bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan dan pertumbuhan suatu kota memiliki keterkaitan terhadap
pertumbuhan jumlah penduduk. Menurut Bayu A. Wibawa (1996), terdapat
kecenderungan bahwa berkembangnya suatu kota akan meningkatkan jumlah penduduk
bersamaan pula dengan peningkatan mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk dari desa
ke kota, disebabkan oleh faktor daya tarik (pull factors) dan faktor pendorong (push
factors). Faktor daya tarik dapat berupa tersedianya lapangan kerja yang lebih beragam,
fasilitas sosial di kota lebih memadai, kota berpotensi sebagai tempat pemasaran, tingkat
upah yang lebih tinggi, dan kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk
mengembangkan jiwa dan pengetahuan. Sedangkan faktor daya tarik kota, dapat
disebabkan menyempitnya lahan di sektor pertanian di desa, alasan pendidikan, kurang
fasilitas sosial, tingkat upah relatif rendah dan tekanan adat (Lembaga Demografi FE-UI,
1981).
Migrasi penduduk dari desa ke kota, membawa banyak perubahan positif dalam
kehidupan ekonomi, sosial dan politik sebuah kota. Namun migrasi yang tidak terencana
telah menciptakan masalah di kota seperti peningkatan angka kriminalitas, kemiskinan,
pembentukan pemukiman kumuh dan persoalan transportasi yang merupakan masalah
komplek yang saat ini menjadi tantangan untuk diatasi, seperti penyediaan sarana dan
prasarana angkutan umum yang memadai serta persoalan kemacetan lalu lintas yang
semakin rumit dan komplek.
2
Aktivitas perekonomian yang terpusat di kota seperti industri, perdagangan dan
jasa, membutuhkan moda transportasi umum dalam mobilitas penduduk ke tempat kerja.
Seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi para pekerja serta regulasi yang tidak
terlalu ketat untuk membeli kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil
berakibat pada pertubuhan kendaraan yang sangat berarti. Secara statistik kendaraan
pribadi terutama sepeda motor lebih banyak digunakan oleh penduduk sebagai mobilitas
ketempat kerja karena angkutan umum kinerjanya masih jauh dari harapan dan masih
belum menjadi pilihan.
Ketika penduduk lebih banyak mengunakan sarana transportasi pribadi dalam
mobilitas mereka ketempat kerja, kurangnya disiplin dalam berlalu lintas, dan terbatasnya
ruas jalan yang ada maka akan berdampak pada kemacetan lalu lintas di jalan.
Persoalan kemacetan lalu lintas di perkotaan sebagai akibat tidak seimbangnya
antara tingkat pertumbuhan jalan dengan tingkat pertumbuhan kendaraan, seperti yang
dituturkan oleh Sukarto (2006) dan Munawar (2013). Ketidakseimbangan antara
pertumbuhan kendaraan dengan petumbuhan ruas jalan secara matematik sering
diungkapkan bahwa pertumbuhan ruas jalan dengan deret hitung sedangkan pertumbuhan
kendaraan dengan deret ukur. Ketidakseimbangan antara pertumbuhan jalan dengan
pertumbuhan kendaraan bermotor ini dapat dipastikan akan menjadikan pembebanan
berlebihan pada jalan yang pada gilirannya mengakibatkan kemacetan lalu lintas.
Berdasarkan data statistik Kementerian Pekerjaan Umum RI, diketahui bahwa
hingga tahun 2011 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 85.601.351 unit,
dimana 83.346.945 unit atau 97.4 persen merupakan kendaraan pribadi dan 2.254.406
unit atau 2.6 persen merupakan angkutan umum, dengan pertumbuhan kendaraan sebesar
3
14, 7 persen setiap tahunnya sedangkan pertumbuhan jalan hanya sekitar 4.5 persen
setiap tahunnya.
Persoalan kemacetan lalu lintas sebagai akibat ketidak seimbangan antara
pertumbuhan ruas jalan dan pertubuhan kenderaan bermotor, saat ini menjadi persoalan
yang komplek dihadapi di beberapa kota besar di Indonesia, tidak terkecuali bagi
pemerintah Daerah Istemewa Yogyakarta (DIY).
Berdasarkan data BPS DIY sebagaimana tabel 1.1. di bawah ini, diketahui bahwa
pertumbuhan kendaraan bermotor di DIY mengalami perkembangan yang sangat
signifikan setiap tahunnya. Kenaikan jumlah kendaraan bermotor per tahun yakni dari
tahun 2007 sampai 2012 tumbuh dengan rata-rata 10,63 persen. Jumlah total kendaraan
bermotor di Daerah Istimewa Yogyakarta per Oktober 2012 adalah 1.617.961 unit yang
terdiri dari sepeda motor sebanyak 1.423.147 unit, mobil pribadi 138.537 unit , mobil barang
45.290 unit dan bus sebagai alat angkut yang lebih banyak digunakan masyarakat 10.987
unit. Disisi lain pertumbuhan kendaraan bermotor yang ada di Provinsi DIY tidak
sebanding dengan tingkat pertumbuhan jalan yang diketahui bahwa panjang jalan
Provinsi DIY adalah 4.592,05 KM2.
Tabel 1.1 :
Jumlah Pertumbuhaan Kendaraan Bermotor di Yogyakarta
4
Sumber : BPS Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota yang pesat tanpa diikuti dengan
pengadaan sistem transportasi yang memadai untuk ukuran kota merupakan bentuk
besarnya demand daripada supply nya, begitu pula kebalikannya, lajunya pertumbuhan
sistem transportasi yang tidak sesuai dengan ukuran perkembangan suatu kota,
merupakan wujud supply lebih besar daripada demand untuk transportasi. Kondisi-
kondisi yang telah disebutkan di atas akan berakibat pada timbulnya permasalahan-
permasalahan baru dalam sistem transportasi maupun permasalaan perkotaan pada
umumnya. Tarsito (1997).
Menurut Munawar (2005), Solusi utama untuk mengatasi kemacetan di Daerah
Istimewa Yogyakarta adalah perbaikan angkutan umum. Angkutan umum yang cepat,
tepat waktu dan nyaman dapat merubah pilihan penduduk dalam bertransportasi, yakni
dari berkendaraan pribadi berpindah menggunakan angkutan umum. Namun demikian,
kondisi rata-rata angkutan umum di DIY sangat memprihatinkan. Sampai sekarang
5
jumlahnya saja tetap tidak bertambah kondisi angkutan umum yang ada saat ini semakin
lama makin tidak terawat dan banyak yang sudah tidak laik jalan.
Transportasi umum yang beroperasi di wilayah koridor perkotaan DIY, dibawah
tahun 2007 kondisinya sangat memprihatinkan. Bus yang beroperasi rata-rata 90 persen
dengan usia yang sudah tua. Buruknya kualitas layanan transportasi umum ini berimbas
dengan ditinggalkannya angkutan umum dengan tingkat penurunan kenderaan antara
16 sampai 17 persen per tahun (Nugroho, 2013). Menurut Rizki pejabat Dishub DIY
yang juga bekerja sebagai dosen Teknik Sipil UII bahwa Load factor bus perkotaan
di kota Yogyakarta pada tahun 2005 sangat rendah, yakni 27,22 persen.
Buruknya kondisi transportasi umum sebagaimana digambarkan di atas tentu
tidak bisa diabaikan oleh pemerintah karena ini menyangkut kepentingan publik. Dalam
keadaan seperti ini maka sudah seharusnya pemerintah mengambil langkah kebijakan
untuk melakukan pembenahan melalui sistem angkutan umum yang ada secara
terintegrasi dan secara politis dapat diterima banyak pihak terutama para pengusaha
angkutan umum agar mereka “ tidak gulung tikar”.
Sebagai salah satu langkah kebijakan yang solutif maka kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah DIY dalam menanggulangi masalah transportasi yang bertujuan untuk
memperbaiki sistem dan manajemen angkutan umum, meningkatkan kualitas pelayanan
transportasi publik yang aman, nyaman, ketepatan waktu dan handal, serta mengurangi
kemacetan di DIY adalah dengan dengan menerapkan sistem transportasi Bus rapid
Transit (BRT) layaknya di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarya,
Bandung, Surakarta, Medan, Pekanbaru, Palembang dan Bandar Lampung dengan nama
Transjogja.
6
Bus Rapid Transit (BRT) muncul sebagai sebuah sistem yang mengintegrasikan
antara fasilitas, pelayanan, dan kenyamanan yang bertujuan meningkatkan kecepatan,
reliabilitas, dan ciri khas dari angkutan bus. BRT adalah Light Rail Transit (LRT) dalam
bentuk bus, suatu transportasi yang mengombinasikan kualitas transportasi kereta dan
fleksibilitas bus (Thomas, 2001). Sebuah sistem transportasi berbasis bus yang beroperasi
dalam suatu koridor dengan memanfaatkan salah satu jalur pada jalan utama sebagai jalur
khususnya, yang tidak mengizinkan kendaraan lain memasuki jalur tersebut. Menurut
Transit Cooperative Research Program (2003), BRT juga didefinisikan sebagai sistem
transportasi yang memiliki kualitas tinggi baik dari segi keamanan, kenyamanan,
ketepatan waktu, infrastruktur, dan juga sistem transportasi yang terjadwal.
Konsep operasional bus transjogja ini dilakukan dalam bentuk kerjasama antara
pemerintah provinsi DIY dengan para pengusaha angkutan umum yang ada di kota
Yogyakarta dengan mengunakan sistem pembelian layanan (system Buy The Service).
Dengan pola seperti ini memungkinkan para pengusaha angkutan umum untuk turut
bermitra dengan pemerintah untuk melakukan pelayanan angkutan umum yang cepat,
aman dan nyaman sekaligus berupaya untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kota
Yogyakarta.
Prinsip dari sistem pembelian layanan adalah untuk mengganti sistem setoran
menjadi pembelian pelayanan, operator dibayar berdasar kilometer layanan, bukan
jumlah penumpang, operator/pengemudi/kru hanya berkonsentrasi pada pelayanan prima
kepada masyarakat, adanya standar pelayanan tertentu yang harus dipenuhi dan berbasis
public service bukan profit. Dalam program ini, pemerintah Provinsi DIY bekerjasama
dengan PT. Jogja Tugu Trans (PT.JTT), adalah sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang
7
merupakan wadah konsorsium 4 koperasi dan satu BUMN yaitu ASPADA, KOPATA,
PUSKOPKAR DIY, PEMUDA, dan PERUM DAMRI, yang memiliki trayek serta
berpengalaman dalam mengoperasikan sarana angkutan di Provinsi DIY, diharapkan oleh
pemerintah untuk menjadi operator dalam program Buy The Service secara profesional.
PT. Jogja Tugu Trans dalam pengelolaan Buy The Service berkedudukan selaku penjual
layanan yang diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan sistem pelayanan
transportasi perkotaan di DIY.
Adapun kontrak kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi DIY dengan
PT. Jogja Tugu Trans yang dimulai pada tanggal 6 Februari 2008 Pemerintah Provinsi
Daerah IStemewa Yogyakarta dengan PT. Jogja Tugu Trans menandatangani Surat
Perjanjian kerjasama nomor 𝐍𝐨𝐦𝐨𝐫: 𝟒/𝐏𝐄𝐑𝐉/𝐆𝐔𝐁/𝐈𝐈/𝟐𝟎𝟎𝟖
𝐍𝐨𝐦𝐨𝐫: 𝟑𝟏/𝐉𝐓𝐓/𝐆/𝐈𝐈/𝟐𝟎𝟎𝟖 tentang pengelolaan sistem
pelayanan. Angkutan orang dijalan dengan kendaraan umum wilayah perkotaan dengan
sistem Buy The Service di Provinsi DIY. Dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak
antara Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Daerah Istemewa Yogyakarta
dengan PT. Jogja Tugu Trans Nomor: 050/246 pada tanggal 15 Februari 2008, dan pada
tanggal 26 Agustus 2008 transjogja diresmikan. Kemudian, karena adanya kenaikan
harga BBM maka terjadi perubahan perjanjian kerjasama anatara pemerintah Provinsi
DIY dan PT. Jogja Tugu Trans Nomor: 34/PERJ/GUB/XI/2008
Nomor: 230/JTT/G/XI/2008 tanggal 26 November 2008.
Operasional bus transjogja ditandai dengan diterbitkannya SK Gubernur
No. 132/Kep/2007 pada tanggal 27 Agustus 2007 mengenai jaringan trayek bus trans
jogja, selanjutnya disempurnakan dengan terbitnya Perda No.5 Tahun 2008 pada tanggal
6 Februari 2008 mengenai tarif angkutan bus perkotaan transjogja.
8
Dalam rangka mengupayakan pelayanan yang terbaik dan keseragaman pelayanan
kepada masyarakat pengguna jasa transjogja, maka disusunlah standar operasi untuk
melaksanakan operasional bus. Standarisasi prosedur operasi tersebut disusun dan
dibentuk dengan mengacu pada asas-asas manajemen pelayanan publik dalam konteks
sektor transportasi yang baik agar pengoperasionalan bus transjogja dapat memberikan
pelayanan yang seragam dalam hal keselamatan, kelancaran, kenyamanan, kehandalan
(tepat waktu) dan keterjangkauan kepada masyarakat pengguna jasa.
Standar operasi ini ditetapkan oleh UPTD1 Trans Jogja Dishubkominfo yang
bekerjasama dengan PT. JTT. PT. JTT selaku mitra kerja dan pelaksana operasional atau
operator utama wajib melaksanakan dan mematuhi standar operasi, sedangkan UPTD
Trans Jogja melakukan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan standar operasi oleh
PT. JTT. Standar operasi pelayanan dan pengoperasian bus trans jogja ini terdiri atas
standar-standar2:
1. Standar Kendaraan (persyaratan umum, persyaratan teknis dan perlengkapan bus)
2. Standar Operasi Pelayanna/ SOP (pelayanan pengoperasionalan bus)
3. Standar keselamatan (keselamatan bus, awak bus dan penumpang)
4. Standar layanan pelanggan (pelayanan jasa dan pengguna jasa)
5. Standar pelaporan (mekanisme pelaporan dan evaluasi).
6. Standar persyaratan minimum
7. Standar penerimaan pengemudi
1 Unit Pelaksana Teknis Dinas yang khusus mengelola angkutan perkotaan Bus Trans Jogja, dibawah Dinas
Perhubungan, Komunikasi dan informasi DIY atau UPTD Trans Jogja untuk mengoperasikan sarana,
prasarana dan sistem operasional bus Trans Jogja. 2 uraian standar operasi pelayanan dapat dilihat pada halaman lampiran.
9
8. Standar pelatihan keterampilan
9. Standar seragam dan perlengkapan
10. Standar kepegawaian
11. Standar pelaporan dan koordinasi
12. Standar Dokumen Bengkel
13. Standar Fasilitas bangunan (pengaturan dan pemanfaatan)
14. Standar Sumber Daya Manusia / SDM
15. Standar peralatan dan Perlengkapan
16. Standar suku cadang
17. Standar bahan dan material
18. Standar pelaporan.
Setiap harinya Operasional transjogja dimulai pada pukul 06.00 dan berakhir
hingga pukul 22.00 dengan biaya yang harus di keluarkan oleh penumpang untuk
menggunakan fasilitas transjogja sebesar 3.000 rupiah. Bus transjogja terdiri dari dua
komponen besar diantaranya terdiri dari komponen keras (hardware), dan komponen
manusia (brainware). Adapun komponen hardware tersebut adalah 54 Unit Bus dengan
ketentuan 48 unit bus yang efektif beroperasi dan 6 unit bus digunakan sebagai cadangan.
Perolehan 54 unit bus terdiri dari 20 unit bus hibah/bantuan dari Pemerintah kota
Yogyakarta dan 34 Unit bus merupakan tanggung jawab dari PT. JTT. bus transjogja
merupakan bus pariwisata yang berukuran sedang dilengkapi dengan fasilitas AC,
kapasitas maksimal 43 orang yang terdiri atas 22 orang penumpang duduk, 20 orang
penumpang beridiri serta 1 orang pengemudi.
Dari 48 unit bus tersebut dibagi menjadi 6 jalur, yaitu jalur IA, IB, IIA, IIB, IIIA,
10
dan IIIB, sehingga masing – masing jalur ada 8 pemberangkatan. Selain itu operasional
bus transjogja di lengkapi dengan 75 buah shelter dengan 67 shelter berfungsi sebagai
shalter umum, dan 8 shelter lainnya berfungsi sebagai shelter pos, halte transjogja
berukuran panjang 4-5 meter dengan lebar 2 meter, lokasi masing-masing shelter tersebar
di beberapa wilayah DIY. Jalur yang digunakan masih bergabung dengan jalur kendaraan
umum. Untuk komponen brain ware adalah karyawan yang terdiri atas operasional
lapangan sebanyak 8 orang, operator 3 orang, mekanik 16 orang, tenaga profesi 2 orang,
pramudi (supir) dan pramugara/I masing – masing berjumlah 123 orang dan 126 orang.
Sebagai angkutan umum yang aman, nyaman, efektif, efisien, mudah dan murah.
transjogja yang telah berjalan selama 5 tahun ini sedikit demi sedikit memberikan
perubahan, walaupun perubahan tersebut tidak terlalu signifikan seperti yang di harapkan,
karena pemanfaatan transjogja belum terlalu optimal. Berdasarkan Transit Cooperative
Research Program (2003) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa komponen yang
harus disediakan dalam sistem BRT (Bus Rapid Transit) untuk meningkatkan kualitas
pelayanan dan kepercayaan pengguna, yaitu: 1) Jalur (Running Ways) tersendiri / khusus,
2) Halte (Stations) yang terbagi atas klasifikasi kepadatan penduduk, 3) Kendaraan
(Vehicles) yang memiliki daya angkut besar dan ramah lingkungan, 4) Pelayanan
(Services) yang baik, 5) Struktur Rute (Route Structure) dengan informasi yang jelas,
6) Sistem Pembayaran (Fare Collection) yang cepat dan mampu menghindari adanya
antrian, serta 7) Transpotasi Sistem Cerdas (Intelligent Transportation Systems) yakni
penggunaan teknologi digital.
Untuk menilai bagaimana kinerja transjogja yang telah beroperasi selama kurun
waktu 5 (lima tahun) beroperasi, diberikan kepada setiap orang baik pengguna, calon
11
pengguna, wakil rakyat maupun dari pihak pemerintah (penanggung jawab penyediaan
jasa) pasti akan mendapatkan jawaban yang berbeda beda. Menurut Dwiyanto (1995)
untuk mengukur kinerja dapat dilihat dari efektifitas dan kualitas layanan yang
dihasilkan, sedangkan Mahmudi (2007) melihat keberhasilan kinerja melalui input,
proses (prilaku) dan output dari tujuan program tersebut.
Jika dilihat dari tujuan kebijakan operasional bus transjogja yakni, memperbaiki
sistem dan manajemen angkutan umum, meningkatkan kualitas pelayanan transportasi
publik yang aman, nyaman, ketepatan waktu dan handal, serta mengurangi kemacetan,
maka bila dibandingkan dengan kinerja pelayanan yang diberikan maka dapat dikatakan
“kurang berhasil” karena bus transjogja saat ini, tidak lebih cepat dari kendaraan pribadi,
ikut terlibat dalam kemacetan bahkan menjadi penyebab kemacetan, tidak tepat waktu,
dan dari segi biaya sangat membebani APBD. Untuk lebih objektif berikut di kemukakan
beberapa hasil studi dan persepsi pengguna layanan bus transjogja tentang kinerja bus
transjojga.
Menurut Ambar peneliti Center for Institution and Management Development
(CIMDEV) dari Jurusan Administrasi Negara UGM, berdasarkan hasil studi kepuasan
pengguna dan efektivitas sistem layanan angkutan umum perkotaan transjogja diketahui
bahwa penumpang bus transjogja mengalami penurunan cukup drastis sejak empat bulan
setelah diluncurkan awal februari lalu. Bila sebelumnya jumlah pengguna mencapai 6000
orang setiap harinya, saat ini hanya berkisar 2000 penumpang. Tingkat penurunan
penumpang ini disebabkan belum terbiasanya masyarakat jogja dalam menggunakan
sistem halte dan belum mampunya transjogja menarik pengguna kendaraan pribadi untuk
beralih menggunakan layanan angkutan perkotaan ini.
12
Lebih lanjut menurut Ambar, dari 2000 penumpang ini sebelumnya merupakan
pengguna angkutan umum yang beralih ke layanan transjogja, bukan dari pengguna
angkutan pribadi. Dijelaskan Ambar, jumlah perpindahan dari pengguna angkutan umum
yang beralih ke transjogja sekitar 43 persen. Artinya, kepindahan pengguna angkutan
umum ini sudah biasa, karena ada pilihan yang lebih baik, namun kepindahan dari
pengguna kendaraan pribadi ke transjogja itu kelihatannnya masih sulit padahal, yang
dibidik transjogja ini sebelumnya adalah masyarakat menengah ke atas yang memiliki
mobil dan motor.
Berdasarkan hasil studi juga diketahui bahwa banyaknya masyarakat yang
mengeluh atas masih buruknya sistem layanan transjogja Terutama ketepatan waktu
layanan. Tidak heran, kalangan pelajar dan mahasiswa kurang menggunakan layanan
transjogja. Dari hasil survei menunjukkan sekitar 25,9 persen responden pengguna yang
mengeluhkan keterlambatan bus sampai tujuan. Meski demikian, kinerja pelayanan ini
masih dapat diperbaiki. Namun Ambar menilai keberadaan transjogja sesungguhnya
bukan terletak pada jasa layanan angkutan saja, namun bagaimana menjadi standar
pelayanan kota Yogjakarta sebagai kota pendidikan dan pariwisata. Keberadaan
Transjogja ini cukup perspektif, apalagi ini layanan standar seperti yang ada di luar
negeri, saya tidak hanya melihat keberadaannya sebagai layanan angkutan tetapi juga ada
kaitannya jogja sebagai kota pelajar dan kota pendidikan. Nyatanya data kami
menunjukkan lonjakan penumpang justru terjadi di hari sabtu dan minggu sekitar
30 persen dibandingkan di hari kerja senin sampai jumat.
Sesuai dengan hasil studi Center for Institution and management Development
(CIMDEV) UGM tersebut di atas, hasil survei yang dilakukan oleh Dishub. DIY baru-
13
baru ini masih menunjukkan terdapat ketidakpuasan penumpang terhadap pelayanan
transjogja, terutama persoalan waktu tunggu (ketepatan waktu dan jadwal) dan waktu
tempuh Trans Jogja. Hanya 27 persen responden yang merasa pelayanan terhadap waktu
tunggu bus sudah baik, sementara 20 persen merasa cukup, dan 55 persen sisanya
menyatakan kurang baik terhadap pelayanan waktu tunggu bis, sedangkan untuk waktu
tempuh 47% merasa kurang baik, 11 persen merasa cukup, dan 42 persen merasa baik.
Pengguna transportasi itu harus menunggu kedatangan bus Transjogja dalam waktu yang
relatif lama, demikian kata Joewono Soemardjito peneliti Pusat Studi Transportasi dan
Logistik Universitas Gadjah Mada (tempo, 2012).
Selain penilaian kinerja dari studi beberapa lembaga riset tersebut di atas
penuturan beberapa pengguna jasa transjogja mengungkapkan bahwa kinerja pelayanan
transjogja tidak jauh berbeda dengan pelayanan angkutan umum biasa yang tidak
berdasar atas kenyamanan dan keamanan penumpang / pengguna jasa. Ketidak efektifan
tersebut ditambah dengan kondisi bus transjogja yang saat ini mulai memprihatinkan,
mulai dari body mobil yang sudah tidak mulus di sudut bagian depan dan belakang bus,
pintu elektrik yang macet, kursi bus yang rusak, dan lain sebagainya menambah buruknya
kinerja pelayanan yang berakibat pada menurunnya minat masyarakat atau pengguna jasa
untuk menggunakan layanan transportasi trans jogja.
Dilain sisi, keberadaan lokasi halte transjogja pada daerah perkotaan terutama
pada titik strategis sudah memiliki jarak yang ideal sesuai dengan pedoman teknis
perekayasaan tempat pemberhentian kendaraan umum yang dikeluarkan oleh Departemen
Perhubungan RI, akan tetapi lokasi halte yang berada diluar lingkup perkotaan belum
dapat dijangkau dengan mudah oleh masyarakat atau para pengguna jasa.
14
Lokasi halte menjadi keluhan beberapa masyarakat atau pengguna jasa sekaligus
menjadi penyebab kurangnya minat untuk menggunakan transjogja karena kemudahan
dalam mengakses lokasi halte yang cukup jauh dari asal calon penumpang, menurut
panduan Bus Rapid Transit Guide (2007), maksimal waktu perjalanan yang biasa
di tempuh orang dengan berjalan kaki adalah 15 menit, bila jarak tempuh sudah melebihi
itu masyarakat lebih memilih untuk tidak melakukan perjalanan. Pada jam tertentu dan
dilokasi jalur strategis jumlah penumpang lebih banyak dibandingkan pada jam dan
lokasi yang biasa, hal ini mengakibatkan penumpukan penumpang yang berada dihalte
maupun di dalam bus.
Pengguna layanan transjogja menilai bahwa pengguna transjogja sudah tidak
efisien dan efektif lagi dalam memobilisasi pergerakan mereka, yang diakibatkan
kelemahan pelayanan ketepatan waktu. mereka lebih memilih moda transportasi lain
yang lebih efisien dan efektif selain transjogja. Seharusnya untuk halte yang berada
di tempat-tempat strategis padat penumpang, dibutuhkan shelter yang lebih besar, apalagi
ketika armada bus datang dalam waktu yang cukup lama. Ketidaknyamanan penumpang
dirasakan pula ketika bus sedang berjalan, untuk memenuhi time table, para pengemudi
bus trans jogja seringkali terlihat ugal-ugalan dan dapat membuat kerugian fisik dan non
fisik bagi penumpang sebagai contoh kepala yang terpentuk atau perasaan mual, seperti
yang diungkapkan oleh beberapa orang pengguna jasa.
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu program akan tergantung pada sejumlah
persyaratan teknis, ada beberapa persyaratan teknis yang belum diterapkan dalam
operasionalisasi transjogja. Yang paling utama adalah jalur (running ways) tersendiri,
untuk menjaga kelancaran bus saat beroperasi maka dibutuhkan jalur tersendiri untuk
15
menghindari kemacetan yang berdampak terhadap ketidak efisienan jarak dan waktu
tempuh, ketidaktepatan time table mengakibatkan penumpukan penumpang. Selain itu
jumlah bus transjogja dinilai belum sebanding dengan besaran jumlah penduduk
masyarakat Yogyakarta.
Untuk menilai secara objektif apakah transjogja berhasil memang sudah
seharusnya dikembalikan kepada tujuan awal dari penyelenggaraan transjogja ini, karena
dengan membandingkan antara tujuan awal dan kondisi saat ini bisa diketahui apakah
transjogja ini sudah berhasil atau belum.
Jadi apabila tujuan dari transjogja adalah untuk memperbaiki sistem dan
manajemen angkutan umum, meningkatkan kualitas pelayanan transportasi publik yang
aman, nyaman, ketepatan waktu dan handal, melalui peremajaan atau perbaikan angkutan
massal dan mengurangi kemacetan maka bisa dianggap transjogja ini berhasil, karena
telah mengubah fisik bis kota kita dari yang dulunya tua, kotor, jelek, tidak berwasan
lingkungan menjadi bagus, ber AC dan nyaman. Tapi apabila tujuan dari transjogja
adalah menyelenggarakan transportasi massal yang sifatnya rapid atau ketepatan waktu
(BRT atau bus priority) maka transjogja tidak bisa dikatakan berhasil, karena selain
lambat juga tidak ada sifat priority atau keberpihakan kepada transjogja ini. Sehingga
wajar apabila transjogja tidak mampu menjadi salah satu pendukung perbaikan
transportasi kota tetapi malah menjadi penyebab permasalahan transportasi di kota.
Sedangkan jika tujuan dari transjogja adalah menyelenggarakan angkutan umum
massal yang profit atau paling tidak nilai subsidi berkurang secara signifikan maka
transjogja ini juga dianggap tidak berhasil karena besarnya subsidinya masih dianggap
membebani keuangan daerah.
16
Berdasarkan uraian diatas, dapat digarisbawahi bahwa kinerja pelayanan
transjogja selama 5 (lima) tahun terakhir ini beroperasi dapat dikatakan belum optimal.
Carol H. Weiess (1989), memgelompokkan kebijakan yang kurang berhasil menjadi
2 (dua) yaitu Program Failures, dimana kebijakan tidak dapat diimplementasikan sesuai
desain dan theory failures dimana kebijakan dapat dimplementasikan sesuai desain tapi
tidak memberi hasil yang diharapkan. Bila desain kebijakan transjogja ditekankan pada
pelayanan angkutan umum yang tepat waktu sebagaimana desain BRT dan tujuan untuk
mengurangi kemacetan lalu lintas di kota Yogyakarta maka program bus transjogja dapat
dikatakan gagal program.
Setiap evaluasi kebijakan menghasilkan kesimpulan, apakah kebijakan
dihentikan, atau dilanjutkan. Jika dilanjutkan apakah tetap ataukah direvisi
(Nugroho,2012). Dalam realitas kendati secara teori kebijakan bus transjogja ini dapat
dikatakan gagal untuk meuwujudkan tujuan namun saat ini Pemerintah DIY tetap
melanjutkan kebijakan operasional bus transjogja.
Dalam situasi masalah kebijakan seperti ini perlu diteliti mengapa kebijakan
operasional bus transjogja tetap dipertahankan dan dalam rangka kebelanjutan kebijakan
transjogja selanjutnya perlu dipikirkan bagaimana revisi kebijakan dalam rangka
efektivitas operasional bus transjogja untuk mencapai tujuan.. Sebagaimana yang
diungkapkan Weies alternatif rekomendasi kebijakan dapat berupa : 1) kebijakan perlu
diteruskan atau dihentikan, 2) diteruskan tetapi perlu perbaikan pada prosedur dan
penerapannya, 3) perlunya menambah atau mengembangkan strategi dan teknik program
khusus, 4) menerapkan kebijakan serupa, atau 5) perlunya mengalokasikan sumberdaya
langka diantara program yang kompetitif. Untuk memberikan alat transportasi umum
17
yang aman, nyaman, efektif, efisien, mudah dan murah maka perlu dilakukan penelitian
tentang pilihan kebijakan terhadap keberlangsungan transjogja dengan menemukenali
masalah yang dihadapi dalam operasional transjogja.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana tersebut di atas maka dapat
dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Mengapa kebijakan bus transjogja tetap dilanjutkan (dipertahankan) ?
2. Bagaimana solusi kebijakan perbaikan (revisi kebijakan) operasional bus transjogja ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis mengapa kebijakan bus transjogja tetap dilanjutkan.
2. Memberikan alternatif solusi kebijakan perbaikan (revisi kebijakan) operasional
pelayanan bus Transjogja.
2.2 Manfaat Penelitian
1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam
ilmu kebijakan publik; dan
2. Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi instansi untuk lebih mengoptimalisasi
kebijakan program Tansjogja