bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
RBTV merupakan televisi lokal yang ada di Yogyakarta, berdiri atas
kerjasama PT Redjo Buntung Yogyakarta (Radio RBFM Grup Jogja) dan STMIK
Amikom Yogyakarta. RBTV mulai mengudara 15 Agustus 2004, pada saluran 40
UHF dan memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) No
335/KEP/M.KOMINFO/07/11 tanggal 29 Juli 2011, dengan jangkauan siaran
meliputi Yogyakarta, Bantul, Kulon Progo, Muntilan, Magelang, Boyolali,
Gunung Kidul, Sleman, Klaten dan Purworejo.
Keberadaan RBTV dihadapkan pada persaiangan “sengit” untuk
mendapatkan iklan, RBTV bersaing dengan seluruh media yang ada di
Jogjakarta, Saat ini tercatat ada 26 lembaga penyiaran radio swasta, 4 televisi
lokal ini bukan perkara mudah, sehingga untuk dapat bertahan hidup lembaga
penyiaran membuat strategi tersendiri dengan mengurangi jam siaran, atau
berjaringan dengan lembaga penyiaran yang memiliki modal yang lebih besar.
Apa yang kemudian dilakukan RBTV adalah dengan membentuk
sistem siaran berjaringan dengan Kompas Tv, pemilihan Kompas Tv sebagai
mitra kerjasama dengan didasari pertimbangan sama – sama menguntungkan baik
bagi pengiklan maupun kepada penonton/pemirsa, sehingga komitmen untuk
membentuk sistem siaran berjaringan melahirkan kesepakatan kerjasama antara
Kompas Tv dan RBTV selama lima tahun terhitung sejak 1 Januari 2012 dan akan
berakhir pada 31 Desember 2016.
Atas dasar kesepakatan tersebut, sejak tanggal 1 Januari 2012 program
siaran RBTV mengikuti program siaran Kompas Tv, hal ini berpengaruh pada
pola program acara jika pada sebelumnya RBTV mengudara mulai pukul 10.00
WIB - 24.00 WIB, maka ketika bergabung dengan Kompas Tv, mengudara mulai
pukul 04.00 WIB sampai pukul 01.00 WIB, selain itu perubahan terjadi pada
pembagian pola acara dari program siaran antara Kompas Tv dengan RBTV.
Penentuan alokasi program siaran (timeslot) dan relai siaran menjadi bagian
penting dari penerapan sistem siaran berjaringan karena pada dasarnya sistem
siaran berjaringan merupakan tata kerja yang mengatur relai siaran secara tetap
antar lembaga penyiaran.
Lembaga penyiaran melakukan sistem siaran berjaringan dapat
membuat kesepakatan kerjasama dalam bentuk tertulis dengan memuat hal – hal
sebagai berikut; penentuan stasiun induk dan stasiun anggota, program siaran
yang akan direlai, persentase durasi relai siaran dari seluruh waktu siaran perhari,
persentase durasi siaran lokal dari seluruh waktu siaran perhari, dan penentuan
alokasi waktu (timeslot) siaran untuk siaran lokal.
Implementasi sistem siaran berjaringan sebagai salah satu bagian dari
proses kebijakan komunikasi, penelitian ini ingin melihat pada dimensi aplikatif
sistem siaran berjaringan di RBTV berkaitan kerjasama dengan Kompas Tv
mulai tahun 2012 sampai 2013.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ,maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
“ Bagaimana implementasi sistem siaran berjaringan di RBTV tahun 2012 -
2013 ?”
C. Tujuan Penelitian
Untuk melihat proses implementasi sistem siaran berjaringan di RBTV.
D. Kegunaan penelitian
Penelitian ini berguna untuk mendiskripsikan implementasi sistem siaran
berjaringan di RBTV.
E. Kerangka teori
Menurut Neuman (dalam faizabdullah.wordpress.com) ada tiga tingkatan
teori, yaitu tingkat mikro (micro-level), tingkat meso (meso-level), dan tingkat
makro (macro -level). Teori tingkat mikro memberikan penjelasan hanya terbatas
pada peristiwa yang berskala kecil, baik dari sisi waktu, ruang, maupun jumlah
orang. Teori tingkat meso menghubungkan tingkat mikro dan makro. Misalnya,
teori organisasi, gerakan sosial, atau komunitas. Sedangkan teori tingkat makro
menjelaskan objek yang lebih luas, seperti lembaga sosial, sistem budaya, dan
masyarakat secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini juga menggunakan teori pada tiga level yaitu makro,
meso dan mikro berikut akan elaborasi teori pada masing – masing tingkatan.
1. Level Makro
A. Kebijakan komunikasi sebagai bagian dari kebijakan publik
Lasswell menyatakan Ilmu kebijakan mengandung ciri yang khas, yakni
berorientasi persoalan, akibatnya harus dikaji secara multidisipliner dan
melibatkan sintetis dari berbagai ide dan teknik penelitian.”(dalam
Parsons,2011:20) dengan pengertian ini ilmu kebijakan sebenarnya dapat dikaji
oleh multidisiplin ilmu termasuk komunikasi.
Kebijakan kumunikasi sebagai bagian dari kebijakan publik, maka cara –
cara yang digunakan dalam menganalisisnya adalah dengan mengunakan cara
yang lazim dipakai dalam kebijakan publik, seperti yang dipaparkan Cohcran dan
Malone yaitu positive policy analysis bagaimana proses kebijakan bekerja dan
normative analysis penilaian tentang apa yang seharusnya tertuang dalam
kebijakan (dalam RKPS,2011:12).
Dengan ketentuan tersebut, setiap proses tahapan kebijakan dalam
kebijakan komunikasi dapat dianalisis dengan dua pendekatan yang sama dalam
kebijakan publik. Melihat proses tahapan kebijakan William N.Dunn (dalam
RKPS,2011:47),yaitu dimulai dengan penyusunan agenda, formulasi kebijakan,
adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.
Winarno(2008:33-34) melakukan elaborasi tentang lima tahapan kebijakan
yang dikemukakan Dunn sebagai berikut :
1. Penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik, namun tidak semua masalah dapat masuk kedalam agenda publik ini
tergantung kepada alasan – alasan tertentu yang dipahami, sehingga
adakalanya masalah di anggap utama namun ada juga masalah yang di
kesampingkan. Pada tahap punyusunan agenda ini ada masalah yang fokus
dibahas dan adapula masalah yang tidak disentuh dengan alasan tertentu.
2. Formulasi kebijakan
Pada tahap ini masalah yang telah masuk pada agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh pembuat kebijakan. Masalah itu kemudian didifinisikan dan
dicari pemecahan masalah yang dianggap menjadi solusi, pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif kebijakan yang ada. Pada tahap ini
aktor sangat berperan dalam melakukan “permainan” untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik.
3. Adopsi kebijakan
Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengambil keputusan dari berbagai
masukan, dipilih satu dari alternatif kebijakan untuk diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus, atau keputusan pengadilan.
4. Implementasi kebijakan
Pada tahap implementasi kebijakan yaitu melaksanakan keputusan yang telah
dibuat dijalankan oleh badan administrasi maupun agen pemerintah tingkat di
tingkat bawah, dukungan sumberdaya manusia dan finansial menjadi penting,
pada tahap ini terjadi persaingan kepentingan akibatnya beberapa
implementasi kebijakan mendapat dukungan sementara kebijakan yang
lainnya malah tidak mendapat dukungan dari para agen pelaksana.
5. Evaluasi kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi,
untuk melihat sejauhmana kebijakan yang dibuat telah mampu memacahkan
masalah, karena pada dasarnya kebijakan publik dibuat untuk memecahkan
masalah yang terjadi di masyarakat, sehingga perlu ditentukan ukuran –
ukuran atau kriteria yang menjadi dasar penilaian apakah kebijakan publik
sudah meraih dampak yang diinginkan.
Dengan melihat tahapan proses kebijakan publik tersebut untuk diterapkan
dalam kebijakan komunikasi, ada baiknya kita memperhatikan pengertian
kebijakan komunikasi terlebih dahulu. Unesco memaknai kebijakan komunikasi
sebagai kumpulan prinsip - prinsip dan norma – norma yang sengaja diciptakan
untuk mengatur prilaku sistem komunikasi(dalam RKPS,2011:10).
Secara sosiologis, kebijakan komunikasi bertujuan untuk menempatkan
proses komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan
masyarakat (dalam Abrar, 2008:17). Dari konsep ini terlihat jelas bahwa peran
aktif dari masyarakat diharapkan aktif dalam menjalankan sekaligus mengawasi
proses komunikasi kebijakannya sementara pemerintah hanya sebagai fasilitator
kebijakan.
Idealnya proses komunikasi dalam sistem sosial dikendalikan oleh
masyarakat, mereka harus aktif sehingga kebijakan komunikasi harus menjamin
bahwa masyarakat ikut mengendalikan perkembangan komunikasi, termasuk
dalam hal pengaturan kebijakan yang ada di masyarakat semestinya harus terlibat
sehingga kebijakan komunikasi bekerja untuk memastikan kelancaran sistem
komunikasi yang ada. Dari pengertian diatas terlihat jelas bahwa ada sekumpulan
prinsip atau norma yang sengaja diciptkan untuk mengatur sistem komunikasi.
Penciptaan norma sama halnya dengan pembuatan kebijakan bertujuan untuk
mengatur sistem komunikasi. Komunikasi erat kaitannya dengan perkembangan
sosial, ekonomi dan politik negara, sehingga kebijakan komunikasi tidak dapat
berlaku selamanya.
Seperti yang dikemukakan Paula Chakravarty dan Katrine Sarikakis(dalam
Abrar,2011) kebijakan komunikasi selalu memiliki konteks, domain dan
paradigma. Untuk menganalisis kebijakan komunikasi harus mengetahui tiga
aspek, yaitu:
1) Konteks yaitu keterkaitan kebijakan komunikasi dengan sesuatu yang
melingkupinya, misalnya politik ekonomi, politik komunikasi dan
sebagainya
2) Domain yaitu muatan nilai yang dikandung kebijkan komunikasi
seperti ekonomi global dan sebagainya. Karena konteksnya politik
ekonomi misalnya maka kebijakan komunikasinya adalah ekonomi
global.
3) Paradigma yaitu kerangka cita - cita yang menjadi tujuan kebijakan
komunikasi, seperti terbentuknya masyarakat informasi, menguatnya
civil society dan sebagainya.
Secara hirarkis, kebijakan komunikasi di Indonesia mengikuti peraturan
perundang – undangan. Dalam UU No.10 tahun 2004 tentang urutan perundang –
undangan yang berlaku di Indonesia adalah (1)UUD 1945,(2)Undang – undang/
Peraturan pemerintah penganti undang – undang,(3)Peraturan pemerintah,(4)
Peraturan Presiden, dan (5) Peraturan daerah, dari kelima hirarki tersebut hanya
UUD yang tidak dapat menjadi kebijakan komunikasi.
Sebagai bagian dari kebijakan publik maka Kebijakan komunikasi, harus
dirumuskan oleh lembaga pemerintah seperti ungkapan James E.Anderson “
public policies are those policies are developed by govermental bodies and
officials (dalam RKPS,2011:11). Sebagai kebijakan publik, kebijakan komunikasi
paling tidak memiliki lima kriteria yaitu (1) memiliki tujuan tertentu; (2) berisi
tindakan pejabat pemerintah; (3) memperlihatkan apa yang dilakukan pemerintah;
(4) bersifat positif dan negatif; (5) bersifat memaksa.
Terkait lembaga pemerintah yang berhak merumuskan kebijakan
komunikasi ini sangat tergantung pada jenis kebijakan yang dibicarakan (konteks,
domain dan paradigma). Pada saat kebijakan komunikasi berbentuk rancangan
Undang – undang (RUU) tentunya harus melewati tahap pembahasan yang
dilakukan oleh DPR RI dan mendapat persetujuan pemerintah. Tanpa persetujuan
DPR dan pemerintah maka, maka sebuah undang – undang tidak bisa berlaku
efektif untuk semua masyarakat. sehingga kebijakan komunikasi dalam bentuk
undang – undang merupakan produk bersama antara pemerintah dan DPR RI.
Kebijakan komunikasi sebagai produk hukum mengikuti aturan sesuai
dengan tahapan pembentukan dan pengesahan Undang – undang, berlaku apabila
telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat, telah disyahkan, ditempatkan
pada lembaran negara RI oleh sekretaris negara, untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
Tabel. 1 Tahapan pembentukan UU/Peraturan
Rancangan Di sahkan Di undangkan Di nyatakan
berlaku
UU Undang – undang
Di DPR Memiliki
kekuatan hukum
Memiliki kekuatan
mengikat
Memiliki
kekuatan berlaku
Sumber : Masduki(2007:48)
Pada tahap dinyatakan berlaku sebuah undang – undang maka kebijakan
bukan lagi sebagai dokumen hanya menjadi catatan – catatan elit melainkan
keputusan yang sudah dibuat diimplementasikan. Sehingga pada tahap ini menjadi
bagian penting dari tahapan kebijakan. Pada tahapan implementasi ada
keterlibatan langsung pelaksana kebijakan sekaligus masyarakat dapat
mengajukan keberatan atas kebijakan yang dikeluarkan baik kebijakan publik
maupun kebijakan komunikasi.
Kebijakan komunikasi pada dasarnya bertujuan untuk kelancaran sistem
komunikasi untuk menjamin kelancaran sistem komunikasi terkadang
dipengaruhi oleh kepentingan dan kekuasaan. Menurut Barret dan Fudge (dalam
Parsons 2005) dalam buku public policy: An introduction to the theory and
practise of policy analisyst menyatakan implemetasi dipengaruhi oleh isu
kekuasaan, ketergantungan, kepentingan, motivasi dan prilaku, dari pernyataan
Barret dan Fudge terlihat bahwa implementasi bukanlah sesuatu yang murni
hanya untuk melaksanakan keputusan yang telah disepakati melainkan ada
pertarungan kepentingan, kekuasaan, ketergantungan sertai di latarbelakangi motif
dan prilaku.
Pressman dan Wildavsky (dalam Parson,2005) menyatakan agar
implementasi sebuah program efektif maka tujuan harus mudah dipahami dengan
baik, sumberdaya harus tersedia sistem harus bisa berkomunikasi secara efektif
dan mengontrol individu dan organisasi yang terlibat dalam pelaksaan tugas, bagi
Prassman dan Wildavsky lebih menekankan pada efektifitas sebuah kebijakan
sehingga ia lebih melihat pada kejelasan dari tujuan agar mudah dipahami,
sumberdaya yang tersedia serta mampu berkomunikasi secara efektif, dan adanya
faktor kontrol.
Dari kedua pendapat di atas memandang implementasi dari sudut pandang
yang berbeda dan hal ini sah – sah saja seperti A. Mazmanian dan Paul A.
Sabatier (dalam Abrar,2011) implementasi kebijakan adalah memahami apa yang
senyataanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan,
pernyataan A.Mazmanian dan Sabatier lebih fokus pada akibat dari kebijakan
yang telah diputuskan dan dirumuskan dan berlaku sehingga jika memahami
pandangan tersebut maka fokusnya pada akibat dari kebijakan.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan komunikasi khususnya berkaitan
dengan media, ada baiknya memperhatikan apa yang dikatakan Siregar (2012:1-2)
ia menyatakan dalam sistem demokrasi, regulasi terhadap media dipilah menjadi
dua, pertama adalah media yang tidak menggunakan ranah publik (seperti buku,
majalah, surat kabar, dan film kecuali jika sudah disiarkan melalui televisi).
Kemudian ia menambahkan media yang tidak menggunakan ranah pulik maka
regulasinya menggunakan prinsip self - regulatory, dibidang pers misalnya ada
Dewan Pers, organisasi pers dan organisasi wartawan untuk menegtur pers dari
segi etika jurnalistik.
Kedua media yang menggunakan ranah publik (public domain) karena
mengunakan ranah publik maka harus diatur secara ketat, ini berkaitan dengan
frekuensi. Karena frekuensi adalah milik publik yang dipinjam sementara oleh
lembaga penyiaran yang harus digunakan sebesar - besarnya untuk kemakmuran
rakyat, dengan demikian pengaturan tersebut bertujuan untuk kemakmuran publik
bukan perorangan atau kelompok.
Kemudian Feintuck 1998 menyatakan dewasa ini regulasi penyiaran
mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur
(structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi
tingkah laku (behavioral regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata laksana
penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content
regulation) berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk
disiarkan(dalam Mufid, 2005:51).
Dari dua pernyataan diatas terlihat perbedaan yang mendasar jika Siregar
lebih fokus pada media yang tidak menggunakan ranah publik dan media yang
menggunakan ranah publik sehingga memberi warna pada konteks regulasi jika
tidak menggunakan ranah publik yang berlaku adalah self regulatory sementara
yang menggunakan ranah publik berlaku pengaturan secara ketat. Sementara
Feintuck lebih fokus pada Regulasi struktur (structural regulation), regulasi
tingkah laku (behavioral regulation), dan regulasi isi (content regulation).
Untuk melengkapi hal ini Masduki(2007:44) mengungkapkan ciri
konseptual kebijakan komunikasi di dalamnya termasuk mengatur ranah media
penyiaran, yakni:
1. Kebijakan komunikasi merupakan perangkat norma sosial yang
dibentuk untuk memberi arah bagi pelaku sistem komunikasi
2. Kebijakan komunikasi biasanya dirumuskan oleh para pemimpin
politik yang benar - benar dilaksanakan melalui pembatasan -
pembatasan legal institusional untuk memberi arah bagi prilaku sistem
komunikasi
3. Kebijakan komunikasi nasional meliputi keputusan – keputusan
mengenai institusional media komunikasi dan fungsinya
4. Kebijakan tersebut juga mengharuskan diterapkannya kontrol guna
menjamin operasi institusi - institusi tersebut terbawa ke arah
kemaslahatan umat.
Kebijakan komunikasi pada dasarnya ada dua yaitu kebijakan komunikasi
menggunakan media dan tidak menggunakan media namun pada kenyataannya
kebijakan komunikasi lebih tertuju pada peraturan yang berkaitan dengan media
ini dapat dilihat dari keluaran peraturan berkaitan dengan penyiaran dari tahun
2002 sampai 2009 ada 43 peraturan perundang – undangan (kominfo 2011).
Kebijakan media tumbuh seiring dengan perkembangan media, seperti
ungkapan Jacob Oetama berikut “ Dalam masyarakat Indonesia televisi akan
semakin besar posisi, pranan dan dampaknya (dalam Atmowiloto,1986:xii),” saat
ini terbukti dari perkembangan televisi di Indonesia pada awalnya hanya TVRI
disusul kemudian RCTI, TPI (beralih MNC-pen), SCTV, ANTV, tvONE,
METRO TV, TRANS TV, TRANS7, Global Tv dan lahirnya sejumlah televisi
lokal serta munculnya Kompas Tv pada 9 September 2011 menandakan bertapa
pesatnya perkembangan televisi di Indonesia sehingga jika tidak diatur secara
ketat akan dikwatirkan digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu,
walaupun pada kenyataanya sudah terjadi, media televisi juga digunakan sebagai
alat politik dari politisi yang memiliki televisi. Hal ini tentunya akan semakin
parah jika tidak diatur dari segi regulasi penyiaran
B. Sistem siaran berjaringan sebagai bagian dari kebijakan komunikasi
Sistem siaran berjaringan sebagai bagian dari kebijakan komunikasi.
Sistem siaran berjaringan pada dasarnya mencontoh dari apa yang berlaku pada
negara lain sehingga untuk membahas kebijakan sistem siaran berjaringan di
Indonesia setidaknya dapat melihat sistem berjaringan yang berlaku secara
universal sebagai bahan perbandingan saja. Berikut akan di elaborasi sistem siaran
berjaringan secara universal dan yang berlaku di Indonesia.
1. Sistem siaran berjaringan secara Universal
Head dan Sterling(1987:20) mendifinisikan siaran berjaringan sebagai
“network broadcasting system ...two or more statitions interconected by some
means of reley (wire, cable, teresterial microwave, satelites).”
Dari apa yang dikemukan Head dan Starling mengenai sistem penyiaran
berjaringan menekankan pada hubungan antara dua atau lebih lembaga yang
terkoneksi, dengan melakukan relai baik yang disalurkan melalui wayer, kabel,
teresterial maupun satelit, sedangkan menurut Hiebert, Ungrait, Bohn(1974:265)
mengatakan siaran berjaringan merupakan pengorganisasisan program, marketing,
teknis, administrasi dari beberapa stasiun jaringan. Pernyataan Hiebert dan kawan
– kawanya memandang sistem jaringan bukan sekedar hubungan dan relai siaran
melainkan ia lebih pada aspek organisasinya.
Bagaimana sebenarnya sistem penyiaran berjaringan yang berlaku di suatu
negara apakah sama, tentunya ini akan menarik untuk dikaji pendapat Head dan
starling yang lebih fokus pada hubungan antara stasiun penyiaran dan relai namun
tidak menekankan aspek organisasinya sementara bagi Hiebert, Ungrait dan Bohn,
mereka lebih melihat pada aspek organisasinya terutama berkaitan dengan,
pengorganisasian program, marketing, kemudian teknis dan administrasi, kedua
pendapat ini jika dipadukan tentunya akan semakin menarik dan kompleks karena
masing masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Menurut Browne(1989:3) “ tidak ada dua sistem penyiaran yang benar –
benar sama, ada pengaruh giografis, demografis, linguistik, ekonomi, budaya dan
tekanan politis dalam suatu negara atau dari negara tetangganya.” Bahkan
Browne menambahkan tidak ada suatu sistem penyiaran pun yang lengkap,
sempurna dan cukup untuk dikatakan ideal. Perbedaan cara dalam menerapkan
elemen - elemen sitem penyiaran membuat sebuah sistem siaran satu berbeda dari
sistem yang lain (Summers, Summers and Pennybacker,1987:19).
Seperti sistem siaran pada umumnya, dalam sistem siaran televisi
berjaringan juga terdapat aspek krusial yang menentukan karakter sistem yang
diterapkan. Untuk mengetahui aspek krusial tersebut Summers, Summers dan
Pennybacker (1987:19) mengemukakan aspek krusial tersebut :
Pertama berkaitan dengan mekanisme kontrol memiliki tiga kategori yaitu:
1. State ownership: fasilitas penyiaran yang langsung dimiliki oleh
pemerintah dengan aktivitas penyiaran dibawah pengawasan pemerintah
atau komite yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
2. Autonomous corporation: fasilitas penyiaran dimiliki dan dioperasikan
oleh korporasi yang – walaupun dimiliki pemerintah - hampir seluruhnya
independen dari kekuatan pemerintah.
3. Private Ownership: fasilitas penyiaran dimiliki dan diopearasikan oleh
korporasi individu swasta, biasanya diatur dalam beberapa cara oleh
badan pemerintah.
Kedua, aspek perencanaan keuangan. Pada sistem penyiaran secara umum,
perencanaan keuangan ini terdiri dari tiga kategori:
1. Tax support: cara pendanaan utamanya melalui pajak
2. Licence support: utamanya didukung oleh pembayaran ijin yang dibayar
setiap tahun oleh pemiliki perangkat radio atau televisi.
3. Advertiser support: didukung utamanya oleh penjualan iklan untuk
kepentingan bisnis dan layanan yang berharap untuk dapat di
distribusikan pesannya kepada sejumlah besar khalayak.
Sementara itu, Browne (1989:17-59) juga memaparkan aspek krusial
dalam lembaga penyiaran yakni: Financing (cara pendanaan),Supervision,
Control and influence (pengawasan kontol dan pengaruh),Communication policy
(kebijakan komunikasi), Broadcaster audience interaction (interaksi dengan
audien), Programming (program).
Berdasarkan pemikiran Summers, Summers dan Pannybeker dan Browne
tersebut dapat ditarik beberapa aspek yang juga membentuk sistem siaran
berjaringan yakni, cara pendanaan, mekanisme kontrol dan pengawasan, serta
pemrograman, dengan demikian aspek yang mampu membentuk sistem jaringan
adalah aspek yang sesuai untuk mendukung tujuan sistem berjaringan yang
diterapkan.
a. Model sistem siaran berjaringan secara universal
Dari beberapa difinisi yang telah dipaparkan diatas menggambarkan
bahwa sistem siaran berjaringan terdiri dari dua sub sistem yakni sistem induk
jaringan dan sistem stasiun anggota jaringan. kedudukan induk jaringan sebagai
sumber atau pusat program yang akan di distribusikan kepada stasiun anggota
jaringannya. Sedangkan stasiun anggota merupakan stasiun televisi penerima isi
siaran program dari stasiun jaringan.
Head dan Sterling (1987:20) dalam mengkaji hubungan stasiun induk dan
anggota jaringannya terdapat dua model hubungan yakni: program jaringan
afiliasi program (Programe Afiliation Network ) dan jaringan kepemilikan dan
operasional (Owned and operated station)
1. Jaringan Afiliasi program (Programe Afiliation Network)
Dalam pola jaringan ini, stasiun anggota jaringan tidak dimiliki oleh
stasiun induknya, kerjasama dibangun berdasarkan kesepakatan yang tertuang
dalam kontrak, misalnya mengenai program apa saja. Dalam model ini stasiun
induk jaringan disebut jaringan (Network); dan stasiun anggota disebut afiliasi
(affiliation).
Afiliasi merupakan sebuah stasiun televisi independen, biasanya bersiaran
secara lokal dan karena kepentingan tertentu menjalin kerjasama dengan jaringan,
khususnya untuk pasokan program. Karena merupakan stasiun lokal dan
independen, maka sumberdaya manusia yang ada didalam afiliasi ini juga berasal
dari ranah lokal. Dengan demikian, perbedaan wilayah dapat menyebabkan
proporsi audien yang lebih besar.
Stasiun jaringan dan afiliasi pada umumnya diikat oleh sebuah kontrak
yang disebut affiliation contract atau affiliation aggreement (Heed and
Sterling,1987:334). Dalam kontrak disebutkan hak dan kewajiban masing –
masing pihak, misalnya masing – masing berhak menggunakan branding
stasiunnya sendiri; anggota jaringan juga diperbolahkan menentukan jumlah
stasiun induk yang akan berjaringan dengan kecuali hal tersebut diatur dalam
kesepakatan induk jaringan afiliasi. Dalam hal menejemen pun, afiliasi diberi hak
untuk mengatur mekanisme kontrol internalnya sendiri sesuai yang sudah
ditetapkan oleh stasiunnya.
Tidak share modal ataupun profit dalam model ini, satu – satunya dana
yang mengalir dari induk jaringan kepada afiliasinya adalah kompensasi dari
program induk yang ditayangkan oleh afiliasi. Selain itu aliran dana berupa “sela
– sela” jam tayang program induk yang dapat digunakan untuk iklan afiliasi.
2. Jaringan kepemilikan dan operasional (Owned and operated station)
Berbeda dengan model program network afiliation,O&O Network
mensyaratkan kepemilikan jaringan atas anggotanya, dalam pola hubungan ini
yang disebut O&O station adalah stasiun anggota jaringan, jadi stasiun O&O
merupakan milik dari stasiun jaringan yang pada umumnya menggunakan nama
stasiun jaringan diikuti tanda O&O, misalnya ABC O&O.
Pada model ini kedua pihak stasiun induk dan anggota jaringan berada
dibawah perusahaan yang sama, dengan demikian sistem ini bukan hanya
mendistribusikan program dari jaringan kepada anggotanya melainkan berkaitan
dengan kepemilikan, menejemen, dan operasionalisasi pada stasiun anggotanya.
Pada umumnya stasiun induk dapat memiliki beberapa stasiun O&O
tergantung pada peraturan yang berlaku, sedangkan stasiun O&O hanya dapat
berjaringan dengan satu induk jaringan. Jika terpaksa harus berjaringan dengan
stasiun induk ini khususnya pada pasokan program saja. Stasiun induk juga
memiliki hak untuk melepaskan stasiun O&O atau memberikannya pada jaringan
lainnya.
Ada beberapa hal yang membedakan hubungan induk jaringan dengan
anggotanya dalam program affiliation network dan O&O Network, perbedaan dua
model kepemilikan sistem siaran berjaringan ini dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel 2 Karakteristik perbedaan Affiliation dan O&O Network
Karakteristik Afiliasi Stasiun O&O
Kepemilikan Stasiun indepanden Dimiliki oleh jaringan
induk
Kesepakatan Affiliation agreement Tidak mutlak ada
Isi kerjasama Distribusi program Distribusi program;
menejemen
Branding Independen Sesuai stasiun induk
Jumlah jaringan Bebas terbatas Hanya satu jaringan
induk dan jaringan
lainnya untuk distribusi
program saja
Manejemen Independen Stasiun induk jaringan
Human resource Independen Berasal dari induk
jaringan
Share modal dan profit Berdasarkan kesepakatan/
kontrak
Sesuai menejemen induk
jaringan.
Sumber : Head & Starling, 1987
Antar induk jaringan dengan anggotanya biasanya dijalin melalui
franchise. Mengacu pada konsep franchise(www.franchise.org) yang
dikemukakan International Franchise Assosiatioan (IFA) franchaise merupakan
suatu stategi pengembangan program secara komersial, berdasarkan kerjasama
yang erat dan berkesinambungan antara perusahaan baik secara hukum maupun
finansial yang independen, yang independen yaitu antara induk jaringan dan
anggotanya.
Hubungan yang dijalin dalam sistem siaran berjaringan antara induk dan
anggota jaringan dengan televisi – televisi lokal dan keluasan cakupan wilayah
siar seringkali dianggap potensial bagi demokrastisasi. Namun pada praktiknya
sistem siaran berjaringan justru lebih kental dengan tujuan ekonomi atau
politisnya.
2. Sistem siaran berjaringan di Indonesia
Dalam mengkaji kebijakan sistem siaran berjaringan di Indonesia ada
beberapa konsep yang dikemukakan ahli terutama pemerhati media, seperti yang
diungkap Siregar (2001:10) Siaran berjaringan secara umum diartikan sebagai
sistem pemasokan siaran secara sentral kepada sejumlah stasiun penyiaran.
Kemudian Siregar menjelaskan bahwa sistem siaran berjaringan terdapat adanya
stasiun induk dengan sejumlah stasiun lokal yang menjadi feriferal dalam
penyiaran. Hubungan stasiun induk dan stasiun lokal berupa kepemilikan penuh
atau persahaman, dan bersifat terikait dalam pasokan(feeding) program.
Sementara dalam laporan penelitian, Putra(1992:20) menyatakan bahwa “
televisi berjaringan merupkan sebuah kelompok televisi lokal, berhubungan
secara bersama, secara elektronis, sehingga program bisa disuplai melalui sumber
tunggal yang bisa disiarkan secara serentak.”
Ade Armando(2011) berusaha mengupas lebih dalam, ia menyatakan
sistem televisi berjaringan adalah sistem penyiaran yang diamanatkan oleh
Undang – Undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 , dengan ciri – ciri sebagai
berikut:
1) Setiap stasiun televisi swasta memiliki jangkauan terbatas sesuai dengan
wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan.jadi sebuah stasiun televisi
Jakarta, jangkauan siarannya adalah Jakarta dan sekitarnya.
2) Tidak ada lagi stasiun televisi swasta nasional yang siarannya dapat
menjangkau seluruh wilayah Indonesia secara langsung dengan
menggunakan stasiun relai/transmiter saja. Satu – stunya lembaga
penyiaran televisi yang diijinkan melakukan siaran nasional secara
langsung adalah TVRI
3) Siaran sebuah televisi swasta dapat menjangkau daerah luar wilayah
jangkaun siarannya hanya dengan perantaraan stasiun televisi yang berada
diwilayah tersebut
4) Stasiun swasta yang hendak melakukan siaran nasional dapat
melakukannya dengan perantaraan rangkaian stasiun - stasiun televisi yang
terjalin dalam sebuah jaringan stasiun televisi. Dengan demikian agar
siaran dapat menjangkau seluruh Indonesia sebagai contah RCTI harus
memiliki satsiun jaringan RCTI seluruh Indoesia
5) Sejalan dengan itu tak ada lagi izin siaran nasional, yang ada izin
penyelenggaraan penyiaran yang hanya berlaku di wilayah jangkau siaran
yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, sebuah jaringan televisi jaringan
nasional harus memilki izin penyelenggaraan penyiaran disetiap daerah
yang dimasuki siarannya.
Berdasarkan beberapa konsepsi yang telah dikemukan diatas maka sistem
siaran berjaringan terkait dengan program siaran dimana ada stasiun induk dan
jaringan, juga kepemilikan saham baik secara penuh maupun sebahagian, hal ini
mengacu pada kebijakan penyiaran Undang – undang No 32 tahun 2002
(Kominfo,2011:1-37) khusunya pasal 6 ayat(3) ” Dalam sistem penyiaran nasional
terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang
dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.”
Peraturan Pemerintah No.50 tahun 2005 (Kominfo,2011:311-365) dimuat
dalam Bab IV mengenai sistem stasiun jariangan pada pasal 34 sebagai berikut:
1. Sistem stasiun jaringan terdiri atas lembaga penyiaran swasta induk
stasiun jaringan dan lembaga penyiaran swasta anggota jaringan yang
membentuk sistem stasiun jaringan
2. Lembaga penyiaran swasta induk jaringan merupakan lembaga penyiaran
swasta yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh
lembaga siaran swasta anggota jaringan dalam sistem stasiun jaringan
3. Lembaga penyiaran swasta anggota stasiun jaringan merupakan lembaga
swasta yang tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang
melakukan relai siaran pada waktu – waktu tertentu dari lembaga stasiun
induk jaringan
4. Lembaga penyiaran swasta anggota jaringan sebagaimana maksud dari
ayat(3) hanya dapat berjaringan dengan satu LPS induk stasiun jaringan
5. Lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio/ penyiaran televisi yang
menyelenggarakan siarannya melalui sistem stasiun jaringan harus
memuat siaran lokal
6. Setiap penyelenggaraan siaran melalui sistem siaran berjaringan dan setiap
perubahan jumlah anggota stasiun jaringan yang terdapat dalam sistem
siaran berjaringan wajib dilaporkan kepada Menteri.
Kemudian pada pasal 36 disebutkan “ Lembaga penyiaran swasta jasa
penyiaran Televisi dapat menyelenggarakan sistem siaran melalui sistem stasiun
jariangan dengan jangkauan siaran terbatas diatur beberapa poin yang diambil
sebagai berikut:
a. Induk jaringan merupakan LPS yang terletak di ibukota provinsi
b. Anggota jaringan merupakan LPS yang terletak di ibu kota provinsi,
kabupaten dan atau kota
c. Untuk kesamaan acara, siaran stasiun jaringan dapat dipancar luaskan
melalui stasiun relai ke seluruh wilayah dalam satu provinsi
d. Khusus untuk daerah Khusus ibukota Jakarta dan provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta tidak diizinkan mendirikan stasiun relai.
a. Model sistem siaran berjaringan di Indonesia
1. Berdasarkan Permen 43 tahun 2009
Model sistem siaran berjaringan di Indonesia berpedoman pada
Undang – undang penyiaran, namun sebagai petunjuk pelaksana dalam
sistem siaran berjaringan maka model penerapannya ada pada
Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2009 tentang penerapan sistim
siaran berjaringan oleh lembaga penyiaran swasta.
Jika pada model sistem siaran berjaringan secara universal seperti yang
dikemukakan oleh Summers, Summers dan Pannybeker juga Browne melihat
sistem siaran berjaringan berkaitan dengan cara pendanaan, mekanisme kontrol
dan pengawasan serta pemrograman maka untuk sistem siaran berjaringan di
Indonesia dapat dilihat pada Permen 43 tahun 2009, pada tabel dibawah ini:
Tabel 3. Poin pokok Permen 43 tahun 2009(Kominfo,2011: 417-427)
No Poin pokok Substansi
1. lingkup Lingkup penyiaran swasta adalah penyiaran lokal
Dalam menjangkau wilayah yang luas, lembaga
penyiaran swasta dapat membentuk sistem stasiun
jaringan
Stasiun penyiaran lokal tersebut terdiri dari stasiun
penyiaran lokal berjaringan dan stasiun lokal tidak
berjaringan
2. Sistem stasiun
jaringan
Sistem stasiun berjaringan dilaksanakan oleh penyiaran
lokal berjaringan yang terdiri atas stasiun induk dan
stasiun anggota
Stasiun induk merupakan stasiun penyiaran yang
bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai
oleh stasiun anggota dalam sistem jaringan
Stasiun anggota merupakan stasiun penyiaran yang
tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang
melakukan relai pada waktu – waktu tertentu dari
stasiun induk
Setiapan lembaga penyiaran swasta hanya hanya dapat
berjaringan dalam satu sistem stasiun jaringan
Lembaga pebyiaran swasta yang menjadi stasiun
anggota dalam sistem stasiun jaringan hanya dapat
berjaringan dengan 1 induk
3. Kedudukan Stasiun induk berkedudukan di ibukota provinsi,
sedangkan stasiun anggota berkedudukan di ibukota
provinsi, kabupaten dan/atau kota
4. Perjanjian
kerjasama
Lembaga penyiaran yang telah sepakat melakukan
sistem stasiun jaringan menuangkan kesepakatannya
kedalam perjanjian kerjasama tertulis, yang diantaranya
memuat hal – hal sebagai berikut: penetapan stasiun
induk dan stasiun anggota; program siaran yang akan
direlai; persentasi durasi relai siaran dari seluruh waktu
siaran perhari; persentase siaran lokal dari seluruh
wwaktu siaran perhari; dan penentuan alokasi
waktu(time slot) siaran untuk siaran lokal
5. Persetujuan
menteri
Penyelenggaraan penyiaran melalui sistem stasiun
berjaringan dan setiap perubahan stasiun anggota dari
stasiun induk yang terdapat dalam stasiun jaringan
wajib mendapatkan persetujuan menteri
Dalam memperoleh persetujuan menteri tersebut,
lembaga penyiaran swasta tersebut yang bertindak
sebagai stasiun induk mengajukan permohonan tertulis
pada menteri dengan melampirkan perjanjian kerjasama
antara stasiun induk dan stasiun anggota
Persetujuan menteri tersebut diberika dalam bentuk
surat persetujuan penyelenggaraan penyiaran melalui
sistem stasiun berjaringan
6. Durasi Program siaran yang direlai oleh stasiun anggota dari
stasiun induk, dibatasi dengan durasi paling banyak
90% dari seluruh waktu siaran perhari
Berdasarkan perkembangan daerah dan lembaga
penyiaran dan lembaga penyiaran swasta, program
siaran yang direlai oleh stasiun anggota dari stasiun
induk tersebut secara bertahap turun paling banyak 50%
dari seluruh waktu siaran per hari
Dalam sistem stasiun jaringan, setiap stasiun penyiaran
lokal harus memuat siaran lokal dengan durasi paling
sedikit 10% dari seluruh waktu siaran per hari
Berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan
lembaga penyiaran swasta keharusan memuat siaran
lokal tersebut secara bertahap naik menjadi paling
sedikit 50% dari seluruh waktu siaran perhari
Siaran lokal tersebut adalah siaran lokal tersebut adalah
siaran muatan lokal pada daerah setempat, yang
kriterianya ditentukan lebih lanjut oleh KPI
7. Peralihan Kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran baru
tersebut mengikuti ketentuan sebagai berikut: untuk
setiap stasiun relai yang tercantum dalam izin
penyelenggara penyiaran dan akan dibentuk badan
hukum baru, masyarakat daerah dapat memiliki saham
paling sedikit 10%
Stasiun relai dan/ atau daerah yang tidak tercantum
dalam izin penyelenggaraan penyiaran dan akan
dibentuk badan hukum baru, memiliki batsan
kepemilikan saham sebagai berikut: (1) badan hukum
kedua, masyarakat daerah dapat memiliki saham sebesar
51%;(2) untuk badan hukum ketiga, maka masyarakat
daerah dapa memiliki saham sebesar 80%, dan (3) untuk
badan hukum ke empat dan seterusnya masyarakat
daerah dapat memiliki saham sebesar 95%.
Dengan ketentuan tersebut sistem siaran berjaringan berdasarkan permen
43 tahun 2009, lembaga penyiaran yang sepakat melakukan kerjasama siaran
berjaringan harus memiliki izin siaran dan izin siaran berjaringan, membuat
perjanjian tertulis, durasi relai program siaran 90 persen program induk jaringan
10 persen lokal program.
Sebagai petunjuk pelaksana sistem siaran berjaringan selain berpedoman
pada Permen 43 tahun 2009, seperangkat aturan yang berkaitan dengan penyiaran
serta merta akan menjadi pedoman dalam penyiaran termasuk juga P3 SPS dari
KPI.
2.Level Meso
Teori madya menurut Merton (1967: 39) merupakan teori yang terletak
diantara komponen kecil namun membutuhkan kinerja hipotesis yang
berkembang secara luas selama penelitian keseharian dan termasuk semua upaya
sistematis untuk mengembangkan sebuah teori gabungan yang akan menjelaskan
semua keseragaman yang diamati dari perilaku sosial, organisasi sosial dan
perubahan sosial. Secara prinsip teori madya di dalam sosiologi digunakan untuk
memandu penyelidikan empirik. Dalam hal ini teori madya berfungsi sebagai
penengah bagi teori - teori umum yang jauh dari fakta-fakta kelas perilaku,
organisasi dan perubahan sosial dalam melaporkan apa yang di observasi dan
merinci deskripsi khusus yang tidak generalisasi sama sekali.
A. Adopsi Model implementasi kebijakan pada lembaga penyiaran
Implementasi kebijakan sistem siaran berjaringan pada lembaga penyiaran
dapat merujuk pada model implementasi dari kebijkan publik karena pada
dasarnya kebijkan komunikasi merupakan bagian dari kebijakan publik sehingga
model implementasi kebijakan publik dapat dipakai dalam implementasi
kebijakan komunikasi salah satunya sistem siaran berjaringan pada lembaga
penyiaran.
Dalam melakukan pembahasan terhadap penentuan model atau pendekatan
yang dikemukanan para ahli, tentunya memiliki keunggulan masing – masing.
Biasanya pendekatan atau model tersebut cocok untuk mengkaji kebijakan publik
dalam satu kasus tertentu namun gagal dalam dalam menjelaskan kasus
lainnya(Winarno,2008:7). Dengan demikian tidak ada satu pendekatanpun yang
sempurna dan dapat menjelaskan semua kasus dengan hanya menggunakan satu
pendekatan.
Sebelum menentukan model implementasi ada baiknya mengetahui
pengertian dari implementasi kebijakan itu sendiri. Implementasi secara luas
menurut Lester dan Srewart (dalam Winarno,2008:144) mempunyai makna
pelaksanaan undang – undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan
teknik bekerja bersama – sama untuk menjalankan kebijakan atau program –
program. Implementasi pada sisi lain yang merupakan fenomena yang kompleks
yang dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai
suatu dampak (outcome).
Dengan pengertian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan implementasi
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan setelah Undang – undang disyahkan,
dilaksanakan oleh aktor dalam berbagai organisasi dengan memiliki prosedur
yang jelas memiliki proses, hasil dan dampak dari pelaksanaan kebijakan.
Untuk mengimplementasikan kebijakan, ada banyak variabel yang
menetukan keberhasilan, baik bersifat individu maupun institusi. Kebijakan yang
bersifat makro melibatkan berbagai aktor dalam implementsinya. Analisis aktor
dan dampak dalam analisis kebijakan dengan mempertimbangkan siapakah yang
diuntungkan/ dirugikan, siapa yang terkena dampak negatif dan siapa yang
terkena dampak positif, bagaimana alternatif kebijakan mampu meminimalisir
kerugian publik dan memberikan sebagian keuntungan kepada publik yang
dirugikan (dalam Indiahono,2009:90).
Pandangan lain yang dikemukakan oleh B.Ripley dan Grace A.
Franklin(1986:11) menyatakan sebagai berikut:
“Implementation process involve many infortant actors holding diffuse
and competing goals and expectations who work within a contexts of an
increasingly large and complex mix goverment programs that reqiure
partisipan from numeros layers and unit of goverment and who are
affected by fowerful factors beyond their control”
Memandang kompleksitas ini bukan hanya ditujukan oleh banyaknya aktor
maupun unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai
variabel yang kompleks, baik variabel individu maupun variabel organisasional
dan lainnya saling berinteraksi mempengaruhi satu sama lain, untuk mencapai
tujuan.
Dalam implementasi kebijakan ada beberapa model yang dapat dipakai,
namun dalam penelitian ini hanya mengambil dua model yaitu model Van Meter
dan Van Horn juga model Edwards III. Model ini dianggap paling sesuai untuk
mengelaborasi implementasi kebijakan sistem siaran berjaringan. Berikut model
analisis implementasi kebijakan (dalam Indiahono,2009:31-41):
1. Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn
Model implementasi kebijakan dari Meter dan Horn menetapkan beberapa
variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan dan kinerja
kebijakan. Berikut variabel dalam model Meter dan Horn :
1. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh
program atau kebijakan baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek,
menegah dan jangka panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat
dilihat secara spesifik sehingga diakhir program dapat dapat diketahui
keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.
2. Kinerja kebijakan
Merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan
yang telah ditetapkan diawal.
a. Sumberdaya
Menunjukan seberapa besar dukungan finansial dan sumberdaya
manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.
b. Komunikasi antar badan pelaksana
Menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk
mencapai sasaran program.
c. Karakteristik badan pelaksana
Menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai –
nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di
internal birokrasi.
d. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik
Menunjukan bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat
mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.
e. Sikap pelaksana
Menunjukan bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting
dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias dan
responsif terhadap kelompok sasaran.
Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno,2008:146 - 147)
membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh individu
(kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan –
tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan – keputusan kebijakan sebelumnya.
Tindakan – tindakan ini mencakup usaha untuk mengubah keputusan menjadi
tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu atau dalam rangka mencapai
perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan – keputusan kebijakan.
2. Model implementasi kebijakan George C. Edwards III
Model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Edward
menyatakan ada empat variabel yang berperan penting dalam keberhasilan
implementasi, yaitu :
a. Komunikasi
setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi
komunikasi efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan
kelompok sasaran. Tujuannya adalah agar program dapat
disosialisasikan dengan baik sehingga dapat dihindari distorsi atas
kebijakan dan program. Hal ini menunjukan semakin tinggi
pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan
mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam
mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang
sesungguhnya.
b. Sumber daya
Yaitu, setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang
memadai baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial.
Sumberdaya manusia terkait dengan kecukupan baik kualitas
maupun kuantitas implementator yang dapat melingkupi kelompok
sasaran. Sumberdaya finansial adalah kecukupan modal investasi
atas sebuah program/kebijakan.
c. Disposisi
Karakteristik yang melekat pada implementator
kebijakan/program. Karakter penting yang harus dimiliki oleh
implementator seperti kejujuran, komitmen dan demokratis.
Persoalan kejujuran implementator tetap berada dalam guideline
program. Komitmen dan kejujuran implementator dalam melalui
tahapan – tahapan program secara konsisten, selanjutnya sikap
demokratis akan meningkatkan kesan baik implementator dan
kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran.
d. Struktur birokrasi
Struktur birokrasi mencakup dua hal, pertama mekanisme dan
kedua struktur organisasi pelaksana. Mekanisme implementasi
program biasanya biasanya ditetapkan melalui SOP (standar
operational prosedure) yang dicantumkan dalam guideline
program kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja
yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh
siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya
implementator.
Sedangkan struktur organisasi pelaksana sejauh mungkin
menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks. Struktur
organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan
keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat.
Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahap saja dari sekian
tahapan kebijakan hal ini berarti implementasi kebijakan merupakan salah satu
variabel penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan dalam
memecahkan persoalan publik (Winarno,2008:148).
Dari pernyataan Winarno tersebut terlihat jelas implementasi bukanlah
segalanya kegagalan pada tahap implementasi dapat dipengaruhi oleh tahapan
sebelumnya, hal ini dapat terjadi baik pada tahap penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, maupun adopsi kebijakan, setiap tahapan kebijakan memiliki dinamika
sendiri - sendiri.
Seperti dalam formulasi kebijakan adanya kompetisi dari masalah –
masalah, baru masuk pada tahap agenda kebijakan ini saja sudah ada persoalan
dalam pemilihan masalah ada masalah yang diutamakan dan ada pula masalah
yang di kesampingkan sehingga pemilih masalah sendiri tidak independen (bebas
nilai), begitu juga pada tahap formulasi kebijakan dan adopsi kebijakan.
B. Implementasi Sistem siaran berjaringan pada lembaga penyiaran
Kebijakan sistem siaran berjaringan dirancang sebagai pedoman dalam
implementasi sistem siaran berjaringan, bagi lembaga penyiaran yang sepakat
melakukan kerjasama membuat surat perjanjian sebagaimana diatur dalam
Permen 43 tahun 2009 tentang kesepakatan kerjasama dalam menerapkan sistem
siaran berjaringan.Ketentuan ini sebagai dasar dalam kerjasama antara lembaga
penyiaran yang sepakat melakukan kerjasama siaran berjaringan.
Konsekuensi yang muncul atas kerjasama ini tentunya berakibat pada
prubahan dalam lingkup lembaga penyiaran. Rice (1992) menyatakan perubahan
kebijakan baru jelas mendukung sistem baru dengan menggubah struktur
organisasi. Mcphee 1985(dalam Pace,1993:234) menyatakan struktur organisasi
dapat dipandang dengan berbagai cara, sebagai suatu objek empiris, sekumpulan
hubungan yang dirundingkan, sebuah sistem atau suatu pembawa proses sosial.
Struktur organisasi adalah wilayah kunci perhatian bagi mereka yang
bekerja dalam organisasi karena aliran irformasi yang berhubungan langsung
dengan bagaimana seharusnya pekerjaan dilakukan dan siapa yang memiliki akses
ke dalam informasi serta siapa yang mengendalikan informasi tersebut. Dengan
demikian penerapan sistem siaran berjaringan berimplikasi pada perubahan
struktur organisasi dalam lembaga penyiaran.
3. Level Mikro
Teori peringkat mikro (micro level theories) secara umum sangat konkret
dan spesifik, dan lebih dari itu teori mikro lebih teruji. Teori ini utamanya
digunakan untuk menjelaskan individu-individu, kelompok kecil dan keluarga.
A. Implikasi penerapan sistem siaran berjaringan di RBTV
Implikasi penerapan sistem siaran berjaringan berpengaruh pada sikap
pelaksana dalam dan relai siaran dua hal ini menjadi bagian perubahan yang tidak
terelakan atas penerapan sistem siaran berjaringan dengan Kompas tv, berikut
akan di kemukakan implikasi penerapan sistem siaran berjaringan di RBTV.
1. Disposisi/Sikap pelaksana
Implementasi sistem siaran berjaringan di RBTV berimplikasi pada sikap
dari staff RBTV dalam menjalankan tugas, kerjasama dengan membentuk sistem
siaran berjaringan dengan Kompas Tv membawa perubahan sistem kerja yang
selama ini berlaku hal ini berpengaruh kepada sikap staff dalam menjalankan
rutinitas.
Sebelum bekerjasama dengan kompas Tv maka RBTV melakukan proses
produksi program siaran sendiri mulai dari mencari, memproduksi dan
menyalurkan sendiri program siaranya melalui channel 40 UHF dengan jangkauan
siaran terbatas pada wilayah yang mampu dijangkau pemancar 2 KWH.
Sedangkan saat ini RBTV bekerjasama dengan membentuk sistem siaran
berjaringan dengan Kompas Tv, perubahan jam siaran semakin panjang dan
jangkauan siaran semakin luas dibantu dengan pemancar yang memiliki kekuatan
20 KWH, peningkatan jangkau siar sepuluh kali lebih besar dari semula, lalu
program siaran sudah disupport oleh Kompas Tv sementara RBTV hanya
menyediakan saluran lalu bagaimana sikap staff RBTV terkait kerjasama dengan
Kompas Tv.
Sikap menurut Turstone adalah derajat efek positif atau efek negatif
terhadap suatu objek psikologis sedangkan Lapierre mendifinisikan sikap sebagai
suatu pola prilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah
respons terhadap stimuli sosial yang terkondisikan (dalam Azwar,2011:5).
Robbins dan Judge(2008:92) menyatakan sikap (attitude) adalah
pernyataan evaluatif – baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan –
terhadap objek, individu atau peristiwa.
Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu.
Sikap memiliki komponen terdiri dari komponen kognitif, afektif dan prilaku,
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Bagan 1. Komponen Sikap (Robbins &Judge,2008:94)
Pada umumnya penelitian menyimpulkan bahwa individu yang
mencari konsistensi diantara sikap mereka serta antara sikap dan prilaku mereka,
namun dalam penelitian ini sebenarnya akan lebih melihat bagaimana konsistensi
implementator dalam menjalankan tugas berdasarkan guideline yang telah
disepakati antara Kompas tv dan RBTV. Ketika terdapat ketidak konsistenan,
timbulah dorongan untuk mengembalikan individu tersebut kekeadaan seimbang
dimana sikap dan prilaku kembali konsisten.
Seperti yang diungkapkan Robbins dan Judge (2008:94-95) “ jika
terjadi ketidak konsistenan maka bisa dilakukan dengan cara menggubah sikap
maupun prilaku, atau dengan mengembangkan rasionalisasi untuk ketidak
sesuaian. Leon Festinger (dalam Robbins dan Judge,2008:95) mengemukakan
teori ketidak sesuaian kognitif (cognitive dissonance) teori ini menjelaskanhu
Sikap
positif/
negatif
Kognitif
=
evaluasi
Afektif
=
perasaan
Prilaku
=
tindakan
Kesadaran,
Perasaan,
Prilaku slg
berkaitan
bungan antara sikap dan prilaku. Ketidaksesuaian berarti ketidak konsistenan.
Ketidaksesuaian kognitif merujuk kepada ketidak sesuaian yang dirasakan oleh
individu antara dua sikap atau lebih atau antara prilaku dan sikap.
Kemudian Festinger menambahkan bentuk ketidakkonsistenan apapun
tidaklah menyenangkan dan bahwa individu akan berusaha menggurangi ketidak
sesuaian dan ketidaknyamanan tersebut dengan mencari keadaan stabil, dimana
hanya sedikit ketidak sesuaian,namun jika terjadi ketidak sesuaian maka Fertinger
menduga bahwa keinginan untuk mengurangi ketidaksesuaian ditentukan
pentingnya elemen – elemen yang menciptakan ketidak sesuaian, tingkat
pengaruh yang dimiliki oleh individu terhadap elemen tersebut dan penghargaan
yang mungkin terlibat dalam ketidak sesuaian tersebut.
2. Relai siaran
Relai siaran sebagai implikasi penerapan sistem siaran berjaringan hal
ini terkait dengan timeslot program siaran dan durasi siaran lokal. Timeslot
program siaran menurut Winanrno (2008:200) menyatakan dari segi waktu siaran
dikenal prime time, yaitu jendela waktu dengan jumlah waktu terbanyak dan
graveyard slot (kurun waktu kuburan) yang paling sedikit pemirsanya.
Walaupun Winarno sebenarnya memetakan waktu untuk keperluan
penempatan iklan di televisi, namun hal ini menjadi kerangka acuan bagi televisi
untuk menjual jam siaran kepada pengiklan sehingga standar timeslot yang
digunakan antara pengiklan dan televisi adalah sama. Perusaha periklanan
mencari acara yang paling diminati pemirsanya, termasuk program yang paling
populer dan paling banyak ditontonlah yang dikejar – kejar para pengiklan.
Rating salah satu penentu pemasang iklan untuk menempatkan
iklannya di televisi, ini dapat diketahui dengan menempatkan tv-meter pada
pesawat televisi dirumah – rumah. Menurut Jim Surmanek (1991:5) rating adalah
persentase individu (rumah) yang menonton televisi atau mendengarkan radio
tertentu, sebagai contoh dapat dilihat pada bagan (gambar) dibawah ini :
Bagan 2. Mekanisme rating (diolah dari Jim Surmanek,1991:5)
Keterangan :
program A – 2 dari 5 rumah yang menonton = 40 rating
program B – 1 dari 5 rumah yang menonton = 20 rating
program C – 1 dari 5 rumah yang menonton = 20 rating
rumah ke lima tidak menonton.
Para pengiklan dan agen – agen menggunakan rating untuk membeli acara
- acara televisi dan radio. Istilah rating digunakan untuk menentukan berapa orang
P.A P.B
P.C
yang akan dijangkau dengan pesan – pesan iklannya. Bagi stasiun televisi rating
digunakan untuk menilai kepopuleran suatu acara, jika rating acara tinggi maka
acara tersebut mungkin akan terus disiarkan sebaliknya jika ratingnya rendah
acara tersebut sering dihilangkan.
Dengan adanya rating, iklan yang dijual pada program acara memiliki nilai
tinggi berada pada primetime ini berkaitan dengan waktu yang paling banyak
ditonton, sedangkan graveyard adalah waktu dengan jumlah penonton paling
sedikit, dengan nilai ekonomi lebih sedikit. Lembaga penyiaran yang sepakat
melakukan kerjasama menjadikan primetime sebagai “ladang yang diincar” dan
menjadi bagian dari kesepakatan.
Kerjasama RBTV dan Kompas Tv timeslot program siaran akan menjadi
bagian dari kesepakatan pemilihan waktu (timeslot) antara primetime dan
graveyard menjadi bagian penting selain itu durasi relai siaran dalam melakukan
sistem siaran berjaringan, sebagai bagian dari kelompok jaringan kompas Tv
RBTV akan melakukan relai siaran.
Berdasarakan Permen 43 tahun 2009 maka program relai siaran pasal 8
ayat (1) ...program siaran yang direlai oleh stasiun anggota dibatasi dengan durasi
paling banyak 90 % dari seluruh waktu siaran perhari; (3)...setiap stasiun penyiarn
lokal harus memuat siaran lokal dengan durasi paling sedikit 10 % dari seluruh
waktu siaran perhari.
Dengan ketentuan ini artinya lembaga penyiaran yang sepakat melakukan
sistem penyiaran dapat melakukan relai siaran dengan durasi relai mencapai 90
persen dalam satu hari. Kemudian mengenai timeslot program siaran berdasarkan
P3 SPS dari KPI maka program siaran lokal harus disiarkan pada primetime waktu
setempat (pasal 68 SPS KPI). Dengan ketentuan ini,lembaga penyiaran dapat
melakukan kesepakatan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
4. Konsep penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka dapat kemukakan bahwa implementasi
kebijakan sistem siaran berjaringan merupakan proses dinamis dimana terjadi
interaksi antar variabel dalam pelaksanaan suatu kebijakan, akan tetapi tidak
semua variabel dalam model yang dikemukakan oleh ahli di atas relevan untuk
digunakan dalam menjawab permasalahan yang dihadapi suatu kebijakan,
sehingga diperlukan pemilihan terhadap model yang digunakan.
Terkait hal ini mengadopsi apa yang dikemukakan Wibawa(1994:18)
bahwa model implementasi tidak perlu diaplikasikan mentah – mentah, melainkan
dapat disintesiskan sesuai dengan kebutuhan. Dengan kata lain tidak semua yang
terdapat dalam model dapat diterapkan secara utuh dalam sebuah penelitian.
Dengan dasar tersebut maka peneliti mengadopsi model implementasi
sistem siaran berjaringan tentunya tidak akan mengadopsi secara utuh model
implementasi kebijakan munurut ahli tanpa menyaring sesuai dengan kebutuhan
penelitian, sehingga pemilihan model ini disesuaikan dengan kebutuhan dan
kesesuaian dengan objek yang dianalisis.
Konsep penelitian ini dibagi dalam tiga level yaitu makro, meso dan mikro
mengacu pada Model Edwards III dengan variabel komunikasi, sumberdaya,
disposisi dan struktur birokrasi.
Selain itu akan dilengkapi Model Van Meter dan Van Horn, pada variabel
kondisi sosial, ekonomi dan politik serta standar dan sasaran kebijakan,
komunikasi antara agen pelaksana. Sebagai kebijakan komunikasi, variabel relai
siaran menjadi bagian dari konsep penelitian.
Relai siaran merupakan program siaran yang harus disiarkan pada
sewaktu – waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan antara stasiun induk dan
jaringan, kemudian dalam penerapkan sistem siaran berjaringan dimana dijelaskan
bahwa sistem siaran berjaringan adalah tata kerja yang mengatur relai siaran
secara tetap antar lembaga penyiaran sehingga ini juga akan menjadi fokus
perhatian dalam implementasi sistem siaran berjaringan di RBTV.
Relai siaran berkaitan dengan alokasi waktu (timeslot) siaran penentuan
jam tayang antara primetime dan graveyard dan durasi siaran lokal yaitu
persentase siaran antara kompas Tv dan RBTV ini berkaitan dengan jumlah waktu
siaran dalam sistem siaran berjaringan di RBTV berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak.
Bagan 3 Konsep penelitian (diolah dari Indiahono dan permen 43/2009)
Tabel 4 Operasionalisasi konsep penelitian (Sumber : diolah dari Indiahono dan
Permen 43 tahun 2009)
Konsep Makna Indikator
Level Makro
1. Kondisi sosial,
ekonomi dan
politik
a. Analisis dinamika sosial, ekonomi
dan politik yang berdampak pada
terhambatnya proses implementasi
Lingkungan
implmentasi
kebijakan
Level Meso
2. Komunikasi antr
agen pelaksana
a. Komunikasi Kompas Tv dan RBTV
mengenai rencana kerjasama
b. Komunikasi antar agen pelaksana
Intensitas
komunikasi
Sosialisasi
Makro
Meso
Mikro
Kond sos,ek,pol
K. antr agn plks sumberdaya
S. birokrasi Stdr &ssr keb
Disposisi
Relai siaran
Impleme
ntasi
sistem
siaran
berjaring
an di
RBTV
tahun
2012 -
2013
(Kompas Tv dan pemerintah,
kompas Tv dan KPI, Kompas Tv
dan RBTV)
c. Sosialisasi program kerjasama
kepada KPID DIY
d. Sosialisasi ke masyarakat oleh
RBTV
program
Metode yang
digunakan
3. Struktur
birokrasi
b. Ketersediaan SOP yang mudah
dipahami
c. Koordinasi antara Kompas Tv dan
RBTV dalam pelaksana tugas
SOP
Koordinasi
berjenjang
4. Sumberdaya
a. Kemampuan implementator
Tingkat pemahaman terhadap
tujuan dan sasaran serta aplikasi
detail program
Kemempuan menyampaikan
program dan mengarahkan
b. Ketersediaan dana
Berapa dana yang dialokasikan
Prediksi kekuatan dana dan
besaran biaya untuk
implementasi
program/kebijakan
Kemampuan
implementat
or
Ketersediaan
dana
c. Standar dan
sasaran
kebijakan
Kejelasan ukuran standar dan
sasaran kebijakan masing – masing
implementator yakni RBTV dan
Kompas Tv
Standar dan
sasaran
kebijakan
Mikro
d. Disposisi a. Karakter pelaksana, tingkat
komitmen dan kejujuran dapat
diukur dengan konsistensi antara
pelaksanaan kegiatan dengan
guideline yang ditetapkan, semakin
sesuai dengan guideline maka
semakin tinggi komitmennya
b. Tingkat demokratis dapat diukur
dengan intensitas pelaksana
melakukan proses sharing dengan
kelompok sasaran.
Sikap
pelaksana
e. Relai siaran
a. Pengaturan relai siaran di RBTV
terkait timeslot program dan durasi
penyiaran program.
Timeslot
program
siaran
Durasi siaran
lokal lokal
F.Metodologi penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, penelitian ini mampu untuk
menjabarkan persoalan yang diangkat berkaitan dengan implementasi siaran
berjaringan di RBTV
2. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kasus sedangkan tipe studi kasus penelitian tergolong intrinsik berfokus pada
membahas kasus secara mendalam mulai dari latar belakang pemilihan Kompas tv
sebagai mitra sampai pada proses pelaksanaan sistem siaran berjaringan. Oleh
karena itu metode ini dipandang paling sesuai untuk memahami penerapan sistem
siaran berjaringan di RBTV.
Latar belakang pemilihan Kompas Tv sebagai mitra dalam penerapan
sistem siaran berjaringan di RBTV menarik untuk dikaji lebih dalam mengingat
Kompas Tv tergolong sebagai lembaga penyiaran baru pada awal kemunculan
Kompas Tv 11 September 2011 mengaku sebagai content provider (KG
production) namun telah memiliki jaringan di sepuluh kota besar dengan
mengandeng 12 televisi lokal. Persoalan yang muncul kemudian apa yang
dilakukan Kompas Tv dengan melakukan siaran berjaringan menuai reaksi
terutama dari KPI terkait izin yang dimiliki Kompas Tv belum ada namun sudah
melakukan siaran berjaringan.
Adanya kecurigaan praktik jual beli saham televisi lokal yang dilakukan
Kompas Tv menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan sistem siaran
berjaringan, ini juga menjadi perhatian walaupun untuk mendapatkan data yang
akurat dari sumber pertama (Kompas Tv dan RBTV) sangat sulit namun tidak
tertutup kemungkinan untuk mengali dari sumber data kedua, sehingga untuk
mengetahui kebenaran data diperlukan upaya lebih keras walaupun memiliki
keterbatasan.
Kajian implementasi kebijakan komunikasi pada dasarnya bagian kajian
kebijakan publik, sehingga teoripun yang dipakai adalah teori yang dipakai untuk
menganalisis kebijakan publik. Dalam penelitian mengadopsi teori Implementasi
Edwards III di kolaborasikan dengan Van Meter dan Horn dengan menambah
variabel relai siaran sebagai bagian utama dari siaran berjaringan dengan
mengunakan level makro, meso dan mikro.
Studi kasus dalam metode penelitian ini digunakan untuk melihat proses
implementasi sistem siaran berjaringan di RBTV. Menurut Syarifuddin penelitian
studi kasus merupakan penelitian yang akan fokus membongkar suatu kasus
secara detail, yang akan bertujuan mempelajari latar belakang, status, terakhir dan
interaksi yang terjadi pada suatu lingkungan sosial seperti individu, kelompok,
lembaga atau komunitas pada keadaan sekarang.
Dan yang perlu diperhatikan dari studi kasus, peneliti harus memiliki daya
tangkap yang kuat terhadap isu dan tidak bias dengan anggapan, sebelum
menggali keterangan dari informan(dalam Sudarmawan,2013:40). Dengan
ketentuan studi kasus tersebut, maka permasalahan ini akan dibongkar dari
kedalaman menggali dan menganalisa keterangan informan (nara sumber).
3. Metode Penggumpulan data
Agar permasalahan dapat dipahami secara lengkap, maka untuk
menerapkan metode studi kasus dibutuhkan data yang rinci agar mampu
mengungkap permasalahan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini ada beberapa
cara yang digunakan untuk memperoleh data, yaitu observasi langsung,
wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.berikut penjelasan masing – masing
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini:
Wawancara mendalam (in-depth interview), cara mengumpulkan
informasi melalui tatap muka secara langsung kepada informan yang
kompeten sehingga mendapat keterangan yang mendalam mengenai kasus
atau objek yang diteliti. Data informasi yang dimaksud dapat berupa
penjelasan, perasaan, atau penetahuan lengkap yang dimiliki informan
mengenai implementasi sistem siaran berjaringan di RBTV.
Observasi langsung, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara
melakukan pengamatan langsung pelaksanaan sistem siaran berjaringan di
RBTV pengamatan langsung berkaitan dengan relai siaran dengan melihat
time slot program siaran dan durasi siaran lokal.
Dokumentasi/arsip, pengumpulan data melalui jurnal, buku, hasil
penelitian, media massa dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan
objek penelitian.
4. Teknik Analisis data
Penelitian ini hanya melihat implementasi sistem siaran berjaringan di
RBTV sebagai objek penelitian dan teknik analisa dalam penelitian ini
menggunakan analisa deret waktu, K Yin (2002:158) menyatakan penggunaan
analisis deret waktu sesuai dengan studi kasus bentuk yang esensial adalah
mengidentifikasi indikator- indikator spesifik yang perlu dilacak padasuatu ketika,
dan juga interval waktu tertentu untuk dianalisis secara tepat.
Dengan demikian teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan mengikuti deret waktu, dalam implementasi sistem siaran
berjaringan di RBTV akan dilihat dalam deret waktu yaitu sebelum perjanjian,
saat penenada tanganan dan pasca penandatanganan perjanjian kerjasama RBTV
dan Kompas Tv.
5. Objek dan Subjek penelitian
Objek penelitian : RBTV
Subjek penelitian :
Penelitian ini berkaitan dengan implementasi sistem siaran berjaringan
di RBTV maka informan yang dipilih dianggap mampu memberikan
jawaban dan memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diteliti,
berikut adalah informan penelitian ini :
RBTV :
1. Wahyu Sudarmawan
Sebagai Direktur RBTV, ia membidani RBTV sejak awal berdiri
dan memiliki pranan yang penting dalam perkembangan RBTV.
2. Hosti Soma Hidayat Jati
Sebagai Traficc operation manager, ia menangani dalam bidang
kelancaran operasional RBTV termasuk relai siaran
3. Erna
Supervisor Marketing, jabatan ini menjadi bagian terpenting untuk
digali informasinya karena kerjasama dengan Kompas Tv akan
dilihat juga bagian marketing dari RBTV sendiri.
4. Ikasari
Supervisor Keuangan, bagian ini menjadi perhatian juga karena
menangani uang masuk dan uang keluar terutama terkait dengan
pendapatan iklan RBTV setelah menjadi bagain dari jaringan
kompas Tv.
5. Kumara
Mantan GM RBTV, sebagai orang yang pernah menjabat pada
posisi penting di RBTV sehingga dianggap memiliki informasi
yang berkaitan dengan penelitian ini.
Kompas Tv
1. Apni Jaya Putra
GM Kompas Tv Network, sebagai penanggung jawab jaringan
Kompas Tv di seluruh Indonesia, sehingga sangat relevan dengan
penelitian ini.
KPID DIY
1. Muhammad Zamroni
Anggota KPID DIY, selama banyak melakukan diskusi dengan
peneiti terkait dengan lembaga penyiaran di Yogyakarta.
2. Ahmad Ghozi Nurul Islam
Sebagai anggota KPID DIY menengani tentang isi siaran, dan
memiliki relevansi dengan penelitian ini.
Notaris
1. Anhar Rusli
Sebagai Notaris yang pernah bekerjasama menangai akte
perubahan RBTV, informasi ini digali untuk mendapatkan
kebenaran bahwa terjadi persoalan jual beli saham di RBTV.
6. lokasi penelitian
RBTV : Gedung AMIKOM Lt 3 Sleman Ring Road Utara Sleman.
7. Sistematika Penulisan
Thesis ini akan disusun dalam empat bab, yakni :
Bab I. Pendahuluan
Berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metodologi
penelitian,dan limitasi penelitian.
Bab II Objek penelitian
Bab ini berisikan tentang RBTV dan sistem siaran berjaringan akan
dibahas adalah riwayat RBTV, membahas kebijakan yang berkaitan dengan
sistem siaran berjaringan, yaitu Undang – undang nomor 32 tahun 2002 tentang
penyiaran, Peraturan pemerintah nomor 50 tahun 2005 tentang LPS, permen 43
tahun 2009, peraturan KPI tentang P3 dan SPS serta dinamika sistem siaran
berjaringan di Indonesia.
Bab III. Hasil penelitian
Bab ini membahas hasil penelitian implementasi sistem siaran berjaringan
di RBTV tahun 2013 valid dalam penelitian ini.
Bab IV. Penutup
Bab ini berisikan Kesimpulan dan saran - saran dari penelitian ini.
8. Limitasi penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah terbatas pada implementasi sistem siaran
berjaringan di RBTV.