bab i pendahuluan - core.ac.uk · latar belakang pertumbuhan industri ... tanaman minyak nabati...
TRANSCRIPT
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan Industri biofuel yang terjadi lima tahun terakhir pada
dasarnya dipicu oleh tiga hal penting, yaitu ketahanan energi, perubahan iklim dan
pengembangan perdesaan. Pertumbuhan industri bahan bakar nabati tersebut
ternyata membuka peluang bisnis sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Pemicu Pertumbuhan Industri Biofuel Ketahanan energi menjadi perhatian penting terutama didorong oleh
semakin mahalnya harga-harga energi akibat pertumbuhan ekonomi dunia dan
menurunnya kemampuan pasok energi-energi konvensional. Perubahan iklim
yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca, terutama karena penggunaan energi
fosil mendorong penggunaan energi-energi hijau yang relatif lebih baik dalam
hal dampak terhadap lingkungan. Pengembangan perdesaan mengacu kepada
pembangunan pertanian yang banyak melibatkan kawasan dan penduduk
perdesaan untuk perbaikan taraf ekonomi dan sosial.
Meskipun demikian, pengembangan industri biofuel harus memperhatikan
kesinambungan (sustainability) aspek-aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial
dengan banyak variabel-variabel seperti diperlihatkan pada Gambar 1.2.
PemicuPertumbuhan
Biofuel
Ketahanan
Energi
Perubahan Iklim
Pengembangan
Pedesaan
Peluang Bisnis
2
Gambar 1.2. Kesinambungan Industri
Pada aspek ketahanan energi, b
terhadap permasalahan pasokan energi pada satu sisi dan kebutuhan energi yang
terus meningkat pada sisi lainnya
harga energi semakin mahal.
Harga minyak bumi misalnya
2008, batubara untuk pembangkit listrik menyentuh harga $14
harga impor gas bumi mencapai $6/mmbtu,
Gambar 1.3, 1.4, dan 1.5.
Untuk konteks Indonesia misalnya,
minyak, gas bumi dan batubara masing
TSCF, dan 21 miliar ton. Dengan laju produksi sebesar
TSCF/tahun dan 254 juta ton/tahun, maka ketersediaan
alam dan batubara berturut-
2010). Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan energi alternatif, antara lain
bakar nabati, termasuk biodiesel
Tabel 1.1.Cadangan
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya
2. Kesinambungan Industri Biofuel dan Aspek-aspek Sosial, Lingkungan dan Ekonomi
Pada aspek ketahanan energi, berbagai ragam faktor berkontribusi
terhadap permasalahan pasokan energi pada satu sisi dan kebutuhan energi yang
terus meningkat pada sisi lainnya. Resultan faktor-faktor tersebut mendorong
energi semakin mahal. Saat ini dunia sudah meninggalkan era energi murah.
Harga minyak bumi misalnya, pernah mencapai level US$135/barrel di akhir
2008, batubara untuk pembangkit listrik menyentuh harga $140/ton, sementara
harga impor gas bumi mencapai $6/mmbtu, sebagaimana ditunjukkan pada
Untuk konteks Indonesia misalnya, Tabel 1.1 memperlihatkan
dan batubara masing-masing adalah sebesar 8 miliar barrel,
miliar ton. Dengan laju produksi sebesar 346 juta barel/tahun, 2,9
ta ton/tahun, maka ketersediaan cadangan minyak, gas
-turut adalah 23, 55 dan 83 tahun (Kementerian ESDM,
itu pemenuhan kebutuhan energi alternatif, antara lain
biodiesel menjadi semakin relevan.
Cadangan dan Sisa Umur Energi Fosil Indonesia
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010
aspek Sosial,
erbagai ragam faktor berkontribusi
terhadap permasalahan pasokan energi pada satu sisi dan kebutuhan energi yang
faktor tersebut mendorong
aat ini dunia sudah meninggalkan era energi murah.
pernah mencapai level US$135/barrel di akhir
0/ton, sementara
unjukkan pada
1 memperlihatkan cadangan
masing adalah sebesar 8 miliar barrel, 160
346 juta barel/tahun, 2,9
cadangan minyak, gas
Kementerian ESDM,
itu pemenuhan kebutuhan energi alternatif, antara lain bahan
3
Gambar 1.3. Harga Minyak Mentah Spot, $/Barrel Sumber: International Energy Agency (2010)
Gambar 1.4. Harga Batubara Pembangkit Listrik, $/ton
Sumber: International Energy Agency (2010)
Gambar 1.5. Harga Gas Alam, $/mmbtu Sumber: International Energy Agency (2010)
4
Pada aspek lingkungan terdapat kesadaran yang semakin tinggi mengenai
adanya perubahan iklim (climate change) yang dapat menimbulkan dampak serius
terhadap pertumbuhan dan pembangunan. Banyak negara dan lembaga
internasional menyadari bahwa biaya untuk menstabilisasi iklim adalah
signifikan. Meskipun demikian aksi yang terlambat dalam mengatasi masalah ini
akan menimbulkan bahaya yang akan jauh lebih mahal. Program aksi untuk
mengatasi masalah perubahan iklim diperlukan secara global. Beberapa opsi
tersedia untuk mengurangi kadar emisi yang memerlukan kebijakan aksi untuk
menstimulasi dan mempercepat pelaksanaannya. Salah satu elemen adalah
perdagangan karbon (Stern, 2007). Perdagangan karbon tersebut diharapkan juga
dapat menstimulasi pengembangan industri bodiesel.
Meskipun demikian, terdapat juga banyak kritik terhadap keberadaan
bahan bakar nabati sebagai energi alternatif. Beberapa isu utama adalah masalah
kompetisi antara pangan (food) dan bahan bakar (fuel), isu pembukaan hutan
untuk memasok bahan baku biofuel, dan isu sustainability dan besaran
kemampuan kontribusi biofuel terhadap bauran energi secara keseluruhan. Isu
kompetisi antara pangan dan energi di tahun 2008 mendorong harga minyak
nabati ke level yang tinggi, misalnya harga CPO menembus level $1000/ton. Hal
tersebut dikaitkan permintaan bahan baku biodiesel, sehingga menyebabkan
kritikan dari industri pangan yang juga menggunakan CPO sebagai bahan baku
(industri minyak goreng, mentega, oleokimia dan lain-lain).
Isu pembukaan lahan hutan untuk perkebunan bahan baku biofuel juga
mendapatkan kritikan yang tajam dari para environmentalist dengan argumen
bagaimana mungkin biofuel diposisikan sebagai energi yang ramah lingkungan
tetapi untuk memproduksinya justru merusak lingkungan (Sanusi, 2009). Besaran
kontribusi biofuel terhadap bauran energi secara keseluruhan juga menjadi
pertanyaan mendasar. Besar kebutuhan lahan yang harus dibuka untuk membuat
perkebunan bahan baku biofuel perlu dikaji dan disiapkan. Pemilihan bahan baku
yang terbaik untuk biodiesel juga perlu dikaji. Selain itu, saat ini belum terdapat
peraturan yang dapat dijadikan acuan pembagian bahan baku yang akan
digunakan untuk biodiesel dan bahan makanan. Jika peraturan semacam di atas
5
sudah ada, maka konflik mengenai isu lingkungan yang dapat menghambat
perkembangan industri biodiesel dapat diminimalkan.
Biodiesel, perdefinisi adalah mono alkyl ester dari asam lemak jenuh
berantai panjang yang dapat diproduksi dari minyak tumbuhan (vegetable oils),
lemak binatang (animal fats) atau minyak goreng bekas. Biodiesel juga dikenal
sebagai fatty acid methyl ester (FAME) yang diproduksi melalui proses
transesterifikasi, yaitu reaksi trigliserida dengan alkohol untuk membentuk esters
dan gliserol, biasanya dengan tambahan katalis (Frost & Sullivan, 2006).
Pada aspek pasar biodiesel, Uni Eropa merupakan pasar yang relatif paling
berkembang dibandingkan pasar lain. Beberapa hal pendorong utama pasar
(market driver) adalah dorongan untuk relatif menjadi lebih berkecukupan secara
energi (energy self sufficiency), biodiesel menghasilkan polutan yang lebih
rendah, peraturan perundang-undangan mempromosikan penggunaan biodiesel,
harga minyak yang tinggi mendorong industri biodiesel menjadi lebih kompetitif,
biodiesel dapat digunakan dengan infrastruktur dan teknologi kendaraan bermotor
yang ada sehingga penetrasi pasar dapat dilakukan dengan cepat. Meskipun
demikian, dari aspek ketersediaan bahan baku biodiesel, Uni Eropa memiliki
keterbatasan khususnya dalam aspek penyediaan bahan baku biodiesel untuk
mendukung target konsumsi biodiesel ke depan, sehingga kemungkinan besar
memerlukan impor dari kawasan lain, khususnya Asia Pasifik, yang memiliki
keunggulan kompetitif dalam memasok minyak nabati (Frost & Sullivan, 2006).
Negara-negara di Asia Pasifik memiliki peluang yang cukup menarik
untuk memainkan perannya di dalam industri pengolahan biodiesel ke depan.
Indonesia memiliki peluang besar, karena saat ini merupakan produsen CPO
terbesar di dunia dan juga memiliki banyak lahan potensial untuk perkebunan
jarak (Jatropha curcas), alternatif bahan baku biodiesel yang memiliki prospek
baik. Produksi minyak nabati yang terdiri dari kelapa sawit, kedelai, kanola,
bunga matahari, kelapa, dan lain-lainnya, selama dua dekade terakhir, yaitu pada
tahun 1993-2008, dapat dilihat pada Tabel 1.2. Bahkan, sejak tahun 1998,
produksi minyak kelapa sawit telah melampaui produksi minyak kedelai. Selain
itu, produksi minyak sawit selama periode tersebut mengalami pertumbuhan
6
tercepat, yaitu sebesar 7,98 persen per tahun atau di atas pertumbuhan rata-rata
minyak nabati dunia sebesar 4,33 persen per tahun (Oil world, 2010).
Tabel 1.2. Pangsa Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia Tahun 1993-2008
No Uraian 1993-1997 1998-2002 2003-2007 2008-2012
I Total Produksi (‘000 ton) 70.788 83.680 95.624 108.512
1 M. Sawit 15.500 20.752. 25.340 29.949
2 M.Kedelai 17.765 19.915. 22.376 25.174
3 M. Kanola 10.121 11.966 12.526 15.517
4 M. Bunga matahari 8.351 9.790 12.526 12.044
5 M. Lainnya 19.039 21.254 22.854 25.825
II Total Konsumsi (‘000 ton) 90.501 104.281 118.061 132.234
1 M. Sawit 15.385 20.021 25.973 29.752
2 M.Kedelai 17.828 20.126 22.313 25.124
3 M. Kanola 10.045 11.783 13.577 15.471
4 M. Bunga matahari 8.326 9.593 10.861 12.033
5 M. Lainnya 38.915 42.755 45.335 49.852
Sumber : diolah dari Oil World, 2010.
Konsumsi minyak sawit dunia yang pesat selama periode tahun 1993 –
2008, seperti ditunjukkan pada Tabel 1.2 dan Tabel 1.3 serta Gambar 1.6
disebabkan oleh beberapa faktor utama. Selain pertumbuhan populasi penduduk
dunia dan permintaan bahan bakar nabati (BBN) mengalami peningkatan, juga
terjadi perubahan perilaku pasar menggantikan minyak kedelai dengan minyak
sawit karena minyak sawit memiliki kelebihan dari segi kesehatan dan nutrisi
dibandingkan minyak non-tropik seperti minyak kedelai dan minyak bunga
matahari. Kelapa sawit dinyatakan memiliki kandungan asam lemak tidak jenuh
tunggal yang tinggi, yang dapat menurunkan total kolesterol dalam darah. Selain
itu minyak sawit memiliki kandungan karoten, vitamin E yang tinggi, antioksidan,
dan bebas dari asam lemak tidak jenuh (Tyson, 2006). Dengan beberapa
keunggulan tersebut maka terjadi peningkatan konsumsi minyak sawit yang pesat
terutama di Eropa. Di Eropa, minyak sawit juga mulai digunakan sebagai bahan
baku biodiesel selain rapeseed karena harganya yang lebih kompetitif (Oil World,
2010).
7
Gambar 1.6. Konsumsi Minyak Sawit Dunia (Juta Ton) Sumber: Oil World, 2011
Tabel 1.3. Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1997-2006
1997 17,833 21,446 11,666 9,371 3,092 37,409 100,8171998 17,662 23,602 12,286 8,565 3,167 37,813 103,0951999 19,837 24,480 13,209 9,176 2,707 39,280 108,6892000 21,771 25,135 14,471 9,404 2,962 39,689 113,4322001 23,869 27,508 13,952 8,765 3,467 40,444 118,0052002 25,595 29,964 13,489 7,721 3,291 41,472 121,5322003 28,201 31,246 12,716 8,921 3,322 41,287 125,6932004 30,050 31,163 14,829 9,583 3,054 42,421 131,1002005 33,156 32,879 15,914 9,546 3,047 43,666 138,2082006 36,192 34,670 18,196 10,946 3,047 43,666 146,717
Pertb % 8, 07 5, 28 5, 00 2, 71 0, 30 1, 75 4, 18
TahunKonsumsi Minyak Nabati (000 ton)
Sawit Kedelai RapeseedBunga
MatahariKelapa Lainnya Dunia
Sumber: Oil World (2008)
Menurut Tim Advokasi Minyak Sawit Indonesia-Dewan Minyak Sawit
Indonesisa (TAMSI-DMSI, 2010) kelapa sawit merupakan tanaman yang paling
produktif dalam menghasilkan minyak nabati dengan produksi lebih dari empat
ton minyak per hektar per tahun, dibandingkan dengan produktivitas tanaman-
tanaman minyak nabati lainnya seperti biji kapas (cottonseed), kacang tanah
(peanut), kedelai (soybean), bunga matahari (sunflowerseed), minyak rapak
(rapeseed), dan minyak kelapa (coconut oil) (Gambar 1.10). Hal tersebut dapat
berimplikasi terhadap biaya produksi minyak sawit yang lebih kompetitif
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
8
dibandingkan dengan biaya produksi minyak nabati lainnya.
Gambar 1.7. Perbandingan Konsumsi Minyak Nabati Dunia di Berbagai
Gambar 1.8.
Produktivitas minyak sawit adalah 3,74 ton/ha/tahun
budidaya terbaik memiliki potensi sekitar 6
0,38 ton/ha/tahun, minyak bunga matahari 0,48 ton/ha/tahun dan m
sebesar 0,67 ton/ha/tahun (Oil Worl
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2004 2005
dibandingkan dengan biaya produksi minyak nabati lainnya.
Perbandingan Konsumsi Minyak Nabati Dunia di Berbagai Sumber : USDA, 2006
Produksi Minyak Sawit Dunia (Juta Ton)
Produktivitas minyak sawit adalah 3,74 ton/ha/tahun, dengan pengelolaan
baik memiliki potensi sekitar 6 ton/ha/tahun. Minyak kedelai hanya
0,38 ton/ha/tahun, minyak bunga matahari 0,48 ton/ha/tahun dan minyak
Oil World, MAKSI, Pusat Data Infosawit, 2010)
27 Negara Eropa 11%
India 10%
Malaysia 9%
Pakistan 5%
Nigeria 3%
Bangladesh 2%
Mesir 3%
Negara lainnya 31%
China 14%
2006 2007 2008 2009 2010
Perbandingan Konsumsi Minyak Nabati Dunia di Berbagai Negara
dengan pengelolaan
ton/ha/tahun. Minyak kedelai hanya
inyak rapak
2010).
27 Negara Eropa 11%
Negara lainnya 31%
2010
Gambar 1.9. Perbandingan Minyak
Sumber : Tim Advokasi Minyak Saw
Dari total luas
mencapai 231,9 juta ha, kelapa sawit hanya meliputi
(5,5%) dibandingkan dengan luas areal tanaman k
seperti ditunjukkan pada
Gambar 1.10. Penggunaan Luas Areal Penghasil MinyakNabati di
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
Minyak Sawit
3,74
13.29%
30,8 Juta Ha
10.09%
23,4 Juta Ha
9.30%
21,56 Juta Ha
5.52%
12,8 Juta Ha
. Perbandingan Produktivitas beberapa Tanaman inyak Nabati, menurut Produksi Rata-rata per Tahun.
Sumber : Tim Advokasi Minyak Sawit Indonesia-Dewan Minyak Sawit I
(TAMSI-DMSI), 2010
Dari total luas tanaman penghasil minyak nabati utama di dunia yang
231,9 juta ha, kelapa sawit hanya meliputi areal seluas 12,8 juta ha
%) dibandingkan dengan luas areal tanaman kedelai 102,7 juta
pada Gambar 1.10.
. Penggunaan Luas Areal Penghasil MinyakNabati di(TAMSI-DMSI, 2010)
Minyak Sawit Minyak Rapak Minyak Bunga
Matahari
Minyak Kedelai
0,67 0,45 0,38
44.30%
102,8Juta Ha
13.40%
30,8 Juta Ha
5.52%
12,8 Juta Ha
4.10%
9,5 Juta Ha
Kedelai
Rapak
Kapas
Bunga Matahari
Kacang Tanah
Kelapa Sawit
Kelapa
9
anaman Penghasil
ahun.
Dewan Minyak Sawit Indonesia
tanaman penghasil minyak nabati utama di dunia yang
areal seluas 12,8 juta ha
ai 102,7 juta ha (44,3 %)
. Penggunaan Luas Areal Penghasil MinyakNabati di Dunia
Minyak Kedelai
0,38
Kedelai
Rapak
Kapas
Bunga Matahari
Kacang Tanah
Kelapa Sawit
Kelapa
10
Peningkatan produksi biodiesel di Indonesia cukup didukung dengan baik
oleh pemerintah. Hal tersebut sejalan dengan perubahan paradigma penyediaan
dan pemanfaatan energi nasional dari berbasis manajemen sisi penawaran saja ke
manajemen berbasis sisi permintaan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.11 dan
1.12. Perubahan paradigma dari sebelumnya penyediaan energi fosil dengan biaya
berapapun, bahkan disubsidi dengan energi hijau sebagai alternatif menjadi
memaksimalkan pemakaian energi hijau dengan energi fosil sebagai
penyeimbang. Juga otoritas energi yang semula menjadi domain kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral kini juga bersifat lintas sektoral dengan
keterlibatan otoritas sumber daya air, pertanian, kehutanan, kelautan dan
dirgantara.
Gambar 1.11. Sistem Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Nasional dengan Pendekatan Manajemen Sisi Penawaran
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2011
Salah satu faktor pendorong untuk mengembangkan industri biodiesel bagi
Pemerintah adalah untuk mengurangi besarnya subsidi energi fosil. Selama kurun
waktu satu dekade terakhir, Pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar Rp.889
triliun untuk subsidi energi fosil, bahkan pada tahun 2008 nilai subsidi mencapai
Rp.211 triliun (Gambar 1.13). Apabila subsidi tersebut dapat dikurangi atau
dialihkan untuk inovasi energi baru dan terbarukan, maka dana subsidi tersebut
11
dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat. Pangsa energi baru dan terbarukan yang
meliputi energi air, panas bumi, matahari, bahan bakar nabati, nuklir, laut dalam
bauran energi Indonesia per 2009 baru berkontribusi sebesar 4,07%.
Gambar 1.12. Sistem Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Nasional dengan Pendekatan Manajemen Sisi Permintaan
Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2011
Peraturan Pemerintah No.5/2006 tentang Kebijakan Energi Naasional
(KEN) mentargetkan kontribusi bahan bakar nabati sebesar 5% (255 juta Setara
Barel Minyak) dari total kebutuhan energi primer Indonesia di tahun 2025 (5,1
miliar Setara Barel Minyak). Besaran 255 juta Setara Barel Minyak merupakan
angka yang besar untuk dicapai apalagi mempertimbangkan kemampuan pasokan
BBN yang sebelumnya hampir tidak pernah digunakan di Indonesia. Beberapa
kebijakan dan program telah dikeluarkan dan dijalankan oleh Pemerintah
Indonesia, mulai dengan Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 tentang Penyediaan
dan Pemanfaatan bahan Bakar Nabati sebagai bahan Bakar Lain, pembentukan
Tim Nasional Bahan Bakar nabati yang telah menyelesaikan cetak biru (blue
print) dan peta jalan (roadmap) Pengembangan Bahan Bakar Nabati, sampai
dengan kebijakan peraturan yang lebih teknis sifatnya.
12
Gambar 1.13. Perkembangan Pangsa Energi Primer dan Subsidi Energi Fosil Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2011
Sampai saat ini telah dikeluarkan beberapa peraturan pendukung Program
Aksi Energi Alternatif, antara lain: a) PP No.7/2007 tentang Pembebasan Pajak
Barang Modal (termasuk Biofuel), b) Permen ESDM No.051/2006 tentang Izin
Usaha Bahan Bakar Nabati,c) Permen ESDM N0.32/2008 tentang Pentahapan
Kewajiban Minimum Penggunaan Biodiesel, d) SK Menkeu No.117/ 2006
tentang Pemberian Keringanan Bunga Kredit Investasi untuk Bahan Baku Bahan
Bakar Energi, e) Kep. Dirjen Migas No.13483 K/24/DJM/2006 tentang Standar
dan Mutu BBM Jenis Biodiesel, dan f) Keputusan Kepala BSN No.
73/Kep.BSN/2/2006 Tentang Penetapan Standar Biodiesel (SNI No.
047182/2006).
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM 32/2008, pentahapan kewajiban
pemanfaatan biodiesel ditargetkan sebagaimana diperlihatan pada Tabel 1.4.
Target tersebut jelas akan menimbulkan permintaan biodiesel yang cukup
signifikan. Jika konsumsi solar di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan
sejumlah 50 juta kilo liter, maka dengan target rata-rata 3% campuran, maka akan
diperlukan 1,5 juta kilo liter biodiesel.
13
Tabel 1.4. Pentahapan Kewajiban Minimal Pemanfaatan Biodiesel
Jenis Sektor Okt.-Des.
2008
Januari
2009
Januari
2010
Januari
2015
Januari
2020
Januari
2025
Rumah Tangga - - - - - -
Transportasi PSO 1% 1% 2.5% 5% 10% 20%
Transportasi Non PSO - 1% 3% 7% 10% 20%
Industri dan Komersial 2.5% 2.5% 5% 10% 15% 20%
Pembangkit Listrik 0.1% 0.25% 1% 10% 15% 20%
Sumber: Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.29/2008
Pada tataran teknis juga telah diatur spesifikasi standar dan mutu biodiesel
100 persen maupun standar dan mutu biosolar yang menggunakan campuran
biodiesel sejumlah 10%. Tabel 1.5 dan 1.6 memperlihatkan standar mutu
biodiesel tersebut.
Tabel 1.5.Standar dan Mutu (Spesifikasi) Biodiesel (B100)
No. Parameter Satuan Nilai Metode Uji
1 Massa jenis pada 40° C Kg/m3 850-890 ASTM D 1298
2 Viskositas kinematik pada 40° C Mm2/s 2,3-6,0 ASTM D 445
3 Angka setana Min. 51 ASTM D 613
4 Titik nyala (mangkok tertutup) ° C Min.100 ASTM D 93
5 Titik kabut ° C Maks. 18 ASTM D 2500
6 Korosi lempeng tembaga (3 jam pada 50° C)
Maks. No.3 ASTM D 130
7 Residu karbon dalam contoh asli, atau dalam 10% ampas distilasi
%-massa Maks. 0,05 Maks. 0,30
ASTM D 4530
8 Air dansedimen %-vol. Maks. 0,05 ASTM D 2709 atau ASTM D 1796
9 Suhu distilasi 90% ° C Maks. 360 ASTM D 1160
10 Abu tersulfatkan %-massa Maks. 0,02 ASTM D 5453 atau ASTM D 1266
11 Belerang mg/kg Maks. 100 AOCS Ca. 12-55
12 Fosfor mg/kg Maks. 10 AOCS Cd. 3d-63 atau ASTM D 664
13 Angka asam
mg KOH/g Maks. 0,8
14 Gliserol bebas %-massa Maks. 0,02 AOCS Ca. 14-56 atau ASTM D 6584
15 Gliserol total %-massa Maks. 0,24 AOCS Ca. 14-56 atau ASTM D 6584
16 Kadar ester alkil %-massa Min 96,5 AOCS Cd. 1-25
17 Angka lodium %-massa Maks. 115 AOCS Cd. 1-25
18 Uji Halphen negatif
Sumber: Keputusan Ketua Badan Standarisasi Nasional No. 04-7182-2006
14
Tabel 1.6. Standar dan Mutu (Spesifikasi) Solar (B10)
Sumber: Keputusan Ketua Badan Standarisasi Nasional No. 04-71822006
Gambar 1.14 dan 1.15 menunjukkan road map pemanfaatan bahan bakar
nabati nasional 2005-2025 dan rencana strategis biodiesel dan biooil sampai
dengan tahun 2025. Target 4 juta hektar perkebunan sawit dan 3 juta hektar
perkebunan jarak pagar dengan produksi biodiesel dan biooil sebesar 25 juta ton
per tahun merupakan target yang besar dan memerlukan perencanaan dan
pelaksanaan yang baik. Khusus target produksi biodiesel direncanakan sebesar
10,22 kilo liter per tahun di tahun 2025, suatu angka yang besar untuk dapat
dicapai.
Gambar 1.14. Roadmap Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati 2006-2025 Sumber: Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, 2006
No. Parameter Unit SOLAR 51 SOLAR 48 1 Cetane Number/Index > 51,0/48,0 > 48,0/45,0 2 Density @ 15 º C kg/m3 820 - 860 815 - 870 3 Viscosity @ 40 º C mm2/s 2,0 - 4,5 2,0 – 5,0 4 Kandungan Sulfur % m/m < 0,05 < 0,35 5 T90/95 ºC < 340 / < 360 - / < 370 ºC 6 Titik Didih Akhir ºC < 370 - 7 Flash Point ºC > 55,0 > 60,0 8 Pour Point ºC < 18 < 18 9 Carbon Residue % m/m < 0,30 < 0,1 10 Kandungan air mg/kg < 500 < 500 11 Stabilitas Oksidasi g/m3 < 25 - 12 Biological Growth - nihil nihil 13 Kandungan FAME % v/v < 10 < 10 14 Kand. Metanol & Etanol % v/v Non detectable Non detectable 15 Copper corrosion Merit < class 1 < class 1 16 Ash content % m/m < 0,01 < 0,01 17 Kandungan sedimen % m/m < 0,01 < 0,01 18 Bil. Asam Kuat mg KOH/g 0 0 19 Bil. Asam Total mg KOH/g < 0,3 < 0,6 20 Partikulat mg/l < 10 21 Lubrisitas (HFRR scar diameter @ 60 ºC) mikron < 460 - 22 Penampilan Visual Jernih dan terang Jernih dan terang 23 Warna No. ASTM < 1,0 < 3,0
2006-2010 2011-2015 2016-2025
PEMANFAATAN BBN NASIONAL 2006-2025
Pemanfaatan Biodiesel
SebesarKonsumsiSolar 10%
2,41 juta KL
Pemanfaatan Biodiesel
SebesarKonsumsi Solar 15%
4,52 juta KL
Pemanfaatan Biodiesel
SebesarKonsumsiSolar 20%
10,22 juta KL
Pemanfaatan Bioethanol
SebesarKonsumsiSolar 10%
1,48 juta KL
Pemanfaatan Bioethanol
SebesarKonsumsi Solar 10%
2,78 juta KL
Pemanfaatan Bioethanol
SebesarKonsumsiSolar 10%
6,28 juta KL
Pemanfaatan Biokerosene
1 juta KLPemanfaatan Biokerosene
1,8 juta KLPemanfaatan Biokerosene
4,07 juta KL
Pemanfaatan PPO
0,4 juta KLPemanfaatan PPO
0,74 juta KLPemanfaatan PPO
1,69 juta KL
Pemanfaatan Biofuel
Sebesar2% Energy Mix
5,29 juta KL
Pemanfaatan Biofuel
Sebesar 3% Energy Mix
9,84 juta KL
Pemanfaatan Biofuel
Sebesar 5% Energy Mix
22,26 juta KL
BioDIESEL
BioETHANOL
BioOIL
BioKEROSENE
PPOPembangkit Listrik
BioFUEL
15
Gambar 1.15. Rencana Strategis Biodiesel dan Biooil 2006- 2025 Sumber: Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati, 2006
Kebijakan-kebijakan tersebut di atas cukup menarik investor untuk
menanamkan modalnya dalam industri biodiesel. Namun demikian, dalam
implementasinya perlu keseriusan dan komitmen yang tinggi dari pemerintah
sehingga dapat menjamin kesinambungan usaha. Berdasarkan data Asosiasi
Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) terdapat 20 perusahaan yang telah
melakukan investasi pada pabrik bahan bakar nabati dengan perkiraan investasi
sebesar USD 2 miliar. Meskipun demikian pada awal tahun 2009, menurut data
APROBI terdapat 18 perusahaan yang menghentikan aktivitas produksinya
karena kombinasi harga bahan baku yang tinggi dan harga jual yang tidak
menguntungkan untuk menjalankan operasi pabrik. Kondisi tersebut menunjukkan
perkembangan yang tidak menggembirakan, sehingga perlu dikaji hal-hal apa
yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi dan solusi-solusi apa yang perlu
dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pada aspek lingkungan
biodiesel adalah produk ramah lingkungan, namun dari aspek ekonomi kurang
menguntungkan bagi pihak penjual, sehingga mengakibatkan produksi biodiesel
masih terbatas. Dengan demikian, perlu dikaji berbagai faktor yang berkaitan
BIODIESEL &
BIOOIL2006 2007 2008 2009 2010 2015 2020 2025
Pasar (% energi
mix nasional,
total BBN)
Ujicoba B5 dan E5
di Jakarta dan
Surabaya
Komersialisaisi
B5, O10 dan O50
B5, O10 dan O50
(1% energi mix)
B10, O10 – O100
(2% energi mix)
B15, O10 – O100
(2% energi mix)
B10, O10 – O100
(3% energi mix)
B10, O10 – O100
(4% energi mix)
B10, O10 – O100
(5% energi mix)
Penyediaan
Lahan (produksi,
ton)
� Inventarisasi
Lahan
� Pembangunan
Pilot Project
� Penetapan
Lahan
� Produksi2,38
jutaton
untuk
Biodiesel dan
Biooil
� 1 juta ha
Sawit dan 1
juta ha jarak
Pagar
� Produksi2,95
juta ton
� 1 juta ha
Sawit dan 1
jutaha jarak
Pagar
� Produksi14,4
jutaton
� 1,5 juta ha
Sawit dan 1,5
juta ha jarak
Pagar
� Produksi14,4
juta ton
� 4 juta ha
Sawit dan 3
juta ha jarak
Pagar
� Produksi16,5
juta ton
� 4 juta ha
Sawit dan 3
juta ha jarak
Pagar
� Produksi20
juta ton
� 4 juta ha
Sawit dan 3
juta ha jarak
Pagar
� Produksi25
juta ton
IndustriHilir
(lokasi)
Pilot Project 10 10 40 100 157 157 170 200
IndustriHulu
(lokasi)
Pilot Project 100 100 12.000 20.000 25.000 45.000 65.000 75.000
Tenaga Terampil
(kumulatif)
100 400 45.000 70.000 86.200 155.000 175.000 175.000
Tenaga Non-
Terampil
(kumulatif)
300 10.000 1.040.000 2.110.000 3.750.000 4.250.000 4.500.000 4.500.000
Program /
langkah
Strategis
� Inpres BBN
� Tim Nasional
� Sertifikasi Bibit
� Penerapan
Lahan
� Penetapan
Lahan
� LS Pro dan
Laboratorium
Uji
� Bibit Unggul
� Sosialisai
� DME
� Khawasan
Khusus BBN
� Sosialisasi
Pendanaan
(IDR, kumulatif)
DIPA
100 M
� DIPA
� Investor
� Green Energy
Fund
75 T 100 T 116,7 T 123,5 T
Regulasi � SNI Biodiesel
� Tata Niaga BBN
� SNI
Bioethanol
� RUU Energi
� SNI Biooil
� Mandatory
B5 untuk
Transportasi
� Mandatory
B10 (10%)
untuk
Transportasi
� Mandatory
B50 (50%)
untuk
Transportasi
16
dengah lemahnya kinerja industri biodiesel tersebut untuk pengembangan dan
perbaikan kinerjanya.
Tabel 1.7. Produsen dan Kapasitas Industri Biodiesel Indonesia
No Nama Perusahaan Lokasi Kapasitas
(Ton/Tahun) 1 PT Alia Mada Perkasa Kosambi, Tangerang 11.000 2 PT Anugrah Inti Gemanusa Gresik 40.000
3 PT Bioenergi Pratama Jaya Kab Kutai Timur 6.000 Kab Berau 60.000
4 PT Cemerlang Energi Perkasa Dumai, Riau 400.000 5 PT Damai Sejahtera Sentosa Cooking Rungkut, Surabaya 120.000 6 PT Darmex Biofuel Bekasi 150.000 7 PT Energi Alternatif Jakarta Utara 7.000 8 PT Eternal Buana Chemical Industries Cikupa, Tangerang 40.000 9 PT Eterindo Nusa Graha Gresik 40.000 10 PT Indo Biofuels Energy Merak 60.000 11 PT Multikimia Intipelangi Bekasi 14.000
12 Musim Mas Group Kab Deli Serdang 70.000 Batam 350.000
13 PT Pasadena Biofuels Mandiri Cikarang 10.240 14 PT Pelita Agung Agrindustri Bengkalis, Riau 200.000 15 PT Petro Andalan Nusantara Dumai 150.000 16 PT Primanusa Palma Energi Jakarta Utara 24.000 17 PT Sintong Abadi Kab Asahan, Sumut 35.000 18 PT Sumi Asih Bekasi 100.000 19 PT Wahana Abdi Tritathnika Sejati Cileungsi, Bogor 132.200 20 PT Wilmar Bio Energi Indonesia Dumai 1.050.000 Total 3.069.440
Sumber: APROBI, Fakta Kelapa Sawit Indonesia, 2010
Kombinasi target kontribusi biodiesel sebesar 10,22 juta kilo liter per
tahun, utilisasi kapasitas pabrik-pabrik biodiesel yang rendah saat ini,
kesinambungan pasokan bahan baku biodiesel menimbulkan ketidakpastian yang
tinggi mengenai masa depan industri biodiesel Indonesia. Penelitian ini akan
mengkaji dinamika industri biodiesel Indonesia secara komprehensif dengan
pendekatan sistem dinamik, untuk memahami kondisi-kondisi tersebut dan
memperlihatkan interaksi variabel-variabel dalam sistem tersebut dan disain
intervensi kebijakan yang diperlukan untuk membangun industri biodiesel yang
sehat dan berkelanjutan.
1.2. Rumusan Masalah
Kondisi industri biodiesel di Indonesia yang tidak menentu selama periode
perkembangannya selama ini menggambarkan adanya kompleksitas sistem
dinamis yang melibatkan banyak
sistem dan berbagai
mendeskripsikan industri biodiesel, sehing
yang layak secara ekonomis dan berkelanjutan.
kompleksitas mata rantai industri biodiesel dan rumusan masalah penelitian ini.
Dinamika industri biodiesel berbahan baku minyak sawit (
CPO) akan dikaji sebagai acuan dan pembanding dengan dukungan data empiris
terbukti, sementara dinamika industri biodiesel dengan bahan baku minyak jarak
(Crude Jatropha Oil
status aktual terkini.
Gambar Pertanyaan riset :
1. Bagaimana status terkini industri biodiesel Indonesia?
2. Bagaimana ketercapaian kontribusi biodiesel dalam target bauran energi
Indonesia tahun 2025?
dinamis yang melibatkan banyak variabel terkait. Oleh karena itu
sistem dan berbagai variabel yang terkait tersebut perlu dimodelkan untuk
mendeskripsikan industri biodiesel, sehingga dapat dirancang industri biodiesel
yang layak secara ekonomis dan berkelanjutan. Gambar 1.16
kompleksitas mata rantai industri biodiesel dan rumusan masalah penelitian ini.
Dinamika industri biodiesel berbahan baku minyak sawit (Crude
CPO) akan dikaji sebagai acuan dan pembanding dengan dukungan data empiris
terbukti, sementara dinamika industri biodiesel dengan bahan baku minyak jarak
– CJO) merupakan fokus penelitian ini sebagai riset primer
Gambar 1.16. Perumusan Masalah Penelitian
Bagaimana status terkini industri biodiesel Indonesia?
Bagaimana ketercapaian kontribusi biodiesel dalam target bauran energi
Indonesia tahun 2025?
17
terkait. Oleh karena itu kompleksitas
tersebut perlu dimodelkan untuk
ga dapat dirancang industri biodiesel
memperlihatkan
kompleksitas mata rantai industri biodiesel dan rumusan masalah penelitian ini.
Crude Palm Oil –
CPO) akan dikaji sebagai acuan dan pembanding dengan dukungan data empiris
terbukti, sementara dinamika industri biodiesel dengan bahan baku minyak jarak
CJO) merupakan fokus penelitian ini sebagai riset primer
Bagaimana ketercapaian kontribusi biodiesel dalam target bauran energi
18
3. Kebijakan-kebijakan apa yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah
untuk mencapai target kontribusi biodiesel dalam bauran energi Indonesia
tahun 2025 tersebut?
Dengan konteks tersebut di atas, pertanyaan mengenai masa depan industri
biodiesel di Indonesia menjadi persoalan yang penting untuk diperhatikan.
Penelitian ini berusaha melakukan investigasi status industri dan penggunaan
biodiesel di Indonesia. Kemudian, dengan menggunakan analisis simulasi dengan
sistem dinamik, dicoba untuk ‘memprediksi’ prospek industri biodiesel di
Indonesia ke depan. Dengan memahami kondisi saat ini dan perkiraan masa depan
industri biodiesel di Indonesia, hasil riset diharapkan dapat memberikan
kontribusi mengenai struktur dan perilaku industri biodiesel di Indonesia sehingga
dapat dirancang kebijakan energi terkait yang tepat.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kondisi aktual (state of the art) industri biodiesel
Indonesia.
2. Membangun model industri biodiesel Indonesia berbahan baku Crude
Palm Oil (CPO) dan Crude Jatropha Oil (CJO) dengan menggunakan
pemodelan sistem dinamik.
3. Menganalisis potensi ketercapaian target kontribusi biodiesel dalam
bauran energi Indonesia 2025.
4. Merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat dilakukan untuk pencapaian
target kontribusi biodiesel dalam bauran energi Indonesia 2025.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Merupakan kontribusi pemikiran aplikasi dan bahan akademis teori perumusan
kebijakan dengan menggunakan pendekatan sistem dalam pengembangan
industri biodiesel di Indonesia.
19
b. Bagi para pelaku usaha dan institusi pembiayaan akan mendapatkan gambaran
kelayakan usaha biodiesel dengan dinamika variabel dan parameter yang
terlibat sehingga dapat mengembangkan usaha atau pembiayaan dengan
manajemen resiko yang terukur.
c. Bagi pengambil kebijakan akan memberikan masukan kualitatif dan kuantitatif
dalam aspek-aspek pemberian insentif berupa pajak, subsidi bunga kredit,
mekanisme pembentukan harga yang kompetitif, kewajiban penggunaan
biodiesel, pajak lingkungan dan lain-lain.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Meskipun terdapat beberapa jenis bahan bakar nabati, terutama biodiesel
dan bioetanol, penelitian dilakukan pada produksi biodiesel berbasis bahan baku
CPO dan CJO. Secara geografis dan batasan negara, ruang lingkup penelitian
difokuskan pada Indonesia, meskipun tetap memperhatikan lingkungan eksternal
secara regional dan global.
1.6.Kebaruan (Novelty)
Industri biodiesel merupakan sistem industri dengan mata rantai panjang.
Kebijakan pengembangan industri biodiesel yang lintas sektoral dengan
karakteristik variabel-variabel yang saling terkait, adanya umpan balik (feed-
back), faktor penundaan (delay) dan hubungan non-linier antar variabel,
memerlukan pendekatan pemikiran sistemuntuk menghasilkan kebijakan yang
dapat secara efektif mengubah struktur dan mempengaruhi perilaku industri
seperti yang ingin dicapai oleh pengambil kebijakan.
Model Dinamik Industri Biodiesel Indonesia (MDIBI) berbasis CPO dan
CJO yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan klaim kebaruan dalam hal
model dan pendekatan pengambilan kebijakan pengembangan industri di
Indonesia. Kebaruan terutama difokuskan pada kondisi aktual perkembangan
bahan baku biodiesel berupa CJO sebagai perspektif bahan baku potensial di masa
depan.
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB