bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Praktik suap menjadi salah satu fenomena dalam dunia pers Indonesia.1
Praktik suap atau yang sering dikenal sebagai fenomena wartawan amplop
merujuk pada realita di lapangan ketika jurnalis menerima pemberian bisa berupa
uang, barang, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, traktiran makanan, dan lainnya
dari pihak nara sumbernya.2 Cara pemberiannya pun berbeda beragam ada yang
berupa amplop, rekening, undian berhadiah, dan sebagainya. Tak sekedar
fenomena musiman, “amplop” ini telah menjadi budaya dalam dunia pers
Indonesia.
Dalam dunia pers Indonesia dikenal dua jenis wartawan amplop menurut
modus operandinya.3 Ada wartawan yang aktif berburu amplop dan ada wartawan
pasif yang menerima amplop. Ketika di lapangan, wartawan aktif yang menerima
1 Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain
yang mempengaruhi independensi, merupakan penjabaran dari Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang
berbunyi “ Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”
Dalam pers Barat, pemberian dari pihak lain disebut dengan freebies. Freebies berupa tiket nonton
gratis, tiket perjalan gratis, atau tiket pertunjukan yang diberikan gratis. 2 Fenomena wartawan amplop sebagai salah satu potret jurnalis Indonesia tercantum
dalam Survey AJI Indonesia tahun 2005 di 17 Kota yang tercantum dalam buku “Potret Jurnalis
Indonesia, Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota” ,hal 63. 3 Menurut Masduki dalam buku Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik( 2004 :84),
wartawan amplop menurut modus operandinya yakni pertama adalah wartawan yang aktif
berburu amplop dengan mendatangi panitia secara individu hingga membuat perkumpulan khusus
wartawan amplop untuk memeras nara sumber. Kedua adalah wartawan pasif yang menerima
amplop jika diberi tetapi tidak mencari acara yang ber-amplop jika tidak diundang.
2
amplop biasanya berada di sebuah institusi tertentu dan menunggu nara sumber
mereka memberi uang. Mereka pun tak segan datang ke acara-acara yang
memiliki lahan basah hanya untuk mendapatkan amplop. Padahal, peristiwa yang
mereka liput belum tentu dimuat dalam media mereka.
Sementara itu, wartawan pasif lebih pada wartawan yang menerima
amplop di suatu acara namun mereka tidak mencari-cari seperti wartawan aktif.
Persamaan keduanya adalah bahwa mereka belum tentu memuat berita yang
mereka liput dalam media mereka.
Kategori wartawan aktif dan pasif amplop melekat pada wartawan yang
memiliki perusahaan media yang jelas serta wartawan yang tidak memiliki
perusahaan media yang jelas. Biasanya wartawan yang tidak memiliki perusahaan
media jelas akrab disebut dengan wartawan bodrek atau WTS atau wartawan
Tanpa Suratkabar. Disebut wartawan bodrek karena wartawan ini hanya sekedar
melakukan proses wawancara kesana kemari tetapi tidak pernah ada beritanya.
Dengan kata lain, wartawan tersebut tidak memiliki surat kabar dan hanya
bermodalkan kartu pers palsu.
Praktik suap kian membuat jurnalis ketagihan. Tak segan-segan pula
jurnalis menggunakan senjata profesinya untuk mendapatkan amplop dari nara
sumber. Dengan ancaman akan memberitakan berita yang buruk, jurnalis dengan
mudah meminta amplop dari nara sumbernya. Beruntungnya mereka, nara sumber
yang notabenya kurang paham tentang profesi jurnalistik, dengan mudahnya
memberi mereka uang.
3
Berdasarkan observasi mula peneliti yang juga menjadi bagian dalam
dunia kewartawanan, praktik suap di kalangan jurnalis seolah-olah dilegalkan
oleh pelaku media bahkan institusi media tersendiri. Alasan menjaga hubungan
dekat dengan nara sumber atau masalah kesejahteraan jurnalis yang pas – pasan
seringkali didengung-dengungkan untuk melegalkan budaya satu ini. Budaya ini
makin kuat manakala nara sumber juga memberi ruang khusus. Mereka kadang
tak malu untuk mengaku bahwa ada anggaran khusus untuk jurnalis yang memang
sudah disiapkan per bulannya. Alasan nara sumber pun cukup rasional rasa kasian
terhadap jurnalis, melaksanakan kewajiban atasan, ucapan terima kasih, takut
berita miring, pencitraan, dan sebagainya.
Fenomena praktik suap atau amplop berdasar Riset AJI Indonesia tahun
2005 menunjukkan bahwa budaya ini terjadi karena seringkali ada pemahaman
yang kabur mengenai amplop itu sendiri. Jurnalis yang diriset pun mengaku
bahwa mereka tidak enak bila amplop tidak diterima karena akan menjadi bahan
pergunjingan. Akhirnya mereka mau menerima asalkan amplop tersebut tidak
memeras dan tidak mempengaruhi independensi.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa budaya amplop besar karena
kebiasaan pejabat yang memberi amplop. Menurut penelitian, kalau amplop tidak
diterima, dana itu akan menjadi ajang korupsi para pejabat. Temuan lain yang
menarik adalah aturan media soal amplop yang kurang jelas. Artinya tidak ada
aturan detail tentang definisi amplop, jumlah yang bisa diterima atau tidak, serta
sanksi menerima amplop.
4
Sementara itu, berdasarkan obrolan informal yang dilakukan peneliti pada
mantan Ketua AJI Yogyakarta, Bambang Muryanto, September 2012 lalu,
budaya amplop terjadi pada awal abad 21 dimana perkembangan media di
Indonesia sangat pesat. Berdasarkan catatan AJI Indonesia4, fenomena yang
dilihat dari perkembangan media awal abad 21 yaitu berkembangnya media
waralaba (franchise) yang mengambil brand terbitan luar negeri diadaptasi dan
diberi muatan lokal kemudian dijual di Indonesia seperti Kosmopolitan, Female
Indonesia, Harper Bazaar, dan F-1. Fenomena lainnya yakni masuknya
perusahaan non media dalam industri media seperti Grup LIPPO, perkembangan
industri multimedia, fenomena industri media yang masuk ke dalam pasar bursa
seperti Tempo, serta munculnya penerbitan yang spesifik dengan ulasan dan target
pembaca yang lebih terbatas.
Perkembangan perusahaan pers tak lepas dari kepentingan mereka untuk
mencari keuntungan. Orientasi keuntungan inilah yang membawa dampak buruk
perusahaan media yakni persaingan yang tidak sehat hingga berakibat pada
lemahnya profesionalisme dan independensi jurnalis.
Bambang Muryanto menegaskan bahwa budaya amplop sulit dihapuskan
seiring perkembangan media massa saat ini.Seiring dengan tuntutan bisnis, maka
berbagai cara dilakukan perusahaan media untuk memenuhi kepentingan pasar.
Kepentingan pasar ini adalah dalam rangka meraup iklan demi pemasukan kepada
perusahaan. Untuk itulah, amplop menjadi sarana tersendiri untuk menjadikan
berita sesuai kepentingan pasar dan kepentingan institusi tertentu.
4 Masduki.2005. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. hal.6
5
Budaya ini juga terjadi karena perusahaan media sendiri yang kurang
memenuhi hak-hak dan jaminan kesejahteraan bagi jurnalis. Banyak jurnalis di
daerah seperti reporter tetap (diangkat resmi oleh medianya untuk bekerja tiap hari
dengan target kualitas dan kuantitas berita tertentu), kontributor / reporter
wilayah (diangkat pengelola media untuk membantu peliputan di wilayah yang
belum dapat diakses reporter tetap, dikontrak untuk jangka waktu tertentu), serta
freelancer / reporter bebas ( melakukan aktivitas peliputan dan tidak terikat media
tertentu, hasil liputanya berdasarkan kesepakatan yang bersifat insidental)
memiliki standar gaji yang tidak seimbang dengan kerjanya. Lebih lagi kondisi
liputan daerah yang memiliki kesulitan tersendiri seperti faktor geografis
seringkali tidak diperhatikan oleh media itu sendiri.
Kaitannya dengan upah layak jurnalis, ternyata memang betul adanya
bahwa upah jurnalis di Indonesia masih sangat tidak layak. Hal ini dibuktikkan
dalam lima survei dalam sepuluh tahun terakhir ini yakni survei AJI Surabaya
tahun 2000, survey dari Thomas Hanitzsch dari Ilmenau University of
Techonology German tahun 2001, AJI Indonesia tahun 2005, Dewan Pers tahun
2008, dan riset terakhir AJI Indonesia 2010/2011. Survei-survei tersebut memiliki
kemiripan hasil upah jurnalis hingga tahun 2011 ini masih ada yang berada di
bawah Rp 300.000,- per bulannya.
Survei AJI, Thomas Hanitzsch, serta Dewan Pers juga menunjukkan
bahwa akibat rendahnya upah ini banyak jurnalis mencari pekerjaan sampingan
seperti makelar Surat Ijin Mengemudi (SIM), pengusaha wartel, pegawai negeri,
wartawan spesial (konsultan tidak resmi), dan sebagainya. Survei juga
6
menyatakan bahwa rendahnya gaji ini juga menjadi pembenar mengapa budaya
amplop ini masih menjadi tradisi.
Survei AJI 2010/2011 menyatakan bahwa kesejahteraan jurnalis sangat
berkaitan dengan profesionalitas dan kebebasan pers. Kedua hal ini penting
karena untuk mencapai iklim pers yang sehat dan demokratis. Kendati bukan
jaminan utama, kesejahteraan yang memadai memiliki peluang besar untuk
menjadikan jurnalis profesional seperti yang tertuang dalam UU Pers No.40
Tahun 1999.
Sementara itu, praktik suap merupakan salah satu masalah penerapan
kode etik jurnalistik. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam, (1) Kode Etik
Jurnalistik Pasal 6 yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak
menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap, (2) Kode Etik Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Pasal 13 yang menyebutkan bahwa jurnalis dilarang
menerima sogokan, (3) Kode Etik Aliansi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
Pasal 4 yakni wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi
objektivitas pemberitaan, (4) Kode Etik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)
berbunyi ”Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan
dengan profesinya”.
Riset mula yang dilakukan peneliti kepada Ketua Dewan Pers, Bagir
Manan pada 11 Agustus 2012, praktik suap di kalangan jurnalis memang masih
terjadi di Indonesia. Bagir Manan menyebut budaya ini sebagai budaya korupsi
yang dilakukan oleh jurnalis. Ia mengatakan bahwa praktik suap adalah salah satu
pelanggaran kode etik dalam profesi jurnalis. Kode etik sendirinya ditegaskannya
7
berbeda dengan hukum, karena berhubungan dengan hati nurani dan berisi
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan profesionalis jurnalis.
Masih adanya pelanggaran kode etik di Indonesia dipengaruhi berbagai
faktor. Pertama berkaitan dengan sifat kode etik sendiri yakni berkaitan dengan
moral dalam diri yang bersangkutan (jurnalis). Kedua adalah latarbelakang
jurnalis yang berbeda-beda, artinya banyak dari jurnalis yang tidak disiapkan
secara profesional (jurnalis bisa berasal dari setiap kalangan), ketiga tidak adanya
sanksi sosial dari masyarakat. Keempat adalah makna kebebasan pers yang tidak
bisa dipahami pelaku media sehingga tidak ada mekanisme kontrol, kelima
berkaitan dengan belum adanya tradisi profesional untuk menghormati kode etik.
Keenam adalah pekerjaan jurnalis masih dianggap mata pencaharian pada
umumnya, dan ketujuh adalah perusahaan pers yang tidak memihak (masalah
kesejahteraan yang kurang layak).
Masalah kode etik ini sangat penting bagi sebuah profesi khususnya
jurnalis karena mereka tidak hanya dituntut untuk mengembangkan idealisme
profesinya tetapi juga efek media yang besar bagi publik. Kode etik sendiri
penting dilakukan karena merupakan bagian dari profesionalitas jurnalis. Di sisi
lain, sikap profesional wartawan terdiri dari dua unsur yakni hati nurani dan
ketrampilan. Hati nurani merujuk pada kode etik jurnalis perlu menjaga dan
memelihara kewajiban moral. Sedangkan ketrampilan berkaitan dengan
kemampuan teknis jurnalis sesuai dengan bidang profesinya.
Bersikap profesional berarti bersikap independen. Independen artinya
menjalankan tugas jurnalistik tanpa intervensi pengaruh kekuatan represif negara
8
dan pemodal yang munculnya baik disengaja maupun tidak disengaja oleh
jurnalis. Secara tidak langsung, praktik suap sangat berpengaruh pada
profesionalitas wartawan. Pemberian dari nara sumber dalam bentuk apapun tetap
secara moral akan mempengaruhi jurnalis dalam kinerjanya.Hal ini sesuai dengan
The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dimana salah
satu standarisasi agar wartawan bisa profesional adalah melaksanan kewajiban
pencarian kebenaran dan jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek
liputannya.
Menuju profesional tentu saja bukan hal yang mudah bagi pelaku industri
media saat ini. Sejumlah persoalan seperti upah kesejahteraan, praktik suap,
keterlibatan pemilik media dalam partai politik, dan lain sebagainya masih belum
bisa terselesaikan. Bahkan terkait profesionalitas ini, Thomas Hanitzsch dalam
penelitiannya yang berjudul “Rethinking Journalism Education in Indonesia :
Nine These” menyatakan bahwa profesionalitas jurnalis di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh pendidikan jurnalisme. Salah satu kesimpulan yang diperoleh
adalah pendidikan jurnalisme kurang mengajarkan dimensi etis sehingga
mempengaruhi profesionalitas jurnalis saat ini. 5
5 Dalam Penelitian Thomas Hanitzsch“Rethinking Journalism Education in Indonesia :
Nine These” , pendidikan jurnalisme di Indonesia yang dikelompokkan Hanitzsch dalam empat
kompetensi yakni (1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi,
memahami komunikasi dasar dan sebagainya; (2) Kompetensi transfer, misalnya, penguasaan
bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalisme dan sebagainya; (3) Kompetensi
teknis, misalnya, komputer, internet, disain grafis dan sebagainya; (4) Kompetensi tingkat lanjut,
misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan
sebagainya.
Hanitzsch menjelaskan keempat kompetensi itu dalam sebuah tabel. Berdasarkan tabel itu
ia membandingkannya dengan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan
dosen, serta faktor-faktor lain, yang ada pada lima sekolah jurnalisme atau sekolah jurnalisme
dalam program komunikasi: (1) Universitas Gadjah Mada; (2) Lembaga Pers Dokter Soetomo; (3)
9
Profesionalisme dan etika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Oleh peneliti etika dinilai menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih
karena etika menjadi salah satu kontrol internal dalam media massa. Kontrol
internal ini sangat berpengaruh pada bagaimana wartawan bisa memperlakukan
fakta secara profesional.6 Fakta secara profesional ini akan berpengaruh pada
informasi yang benar pada publik. Asumsinya, bila jurnalis memberikan fakta
tidak benar, maka publik akan terbohongi.
Meski etika telah dirumuskan dalam kode etik (code of ethics) dan
dioperasionalisasikan dalam kode perilaku (code of conduct), namun etika ini
tetap bersumber pada diri pribadi masing-masing. Artinya kesadaran pribadi
masing-masinglah yang menentukan pelaksanaan etika itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji secara
mendalam soal suap di kalangan jurnalis. Kajian secara mendalam atau merujuk
pada Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai anatomi, peneliti melihat
bahwa suap sangat berbahaya bagi profesionalisme jurnalis. Jurnalis merupakan
pihak yang harus memberitakan informasi dengan benar. Ia juga menjadi pilar
keempat demokrasi yang menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat
Institut Ilmu Sosial dan Politik; (4) Multi Media Training Center (MMTC); (5) Universitas
Indonesia.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh oleh Hanitzsch, (1) pendidikan jurnalisme kita
masih dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." (2)Tidak ada interaksi antara
pendidikan jurnalisme dan industri media. (3) Semua sekolah ini tak dilengkapi dengan teknologi
yang memadai. (4) Di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80 persen
ada di Pulau Jawa dan Medan. Sekolah jurnalisme itupun masih kekurangan tenaga pengajar,
bahkan kurikulum yang diajarkan sangat minim kepada kemampuan praktis jurnalistik. (5)
Perguruan tinggi jurnalisme cenderung mengajarkan teori, sedikit sekali muatan praktis dan etis. 6 Menurut Leonard dan Ron Taylor, etika jurnalistik yang perlu diperhatikan oleh
wartawan adalah (1)objektif, (2) jujur,(3)tidak menerima suap, (4) tidak menyiarkan berita
sensasional, (5) tidak melanggar privacy, dan (6) tidak melakukan propaganda. Diakses dari buku
Etika Dalam Jurnalisme Indonesia. Ana Nadya Abrar. 2005.hal 9
10
dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Jurnalis juga melakukan kontrol
sosial atas peristiwa-peristiwa yang menganggu demokrasi.
Menurut peneliti, suap menjadikan jurnalis memiliki konflik kepentingan
tertentu. Ketika dibiarkan dan menjadi budaya yang terus mengakar di tubuh pers,
maka profesi jurnalis bukan lagi menjadi profesi yang memiliki sebuah idealisme
kuat. Ia dengan mudah dapat dikendalikan oleh pihak tertentu dan informasi pun
dapat dikontrol dengan mudahnya. Tentu saja hal ini berbanding terbalik dengan
tujuan jurnalisme yakni membawa kebenaran di mata publiknya.
Berdasarkan pengalaman peneliti yang juga menjadi bagian dalam
kewartawanan, mayoritas jurnalis yang tidak berafiliasi dengan organisasi profesi
dengan mudah melakukan praktik ini. Praktiknya, mereka dengan mudah disuap
oleh pihak penyuap tanpa berpikir dampak ke depannya. Mereka seolah
menganggap hal itu merupakan kewajaran sebagai hal untuk mempererat
hubungan dengan nara sumbernya.
Berdasarkan hipotesa peneliti, kewajaran suap ini tidak lagi hanya
didasarkan atas faktor minimnya upah jurnalis, melainkan ada faktor-faktor lain
yang berpengaruh. Oleh karenanya peneliti ingin melihat secara mendalam dan
komprehensif soal suap ini dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya.
Anatomi suap sendiri akan dilihat peneliti dari jenis suap dan pelakunya. Untuk
pelakunya, peneliti akan membagi dalam empat kategori yakni jurnalis
berdasarkan lama bekerja ( wartawan tua dan muda), gaji jurnalis ( tinggi dan
rendah), status kerja (tetap dan kontributor), serta wilayah kerja ( pemerintahan
dan non pemerintahan).
11
Dalam penelitian ini, peneliti memilih Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai lokasi penelitian karena provinsi ini memiliki dinamika
media yang pesat. Hal ini ditunjukkan dengan merebaknya media cetak,
elektronik, maupun online. Menurut Data Serikat Penerbitan Pers (SPS) dan
Dewan Pers 2010 , terdapat 5 surat kabar, 3 surat kabar mingguan, 8 surat kabar
bulanan, 20 stasiun radio, serta 4 statiun televisi. Yogyakarta juga belum pernah
disurvei organisasi profesi seperti AJI atau PWI terkait penerapan praktik suap
Survei terakhir yang dilakukan oleh AJI Indonesia tahun 2010/2011 hanya terkait
soal upah layak jurnalis.
Berdasarkan observasi mula yang dilakukan peneliti, praktik suap masih
terjadi di Yogyakarta. Praktik diberikan oleh institusi tertentu dengan terlebih
dahulu menganggarkannya dalam anggaran khusus. Tak hanya insitusi, berbagai
event seringkali memberikan uang saku pada wartawannya. Sedangkan jurnalis
yang diberi adalah jurnalis yang sudah tercacat dalam daftar peliput berita institusi
atau event mereka.
Dalam praktik suap , institusi memiliki cara tersendiri. Ada yang langsung
memberi uang dengan amplop, ada pula lewat bingkisan seperti tunjangan hari
raya atau souvernir, kegiatan press tour, undangan makan bersama, tiket gratis,
pemberian pulsa, dan sebagainya. Di sisi lain, wartawan yang menerima pun
memiliki cara-cara unik. Ada yang menunggu atau nongkrong berjam-jam di
kantor nara sumber, mengikuti press tour, meliput meski beritanya bukan
merupakan tanggungjawabnya, dan lain sebagainya.
12
Penelitian ini adalah penelitian komunikasi. Dalam penelitian ini, peneliti
akan menunjukkan efek bias pada berita yang ditulis oleh jurnalis karena ia
melakukan praktik suap. Efek bias ini menjadi hal yang tidak bisa dihindari oleh
jurnalis karena mereka terlibat kepentingan dengan penyuap. Efek bias ini akan
diilihat dari dimensi evaluatif pemberitaan yang terdiri dari keseimbangan berita
dan netralitas berita.
Dengan adanya efek bias berita ini, penelitian ini akan utuh untuk
menjelaskan seperti apakah suap di kalangan jurnalis dan memang benar bisa
berpengaruh pada produk berita.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana anatomi suap dan faktor – faktor yang menyebabkannya di
kalangan jurnalis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan anatomi suap dan memberikan pemahaman sistematis
tentang jenis dan suap dan faktor – faktor penyebabnya.
2. Memberikan wawasan tentang cara penanggulangannya.
13
1.4 KERANGKA TEORI
1.4.1 Gratifikasi dan Suap Sebagai Bentuk Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus, yang kemudian
muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda
Korruptie, dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia Korupsi. Pope (2002:30)
mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan kepercayaan untuk
kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan
jarak”. Mempertahankan jarak disini artinya dalam pengambilan keputusan di
bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta oleh
pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.
Semma (2008:39) mengungkapkan bahwa korupsi yang mewabah di
berbagai negara didasarkan karena tidak cukupnya gaji pegawai negeri. Minimnya
gaji yang didukung oleh faktor kondisi struktural dan lingkungan mengakibatkan
korupsi tumbuh subur. Untuk itulah, menurut Semma, korupsi dapat dipetakan
melalui dua sudut pandang yakni korupsi sebagai berasal dari individu itu sendiri
serta korupsi sebagai praktik sosial dalam sebuah sistem.
Gould dalam Semma menggambarkan korupsi menurut standar kaum
moralis dan sosialis. Kaum moralis memandang korupsi sebagai penyimpangan
individual, kegagalan moral individu yang berwatak lemah dan tidak terlatih
dengan baik. Individu melakukan korupsi karena ia sendiri tidak siap berhadapan
dengan realitas di luar dirinya. Berbeda dengan kaum moralis, kaum sosialis
justru memandang korupsi sebagai pengecualian atas peraturan dan gangguan
sistem. Sistem sosial dalam masyarakat diciptakan dalam keadaan yang isinya
14
menjadikan korupsi bersifat determinis. Setiap orang dalam sebuah sistem telah
melakukannya dengan senang hati.
Pope (2007 : 41) menjelaskan bahwa korupsi tumbuh subur dalam sistem
yang kaku dan penuh dengan hambatan dan sumber-sumber kekuatan monopoli
dalam pemerintahan. Perekonomian berencana yang berpusat dengan
harga–harga banyak berada di bawah tingkat harga yang membersihkan pasar
akhirnya mendorong orang untuk memberi suap sebagai cara untuk
mengalokasikan barang dan jasa yang terbatas.
Hal ini dijelaskan Pope bahwa korupsi tumbuh ketika terjadi peralihan
demokrasi ke ekonomi pasar. Dengan kata lain semangat kapitalis memungkinkan
terjadinya korupsi. Tercapainya tingkat keuntungan yang sebesar-besarnya
merupakan kekuatan yang memperkokoh korupsi. Pasalnya perusahaan akan
memberikan pikatan – pikatan menarik pada pihak lawan usaha.
Dalam masyarakat sosialis pun, sistem produksi yang tidak mendorong
suatu psikologi konsumerisme, juga mendorong terjadinya korupsi. Asumsinya,
seorang yang memiliki kekuasaan di masyarakat sosialis cenderung memegang
kekuasaan besar untuk memperbesar kekayaan pribadi. Dalam masyarakat sosialis
tidak ada sektor swasta dan semua keputusan ekonomi dibuat oleh negara atau
badan – badan dan perwakilannya.
Bentuk-bentuk korupsi menurut Benviste 7dipetakan dalam empat definisi
besar yakni discretionery corruption, illegal corruption, mercenery corruption,
7 Dikuti dari buku Negara dan Korupsi, Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia, dan Perilaku Politik, 2008, hal.43-44. Benviste mengungkapkan bahwa korupsi tidak
selamanya membawa dampak negatif. Korupsi juga melancarkan jalannya pelayanan aturan baku
struktur birokrasi. Korupsi dapat menjalin hubungan dan iktana informal antara para pejabat
15
dan ideological corruption. Discretionery corruption merupakan korupsi yang
dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun
tampaknya bersifat sah bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi.
Illegal corruption adalah suatu jenis tindakan yang membongkar atau
mengacaukan bahasa ataupun maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi
tertentu. Mercenery corruption adalah jenis korupsi untuk memperoleh
keuntungan individual/pribadi. Sementara ideological corruption adalah korupsi
yang dilakukan karena kepentingan kelompol karena komitmen ideologis
seseorang yang mulai tertanam di atasa nama kelompok tertentu. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa Benveniste menghubungkan korupsi sebagai tindakan individu
dengan sistem sosial masyarakat.
Bentuk korupsi yang dikenal masyarakat adalah gratifikasi dan suap.
Kedua istilah sama-sama merujuk pada pemberian seseorang terhadap pihak lain,
namun suap memiliki derajat yang lebih berat ketimbang gratifikasi. Gratifikasi
dinilai sebagai suap ketika pemberian seseorang berhubungan dengan jabatan
serta berlawanan dengan tugas atau kewajibannya. Ini juga yang disebut sebagai
gratifikasi ilegal.
Gratifikasi seperti yang dikemukakan dalam “Buku Saku Memahami
Gratifikasi” (2010:3) 8 adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian
birokrasi dengan sejumlah klien, membebaskan biokrasi dari peraturan dan pengaturan ketat, serta
memperkecil konflik yang terjadi dalam aktivitas organisasional. 8 Menurut “Buku Saku Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), gratifikasi merupakan salah satu jenis korupsi yang tercantum dalam UU No.31
Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Gratifikasi diatur dalam pasal 12B.
16
uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut diterima baik di dalam negeri maupun luar negeri dan
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana
elektronik.
Gratifikasi masih dinilai sebagai bentuk kewajaran lantaran kondisi sosial
masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa pemberian hadiah ini adalah
untuk merekatkan hubungan antar pihak satu dan lainnya. Gratifikasi ini memiliki
dampak negatif bilamana pemberian hadiah tersebut berkaitan dengan
tanggungjawab seseorang.
Gratifikasi yang terus menerus akan menimbulkan konflik kepentingan
pada salah satu pihak. Beberapa konflik kepentingan diantaranya penerimaan
gratifikasi dapat membawa kewajiban timbal balik sehingga menganggu
independensi, gratifikasi dapat berpengaruh pada objektivitas dan penilaian
profesional pada penyelenggaraan negara, dan penerimaan gratifikasi dapat
digunakan untuk mengaburkan korupsi. (Muhardiansyah, 2010:7)
Gratifikasi yang mengarah pada penyalahgunaan yang berkaitan dengan
tugas dan tanggungjawabnya seseorang dinamakan dengan suap. Kata suap
(bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang artinya adalah
begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin
disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar atau sepotong roti
yang diberikan kepada pengemis. Namun, perkembangan kemudian, bribe
bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya
17
dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau
hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara
jahat atau korup). 9
Pope (2007:37) membagi suap dalam empat kategori, yakni :
1. Kategori (1) yakni suap yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan
yang langka atau menghindari biaya. Suap kategori ini mencakup
keputusan birokrasi yang mengakibatkan pemberi suap mendapatkan
keuntungan , sedangkan orang lain menderita rugi. Misalnya :memperoleh
izin import atau ekspor, valuta asing, kontrak atau hak istimewa dari
pemerintah untuk menjalankan usaha tertentu; pembelian perusahaan
negara yang dijual pada pihak swasta; memperoleh layanan publik seperti
perumahan murah, dan sebagainya.
2. Kategori (2) yakni suap yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan
atau menghindari biaya yang tidak langka, tetapi memerlukan kebijakan
yang harus diputuskan oleh pejabat publik. Contoh suap dalam kategori ini
meliputi pengurangan pajak atau meminta bayaran lebih besar dalam hal
jumlah pemasukan tidak ditentukan secara pasti, menghindari kontrol
harga, memperoleh pelayanan publik apa saja (tunjangan), memberikan
lisensi atau surat izin hanya pada mereka yang dianggap memenuhi syarat,
dan lainnya.
3. Kategori (3), suap yang diberikan tidak untuk mendapatkan keuntungan
tertentu dari publik tetapi untuk mendapat layanan yang berkaitan dengan
9 Agustinus Edy Kristianto, http://www.harian-
global.com/index.php?option=com_content&view=-article&id =2612%3Asuap-korupsi-tanpa-
akhir&Itemid=91 diakses tanggal 21/1/2013
18
perolehan keuntungan atau menghindari resiko seperti layanan yang cepat
atau informasi dari orang dalam. Misalnya seperti yang terjadi di
Singapura ketika sebuah gabungan perusahaan dari negara pengeskpor
memeri suap untuk mendapatkan informasi dari orang dalam mengenai
kontrak – kontrak pemerintah, hingga akhirnya mereka masuk daftar hitan
pemerintah Singapura. Saat itu mereka mendapatkan layanan cepat dalam
surat menyurat, laporan audit yang menguntungkan sehingga pajak yang
dibayar tidak besar, dan layanan lainnya.
4. Kategori (4) yakni suap yang diberikan untuk mencegah pihak lain
mendapatkan bagian dari keuntungan atau untuk membebankan biaya pada
pihak lain. Contohnya adalah pada kasus – kasus pelaku bisnis ilegal yang
membayar penegak hukum untuk menyerbu pesaingnya. Pemilik usaha
legal mencoba agar pada para pesaingnya diperlakukan peraturan yang
ketat atau mencoba membujuk pejabat agar tidak memberikan lisensi pada
pesaingnya.
Berdasarkan penjelasan dalam ranah hukum, suap adalah bentuk
gratifikasi ilegal. Di bawah ini merupakan perbedaan antara gratifikasi legal dan
ilegal mengutip dari “Buku Saku Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh
Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).
19
Tabel 1.1 Perbedaan Gratifikasi/ Hadiah Legal dan Gratifikasi Ilegal/Suap
Karakteristik Gratifikasi Legal Gratifikasi Ilegal/Suap
Tujuan/Motif
Pemberian
Dilakukan untuk
menjalankan hubungan
baik, menghormati
martabat seseorang,
memenuhi tuntutan
agama, dan
mengembangkan berbagai
bentuk perilaku simbolis
(diberikan karena alasan
yang dibenarkan secara
sosial)
Ditujukan untuk
mempengaruhi keputusan
dan diberikan karena apa
yang dikendalikan/dikuasai
oleh penerima ( wewenang
yang melekat pada jabatan,
sumber daya lainnya).
Hubungan antara
pemberi dan
penerima
Setara Timpang
Hubungan yang
bersifat strategis
Umumnya tidak ada Pasti ada
Timbulnya konflik
kepentingan
Umumnya tidak ada Pasti ada
Situasi Pemberian Acara-acara yang sifatnya
sosial yang berakar pada
adat istiadat dan peristiwa
kolektif
Bukan merupakan peristiwa
kolektif meski bisa saja
pemberian diberikan dalam
acara sosial
Resiprositas (Sifat
Timbal Balik)
Bersifat ambigu dalam
perspektif bisa resiprokal
dan kadang – kadang
tidak resiprokal
Resiprokal secara alami
Kesenjangan waktu Memungkinkan
kesenjangan waktu yang
panjang pada saat
pemberian kembali
Tidak memungkinkan ada
kesenjangan waktu yang
panjang
20
(membalas pemberian)
Sifat Hubungan Aliansi sosial untuk
mencari pengakuan sosial
Patronase dan seringkali
nepotisme dan ikatan serupa
ini penting untuk mencapai
tujuan
Ikatan yang terbentuk Sifatnya jangka panjang
dan emosional
Sifatnya jangka pendek dan
transaksional
Kecenderungan
adanya sirkulasi
barang/produk
Terjadi sirkulasi
barang/produk
Tidak terjadi sirkulasi barang
/ produk.
Nilai/hargapemberian Menitikberatkan pada
nilai intrisik sosial
Menekankan pada nilai
moneter
Metode Pemberian Umumnya langsung dan
bersifat terbuka
Umumnya tidak langsung
(melalui agen/perantara) dan
bersifat tertutup / rahasia.
Mekanisme
penentuan nilai/harga
Berdasarkan
kewajaran/kepantasan
secara sosial (masyarakat)
Ditentukan oleh pihak-phak
yang terlibat.
Akuntabilitas Sosial Akuntabel dalam arti
sosial
Tidak Akuntabel secara
sosial
Sumber : KPK
1.4.1.1 Suap di Media
Korupsi atau suap juga terdapat dalam profesi jurnalisme. Pope
(2007:223) menjelaskan bahwa media merupakan instrumen yang memiliki
peranan khusus dan “titik – titik lemah” dalam perang melawan korupsi. Politisi
dan pegawai negeri mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan
21
jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko
perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan dalam pers.
Media merupakan pilar penting dalam sistem negara. Media menjadi anjing
penjaga atau watchdog dalam kebijakan pemerintah sekaligus jembatan antara
pemerintah dengan masyarakatnya. Media menjadi pusat informasi bagi
masyarakat dan bertanggungjawab atas informasi yang benar. Untuk itulah, suap
menjadi praktik lumrah yang terjadi karena media dianggap bisa mendistorsikan
informasi pada publiknya.
Suap yang terjadi di media, menurut H. Eugene Goodwin dalam bukunya
Grouping For Ethic in Journalism, adalah memberikan pekerja media sebuah
hadiah. Hadiah membuat jurnalis tidak bijaksana atau akan terlibat dalam sebuah
kepentingan tertentu sehingga dirinya tidak independen.
Pemberi hadiah sendiri disebut seducer atau penipu. Goodwin
mengasumsikan bahwa hadiah yang diberi nara sumber adalah bentuk tipuan nara
sumber agar jurnalis bisa menuliskan hal yang baik tentang institusinya.
Berdasarkan pengertian di atas, suap yang terjadi di media bila dikaitkan
dengan pengertian korupsi dalam ranah hukum, lebih mengarah pada definisi suap
bukan gratifikasi. Suap di media cenderung berkaitan dengan pemberian
seseorang yang berkaitan tugas dan tanggungjawab seorang jurnalis. Hal ini dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Berdasarkan tujuannya, suap bisa mempengaruhi keputusan jurnalis
dalam membuat pemberitaan.
22
b. Hubungan antara pemberi dan penerima bersifat timpang sehingga ada
kewajiban dari penerima untuk melakukan timbal balik.
c. Tidak menutup kemungkinan ada hubungan strategis antara pemberi dan
penerima untuk mendapatkan sesuatu.
Bila ditelaah dari definisi Goodwin, tindakan suap adalah tindakan yang
berbahaya bila dilakukan oleh seorang jurnalis. Hal ini juga sesuai dengan konteks
situasi masyarakat Amerika dimana profesi jurnalis sangat dijunjung tinggi.
Bilamana ada jurnalis yang terbukti menerima suap, maka ia bisa dilepaskan dari
profesinya atau dikucilkan dalam masyarakat.
1.4.1.2 Jenis Suap di Media
Goodwin menuliskan tentang hadiah dari nara sumber yang terjadi dalam
praktik jurnalisme Amerika. Hadiah ini sudah marak diterima redaksi Amerika
sejak tahun 1980-an. Klasifikasi hadiah diantaranya :
1. Freebies. Pemberian dari nara sumber tanpa bayaran tertentu. Bentuk-
bentuk freebies yakni kartu ucapan Natal; tiket gratis ke teater, sirkus,
serta pertandingan baseball; undangan makan dan minum gratis, kalender,
pensil, dan lainnya. Aktor dari freebies yakni kantor –kantor publik,
potikus, pemerintah, serta instansi terhormat. Cara mereka memberikan
freebies pun bermacam-macam seperti mengirimkan kartu natal ke kantor,
mengajak langsung jurnalis/editor untuk makan gratis dan minum wine
sambil membicarakan persoalan negara, serta memberi tiket gratis pada
jurnalis dan fotografer untuk meliput acara.
23
2. Junkets. Pemberian nara sumber yang lebih berbahaya daripada freebies.
Junkets adalah tiket jalan-jalan gratis dengan memberikan akomodasi
penuh (penginapan, transportasi,makan,dan lainnya) pada jurnalis atau
editor. Aktor dari pemberi junkets adalah perusahaan pribadi/publik
(perusahaan penerbangan, kapal, hotel, agensi turis, dan lainnya) serta
pemerintah. Maksud pemberian junket adalah publisitas dari perusahaan
mereka. Di Amerika, junkets juga kental diberikan pada reporter olahraga
dan politik karena mereka seringkali harus meliput peristiwa olahraga di
luar kota atau mengikuti kampanye politik.
3. Perks.Pemberian ini seperti tiket parkir gratis, ruangan kerja/press room di
gedung pemerintahan, kartu pers khusus dari polisi/pemerintah untuk
daerah khusus, diskon khusus mobil baru atau keanggotan dalam
organisasi, serta diskon buku yang akan direview perusahaan media.
Pope (2007:223) menambahkan bahwa suap dalam profesi jurnalisme
terjadi dalam berbagai bentuk. Di Meksiko dan India misalnya, banyak wartawan
yang mendapatkan imbalan uang dari lembaga-lembaga yang mereka liput untuk
tambahan gaji mereka yang kecil. Di Inggris pun pada tahun 2005 tercatat bahwa
dua orang wartawan tabloid dipecat karena menyalahgunakan kedudukan mereka
sebagai wartawan peliput bidang keuangan. Mereka membeli saham dan
kemudian menerbitkan tulisan-tulisan yang mendorong harga saham mereka naik
ke tingkat yang tinggi sekali.
24
Sementara itu, Fedler dalam bukunya berjudul Reporting for the Media
dalam Roffiudin (2012:48) menyebutkan bahwa hadiah dari narasumber
berpengaruh pada berita yang dihasilkan oleh jurnalis. Ia mengatakan bahwa
hadiah merupakan salah satu bentuk dari konflik kepentingan tertentu. Fedler
mengurai ada enam bentuk konflik kepentingan itu, yakni.
1. Hadiah atau freebies, yaitu segala sesuatu yang diberikan oleh
narasumber kepada wartawan untuk mempengaruhi pemberitaan.
2. Junkets atau jalan-jalan gratis dimana narasumber mengajak wartawan
untuk meliput sebuah acara dengan fasilitas gratis.
3. Terlibat dalam kegiatan yang diliput yakni mengingat seringnya
wartawan meliput kegiatan kantor publik maka wartawan bisa saja
dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Misalnya dalam press tour di
beberapa instansi pemerintahan, mengikuti kunjungan kerja
pemerintahan, dan lainnya.
4. Freelancing atau pekerjaan kedua atau sampingan yang dilakukan
wartawan. Dengan bekerja di institusi lain, maka tak menutup
kemungkinan jurnalis tersebut akan terlibat dalam kepentingan
tertentu.
5. Pillow talk yakni konflik kepentingan yang terkait dengan pekerjaan
suami atau istri wartawan. Seorang wartawan akan sulit obyektif bila
meliput peristiwa yang terkait dengan keluarganya sendiri.
6. Amplop yakni usaha sumber berita yang ingin mempengaruhi
wartawan dengan menggunakan amplop.
25
Di Indonesia, merujuk pada definisi suap yang tertuang dalam Kode Etik
Jurnalistik pasal 6b, suap pun dipahami sebagai segala pemberian dalam bentuk
uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Berdasarkan definisi ini, Pengamat Media, Atmakusumah Astraatmadja
menjabarkan kategori suap, yaitu10
:
1. Pemberian (gratis) kepada wartawan berupa karcis / tiket pertunjukan
kesenian (musik, film, teater, tari, dsb) untuk keperluan promosi atau
resensi dari pihak yang terlibat dalam pertunjukan tersebut.
2. Pemberian berupa karcis/tiket pertandingan olahraga untuk keperluan
pemberian atau ulasan dari pihak yang terlibat dalam pertandingan
tersebut.
3. Ditraktir oleh nara sumber berupa makan minum secara mewah atak agak
mewah.
4. Pemberian nara sumber berupa hadiah barang yang berharga mahal atau
agak mahal.
5. Penyediaan fasilitas yang berlebihan secara gratis di ruang pers kantor-
kantor pemerintah/perusahaan negara/swasta atau lembaga negara/swasta,
lengkap dengan perangkat komputer serta pesawat telepon yang bisa
digunakan tanpa batas. Lebih – lebih jika ditambahi dengan sarapan,
makan siang atau makan malam serta kudapan yang serba gratis.
10
Wawancara Atmakusumah, 2 Januari 2012
26
6. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa luar kota dengan
fasilitas (transport, penginapan, dan konsumsi) yang disediakan atau
dijamin pengundang.
7. Undangan dari nara sumber dengan berbagai fasilitas dan akomodasi plus
uang saku dari pengundang.
8. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa dalam negeri dengan
fasilitas (transportasi, penginapan, dan konsumsi) plus uang saku dari
pengundang.
9. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa di luar negeri dengan
fasilitas (transpor, penginapan, dan konsumsi ) plus uang saku dari
pengundang.
10. Pemberian amplop (berisi uang) dari nara sumber antara lain dalam
konferensi pers atau briefing atau pada saat melakukan wawancara tanpa
ikatan janji apapun antara kedua belah pihak.
11. Pemberian tiket/karcis dari nara sumber kepada wartawan untuk “pulang
kampung” atau berwisata, sendirian atau bersama keluarga. Lebih lagi jika
ditambah uang saku.
12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menyangkut biaya
“pembinaan” pers dan wartawan – di luar anggaran untuk program
kegiatan bagian hubungan masyarakat (humas) kantor-kantor pemerintah
daerah yang bukan “amplop wartawan”.
13. Suap/sogokan dengan ikatan janji untuk memberitakan atau sebaliknya,
untuk tidak memberitakan sesuatu sesuai dengan permintaan pihak
27
penyuap. Penyuapan atau penyogokan dapat berupa uang, barang dan
pemasang iklan, atau jabatan dan kedudukan, serta fasilitas lain bagi
wartawan dan perusahaan pers.
1.4.2 Faktor – Faktor Penyebab Suap di Media
Menurut Agee, Warren K.,dkk (1994:192) penegakan profesionalitas dan
etika media dipengaruhi oleh lima faktor yakni:
a. Practise of individual media personal yakni berkaitan dengan publisher,
reporter,editor, pemilik media, direktur pemberitaan, editor film, dan
lainnya dalam kinerjanya sebagai pemberi informasi. Untuk
menyampaikan informasi, individu ini akan dipengaruhi oleh keempat
faktor lainnya.
b. Standars of individual media yakni peraturan, kode etik, asumsi tidak
tertulis, tradisi, serta asumsi tidak tertulis dalam perusahaan media
masing-masing.
c. Professional and industry standars of conduct yakni peraturan dan kode
etik dari organisasi-organisasi yang membawahi perusahaan media.
d. Philosophies and laws under which goverments operate yakni filosofi pers
yang dianut sebuah negara yang dituangkan dalam undang-undang atau
peraturan.
e. Outer limit of what the public will permit yakni kekuatan masyarakat
sebagai penilai atau pengamat.
Kelima faktor ini dapat digambarkan sebagai berikut
28
Gambar 1.1 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Profesionalitas Media dan Etika Media
Praktik suap berkaitan dengan etika media. Etika sendiri merupakan
pengetahuan yang membahas ukuran kebaikan atau kesusilaan perilaku manusia
dalam masyarakat (Siregar, 1987:1). Etika ini menjadi bagian dari tugas
profesional jurnalis karena prinsip-prinsip etis harus dipakai dalam penyajian
kebenaran informasi.
Berkaitan dengan lima faktor di atas, peneliti menurunkan masing-masing
konsep dalam variabel. Penurunan ini dikakukan untuk mempermudah peneliti
dalam melakukan analisis faktor-faktor penyebab suap di kalangan jurnalis.
1. Komitmen individu dalam penegakan etika profesi : perjanjian atau
keterikatan individu dalam melakukan sesuatu atau dalam hal ini lebih
pada keterikatan individu dalam menegakkan etika profesinya.
Komitmen individual bisa menyebabkan suap ketika seorang individu
merasa bahwa suap itu bukanlah tindakan yang jelek. Derajat
29
komitmen ini tergantung pada diri individu masing-masing, apakah
memang tinggi ataukah rendah. Asumsinya, ketika komitmen rendah
terhadap etika profesi, ia akan lebih mudah melakukan suap. Namun
sebaliknya ketika komitmennya tinggi, ia akan lebih menghormati
etika profesinya.
2. Kode perilaku perusahaan soal suap. Kode perilaku merupakan
turunan dari kode etik. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu
dan bersalah yang keluar dari hati nurani seseorang, sedangkan kode
perilaku berfungsi sebagai dasar menejemen organisasi media dalam
penilaian dan keputusan atas karir profesional seorang personel
jurnalisme. Ketika sebuah perusahaan tidak memiliki kode perilaku
perusahaan, maka akan mengakibatkan pekerjanya lebih mudah
melakukan suap. Dengan adanya kode perilaku perusahaan, komitmen
individu untuk tidak melakukan suap akan makin tinggi sebab
perusahaan turut menciptakan iklim kedisplinan.
3. Kontrol organisasi profesi. Kontrol berkaitan dengan pengawasan.
Kontrol organisasi profesi berkaitan dengan pengawasan yang
dilakukan organisasi profesinya terhadap praktik suap yang dilakukan
oleh anggotanya. Di Indonesia, ada dua jenis organisasi profesi besar
yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI). Dua organisasi profesi ini memiliki anggota dari
berbagai jenis media baik cetak, online, radio, serta televisi.
30
Dua organisasi profesi yang berbeda akan melahirkan kontrol yang
berbeda pula. Menilik dari sejarah berdiri, organisasi profesi AJI
memang ingin menegakkan etika profesi. AJI membuat kode etik
sendiri dengan sanksinya serta melakukan pengawasan pada
anggotanya. AJI pun menghidupkan kultur organisasi dengan berbagai
pelatihan untuk menegakkan etika profesi di kalangan anggotanya.
berdasarkan hipotesa peneliti, AJI lebih ketat melakukan kontrol
terhadap masalah suap ketimbang PWI. Jumlah anggota AJI yang
melakukan suap jumlahnya tidak sebesar dari PWI.
4. Tekanan komersial. Tekanan merupakan desakan, sedangkan
komersial berkaitan dengan sesuatu yang diperdagangkan. Tekanan
komersial ini berkaitan dengan situasi pers Indonesia saat ini yang
mengarah pada kepentingan bisnis. Akibatnya media seringkali
mengejar keuntungan dan kurang memperhatikan standar-standar
jurnalistik yang ada.
Semakin perusahaan mengejar keuntungan, maka anggotanya
cenderung mudah untuk menerima suap. Sebab, suap dari nara sumber
menjadi ladang untuk meningkatkan pendapatan media. Lebih lagi
ketika perusahaan media memiliki modal rendah.
5. Sanksi sosial dalam masyarakat. Sanksi merupakan tanggungan bisa
berupa tindakan atau hukum untuk memaksa orang menempati
perjanjian atau menaati aturan. Sanksi bisa bersifat positif maupun
negatif dalam ranah hukum. Sanksi positif berupa hadiah atau
31
anugerah, sedangkan sanksi negatif berupa pembebanan maupun
hukuman. Suap dalam penelitian ini lebih pada sanksi negatif yang
diterima oleh individu. Kurang atau tidak adanya sanksi sosial
masyarakat menyebabkan individu jurnalis semakin gencar melakukan
praktik suap.
1.4.3 Efek Bias Pada Berita
Tindakan suap yang dilakukan oleh jurnalis bisa berpengaruh pada
produk berita yang dibuatnya. Berita jurnalistik adalah konstruksi seorang
jurnalis terhadap sebuah peristiwa dengan memperhatikan nilai berita
(news value). Berita jurnalistik menjadi cermin performance media.
Menurut McQuail dalam Rahayu (2006:6), berita jurnalistik adalah berita
yang objektif. Berita disebut objektif bila mengandung unsur factuality
(faktualitas) dan impartiality (tidak berpihak). Faktualitas adalah kualitas
informasi yang dikandung suatu berita. Faktualitas memiliki tiga aspek
yakni kebenaran (truth), informatif (informativeness), dan relevansi
(relevance).
Unsur kedua adalah impartiality yang berkaitan dengan isu apakah
teks berita secara sistematis menonjolkan satu sisi di atas yang lain ketika
berkenaan dengan isu-isu kontroversial dengan tujuan mengarahkan
pembaca pada konsisten ke arah tertentu. Impartiality ini terdiri dari dua
aspek yakni balance dan neutrality. Balance adalah keseimbangan dalam
pemberitaan. Balance berhubungan dengan seleksi dan substansi berita.
32
Sedangkan neutrality berhubungan dengan presentasi fakta itu sendiri
yang dapat dievaluasi dari penggunaan kata – kata, citra, dan frames of
reference yang bersifat evaluatif dan juga penggunaan gaya presentasi
yang berbeda. (Rahayu, 2006:10).
Berdasarkan unsur-unsur di atas, berita dapat dibagi dalam dua
dimensi yaitu dimensi informasi dan dimensi evaluatif. Dimensi informasi
lebih memfokuskan pada fakta sehingga tampak dalam teks berita.
Dimensi ini tidak mempermasalahkan konteks di luar fakta. Sedangkan
dimensi evaluatif lebih fokus pada konteks sebuah fakta.
Praktik suap sangat erat dengan dimensi evaluatif pada berita
karena berkaitan dengan konteks sebuah fakta. Kedekatan jurnalis dengan
nara sumber terutama yang memiliki kekuasaan membuat jurnalis
cenderung sulit untuk profesional. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Bob Franklin dalam Adiputra (2006:72).
The spheres of journalism and goverment increasingly overlap as journalist and
politicians hace grown mutually reliant, with each pursuing goals which can
only b achieved with some degree of cooperation from the other. Contra the
image of journalist as independents of goverment, many observers consider it
more an accurate to decribe their relationship as collusive.
Dimensi evaluatif terdiri dari dua komponen yakni keseimbangan
(balance) dan netralitas (netrality). Keseimbangan diartikan sebagai
elemen penting dalam organisasi media karena masalah independensi
ditegaskan. Sedangkan netralitas berkaitan dengan proses seleksi dan
substansi seluruh berita.
33
Fakta dalam pemberitaan diberi makna dan nilai atau yang dikenal
dengan evaluasi berita. Kecenderungan evaluatif memiliki tiga aspek
yakni positif, netral, dan negatif yang beroperasi dengan dua cara.
Pertama, keseimbangan dalam hal seleksi dimana aspek positif, netral, dan
negatif dipengaruhi oleh seleksi salah satu elemen dalam berita yakni
aktor. Seleksi yang meletakkan aktor pro fakta dalam pemberitaan
menyebabkan berita tidak seimbang. Aspek kedua adalah arah evaluasi
pemberitaan yakni mengarahkan fakta pada asosiasi tertentu baik langsung
maupun tidak langsung.
1.5 KERANGKA KONSEPTUAL
1.5.1 Anatomi Suap di Media
Suap di media berdasarkan kerangka teori adalah hadiah. Bila dirujuk
pada konsep hukum, hadiah merupakan gratifikasi yang tidak berkaitan dengan
motif tertentu. Gratifikasi dimaknai hal yang wajar dan sebagai perekat hubungan.
Dalam penelitian ini, suap disamakan dengan hadiah yang diterima oleh
jurnalis baik yang ada hubungannya dengan subtansi tulisan maupun tidak. Suap
tidak hanya dipahami sebagai uang, namun segala sesuatu hadiah ( uang, barang,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan fasilitas cuma – cuma
lainnya) yang diberikan pada jurnalis. Suap ini bisa memiliki motif kewajaran,
membina hubungan tanpa tendensi, serta maksud tertentu yang berkaitan dengan
tugas dan tanggungjawab jurnalis.
34
Suap atau hadiah ini memiliki derajat yang berbeda. Hadiah yang
diberikan terus menerus oleh salah satu pihak, akan menimbulkan konflik
kepentingan. Konflik kepentingan ini menyebabkan jurnalis harus memberikan
timbal balik pada pemberi. Biasanya timbal balik ini berupa berita positif dari
pemberi.
Anatomi suap berkaitan dengan uraian mendalam tentang suap. Uraian
mendalam ini akan dilihat dari jenis-jenis suap dan pelaku suap.
1.5.1.1 Jenis – Jenis Suap
Berdasarkan definisi di atas, peneliti menggabungkan jenis suap yang
dikemukakan Oleh Goodwin di Amerika Serikat dengan jenis suap di Indonesia
yang dikemukakan oleh Atmakusumah. Jenis – jenis suap di kalangan jurnalis
yaitu:
a. Freebies : pemberian dari nara sumber tanpa bayaran tertentu seperti
tiket gratis (menonton, pertandingan, dan lain-lain), undangan makan
dan minum gratis, buku, kalender, pensil, kartu ucapan selamat, parcel,
amplop saat jumpa pers, dan pemberian lainnya.
b. Junkets: diartikan sebagai pekerjaan jurnalis yang diselingi dengan
berpesiar. Beberapa kategorinya yakni tiket jalan-jalan gratis dengan
memberikan akomodasi penuh (penginapan, transportasi, makan, dan
lainnya) pada jurnalis baik di luar kota maupun luar negeri dengan
uang saku. Biasanya sembari jalan-jalan gratis atau beriwisata, jurnalis
“sengaja” diberi objek wisata yang bisa diliput.
35
c. Perks: lebih pada tunjangan pada jurnalis. Kategori perks diantaranya,
ruangan kerja/press room di gedung pemerintahan serta anggaran
APBD daerah yang diperuntukkan untuk jurnalis (meliputi uang dalam
jumpa pers, press tour, Tunjangan Hari Raya (THR), dan lainnya).
d. Freelancing atau pekerjaan kedua atau sampingan yang dilakukan
wartawan. Pekerjaan sampingan jurnalis misalnya pencari iklan.
e. Suap/sogokan yakni ikatan janji untuk memberitakan atau sebaliknya,
untuk tidak memberitakan sesuatu sesuai dengan permintaan pihak
penyuap. Penyuapan atau penyogokan dapat berupa uang, barang dan
pemasang iklan, atau jabatan dan kedudukan, serta fasilitas lain bagi
wartawan dan perusahaan pers.
Dalam penelitian ini, anatomi suap tidak hanya dipahami dari jenis suap
semata, melainkan akan dikaji dari dari pelaku suap. Pelaku suap akan dibagi
dalam beberapa kategori yakni:
a. Lama bekerja, merujuk pada seberapa lama seorang individu menekuni
profesi jurnalisnya. Asumsinya bahwa, semakin individu lama menjadi
jurnalis (lebih dari 10 tahun), maka wartawan akan semakin tinggi
profesionalitasnya. Salah satunya adalah dalam mematuhi kode etik
jurnalistik yakni tidak melakukan suap.
Kategori lama bekerja ini merujuk pada klasifikasi profesional
yang ditetapkan oleh Dewan Pers yakni wartawan muda (1-5tahun),
36
madya (6-10 tahun), dan tua (lebih dari 10 tahun). Dalam penelitian
ini peneliti membagi kategori menjadi dua yakni muda dan madya/tua.
b. Gaji jurnalis, merujuk pada penghasilan diterima oleh jurnalis.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, gaji dan kesejahteraan
wartawan yang kecil menjadi pembenar wartawan menerima amplop.
Dalam kategori ini, peneliti membagi dua yakni wartawan dengan gaji
rendah (< Rp 1.500.000,-) dan gaji tinggi (> Rp 1.500.000,-). Besaran
ini didasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yakni sebesar Rp981.765,-
c. Status Pekerja, merujuk pada hubungan ketenagakerjaan antara
wartawan dengan perusahaan media. Status pekerjaan wartawan
menurut Masduki (2005:43) yakni wartawan tetap (diangkat secara
resmi oleh perusahaan media dengan target dan kualitas berita tertentu
dan mendapatkan tunjangan dari perusahaan ), koresponden/freelance
(wartawan yang dikontrak dalam jangka waktu tertentu untuk
melakukan peliputan tertentu). Asumsinya, wartawan tetap yang sudah
mendapatkan gaji rutin beserta tunjangannya akan menghindar praktik
suap.
d. Wilayah bekerja, merujuk pada pos-pos wilayah tempat wartawan
bekerja. Pos wilayah ini berdasarkan bidang – bidang liputan seperti
politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya. Dalam kategori ini,
peneliti akan mengambil proposisi wartawan yang aktif meliput berita
politik dan non politik. Berita politik cenderung diliput oleh wartawan
37
yang memiliki pos di pemerintahan (Pemerintah kota, daerah, provinsi)
dan non pos pemerintahan (instansi pendidikan, budaya, ekonomi).
1.5.2 Faktor – Faktor Penyebab Suap di Kalangan Jurnalis
Faktor penyebab suap di kalangan jurnalis dalam penelitian ini
akan dilihat dari lima faktor. Lima faktor ini adalah:
1. Komitmen individual dalam penegakan etika profesi: keterikatan
jurnalis pada profesi jurnalis. Jurnalis menghormati profesinya dengan
melakukan tugas dan tanggungjawabnya sesuai kode etik jurnalistik.
Semakin jurnalis memiliki komitmen tinggi untuk menegakkan profesi,
maka ia cenderung tidak melakukan suap.
2. Kode perilaku (code of conduct) perusahaan soal suap. Kode perilaku
adalah turunan dari kode etik jurnalistik yang dirumuskan oleh institusi
pers dan dirumuskan dalam style book. Code of conduct ini menjadi
buku acuan jurnalis soal sejauh mana ia harus bertindak sesuai
profesinya. Asumsinya ketika kode perilaku ini tidak dimiliki
perusahaan, maka pekerjanya akan lebih mudah melakukan suap.
3. Kontrol organisasi profesi berkaitan dengan pengawasan yang
dilakukan organisasi profesi. Pengawasan ini bisa dilakukan dengan
berbagai hal diantaranya penerapan kode etik organisasi profesi dan
sanksinya, memberikan pelatihan atau sosialisasi terus menerus soal
penegakan etika, menciptakan iklim organisasi profesi yang taat pada
etika, dan sebagainya.
38
4. Tekanan komersial berkaitan dengan bagaimana perusahaan
menempatkan kepentingan masyarakat (memberi informasi yang benar)
dengan kepentingan pasar. Tekanan komersial seringkali menjadi faktor
sebuah perusahaan media lebih memilih kepentingan pasar (asumsi
berita kurang memenuhi nilai berita) dalam proses pemberitaan. Hal ini
dipicu pula bahwa kepentingan pasar merupakan sarana pemasukan
bagi media. Bila tekanan komersial tinggi, maka media cenderung
mengedepankan iklan, begitu pula sebaliknya.
5. Sanksi sosial dalam masyarakat berupa hukuman yang diberlakukan
oleh masyarakat ketika seorang jurnalis melakukan tindakan suap.
Sanksi sosial yang tinggi membuat jurnalis tidak berani melakukan
suap.
1.5.3 Efek Bias Pada Berita
Berita adalah produk jurnalistik berdasarkan fakta di lapangan. Fakta
tersebut dikonstruksi sedemikian rupa hingga membentuk sebuah cerita faktual
yang memenuhi kaidah jurnalistik. Kaidah jurnalistik memenuhi beberapa
unsur yaitu:
a. Unsur penulisan 5W+1H dalam penyajian fakta (what: apa fakta/peristiwa
yang diliput, when: kapan peristiwa tersebut terjadi, where: dimana
peristiwa itu terjadi, who: siapa saja yang terlibat dalam peristiwa, why:
mengapa peristiwa terjadi, dan how: bagaimana deskripsi peristiwa
tersebut).
39
Penulisan 5W+1H ini merangkum sejumlah informasi yang diliput
oleh jurnalis. Informasi ini harus memiliki aspek kebenaran, informatif,
dan relevan dengan peristiwa yang ditulis.
b. Pada level teknikalitas, tujuan kerja jurnalis, yaitu:
Tabel 1.2. Tujuan Kerja Jurnalis Pada Level Teknikalitas
Sikap Jurnalis Maksud Jurnalis Tujuan Jurnalisme
Tidak
berpihak/impartiality
Seimbang/balance 1. Objektif
2. Benar
Netralitas Adil/fairness
Siregar (Tanpa Tahun)
Unsur tidak berpihak atau seimbang berkaitan dengan cara jurnalis
bisa menempatkan fakta itu secara seimbang. Artinya, pihak yang terlibat
mendapatkan porsi yang seimbang untuk berpendapat sesuai peristiwa yang
terjadi. Inilah yang disebut dengan cover both side. Lebih lagi ketika ada
sebuah konflik, jurnalis tidak hanya mewawancari yang berkonfrontasi
langsung, melainkan semua pihak yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Dalam aspek ini, pemberitaan tidak menguntungkan salah satu pihak
dengan cara apa pun.
Keseimbangan ini dilihat dari tiga elemen yakni source bias atau
penampilan satu sisi dalam pemberitaan. Kedua, tidak ada slant atau
40
kecenderungan dalam pemberitaan, dan ketiga adalah kehadiran berbagai
bentuk ketidakseimbangan pemberitaan seperti representasi nara sumber,
representasi aktor, pemakaian kata atau kalimat hiperbola, serta kuantitas
data dan fakta yang dibutuhkan dalam menyampaikan berita.
(Rahayu, 2006:25)
Sedangkan aspek netralitas berkaitan dengan cara jurnalis
menampilkan sebuah fakta tanpa berpihak pada salah satu pihak yang
berkepentingan. Untuk itulah, jurnalis tidak boleh terlibat dalam konflik
kepentingan. Dalam aspek netralitas ini, jurnalis tidak bisa memberikan
penilaian (non-evaluative) dan tidak melebih-lebihkan berita (non
sensasional. Penilaian yang dimaksudkan adalah penilaian secara positif
ataupun negatif.
Dalam pemberitaan, aspek netralitas dapat diukur dari dari
sensasionalisme (bagaimana wartawan ingin membuat sensasi yakni
dengan emosional dan dramatisasi), stereotype (pemberian atribut tertentu
terhadap individu, kelompok atau bangsa tertentu dalam penyajian berita),
juxtaposition (cara wartawan menyandingkan dua fakta yang berbeda
dengan maksud menimbulkan efek kontras yang menambah kesan
dramatis), dan linkages (cara wartawan menyandingkan dua fakta yang
berbeda untuk menimbulkan efek asosiatif). (Rahayu, 2006:26).
41
1.6 DESAIN PENELITIAN
1.7 METODOLOGI PENELITIAN
1.7.1 Studi Kasus Sebagai Metode Penelitian
Robert K. Yin dalam Rianto (2008:82) mendefinisikan bahwa studi kasus
adalah sebagai suatu penelitian empiris yang menyelidiki fenomena dalam
konteks ke4hidupan nyata, bilamana batas – batas antara fenomena dengan
konteks tidak tampak tegas dan dimana multisumber bukti digunakan. Studi kasus
digunakan dalam penelitian untuk menjawab pertanyaan “how” dan “why”.
Studi kasus merupakan studi yang dilakukan untuk mencari kedalaman
penjelasan atas kasus yang diteliti, digunakan untuk kasus yang
Faktor Penyebab Suap
1. Komitmen individual
2. Kode etik perilaku perusahaan
3. Kontrol organisasi profesi
4. Tekanan komersial
5. Sanksi sosial dalam masyarakat
Praktik Suap
di Kalangan
Jurnalis
Jenis – jenis
Suap di Media
Pelaku suap
42
spesifik(mempunyai keunikan atas konteks ilmiah, sejarah, lingkungan fisik,
konteks ekonomi, politik, sosial, estetika), dibatasi oleh waktu, dan dalam proses
pengumpulan datanya menggunakan banyak ragam sumber. (Rianto,2008:82).
1.7.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini berfokus pada jurnalis di
Yogyakarta. Populasi jurnalis di Yogyakarta belum bisa diidentifikasikan oleh
peneliti. Peneliti hanya dapat mengidentifikasi jurnalis yang masuk dalam
organisasi profesi khususnya AJI dan PWI. Anggota AJI hingga Januari 2013 ini
tercatat 80 orang, sedangkan anggota PWI tercatat 518 hingga Januari 2013.
Sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 orang. Jumlah ini
memang tidak mewakili populasi jurnalis di Yogyakarta. Peneliti memilih jumlah
tersebut lantaran tema ini bukanlah tema yang mudah untuk diangkat. Peneliti
harus mendekati satu persatu responden agar responden mau berterus terang. Oleh
karenanya teknik pengambilan sampel ini menggunakan snowbowling bukan
random sampling.
Dengan jumlah sample tersebut, peneliti memang tidak bisa melakukan
klaim secara keseluruhan. Hanya saja, sampel tersebut bisa mengungkap atau
memberikan gambaran soal praktik suap di kalangan jurnalis serta faktor-faktor
penyebabnya.
Selain jurnalis, untuk lebih memperdalam penelitian ini, peneliti juga
melakukan wawancara dengan dua humas yang terdiri dari humas pemerintahanan
dan humas pendidikan yang dalam kasus ini sebagai penyuap, Sihono sebagai
43
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta, serta pengamat media
Atmakusumah.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti adalah
a. Dokumentasi : merupakan objek rencana-rencana pengumpulan data
eksplisit diantaranya laporan penelitian, dokumen,serta artikel yang
muncul di media massa.
b. Metode wawancara mendalam (indept-interview), suatu cara
mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap
muka agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara
mendalam dipilih karena tema ini tidak bisa dijawab dengan kuesioner.
Teman suap membutuhkan kejujuran dari narasumber. Dengan
wawancara mendalam, nara sumber memiliki kebebasan secara
terbuka untuk menceritakan pengalamannya.
c. Observasi langsung: mengamati langsung objek yang diteliti di
lapangan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena riset.
d. Observasi partisipan: peneliti ikut berpartisipasi untuk mengambil
peran dalam situasi tertentu dan berpatisipasi dalam peristiwa yang
akan diteliti.
44
1.7.4 Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy
(2004:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasi data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada
orang lain. Data kualitatif adalah data–data yang berupa kata-kata, kalimat-
kalimat atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam
maupun observasi.
Tahapan analisis data kualitatif dalam Rachmat (2010:197) adalah sebagai
berikut. Data terkumpul dari hasil wawancara, observasi, dokumen-dokumen, dan
sebagainya. Data tersebut akan diklarifikasi dan dikategorikan dalam kategori
tertentu. Periset benar-benar memilah data yang kurang valid serta mendialogkan
data satu dengan yang lain. Setelah itu, peneliti akan melakukan pemaknaan
terhadap data berdasarkan prinsip dasar riset kualitatif bahwa realitas adalah hasil
konstruksi realitas. Periset pun akan berteori untuk mempertahankan argumentasi
dan akhirnya memberikan kesimpulan.