bab i pendahuluan -...

31
1 BAB I Pendahuluan “Merdeka itu tak hanya berarti bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tetapi juga kuat dan mampu berdiri sendiri” Ki Hadjar Dewantara- 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini sedang disorot oleh banyak kalangan berkaitan dengan industrialisasi pendidikan yang sedang berlangsung di dalamnya (Heru Nugroho: 2002). Baik, perguruan tinggi negeri maupun swasta kedua-duanya sedang melakukan hal yang sama, yakni proses industrialisasi. Fenomena industrialisasi pendidikan ini tidak terlepas dari sejarah reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru. Reformasi politik yang diharapkan menjadi solusi untuk persoalan pendidikan, justru berubah menjadi tantangan baru dalam dunia pendidikan khususnya di dunia Perguruan Tinggi. Jika sebelumnya konsep Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bertahan lebih dari 30 tahunan sebagai simbol tanggung jawab negara dibidang pendidikan. Diawal-awal reformasi seakan-akan runtuh diterpa gelombang krisis Asia ditahun 1997-1998 dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) 60 tahun 1999 dan 61 Tahun 1999 tentang otonomi perguruan tinggi dengan perubahan status PTN ke Badan Hukum Milik Negara. Sebagai sebuah tindak lanjut dari PP 60 dan 61 Tahun 1999. Kemudian keluarlah PP Nomor 152-155 Tahun 2000 yang menetapkan empat Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai pilot project dengan status baru Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT

Upload: dangnhu

Post on 28-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

Pendahuluan

“Merdeka itu tak hanya berarti bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tetapi juga kuat dan mampu berdiri sendiri”

Ki Hadjar Dewantara-

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pendidikan tinggi di Indonesia saat ini sedang disorot oleh banyak

kalangan berkaitan dengan industrialisasi pendidikan yang sedang berlangsung di

dalamnya (Heru Nugroho: 2002). Baik, perguruan tinggi negeri maupun swasta

kedua-duanya sedang melakukan hal yang sama, yakni proses industrialisasi.

Fenomena industrialisasi pendidikan ini tidak terlepas dari sejarah reformasi yang

meruntuhkan rezim Orde Baru.

Reformasi politik yang diharapkan menjadi solusi untuk persoalan

pendidikan, justru berubah menjadi tantangan baru dalam dunia pendidikan

khususnya di dunia Perguruan Tinggi. Jika sebelumnya konsep Perguruan Tinggi

Negeri (PTN) bertahan lebih dari 30 tahunan sebagai simbol tanggung jawab

negara dibidang pendidikan. Diawal-awal reformasi seakan-akan runtuh diterpa

gelombang krisis Asia ditahun 1997-1998 dengan lahirnya Peraturan Pemerintah

(PP) 60 tahun 1999 dan 61 Tahun 1999 tentang otonomi perguruan tinggi dengan

perubahan status PTN ke Badan Hukum Milik Negara.

Sebagai sebuah tindak lanjut dari PP 60 dan 61 Tahun 1999. Kemudian

keluarlah PP Nomor 152-155 Tahun 2000 yang menetapkan empat Perguruan

Tinggi di Indonesia sebagai pilot project dengan status baru Perguruan Tinggi

Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT

2

BHMN). Keempat universitas tersebut adalah Universitas Gajah Mada (UGM),

Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Tekhnologi

Bandung (ITB). Sejak berstatus PT BHMN, keempat PTN ini secara perlahan-

lahan diarahkan untuk dapat menjadi mandiri untuk mengelola urusan kerumah-

tanggaan yang melingkupi urusan otonomi akademik mencangkup kurikulum dan

kebasan mimbar dan non akademik menyangkut persoalan keuangan.

Pada tahun 2003 muncul Undang-Undang (UU) Nomor. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi titik awal dimulainya

perubahan pola keuangan oleh PT BHMN. Setelah hampir enam tahun PT BHMN

berjalan dirasa perlu untuk mengukuhkan kedudukan PT BHMN. Kemudian di

tahun 2009 lahir Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum

Pendidikan yang diniatkan sebagai penyempurna dari Peraturan Pemerintah (PP)

152-155 beserta PP lanjutan yang mengatur tentang PT BHMN. Undang-Undang

ini menuai banyak kontroversi ditengah keruwetan agenda reformasi. Polemik

yang sering terjadi dikarenakan UU BHP dinilai kental dengan nuansa

komersialisasi terhadap pendidikan dan perlahan-lahan negara mengalihkan

tanggung jawabnya terhadap pendidikan kepada privat (Darmanityas: 2009).

Polemik tersebut akhirnya berujung pada judisial review di hadapan

Mahkamah Konstirusi (MK). Pada akhirnya di tahun 2010 UU BHP dibatalkan

oleh MK berdasarkan terjadi pelanggaran konstitusi di dalam UU tersebut, yakni

pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.

Inkonstusionalnya UU tersebut menyebabkan Perguruan Tinggi yang berstatus

BHMN tidak memiliki landasan dalam berpijak.

3

Untuk mengisi kekosongan landasan tersebut kemudian pemerintah

mengambil langkah cepat dengan menerbitkan PP. 17 tahun 2010 Tentang

Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan disempurkan menjadi PP. 66

tahun 2010 sebagai ganti dari UU BHP. Di tengah kondisi pendidikan tinggi yang

rumit terutama di PT BHMN, DPR mengambil inisiatif untuk memperjelas

kedudukan dan status PT BHMN dengan membuat Rancangan Undang-undang

(RUU) Pendidikan Tinggi.

Hadirnya RUU ini pun tidak terlepas dari polemik yang sama dari UU

BHP. Isu-isu terkait privatisasi, komersialisasi, dan industrialisasi pendidikan

khususnya pendidikan tinggi pun masih turut meyertai. Polemik yang terjadi RUU

Pendidikan Tinggi akhirnya di Undangkan dibulan Agustus 2012 lalu menjadi

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).

Hadirnya UU Dikti, ditengah polemik dan kontroversinya menyebabkan

dunia pendidikan tinggi indonesia bertransformasi dalam bentuk berbeda.

Otonomi yang dibawa oleh UU Dikti memberikan pengaruh terhadap keluwesan

dalam melakukan penafsiran dari kebijakan yang telah ditetapkan untuk dapat

diimplementasikan oleh Kampus dan sekolah sebagai target sasaran kebijakan

(Tilaar: 2005).

Perubahan yang fundamental tersebut membawa sejarah perjalanan

pendidikan indonesia semakin menarik. Misalnya, persoalan kurikulum,

pendaaan, pengelolaan, dan berbagai macam pernak-pernik kelengkapan

pendidikan lainnya kearah yang lebih bervariasi. Variasi dari implementasi

kebijakan disebabkan karena beberapa hal, antara lain: sistem nilai individu,

4

satuan oraganisasi pelaksana, kondisi lingkungan sosial politik, dan sumber daya

(Arif Rohman: 2012). Variasi ini akan lebih terlihat secara lebih spesifik dalam

konteks kebijakan pendidikan tinggi. Dalam perjalanan kebijakan pendidikan

tinggi terjadi banyak perubahan, mulai dari proses implementasi, kurikulum,

hingga perubahan terhadap paradigma pendidikan.

Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai salah satu implementator dari

kebijakan pendidikan, mulai dari PP No 153 tahun 2000 tentang Badan Hukum

Milik Negara (BHMN), hingga yang terbaru Undang-Undang No. 12 Tahun 2012

tentang Pendidikan Tinggi. Hadirnya peraturan-peraturan tersebut tentu saja

membawa implikasi yang signifikan terhadap arah pejuangan pendidikan yang

selama ini terjadi di UGM. UGM yang terkenal dengan Universitas Nasional yang

berdasarkan Pancasila tentu saja memiliki cara pandang tersendiri dalam melihat

perubahan tersebut sebagai objek dari kebijakan.

Penafsiran dalam mengimplentasi kebijakan merupakan sebuah ekspresi

logis yang dimiliki seorang eksekutor di lapangan. Begitu juga, UGM sebagai

implementator kebijakan harus memiliki ekspresi yang berdasarkan preferensi

nilai yang dimilikinya. Sudah tentu nilai tersebut akan mempengaruhi model atau

tatacara implementasinya. Bila dicermati kembali dalam melaksanakan tugas-

tugas pendidikannya, Universitas Gadjah Mada mendasarkan diri kepada cita-cita

Bangsa Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila dengan tujuan:

mendidik mahasiswa-mahasiswanya untuk menjadi manusia susila yang cakap,

5

bertanggung jawab, berkepribadian untuk mengabdi kepada masyarakat; dan

mengembangkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan1.

Dengan hadirnya PP No. 153 Tahun 2000 dan UU Dikti memberikan

dampak yang cukup signifikan terutama dalam hal pendanaan. UGM

bermetamorfosis menjadi lembaga pendidikan yang bukan lagi dikuasai

sepenuhnya oleh Negara. Tentu saja, sadar maupun tidak UGM seolah-oleh

menjauhi cita-cita Bangsa yang tidak lain adalah cita-cita UGM sendiri.

Berkurangnya peran Negara dalam hal pendanaan tentu membuat UGM harus

bekerja keras untuk mampu mengembangkan kreatifitasnya dalam mengalang

dana guna tercapainya pengelolaan yang maksimal.

Maka sebagai konsekuensi logis UGM pada tahun 2003 membuka jalur-

jalur khusus, seperti: Ujian Mandiri, berbasis bakat, dll. Sistem Ujian mandiri di

UGM sendiri bertahan sampai 2011. Di tahun 2012 dengan adanya Undang-

Undang Perguruan Tinggi terjadi perubahan dengan mengadakan tiga model

seleksi, antara lain Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN),

Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri, dan ikut menyertakan Ujian

Mandiri. Ketiga sleksi masuk dibarengi dengan kebijakan Uang Kuliah Tunggal

(UKT) yang akan diterapkan pada peneriamaan mahasiswa di tahun 2013.

Lahirnya kebijakan ini bermula dengan keluarnya surat edaran Dirjen

Dikti yang dikeluarkan pada 21 Februari yang lalu dengan No. 305/E/T/2012

tentang Larangan Menaikkan Tarif Uang Kuliah, kemudian Surat Edaran Dirjen

1 Pengantar Redaksi yang di tulis oleh Drs. H. Nangtjik dalam Buku Kenangan Seperemat Abad

Universitas Gadjah Mada 1949-1974. Hal. VII dan juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah

No. 37 Tahun 1950 yang juga merupakan statuta UGM dan sampai sekarang di statuta yang

terbaru pun UGM masih konsisten menyertakan cita-cita tersebut.

6

Dikti nomor 488/E/T/2012 tanggal 21 Maret 2012 tentang Tarif Uang Kuliah SPP

di Perguruan Tinggi, Surat Edaran Dirjen Dikti 274/E/T/2012 bertanggal 16

Februari 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal, Surat Edaran Dirjen Dikti No.

21/E/T/2012 tanggal 4 Januari 2012 tentang Uang Kuliah Tunggal. Terakhir, Dikti

mengeluarkan Surat Edaran No. 97/E/KU/2013 tentang Uang Kuliah Tunggal

yang berisi Permintaan Dirjen Dikti kepada Pimpinan PTN untuk menghapus

uang pangkal dan melaksanakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa

baru program S1.

Hadirnya kebijakan ini pun diniatkan untuk meningkatkan tanggung jawab

negara sebagai penyedia pelayanan pendidikan sebagaimana amanat yang

tercantum pada UU Dikti dengan menghapus sistem mekanisme uang pangkal dan

diganti dengan sistem mencicil biaya pendidikan persemester. Namun, bila

dicermati bersama implementasi justru terjadi sebaliknya dengan adanya

mekanisme pukul rata yang mengakibatkan beban biaya pendidikan menjadi

semakin mahal. Dan hal ini justru menjadi sebuah tantangan untuk dapat di jawab

oleh UGM untuk bisa tetap mengamalkan jati diri UGM sebagai universitas

perjuangan nasional melawan kolonialisme, imperialisme, serta kapitalisme dan

ketidakadilan sosial yang ditimbulkannya2.

Situasi ini mengakibatkan terciptanya kondisi yang dilematis dalam tubuh

UGM dalam mengimplementasi UU Dikti. Situasi ini juga, menciptakan tarik ulur

yang dinamis dalam memformat implementasi kebijakan yang dirumuskan oleh

MWA dan Rektor UGM. Format implementasi yang akan dirumuskan UGM

2 Dapat dilihat secara jelas dan tegas dalam pembukaan draft statuta UGM 2012 dimana sudah

diselaraskan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2012.

7

sendiri akan menarik dimana konsep yang akan dihasilkan nanti akan dapat

melihat sejauh mana jati diri UGM digunakan dalam proses implementasi UU

Dikti. Dan tentu saja terjadi sebuah proses dinamis yag menyebabkan tarik

menarik antara aktor yang terlibat yang terjebak dalam proses pengelolaan

pendanaa atau repot dengan urusan administratif keuangan. Dihadapkan dengan

segala problematikanya yang sangat fundamental tersebut sudah barang tentu

terdapat dinamika yang patut diperhatikan yang terjadi di dalam internal UGM,

yakni menyangkut proses dan dampak implementasi kebijakan Undang-Undang

No. 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi.

Menginggat kajian mengenai implementasi kebijakan maupun kebijakan

pendidikan saat ini masih sangat sedikit terlebih lagi apabila kita berbicara

kebijakan dan implementasi kebijakan pendidikan dalam konteks politik. Maka

kajian ini berusaha untuk menambah khasanah dan persfektif baru dalam

memandang kebijakan pendidikan yang terjadi di indonesia. Sehingga dengan

latar belakang yang telah di paparkan di atas tulisan ini akan mencoba

meneropong proses dan dampak implementasi perubahan status UGM di masa

transisi dalam konteks sebagai kampus pancasila. Di mana UGM kembali

ditantang untuk menyelesaraskan konsep pancasila dengan konsep kebijakan UU

Pendidikan Tinggi yang akan digunakan pada akhir 2013.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang

Pendidikan Tinggi sebagai regulasi untuk mengatur pendidikan tinggi sebagai

ganti dari Undang-undang BHP yang digugurkan pada tahun 2010 lalu. Maka

8

dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi setiap universitas yang berstatus PT

BHMN dirubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN

BH) yang pengelolaan uangnya bersifat Badan Layanan Umum. Dan dimanatkan

setiap PT BHMN menyelesaikan persiapan menuju PTN BH sampai akhir tahun

2013.

Dengan demikian, menjadi sebuah hal yang menarik untuk dilakukan

beberapa telaah kritis maupun deskriftif untuk melihat proses implementasi

kebijakan pendidikan tersebut dalam lingkup Universitas Gadjah Mada yang mana

dalam universitas tersebut memiliki basis nilai (ideologi) yang telah dianut

semenjak dilahirkan. Apalagi kita ketahui bersama ideologi dalam pendidikan

menjadi sebuah hal yang penting untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi

karakter dari model pendidikan yang akan dilakukan sampai pada karakter dari

implementasi dari kebijakan. Untuk bisa membeda fenomena tersebut rumusan

masalahnya adalah:

Bagaimana proses implementasi Kebijakan pendidikan UU No. 12 Tahun

2012 Tentang Perguruan Tinggi di UGM dalam konteks kampus

Pancasila?

1.3 Tujuan Penelitian

Rumusan Masalah membawa peneliti untuk memperoleh jabaran tujuan-

tujuan diantaranya:

1. Mengetahui proses implementasi kebijakan Undang-Undang Perguruan

Tinggi di UGM

9

2. Mengetahui persiapan UGM dalam perubahan status dari BHMN ke PTN

BH

3. Ingin mengetahui sejauh mana jati diri UGM dimaknai dalam setiap

perumusan kebijakan dan memutuskan kebijakan yang diambil

4. Ingin mengetahui dampak yang akan terjadi dalam proses implementasi

kebijakan UU PT di UGM

Selain tujuan yang disebut diatas, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

membuka suatu perspektif baru dalam studi ilmu politik di jurusan politik

pemerintahan UGM yang selama ini minim kajian tentang kebijakan pendidikan.

Perspektif yang ada selama ini hanya mengkaji persoalan kebijakan pendidikan

yang cenderung menafikkan proses politik yang ada di dalam proses implementasi

kebijakan.

1.4 Kerangka Teori

Penelitian ini memakai teori politik yang berkenaan dengan kebijakan

publik dan implementasi kebijakan, persfektif dan pendekatan dalam

implementasi kebijakan, serta kriteria keberhasilan kebijakan pendidikan. Dari

teori-teori tersebut akan dikontekstualisasikan dengan hasil penelitian dalam studi

kasus proses implementasi kebijakan UU Dikti di UGM pada periode transisi

perubahan status PT BHMN ke PTN BH dalam konteks Kampus Pancasila.

1.4.1 Kebijakan Pendidikan

Biasanya wujud dari kebijakan adalah undang-undang, instruksi presiden,

peraturan pemerintah, peraturan mentri, keputusan pengadilan, statuta universitas

10

menyangkut kebijakan umum, rancangan anggaran keuangan, dan sebagainya

(Tilaar dan Nugroho: 2008). Namun, jika diperhatikan lebih jauh terwujudnya

sebuah kebijakan yang dilegalkan melalui undang-undang dan produk hukum

lainnya sudah tentu saja tidaklah bersifat ‘su generi’ dan steril dari berbagai

pengaruh politik. Mengingat kembali bahwa proses formulasi kebijakan tersebut

berada dalam ranah yang dinamis dan rentan terhadap pengaruh politik dan

birokratik (Solichin: 1997). Mulai dari pemunculan isu, debat publik dimedia

massa (polemik), lalu diagregasi dan diartikulasi oleh partai politik lewat

pembahasan di parlemen. Inilah yang kemudian yang menjadikan isu tentang

kebijakan pendidikan sangat erat kaitannya dengan pertarungan aktor-aktor yang

terlibat dalam pendidikan baik itu dari internal sendiri ataupun dari eksternal.

Menurut Anderson, kebijakan (policy) diartikan sebagai suatu arah

tindakan yang bertujuan dilaksanakan oleh pelaku kebijakan di dalam mengatasi

masalah atau urusan-urusan yang bersangkutan. Lalu ditambahkan oleh Jenkins,

“policy is a set of interrelated decisions…concering the selection of goals and the

means of achieving them within a specified situation” dengan kata lain

serangkaian keputusan yang saling terkait…berkenaan dengan pemilihan tujuan-

tujuan dengan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu (Hosio: 2006).

Maka secara tidak langsung kebijakan adalah sebuah kolektifitas dari beragam

solusi yang disajikan dalam sebuah ke-legal-an untuk kemudian dapat

dimplementasikan dalam menangani masalah, menciptakan kesejahteraan.

Salah satu varian kebijakan adalah kebijakan pendidikan. Kebijakan

pendidikan menurut Arif Rohman adalah kebijakan yang mengatur regulasi

berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta

11

pengaturan perilaku dalam pendidikan. Sedangkan, menurut penulis sendiri

kebijakan pendidikan (education policy) adalah keseluruhan proses dan hasil

perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijawabarkan dari visi dan

misi pendidikan dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu

masyarakat untuk kurun waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan pendidikan

merupakan keputusan berupa pedoman bertindak, baik yang bersifat sederhana,

maupun kompleks yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arahan

tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam meyelenggarakan

pendidikan (Arif Rohman: 2012).

Konsep kebijakan seperti yang sering dipakai dalam literatur kebijakan

terkini mengasumsikan bahwa kebijakan mewakili suatu konsensus. Padahal

sesungguhnya kebijakan tidak mesti mewakili suatu konsensus an sich, melainkan

suatu proses pemikiran yang rasional yang dipakai yang terkandung dalam proses

perumusan dan implementasi kebijakan dan bisa jadi kebijakan yang dihasilkan

bisa bersifat netral atau malah bersifat memihak dan mengaleniasi suatu pihak.

Maksud saya adalah kebijakan berarti juga sebuah kompromi politik yang

dilakukan secara dinamis dan interaktif, satu penyelesaian diantara kepentingan

yang saling bersaing. Bahkan, menurut Taylor et al. kebijakan adalah

Suatu yang dinamis dan interaktif, bukan hanya seperangkat suruhan, tetapi juga niat. Kebijakan merupakan kompromi politik antara citra yang bertentangan mengenai bagaimana seharusnya perubahan pendidikan harus berjalan… kata-kata dalam kebijakan dipilih dengan cermat dan banyak diperbaiki sesuai dnegan keberatan yang diajukan berbagai kelompok kepentingan.

Kompromi politik yang dimaksud oleh Taylor et al. secara khas dicapai

melalui negosiasi nilai-nilai oleh pemerintah atau pemangku kebijakan diantara

12

kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat. Hal ini juga

ditekankan oleh Easton yang menganggap kebijakan sebagai “jejaring keputusan

dan tindakan yang menentukan nilai”. Hakikat dasar kebijakan terletak pada

kenyataan bahwa melaluinya ada hal tertentu yang tidak bisa dimiliki beberapa

orang, tetapi bisa dicapai oleh orang lain (Easton dalam Sirozi: 2004: 86). Masih

menurut Easton Prunty, ia menekankan penggunaan kekuasaan dalam proses

kebijakan dan mendefinisikan kebijakan sebagai “penentuan nilai secara

berkewenangan”, jadi konsep kebijakan sangat bergantung kepada pelibatan

penggunaan ideologi kekuasaan, kendali, dan validasi dari kelompok tertentu.

Pandangan-pandangan pakar politik tadi mengambarkan bahwa kebijakan

tidaklah semata-mata netral dari kepentingan, penyusupan nilai, dan pengendalian

terhadap suatu kelompok, melainkan kebijakan bersifat tidak murni (memiliki

keberpihakan) dan terkadang tidaklah rasional. Dengan demikian, kebijakan

publik selalu berkaitan erat dengan konteks, nilai, kepentingan dan sumber

tertentu. Dan yang menjadi sorotan adalah faktor nilai dimana faktor nilai dalam

proses kebijakan bukan “topeng” semata, melainkan sebuah hal yang sangat

mendasar dari sebuah kebijakan.

...mudah mengesampingkan nilai sebagai topeng untuk menutupi kepentingan semata, dan memang prinsip sering mengikuti kepentingan diri. Namun, nilai tetap mendasar bagi proses politik, dan dengan demikian bagi pembentukan kebijakan. Sedikit saja orang yang termotivasi oleh keuntungan materi, dan banyak perdebatan kebijakan sesungguhnya adalah perselisihan tentang peran negara dan pemangku kebijakan yang bisa diterima (Warhust dan Weller: 1988:3).

Hakikat proses kebijakan yang sarat dengan nilai ini juga diakui oleh

Richardson yang mengatakan bahwa kebijakan “tidaklah netral” kebijakan selalu

13

menguntungkan dan merugikan sektor masyarakat yang berbeda. Sehingga proses

formulasi kebijakan adalah proses yang dinamis, tanpa adanya awal dan akhir dan

memiliki kecenderungan untuk kekacauan takala kondisi awal yang sederhana

menghasilkan pola-pola yang kompleks dan tak terduga.

1.4.2 Implementasi Kebijakan Pendidikan

Implementasi kebijakan sendiri memiliki makna menyediakan sarana

untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak terhadap sesuatu atau

biasa diartikan secara sederhana sebagai proses menjalankan kebijakan. Hal

tersebut senada dengan apa yang dirumuskan oleh kedua ilmuan dalam kebijakan

publik, yakni Van Meter dan Van Horn dalam bukunya The Policy

Implementation Process, implementasi kebijakan merupakan keseluruhan

tindakan yang dilakukan oleh individu, pejabat, instansi-instansi pemerintah

maupun swasta yang diarahankan kepada tujuan capaian kebijakan yang telah

ditentukan terlebih dahulu (Van Meter dan Van Horn dalam Solichin: 1997: 65).

Dalam menganalisa kebijakan masalah implementasi kebijakan Charles O.

Jones mendasarkan diri pada aktifitas-aktifitas fungsional. Menurutnya

implementasi adalah suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengoperasikan

sebuah program. Ada tiga pilar dalam mengoperasikan program tersebut.

Pertama, pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya,

unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa berjalan. Kedua,

interpretasi, yaitu aktivtas menafsirkan agar program menjadi rencana dan

pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. Ketiga, aplikasi,

14

berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau

lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.

Dari paparan tersebut tergambarkan bahwa implementasi kebijakan

termasuk pengertiannya implementasi kebijakan pendidikan merupakan proses

yang, bukan hanya menyangkut perilaku badan administratif, melainkan juga

menyangkut faktor hukum, politik, ekonomi, sosial yang secara langsung atau

tidak langsung berpengaruh terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam kebijakan

tersebut. Artinya, implementasi kebijakan, bukan hanya menjadi hak monopoli

birokrasi pendidikan saja, tetapi juga melibatkan semua pihak. Hal ini sesuai

dengan pandangan Van Meter dan Horn (Grindle: 1980: 6) bahwa tugas

implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan

publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan

berbagai pihak yang berkepentingan (policy stakeholders).

1.4.3 Persfektif Implementasi Kebijakan Pendidikan

Untuk mempercerah tulisan ini ada baiknya kita berangkat dari teori-teori

implementasi kebijakan agar kita dapat melihat proses perumusan kebijakan yang

terjadi dalam lingkungan UGM sebagai respon dari pengimplementasian UU No.

12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Ada beberapa gagasan yang pernah

disebutkan oleh berbagai macam ahli kebijakan publik tentang bagaimana

menganalisa implementasi kebijakan. Sebagaimana yang telah diceritakan pada

bagian sebelumnya bahwa implementasi kebijakan tidak hanya dimonopoli oleh

birokrasi pendidikan maka implementasi kebijakan sangat kuat dimensinya akan

faktor-faktor politik dan sosial yang datang dari internal ataupun eksternal

15

(Grindle: 1980: 7). Untuk itulah kemudian dalam setiap pengimplementasian

kebijakan memiliki perbedaan, hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang

dimiliki oleh tempat dimana implementasi kebijakan itu dilaksanakan. Dalam

konteks kali ini adalah kampus UGM sebagai objek dari UU PT.

Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau

pendekatan. Salah satunya ialah teori yang dikembangkan oleh Van Meter dan

Van Horn. Mereka berdua mengawali teorinya dengan sebuah pertanyaan kenapa

dalam setiap pengimplementasian kebijakan mengalami hasil yang kadang

berbeda dalam sebuah produk kebijakan yang sama?. Kondisi ini disebabkan

karena proses implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh sifat

kebijakan yang akan dilaksanakan, kondisi latar belakang, nilai-nilai yang ada di

tempat implementasi kebijakan atau kondisi sosial, dan kondisi politik ditempat

implementasi kebijakan. Menurut kedua tokoh ini, perubahan, kontrol, dan

kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-

prosedur implementasi.

Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang

perlu dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan-hambatan apa sajakah yang

dialami dalam mengenalkan perubahan dalam tata kelola, artinya perubahan

konsep pelaksanaan dari kebijakan sebelumnya. Seberapa jauhkan keterlibatan

atau pengaruh politik dan nilai-nilai internal serta eksternal yang memengaruhi

implementasi kebijakan.

Dari sini sebetulnya dapat ditarik tipologi kebijakan yang ingin

disampaikan oleh Van Meter dan Van Horn, tipologi kebijakan tersebut dibedakan

16

dalam dua hal, yaitu: pertama, jumlah masing-masing perubahan yang akan

dihasilkan. Kedua, jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara

pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Dari kedua

indikator ini maka dapat ditangkap secara jelas bahwa suatu implementasi akan

berhasil manakala pada satu sisi perubahan yang dikehendaki relatif sedikit serta

pada sisi yang lain adalah kesepakatan terhadap tujuan dari pelaku atau pelaksana

dalam penafsiran perumusan kebijakan dan pelaksanaan programnya relatif tinggi.

Sedangkan, menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua

perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan

perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi

pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien.

Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara

menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi

oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota

lembaga legislatif dan berbagai faktor dalam lingkungan politis.

Berbeda dengan pendekatan administrasi publik, pendekatan politik mulai

memberikan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi,

seperti ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan

preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis

implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan

tujuannya.

Teorisasi implementasi kebijakan juga muncul dari Ripley & Franklin

(1986) memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam

17

implementasi kabijakan. Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur

administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan

agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif

kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut

Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni:

pertama, banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang

diperhatikan. Kedua, adanya program yang tidak didesain dengan baik.

Pendekatan kedua adalah pendekatan faktual yang berasumsi bahwa terdapat

banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang

mengharuskan implementor lebih leluasa mengadakan penyesuaian.

Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu

sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor

eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif.

Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang

juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang

mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle: 1980: 7).

Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat

dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap

implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan

implementor, yaitu: pertama, kepatuhan implementor mengikuti apa yang

diperintahkan oleh atasan, dan kedua kemampuan implementor melakukan apa

yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh

eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.

18

Keberhasilan kebijakan atau program juga dapat dikaji berdasarkan

perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses,

program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan

petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang

mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan

manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil

manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program

mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau

dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

Untuk mengukur keberhasilan proses implementasi ada dua pendekatan

yang perlu dilakukan, yaitu: pendekatan positif dan normatif (Tilaar: 1994: 46).

Sedangkan, ilmuan lain seperti Solichin Abdul Wahab mengatakan bahwa setiap

kita melihat proses implementasi kebijakan perlu empaat pendekatan yang perlu

dilakukan, antara lain: pendekatan struktural, pendekatan prosedural dan

manajerial, pendekatan perilaku, dan pendekatan politik.

Dari beberapa pendekatan yang telah dipaparkan, penulis akan meminjam

pendekatan perilaku (Behavioural Approach) dan Pendekatan Politik (Political

Approach) sebagai terorisasi untuk memahami proses implementasi UU No 12

Tahun 2012 di UGM. Dengan menggunakan pendekatan tersebut, penulis dapat

melihat implementasi kebijakan baik secara struktural dan managerial, yang

dilihat sebagai aspek politis dari perilaku pelaku yang menajalankan kebijakan

tersebut. Pada akhirnya mampu mendeskripsikan dinamisasi dan kompleksitas

implementasi kebijakan.

19

1.4.3.1 Pendekatan Perilaku (Behavioural Approach)

Pendekatan ini diambil karena dinilai memiliki keunggulan dibandingkan

dengan pendekatan lainnya seperti, pendekataan prosedural dan manajerial. Selain

itu juga, untuk dapat melihat kekhasan UGM mengimplementasikan kebijakan

UU PT yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada. Pendekatan ini secara tegas

meletakkan dasar semua orientasi dari kegiatan implementasi kebijakan pada

perilaku manusia sebagai pelaksana, bukan pada organisasi sebagaimana

pendekatan lain. Dengan begitu, pendekatan ini akan mampu mengungkapkan

orientasi dari individu-individu yang akan melaksanakan kebijakan dengan

melihatkan perilaku masing-masing individu-individu yang terlibat.

Pendekatan ini juga berasumsi bahwa upaya implementasi kebijakan yang

baik adalah apabila perilaku manusia beserta segala sikapnya juga harus

dipertimbangkan dan dipengaruhi agar proses implementasi kebijakan tersebut

dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam beberapa kasus dapat kita jumpai secara

konsep sebuah kebijakan terlihat ideal, namun eksekusi dilapangan terhambat oleh

penolakan dari masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan.

Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan penolakan masyarakat

terhadap sebuah kebijakan. Adanya kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan

yang akan terjadi. Dengan terjadinya perubahan tersebut, maka kemapanan

masyarakat akan terusik. Terlebih, ada kelompok masyarakat yang selama ini

diuntungkan dengan kemapanan nilai dan karakter tersebut (Arief Rohman, 2012:

113). Hal ini terjadi karena kebijakan yang akan diimplementasikan memiliki

20

pertentangan nilai yang terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh individu maupun

organisasi.

Usaha penolakan tersebut hadir karena pertama, ada rasa ”status fear”

akan hilangnya dominasi atau pengaruh terhadap sistem sosial, politik, nilai-nilai

yang sudah mengakar, maupun keamanan kedudukan kelompok-kelompok

tertentu. Kedua, kekurangan informasi yang diterima berkenaan dengan kebijakan

yang bersangkutan. Bisa jadi informasi yang didapatkaan tidak sempurna atau

memang sengaja informasi tersebut ditahan sehingga tidak sempurna karena

dikhawatirkan akan menambah kompleksitas dalam implementasi kebijakan.

Pada bagian lain, penerapan analisis keperilakuan (bahavioural analysis)

pada masalah manajemen yang paling menonjol adalah OD (organizational

development). Solichin menuturkan bahwa OD adalah suatu proses untuk

menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam organisasi melalui

penerapan ilmu keperilakuan atau bisa disebut sebagai Management of Objective,

yakni suatu pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang terdapat pada

pendekatan struktural manajerial dengan unsur-unsur yang termuat dalam analisis

perilaku (Solichin: 1997: 117).

1.4.3.2 Pendekatan Politik Implementasi Kebijakan (Political approach Policy Implementation)

Pendekatan ini lebih memandang bahwa implementasi kebijakan juga

sangat dipengaruhi oleh faktor politik atau kekuasaan yang ada di dalam maupun

di luar organisasi pelaksana kebijakan. Di mana faktor politik tersebut mampu

memperlancar atau menghambat implementasi kebijakan. Faktor tersebut terjadi

karena adanya perbedaan dan persaingan individu atau kelompok dalam suatu

21

organisasi yang mengimplementasi kebijakan. Van Horn dan Van Mater (1974)

menjelaskan bahwa implementasi diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu

melalui persepsi dari pelaksana dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan.

Pendekatan politik berusaha untuk melihat sejauh mana organisasi tersebut

mempertimbangkan kontestasi kepentingan atas kelompok pengikut dan

penentang beserta dinamika dalam mengimplementasi kebijakan. Sehingga akan

terlihat jelas, realitas politik diinternal organisasi yang mempengaruhi

implementasi kebijakan. Dengan demikian mengunakan pendekatan ini akan lebih

melihat dan mempertimbangkan realitas politik yang ada dalam organisasi yang

turut membuntuti implementasi kebijakan.

1.4.4 Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan

Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja

implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan,

organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan

kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi, memberikan

kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya,

ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana,

karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang

mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik.

Sedangkan, lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau

negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan

menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap

kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan

22

negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam

akan gagal. Kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung

dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.

Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan

Franklin didasarkan pada tiga aspek, yaitu: pertama, tingkat kepatuhan birokrasi

terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam

undang-undang. Kedua, adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah,

serta ketiga pelaksanaan dan dampak yang dikehendaki dari semua program yang

ada terarah.

Kemudian, ada variabel dorongan dan paksaan yang ditentukan oleh

legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk

mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan dapat dilihat melalui: pertama,

besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin besar dana yang

dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan kedua

bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi

pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar.

Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula

dipahami adanya hubungan pengaruh antara implementasi kebijakan dengan

faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (Grindle:

1980) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus

menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud

oleh keduanya meliputi: ukuran dan tujuan kebijakan, sumber kebijakan, ciri atau

23

sifat badan/instansi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi

kegiatan yang dilaksanakan, sikap para pelaksana, dan lingkungan ekonomi, sosial

dan politik.

Menurut Quade, dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan

terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran

dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti

dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh

umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan

masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya.

Quade memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel yang harus

diteliti dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu: Kebijakan yang

diimpikan, yaitu pola interaksi yang diimpikan agar orang yang menetapkan

kebijakan berusaha untuk mewujudkan; Kelompok target, yaitu subyek yang

diharapkan dapat mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek

yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya; Organisasi yang

melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang

bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan; dan Faktor lingkungan, yaitu

elemen dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang

mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” (Wahab, 1991: 117).

Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah

mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada

keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan

24

Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: pertama, mudah

atau sulitnya dikendalikan masalah yang digarap, kedua, kemampuan kebijakan

untuk mensistematisasi proses implementasinya, dan ketiga pengaruh langsung

variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam

kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan tahap

implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat. Sedangkan variabel

terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi, antara lain:

pertama, output kebijakan badan pelaksana, kedua kesediaan kelompok sasaran

mematuhi output kebijakan, ketiga dampak nyata output kebijakan, keempat

dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan kelima perbaikan.

1.5 Definisi Konseptual

1.5.1 Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan adalah kebijakan yang menyangkut persoalan

pendidikan. Kebijakan pendidikan juga dapat dimaknai sebagai keseluruhan proses

dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijawabarkan dari

visi dan misi pendidikan dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam

suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu. Dapat diartikan juga sebagai

keputusan berupa pedoman bertindak, baik yang bersifat sederhana, maupun

kompleks yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arahan tindakan,

program, serta rencana-rencana tertentu dalam meyelenggarakan pendidikan.

25

1.5.2 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah dan swasta baik secara individu maupun secara kelompok yang

dimaksudkan untuk mencapai tujuan .Dengan begitu, tugas implementasi adalah

membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan

melalui aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak.

Implementasi kebijakan adalah suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk

mengoperasikan sebuah program. Ada tiga pilar dalam mengoperasikan program

tersebut. Pertama, pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali

sumberdaya , unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa

berjalan. Kedua, interpretasi, yaitu aktivtas menafsirkan agar program menjadi

rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan. Ketiga,

aplikasi, berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran,

atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.

1.6 Definisi Operasional

Penelitian ini akan membahas secara deskriftif terkait dengan proses

implementasi kebijakan UU PT yang akan berdampak perubahan status PT BHMN

ke PTN BH di UGM.

1.6.1 Kebijakan Pendidikan

Dalam penelitian ini kebijakan pendidikan akan dilihat dengan

indikator:

1. Perumusan langkah-langkah strategis pendidikan

26

2. Visi dan Misi pendidikan dalam mewujudkan tercapainya tujuan

pendidikan

3. Proses politik untuk suatu arahan tindakan dan program

penyelenggaraan pendidikan

1.6.2 Implementasi Kebijakan

Dalam memahami Implementasi Kebijakan ada beberapa indikator

yang bisa dipinjam:

1. Interpretasi, proses menafsirkan rencana kebijakan dan pengarahan

yang tepat dan dapat diterima oleh semua elemen yang ada di UGM.

2. Pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya

yang dilakukan oleh UGM

3. Aplikasi, pelaksanaan di UGM berkaitan dengan kesusuain dengan

tujuan kebijakan

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini hendak menggunakan pendekatan anti-positivis dengan

metode penelitian kualitatif yang memanfaatkan teknik Studi Kasus. Ada

beberapa poin yang menjadi pertimbangan mengapa teknik Studi Kasus dipilih

untuk melihat apa esensi dari dinamika politik yang terjadi di internal UGM, apa

saja fenomena sosial yang mengiringi proses politik tersebut, serta bagaimana

peta aktor yang terlibat. Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah sebuah cerita

yang unik, spesial atau menarik. Cerita kasus ini dapat berfokus pada suatu

27

individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau kejadian disekitar.

Dalam kajian melalui desain studi kasus ini esensi yang akan diangkat adalah

penjelasan mengapa sesuatu yang menarik itu bisa terjadi, bagaimana

implementasinya dan apa yang dihasilkan dari sesuatu yang menarik itu

(Schramm, 1971, dalam Yin, 2003:18).

Poin yang pertama adalah bahwa dalam Studi Kasus, dengan mengacu

kepada serangkaian prosedur yang ada dalam teknik tersebut, seorang peneliti

telah diarahkan untuk dapat merumuskan sejumlah pertanyaan penelitian

berdasarkan kepada sesuatu yang sifatnya ―Mengapa dan Bagaimana―. Hal ini

disebabkan pertanyaan yang diawali dengan kata-kata tersebut akan mengarahkan

peneliti untuk dapat mengungkap fenomena tersembunyi yang ada dalam sebuah

kejadian atau peristiwa tertentu yang hendak dikaji dalam sebuah penelitian.

Selain itu, dalam Studi Kasus seorang peneliti dalam hal melakukan

pengumpulan data dapat menggunakan kombinasi strategi, seperti memakai teknik

observasi, wawancara, studi literasi, media massa, arsip yang sekiranya mampu

membantu peneliti dalam menemukan jawaban atau kasus yang sedang ditelitinya.

Karena sifatnya yang dapat menerima semua strategi pengumpulan data, selama

hal tersebut dinilai dapat membantu peneliti menjadikan Studi Kasus sebagai

sebuah pilihan yang tepat dalam hal teknik penelitian kualitatif guna mengungkap

fenomena dinamika politik yang terjadi di Internal UGM dalam merespon

kebijakan pemerintah dari PT BHMN ke PTN BH.

Selanjutnya penelitian ini akan menjawab pertanyaan dengan penjelasan

dan pengeksplrorasian suatu kasus. Penjelasan dan pengeksplorasian yang saya

28

maksud adalah mencakup tentang peristiwa yang telah terjadi dimasa kasus

tersebut terjadi. Dimana hal itu mencakup kejadian dan siapa saja yang terlibat,

apa peristiwanya, bagaimana orang terlibat, bentuk perbuatannya, catatan historis

atau dinamika kegiatan pelaku dalam setting peristiwa atau kasus tertentu (Zed,

2004: 57). Sehingga penelitian ini diharapkan mampu menangkap fenomena hari

ini untuk kemudian dikembangkan dimasa yang akan datang.

Guna memudahkan dalam mengungkap sebuah fenomena peneliti harus

membekali dirinya dengan sejumlah teori tertentu sebagai basis utama untuk

melihat bagaimana sesungguhnya dinamika dari kasus yang hendak dikaji dari

berbagai perspektif. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini

dibutuhkan sejumlah data guna telaah lebih lanjut atas kasus yang akan diteliti.

Data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua macam, yakni apa yang

disebut dengan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang

diperoleh secara langsung oleh peneliti berdasarkan pengamatan yang dilakukan di

lapangan. Sementara itu, yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang

diperoleh secara tidak langsung di lapangan oleh peneliti, yakni dengan

berbasiskan kepada data yang terdapat dalam berbagai macam literatur yang

berguna untuk membantu peneliti menjelaskan sebuah fenomena atau kasus yang

sedang diteliti. Oleh karena itu, teknik studi kasus sangat tepat digunakan untuk

tema penelitian ini yang sangat spesifik dan khusus objek penelitiannya.

1.7.2 Teknik Pengumpulan data

Sebagaimana metode yang dipilih teknik pengumpulan data yang kemudian

digunakan adalah bersumber pada data primer dan data sekunder. Data perimer

29

dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan indepth interview kepada

pemangku kebijakan UGM, antara lain: anggota Majelis Amanat UGM, Anggota

Senat Akademik, dan Rektor UGM. Karena kebijakan tidak bersifat netral karena

memiliki nilai yang terkandung didalamnya penelitian ini akan mewawancari juga

aktor-aktor yang menurut penulis memahami konteks kebijakan pendidikan era

awal berdirinya UGM, seperti Prof. Sutaryo, Prof Soebronto, dan kalangan yang

masing memegang teguh nilai-nilai ke-UGM-an.

Serta ikut juga, mewawancarai tokoh-tokoh UGM yang memiliki peran

dalam mengimplementasikan Undang-Undang Dikti, seperti: Prof. Pratikno selaku

Rektor UGM, Prof. Sofian Efendi selaku Ketua Majelis Wali Amanat UGM, Dr.

Didi Achari selaku Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan dan Sistem

Informasi, dan Luthfi Hamzah, S. IP selaku anggota Majelis Wali Amanant unsur

Mahasiswa. Kemudian data sekunder penelitian ini diperoleh dengan

mengumpulkan literatur-literatur yang diperoleh dari kajian pustaka, yang terdiri

dari library research, naskah-naskah kebijakan UGM, naskah-naskah hasil sidang

pleno di Majelis Wali Amanat, Jurnal-Jurnal, dan internet.

1.7.3 Analisa Data

Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sejak

pengumpulan data dimulai, maka akan dicari juga arti peristiwa, mencatat

keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur

sebab akibat dan proposisi (Zed, 2004: 57). Setelah data-data diperoleh, akan

dilakukan analisis. Pertama dimulai dengan pereduksian data, reduksi data

bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis

30

hal ini dilakukan peneliti memilah-milah data mana yang diperlukan, mana yang

dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita apa

yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis.

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,

mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara

sedemikian rupa sampai pada kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi.

Dalam pembuatan kesimpulan pun akan dilakukan bedasarkan alur yang telah

dirunutkan yang kemudian mampu menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah.

1.8 Sistematika Penulisan

Naskah penelitian ini akan disusun dalam lima bab dipaparkan dengan

urutan agar mampu menyajikan uraian yang runut. Bab pertama merupakan bab

yang akan menerangkan Bab-bab selanjutnya yang terdiri atas latar belakang,

rumusan masalah, kerangka teori, tujuan penelitian yang memaparkan terkait

dengan konsep kebijakan publik yang bersifat tidak netral karena berbasiskan

nilai-nilai tertentu kemudian dikaitkan dengan teori implementasi kebijakan, dan

metode penelitian, serta teori-teori pendukung lain guna menjawab pertanyaan dari

penelitian ini. Bab kedua bercerita tentang konten dari pada kebijakan Undang-

undang Pendidikan Tinggi yang berisi tentang keriwetan yang terjadi didalamnya

dan apa sebenarnya visi pendidikan yang akan dibawa oleh kebijakan ini. Bab

ketiga konteks kebijakan pendidikan di UGM dalam implemetasi kebijakan

pendidikan. Bab keempat akan membahas mengenai interpretasi implementasi

Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti) di UGM

yang merubah status dari BHMN ke PTN BH serta berusaha melihat dinamika

31

politik yang terjadi di dalamnya. Bab kelima kesimpulan yang membahas dampak

yang terjadi dari implementasi kebijakan pendidikan dalam UU Dikti dimana

terjadi keruwetan dan dilema-dilema yang dihadapi UGM dalam proses

implementasi kebijakan UU Dikti.