bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.1.1. Transportasi Massal Perkotaan
Paradigma yang berkembang saat ini adalah mengenai Abad Kota, abad
dimana orang kini dominan untuk memilih tinggal di kota. Kota – kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan bak
sebuah magnet yang menarik pergerakan manusia dari desa ke kota. Keberadaan
magnet pusat pemerintahan, perekonomian, dan peradaban yang cenderung berada
di pusat kota menjadi faktor penarik yang kuat disamping faktor pendorong
seperti perkembangan desa yang lambat. Tingkat urbanisasi di Indonesia kini
telah mencapai 50% , dan diperkirakan mencapai 68% pada tahun 2025 (Agustus
2012, datastatistik-indonesia.com).
Berbondong – bondong orang menggantungkan cita hidup sejahtera
dengan hidup dan bekerja di kota. Kota – kota ini semakin padat, melebar ke
segala arah sehingga tercipta area – area aglomerasi kota. Pembangunan fungsi
lahan baru di kota dan sekitarnya merupakan masalah yang dilematis, di satu sisi
merupakan signal positif terhadap perkembangan ekonomi yang dinamis, namun
di sisi lain memberi konstribusi pada buruknya perkembangan struktur kota dan
system transportasinya. Struktur ruang kota terencana mengalami banyak
perkembangan dan perubahan sejalan dengan dibukanya banyak sistem jaringan
jalan baru guna mengkoneksikan area aglomerasi dengan kota. Fenomena bottle
2
neck pada jam – jam sibuk pagi dan sore hari pada ruas jalan menuju kota ,
padatnya jalan oleh kendaraan merupakan cerminan kondisi kota-kota besar kini.
Pergerakan kendaraan dalam kota kini justru mengarah kepada perlambatan dan
stagnasi berupa kemacetan.
Pada umumnya orang melihat kepemilikian kendaraan bermotor pribadi
sebagai solusi bagi kebutuhan pergerakannya. Kredit kepemilikan kendaraan
bermotor di Indonesia sendiri tergolong cukup mudah. Tujuan utama
pembangunan jalan- jalan baru dan flyover demi kelancaran sirkulasi kota, kadang
justru menjadi pisau bermata dua, dimana hal ini juga dilihat sebagai peluang bagi
pengguna kendaraan pribadi sebagai kesempatan untuk menurunkan kendaraanya
ke jalan. Jalan yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pemindah pergerakan
manusia justru menjadi sarana pemindah kendaraan. Terjadi okupansi jalan yang
berlebih sehingga menimbulkan kemacetan dan mengganggu fungsi kota. Lambat
laut hal ini menimbulkan banyak kerugian baik secara fisik maupun material.
Membanjirnya kendaraan pribadi di ruas jalan-jalan juga sebagai akibat
ketidakberdayaan pemerintah dalam menyediakan sarana prasaranan transportasi
masal. Isu realisasi transportasi massal telah digaungkan pemerintah baik
pemerintah ibu kota seperti Jakarta sebagai representasi kota metropolitan dengan
berbagai program transportasi massal seperti Monorail , MRT, maupun waterway.
BRT dan KRL yang sudah diaplikasikan selama bertahun-tahun ternyata tidak
belum mampu memberi imbas berarti bagi pengurangan besarnya penggunaan
kendaraan pribadi yang akhirnya menimbulkan kemacetan dan polutan yang luar
biasa.
3
Penyediaan sarana transportasi massal dan pendukungnya baik secara
sistemik dan spasial di Indonesia nyatanya belum juga mantap, banyak masalah
yang terus saja muncul sehingga menimbulkan keengganan bagi masyarakat kota
untuk menggunakan transportasi perkotaan massal tersebut.
Rencana pembangunan jalur kereta api lintas negara seperti konsep
jaringan jalur jereta api di asia (Trans Asian railway) merupakan salah satu
perwujudan globalisasi dalam pembangunan jaringan jalur kereta api (Rencana
induk Perkeretaapian nasional tahun 2030, Kementerian perhubungan Ditjen
Perkertaapian, April 2011). Jejalin jalur perkereta apian antar tujuan dalam suatu
kota, pulau, dan antar Negara akan memberikan kemudahan keterhubungan.
Kebutuhan kereta api perkotaan di Indonesia dikaji dengan pendekatan
bahwa penyediaan layanannya harus tersedia di kota-kota besar yang mempunyai
jumlah penduduk lebih dari 1juta jiwa atau jika pergerakan internal kota tersebut
sudah memerlukan, angkutan masal berupa kereta api perkotaan. Kereta api
perkotaan melayani layanan commuter dan local yang dalam pelayanannya
terintegrasi dengan moda darat lainnya. Angkutan umum massal seperti kereta api
harus dapat menjadi tulang punggung pergerakan manusia. Terdapat banyak
manfaat positif dari penggunaan sistem transportasi masal seperti kereta, baik
terhadap manfaat ekonomis, sosial, dan lingkungan. Titik-titik transit angkutan
umum menjadi titik awal dari pergerakan manusia untuk mencapai tujuannya
masing-masing.
4
1.1.2. Perkembangan Perkeretaapian di D.I.Yogyakarta
Hadirnya kereta api di Indonesia, berawal dengan berdirinya perusahaan
swasta NV Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 27
Agustus 1863. Sekitar enam tahun kemudian,tepatnya pada tanggal 10 April 1869,
Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan perusahaan kereta api Staats
Spoorwegen (SS). Pendirian SS ini dilatarbelakangi adanya kesulitan dalam
pembangunan jalur kereta, misalnya masalah finansial. Namun, ide pembangunan
jaringan jalur kereta api telah dikemukakan oleh Kolonel JHR Van Der Wijk,
seorang petinggi Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), pada 5 Agustus
1840, 23 tahun sebelum NISM didirikan. Menurut Kolonel JHR Van Der Wijk
kereta api merupakan salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah
pengangkutan dan akan sangat menguntungkan dalam bidang pertahanan. Ide
awal yang ia rencanakan adalah pembangunan jalur kereta api Batavia-Surabaya
melalui Yogyakarta dan Surakarta. Pemerintah Hindia Belanda menerima ide itu,
tetapi jalur yang dibangun malah menghubungkan Semarang dengan Surakarta
dan Yogyakarta.
NISM sendiri didirikan setelah mendapatkan izin dari Gubernur Jenderal
Hindia Belanda saat itu, Mr. L.A.J.W. Baron Sloet Van De Beele untuk
membangun jalur Kemijen-Tanggung yang berjarak 26 km. Pembangunan jalur
kereta api di Jawa, kemudian dilakukan pada 17 Juni 1864, ditandai dengan
peletakan batu pertama oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke- 52 Van De
Beele. Jalur Kemijen-Tanggung selesai dan mulai dipergunakan pada 10 Agustus
1867. Jalur Kemijen-Tanggung ini kemudian diperpanjang hingga sampai
5
Yogyakarta melalui Surakarta dan mulai dipergunakan pada 10 Juni 1872.
Selesainya jalur baru ini sekaligus menandai masuknya kereta api untuk pertama
kali ke wilayah Yogyakarta. Stasiun Lempuyangan kemudian dibuka dan
diresmikan pada 2 Maret 1882. Semua jalur tersebut dikuasai dan dikelola oleh
NV. NISM (Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij / Perusahaan Kereta
Api Hindia-Belanda).
Tumbuhnya kawasan-kawasan aglomerasi pada area pantai selatan pulau
Jawa termasuk D.I.Yogyakarta juga tidak dapat dihindari. Kota Yogyakarta
sebagai pusat pemerintahan D.I.Yogyakarta kini telah mengalami perluasan ke
berbagai penjuru. Keberadaan Kota Yogyakarta yang dekat dengan kota-kota
berkembang lainnya seperti kota Solo dan Purworejo menjadi salah satu faktor
pemicu tumbuhnya aglomerasi linier sepanjang jalan arteri utama kota
Yogyakarta ke barat menuju Wates, Purworejo dan ke timur menuju kota Klaten,
Solo, hingga Sukoharjo. Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota tujuan penting
di pulau Jawa membuat intensitas pergerakan dari dan ke kota Yogyakarta cukup
tinggi.
Pergerakan dari kota – kota tersebut menuju kota Yogyakarta dan
sebaliknya saat ini dominan dilakukan dengan berkendara dengan mobil ataupun
motor pribadi. Peningkatan okupansi jalan kendaraan menuju Yogyakarta tiba –
tiba menjadi cukup tinggi utamanya jika kita lihat pada titik pertemuan ring road
utara dan selatan terhadap jalan arteri kota.
6
Gambar 1.1. Titik sumber pergerakan dari dan ke kota Yogyakarta
(Pengolahan data, Juli 2012)
Yang perlu dilirik untuk selanjutya adalah mengenai transportasi massal
kereta sebagai masa depan pergerakan massal kota-kota masa depan Indonesia tak
terkecuali bagi Kota Yogyakarta. Terdapat kesempatan pengembangan
transportasi massal perkotaan bagi kota Yogyakarta, baik untuk pergerakan antar
kota-kota aglomerasi Yogyakarta seperti dari Kulon Progo dan Sleman maupun
pergerakan transportasi massal dengan kereta antar kota.
Dari tiga stasiun di D.I.Yogyakarta yaitu Stasiun Tugu, Lempuyangan,
dan Maguwo andil peranan layanan kereta api yang menghubungkan antar kota
dalam jarak dekat atau relasi lokal dimulai. Relasi kereta api local ini adalah yang
menghubungkan antara relasi Stasiun Kutoharjo – Stasiun Solo Balapan dan
stasiun-stasiun yang dilalui dalam relasi tersebut.
7
Gambar 1.2. Status Keaktifan jalur tertua di Jawa
( Ikaputra Research Agenda 2004 – 2007)
1.1.3. Kawasan Stasiun Lempuyangan
Stasiun Lempuyangan merupakan stasiun tertua di Yogyakarta. Stasiun
ini diresmikan pada tanggal 2 Maret 1882 sebagai stasiun tertua di Yogyakarta
saat ini melayani jalur kereta ekonomi jarak jauh dan jalur perkotaan. Dengan
luasan fisik stasiun yang tidak cukup besar stasiun Lempuyangan adalah salah
satu titik pergerakan antar kota yang penting di kota Yogyakarta. Sayangnya
potensi pergerakan yang diwadahi stasiun tidak diimbangi dengan desain spasial
area sekitar stasiun yang dapat mendukung bahkan meningkatkan transit ridership
pada area tersebut.
8
Gambar 1.3. Emplasemen Stasiun lempuyangan & area sekitar stasiun
(Dokumentasi Pribadi, Agustus 2012)
Kawasan sekitar stasiun cenderung mati bagi pergerakan berjalan kaki
bagi manusia yang seharusmya menjadi tumpuan penting dalam keberhasilan
fungsi transit perkereta apian. Jalan-jalan di sekitar stasiun lebih berfungsi sebagai
jalur pemindah kendaraan. Akibatnya di luar jam-jam kedatangan dan kepergian
kereta suasana transit pun tidak terasa pada area tersebut. Fasilitas feeder transit
seperti bus trans Jogja yang adapun tidak dapat berintegrasi dengan baik,
kedatangan penumpang menuju stasiun lebih diwadahi dengan penggunan
kendaraan pribadi.
Stasiun Lempuyangan sendiri dengan ketersediaan area empalsemen
yang cukup luas sesungguhnya memiliki potensi pengembangan kawasan sebagai
kawasan Urban Transit Oriented Development yang dapat memegang peranan
vital dalam skala kota Yogyakarta. Di sekitar stasiun didominasi dengan area
komersial, pendidikan, perkantoran dan pada layer berikutnya didominasi area
permukiman. Fungsi – fungsi bangkitan dan destinasi tujuan menuju pusat-pusat
kegiatan kota Yogyakarta pun tersebar cukup dekat dengan stasiun. Namun
sayangnya kondisi transit kawasan ini cenderung mati.
9
Begitu halnya dalam usaha penciptaan area transit stasiun Lempuyangan,
walkability menuju stasiun dan area sekitarnya perlu diperhatikan sedemikan rupa.
Untuk meningkatkan aktivitas transit sehingga mampu mengurangi
ketergantungan terhadap kendaraan bermotor pribadi.
1.1.4. Transit Oriented Development dan Walkability
Dalam usaha menarik minat masyarakat kepada penggunaan fasilitas
transportasi publik, tempat transit menjadi salah satu aspek penting dalam
pengembangan transportasi massal. Oleh karena itu untuk mencipatakan suasa na
pergerakan transit yang menyenangkan dan menjaga struktur ruang kota maka
dikenal konsep Transit Oriented Development (TOD).
Transit Oriented Development (TOD) mudah dimengerti sebagai konsep
perencanaan dan perancangan kota dengan mengintegrasikan antara tata guna
lahan, transportasi untuk menciptakan kota yang efisien. Banyak kota-kota di
dunia mampu menyelesaikan permasalahan kota dan transportasinya melalui
pengaplikasian system tranportasi massal dan TOD yang baik.
Landasan utama dari sistem Transit Oriented Development adalah nodal
yang terfokus pada pusat komersial , pemerintahan, dan tempat transit yang
potensial. Hal itu dapat ditunjukkan oleh jarak maksimal pejalan kaki yang dapat
ditempuh, berada pada pusat komersil, dimana terintegrasi dengan kantor
pemerintah sera permukiman, perkantoran dan ruang public sekitarnya.
Dalam menghubungkan fungsi-fungsi strategis dalam area TOD ,
Walkability adalah elemen kunci sukses efektivitas TOD yag sangat penting.
10
Walkability adalah kemampuan atau suasana yang memungkinkan terjadinya
aktivitas berjalan kaki yang nyaman dan menyenangkan. Keberhasilan system
walkability akan menciptakan suasana TOD yang dinamis, livable. Oleh karena
itu studi mengenai model walkability merupakan salah satu studi yang penting
dalam TOD.
Alasan pemilihan lokus studi pada kawasan Stasiun Lempuyangan,
adalah didasarkan beberapa pertimbangan dibawah ini:
1. Stasiun Lempuyangan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai
stasiun kereta perkotaan pada masa yang akan datang.
2. Stasiun Lempuyangan dikenal sebagai stasiun yang melayani jalur kereta
ekonomi dan antar kota, pada umumnya pengguna jasa jalur kereta ini
memiliki keterbatasan akses terhadap kepemilikan kendaraan pribadi
untuk menuju dan dari stasiun, baik dikarenakan kemampuan ekonomi,
jarak, kecukupan waktu, dan kepraktisan.
Keberadaan sarana transportasi publik dan akses bagi pejalan kaki untuk
mencapai sarana-sarana tersebut adalah penting.
3. Stasiun Lempuyangan terletak pada posisi yang strategis yaitu di pusat
kota dengan sebaran destinasi yang beragam seperti area pemerintahan,
perkantoran, komersil, dan pendidikan.
4. Emplasemen kawasan Stasiun Lempuyangan yang cukup luas,
memungkinkan untuk pengembangan kawasan stasiun yang lebih baik
dengan lingkungan yang walkable di masa mendatang.
11
1.2.Rumusan Permasalahan
Permasalahan timbul sebagai akibat adanya ketimpangan antara kondisi
ideal dengan kondisi empiris lapangan. Dalam studi kasus kawasan Stasiun
Lempuyangan kondisi kawasan stasiun yang merepresentasikan kawasan Transit
Oriented Development diduga mengalami ketimpangan kondisi empiris terhadap
idealnya kondisi walkability pada kawasan berbasis TOD. Rendahnya kualitas
walkability memicu masalah – masalah lainnya bagi kawasan.
Gambar 1.4. Skema Permasalahan
( Analisa, Juli 2012)
1.2.1. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan permasalahan, maka
didapatkan pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana kondisi walkability kawasan berbasis Transit Oriented
Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan ?
2. Faktor – factor apa saja yang mempengaruhi kondisi walkability kawasan
berbasis Transit Oriented Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan?
3. Bagaimana strategi meningkatkan walkability kawasan berbasis Transit
Oriented Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan?
12
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, rumusan permasalahan dan pertanyaan
penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi walkability kawasan berbasis Transit Oriented
Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan.
2. Mengidentifikasi faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi
walkability kawasan berbasis Transit Oriented Development pada kawasan
Stasiun Lempuyangan.
3. Merumuskan strategi meningkatkan walkability kawasan berbasis Transit
Oriented Development pada kawasan Stasiun Lempuyangan.
1.4.Manfaat Penelitian
Berkaitan dengan tujuan penelitian ini, maka manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan pertimbangan, arahan pengendalian, masukan bagi pemerintah
dan masyarakat dalam mengembangkan walkability pada kawasan stasiun
yang berbasis Transit Oriented Development.
2. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak –
pihak lain dalam meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya walkability
dalam kawasan Stasiun yang berbasis Transit Oriented Development.
13
1.5. Keaslian Penelitian
Tabel 1.x. Data Penelitian Mengenai Stasiun Lempuyangan
Topik No Tahun Peneliti Judul Lokus Fokus
Pedestrian
way,
walkability pada
kawasan
umum
1 2009 Ivan
Gunawan
Tesis MDKB UGM;
Model jalur pedestrian di jalan Sudirman Yogyakarta
berdasarkan aspek kenyamanan ruang jalan
Jl.Sudirman,
Yogyakarta
mengetahui tingkat kenyamanan pejalan kaki di jalur pejalan kaki pada
Jalan Sudirman dan menemukan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhinya.
2 2011 Ria
Sulinda
Hutabarat
LO
Disertasi University of California;
Walkability Planning in Jakarta
Kota Jakarta Untuk mengetahui bagaimana ruang public bagi pedestrian tercipta di
Jakarta, dan urgensinya bagi pedestrian. Mengetahui bagaimana kondisi
dan perbedaan pedestrian & ruang pedestrian di Jakarta dengan kota-
kota di barat.
3 2013 Lana
Wiyananti
Penelitian Australia Awards;
Walkability and Pedestrian Facilities in Indonesian
Cities
Kota-kota besar di
Indonesia seperti
Padang, Yogyakarta,
dan Mataram.
Menyediakan informasi mengenai kondisi infrastruktur pedestrian
terkini dengan menggunakan parameter dari Global Walkability Index
dengan beberapa penyesuaian agar sesuai dengan kota-kota Indonesia.
walkability
pada
kawasan
TOD/ROD
1 2008 Sungjin
Park
Disertasi University of California, Berkeley;
Defining, Measuring, and Evaluating Path Walkability,
and Testing Its Impacts on Transit Users’ Mode Choice
and Walking Distance to the Station
Stasiun transit sub
urban di Mountain
View, California
Mengetes efek tingkat jalan sebagai bagian dari atribut urban design
terhadap perilaku pejalan kaki.
Mengetes dan megukur efek dari walkability jalur pejalan kaki terhadap
perilaku pejalan kaki,
2 2010 Ayse
N.Ozbil
Disertasi Georgia Institute of Technology;
Walking to the Station: The Effect of Street Connectivity
on Walkability and Access to Transit
Area dalam Jaringan
Kereta MARTA Rail
networks, Atlanta
Mengetahui hubungan antara kepadatan, tata guna lahan campuran, dan
konektivitas jaringan jalan terhadap perbedaan perilaku berjalan kaki,
utamanya mengenai pembagian mode berjalan transit dan jarak berjalan
kaki menuju dan dari stasiun.
3 2013 Lukluk
Zuraida
Jamal
Walkability pada kawasan berbasis Transit Oriented
Development,
Studi kasus: Kawasan Stasiun Lempuyangan.
Kawasan Stasiun
Lempuyangan
Mengetahui kondisi walkability dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya pada kawasan berbasis TOD. Mencari strategi guna
meningkatkan walkability pada kawasan tersebut.
Stasiun
lempuyangan
1 2004 Yuwono
Wiarco
Tesis Magister Sistem dan Teknik Transportasi UGM;
Fasilitas perpindahan moda di Stasiun Kereta Api :
Studi kasus Stasiun Lempuyangan Yogyakarta
Stasiun Lempuyangan
Yogyakarta
mengetahui kinerja pelayanan bus kota jalur 6 Kopata Yogyakarta dari
segi waktu menunggu dan jarak berjalan kaki, mengetahui pelayanan
fasilitas perpindahan moda di stasiun Lempuyangan berdasarkan
persepsi penumpang
Tabel 1.1. Data Penelitian Mengenai Stasiun Lempuyangan
( Kompilasi Data Tesis - Disertasi, April 2013)
14
1.6.SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan pemahaman mengenai tulisan ini, disusunlah
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I . PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang yang terdiri dari penjelasan mengenai perkembangan
transportasi perkotaan dan pentingnya Transit Oriented Development serta
Walkability dalam kawasan stasiun. Bab I juga terdiri atas Rumusan Masalah,
Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian dan Sistematika penulisan.
BAB II . TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tinjauan teoritis mengenai Transit Oriented Development serta
Walkability.
BAB III . METODE PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai pendekatan penelitian, lokasi penelitian, variabel
penelitian, tahapan penelitian, serta kerangka penelitian.
BAB IV . GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Bab ini akan membahas gambaran umum mengenai lokus kawasan Stasiun
Lempuyangan.
BAB V . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memaparkan hasil identifikasi dan temuan yang ada di lapangan sesuai
dengan metode penelitian yang digunakan. Hasil penelitian tersebut dianalisa
dengan teori yang dijadikan landasan variabel dan sebagai materi pembahas hasil
temuan.