bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.1.1. Pengaruh Globalisasi terhadap Iklim Kreatif dan Ekonomi Kreatif
Terhadap Kota – kota di Dunia dan Kota – kota di Indonesia.
Perkembangan dan intervensi globalisasi membawa kota-kota ke dalam
kompetisi ekonomi skala dunia, yang mengakibatkan setiap kota berusaha
memiliki peran sebagai sentra komando dan kontrol dari ekonomi global,
mewujudkan diri sebagai lokasi yang lebih disukai oleh media, aktivitas kreatif,
dan pariwisata (Hall dan Pfeiffer, 2000: 114).
Dalam satu dasawarsa terakhir, sebuah paradigma pembangunan muncul,
menghubungkan ekonomi dan budaya dalam perkotaan, mencakup pembangunan
perekonomian, kebudayaan, teknologi dan aspek sosial baik pada tingkatan makro
maupun mikro. Hubungan tersebut membangkitkan industri kreatif budaya
sebagai aset berharga bagi kota, terlebih dengan melekatnya kecenderungan
klasterisasi yang menstimulasi regenerasi serta produktivitas kota. Klasterisasi
tersebut dipengaruhi oleh adanya tendensi aglomerasi ekonomi serta keberadaan
infrastruktur penunjang yang mendorong iklim kreatif.
Gambar 1.1. Skema Munculnya Tren Industri Kreatif di Dunia
Sumber : Analisa Penulis, 2013
Dari interdependensi yang terjadi di dalam aktivitas kreasi-produksi-
komersialisasi industri budaya, maupun hubungan yang muncul antara industri
kreatif berbasis budaya dengan infrastruktur penunjang, kemudian menimbulkan
dampak spasial berupa organisasi keruangan tertentu. Organisasi keruangan
2
tersebut selanjutnya dapat memberikan konsekuensi perencanaan tata ruang
sebagaimana preseden yang terdapat di beberapa kota di dunia.
Fenomena ini diperkuat dengan argumentasi para ahli ekonomi mengenai
paradigma geografi ekonomi baru (new economic geography atau geographical
economics) (Fujita & Thisee, 1996; Krugman, 1995; Kuncoro, 2002; Lucas,
1988). Peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh distrik industri yang kemudian
disebut sebagai cluster karena terdapat keterkaitan (linkages) dan jaringan
(networks) antar aktivitas dan pelaku industri.
Lingkup kegiatan dari ekonomi kreatif mencakup beberapa aspek. Howkins
dalam Departemen Perdagangan (2013) mengidentifikasi setidaknya 15 sektor
yang termasuk dalam ekonomi kreatif, yaitu : (1) Periklanan; (2) Arsitektur; (3)
Pasar barang seni; (4) Kerajinan (handicraft); (5) Desain; (6) Fashion; (7) Film,
video, fotografi; (8) Permainan interaktif; (9) Musik; (10) Seni pertunjukan; (11)
Penerbitan dan percetakan; (12) Layanan komputer dan piranti lunak
(Multimedia); (13) Radio dan televisi; (14) Riset dan pengembangan; (15)
Kuliner.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan tumpuan
perekonomian salah satunya berasal dari bidang industri khususnya industri kecil
dan sesuai dengan peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 tentang Kebijakan
Industri Nasional, berupa visi dan misi dalam rangka mewujudkan Indonesia
sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2025, menghadapi tantangan dan
kendala yang ada, serta merevitalisasi industri nasional, maka telah diterbitkan,
mengenai pengembangan perekonomian berbasis creative cluster industry. (Peta
Panduan “Road Map” Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri
Penunjang Industri Kreatif dan Industri Kreatif Tertentu Tahun 2010 – 2014)
Klaster industri kreatif di Indonesia kebanyakan terbentuk dari industri
kecil. Departemen perindustrian dan perdagangan telah mendefinisikan sebagai
sentra industri kecil, yaitu berkumpulnya paling sedikit 20 usaha yang sama dalam
suatu lokasi. Pengalaman masa krisis di Indonesia menyatakan bahwa industri
kecil menjadi sektor yang perlu diperhatikan untuk dikembangkan. Dalam hal ini
pendekatan klaster dapat dianggap sebagai jalan yang efektif bagi pengembangan
industri kecil di Indonesia, dengan latar belakang sebagai berikut :
3
1) Jumlah klaster di Indonesia sangat banyak. Studi yang diajukan JICA
(2004) menyebutkan terdapat sekitar 9.800 klaster yang tersebar diseluruh
wilayah Indonesia.
2) Klaster Industri kecil di Indonesia berperan penting dalam penyerapan
tenaga kerja. Industri kecil pedesaan menyerap lebih dari 85 % dari total
tenaga kerja Indoensia. Sementara 65 % dari tenaga kerja tersebut diserap
oleh usaha kecil yang hidup didalam klaster.
3) Sebagaimana klaster yang ditemukan di negara berkembang, sejumlah
klaster di Indonesia secara signifikan memiliki karakteristik klaster yang
dinamis. Dinamisasi klaster tersebut menyebutkan bahwa pengembangan
klaster dapat menjadi jalan yang membantu pengembangan industri kecil
(Sandee & Wengel, 2002).
4) Pengembangan klaster tampak sebagai suatu cara yang dapat menghemat
biaya dalam pengembangkan industri kecil karena beberapa industri kecil
dapat dijangkau dalam “satu tepukan” (Sandee & Wengel, 2002).
Ke empat hasil studi di atas menekankan bahwa pengembangan industri
kecil selayaknya di arahkan terhadap klaster industri terutama berbasis kreatifitas
budaya, yang banyak berkembang di Indonesia.
1.1.2. Perkembangan Klaster Industri Kreatif Kecil Berbasis Budaya Di
Tepian Ilir Sungai Musi
Gambar 1.2. Peta kota Palembang dan Rencana Pengembangan Kawasan (RTRWK)
Sumber: RTRWK kota Palembang 2012-2032
4
Palembang merupakan ibukota dari provinsi Sumatera Selatan, terletak pada
2°59′27.99″LS 104°45′24.24″BT dengan luas wilayah Kota Palembang adalah
102,47 km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Sungai Musi
adalah Sungai utama yang menjadi urat nadi (entry point) dan jalur transportasi
utama di kota Palembang sebelum dibangunnya jalan dan jembatan.
Perkembangan pemerintahan dan pusat perekonomian perdagangan dimulai dari
tepian Sungai Musi. dan sekitarnya, dimana titik pemerintahan, perekonomian dan
permukiman banyak terletak di tepian Sungai. Dengan basis utama pemerintahan
yang berpusat di Benteng Kuto Besak (BKB) dimana disana juga merupakan
pusat keraton kesultanan Palembang.
Aktivitas perekonomian dan perdagangan dilakukan disepanjang tepian
Sungai Musi, terutama di dekat titik kawasan keraton lama Palembang (yang
sekarang menjadi kawasan Benteng Kuto Besak), pada perkembangannya
kawasan ini menjadi kawasan tepian sungai Musi yang dijadikan potensi
pengembangan kawasan wisata air.
Pemerintah daerah dan kota Palembang saat ini, mulai menyadari basis
perekonomian kota tidak terlepas dari peranan industri yang kebanyak di
antaranya berada di kawasan tepian Sungai Musi. Pemerintah terus mencoba
untuk mengembangkan dan melakukan beautifikasi kawasan tepian Sungai Musi
dan meningkatkan peran serta dari kreatifitas industri kecil-menengah, seperti
kerajinan tenun dan kuliner yang menjadi ciri khas Kota Palembang.
Di Palembang sendiri untuk meningkatkan peran serta industri kecil dan
melestarikan kebudayaan lokal, pemerintah telah membuat kawasan industri
kerajinan dan industri kuliner yaitu di kawasan Tangga Buntung Palembang Ilir
Barat Permai (http://koran-jakarta.com). Berdasarkan Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Daerah Sumsel menyatakan bahwa, aset yang potensial
untuk dimasukkan ke dalam pemasaran aset wisata Palembang selain Ampera dan
Sungai Musi, antara lain :
a. Rumah limas
b. Pusat kerajinan ukiran Palembang
c. Pusat kerajinan tenun Songket, terletak di 32 ilir
d. Kawasan kuliner khas Palembang. (Sumber : Stupadata)
5
Kerajinan tenun tradisional Sumatera Selatan (Palembang 30 – 32 ilir),
merupakan tempat yang memiliki potensi sebagai salah satu objek untuk City
Tour di Palembang, dengan paduan Musi Waterfront Tourism (Sumber :
Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Sumsel dan Departemen
Pariwisata Pos & Telekomunikasi). Sentra tenun songket 30-32 Ilir Palembang
berperan sebagai pusat pengembangan dan inovasi Songket di Kota Palembang.
(Kompas.com, Kamis, 21 April 2011).
Namun pemerintah belum dapat mewadahi aktivitas, sarana dan prasarana
pada kawasan industri tenun tersebut dengan menciptakan sebuah kawasan yang
memiliki nilai jual dan mampu bersaing dengan mengangkat nilai budaya lokal,
khususnya dalam hal ini pemanfaatan dari potensi kawasan itu sendiri yang
sebenarnya masih termasuk kawasan heritage Palembang dan kawasan waterfront
sungai Musi di mana nilai lokalitas sebenarnya masih cukup terjaga, seperti
bangunan tradisional (limas dan rakit), budaya dan kearifan lokal masyarakatnya
sehingga kawasan industri kreatif berbasis budaya yang berkonsep home industry
dimana para pengrajin menggunakan tempat tinggal mereka sebagai tempat
aktivitas produksi dan sekaligus tempat penjualan barang kerajinan juga tidak
dikembangkan dan diarahkan oleh pemerintah dengan baik.
Pada dasarnya pengembangan kawasan home industry menjadi sebuah
kawasan creative cluster industy, di mana aktivitas produksi dan penjualan dari
kawasan tersebut akan berpengaruh pula terhadap zonasi perkotaan, ekonomi,
pariwisata dan infrastruktur kota. Istilah klaster industri (industrial cluster)
merupakan terminologi yang mempunyai pengertian khusus.
Berdasarkan OECD, 2000 memaknai klaster adalah kumpulan atau
kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk umum,
ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa, atau penggunaan
teknologi yang serupa atau saling komplementer. Sedangkan Deperindag, 2000
memberi pengertian klaster industri sebagai Kelompok industri dengan focal/core
industry yang saling berhubungan secara intensif dan membentuk partnership,
baik dengan supporting industry maupun related industry. Michael Porter
mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga
terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait
6
karena “kebersamaan” (commonalities) dan komplementaritas. Pengertian dari
industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan
pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta
individu tersebut (Deperindag, 2000).
Jadi dapat disimpulkan pengertian dari klaster industri kreatif adalah
kumpulan/kelompok bisnis atau industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan serta bakat individu yang berada pada satu lokasi yang
terkait melalui satu rantai produk umum ketergantungan atas keterampilan tenaga
kerja yang serupa, atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling
komplementer untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan
menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu di
kawasan tersebut.
Deliniasi penelitian :
Gambar 1.3. Peta Deliniasi Kawasan Strategis Wisata Tepian Musi
Sumber : Wikimapia, 2013
Batasan kawasan wisata tepian ilir Sungai Musi :
1) Jembatan Ampera (1962)
2 1
4
3
7
2) Kawasan Kesultanan Lama Palembang (Kawasan Heritage), (Keraton
Lama, Benteng Kuto Besak (BKB), Kawasan Arsitektur Indis)
3) Kawasan heritage dan industri kreatif kuliner Palembang
4) Kawasan dan industri kreatif Songket dan Jumputan Palembang (Lokus
Penelitian)
Pola tata letak pusat industri kreatif di kawasan Tangga Buntung ini
memiliki potensi dan keunikan, lokasinya hampir berdekatan antara kawasan
pusat industri songket, industri kuliner dan beberapa kawasan permukiman etnis
pecinan dan kampung arab yang berlokasi diseberang Ulu sungai Musi. Hal ini tak
lepas dari faktor sejarah dari asal mula kerajinan songket bermula sampai
akhirnya berzonasi, yang merupakan akulturasi dari Cina dan Arab yang
melakukan aktivitas perekonomian dan perdagangan disepanjang sungai Musi.
1.1.3. Sungai Musi Sebagai Entry Point dan Awal Mula Sejarah Kain Tenun
Songket dan Sentra Indistri Songket di 30 – 32 Ilir Palembang
Dari sejak adanya Wilayah Palembang, pada masa perdagangan jalur
sutera, Kerajaan Sriwijaya hingga masa penjajahan, perkembangan perdagangan
barupa kain sutera, dan benang yang berasal dari Arab, India dan Cina sudah ada
dan sangat berkembang pesat. Proses barter atau jual beli kain sutera dan benang
tersebut tidak terlepas dari perkembangan faktor jalur transportasi air yang pada
saat itu merupakan satu-satunya jalur perdagangan yang dapat menghubungkan
wilayah-wilayah yang ada diseluruh dunia, termasuk datangnya pedagang-
pedagang Arab, India dan Cina yang masuk ke daratan Indonesia khususnya
Palembang, Sumatera Selatan.
Transaksi perdagangan dan perekoniam tersebut dilakukan di tepian
sungai Musi, pedagang Cina menjual kain sutera, sementara pedagang Arab dan
India menjual benang emas dan bahan baku lainnya, sebagian besar para
pedagang tersebut akhirnya melakukan pernikahan dengan masyarakat pribumi
dan menetap di sepanjang tepian sungai dan membentuk perkampungan etnis.
Proses tahapan tersebut dapat disimpulkan perkembangan songket sudah ada sejak
zaman kerajaan Sriwijaya.
8
Kain tenun ini sama halnya seperti kain batik, yang pada awalnya hanya
dikenakan oleh bangsawan maupun kerabat kesultanan, namun lambat laun kain
ini sudah mulai beradaptasi dengan masyarakat umum, namun tetap
penggunaannya pada prosesi sakral, yang tidak mengurangi makna dari kain tenun
tersebut. Dan pengrajin-pengrajin pun sudah mulai memodifikasi kain tenun agar
mudah digunakan dan lebih terjangkau harganya, sehingga semua kalangan bisa
menggunakan kain tersebut.
Gambar 1.4. Pengrajin Songket (kiri) dan keturunan bangsawan Palembang yang mengenakan kain
songket (kanan) Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Songket
Pusat industri kerajinan yang paling terkenal di Palembang adalah di
kawasan Tangga Buntung kelurahan 30 dan 32 Ilir Palembang. Sejak tahun 1952,
terdapat beberapa warga asli Palembang yang sudah membuka usaha berupa tenun
songket, yang kebanyakan pegerjaannya dilakukan dirumah-rumah tradisional
Palembang yang bersifat home industry dengan hanya beberapa tenaga kerja ahli
(pengrajin). Bila dilihat luasan cakupan ekonomi kreatif tersebut, sentra industri
tenun songket Tangga Buntung merupakan bagian dari sektor ekonomi yang tidak
membutuhkan skala produksi dalam jumlah besar. Tidak seperti industri
manufaktur yang berorientasi pada kuantitas produk, industri kreatif lebih
bertumpu pada kualitas sumber daya manusia. Industri kreatif justru lebih banyak
muncul dari kelompok industri kecil menengah seperti yang teah disebutkan.
Salah satu alasan dari pengembangan industri kreatif adalah adanya dampak
positif yang akan berpengaruh pada kehidupan sosial (interaksi sosial), iklim
bisnis, peningkatan ekonomi, dan juga berdampak pada citra suatu kawasan
tersebut.
Pada kesimpulannya mengenai konsep klaster industri kreatif bahwa salah
satu kunci penting dalam pengembangan kota kreatif adalah konsep klaster
industri kreatif yang di kembangkan dengan baik dan terarah. Dalam literatur
9
yang berkaitan dengan membuat kota kreatif, sebagai cara untuk mengakomodasi
industri kreatif yang ada di dalam wilayah kota, bagaimana untuk menarik dan
mempertahankan individu kreatif dan bagaimana merancang dan merencanakan
untuk menjadi kota kreatif sehingga tercipta sebuah kota kreatif dengan
pengembangan industri klaster kreatif di dalamnya.
Perwujudan kota kreatif bisa dimulai dari peningkatan kualitas spasial
distrik – distrik yang ada di dalam kota berupa cluster industri yang memiliki
potensi. Dalam studi kasus tentang klaster industri kreatif, kawasan Tangga
Buntung memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan kedepannya
sebagai sebuah kawasan dengan konsep pengembangan klaster industri kreatif,
sesuai dengan kondisi dan terminologi dari klaster industri kreatif itu sendiri,
Tangga Buntung sudah termasuk memiliki ciri dan prasayarat sebuah kawasan
kluster industri kreatif, dimana terdapat lebih dari 20 tempat usaha, adanya
aglomerasi jenis usaha dan adanya kolerasi antara para pekerja kreatif dengan
tempat usaha produksi.
Gambar 1.5. Rumah dan area display pada Kawasan Sentra Industri Songket
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Selain adanya potensi kegiatan klaster industri kreatif, lokasi Tangga
Buntung berdekatan dengan kawasan tepian sungai Musi, yang seharusnya bisa
menjadi nilai jual lebih tinggi dan mampu bersaing, namun pada kenyataannya
tidak berpengaruh besar karena kurangnya optimalisasi pengembangan dan
perencanaan yang matang terutama dalam hal penataan kawasan dan pemanfaatan
peran sungai Musi sebagai entry point kawasan. Kreatifitas masyarakat yang telah
ada sebenarnya sudah memberikan value yang baik untuk berkembangnya sebuah
10
klaster industri kreatif, ekonomi dan pariwisata dan akan lebih baik apabila di
dukung dengan kualitas kawasan yang lebih baik dan menarik.
Gambar 1.6. Permukiman Sekitar Tepian Ilir Sungai Musi 30 Ilir Palembang
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Industri kreatif dan sektor wisata merupakan dua hal yang saling
berpengaruh dan dapat saling bersinergi jika dikelola dengan baik (Ooi, 2006).
Konsep kegiatan wisata dapat didefinisikan dengan tiga faktor, yaitu harus ada ;
something to see, something to do, dan something to buy (Yoeti, 1985 dalam
Suparwoko 2010). Something to see terkait dengan atraksi di daerah tujuan wisata,
something to do terkait dengan aktivitas wisatawan di daerah wisata, sementara
something to buy terkait dengan souvenir khas yang dibeli di daerah wisata
sebagai memorabilia pribadi wisatawan (Suparwoko, 2010).
Ekonomi dan Industri kreatif tidak hanya masuk melalui something to buy
tetapi juga mulai merambah something to do dan something to see melalui paket-
paket wisata yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan
kebudayaan lokal (Suparwoko, 2010). Menurut Keane (2009), industri kreatif
dapat memberikan kontribusi untuk menciptakan kekayaan, merekonstruksi ruang
kota, merubah budaya tradisional, mengembangkan industri jasa dan memberikan
nilai tambah. Sedangkan menurut Van Heur (2009) menyatakan bahwa klaster
kreatif berdampak pada aglomerasi ruang kota.
Hal ini berkaitan pula dengan dikembangkannya konsep kota kreatif
(creative city) yang sebelumnya telah di bahas, di mana salah satu pilar utamanya
adalah pariwisata perkotaan (urban tourism). Pariwisata perkotaan muncul karena
terjadi proses de-industrialisasi di negara maju. Pariwisata jenis ini difokuskan
kepada konsep “place marketing” atau “menjual suatu tempat” dengan cara
memberikan citra tertentu pada suatu wilayah geografis agar menarik perhatian
kalangan bisnis dan wisatawan. Fenomena de-industrialisasi tersebut terjadi
11
karena perkembangan industri di wilayah perkotaan telah menyebabkan kota
menjadi wilayah geografis yang tidak nyaman untuk ditempati sebagai akibat
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan aksesibilitas, fleksibilitas dan kualitas
hidup. Persaingan antar industri di tingkat global juga merupakan faktor yang
menyebabkan terjadinya fenomena tersebut (M. Shelby, 2004 dalam Basuki
Antariksa )
Pengembangan creative cluster industry pada sebuah kawasan nampaknya
perlu dilaksanakan sedini mungkin, agar tercipta sebuah kawasan industri kreatif
yang selain dapat mendukung perekonomian, penataan setting keruangan yang
baik dapat mendukung proses produksi dan dapat pula merangkai penataan
lingkungan perkotaan dengan lebih baik, berkelanjutan dan menghasilkan produk
wisata yang menarik dan meningkatkan daya saing antar pengusaha tenun, dimana
terdapat ketidakmerataan pengunjung, dikarenakan ketidaknyamanan spasial
kawasan, kurangnya sense of place dan fasilitas penunjang.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah diperoleh dari problematika atau ketidaksesuaian antara
teori dengan kenyataan yang ada di lapangan. Dari latar belakang yang telah
dijabarkan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa problematika yang di
rumuskan menjadi rumusan masalah yang terjadi pada kawasan studi, yaitu :
Tata Ruang
a. Buruknya Quality of place dan Sense of place baik dari segi penataan
kawasan, bangunan yang tidak terawat, lingkungan dan infrastruktur
kawasan termasuk degradasi nilai lokalitas kawasan karena perubahan
bentuk bangunan ke arah moderen dan kawasan sentra industri kerajinan
yang masih jauh dari konsep kawasan home industry yang nyaman dan
menarik.
b. Density tinggi sehingga kawasan tidak memiliki area terbuka yang baik
dan aktif.
c. Minimnya vegetasi pada kawasan penelitian.
d. Keberadaan pasar dan pedagang kaki lima membentuk kesan kumuh dan
ketidaknyamanan ruang gerak.
12
Aksesibilitas dan Konektivitas
a. Untuk sebuah pusat industri kreatif yang berpotensi menjadi bagian dari
wisata kota, pertimbangan aksesibilitas, titik parkir dan integrasi linkage
dengan objek lain disekitarnya dan outlet/workshop pengrajin yang satu
dan lainnya belum terlalu jelas, seperti akses dua arah, yaitu darat dan
Sungai dan akses pejalan kaki yang tidak memadai.
b. Belum adanya penataan pedestrian yang baik (walkability), baik itu di
daratan maupun di tepian sungai.
e. Kurangnya fasilitas-fasilitas yang dapat diperuntukkan sebagai generator
penggerak dalam menunjang dan mewadahi aktifitas wisata di lokasi baik
untuk masyarakat setempat maupun bagi pengunjung.
Visual Kawasan
a. Tidak ada keselarasan fasad bangunan sepanjang jalan ki gede ing suro
dan Ki Rangga Wira Santika (koridor songket)
b. Belum optimalnya peran Sungai Musi sebagai Entry point kawasan dan
degradasi lingkungan sungai. Permasalahan sungai yang sering dijumpai
dimana seringkali area sungai dijadikan sebagai bagian belakang suatu
rumah sehingga fungsinya juga seolah - olah tidak penting sehingga
mengakibatkan semakin menurunnya kualitas sungai yang ada.
c. Kurangnya dukungan kegiatan untuk meramaikan aktifitas perairan sungai
Musi yang juga berimbas pada semakin tidak terpeliharanya permukiman
dipesisir sungai akibat berkurangnya aktivitas perekonomian yang
dilakukan.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1) Bagaimana karakteristik kawasan klaster industri kreatif di tepian ilir
Sungai Musi ?
2) Faktor – faktor apa yang menentukan dalam pengembangan dan
peningkatan kawasan creative cluster industry di kawasan urban heritage
waterfront tersebut ?
3) Bagaimana arahan konsep perancangan yang tepat bagi
penguatan/pengembangan CCI (creative cluster industry) yang diusulkan
13
untuk membuat kawasan sentra industri kreatif ini menjadi sebuah
kawasan cluster creative indutry yang mampu memfasilitasi kegiatan
secara optimal melalui pendekatan teori placemaking ?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1) Mengidentifikasi karakteristik kawasan Tangga Buntung sebagai creative
cluster industry kerajinan dan sungai Musi sebagai urban heritage
waterfront yang potensial sebagai kawasan wisata industri kreatif dan
waterfront.
2) Menemukan faktor karakteristik yang menentukan kesuksesan creative
cluster industry di kawasan wisata tepian ilir sungai Musi.
3) Penelitian ini bertujuan untuk memberikan arahan konsep perancangan
atau guideline dalam pengembangan kawasan Tangga Buntung sebagai
creative cluster industry di tepian ilir sungai Musi agar menjadi sebuah
kawasan industri dengan value pariwisata yang lebih baik dari hasil
identifikasi dan rumusan masalah atau karakteristik suatu kawasan binaan
dalam hal ini kawasan creative cluster industry yang ada di Tangga
Buntung.
Manfaat Penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1) Hasil analisa serta perancangan pengembangan kawasan Tangga Buntung
sebagai creative cluster industry di kawasan wisata tepian sungai Musi ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang baik dalam pemahaman dan
strategi yang akan dilakukan dalam mengembangkan suatu model klaster
industri kreatif di tepi urban heritage waterfront yang ingin dijadikan
sebagai destinasi pariwisata.
2) Diharapkan kontribusi ini dapat menambah wawasan dan pemahaman
akan penerapan aspek-aspek yang berkaitan dengan ilmu urban desain dan
pariwisata beserta komponen lainnya dalam eksplorasi perancangan suatu
kawasan dengan memanfaatkan potensi dan prospek kawasan berupa
aktivitas industri dan kawasan waterfront di dalamnya.
14
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada kawasan tepian sungai Musi, untuk itu peneliti
menjadikan beberapa referensi penulisan penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, beberapa penelitian yang dijadikan referensi adalah mengenai
analisis karakteristik kawasan tepian sungai Musi oleh Abdurrahman, 2008 dan
Fuji Amalia, 2011 penelitian yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik
kawasan wisata tepi sungai Musi khususnya yang terletak di pusat kota
Palembang kemudian memberikan arahan rancangan yang tepat pada kawasan
tersebut berdasarkan karakternya. Landasan teori yang digunakan pada penelitian
ini adalah teori mengenai komponen-komponen pariwisata yang mencakup
atraksi, aksesibilitas, dan amenitas, selain itu juga teori waterfront design &
access sebagai hal yang paling penting dalam menjaga dan menampilkan karakter
yang unik daerah waterfront yaitu yang berkaitan dengan open space & public
access, views dan historic resources.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hendi Warleka S.P, 2012, studi
kasus dilakukan pada kawasan Sekanak, kawasan ini berada tidak jauh dari lokus
penelitian Tangga Buntung, termasuk dalam wilayah ilir barat II, dalam penelitian
di kawasan Sekanak, lebih mengarah kepada penataan facade bangunan lama
yang telah mengalami pergeseran menjadi lebih modern, kawasan ini didominasi
bangunan berupa rumah toko dan ornamen akulturasi masyarakat tionghoa dan
Palembang.
Selain beberapa referensi dari bidang ilmu yang sama yaitu desain kawasan
binaan, penelitian pada kawasan Tangga Buntung juga mengambil referensi dari
disertasi bidang ilmu lainnya yaitu Rustina Untari, 2005 (Teknik Industri ITB)
mengenai pola pertumbuhan klaster industri kecil yang ada di Indonesia, disini
dijelaskan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang memiliki potensi industri
kecil yang juga merupakan salah satu penunjang perekonomian. Industri tersebut
kebanyakan berupa industri rumahan berskala kecil dengan jumlah pekerja 5 – 10
orang. Lalu perkembangan klaster industri, dimana industri kecil tersbut
berkelompok dan berlokasi pada satu lokasi yang sama, bagaimana sistem
aglomerasi berjalan dan bagaimana agar sistem klaster berkembang dengan baik
dan tidak mengalami stagnan berdasarkan teori industri, lokasi dan ekonomi.
15
Tabel 1.1. Keaslian Penulisan
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman mengenai tulisan ini, disusunlah sistematika
penulisan sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi Latar Belakang, Cretaive Cluster Industry di Tangga Buntung
sebagai pengembangan desain kawasan wisata tepian ilir sungai Musi, Perumusan
Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian dan
Sistematika Penelitian.
No. Peneliti Judul Lokus Hasil Amatan
1. Abdurrachman 2008
(MDKB/UGM)
Analisis Karakteristik Kawasan Wisata Tepi
Sungai Musi, Palembang
Sungai Musi, Palembang
Mengetahui karakteristik kawasan wisata di tepi sungai Musi
2. Rustina Untari 2005
(T.Industri ITB)/Disertasi
Pola Pertumbuhan Klaster Industri Kecil di
Indonesia
Industri Kecil di Kota Semarang
1. Proses terbentuknya klaster industri di Indonesia
2. Mengidentifikasi pola pertumbuhan suatu klaster
3. Hendi Warleka Sedo Putra (MDKB)
2012
Karakter Visual Koridor Kawasan Lama Sekanak
- Palembang
Studi kasus : (Kasus: Jl. Depaten Baru – Jl.
Ki Gede Ing Suro, Sekanak –
Palembang)
Mengidentifikasi perubahan facade pada kawasan kota lama (jalan ki
gede ing suro)
4. Fuji Amalia (MDKB/UGM)
2011
Arahan Penataan Kawasan Ulu Dan Ilir Tepian Sungai Musi
Palembang Ditinjau Dari Karakter Fisik Spasial
Sungai Musi, Kawasan Ampera
Palembang
1. Mengetahui karakteristik fisik kawasan Ampera Ulu dan Ilir tepian sungai Musi
2. Mengetahui elemen- elemen penentu apa saja yang menjadi penguat karakter kawasan Ulu dan Ilir di tepian sungai Musi serta faktor- faktor yang mempengaruhi karakter kawasan tepian sungai
5. Rizka Drastiani 2013
(MDKB/UGM)
Pengembangan Kawasan Tangga Buntung Sebagai Creative Cluster Industry
Di Kawasan Wisata Tepian Ilir Sungai Musi
Kawasan Sentra Industri Tenun
Songket Tangga Buntung
1. Mengetahui karakteristik kawasan creative cluster industry dan urban heritage waterfront yang ada di Tangga Buntung
2. Mengetahui elemen-elemen yang menunjang kesuksesan/peningkatan kawasan industri dengan konsep CCI di tepian sungai.
16
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tinjauan teoritis mengenai karakateristik Creative cluster
industry dan karakteristik Urban Heritage Waterfront. Teori –teori ini yang akan
dijadikan landasan utama dalam mengetahui karakteristik dan faktor tolak ukur
kesuksesan yang berpengaruh di dalam kawasan yang menjadi bahan acuan dalam
pengembangan Tangga Buntung sebagai creative cluster industry di kawasan
wisata tepian ilir Sungai Musi.
BAB III. METODOLOGI PENELITAIAN
Bab ini akan membahas tipe penelitian, lingkup penelitian, penentuan lokasi fokus
penelitian, tahapan penelitian.
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Bab ini akan membahas gambaran umum Kota Palembang dan kawasan sekitar
lokus peneltian secara umum dan kawasan penelitian secara khusus.
BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memaparkan hasil identifikasi dan temuan-temuan yang ada dilapangan
sesuai dengan metode penelitian yang digunakan. Selanjutnya hasil pemelitian
tersebut dianalisa dengan teori yang dijadikan landasan variabel dan sebagai
materi pembahas hasil temuan.
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab ini akan membahas hasil kesimpulan dari analisa hasil penelitian. Dari
kesimpulan tersebut dibuat rekomendasi berupa konsep dan strategi yang akan
merumuskan arahan konsep desain serta saran – saran dari penelitian ini terhadap
beberapa pihak seperti pemerintahan, delevoper dan peneliti selanjutnya.
17
1.7 Kerangka Konseptual
Gambar. 1.7. Skema Kerangka Konseptual
Sumber : Analisa 2014