bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Efek genotoksik merupakan efek kerusakan deoxyribonucleic acid (DNA)
yang dipengaruhi oleh agen kimia maupun fisika yang mampu memodifikasi basa
nukelotida maupun sugar-phosphate backbone dari DNA (Kastan et al., 2004).
Kerusakan pada DNA tersebut diantaranya dapat diakibatkan oleh terjadinya
ikatan kovalen suatu agen toksik pada DNA. Jenis kerusakan DNA dapat
berdampak pada kematian atau mutagenisitas sel, yang dapat menjurus pada
kanker. Terdapat enam jenis kerusakan DNA, yaitu depurinasi basa, oksidasi basa,
deaminasi basa, metilasi basa, DNA-DNA crosslink, dan DNA-protein crosslink
(Swift et al., 2014).
Salah satu penyebab efek genotoksik tersebut adalah adverse drug
reaction (ADR). ADR merupakan efek yang disebabkan oleh obat yang
menghasilkan respon tidak diinginkan dan terjadi pada dosis normal (Rohilla and
Yadav, 2013). Kasus ADR ini telah menjadi permasalahan besar dalam dunia
pengobatan dunia. Diperkirakan bahwa kasus ADR di Amerika Serikat telah
menelan biaya sebesar 100 milyar US$ dan menyebabkan kematian sebanyak
100.000 tiap tahunnya (Ingelman-Sundberg et al., 2001). Menurut Phillips et al.
(2001), 59% obat yang menyebabkan ADR dimetabolisme oleh enzim polimorfik
fase 1, di mana sebanyak 86% dari itu merupakan enzim oksidase CYP450.
Famili CYP450 yang paling penting dalam metabolisme obat adalah CYP3A4
1
2
(Ingelman-Sundberg et al., 2004). Mekanisme ADR dapat terjadi melalui reaksi
toksisitas langsung yang dapat mengakibatkan disfungsi fisiologis, kerusakan
DNA (efek genotoksik), dan kerusakan struktur sel serta jaringan (Ramesh et al.,
2009).
Salah satu obat sitostatik yang mampu menimbulkan ADR berupa efek
genotoksik tersebut adalah siklofosfamid yang digunakan untuk terapi lymphoma,
leukemia, multiple myeloma, mycosis fungoides, neuroblastoma, retinoblastoma,
kanker payudara, dan kanker ovarium (American Cancer Society, 2010).
Siklofosfamid merupakan salah satu obat sitostatik golongan nitrogen mustard
yang biasa digunakan saat ini di (Holland et al., 2003). Nitrogen mustard
merupakan bifunctional alkylating agents yang merusak DNA melalui
pembentukan guanin-guanin dan guanin-adenin interstrand crosslink (Holland et
al., 2003) melalui transfer alkyl-groups pada basa DNA secara kovalen (Helleday
et al., 2008). Bifunctional alkylating agent merupakan agen pengalkilasi DNA
yang akan bereaksi dengan dua basa DNA berbeda dan menjurus pada DNA
crosslink (Helleday et al., 2008).
Efek genotoksik tersebut disebabkan oleh aktivasi siklofosfamid menjadi
4-hidroksisiklofosfamid yang dikatalisis oleh CYP2B6; 2C9; 3A4 yang
merupakan isozyme dari enzim oksidase hepatic cythochrome P450 (CYP450).
CYP3A4 merupakan bentuk utama dari CYP450 dengan persentase jumlah yang
cukup banyak (25% dari seluruh famili CYP450 dan sangat penting dalam
oksidasi obat (Guengrich, 1995; Shimada et al., 1994). Senyawa 4-
hidroksisiklofosfamid tersebut selanjutnya akan mengalami interkonversi secara
3
cepat menjadi tautomernya, aldofosfamid. Aldofosfamid akan mengalami reaksi
eliminasi secara spontan (non-enzimatik) untuk menghasilkan phosphoramide
mustard (PM). PM inilah yang secara umum diketahui sebagai DNA crosslinking
agent (Shukla et al., 2001) yang dapat mengakibatkan terbentuknya mikronukleus
dan kematian sel (Bryce et al., 2010; Tripathi and Jena, 2009).
Strategi efektif pengatasan efek genotoksik siklofosfamid adalah dengan
menggunakan agen anti-genotoksik yang mampu mencegah efek genotoksik.
Salah satu bahan alam yang mampu berperan sebagai agen anti-genotoksik adalah
daun pepaya (Carica papaya L.). Aktivitas biologis daun pepaya tersebut,
sebagian besar merupakan kontribusi dari kaemferol dan quercetin (Zhang and
Zhuo, 2004), di mana kedua senyawa tersebut memiliki aktivitas antioksidan
(Chopra et al., 2000). Namun, kandungan quercetin dalam daun pepaya lebih
tinggi dibandingkan dengan kaemferol (Canini et al., 2007). Selain itu, quercetin
merupakan flavonoid paling kuat dalam melindungi tubuh melawan reactive
oxygen species (ROS) yang dihasilkan dari metabolisme normal ataupun yang
dihasilkan dari induksi kerusakan DNA oleh agen eksogen (De Groot, 1994;
Grace, 1994).
Dalam penelitian ini, digunakan ekstrak kasar daun pepaya, karena
berdasarkan penelitian Koul et al. (2005), ekstrak kasar (crude extract) dari suatu
tumbuhan menyebabkan efek samping penggunaan yang lebih rendah dengan
keberadaan berbagai senyawa yang terkandung di dalamnya yang dapat bekerja
secara sinergis dan meminimalkan efek samping. Dengan demikian, diharapkan
quercetin yang diduga terkandung dalam crude extract daun pepaya, mampu
4
berperan sebagai agen anti-genotoksik khususnya terhadap agen genotoksik
siklofosfamid. Mekanisme anti-genotoksik tersebut adalah melalui penghambatan
metabolisme siklofosfamid oleh CYP3A4, sehingga tidak terbentuk PM yang
berperan sebagai ROS dan menimbulkan efek genotoksik. Selain itu mekanisme
anti-genotoksik tersebut juga dapat terjadi melalui inaktivasi ROS yang dihasilkan
dari induksi agen genotoksik siklofosfamid.
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek anti-
genotoksik ekstrak etanolik daun pepaya serta interaksi quercetin dengan
CYP3A4. Kandungan senyawa daun pepaya diidentifikasi secara kualitatif
melalui kromatografi lapis tipis (KLT). Sedangkan metode penelitian yang
digunakan untuk mengetahui efek anti-genotoksik ekstrak etanolik daun pepaya
adalah mammalian in vivo micronucleus test dengan parameter berupa jumlah
micronucleated polychormatic erytrhocyte (MNPCE)/ 1000 PCE dan %
polychromatic erythrocyte (PCE)/ (PCE+ normochromatic erythrocyte (NCE))
sebagai parameter aktivitas anti-genotoksik. Selain itu, juga dilakukan metode
molecular docking untuk mengamati interaksi quercetin pada CYP3A4. Metode
ini dilakukan menggunakan software PLANTS dengan parameter docking score.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak etanolik daun pepaya berefek anti-genotoksik terhadap
siklofosfamid dengan parameter penurunan jumlah MNPCE/1000 PCE
dan kenaikan % PCE/(PCE+NCE) berdasarkan mammalian in vivo
micronucleus test?
2. Bagaimana interaksi senyawa quercetin yang terkandung dalam ekstrak
5
etanolik daun pepaya terhadap enzim oksidase CYP3A4 dibandingkan
dengan siklofosfamid berdasarkan molecular docking?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menguji efek ekstrak
etanolik daun pepaya sebagai agen anti-genotoksik potensial yang
berfungsi untuk mencegah efek genotoksik siklofosfamid.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui efek anti-genotoksik ekstrak etanolik daun pepaya
terhadap siklofosfamid dengan parameter penurunan jumlah
MNPCE/1000 PCE dan kenaikan % PCE/(PCE+NCE) berdasarkan
mammalian in vivo micronucleus test
b. Mengetahui interaksi senyawa quercetin yang terkandung dalam
ekstrak etanolik daun pepaya terhadap enzim oksidase CYP3A4
dibandingkan dengan siklofosfamid berdasarkan molecular docking.
D. Pentingnya Penelitian
Penelitian ini sangat penting bagi institusi fakultas farmasi UGM dalam hal
potensi pengembangannya sebagai agen anti-genotoksik berbasis bahan alam
dalam skala penelitian ataupun kerja sama dengan industri farmasi. Bagi dunia
ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini juga penting dalam menambah khasanah
ilmu pengetahuan mengenai pentingnya agen anti-gentoksik dewasa ini,
6
mengingat tingginya kasus adverse drug reaction (ADR) yang menyebabkan
efek samping berupa efek genotoksik. Di samping itu, penelitian ini dapat
menjadi rujukan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah bagi
penelitian lain yang berbasis genotoksisitas. Data yang diperoleh dari penelitian
ini dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah sehingga
bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya dan bermanfaat bagi
masyarakat luas.
E. Tinjauan Pustaka
1. Efek Genotoksik
Efek genotoksik merupakan efek kerusakan deoxyribonucleic acid
(DNA) yang dipengaruhi oleh agen kimia maupun fisika yang mampu
memodifikasi basa nukelotida ataupun sugar-phosphate backbone dari DNA
(Kastan et al., 2004). Kerusakan pada DNA tersebut diantaranya dapat
diakibatkan oleh terjadinya ikatan kovalen suatu agen toksik pada DNA.
Agen-agen yang dapat menyebabkan efek genotoksik tersebut, di antaranya
agen endogen (by-products reaktif dari proses metabolisme atau inflamasi)
(Hoeijmakers et al., 2011), agen eksogen (agen yang terdapat dalam
makanan, air, ataupun udara) (Jackson et al.,2009), agen fisik (sinar
ultraviolet), reactive oxygent spesies (ROS), intercalating agents, alkylating
agents, dan analog basa. Mekanisme agen genotoksik tersebut dalam merusak
DNA dapat berjalan secara langsung, tidak langsung, ataupun keduanya
(Swift et al., 2014).
7
Jenis kerusakan DNA dapat berdampak pada kematian atau
mutagenisitas sel, yang dapat menjurus pada kanker. Terdapat enam jenis
kerusakan DNA, yaitu depurinasi basa, oksidasi basa, deaminasi basa,
metilasi basa, DNA-DNA crosslink, dan DNA-protein crosslink.
1) Depurinasi basa
Depurinasi basa (Gambar 1a) merupakan proses mutagenik yang
apabila tidak diperbaiki dapat menyebabkan kesalahan replikasi DNA
dan terkadang dapat menjurus pada kanker (Cavalieri et al., 2012).
Depurinasi basa ini terjadi melalui hidrolisis ikatan antara purin dan
gula deoksiribosa DNA, yang merupakan abasic site (Lindahl, 1993).
Abasic site ini terbentuk ketika DNA termodifikasi oleh karsinogen
kimiawi pada posisi N3 dan N7 purin dan posisi O2 dari pirimidin,
yang melabeli ikatan glikosida dan meningkatkan kecepatan hilangnya
basa (Lawley et al., 1963; Drinkwater et al., 1980).
2) Oksidasi basa
Oksidasi basa (Gambar 1b) dapat disebabkan oleh reactive oxygen
spesies (ROS) yang menyebabkan perubahan basa DNA mayor seperti
timin glikol (Dizdaroglu et al., 2012). Produk basa DNA mayor yang
disebabkan oleh oksidasi dapat menyebabkan kesalahan dalam
replikasi DNA yang menjurus pada mutagenesis (Cooke et al., 2003).
Penambahan gugus hidroksil pada C5 dan C6 timin akan membentuk
timin glikol yang merupakan kerusakan DNA paling umum akibat
induksi oleh interaksi timin dengan ROS. Timin glikol bersifat non
8
polar; C5 metil akan menonjol keluar dan mencegah basa menumpuk
di atas DNA yang rusak, sehingga menghalangi DNA polimerase
selama replikasi DNA (Yoon et al., 2010).
3) Deaminasi basa
Deaminasi basa (Gambar 1c) merupakan proses hilangnya basa
adenin, guanin atau sitosin (Lindahl, 1993). Produk deaminasi dapat
berupa urasil, urasil glikol, santin dan hipoksantin. Deaminasi ini
terjadi secara spontan dan diinduksi oleh ROS atau agen seperti nitrit
oksida. Deaminasi adenin, guanin atau sitosin dapat berefek
mutagenik karena gugus 4-amino pada piridin dan gugus 6-amino
pada purin mendonasikan hidrogen selama pembentukan pasangan
basa Watson-Crick. Saat basa-basa tersebut terdeaminasi pada residu-
residu gugus keto, maka akan menggantikan gugus amino yan
menerima ikatan hidrogen pada pasangan basa Watson-Crick normal
(Kow, 2002).
4) Metilasi atau alkilasi basa
Metilasi atau alkilasi basa (Gambar 1d) terjadi ketika gugus metil
atau akil ditambahakan pada basa (Lindahl et al., 1993). Metilasi basa
dapat bersifat mutagenik ataupun sitotoksik, selain itu basa dapat
termetilasi pada atom O dan N tergantung jenis agen pemetilasi dan
jenis DNA (single strand atau double strand) (Drablos et al., 2004).
Produk metilasi seperti O6-metilguanin, bersifat sangat mutagenik dan
sitotoksik karena DNA polimerase sering menambahkan timin pada
9
pasangan basa dengan O6-metilguanin secara tidak benar (Warren et
al., 2006). Efek metilasi basa ini tergantung jenis agen pemetilasi
tersebut (monofunctional alkylating agent atau bifunctional alkylating
agent). Monofuncional alkylating agent akan memodifikasi single
base (biasanya pada atom N7 dari purin adenin dan guanin) yang
menyebabkan bulky DNA adduct. Sementara itu, bifunctional
alkylating agent akan bereaksi dengan dua basa DNA berbeda dan
menjurus pada DNA crosslink (Helleday et al., 2008).
5) DNA-DNA crosslink
DNA-DNA crosslink terjadi ketika dua basa DNA berikatan
secara kovalen satu sama lain, seperti melalui bifunctional alkylating
agent yang memiliki dua sisi reaktif (Kondo et al., 2010). Jika basa-
basa DNA saling berdekatan, maka akan terjadi intrastrand crosslink
(Gambar 1e), sedangkan jika basa-basa DNA berada pada DNA
strand yang berbeda, maka akan terjadi interstrand crosslink (Gambar
1f).
Interstrand crosslink akan menghalangi mesin replikasi DNA
melalui pencegahan pemisahan strand (Noll et al., 2006) dan
membengkokkan DNA. Terhalangnya mesin replikasi DNA ini dapat
dapat menjurus pada double-strand breaks (DSBs) (Kondo et al.,
2010). Interstrand crosslink ini bersifat sangat toksik, karena
mempengaruhi kedua strand DNA dan dapat menjurus pada
kehilangan informasi template (Kowalczyk et al., 2002).
10
6) DNA-protein crosslink
DNA-protein crosslink merupakan salah satu jenis kerusakan DNA
yang akan membentuk helix distorting adducts yang akan menghalangi
mesin replikasi DNA.yang dapat menjurus ke kerusakan DNA strand
dan mutagenesis (Barker et al., 2005). Efek biologis DNA-protein
crosslink masih belum banyak diketahui dibandingkan dengan jenis
kerusakan DNA lain, karena sulit dideteksi (Shoulkamy et al., 2012).
DNA-protein crosslink terjadi ketika terdapat protein-protein yang lebih
stabil berikatan dengan DNA, sehingga membentuk kompleks kovalen
yang dapat dikonversi menjadi single strand breaks (SSBs) atau double
strand breaks (DBSs), saat protein-protein tersebut bertemu degan
mesin transkripsi atau replikasi DNA (Connelly et al., 2004).
Gambar 1. Jenis kerusakan DNA. (a) Depurinasi basa nukleotida guanin, membentuk
abasic site; (b) Oksidasi basa timin menjadi timin glikol; (c) Deaminasi basa sitosin
menjadi urasil; (d) Metilasi guanin menjadi O6-metilguanin; (e) Intrastrand guanin-
guanin crosslink; (f) Interstrand guanin-guanin crosslink; (g) DNA-protein crosslink
(Swift and Golsteyn., 2014).
A. Depurinasi basa
Nukleotida guanin Deoksiribosa dan fosfat Basa guanin
B. Oksidasi basa C. Deaminasi basa D. Metilasi basa
E. Intrastrand crosslink F. Interstrand crosslink G. DNA-protein crosslink
11
2. Siklofosfamid
Banyak agen sitotoksik yang biasa digunakan untuk terapi pasien kanker,
namun menyebabkan tingginya tingkat kerusakan DNA yang menginisiasi
cell cycle checkpoints dan menjurus pada cell cycle arrest atau pun kematian
sel (Helleday et al., 2008). Salah satu agen sitotoksik tersebut adalah
alkylating agents yang merupakan elektrofil yang melakukan transfer alkyl-
groups pada basa DNA secara kovalen (Helleday et al., 2008). Terdapat
beberapa jenis alkylating agents, di antaranya nitrogen mustard, nitrosourea,
senyawa aziridin, akil sulfonat dan senyawa triazin.
Nitrogen mustard merupakan bifunctional alkylating agents yang
merusak DNA melalui pembentukan guanin-guanin dan guanin-adenin
interstrand crosslink. Mekloretamin, bendamustin, melfalan, klorambusil,
ifosfamid dan siklofosfamid, merupakan nitrogen mustard yang biasa
digunakan saat ini (Holland et al., 2003). Siklofosfamid (Gambar 2)
merupakan salah satu obat sitostatik yang biasa digunakan untuk terapi
lymphoma, leukemias, multiple myeloma, mycosis fungoides, neuroblastoma,
retinoblastoma, kanker payudara, dan kanker ovarium (American Cancer
Society, 2010).
Gambar 2. Struktur kimia siklofosfamid (IARC, 1981).
12
Siklofosfamid sebagai pro drug, tidak menunjukkan aksi sebagai
alkylating agent dan tidak menimbulkan kerusakan organ karena gugus
penarik elektron dari atom P akan menurunkan efek nukleofilik dari
β-kloroetilamino pada atom N serta mampu mencegah pembentukan agen
pengalkilasi reaktif (ion etileniminium). Pro drug ini memerlukan aktivasi
metabolisme melalui hepatic-mixed function oxidase untuk membentuk
4-hidroksisiklofosfamid. Hepatic-mixed function oxidase yang
memetabolisme siklofosfamid adalah berupa CYP2B6; CYP2C9; CYP3A4
yang merupakan isozyme dari cythochrome P450 (CYP450). Senyawa 4-
hidroksisiklofosfamid hasil metabolisme hepatic-mixed function oxidase
tersebut terdapat pada kesetimbangan dengan tautomer cincin terbuka berupa
aldofosfamid yang mengalami eliminasi β untuk menghasilkan alkylating
agent berupa phosoramid mustard pada sel target. Siklofosfamid juga
dimetabolisme oleh aldehid dehidrogenase menjadi metabolit inaktif, yaitu
karboksifosfamid. (Lloyd and Smith, 1988). Reaksi metabolisme
siklofosfamid dapat dilihat pada Gambar 3.
13
Gambar 3. Reaksi metabolisme siklofosfamid (Lloyd and Smith, 1988). Siklofosfamid
dapat teraktivasi menjadi 4-hidroksisiklofosfamid melalui katalisis oleh hepatic-mixed
function oxidase. 4-hidroksisiklofosfamid akan mengalami interkonversi secara cepat
menjadi tautomernya, aldofosfamid. Aldofosfamid selanjutnya akan mengalami reaksi
eliminasi secara spontan untuk menghasilkan phosphoramide mustard (PM) yang merupakan
DNA crosslinking agent.
Metabolit toksik dari siklofosfamid ini akan menyerang atom N7 dari
residu guanin pada major groove DNA. Proses ini akan diulangi dengan β(2)-
kloroetil kedua yang menyerang atom N7 guanin yang terletak pada strand
DNA yang berseberangan. Proses tersebut akan memberikan peningkatan
interstrand cross-link yang mengunci dua strand DNA secara bersamaan dan
efektif (Thurston and Sylvia, 1988). Hal inilah yang dapat mengakibatkan
terbentuknya mikronukleus dan kematian sel (Bryce et al., 2010; Tripathi and
14
Jena, 2009). Mekanisme aksi siklofosfamid terhadap DNA dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme aksi siklofosfamid terhadap DNA. Metabolit toksik dari
siklofosfamid ini akan menyerang atom N7 dari residu guanin pada major groove DNA.
Proses ini akan diulangi dengan β(2)-kloroetil kedua yang menyerang atom N7 guanin yang
terletak pada strand DNA yang berseberangan. Proses tersebut akan memberikan peningkatan
interstrand cross-link yang mengunci dua strand DNA secara bersamaan dan efektif
(Thurston and Lobo, 1988).
3. Cytochrome P450
Cytochrome P450 merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap
metabolisme senyawa endogen dan eksogen (Ingelman-Sundberg, 2004).
Penamaan cytochrome P450 adalah berdasarkan penamaan cytochrome
dengan CYP yang diikuti dengan angka famili gen terindikasi (>40%
mengindentifikasi level sekuen asam amino yang diperlukan untuk menjadi
famili yang sama dan >55% identifikasi sekuen asam amino) dan jumlah gen
yang bersangkutan (Nelson et al., 1996). Human cytochrome P450 dapat
dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu:
1) Famili CYP 1-51 yang biasanya memiliki afinitas tinggi terhadap
substrat
15
2) Famili CYP 1-3 yang biasanya memiliki afinitas rendah terhadap
substrat
3) Famili CYP 4 yang berperan dalam metabolisme asam lemak dan
xenobiotik
Famili CYP450 yang paling penting dalam metabolisme obat adalah
CYP3A4 (Ingelman-Sundberg et al., 2004). CYP3A4 merupakan bentuk
utama dari CYP450 dengan persentase jumlah yang cukup banyak (25% dari
seluruh famili CYP450 dan sangat penting dalam oksidasi obat (Guengrich,
1995; Shimada et al., 1994). Selain itu, CYP3A4 juga merupakan enzim yang
bertanggung jawab terhadap 50% metabolisme obat yang digunakan secara
klinis (Gambar 5) (Bertz and Granneman, 1997). Enzim ini sangat mudah
terinduksi oleh sejumlah obat maupun senyawa kimia tertentu. CYP3A4 juga
sangat penting dalam metabolisme makanan dan senyawa dari alam, seperti
flavonoid, mikotoksin (aflatoksin B1), pestisida dan sejumlah bahan
tambahan makanan (Guengrich, 1999).
Gambar 5. Jumlah relatif bentuk hepatic human cytochrome P450 di liver dan
peranannya dalam metabolisme obat klinis. Data tersebut diperoleh berdasarkan
klirens 315 obat, 56% di antaranya dimetabolisme oleh CYP450 primer dan 26% di
antaranya dimetabolisme oleh CYP450 yang belum diketahui. CYP3A4 merupakan
enzim yang bertanggung jawab terhadap 50% metabolisme obat yang digunakan secara
klinis (Bertz and Granneman, 1997).
Peranan relatif enzim
dalam memetabolisme
obat
Jumlah relatif enzim
dalam memetabolisme
obat
16
4. Daun Pepaya (Carica papaya L.)
1) Klasifikasi dan Morfologi Tanaman
Daun pepaya (Carica papaya L.) (Gambar 6) banyak dijumpai di
berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai nama lokal. Nama-
nama lokal daun pepaya tersebut di antaranya, Pente (Aceh); Botik
(Batak Toba); Kates (Palembang); Kalikih (Minangkabau); Gedang
(Lampung); Gedang (Sunda); Kates (Jawa Tengah); Kates (Madura);
Gedang Kustela (Banjar); Kates (Sasak); Kampaya (Bima); Kala jawa
(Sumbawa); Padu (Flores); Papaya (Gorontalo); Papaya (Manado);
Unti Jawa (Makasar); Kaliki riaure (Bugis); Papaya (Halmahera);
Papae (Ambon); Palaki (Seram); dan Kapaya (Tidore).
Sedangkan klasifikasi ilmiah daun pepaya adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Violales
Suku : Caricaceae
Marga : Carica
Jenis : Carica papaya L.
Nama umum : Pepaya
(BPOM RI, 2008).
Habitus berupa perdu dengan tinggi ±10 m. Batang tidak
berkayu, silindris, berongga berwarna putih kotor. Daun tunggal,
17
bentuknya bulat, ujungnya runcing, pangkalnya bertoreh dan tepinya
bergerigi dengan diameter 25-27 cm, pertulangan menjari dengan
panjang tangkai 25-100 cm berwarna hijau. Bunga tunggal, bentuknya
bintang, terdapat di ketiak daun, berkelamin satu atau berumah dua.
Bunga jantan terletak pada tandan yang serupa malai, kelopak kecil
dengan kepala sari bertangkai pendek dan warnanya kuning, bentuk
mahkotanya terompet, tepinya bertajuk lima dan bertabung panjang
dengan warna putih kekuningan. Bunga betina berdiri sendiri,
mahkotanya lepas, kepala putiknya lima, duduk, bakal buahnya
beruang satu dan warnanya putih kekuningan. Buah buni, bentuknya
bulat memanjang, bergading, warna hijau muda bila masih muda dan
jingga bila sudah tua. Bentuk biji bulat panjang, kecil dan bagian
luarnya dibungkus selaput yang berisi cairan. Akar tunggang,
bercabang dan berwarna putih kekuningan (BPOM RI, 2008). Gambar
bagian-bagian tanaman pepaya dapat dilihat pada Gambar 6.
(a) (b) (c) Gambar 6. Bagian-bagian tanaman pepaya (Carica papaya L.).
(a) daun pepaya (b) bunga pepaya (c) buah pepaya
(BPOM RI, 2008).
18
2) Penelitian Terdahulu
Daun pepaya memiliki berbagai senyawa aktif yang mampu
meningkatkan total antioksidan dalam darah dan menurunkan tingkat
peroksidasi lipid, seperti papain, chymopapain, cystatin, tocopherol,
ascorbic acid, flavonoids, cyanogenic glucosides, dan glucosionalets
(Seigler et al., 2002). Daun pepaya muda memiliki aktivitas sebagai
agen antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian lain
dengan menurunkan absorbansi larutan kontrol 1,1-difenil 1-2 pikril-
hidrazil (DPPH) dengan EC 50 sebesar 1.0 ± 0.08 mg/ml (Maisarah et
al., 2013). Aktivitas biologis daun pepaya ini, sebagian besar
merupakan kontribusi dari kaemferol dan quercetin. Kaemferol dan
quercetin merupakan senyawa yang ditemukan melimpah pada
banyak tumbuhan yang dapat dimakan, meliputi, sayuran daun, buah
dan minuman (Zhang and Zhuo, 2004), di mana kedua senyawa
tersebut memiliki aktivitas antioksidan (Chopra et al., 2000).
Menurut Canini et al (2007), ekstrak metanolik daun pepaya
mengandung quercetin dan kaemferol sebanyak 0,04 mg/g dan 0,03
mg/g daun kering, berdasarkan analisis kuantitatif menggunakan gas
chromatography-mass spectrophotometry (GC-MS). Namun, etanol
lebih dipilih sebagai pelarut dikarenakan etanol relatif lebih tidak
toksik dibandingkan dengan metanol (Pritchard, 2007). Selain itu,
kemampuan etanol dalam menyari senyawa antioksidan tidak berbeda
signifikan dengan metanol (Hamadou et al., 2014).
19
Quercetin (3,3’,4’,5,7-pentahidroksiflavon) tergolong senyawa
flavonoid yang dikarakterisasi oleh turunan fenil benzo(γ)piron
dengan dua cincin benzena yang dihubungkan oleh cincin piran atau
piron heterosiklik (Kuh-nau, 1976; Morand et al., 1998). Senyawa ini
memiliki efek anti-genotoksik melalui mekanisme antioksidan dan
modulasi metabolisme (Srinivas et al., 2013). Senyawa quercetin
berperan sebagai antioksidan melalui stabilisasi ROS dengan gugus
hidroksil yang dimilikinya, sehingga menyebabkan ROS menjadi
inaktif (Korkina and Avanas, 1997). Struktur kimia quercetin dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Struktur kimia quercetin (Harwood et al.,2007).
Mekanisme senyawa antioksidan dalam menginaktivasi ROS
dapat terjadi melalui proses oksidasi senyawa antioksidan oleh ROS,
sehingga menghasilkan ROS yang inaktif. Senyawa antioksidan
menstabilkan ROS dengan peranan dari gugus hidroksinya yang
memiliki reaktivitas tinggi (Nijveldt, R.J., 2001). Reaksi inaktivasi
ROS oleh senyawa antioksidan dapat dilihat pada Gambar 8,
sedangkan visualisasi inaktivasi ROS oleh senyawa antioksidan dapat
dilihat pada Gambar 9.
20
Gambar 8. Reaksi inaktivasi ROS oleh senyawa antioksidan (Nijveldt, R.J.,
2001). Gugus hidroksi pada senyawa antioksidan akan menstabilkan ROS dan
membuatnya menjadi inaktif.
Gambar 9. Visualisasi inaktivasi ROS oleh senyawa antioksidan (Williams,
Carey A. et al., 2007). Senyawa stabil dalam tubuh, baik senyawa endogen maupun
eksogen akan mengalami reaksi metabolisme normal berupa oksidasi, sehingga
menghasilkan senyawa radikal bebas (ROS). Senyawa radikal bebas (ROS) akan
distabilkan oleh senyawa antioksidan, sehingga menjadi senyawa stabil yang inaktif.
5. Mammalian In Vivo Micronucleus Test
Mammalian in vivo micronucleus test merupakan suatu uji untuk
mendeteksi kerusakan yang diinduksi oleh agen uji pada kromosom atau
aparatus mitotik dari eritroblas melalui analisis eritrosit sebagai sampel pada
sel bone marrow dan atau sel darah perifer pada mamalia, biasanya roden
(OECD 474, 1997). Prinsip dari metode ini adalah bahwa mikronukleus akan
diekspresikan pada sel yang membelah secara tidak sempurna karena
mengalami kerusakan DNA. DNA yang rusak tidak mampu menuju benang
spindle saat mitosis, sehingga pada tahap telofase terbentuk membran nukleus
yang akan menutupi kromosom DNA yang rusak tersebut dan membentuk
fragmen nukleus kecil yang disebut mikronukleus (Zhou and Elledge, 2000).
Oksidasi
Senyawa stabil
Radikal bebas
Antioksidan
Senyawa stabil
21
Mikronukleus merupakan hasil dari kerusakan kromosom yang kemudian
tampak sebagai nukleus berukuran kecil di dalam sel. Mikronukleus mudah di
amati pada sel polikromatik eritrosit. Proses pembentukan mikronukleus pada
sel darah merah mamalia berkaitan dengan terganggunya proses eritropoiesis
oleh senyawa yang potensial genotoksik. Pada mamalia dewasa, organ
pembentuk sel darah merah yang aktif adalah sumsum tulang belakang dan
limpa. Pada organ tersebut, terdapat sel punca yang akan berkembang
menjadi sel calon darah merah (eritroblas) (Krishna and Hayashi, 2000).
Mikronukelus terbentuk ketika kromosom asentrik atau fragmen kromatid
atau seluruh kromosom tidak terdapat pada sel anak saat proses mitosis
lengkap, melainkan masih tetap berada di dalam membran nukleus (Fenech et
al., 2011).
Proses eritropoiesis terdiri dari dua tahap, yakni tahap proliferasi dan tahap
maturasi. Terjadinya paparan senyawa genotoksik pada proses proliferasi
dapat menyebabkan kerusakan pada DNA. Abnormalitas kromosom
menyebabkan fragmen kromosom tidak dapat bergabung dengan nukleus
anakan dan akan membentuk suatu mikronukleus pada fase pembelahan.
Selanjutnya pada tahap maturasi sel darah merah, eritroblast akan
berkembang menjadi sel-sel sebagai berikut:
1) Polychromatic Erytrocyte (PCE)
PCE adalah sel darah merah muda yang masih memiliki DNA di
dalamnya, sehingga apabila diberi perlakuan pengecatan Giemsa pada
preparatnya akan berwarna biru.
22
2) Normochromatic Erytrocyte (NCE)
NCE adalah sel darah merah yang telah matang, yakni sel darah merah
yang nukleusnya telah menghilang. Apabila diberi perlakuan pengecatan
Giemsa sel pada preparatnya, NCE tidak dapat menyerap Giemsa dan
akan berwarna abu-abu.
3) Micronucleated Polychromatic Erytrocyte (MNPCE)
MNPCE adalah sel darah merah muda yang mengandung
mikronukleus di dalamnya akibat adanya proses mutasi DNA
(Krishna and Hayashi, 2000).
Analisis jumlah rasio PCE/NCE akan mengGambarkan ketoksikan suatu
senyawa yang dipaparkan, sedangkan jumlah MNPCE menunjukkan tingkat
kerusakan genetik dalam sistem eritropoitik suatu makhluk hidup. Eritrosit
bermikronukleus yang terbentuk di sumsum tulang belakang dan limpa
tersebut akan bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah vena
sehingga memungkinkan pemeriksaan via darah tepi (Mac Gregor et al.,
2004). Proses screening dapat dilakukan baik secara in vitro maupun in vivo
dan sudah digunakan secara luas dalam studi biomonitoring manusia (Majer
et al., 2001; Neri et al., 2003).
6. Molecular Docking
Molecular docking merupakan metode utama dalam proses desain molekul
obat berbasis struktur (structure-based drug design, SBDD). Metode ini
dilakukan melalui simulasi secara komputasi yang memodelkan interaksi
antara ligan dan reseptor pada sisi aktifnya (Huang and Zhou, 2007). Protein-
23
Ligand ANT System (PLANTS) adalah program aplikasi penambatan molekul
berdasarkan algoritma Ant Colony Optimization (ACO) (Korb et al., 2006).
Software ini sederhana dan mudah diaplikasikan, namun PLANTS tidak
menyediakan fungsi preparasi protein, ligan, maupun visualisasi (Purnomo,
2011).
PLANTS tidak memiliki aplikasi untuk Windows, sehingga hanya bisa
dijalankan dengan LINUX. Penggunaan PLANTS dengan Windows
memerlukan Co-Pendrivelinux-KDE (suatu software untuk hibridisasi LINUX
dalam Windows), Yet Another Scientific Artificial Reality Application
(YASARA) (untuk visualisasi dan preparasi protein), serta ChemSketch (untuk
preparasi senyawa atau ligan yang akan di-docking-kan dengan protein target).
Hasil dari PLANTS adalah docking score yang menunjukkan potensi interaksi
ligan terhadap protein target. Senyawa yang memiliki skor docking terendah
merupakan ligan dengan konformasi terbaik pada protein target (Purnomo,
2011).
F. Landasan Teori
Ekstrak etanolik daun pepaya (Carica papaya L.) merupakan hasil
ekstraksi etanol daun pepaya yang teridentifikasi mengandung senyawa
quercetin. Berdasarkan penelitian terdahulu, ekstrak metanolik daun pepaya
mengandung senyawa flavonoid, di mana sebagian besar merupakan
quercetin dan kaemferol yang keduanya merupakan senyawa antioksidan.
Senyawa quercetin terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan
dengan kaemferol. Penelitian sebelumnya juga telah menyebutkan bahwa,
24
quercetin merupakan flavonoid paling kuat dalam melindungi tubuh melawan
reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan dari metabolisme normal
ataupun dari induksi kerusakan DNA oleh agen eksogen, sehingga quercetin
menjadi fokus utama dalam penelitian ini.
Dewasa ini, telah terjadi tingginya kasus ADR akibat penggunaan obat
sitostatik dengan efek samping berupa kerusakan DNA (efek genotoksik).
Salah satu obat sitotoksik tersebut adalah siklofosfamid yang merupakan obat
sitotoksik golongan nitrogen mustard yang sering digunakan untuk terapi
kanker lymphoma, leukemias, multiple myeloma, mycosis fungoides,
neuroblastoma, retinoblastoma, dan kanker payudara serta ovarium.
Nitrogen mustard merupakan bifunctional alkylating agents yang merusak
DNA melalui pembentukan guanin-guanin dan guanin-adenin interstrand
crosslink melalui transfer alkyl-groups pada basa DNA secara kovalen. Efek
genotoksik tersebut timbul dari metabolit genotoksik siklofosfamid akibat
metabolisme oleh enzim oksidase CYP450, terutama CYP3A4.
Strategi efektif untuk mengatasi efek genotoksik tersebut adalah dengan
menggunakan agen anti-genotoksik yang berasal dari bahan alam, yaitu
ekstrak etanolik daun pepaya. Senyawa quercetin yang diduga terkandung
dalam ekstrak etanolik daun pepaya memiliki efek antioksidan yang mampu
menghambat metabolisme siklofosfamid oleh CYP3A4, sehingga tidak
terbentuk phosphoramide mustard (PM) yang berperan sebagai ROS dan
menimbulkan efek genotoksik. Selain itu, mekanisme anti-genotoksik
tersebut juga dapat terjadi melalui inaktivasi ROS yang dihasilkan dari
25
induksi agen genotoksik siklofosfamid. Evaluasi efek genotoksik tersebut
dilakukan melalui mammalian in vivo micrnucleus test. Sedangkan,
mekanisme yang memperantarai aktivitas anti-genotoksik ekstrak etanolik
daun pepaya tersebut, kemudian dikonfirmasi melalui molecular docking
untuk mengetahui interaksi quercetin terhadap enzim oksidase CYP3A4
dibandingkan dengan siklofosfamid.
G. Hipotesis
1. Ekstrak etanolik daun pepaya berefek anti-genotoksik terhadap
siklofosfamid dengan parameter penurunan jumlah MNPCE/1000 PCE
dan kenaikan % PCE/(PCE+NCE) berdasarkan mammalian in vivo
micronucleus test.
2. Senyawa quercetin yang terkandung dalam ekstrak etanolik daun pepaya
mampu berinteraksi lebih kuat terhadap enzim oksidase CYP3A4
dibandingkan dengan siklofosfamid berdasarkan molecular docking.