bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
“Merdeka itu tak hanya berarti bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tetapi juga kuat dan mampu berdiri sendiri”
Ki Hadjar Dewantara-
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini sedang disorot oleh banyak
kalangan berkaitan dengan industrialisasi pendidikan yang sedang berlangsung di
dalamnya (Heru Nugroho: 2002). Baik, perguruan tinggi negeri maupun swasta
kedua-duanya sedang melakukan hal yang sama, yakni proses industrialisasi.
Fenomena industrialisasi pendidikan ini tidak terlepas dari sejarah reformasi yang
meruntuhkan rezim Orde Baru.
Reformasi politik yang diharapkan menjadi solusi untuk persoalan
pendidikan, justru berubah menjadi tantangan baru dalam dunia pendidikan
khususnya di dunia Perguruan Tinggi. Jika sebelumnya konsep Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) bertahan lebih dari 30 tahunan sebagai simbol tanggung jawab
negara dibidang pendidikan. Diawal-awal reformasi seakan-akan runtuh diterpa
gelombang krisis Asia ditahun 1997-1998 dengan lahirnya Peraturan Pemerintah
(PP) 60 tahun 1999 dan 61 Tahun 1999 tentang otonomi perguruan tinggi dengan
perubahan status PTN ke Badan Hukum Milik Negara.
Sebagai sebuah tindak lanjut dari PP 60 dan 61 Tahun 1999. Kemudian
keluarlah PP Nomor 152-155 Tahun 2000 yang menetapkan empat Perguruan
Tinggi di Indonesia sebagai pilot project dengan status baru Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT
2
BHMN). Keempat universitas tersebut adalah Universitas Gajah Mada (UGM),
Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Tekhnologi
Bandung (ITB). Sejak berstatus PT BHMN, keempat PTN ini secara perlahan-
lahan diarahkan untuk dapat menjadi mandiri untuk mengelola urusan kerumah-
tanggaan yang melingkupi urusan otonomi akademik mencangkup kurikulum dan
kebasan mimbar dan non akademik menyangkut persoalan keuangan.
Pada tahun 2003 muncul Undang-Undang (UU) Nomor. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi titik awal dimulainya
perubahan pola keuangan oleh PT BHMN. Setelah hampir enam tahun PT BHMN
berjalan dirasa perlu untuk mengukuhkan kedudukan PT BHMN. Kemudian di
tahun 2009 lahir Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan yang diniatkan sebagai penyempurna dari Peraturan Pemerintah (PP)
152-155 beserta PP lanjutan yang mengatur tentang PT BHMN. Undang-Undang
ini menuai banyak kontroversi ditengah keruwetan agenda reformasi. Polemik
yang sering terjadi dikarenakan UU BHP dinilai kental dengan nuansa
komersialisasi terhadap pendidikan dan perlahan-lahan negara mengalihkan
tanggung jawabnya terhadap pendidikan kepada privat (Darmanityas: 2009).
Polemik tersebut akhirnya berujung pada judisial review di hadapan
Mahkamah Konstirusi (MK). Pada akhirnya di tahun 2010 UU BHP dibatalkan
oleh MK berdasarkan terjadi pelanggaran konstitusi di dalam UU tersebut, yakni
pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
Inkonstusionalnya UU tersebut menyebabkan Perguruan Tinggi yang berstatus
BHMN tidak memiliki landasan dalam berpijak.
3
Untuk mengisi kekosongan landasan tersebut kemudian pemerintah
mengambil langkah cepat dengan menerbitkan PP. 17 tahun 2010 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan disempurkan menjadi PP. 66
tahun 2010 sebagai ganti dari UU BHP. Di tengah kondisi pendidikan tinggi yang
rumit terutama di PT BHMN, DPR mengambil inisiatif untuk memperjelas
kedudukan dan status PT BHMN dengan membuat Rancangan Undang-undang
(RUU) Pendidikan Tinggi.
Hadirnya RUU ini pun tidak terlepas dari polemik yang sama dari UU
BHP. Isu-isu terkait privatisasi, komersialisasi, dan industrialisasi pendidikan
khususnya pendidikan tinggi pun masih turut meyertai. Polemik yang terjadi RUU
Pendidikan Tinggi akhirnya di Undangkan dibulan Agustus 2012 lalu menjadi
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
Hadirnya UU Dikti, ditengah polemik dan kontroversinya menyebabkan
dunia pendidikan tinggi indonesia bertransformasi dalam bentuk berbeda.
Otonomi yang dibawa oleh UU Dikti memberikan pengaruh terhadap keluwesan
dalam melakukan penafsiran dari kebijakan yang telah ditetapkan untuk dapat
diimplementasikan oleh Kampus dan sekolah sebagai target sasaran kebijakan
(Tilaar: 2005).
Perubahan yang fundamental tersebut membawa sejarah perjalanan
pendidikan indonesia semakin menarik. Misalnya, persoalan kurikulum,
pendaaan, pengelolaan, dan berbagai macam pernak-pernik kelengkapan
pendidikan lainnya kearah yang lebih bervariasi. Variasi dari implementasi
kebijakan disebabkan karena beberapa hal, antara lain: sistem nilai individu,
4
satuan oraganisasi pelaksana, kondisi lingkungan sosial politik, dan sumber daya
(Arif Rohman: 2012). Variasi ini akan lebih terlihat secara lebih spesifik dalam
konteks kebijakan pendidikan tinggi. Dalam perjalanan kebijakan pendidikan
tinggi terjadi banyak perubahan, mulai dari proses implementasi, kurikulum,
hingga perubahan terhadap paradigma pendidikan.
Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai salah satu implementator dari
kebijakan pendidikan, mulai dari PP No 153 tahun 2000 tentang Badan Hukum
Milik Negara (BHMN), hingga yang terbaru Undang-Undang No. 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi. Hadirnya peraturan-peraturan tersebut tentu saja
membawa implikasi yang signifikan terhadap arah pejuangan pendidikan yang
selama ini terjadi di UGM. UGM yang terkenal dengan Universitas Nasional yang
berdasarkan Pancasila tentu saja memiliki cara pandang tersendiri dalam melihat
perubahan tersebut sebagai objek dari kebijakan.
Penafsiran dalam mengimplentasi kebijakan merupakan sebuah ekspresi
logis yang dimiliki seorang eksekutor di lapangan. Begitu juga, UGM sebagai
implementator kebijakan harus memiliki ekspresi yang berdasarkan preferensi
nilai yang dimilikinya. Sudah tentu nilai tersebut akan mempengaruhi model atau
tatacara implementasinya. Bila dicermati kembali dalam melaksanakan tugas-
tugas pendidikannya, Universitas Gadjah Mada mendasarkan diri kepada cita-cita
Bangsa Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila dengan tujuan:
mendidik mahasiswa-mahasiswanya untuk menjadi manusia susila yang cakap,
5
bertanggung jawab, berkepribadian untuk mengabdi kepada masyarakat; dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan1.
Dengan hadirnya PP No. 153 Tahun 2000 dan UU Dikti memberikan
dampak yang cukup signifikan terutama dalam hal pendanaan. UGM
bermetamorfosis menjadi lembaga pendidikan yang bukan lagi dikuasai
sepenuhnya oleh Negara. Tentu saja, sadar maupun tidak UGM seolah-oleh
menjauhi cita-cita Bangsa yang tidak lain adalah cita-cita UGM sendiri.
Berkurangnya peran Negara dalam hal pendanaan tentu membuat UGM harus
bekerja keras untuk mampu mengembangkan kreatifitasnya dalam mengalang
dana guna tercapainya pengelolaan yang maksimal.
Maka sebagai konsekuensi logis UGM pada tahun 2003 membuka jalur-
jalur khusus, seperti: Ujian Mandiri, berbasis bakat, dll. Sistem Ujian mandiri di
UGM sendiri bertahan sampai 2011. Di tahun 2012 dengan adanya Undang-
Undang Perguruan Tinggi terjadi perubahan dengan mengadakan tiga model
seleksi, antara lain Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN),
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, dan ikut menyertakan Ujian
Mandiri. Ketiga sleksi masuk dibarengi dengan kebijakan Uang Kuliah Tunggal
(UKT) yang akan diterapkan pada peneriamaan mahasiswa di tahun 2013.
Lahirnya kebijakan ini bermula dengan keluarnya surat edaran Dirjen
Dikti yang dikeluarkan pada 21 Februari yang lalu dengan No. 305/E/T/2012
tentang Larangan Menaikkan Tarif Uang Kuliah, kemudian Surat Edaran Dirjen
1 Pengantar Redaksi yang di tulis oleh Drs. H. Nangtjik dalam Buku Kenangan Seperemat Abad
Universitas Gadjah Mada 1949-1974. Hal. VII dan juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1950 yang juga merupakan statuta UGM dan sampai sekarang di statuta yang
terbaru pun UGM masih konsisten menyertakan cita-cita tersebut.
6
Dikti nomor 488/E/T/2012 tanggal 21 Maret 2012 tentang Tarif Uang Kuliah SPP
di Perguruan Tinggi, Surat Edaran Dirjen Dikti 274/E/T/2012 bertanggal 16
Februari 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dirjen Dikti No.
21/E/T/2012 tanggal 4 Januari 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal. Terakhir, Dikti
mengeluarkan Surat Edaran No. 97/E/KU/2013 tentang Uang Kuliah Tunggal
yang berisi Permintaan Dirjen Dikti kepada Pimpinan PTN untuk menghapus
uang pangkal dan melaksanakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa
baru program S1.
Hadirnya kebijakan ini pun diniatkan untuk meningkatkan tanggung jawab
negara sebagai penyedia pelayanan pendidikan sebagaimana amanat yang
tercantum pada UU Dikti dengan menghapus sistem mekanisme uang pangkal dan
diganti dengan sistem mencicil biaya pendidikan persemester. Namun, bila
dicermati bersama implementasi justru terjadi sebaliknya dengan adanya
mekanisme pukul rata yang mengakibatkan beban biaya pendidikan menjadi
semakin mahal. Dan hal ini justru menjadi sebuah tantangan untuk dapat di jawab
oleh UGM untuk bisa tetap mengamalkan jati diri UGM sebagai universitas
perjuangan nasional melawan kolonialisme, imperialisme, serta kapitalisme dan
ketidakadilan sosial yang ditimbulkannya2.
Situasi ini mengakibatkan terciptanya kondisi yang dilematis dalam tubuh
UGM dalam mengimplementasi UU Dikti. Situasi ini juga, menciptakan tarik ulur
yang dinamis dalam memformat implementasi kebijakan yang dirumuskan oleh
MWA dan Rektor UGM. Format implementasi yang akan dirumuskan UGM
2 Dapat dilihat secara jelas dan tegas dalam pembukaan draft statuta UGM 2012 dimana sudah
diselaraskan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2012.
7
sendiri akan menarik dimana konsep yang akan dihasilkan nanti akan dapat
melihat sejauh mana jati diri UGM digunakan dalam proses implementasi UU
Dikti. Dan tentu saja terjadi sebuah proses dinamis yag menyebabkan tarik
menarik antara aktor yang terlibat yang terjebak dalam proses pengelolaan
pendanaa atau repot dengan urusan administratif keuangan. Dihadapkan dengan
segala problematikanya yang sangat fundamental tersebut sudah barang tentu
terdapat dinamika yang patut diperhatikan yang terjadi di dalam internal UGM,
yakni menyangkut proses dan dampak implementasi kebijakan Undang-Undang
No. 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi.
Menginggat kajian mengenai implementasi kebijakan maupun kebijakan
pendidikan saat ini masih sangat sedikit terlebih lagi apabila kita berbicara
kebijakan dan implementasi kebijakan pendidikan dalam konteks politik. Maka
kajian ini berusaha untuk menambah khasanah dan persfektif baru dalam
memandang kebijakan pendidikan yang terjadi di indonesia. Sehingga dengan
latar belakang yang telah di paparkan di atas tulisan ini akan mencoba
meneropong proses dan dampak implementasi perubahan status UGM di masa
transisi dalam konteks sebagai kampus pancasila. Di mana UGM kembali
ditantang untuk menyelesaraskan konsep pancasila dengan konsep kebijakan UU
Pendidikan Tinggi yang akan digunakan pada akhir 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi sebagai regulasi untuk mengatur pendidikan tinggi sebagai
ganti dari Undang-undang BHP yang digugurkan pada tahun 2010 lalu. Maka
8
dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi setiap universitas yang berstatus PT
BHMN dirubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN
BH) yang pengelolaan uangnya bersifat Badan Layanan Umum. Dan dimanatkan
setiap PT BHMN menyelesaikan persiapan menuju PTN BH sampai akhir tahun
2013.
Dengan demikian, menjadi sebuah hal yang menarik untuk dilakukan
beberapa telaah kritis maupun deskriftif untuk melihat proses implementasi
kebijakan pendidikan tersebut dalam lingkup Universitas Gadjah Mada yang mana
dalam universitas tersebut memiliki basis nilai (ideologi) yang telah dianut
semenjak dilahirkan. Apalagi kita ketahui bersama ideologi dalam pendidikan
menjadi sebuah hal yang penting untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi
karakter dari model pendidikan yang akan dilakukan sampai pada karakter dari
implementasi dari kebijakan. Untuk bisa membeda fenomena tersebut rumusan
masalahnya adalah:
Bagaimana proses implementasi Kebijakan pendidikan UU No. 12 Tahun
2012 Tentang Perguruan Tinggi di UGM dalam konteks kampus
Pancasila?
1.3 Tujuan Penelitian
Rumusan Masalah membawa peneliti untuk memperoleh jabaran tujuan-
tujuan diantaranya:
1. Mengetahui proses implementasi kebijakan Undang-Undang Perguruan
Tinggi di UGM
9
2. Mengetahui persiapan UGM dalam perubahan status dari BHMN ke PTN
BH
3. Ingin mengetahui sejauh mana jati diri UGM dimaknai dalam setiap
perumusan kebijakan dan memutuskan kebijakan yang diambil
4. Ingin mengetahui dampak yang akan terjadi dalam proses implementasi
kebijakan UU PT di UGM
Selain tujuan yang disebut diatas, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
membuka suatu perspektif baru dalam studi ilmu politik di jurusan politik
pemerintahan UGM yang selama ini minim kajian tentang kebijakan pendidikan.
Perspektif yang ada selama ini hanya mengkaji persoalan kebijakan pendidikan
yang cenderung menafikkan proses politik yang ada di dalam proses implementasi
kebijakan.
1.4 Kerangka Teori
Penelitian ini memakai teori politik yang berkenaan dengan kebijakan
publik dan implementasi kebijakan, persfektif dan pendekatan dalam
implementasi kebijakan, serta kriteria keberhasilan kebijakan pendidikan. Dari
teori-teori tersebut akan dikontekstualisasikan dengan hasil penelitian dalam studi
kasus proses implementasi kebijakan UU Dikti di UGM pada periode transisi
perubahan status PT BHMN ke PTN BH dalam konteks Kampus Pancasila.
1.4.1 Kebijakan Pendidikan
Biasanya wujud dari kebijakan adalah undang-undang, instruksi presiden,
peraturan pemerintah, peraturan mentri, keputusan pengadilan, statuta universitas
10
menyangkut kebijakan umum, rancangan anggaran keuangan, dan sebagainya
(Tilaar dan Nugroho: 2008). Namun, jika diperhatikan lebih jauh terwujudnya
sebuah kebijakan yang dilegalkan melalui undang-undang dan produk hukum
lainnya sudah tentu saja tidaklah bersifat ‘su generi’ dan steril dari berbagai
pengaruh politik. Mengingat kembali bahwa proses formulasi kebijakan tersebut
berada dalam ranah yang dinamis dan rentan terhadap pengaruh politik dan
birokratik (Solichin: 1997). Mulai dari pemunculan isu, debat publik dimedia
massa (polemik), lalu diagregasi dan diartikulasi oleh partai politik lewat
pembahasan di parlemen. Inilah yang kemudian yang menjadikan isu tentang
kebijakan pendidikan sangat erat kaitannya dengan pertarungan aktor-aktor yang
terlibat dalam pendidikan baik itu dari internal sendiri ataupun dari eksternal.
Menurut Anderson, kebijakan (policy) diartikan sebagai suatu arah
tindakan yang bertujuan dilaksanakan oleh pelaku kebijakan di dalam mengatasi
masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan. Lalu ditambahkan oleh Jenkins,
“policy is a set of interrelated decisions…concering the selection of goals and the
means of achieving them within a specified situation” dengan kata lain
serangkaian keputusan yang saling terkait…berkenaan dengan pemilihan tujuan-
tujuan dengan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu (Hosio: 2006).
Maka secara tidak langsung kebijakan adalah sebuah kolektifitas dari beragam
solusi yang disajikan dalam sebuah ke-legal-an untuk kemudian dapat
dimplementasikan dalam menangani masalah, menciptakan kesejahteraan.
Salah satu varian kebijakan adalah kebijakan pendidikan. Kebijakan
pendidikan menurut Arif Rohman adalah kebijakan yang mengatur regulasi
berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta
11
pengaturan perilaku dalam pendidikan. Sedangkan, menurut penulis sendiri
kebijakan pendidikan (education policy) adalah keseluruhan proses dan hasil
perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijawabarkan dari visi dan
misi pendidikan dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu
masyarakat untuk kurun waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan pendidikan
merupakan keputusan berupa pedoman bertindak, baik yang bersifat sederhana,
maupun kompleks yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arahan
tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam meyelenggarakan
pendidikan (Arif Rohman: 2012).
Konsep kebijakan seperti yang sering dipakai dalam literatur kebijakan
terkini mengasumsikan bahwa kebijakan mewakili suatu konsensus. Padahal
sesungguhnya kebijakan tidak mesti mewakili suatu konsensus an sich, melainkan
suatu proses pemikiran yang rasional yang dipakai yang terkandung dalam proses
perumusan dan implementasi kebijakan dan bisa jadi kebijakan yang dihasilkan
bisa bersifat netral atau malah bersifat memihak dan mengaleniasi suatu pihak.
Maksud saya adalah kebijakan berarti juga sebuah kompromi politik yang
dilakukan secara dinamis dan interaktif, satu penyelesaian diantara kepentingan
yang saling bersaing. Bahkan, menurut Taylor et al. kebijakan adalah
Suatu yang dinamis dan interaktif, bukan hanya seperangkat suruhan, tetapi juga niat. Kebijakan merupakan kompromi politik antara citra yang bertentangan mengenai bagaimana seharusnya perubahan pendidikan harus berjalan… kata-kata dalam kebijakan dipilih dengan cermat dan banyak diperbaiki sesuai dnegan keberatan yang diajukan berbagai kelompok kepentingan.
Kompromi politik yang dimaksud oleh Taylor et al. secara khas dicapai
melalui negosiasi nilai-nilai oleh pemerintah atau pemangku kebijakan diantara
12
kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat. Hal ini juga
ditekankan oleh Easton yang menganggap kebijakan sebagai “jejaring keputusan
dan tindakan yang menentukan nilai”. Hakikat dasar kebijakan terletak pada
kenyataan bahwa melaluinya ada hal tertentu yang tidak bisa dimiliki beberapa
orang, tetapi bisa dicapai oleh orang lain (Easton dalam Sirozi: 2004: 86). Masih
menurut Easton Prunty, ia menekankan penggunaan kekuasaan dalam proses
kebijakan dan mendefinisikan kebijakan sebagai “penentuan nilai secara
berkewenangan”, jadi konsep kebijakan sangat bergantung kepada pelibatan
penggunaan ideologi kekuasaan, kendali, dan validasi dari kelompok tertentu.
Pandangan-pandangan pakar politik tadi mengambarkan bahwa kebijakan
tidaklah semata-mata netral dari kepentingan, penyusupan nilai, dan pengendalian
terhadap suatu kelompok, melainkan kebijakan bersifat tidak murni (memiliki
keberpihakan) dan terkadang tidaklah rasional. Dengan demikian, kebijakan
publik selalu berkaitan erat dengan konteks, nilai, kepentingan dan sumber
tertentu. Dan yang menjadi sorotan adalah faktor nilai dimana faktor nilai dalam
proses kebijakan bukan “topeng” semata, melainkan sebuah hal yang sangat
mendasar dari sebuah kebijakan.
...mudah mengesampingkan nilai sebagai topeng untuk menutupi kepentingan semata, dan memang prinsip sering mengikuti kepentingan diri. Namun, nilai tetap mendasar bagi proses politik, dan dengan demikian bagi pembentukan kebijakan. Sedikit saja orang yang termotivasi oleh keuntungan materi, dan banyak perdebatan kebijakan sesungguhnya adalah perselisihan tentang peran negara dan pemangku kebijakan yang bisa diterima (Warhust dan Weller: 1988:3).
Hakikat proses kebijakan yang sarat dengan nilai ini juga diakui oleh
Richardson yang mengatakan bahwa kebijakan “tidaklah netral” kebijakan selalu
13
menguntungkan dan merugikan sektor masyarakat yang berbeda. Sehingga proses
formulasi kebijakan adalah proses yang dinamis, tanpa adanya awal dan akhir dan
memiliki kecenderungan untuk kekacauan takala kondisi awal yang sederhana
menghasilkan pola-pola yang kompleks dan tak terduga.
1.4.2 Implementasi Kebijakan Pendidikan
Implementasi kebijakan sendiri memiliki makna menyediakan sarana
untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak terhadap sesuatu atau
biasa diartikan secara sederhana sebagai proses menjalankan kebijakan. Hal
tersebut senada dengan apa yang dirumuskan oleh kedua ilmuan dalam kebijakan
publik, yakni Van Meter dan Van Horn dalam bukunya The Policy
Implementation Process, implementasi kebijakan merupakan keseluruhan
tindakan yang dilakukan oleh individu, pejabat, instansi-instansi pemerintah
maupun swasta yang diarahankan kepada tujuan capaian kebijakan yang telah
ditentukan terlebih dahulu (Van Meter dan Van Horn dalam Solichin: 1997: 65).
Dalam menganalisa kebijakan masalah implementasi kebijakan Charles O.
Jones mendasarkan diri pada aktifitas-aktifitas fungsional. Menurutnya
implementasi adalah suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengoperasikan
sebuah program. Ada tiga pilar dalam mengoperasikan program tersebut.
Pertama, pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya,
unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa berjalan. Kedua,
interpretasi, yaitu aktivtas menafsirkan agar program menjadi rencana dan
pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. Ketiga, aplikasi,
14
berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau
lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
Dari paparan tersebut tergambarkan bahwa implementasi kebijakan
termasuk pengertiannya implementasi kebijakan pendidikan merupakan proses
yang, bukan hanya menyangkut perilaku badan administratif, melainkan juga
menyangkut faktor hukum, politik, ekonomi, sosial yang secara langsung atau
tidak langsung berpengaruh terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam kebijakan
tersebut. Artinya, implementasi kebijakan, bukan hanya menjadi hak monopoli
birokrasi pendidikan saja, tetapi juga melibatkan semua pihak. Hal ini sesuai
dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle: 1980: 6) bahwa tugas
implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan
publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan
berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).
1.4.3 Persfektif Implementasi Kebijakan Pendidikan
Untuk mempercerah tulisan ini ada baiknya kita berangkat dari teori-teori
implementasi kebijakan agar kita dapat melihat proses perumusan kebijakan yang
terjadi dalam lingkungan UGM sebagai respon dari pengimplementasian UU No.
12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Ada beberapa gagasan yang pernah
disebutkan oleh berbagai macam ahli kebijakan publik tentang bagaimana
menganalisa implementasi kebijakan. Sebagaimana yang telah diceritakan pada
bagian sebelumnya bahwa implementasi kebijakan tidak hanya dimonopoli oleh
birokrasi pendidikan maka implementasi kebijakan sangat kuat dimensinya akan
faktor-faktor politik dan sosial yang datang dari internal ataupun eksternal
15
(Grindle: 1980: 7). Untuk itulah kemudian dalam setiap pengimplementasian
kebijakan memiliki perbedaan, hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
dimiliki oleh tempat dimana implementasi kebijakan itu dilaksanakan. Dalam
konteks kali ini adalah kampus UGM sebagai objek dari UU PT.
Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau
pendekatan. Salah satunya ialah teori yang dikembangkan oleh Van Meter dan
Van Horn. Mereka berdua mengawali teorinya dengan sebuah pertanyaan kenapa
dalam setiap pengimplementasian kebijakan mengalami hasil yang kadang
berbeda dalam sebuah produk kebijakan yang sama?. Kondisi ini disebabkan
karena proses implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh sifat
kebijakan yang akan dilaksanakan, kondisi latar belakang, nilai-nilai yang ada di
tempat implementasi kebijakan atau kondisi sosial, dan kondisi politik ditempat
implementasi kebijakan. Menurut kedua tokoh ini, perubahan, kontrol, dan
kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-
prosedur implementasi.
Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang
perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apa sajakah yang
dialami dalam mengenalkan perubahan dalam tata kelola, artinya perubahan
konsep pelaksanaan dari kebijakan sebelumnya. Seberapa jauhkan keterlibatan
atau pengaruh politik dan nilai-nilai internal serta eksternal yang memengaruhi
implementasi kebijakan.
Dari sini sebetulnya dapat ditarik tipologi kebijakan yang ingin
disampaikan oleh Van Meter dan Van Horn, tipologi kebijakan tersebut dibedakan
16
dalam dua hal, yaitu: pertama, jumlah masing-masing perubahan yang akan
dihasilkan. Kedua, jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara
pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Dari kedua
indikator ini maka dapat ditangkap secara jelas bahwa suatu implementasi akan
berhasil manakala pada satu sisi perubahan yang dikehendaki relatif sedikit serta
pada sisi yang lain adalah kesepakatan terhadap tujuan dari pelaku atau pelaksana
dalam penafsiran perumusan kebijakan dan pelaksanaan programnya relatif tinggi.
Sedangkan, menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua
perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan
perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi
pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien.
Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara
menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi
oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota
lembaga legislatif dan berbagai faktor dalam lingkungan politis.
Berbeda dengan pendekatan administrasi publik, pendekatan politik mulai
memberikan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi,
seperti ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan
preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis
implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan
tujuannya.
Teorisasi implementasi kebijakan juga muncul dari Ripley & Franklin
(1986) memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam
17
implementasi kabijakan. Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur
administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan
agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif
kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut
Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni:
pertama, banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang
diperhatikan. Kedua, adanya program yang tidak didesain dengan baik.
Pendekatan kedua adalah pendekatan faktual yang berasumsi bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang
mengharuskan implementor lebih leluasa mengadakan penyesuaian.
Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu
sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor
eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif.
Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang
juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang
mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle: 1980: 7).
Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat
dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap
implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan
implementor, yaitu: pertama, kepatuhan implementor mengikuti apa yang
diperintahkan oleh atasan, dan kedua kemampuan implementor melakukan apa
yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh
eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.
18
Keberhasilan kebijakan atau program juga dapat dikaji berdasarkan
perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses,
program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan
petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang
mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan
manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil
manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program
mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau
dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
Untuk mengukur keberhasilan proses implementasi ada dua pendekatan
yang perlu dilakukan, yaitu: pendekatan positif dan normatif (Tilaar: 1994: 46).
Sedangkan, ilmuan lain seperti Solichin Abdul Wahab mengatakan bahwa setiap
kita melihat proses implementasi kebijakan perlu empaat pendekatan yang perlu
dilakukan, antara lain: pendekatan struktural, pendekatan prosedural dan
manajerial, pendekatan perilaku, dan pendekatan politik.
Dari beberapa pendekatan yang telah dipaparkan, penulis akan meminjam
pendekatan perilaku (Behavioural Approach) dan Pendekatan Politik (Political
Approach) sebagai terorisasi untuk memahami proses implementasi UU No 12
Tahun 2012 di UGM. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, penulis dapat
melihat implementasi kebijakan baik secara struktural dan managerial, yang
dilihat sebagai aspek politis dari perilaku pelaku yang menajalankan kebijakan
tersebut. Pada akhirnya mampu mendeskripsikan dinamisasi dan kompleksitas
implementasi kebijakan.
19
1.4.3.1 Pendekatan Perilaku (Behavioural Approach)
Pendekatan ini diambil karena dinilai memiliki keunggulan dibandingkan
dengan pendekatan lainnya seperti, pendekataan prosedural dan manajerial. Selain
itu juga, untuk dapat melihat kekhasan UGM mengimplementasikan kebijakan
UU PT yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada. Pendekatan ini secara tegas
meletakkan dasar semua orientasi dari kegiatan implementasi kebijakan pada
perilaku manusia sebagai pelaksana, bukan pada organisasi sebagaimana
pendekatan lain. Dengan begitu, pendekatan ini akan mampu mengungkapkan
orientasi dari individu-individu yang akan melaksanakan kebijakan dengan
melihatkan perilaku masing-masing individu-individu yang terlibat.
Pendekatan ini juga berasumsi bahwa upaya implementasi kebijakan yang
baik adalah apabila perilaku manusia beserta segala sikapnya juga harus
dipertimbangkan dan dipengaruhi agar proses implementasi kebijakan tersebut
dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam beberapa kasus dapat kita jumpai secara
konsep sebuah kebijakan terlihat ideal, namun eksekusi dilapangan terhambat oleh
penolakan dari masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan penolakan masyarakat
terhadap sebuah kebijakan. Adanya kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan
yang akan terjadi. Dengan terjadinya perubahan tersebut, maka kemapanan
masyarakat akan terusik. Terlebih, ada kelompok masyarakat yang selama ini
diuntungkan dengan kemapanan nilai dan karakter tersebut (Arief Rohman, 2012:
113). Hal ini terjadi karena kebijakan yang akan diimplementasikan memiliki
20
pertentangan nilai yang terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh individu maupun
organisasi.
Usaha penolakan tersebut hadir karena pertama, ada rasa ”status fear”
akan hilangnya dominasi atau pengaruh terhadap sistem sosial, politik, nilai-nilai
yang sudah mengakar, maupun keamanan kedudukan kelompok-kelompok
tertentu. Kedua, kekurangan informasi yang diterima berkenaan dengan kebijakan
yang bersangkutan. Bisa jadi informasi yang didapatkaan tidak sempurna atau
memang sengaja informasi tersebut ditahan sehingga tidak sempurna karena
dikhawatirkan akan menambah kompleksitas dalam implementasi kebijakan.
Pada bagian lain, penerapan analisis keperilakuan (bahavioural analysis)
pada masalah manajemen yang paling menonjol adalah OD (organizational
development). Solichin menuturkan bahwa OD adalah suatu proses untuk
menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam organisasi melalui
penerapan ilmu keperilakuan atau bisa disebut sebagai Management of Objective,
yakni suatu pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang terdapat pada
pendekatan struktural manajerial dengan unsur-unsur yang termuat dalam analisis
perilaku (Solichin: 1997: 117).
1.4.3.2 Pendekatan Politik Implementasi Kebijakan (Political approach Policy Implementation)
Pendekatan ini lebih memandang bahwa implementasi kebijakan juga
sangat dipengaruhi oleh faktor politik atau kekuasaan yang ada di dalam maupun
di luar organisasi pelaksana kebijakan. Di mana faktor politik tersebut mampu
memperlancar atau menghambat implementasi kebijakan. Faktor tersebut terjadi
karena adanya perbedaan dan persaingan individu atau kelompok dalam suatu
21
organisasi yang mengimplementasi kebijakan. Van Horn dan Van Mater (1974)
menjelaskan bahwa implementasi diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu
melalui persepsi dari pelaksana dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan.
Pendekatan politik berusaha untuk melihat sejauh mana organisasi tersebut
mempertimbangkan kontestasi kepentingan atas kelompok pengikut dan
penentang beserta dinamika dalam mengimplementasi kebijakan. Sehingga akan
terlihat jelas, realitas politik diinternal organisasi yang mempengaruhi
implementasi kebijakan. Dengan demikian mengunakan pendekatan ini akan lebih
melihat dan mempertimbangkan realitas politik yang ada dalam organisasi yang
turut membuntuti implementasi kebijakan.
1.4.4 Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja
implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan,
organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan
kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi, memberikan
kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya,
ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana,
karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang
mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik.
Sedangkan, lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau
negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan
menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap
kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan
22
negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam
akan gagal. Kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung
dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.
Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan
Franklin didasarkan pada tiga aspek, yaitu: pertama, tingkat kepatuhan birokrasi
terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam
undang-undang. Kedua, adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah,
serta ketiga pelaksanaan dan dampak yang dikehendaki dari semua program yang
ada terarah.
Kemudian, ada variabel dorongan dan paksaan yang ditentukan oleh
legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk
mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan dapat dilihat melalui: pertama,
besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin besar dana yang
dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan kedua
bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi
pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar.
Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula
dipahami adanya hubungan pengaruh antara implementasi kebijakan dengan
faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (Grindle:
1980) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus
menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud
oleh keduanya meliputi: ukuran dan tujuan kebijakan, sumber kebijakan, ciri atau
23
sifat badan/instansi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi
kegiatan yang dilaksanakan, sikap para pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial
dan politik.
Menurut Quade, dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan
terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran
dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti
dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh
umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya.
Quade memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel yang harus
diteliti dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu: Kebijakan yang
diimpikan, yaitu pola interaksi yang diimpikan agar orang yang menetapkan
kebijakan berusaha untuk mewujudkan; Kelompok target, yaitu subyek yang
diharapkan dapat mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek
yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya; Organisasi yang
melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang
bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan; dan Faktor lingkungan, yaitu
elemen dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang
mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” (Wahab, 1991: 117).
Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah
mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada
keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan
24
Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: pertama, mudah
atau sulitnya dikendalikan masalah yang digarap, kedua, kemampuan kebijakan
untuk mensistematisasi proses implementasinya, dan ketiga pengaruh langsung
variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam
kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan tahap
implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel
terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi, antara lain:
pertama, output kebijakan badan pelaksana, kedua kesediaan kelompok sasaran
mematuhi output kebijakan, ketiga dampak nyata output kebijakan, keempat
dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan kelima perbaikan.
1.5 Definisi Konseptual
1.5.1 Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan adalah kebijakan yang menyangkut persoalan
pendidikan. Kebijakan pendidikan juga dapat dimaknai sebagai keseluruhan proses
dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijawabarkan dari
visi dan misi pendidikan dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam
suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu. Dapat diartikan juga sebagai
keputusan berupa pedoman bertindak, baik yang bersifat sederhana, maupun
kompleks yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arahan tindakan,
program, serta rencana-rencana tertentu dalam meyelenggarakan pendidikan.
25
1.5.2 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang
dimaksudkan untuk mencapai tujuan .Dengan begitu, tugas implementasi adalah
membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan
melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak.
Implementasi kebijakan adalah suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk
mengoperasikan sebuah program. Ada tiga pilar dalam mengoperasikan program
tersebut. Pertama, pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali
sumberdaya , unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa
berjalan. Kedua, interpretasi, yaitu aktivtas menafsirkan agar program menjadi
rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. Ketiga,
aplikasi, berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran,
atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.
1.6 Definisi Operasional
Penelitian ini akan membahas secara deskriftif terkait dengan proses
implementasi kebijakan UU PT yang akan berdampak perubahan status PT BHMN
ke PTN BH di UGM.
1.6.1 Kebijakan Pendidikan
Dalam penelitian ini kebijakan pendidikan akan dilihat dengan
indikator:
1. Perumusan langkah-langkah strategis pendidikan
26
2. Visi dan Misi pendidikan dalam mewujudkan tercapainya tujuan
pendidikan
3. Proses politik untuk suatu arahan tindakan dan program
penyelenggaraan pendidikan
1.6.2 Implementasi Kebijakan
Dalam memahami Implementasi Kebijakan ada beberapa indikator
yang bisa dipinjam:
1. Interpretasi, proses menafsirkan rencana kebijakan dan pengarahan
yang tepat dan dapat diterima oleh semua elemen yang ada di UGM.
2. Pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya
yang dilakukan oleh UGM
3. Aplikasi, pelaksanaan di UGM berkaitan dengan kesusuain dengan
tujuan kebijakan
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini hendak menggunakan pendekatan anti-positivis dengan
metode penelitian kualitatif yang memanfaatkan teknik Studi Kasus. Ada
beberapa poin yang menjadi pertimbangan mengapa teknik Studi Kasus dipilih
untuk melihat apa esensi dari dinamika politik yang terjadi di internal UGM, apa
saja fenomena sosial yang mengiringi proses politik tersebut, serta bagaimana
peta aktor yang terlibat. Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah sebuah cerita
yang unik, spesial atau menarik. Cerita kasus ini dapat berfokus pada suatu
27
individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar.
Dalam kajian melalui desain studi kasus ini esensi yang akan diangkat adalah
penjelasan mengapa sesuatu yang menarik itu bisa terjadi, bagaimana
implementasinya dan apa yang dihasilkan dari sesuatu yang menarik itu
(Schramm, 1971, dalam Yin, 2003:18).
Poin yang pertama adalah bahwa dalam Studi Kasus, dengan mengacu
kepada serangkaian prosedur yang ada dalam teknik tersebut, seorang peneliti
telah diarahkan untuk dapat merumuskan sejumlah pertanyaan penelitian
berdasarkan kepada sesuatu yang sifatnya ―Mengapa dan Bagaimana―. Hal ini
disebabkan pertanyaan yang diawali dengan kata-kata tersebut akan mengarahkan
peneliti untuk dapat mengungkap fenomena tersembunyi yang ada dalam sebuah
kejadian atau peristiwa tertentu yang hendak dikaji dalam sebuah penelitian.
Selain itu, dalam Studi Kasus seorang peneliti dalam hal melakukan
pengumpulan data dapat menggunakan kombinasi strategi, seperti memakai teknik
observasi, wawancara, studi literasi, media massa, arsip yang sekiranya mampu
membantu peneliti dalam menemukan jawaban atau kasus yang sedang ditelitinya.
Karena sifatnya yang dapat menerima semua strategi pengumpulan data, selama
hal tersebut dinilai dapat membantu peneliti menjadikan Studi Kasus sebagai
sebuah pilihan yang tepat dalam hal teknik penelitian kualitatif guna mengungkap
fenomena dinamika politik yang terjadi di Internal UGM dalam merespon
kebijakan pemerintah dari PT BHMN ke PTN BH.
Selanjutnya penelitian ini akan menjawab pertanyaan dengan penjelasan
dan pengeksplrorasian suatu kasus. Penjelasan dan pengeksplorasian yang saya
28
maksud adalah mencakup tentang peristiwa yang telah terjadi dimasa kasus
tersebut terjadi. Dimana hal itu mencakup kejadian dan siapa saja yang terlibat,
apa peristiwanya, bagaimana orang terlibat, bentuk perbuatannya, catatan historis
atau dinamika kegiatan pelaku dalam setting peristiwa atau kasus tertentu (Zed,
2004: 57). Sehingga penelitian ini diharapkan mampu menangkap fenomena hari
ini untuk kemudian dikembangkan dimasa yang akan datang.
Guna memudahkan dalam mengungkap sebuah fenomena peneliti harus
membekali dirinya dengan sejumlah teori tertentu sebagai basis utama untuk
melihat bagaimana sesungguhnya dinamika dari kasus yang hendak dikaji dari
berbagai perspektif. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini
dibutuhkan sejumlah data guna telaah lebih lanjut atas kasus yang akan diteliti.
Data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yakni apa yang
disebut dengan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang
diperoleh secara langsung oleh peneliti berdasarkan pengamatan yang dilakukan di
lapangan. Sementara itu, yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang
diperoleh secara tidak langsung di lapangan oleh peneliti, yakni dengan
berbasiskan kepada data yang terdapat dalam berbagai macam literatur yang
berguna untuk membantu peneliti menjelaskan sebuah fenomena atau kasus yang
sedang diteliti. Oleh karena itu, teknik studi kasus sangat tepat digunakan untuk
tema penelitian ini yang sangat spesifik dan khusus objek penelitiannya.
1.7.2 Teknik Pengumpulan data
Sebagaimana metode yang dipilih teknik pengumpulan data yang kemudian
digunakan adalah bersumber pada data primer dan data sekunder. Data perimer
29
dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan indepth interview kepada
pemangku kebijakan UGM, antara lain: anggota Majelis Amanat UGM, Anggota
Senat Akademik, dan Rektor UGM. Karena kebijakan tidak bersifat netral karena
memiliki nilai yang terkandung didalamnya penelitian ini akan mewawancari juga
aktor-aktor yang menurut penulis memahami konteks kebijakan pendidikan era
awal berdirinya UGM, seperti Prof. Sutaryo, Prof Soebronto, dan kalangan yang
masing memegang teguh nilai-nilai ke-UGM-an.
Serta ikut juga, mewawancarai tokoh-tokoh UGM yang memiliki peran
dalam mengimplementasikan Undang-Undang Dikti, seperti: Prof. Pratikno selaku
Rektor UGM, Prof. Sofian Efendi selaku Ketua Majelis Wali Amanat UGM, Dr.
Didi Achari selaku Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan dan Sistem
Informasi, dan Luthfi Hamzah, S. IP selaku anggota Majelis Wali Amanant unsur
Mahasiswa. Kemudian data sekunder penelitian ini diperoleh dengan
mengumpulkan literatur-literatur yang diperoleh dari kajian pustaka, yang terdiri
dari library research, naskah-naskah kebijakan UGM, naskah-naskah hasil sidang
pleno di Majelis Wali Amanat, Jurnal-Jurnal, dan internet.
1.7.3 Analisa Data
Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sejak
pengumpulan data dimulai, maka akan dicari juga arti peristiwa, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur
sebab akibat dan proposisi (Zed, 2004: 57). Setelah data-data diperoleh, akan
dilakukan analisis. Pertama dimulai dengan pereduksian data, reduksi data
bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis
30
hal ini dilakukan peneliti memilah-milah data mana yang diperlukan, mana yang
dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita apa
yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis.
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara
sedemikian rupa sampai pada kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Dalam pembuatan kesimpulan pun akan dilakukan bedasarkan alur yang telah
dirunutkan yang kemudian mampu menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah.
1.8 Sistematika Penulisan
Naskah penelitian ini akan disusun dalam lima bab dipaparkan dengan
urutan agar mampu menyajikan uraian yang runut. Bab pertama merupakan bab
yang akan menerangkan Bab-bab selanjutnya yang terdiri atas latar belakang,
rumusan masalah, kerangka teori, tujuan penelitian yang memaparkan terkait
dengan konsep kebijakan publik yang bersifat tidak netral karena berbasiskan
nilai-nilai tertentu kemudian dikaitkan dengan teori implementasi kebijakan, dan
metode penelitian, serta teori-teori pendukung lain guna menjawab pertanyaan dari
penelitian ini. Bab kedua bercerita tentang konten dari pada kebijakan Undang-
undang Pendidikan Tinggi yang berisi tentang keriwetan yang terjadi didalamnya
dan apa sebenarnya visi pendidikan yang akan dibawa oleh kebijakan ini. Bab
ketiga konteks kebijakan pendidikan di UGM dalam implemetasi kebijakan
pendidikan. Bab keempat akan membahas mengenai interpretasi implementasi
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) di UGM
yang merubah status dari BHMN ke PTN BH serta berusaha melihat dinamika