dari kata
Yunani “symballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda,
perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide” (Sobur, 2004:155). Selain itu, ada
pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2001:10).
Melalui simbol, manusia dapat berkomunikasi antara yang satu
dengan yang lainnya dalam suatu proses komunikasi. Kemampuan
manusia dalam berkomunikasi dan bentuk-bentuk komunikasi yang
dilakukan oleh manusia sangatlah ditunjang dengan simbol-simbol yang
mereka gunakan, karena melalui simbol manusia dapat mengungkapkan
suatu pendapat berupa pesan-pesan sosial. Konsep dari pesan-pesan sosial
itu sendiri yakni tidak dapat dipisahkan dengan budaya. Hubungan antara
manusia dengan kebudayaan sangatlah erat dan tidak dapat terpisahkan,
57
bahkan disebut sebagai makhluk budaya. Kebudayaan terdiri atas gagasan-
gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan
manusia, sehingga terdapat ungkapan, “Begitu eratnya kebudayaan
manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk
dengan simbol-simbol; manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan
ungkapan-ungkapan yang simbolis” (Sobur, 2004:177).
Dalam konsep Charles Sanders Peirce, simbol diartikan sebagai
“tanda yang megacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri” (Sobur,
2004:156). Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang
ditandakan (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvesi itu,
maka masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri hubungan antara
simbol dengan objek yang diacu serta dapat menafsirkan maknanya.
Dalam arti demikian, kata misalnya, merupakan suatu bentuk simbol
karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan
kaidah bahasanya. Dimana kaidah kebahasaan itu secara artifisial
ditentukan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya. Simbol
memiliki kesatuan bentuk dan makna. Simbol merupakan “kata atau
sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan
penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya,
dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya” (Sobur,
2004:156).
Dari situ, untuk melihat dan menemukan makna dalam sampul
majalah Tempo maka peneliti mengunakan semiotika model Charles
58
Sanders Peirce yang lebih memfokuskan perhatiannya pada tanda yang
dikaitkan dengan objeknya. “Peirce melihat tanda (representamen) sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman
subjek atas tanda (interpretant)” (Piliang, 2003:266). Tanda, menurut
pandangan Peirce adalah “....something which stands to somebody for
something in some respect or capacity” dari definisi Peirce ini tampak
peran subjek (somebody) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika (Piliang, 2003:266).
Untuk menjelaskan cara dalam menyampaikan makna dalam gambar,
Peirce membuat tiga kategori yaitu ikon, indeks dan simbol (Tinarbuko,
2009:16-17).
Dengan analisis semiotika model Charles Sanders Peirce penulis akan
mengungkap simbol-simbol pemaknaan stereotipe terhadap Institusi
Kepolisian yang direpresentasikan oleh sampul depan majalah tempo
selama tahun 2010.
59
G. Kerangka Berpikir
Kerangka pikir sebagaimana digunakan dalam penelitian ini dapat
digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Skema 1.6
Kerangka berfikir
60
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Adapun
alasannya karena metode ini lebih mampu mendekatkan peneliti dengan
objek yang dikaji, sebab peneliti langsung meneliti pada objek-objek
yang dikaji.
Penelitian bersifat interpretatif kualitatif, artinya data dalam
penelitian ini adalah data kualitatif. Data yang ada kurang bersifat
kuantum (bilangan-bilangan), melainkan lebih bersifat substantif, yang
kemudian diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensi-
referensi ilmiah.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Metode Analisis Semiotika. Analisis semiotika (semiotikal analysis)
merupakan “cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan
makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket
lambang-lambang pesan atau teks” (Pawito, 2007: 155). pesan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah simbol-simbol yang
menitikberatkan pada hubungan antar tanda di dalam sampul depan
majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010.
3. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah sampul majalah Tempo yang
merepresentasikan Institusi Kepolisian selama tahun 2010 yang
61
keseluruhan berjumlah sembilan sampul. Kesembilan sampul majalah
tersebut dikategorikan dalam dua tema yaitu kasus Markus dalam Institusi
Kepolisian dan kepemimpinan Kapolri. Tema kasus Markus terdiri dari
enam sampul dan tema kepemimpinan Kapolri terdiri dari tiga sampul.
Masing-masing tema dari setiap sampul majalah akan dianalisis
berdasarkan pemaknaan simbol-simbol dari sisi karakteristik dan peran
negatif yang ada. Tujuannya supaya desain tidak saling menumpuk dan
lebih tersistematis. Selanjutnya dianalisis berdasar ikon, indeks, dan
simbol.
4. Validitas Data
Menurut Pawito, validitas data dalam penelitian komunikasi kualitatif
lebih menunjukan pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah
secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti (Pawito, 2008:97).
Validitas data merupakan bentuk batasan yang berkaitan dengan suatu
kepastian bahwa yang berukur benar-benar merupakan variabel yang ingin
diukur. Keabsahan ini juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data
yang tepat. Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi. Teknik
triangulasi, yaitu “menganalisis jawaban subjek dengan meneliti
kebenarannya dengan data empiris (sumber data lainnya) yang tersedia”
(Kriyantono, 2008:70).
Menurut Patton dalam HB Sutopo, terdapat empat macam triangulasi
sebagai tekni pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu:
62
a. Triangulasi data
Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, buku
pustaka, artikel, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan
mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut
pandang yang berbeda
b. Triangulasi pengamat
Adanya pengamat di luar peneliti sebagi pengamat (expert
judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan
data dan turut memeriksa hasil pengumpulan data
c. Triangulasi teori
Penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan
bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian
ini, berbagai teori telah dijelaskan pada telaah pustaka untuk
dipergunakan dalam menganalisis penelitian.
d. Triangulasi metode
Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti
metode wawancara dan metode observasi (Sutopo, 2002: 78-85).
Untuk menjamin validitas data dan kredibilitas yang diperoleh dalam
penelitian ini, digunakan teknik triangulasi data. Triangulasi data
dilakukan oleh penulis dengan menggunakan perspektif lebih dari satu
data seperti dokumen, arsip, buku pustaka, dan artikel dalam membahas
permasalahan yang dikaji.
63
Prosedur ini dipilih karena disesuaikan dengan fokus penelitian
kualitatif yang dilakukan, yang berdasarkan analisis semiotika sampul
depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010 di
mana peneliti merupakan instrument riset utama. Triangulasi data adalah
upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi
guna memperoleh data yang berkenaan dengan persoalan yang sama
(Pawito, 2007: 99).
5. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini, teori yang digunakan adalah stereotipe yang
kemudian dijabarkan melalui pelabelan dengan karakteristik dan peran
negatif Institusi Kepolisian dari masing-masing sampul majalah Tempo.
Dari tehnik triangulasi, berikut langkah langkah yang akan diterapkan
peneliti dalam menganalisis data, pertama, mengkroscekan data sampul
depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010
yang terbit di media cetak. Kedua, menggali informasi terkait dengan
penelitian tentang stereotipe Institusi Kepolisian saat ini. Ketiga,
mengaitkan data penelitian tentang stereotipe Institusi Kepolisian dengan
penelitian yang diteliti dari karakteristik dan peran negatif yang muncul
dalam sampul majalah Tempo.
Dari langkah-langkah yang akan diterapkan diatas, untuk melakukan
penelitian peneliti menangkap, mencatat, menginterpretasikan, dan
menyajikan informasi yang terkait dengan sampul depan majalah Tempo
tentang Institusi Kepolisian selama tahun 2010. Maka dari itu, terdapat
64
tiga hal yang yang menjadi pusat perhatian peneliti di antaranya adalah
penyajian data (data display), reduksi data, dan penarikan dan pengujian
kesimpulan (Pawito, 2008:104).
a. Penyajian Data (Data Display)
Pawito berpendapat bahwa penyajian data melibatkan langkah-
langkah mengoraganisasikan data, menjalin data yang satu dengan
yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan
dalam satu kesatuan karena dalam penelitian kualitatif data biasanya
beranekaragam dimensi dan terasa bertumpuk makan penyajian data
pada umumnya diyakini sangat membantu dalam proses analisis
(Pawito, 2008:105-106).
Dalam peneiltian ini, peneliti mencari dan mengamati keseluruhan
sampel yakni sembilan sampul Majalah Tempo. Berdasarkan dari data-
data sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama
tahun 2010, kebanyakan sampul-sampul tersebut dalam kurun waktu
satu tahun, lebih menitikberatkan pada segi visualnya yang berupa
gambar kartun karikatur karena dari sembilan sampul hanya satu yang
berupa gambar foto.
b. Reduksi Data
Menurut Pawito, reduksi data bukan asal membuang data yang
tidak diperlukan, melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh
peneliti selama analisis data. Langkah reduksi data melibatkan
beberapa tahap. Tahap pertama, melibatkan langkah-langkah editing,
65
pengelompokan, dan meringkas data (Pawito, 2008:104). Pada tahap
ini peneliti berusaha mengelompokan data dan meringkas data. Dalam
hal ini adalah meliputi data penelitian yang diperoleh tentang
stereotipe Institusi Kepolisian yang masih “mentah” akan dipilih sesuai
dengan apa yang dibutuhkan dan sekiranya dapat dikaitkan dengan
sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama
tahun 2010.
Tahap kedua, peneliti menyusun kode-kode dan catatan-catatan
(memo) mengenai berbagai hal, termasuk berkenaan dengan aktivitas
serta proses-proses sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema,
kelompok-kelompok, dan pola-pola data (Pawito, 2008:104). Terkait
dengan penelitian ini adalah data yang telah diproses dari langkah
pertama akan diberikan tanda ataupun catatan yang diperkirakan sesuai
dengan sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian
selama tahun 2010.
Tahap ketiga, peneliti menyusun rancangan konsep-konsep serta
penjelasan berkenaan dengan tema, pola, atau kelompok-kelompok
data bersangkutan (Pawito, 2008:105). Berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan, tahap ketiga ini mencoba untuk menyusun konsep data
dari catatan-catatan yang telah dibuat ditahap kedua.
Berdasarkan tujuan penelitian, peneliti melihat serta mengamati
stereotipe Institusi Kepolisian melalui karakteristik dan peran negatif
yang tergambarkan dalam sampul majalah Tempo.
66
c. Penarikan dan Pengujian Kesimpulan
Pada komponen terakhir ini, peneliti pada dasarnya
mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan
pola-pola data yang ada dan kecenderungan dari display data (Pawito,
2008:106).
Dalam hal ini, dari data display peneliti melakukan pemaknaan
menggunakan metode penganalisaan unsur-unsur tanda yang ada
dalam sampul depan majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian
selama tahun 2010 dengan menggunakan analisis semiotika. Penelitian
ini meminjam pisau analisis semiotika milik Charles Sander Peirce.
Untuk menjelaskan cara dalam menyampaikan makna dalam gambar,
peneliti membuat tiga kategori tanda yang masing-masing
menunjukkan hubungan yang berbeda di antara tanda dan objeknya
yaitu ikon, indeks dan simbol dalam setiap karakteristik dan peran
negatif dari sampul majalah Tempo tentang Institusi Kepolisian selama
tahun 2010.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data atau sumber data dalam penelitian ini
mencangkup dua hal primer dan skunder, yaitu:
a. Sumber Primer
Data primer pada penelitian ini adalah desain sampul majalah
Tempo yang merepresentasikan Institusi Kepolisian selama tahun
2010.
67
b. Sumber Sekunder
Teknik ini merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan
dengan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian. Peneliti berusaha menjelajahi cakrawala
disiplin ilmu lewat sumber-sumber yang dipercaya meliputi artikel-
artikel, situs internet dan buku-buku yang dipercaya, guna untuk
memperkuat pendapat peneliti dalam memaknai tanda dan simbol yang
ada di dalam sampul depan majalah Tempo tentang Institusi
Kepolisian selama tahun 2010.