bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Yugoslavia pada tahun 1991 merupakan negara yang terdiri dari 23 juta
penduduk dari etnis yang berbeda-beda. Yugoslavia terdiri dari enam daerah
republik yang semi otonom dan salah satunya adalah Bosnia-Herzegovina yang
sejak April 1992 diakui oleh Komunitas Eropa dan Amerika Serikat sebagai
negara independen. Pengakuan ini diikuti oleh hampir delapan puluh komunitas
internasional lainnya. Nama Bosnia-Herzegovina sendiri berasal dari
penggabungan dua propinsi yaitu Herzegovina dan Bosnia. Jumlah penduduk
Bosnia-Herzegovina adalah 4,53 juta yang terdiri dari 43,7 persen Slavic
Muslims, 31,3 persen Etnis Serbia dan 17,3 persennya Etnis Kroasia. Kelompok
etnis yang berbeda-beda ini semuanya saling bercampur, walaupun di beberapa
wilayah tertentu, satu jenis etnis merupakan mayoritas dibandingkan dengan etnis
lainnya. Etnis Muslim merupakan etnis yang dominan pada bagian paling ujung
di Barat Daya Bosnia dan di bagian Timur Bosnia. Pada daerah sebagian besar
Barat Daya Bosnia dan sebagian wilayah timur Bosnia didominasi oleh mayoritas
etnis Serbia. Pada bagian Barat Bosnia didominasi oleh mayoritas etnis Kroasia.
Pada bagian Tengah Bosnia, ketiga etnis ini hidup secara berdampingan.1
Menjelang pemilihan umum multi partai yang diadakan di Bosnia-
Herzegovina pada akhir tahun 1990, tiga partai politik muncul sebagai
1 Lihat Helsinki Watch, 1992, War Crimes in Bosnia-Herzegovina, Human Rights Watch, United
States of America, hlm.7
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
perwakilan dari beragam kelompok etnis yang ada di Bosnia-Herzegovina. Tiga
partai politik tersebut mewakili etnis Muslim Bosnia, etnis Serbia dan etnis
Kroasia. Walaupun mendapat tentangan etnis Serbia, perwakilan etnis Muslim
Bosnia dan etnis Kroasia yang berada di dalam Parlemen Bosnia-Herzegovina
mendeklarasikan kemerdekaan Republik Bosnia-Herzegovina pada Oktober
1991. Hal ini mengakibatkan ketegangan antar etnis mulai meningkat. Etnis
Serbia menginginkan agar Bosnia-Herzegovina tetap tergabung sebagai salah
satu propinsi Yugoslavia, sedangkan etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia
menginginkan Bosnia-Herzegovina menjadi negara yang merdeka terlepas dari
Yugoslavia. Pada akhir Desember 1991, etnis Muslim Bosnia dan etnis Kroasia
memutuskan untuk mencari pengakuan internasional secara de facto dan de jure
agar Bosnia-Herzegovina diakui sebagai negara yang merdeka. Tetapi etnis
Serbia menentang keras langkah ini dan memutuskan untuk mendeklarasikan
sendiri negara mereka di dalam Bosnia-Herzegovina pada awal Januari 1992.
Pada 29 Februari dan 1 Maret 1992, sebuah referendum diadakan di Bosnia-
Herzegovina. Referendum ini dimenangkan oleh etnis Muslim Bosnia dan etnis
Kroasia yang memilih agar Bosnia-Herzegovina menjadi negara yang merdeka.
Kebanyakan etnis Serbia memboikot referendum tersebut dan menyatakan bahwa
referendum tersebut tidak sah. Kekerasan antar etnis terus meningkat menjelang
dan setelah referendum, dan akhirnya meningkat menjadi perang antar etnis pada
awal April 1992, yaitu ketika komunitas-komunitas internasional mengakui
kemerdekaan Bosnia-Herzegovina dan mengakui Bosnia-Herzegovina sebagai
sebuah negara.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
Peperangan antara etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia terhadap etnis Muslim
Bosnia mulai pecah pada April 1992 yang di tandai dengan dikuasainya kota
Bijeljina, yaitu kota yang dihuni oleh etnis Muslim Bosnia, oleh Serbia.
Kemudian diikuti dengan diambil alihnya kota Sarajevo pada tanggal 5 April
1992.
Etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia ketika hendak mengambil alih suatu kota
pertama-pertama akan mengirimkan pasukan Serbia Bosnia (regular Bosnia Serb
forces) dan Yugoslav People‟s Army troops untuk membuat barikade
mengelilingi kota atau desa yang hendak diserang. Kemudian mereka akan
meminta seluruh etnis Serbia yang tinggal di kota atau desa tersebut untuk pergi,
dan diikuti dengan penyerangan terhadap kota atau desa tersebut. Pengepungan
terhadap wilayah yang diserang akan memutus segala pasokan bahan-bahan
makanan, obat-obatan dan air masuk ke kota atau desa yang diserang. Setelah
tidak mendapatkan perlawanan lagi, maka etnis Serbia dan etnis Serbia Bosnia
akan mengirimkan pasukan khususnya untuk memasuki dan membersihkan kota
atau desa tersebut dari etnis Muslim Bosnia atau etnis Kroasia yang tersisa.
Kemudian, etnis Serbia yang sebelumnya telah meninggalkan kota atau desa
sebelum penyerangan, akan kembali dan menguasai seluruh rumah dan unit-unit
usaha dari penduduk sebelumnya.2
Hal ini dilakukan sebagai rangkaian kebijakan politik Presiden Serbia
Slobodan Milosevic yang mengatakan pada diplomat-diplomat Eropa Barat
bahwa akan ada sebuah negara Serbia baru sebagai The Fatherland of all Serbs.
2Lihat Howard Ball, 1999, Prosecuting War Crimes and Genocide: The Twentieth-Century,
University Press of Kansas, Kansas, hlm.128
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Milosevic juga mengatakan bahwa musuh Serbia adalah kaum nasionalis
Slovenia dan Kroasia serta kaum fundamentalis Muslim Bosnia, kemudian Serbia
akan melakukan tindakan-tindakan untuk menghancurkan mereka.3
Sejak April 1992 sampai dengan Januari 1993, jumlah orang yang tewas
akibat dari perang saudara antar etnis di Bosnia-Herzegovina diperkirakan sekitar
17.000 orang, dengan kurang lebih dua juta pengungsi yang lari meninggalkan
Bosnia-Herzegovina.4 Pasukan bersenjata Serbia di Bosnia-Herzegovina
diperkirakan telah membunuh sekitar antara 128.000 sampai dengan 200.000
warga etnis Muslim Bosnia atau dengan perbandingan satu tentara membunuh
sepuluh orang warga etnis Muslim Bosnia.5
Tindakan-tindakan yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, dapat dikategorikan
sebagai grave breaches sesuai dengan rumusan dalam Pasal 147 Konvensi
Jenewa Keempat,
“…willfully causing great suffering or serious injury to body or health,
unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a protected
person…”
Kemudian Pasal 85 paragraf 4 menambahkan beberapa tindakan pelanggaran
yang dikategorikan sebagai grave breaches yaitu jika dilakukan dengan sengaja
dan bertentangan dengan Konvensi atau Protokol I. Tindakan pelanggaran
tersebut adalah :
“(a) the transfer by the occupying Power of parts of its own civilian
population into the territory it occupies, or the deportation or transfer of all
3 Dikutip dalam Honog dan Both, Srebrenica, hlm. 71-72
4 Lihat Charles L. Nier III, The Yugoslavian Civil War: An Analysis of the applicability of the Laws of
War Governing Non-International Armed Conflicts in the Modern World, 10 DICK.J. INT'L L. 310. 5 Lihat Fred McCloskey, The U.S. is Appeasing Fascism and Genocide, THE CHRISTIAN SCI.
MONITOR, Dec. 31, 1992, hlm. 19
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
or parts of the population of the occupied territory within or outside this
territory, in violation of Article 49 of the Fourth Convention…”
Pasal 85 paragraf 5 menyebutkan bahwa grave breaches menurut Konvensi
Jenewa dan Protokol I dianggap sebagai war crimes atau kejahatan perang.
Secara khusus, di Bosnia-Herzegovina telah terjadi tindakan pengusiran
secara paksa terhadap etnis tertentu dengan menggunakan intimidasi dan
tindakan-tindakan kekerasan, agar etnis tersebut meninggalkan wilayah asalnya.
Tindakan seperti ini dikategorikan sebagai tindakan pembersihan etnis.
Istilah pembersihan etnis baru dikenal pada tahun 1990. Istilah pembersihan
etnis ini dapat ditemukan dalam resolusi dari organisasi-organisasi internasional,
sebagaimana yang dirumuskan oleh komisi yang terdiri dari para ahli bentukan
Dewan Keamanan PBB yaitu,
“ Rendering an area ethnically homogeneous by using force or intimidation
to remove persons of given groups from the area." 6
Kemudian dalam laporan finalnya, komisi tersebut menyebut pembersihan
etnis sebagai,
"a purposeful policy designed by one ethnic or religious group to remove by
violent and terror-inspiring means the civilian population of another ethnic
or religious group from certain geographic areas." 7
The Security Council's Commission of Experts menyatakan bahwa
pembersihan etnis dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, meliputi :
“ by means of murder, torture, arbitrary arrest and detention, extra-judicial
executions, rape and sexual assault, confinement of civilian population in
ghetto areas, forcible removal, displacement and deportation of civilian
6 Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council
Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 7 Lihat Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council
Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex 1, at 33, U.N. Doc. S/1994/674 (1994)
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
population, deliberate military attacks or threats of attacks on civilians and
civilian areas, and wanton destruction of property.” 8
Dari rumusan diatas, maka istilah pembersihan etnis sesungguhnya
merupakan istilah yang melingkupi berbagai jenis tindakan delik yang memiliki
tujuan akhir untuk mengarahkan anggota dari kelompok etnis tertentu untuk
keluar dari wilayah asal mereka dengan maksud untuk mengurangi jumlah
anggota dari kelompok tersebut.
Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyebutkan bahwa :
“ (1) Individual or mass forcible transfers, as well as deportations of
protected persons from occupied territory to the territory of the Occupying
Power or to that of any other country, occupied or not, are prohibited,
regardless of their motive.
…
(6) The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its own civilian
population into the territory it occupies.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 paragraf (1) Konvensi Jenewa Keempat,
maka tindakan-tindakan pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia-Herzegovina
adalah dilarang, baik dilakukan ke wilayah lain dari wilayah yang dikuasai atau
ke negara lain.9 Demikian juga tindakan pemindahan penduduk Serbia ke
wilayah yang diduduki atau dikuasainya adalah dilarang. Hal ini sesuai Pasal 49
paragraf (6) Konvensi Jenewa Keempat yang mencegah adanya pemindahan
penduduk dari penduduk pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu
wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya baik karena alasan politis
atau alasan suku dan ras. Pemindahan penduduk dari pihak yang menduduki atau
yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang diduduki atau dikuasainya akan
8 Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council
Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 9 Lihat Knut Dormann, 2003, Element of War Crimes Under The Rome Statute of The International
Criminal Court: Sources and Commentary, Cambridge University Press, New York, hlm. 109
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
menyebabkan memperburuknya keadaan ekonomi penduduk asli setempat dan
juga akan membahayakan keberadaan dari suatu suku atau ras.10
Berdasarkan Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights (UDHR),
disebutkan bahwa setiap orang berhak atas penghidupan, kebebasan, dan
keselamatan individu. Dalam Pasal 5 UDHR disebutkan bahwa tidak seorang pun
boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau
dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hak-hak ini
merupakan hak dasar dan merupakan hak-hak yang bersifat non-derogable.
Pembersihan etnis merupakan perbuatan yang melanggar sejumlah HAM yang
bersifat non-derogable rights, maka pembersihan etnis dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran berat HAM.
Timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional didasarkan
pada, bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa
menghormati negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain
menyebabkan negara pelanggar harus bertanggung jawab atas tindakannya
tersebut.11
Harus diakui bahwa hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum
internasional yang mapan mengenai tanggung jawab negara. Hal tersebut, antara
lain, ditandai dengan belum adanya perjanjian internasional yang khusus
mengatur mengenai tanggung jawab negara. Namun, para ahli hukum
10
Lihat International Committee Of The Red Cross, 1994, Commentary IV Geneva Convention
Relative To The Protection Of Civilian Persons In Time Of War , International Committee Of The Red
Cross, Geneva, hlm. 283 11
Hingorani, Modern International Law, edisi ke-2, 1984 dalam Huala Adolf, Aspek-aspek Negara
dalam Hukum Internasional, Jakarta: CV. Rajawali, 1991, hlm. 173.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
internasional telah mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu
prinsip fundamental dalam hukum internasional.
Pembahasan mengenai tanggung jawab negara dapat mengacu pada
rancangan pasal-pasal atau Draft Articles mengenai tanggung jawab negara yang
disusun oleh Komisi Hukum Internasional atau International Law Commission (
ILC ).12
Menurut Anthony Aust, tanggung jawab negara muncul dari hukum
kebiasaan internasional yang muncul dan dikembangkan melalui praktik dan
putusan pengadilan internasional yang mengacu kepada final draft Articles („the
Articles‟) on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts dan
the ILC‟s Commentary on the Articles.13
Dasar tanggung jawab negara juga berasal dari ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan
internasional. Hal tersebut, antara lain, diatur dalam Prinsip ke-21 dari Deklarasi
Stockholm tentang Lingkungan Hidup atau Stockholm Declaration on the Human
Environment tahun 1972 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap negara
memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, sekaligus
pula tanggung jawab untuk menjamin kegiatan tersebut tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan terhadap negara lain atau terhadap wilayah-wilayah di luar
batas-batas yurisdiksi nasionalnya.
12
Nama lengkap rancangan pasal-pasal tersebut adalah Rancangan Pasal-pasal mengenai
Pertanggungjawaban Negara atas Tindakan-tindakan Salah Secara Internasional (“Draft Articles on
Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts”). “Draft Articles” terakhir diadopsi oleh
ILC pada sidang ke-2709, tanggal 9 Agustus 2001. 13
Lihat Anthony Aust, Handbook of International Law, Cambridge University Press, New York,
2005, hlm. 407 – 408.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
Tindakan pembersihan etnis yang dilakukan oleh Serbia di Bosnia-
Herzegovina, selain dapat dikategorikan sebagai grave breaches dan war crimes
menurut Konvensi Jenewa dan Protokol I. Dapat dikategorikan juga sebagai
pembersihan etnis (ethnic cleansing) oleh The Security Council's Commission of
Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780 tahun 1992.
Serta dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia
internasional berdasarkan pada Universal Declaration of Human Rights.
Berdasarkan hal tersebut, maka timbul tanggung jawab negara, karena telah
terjadi pelanggaran terhadap hak negara lain yang menyebabkan negara
pelanggar harus bertanggung jawab atas tindakannya.
B. Perumusan Masalah
Berpangkal dari uraian di atas, maka dalam penulisan hukum ini diangkat
permasalahan :
1. Bagaimanakah pertanggung jawaban negara terhadap tindakan pembersihan
etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina ?
2. Bagaimanakah tindakan yang harus ditempuh oleh negara sebagai
perwujudan tanggung jawabnya atas tindakan pembersihan etnis (ethnic
cleansing) di Bosnia-Herzegovina ?
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan objektif dari penelitian adalah:
a. Menganalisis bentuk-bentuk pertanggung jawaban negara terhadap
tindakan pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina
b. Menganalisis dan mengidentifikasi langkah-langkah yang harus ditempuh
oleh negara sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya atas tindakan
pembersihan etnis (ethnic cleansing) di Bosnia-Herzegovina
2. Tujuan subjektif dari penelitian adalah:
Untuk memperoleh data dan informasi yang lengkap dan akurat dalam
rangka penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka
1. Pembersihan Etnis
a. Pengertian Pembersihan Etnis
Istilah pembersihan etnis baru dikenal pada tahun 1990, dalam
hubungannya dengan rangkaian kejadian di negara bekas Yugoslavia.14
Istilah ini menggambarkan peristiwa pengusiran paksa terhadap
sekelompok orang atau bangsa tertentu dari negara asalnya. Istilah ethnic
cleansing muncul dan pertama kali mulai dikenal pada bulan Mei tahun
1992 dan terus dipergunakan seiring dengan meningkatnya intensitas
14
Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council
Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, hlm. 16, U.N. Doc. S/25274 (1993)
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
kekerasan yang terjadi di Bosnia-Herzegovina, yaitu dengan adanya
serangan etnis Serbia terhadap etnis muslim Bosnia.15
Pada tahun 1992, Dewan Keamanan PBB bermaksud untuk menuntut
para pelaku yang turut serta dalam tindakan pembersihan etnis sepanjang
awal tahun 1990 di negara bekas Yugoslavia. Untuk kepentingan tersebut,
maka Dewan Keamanan PBB membuat komisi yang terdiri dari para ahli
untuk menganalisis fakta-fakta yang terjadi dan berhasil dikumpulkan,
serta mempersiapkan untuk tindakan penuntutan.16
Komisi bentukan Dewan Keamanan PBB tersebut dalam laporan
interimnya memberikan definisi pembersihan etnis sebagai berikut:
“…Rendering an area ethnically homogeneous by using force or
intimidation to remove persons of given groups from the area." 17
Dalam laporan finalnya, komisi tersebut menyebut pembersihan etnis
sebagai,
"a purposeful policy designed by one ethnic or religious group to
remove by violent and terror-inspiring means the civilian population
of another ethnic or religious group from certain geographic areas." 18
The Security Council's Commission of Experts menyatakan bahwa
pembersihan etnis dapat dilakukan dengan cara-cara:
“…murder, torture, arbitrary arrest and detention, extra-judicial
executions, rape and sexual assault, confinement of civilian
population in ghetto areas, forcible removal, displacement and
15
R. Gutman, A Witness to Genocide, Macmillan, New York, 1993 16
Lihat S.C. Res. 780, U.N. SCOR, 3119th mtg. at 2, U.N. Doc. S/RES/780 (1992) (requesting that
Security Council establish Commission of Experts to analyze breaches of Geneva Convention) 17
Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council
Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 18
Lihat Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council
Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex 1, at 33, U.N. Doc. S/1994/674 (1994)
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
deportation of civilian population, deliberate military attacks or
threats of attacks on civilians and civilian areas, and wanton
destruction of property.” 19
The Committee on the Elimination of Racial Discrimination mengutuk
pembersihan etnis yang terjadi di Bosnia yang termasuk didalamnya
tindakan:
“…forced population transfers, torture, rape, summary executions,
the blockading of international humanitarian aid and the commission
of atrocities for the purpose of instilling terror among the civilian
population.”20
Komite tersebut lebih lanjut mengatakan bahwa pelanggaran-
pelanggaran tersebut dilakukan berdasarkan basis identitas etnis dengan
tujuan untuk menciptakan etnis yang murni dan bukan etnis campuran
dengan etnis lain.
Istilah pembersihan etnis atau ethnic cleansing, sesungguhnya
merupakan istilah yang tidak hanya memberikan definisi terhadap satu
tindakan tertentu yang dapat dimintakan pertanggung jawaban
berdasarkan hukum internasional, melainkan suatu istilah yang meliputi
berbagai macam tindakan yang masing-masing dari tindakan tersebut
dapat dimintakan pertanggung jawabannya berdasarkan hukum
internasional.
b. Aspek-Aspek Hukum Pembersihan Etnis
a) Pembersihan Etnis Dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan 1977
19
Lihat Interim Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Council
Resolution 780 (1992), U.N. SCOR, Annex I, at 16, U.N. Doc. S/25274 (1993) 20
Lihat Report of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, U.N. GAOR, 48th
Sess., Supp No. 18, at 91, U.N. Doc. A/48/18 (1993)
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
Sesuai dengan rumusan Pasal 147 Konvensi Jenewa Keempat,
pembersihan etnis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat atau
grave breaches,
“…unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of a
protected person…”
Pasal 85 paragraf 3 Protocol I, juga menyebutkan bahwa tindakan
yang dinyatakan sebagai pelanggaran berat atau grave breaches dalam
Konvensi Jenewa, juga merupakan pelanggaran berat dalam Protokol
I ini, apabila dilakukan dengan sengaja, bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Protokol I ini, dan yang
mengakibatkan kematian atau luka-luka parah pada badan atau
kesehatan sebagaimana yang terjadi pada pembersihan etnis, tindakan
tersebut:
“…(a) making the civilian population or individual civilians the
object of attack;
(b) launching an indiscriminate attack affecting the civilian
population or civilian objects in the knowledge that such attack
will cause excessive loss of life, injury to civilians or damage to
civilian objects, as defined in Article 57, paragraph 2 (a)(iii)…”
Kemudian Pasal 85 paragraf 4 menambahkan beberapa tindakan
pelanggaran yang dikategorikan sebagai grave breaches, jika
dilakukan dengan sengaja dan bertentangan dengan Konvensi atau
Protokol I ini. Tindakan pelanggaran tersebut adalah :
“…(a) the transfer by the occupying Power of parts of its own
civilian population into the territory it occupies, or the
deportation or transfer of all or parts of the population of the occupied territory within or outside this territory, in violation of
Article 49 of the Fourth Convention…”
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Pasal 85 paragraf 5 lebih lanjut menyebutkan bahwa grave
breaches yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa dan Protokol I ini
harus dianggap sebagai war crimes atau kejahatan perang.
“ Without prejudice to the application of the Conventions and of
this Protocol, grave breaches of these instruments shall be
regarded as war crimes.”
Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyebutkan bahwa :
“ (1) Individual or mass forcible transfers, as well as deportations
of protected persons from occupied territory to the territory of the
Occupying Power or to that of any other country, occupied or not,
are prohibited, regardless of their motive.
…
(6) The Occupying Power shall not deport or transfer parts of its
own civilian population into the territory it occupies.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 paragraf 1 Konvensi Jenewa
Keempat, tindakan-tindakan pembersihan etnis adalah dilarang, baik
tindakan pemindahan tersebut dilakukan ke wilayah lain dari wilayah
yang dikuasai atau ke negara lain.21
Demikian juga tindakan
pemindahan penduduk ke kewilayah yang diduduki atau dikuasainya
adalah dilarang. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 paragraf 6 Konvensi
Jenewa Keempat yang mencegah adanya pemindahan penduduk dari
penduduk pihak yang menduduki atau yang menguasai suatu wilayah
kewilayah yang diduduki atau dikuasainya baik karena alasan politis
atau alasan suku dan ras. Pemindahan penduduk dari pihak yang
menduduki atau yang menguasai suatu wilayah kewilayah yang
diduduki atau dikuasainya akan memperburuk keadaan ekonomi
21
Lihat Knut Dormann, 2003, Element of War Crimes Under The Rome Statute of The International
Criminal Court: Sources and Commentary, Cambridge University Press, New York, hlm. 109
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
penduduk asli setempat dan juga akan membahayakan keberadaan
dari suatu suku atau ras.22
Berdasarkan Pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat, para pihak
diharuskan untuk membuat peraturan yang diperlukan guna
menyediakan hukuman pidana yang efektif terhadap setiap orang
yang melakukan atau menyuruh melakukan segala tindakan yang
dikategorikan sebagai grave breaches berdasarkan Konvensi Jenewa
Keempat ini dan diharuskan untuk mencari orang tersebut serta
membawa orang tersebut ke depan pengadilannya apa pun
kewarganegaraan orang tersebut. Pasal 129 dan 130 Konvensi Jenewa
Ketiga mengharuskan para pihak untuk membuat peraturan yang
diperlukan guna menyediakan hukuman pidana yang efektif terhadap
setiap orang yang melakukan atau menyuruh melakukan segala
tindakan yang dikategorikan sebagai grave breaches.
b) Pembersihan Etnis Dalam Universal Declaration of Human Rights
Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), pada
menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas penghidupan,
kebebasan, dan keselamatan individu. Disebutkan dalam Pasal 5
UDHR bahwa tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan
secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak
manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hak-hak ini merupakan
hak dasar dan merupakan hak-hak yang bersifat non-derogable.
22
Lihat International Committee Of The Red Cross, 1994, Commentary IV Geneva Convention
Relative To The Protection Of Civilian Persons In Time Of War , International Committee Of The Red
Cross, Geneva, hlm. 283
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Pembersihan etnis berdasarkan definisi komisi bentukan Dewan
Keamanan PBB dalam laporan interimnya, merupakan perbuatan
yang melanggar sejumlah HAM yang bersifat non-derogable rights,
maka pembersihan etnis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
berat HAM.23
Unsur-unsur yang menyertai pelanggaran berat HAM adalah
dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis
dapat diartikan perbuatan itu dilakukan sebagai suatu kebijakan yang
sebelumnya telah direncanakan. Secara meluas dapat diartikan bahwa
biasanya akan mengarah kepada sejumlah korban yang sangat besar
dan kerusakan parah secara meluas yang ditimbulkannya.24
Peter Baehr menyebutkan bahwa pelanggaran HAM akan
menyangkut masalah-masalah yang meliputi:
“The prohibition of slavery, the right to life, torture and cruel,
inhuman or degrading treatment or punishmnet, genocide,
disapprearences and „ethnic cleansing”.25
c) Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
Penyelesaian terhadap pelanggaran berat HAM secara hukum
pada dasarnya mengacu pada prinsip exhaustion of local remedies
melalui mekanisme forum pengadilan nasional. Mekanisme
penyelesaian pelanggaran berat HAM di tingkat nasional biasanya
23
Lihat Theo van Boven, 2002, Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban Atas Restitusi,
Kompensasi, dan Rehabilitasi, Jakarta: ELSAM 24
Lihat Cecilia Medina Quiroga, The Battle of Human Rights: Gross, Systematic Violations and The
Inter-American System, Dordrech/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1988, hlm. 16. 25
Lihat Peter R. Baehr, Human Rights Universality in Practice, New York: St. Martin‟sPress, 1999,
hlm. 20
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
dibentuk oleh suatu negara dengan cara mendirikan suatu pengadilan
khusus HAM.
Penyelesaian pelanggaran berat HAM pada tingkat nasional juga
dapat dilakukan melalui pengadilan nasional atas dasar prinsip
yuridiksi universal. Berdasarkan prinsip yuridiksi universal,
pengadilan nasional setiap negara memiliki kompetensi untuk
melaksanakan yuridiksinya untuk mengadili para pelaku kejahatan-
kejahatan internasional yang dianggap menyangkut umat manusia
secara keseluruhan yaitu, kejahatan yang merupakan ancaman bagi
perdamaian dan keamanan internasional.
Mekanisme penyelesaian pelanggaran berat HAM di tingkat
internasional terdiri dari Mahkamah HAM yang bersifat ad hoc dan
permanen. Mahkamah HAM internasional ad hoc dibentuk
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB atas dasar adanya
ancaman atas keamanan dan perdamaian dunia. Ketidakmauan
(unwillingness) dan ketidakmampuan (inability) negara yang diduga
melakukan pelanggaran berat HAM untuk menyelesaikan masalah
pelanggaran tersebut di tingkat nasional dapat mendasari dibentuknya
Mahkamah HAM internasional ad hoc.
Ukuran adanya faktor ketidakmauan (unwillingness) dan
ketidakmampuan (inability) pengadilan nasional dari suatu negara
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
yang diduga melakukan pelanggaran berat HAM telah diatur dalam
pasal 17 ayat (2) dan pasal 17 ayat (3) Statuta Roma.26
d) Pembersihan Etnis dalam Rome Statute of the International Criminal
Court
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma 1998
atau Rome Satute Of The International Criminal Court, Pasal 7
paragraf 1 terdapat situasi yang disyaratkan bagi kejahatan terhadap
kemanusiaan yaitu:
“…committed as part of a widespread or systematic attack
directed against any civilian population, with knowledge of the
attack”
Apabila kita bandingkan dengan Final Report of the Commission
of Experts Established Pursuant to Security Council Resolution 780,
maka dapat kita simpulkan bahwa definisi ethnic cleansing sesuai
dengan situasi yang disyaratkan bagi terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan menurut Statuta Roma.
Dalam Pasal 7 paragraf 1 butir (d) Statuta Roma disebutkan
bahwa deportation or forcible transfer of population termasuk
kedalam tindakan-tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pasal 7 paragraf 2 butir (d) Statuta Roma
mendefinisikan deportation or forcible transfer of population sebagai
tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan
26
Lihat Supriyadi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dalam Perspektif Hukum Pidana
Nasional dan Internasional, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM No.43/II/2003, hlm. 31-32
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
lain dari tempat penduduk itu secara sah berada, tanpa adanya dasar
yang bisa dibenarkan oleh hukum internasional.27
2. Tanggung Jawab Negara
1. Latar Belakang Tanggung Jawab Negara
Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum
internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-
haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran
terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk
memperbaiki pelanggaran hak itu. Apabila kewajiban internasional ini
dilanggar sehingga merugikan pihak lain, maka lahirlah tanggung jawab
negara. Itulah sebabnya mengapa hukum internasional melembagakan
kewajiban tersebut sebagai prinsip yang fundamental.28
Tanggung-jawab negara merupakan prinsip fundamental dalam
hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan
persamaan hak antarnegara. Tanggung-jawab negara timbul bila ada
pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau
27
"Deportation or forcible transfer of population" means forced displacement of the persons
concerned by expulsion or other coercive acts from the area in which they are lawfully present,
without grounds permitted under international law 28
Lihat Pasal 2 Draft Articles on State Responsibility yang menyatakan bahwa “every state is subject
to the possibility of being held to have commited an internationally wrongful act entailing its national
responsibility”, dikutip dari Marina Spinedi et.al (ed), United Nations Codification of State
Responsibility, Oceana Publications, Inc., New York, 1987, hlm. 325.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu
perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional.29
2. Perkembangan Pengaturan Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum
Internasional
Dalam setiap sistem hukum telah dikenal tanggung-jawab atas
pelaksanaan kewajiban yang diatur berdasarkan ketentuan hukumnya.
Tanggung-jawab tersebut dalam hukum internasional dikenal sebagai
responsibility,30
Namun, sampai saat ini belum ada ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang secara tegas mengatur mengenai tanggung-
jawab negara, tetapi para ahli hukum internasional telah mengakui bahwa
tanggung-jawab negara ini merupakan suatu prinsip fundamental dari
hukum internasional.31
Itulah sebabnya mengapa PBB telah meminta Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission, ILC) untuk menyusun
formulasi aturan-aturan tentang tanggung jawab negara. Pada tahun 2001,
ILC menghasilkan final draft Articles („the Articles‟) on the
Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts.32
Menurut
Anthony Aust, tanggung jawab negara muncul dari hukum kebiasaan
internasional yang muncul dan dikembangkan melalui praktik dan
29
Mieke Komar Kantaatmadja, Tanggung-jawab Negara dan Individu dalam Hukum Internasional,
(makalah yang disampaikan pada Penataran Tindak Lanjut Dosen Hukum Humaniter Internasional
Indonesia Bagian Barat, di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 24-25 Juli 2000), hlm. 3. 30
D.J. Harris, Cases an Material on International Law, London: Sweet and Maxwell, 1998, hlm. 484. 31
Lihat Ian Browlie, Principles of Public International Law, ILBS and Oxford University Press,
Oxford, 1979, hlm. 431. 32
Final draft Articles dan ILC Commentary dapat dilihat di ILC‟s 2001 report (A/56/10) dan juga
pada www.un.org/law/ilc/.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
putusan pengadilan internasional yang mengacu kepada final draft
Articles („the Articles‟) on the Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts dan the ILC‟s Commentary on the Articles.33
Jadi, sekalipun aturan-aturan tentang tanggung jawab negara ini masih
dalam proses pertumbuhan dan belum menjadi konvensi, prinsip-prinsip
yang terkandung di dalamnya telah diterima sebagai suatu prinsip umum
hukum internasional.34
3. Prinsip Tanggung Jawab Negara
Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian
sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu
negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi
(negara) pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap
korban.35
Dalam ILC Articles, lebih tegas dinyatakan bahwa, tanggung jawab
negara timbul manakala terjadi pelanggaran yang dikategorikan sebagai
tindakan salah secara internasional. Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal
1,
“Every internationally wrongful act of a State entails the international
responsibility of that State.” 36
Pada bagian commentary dari ILC Articles tersebut, selanjutnya
dijelaskan bahwa.
33
Lihat Anthony Aust, op. cit., hlm. 407 – 408. 34
Lihat Ian Browlie, op. cit., hlm 431. 35
Karl Zemanek, Responsibility of States: General Principles, dalam Rudolf L. Bindshdler, et.
al.,Encyclopedia of Public International Law, 10, State Responsibility of States, International Law
and Municipal Law,Jilid ke-10, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1987, hlm. 363. 36
Pasal 1 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
“...a breach of international law by a state entails its international
responsibility. An internationally wrongful act of a State may consist
in one or more actions or omissions or a combination of both…” 37
Adapun yang dimaksud dengan act adalah:
“an act considered internationally wrongful if its author violates an
obligation which custom or treaty establishes in favour of another
specific State; in that case the author is internationally responsible to
the victim and to the victim alone.” 38
Adapun yang menjadi elements of an internationally wrongful act of a
State sebagaimana yang diatur di dalam ILC Articles adalah,
“There is an internationally wrongful act of a State when conduct
consisting of an action or omission: (a) Is attributable to the State
under international law; and (b) Constitutes a breach of an
international obligation of the State.” 39
Dengan demikian unsur-unsur tindakan salah secara internasional
meliputi tindakan yang dilakukan negara tersebut harus dapat
diatribusikan kepada negara menurut hukum internasional dan tindakan
tersebut harus menimbulkan suatu kewajiban hukum internasional yang
berlaku bagi negara tersebut pada saat tindakan tersebut dilakukan.40
Tindakan salah secara internasional yang dilakukan oleh suatu negara
tidak semata-mata menimbulkan hubungan hukum antar dua negara
(bilateral), yaitu negara yang merugikan dan dirugikan saja. Akan tetapi
tindakan tersebut dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap beberapa
37
The United Nations, Report of the International Law Commission Fifty-third Session (23 April-1
June and 2 July-10 August 2001), New York, 2001, hlm. 63. 38
Ibid. 39
Pasal 2 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001. 40
The United Nations, op. cit., hlm 68
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
negara, bahkan dapat menimbulkan tanggung jawab terhadap masyarakat
internasional secara keseluruhan.41
4. Dasar dan Sifat Tanggung Jawab Negara
Dasar tanggung jawab negara berasal dari ketentuan ketentuan yang
terdapat di dalam perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan
internasional. Hal tersebut antara lain diatur dalam Prinsip ke-21
Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972.42
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional juga memiliki
perbedaan dengan tanggung jawab negara menurut hukum nasional.
Menurut hukum internasional, tanggung jawab negara timbul akibat dari
pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun hukum nasional
menganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum,
namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara
harus tetap bertanggungjawab. Dengan demikian, hukum internasional
mengatasi hukum nasional.43
Suatu negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai
dasar alasan untuk menghindari suatu kewajiban internasional. Hukum
internasional menentukan kapan suatu negara dianggap bertanggung
jawab atas tindakan dari organ-organnya.44
41
Ibid., hlm. 66 42
Prinsip ke-21 dari Stockholm Declaration on the Human Environment tahun 1972 menyebutkan,
“States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the Principles of International
Law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their environmental policies, and
the responsibility to ensure the activities within their jurisdiction or control do not cause damage to
the environmental of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction...” 43
F. Sugeng Istanto, op. cit., hlm. 78 44
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.
395-396
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
5. Doktrin Imputabilitas
Malcolm N Shaw memberikan definisi mengenai doktrin
imputabilitas sebagai berikut:45
“ Imputability is the legal fiction which assimilates the actions or
omissions of state officials to the state itself and which renders the
state liable for damage resulting to the property or person of an
alien.”
Latar belakang doktrin ini yaitu, bahwa negara sebagai suatu kesatuan
hukum yang abstrak tidak dapat melakukan “tindakan-tindakan nyata”,
negara baru dapat melakukan tindakan hukum tertentu melalui pejabat-
pejabat atau perwakilan-perwakilanya yang sah. Jadi, terdapat suatu
ikatan yang erat antara negara dengan subjek hukum yang bertindak
untuk negara. Ikatan yang dimaksud adalah bahwa subjek hukum tersebut
bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas atau wakil negaranya.
Negara tidak bertanggung jawab, menurut hukum internasional, atas
semua tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh warga negaranya.
Jadi, doktrin ini “mengasimilasikan” tindakan-tindakan pejabat-pejabat
negara dengan negaranya yang menyebabkan negara tersebut bertanggung
jawab atas semua kerugian atau kerusakan terhadap harta benda atau
orang asing. Doktrin imputabilitas menegaskan, tindakan salah dari organ
negara dianggap merupakan suatu tindakan negara. Hal itu diatur pula
dalam Pasal 4 ILC Articles.46
45
Malcolm N Shaw, International Law Fifth edition, Cambridge University Press 2003, hlm. 701 46
Pasal 4 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
Pada dasarnya, hanya tindakan-tindakan yang memiliki unsur
pemerintahan yang akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada
negara. Suatu tindakan yang tidak memiliki keterkaitan dengan negara
(pemerintah) maka negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
Mengenai hal ini, pada bagian commentary ILC Articles dinyatakan,
“Thus the general rule is that the only conduct attributed to the State
at the international level is that of its organs of government, or of
others who have acted under the direction, instigation or control of
those organs, i.e., as agents of the State.” 47
Dalam ILC Articles, tindakan negara atau attribution of conduct of a
State meliputi:48
“…conduct of organs of a State; conduct of persons or entities
exercising element of governmental authority; conduct of organs
placed at the disposal of a State by another State; excess of authority
or contravention of instructions; conduct directed or controlled by a
State; conduct carried out in the absence or default if the official
authorities; conduct of an insurrectional or other movement; conduct
acknowledged and adopted by a State as its own.”
6. Akibat Dari Tindakan Salah Secara Internasional
Mengenai wujud tanggung jawab negara atas suatu tindakan salah
secara internasional dikenal dua bentuk yaitu cessation dan reparation.
a) Cessation
Negara yang bertanggung jawab terhadap tindakan salah
secara internasional memiliki kewajiban untuk menghentikan (to
cease) tindakan salahnya tersebut, apabila tindakan tersebut masih
berlangsung. Negara yang bertanggung jawab tersebut juga
47
The United Nations, op. cit., hlm. 80. 48
Pasal 4-11 Draft Articles On Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
berkewajiban untuk memastikan dan menjamin bahwa tindakan
salah secara internasionalnya tersebut tidak akan terulang
kembali.49
b) Reparation
Prinsip dasar adanya reparation pertama kali dikenal dalam
putusan Permanent Court of International Justice atas Corzow
Factory Case, yang menyatakan bahwa:
“…reparation must so far as possible, wipe out all the
consequences of the illegal act and re-establish the situation
which would, in all probability, have existed if that act had not
been committed.”50
Kewajiban untuk melakukan reparation dalam segala
aspeknya diatur dalam hukum internasional, dengan mengabaikan
ketentuan hukum nasional yang berlaku.51
Menurut Black‟s Law Dictionary, reparation memiliki arti
sebagai berikut:
“1. The act of making amends for a wrong; 2. Compensation
for an injury or wrong, esp. for wartime damages or breach of
an international obligation.” 52
Pasal 34 ILC Articles menentukan bahwa ada tiga bentuk
reparation yaitu restitution, compensation, dan satisfaction yang
dapat berdiri sendiri-sendiri atau pun gabungannya.53
49
Pasal 30 ILC Articles menyebutkan: The State responsible for the internationally wrongful act is
under an obligation: (a) to cease that act, if it is continuing; (b) to offer appropriate assurances and
guarantees of non-repetition, if circumstances so require. Lihat Malcolm N. Shaw, op. cit., hlm. 714 50
Factory at Corzo, Merits, 1928, PCIJ, Series A, no. 17, hlm. 47 dalam ibid., hlm. 715 51
Lihat Suarez-Rosero v. Ecuador (Reparations), Inter-American Court of Human Rights, 1999,
Series C, No. 44 at para. 42. 52
Bryan A. Garner, (edit), Black‟s Law Dictionary, 7th edition, St. Paul Minn: West Group, 1999, hlm.
1301.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
1) Restitution
Menurut Malcolm N Shaw, tujuan restitution adalah untuk
mengembalikan keadaan yang ada sebelum tindakan salah
secara internasional tersebut terjadi.54
2) Compensation
Menurut Ian Browlie,
“ Compensation will be used to describe reparation in the
narrow sense of the payment of money as a valuation of
the wrong done.” 55
Monetary compensation dapat terdiri dari: (a) penggantian
biaya pada waktu keputusan pengadilan dikeluarkan,
meskipun jumlah penggantian tersebut menjadi lebih besar
dari nilai pada waktu perbuatan melawan hukum oleh negara
lain terjadi; (b) kerugian tak langsung atau indirect damages.
Sepanjang kerugian ini mempunyai kaitan yang langsung
dengan tindakan tidak sah tersebut (Pengadilan Arbitrase
antara Portugal dan Jerman tahun 1930); (c) hilangnya
keuntungan yang diharapkan, sepanjang keuntungan tersebut
mungkin dalam situasi atau perkembangan yang normal; (d)
pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena
adanya tindakan melanggar hukum.56
53
Lihat ILC Commentary 2001, p. 235 juga lihat Suarez-Rosero v. Eczrizdor (Reparations), Inter-
American Court of Human Rights, 1999, Series C, No. 44 at para. 42 54
Malcolm N. Shaw, op. cit., hlm. 716 55
Browlie, op. cit., hlm. 461. 56
Lihat Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia,
Timor Leste dan Lainnya, Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 44-45
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
3) Satisfaction
Ian Browlie mendefinisikan satisfaction sebagai setiap
upaya yang dilakukan oleh si pelanggar suatu kewajiban untuk
mengganti kerugian menurut hukum kebiasaan atau suatu
perjanjian, dibuat oleh para pihak yang bersangkutan, yang
bukan berupa restitution (restitusi/pemulihan) atau
compensation. Satisfaction merupakan pemulihan atas
perbuatan yang melanggar kehormatan negara. Satisfaction
dialakukan melalui perundingan diplomatik dan cukup
diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi atau
jaminan tidak akan terulangnya perbuatan.57
E. Metode Penelitian
a. Jenis dan tipe penelitian
Penelitian ini termasuk kedalam penelitian hukum normatif yang
menggunakan data sekunder58
dengan metode studi pustaka. Tipe penelitian
hukumnya adalah kajian komprehensif analitis terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Hasil kajian dipaparkan secara lengkap, rinci,
jelas dan sistematis sebagai karya ilmiah.
b. Data yang dicari
a) Ketetapan hukum internasional yang terdiri dari perjanjian internasional
yang berhubungan, terdiri dari:
57
Andrey Sujatmoko, ibid, hlm.45 58
Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung; Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2004, hlm. 52.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
1. Convention (III) relative to the Treatment of Prisoners of War.
Geneva 12 August 1949 dan Convention (IV) relative to the
Protection of Civilian Persons in Time of War. Geneva 12 August
1949, dan Commentary;
2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949,
and relating to the Protection of Victims of International Armed
Conflicts (Protocol I) dan Commentary;
3. Universal Declaration of Human Rights;
4. United Nations Convention On The Prevention And Punishment Of
The Crime Of The Genocide;
5. Statuta Mahkamah Internasional, Statuta International Criminal
Court, Statuta International Criminal Tribunal For The Former
Yugoslavia, Statuta International Criminal Tribunal For Rwanda; dan
6. Perundang-undangan lain yang relevan.
b) Data lain yang berupa tulisan atau karya ilmuwan dan praktisi hukum
serta disiplin ilmu lain yang relevan dengan permasalahan, ajaran-ajaran
para ahli hukum dan hasil-hasil pertemuan internasional yang membahas
tentang pembersihan etnis atau tanggung jawab negara.
c) Fakta dan peristiwa mengenai pembersihan etnis yang terjadi
c. Jalannya penelitian
1. Cara pengumpulan
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka yang dilakukan
dengan tahap-tahap sebagai berikut: 59
a) Penentuan sumber data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh
peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang
merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah
tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi.
b) Identifikasi data sekunder yang diperlukan, yang terdiri dari :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang menjadi
sumber utama dan mempunyai kekuatan mengikat, terdiri dari:
a) Konvensi-Konvesi Jenewa tahun 1949 dan Commentary;
b) Protokol-Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977
dan Commentary
c) Universal Declaration of Human Rights;
d) United Nations Convention On The Prevention And
Punishment Of The Crime Of The Genocide;
e) Statuta Mahkamah Internasional, Statuta International
Criminal Court, Statuta International Criminal Tribunal
For The Former Yugoslavia, Statuta International
Criminal Tribunal For Rwanda; dan
f) Perundang-undangan lain yang relevan.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer:
59
Abdulkadir Muhammad, ibid, hlm. 125
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
a) Buku-buku yang membahas tentang tanggung jawab
negara, hak asasi manusia internasional, kejahatan perang,
dan genosida serta metodologi penelitian hukum;
b) Karya-karya ilmiah yang terhimpun dalam jurnal hukum;
c) Berbagai surat kabar dan majalah; dan
d) Media website di internet.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, terdiri dari:
a) Kamus hukum;
b) Kamus bahasa Inggris-Indonesia; dan
c) Kamus besar Bahasa Indonesia.
c) Inventarisasi data sekunder yang relevan dengan rumusan masalah
dengan cara pengutipan dan pencatatan.
d) Pengkajian data sekunder yang terkumpul untuk menentukan
relevansinya dengan kebutuhan dan rumusan masalah.
2. Alat penelitan
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan, penelitian dilakukan
dengan cara melakukan studi pustaka60
untuk mendapatkan gambaran
secara umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan.
3. Lokasi penelitian
60
Abdulkadir Muhammad,ibid, hlm. 81: “Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan
dalam penelitian hukum normatif.“
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dengan studi
dokumen, yakni mempelajari dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan
dengan permasalahan, yang dilakukan di:
a) Perpustakaan International Committee of the Red Cross ( ICRC )
Delegasi Indonesia, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM
Fakultas Hukum Universitas Trisakti ( terAs ), Centre for Strategic
and International Studies ( CSIS ), Kedutaan Besar Bosnia-
Herzegovina di Jakarta
b) Perpustakaan-perpustakaan yang terletak di Yogyakarta
d. Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif,
yang artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis dan tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga
memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.61
Dalam menyusun dan menganalisis data, digunakan cara berfikir deduksi
dan induksi yaitu:
1. Cara berfikir secara deduksi adalah cara berfikir yang bersifat umum
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
2. Cara berfikir secara induksi adalah cara berfikir yang bersifat khusus
kemudian diterapkan pada hal-hal yang bersifat umum.
3. Setelah data dianalisis dengan menggunakan cara berfikir secara
induksi, kemudian diambil kesimpulan dengan membandingkan
61
Abdulkadir Muhammad,ibid, hlm. 127
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
antara ketentuan perjanjian internasional yang satu dengan ketentuan
perjanjian internasional yang lain atau fakta yang satu dengan fakta
yang lain.
Perjanjian internasional yang terkumpul akan ditafsirkan menggunakan
prinsip-prinsip umum tentang penafsiran yaitu,62
1. Gramatical interpretation and the intention of the parties
Yaitu analisis kata-kata atau susunan kata-kata yang harus
diartikan sesuai dengan artinya yang biasa dan wajar, kemudian
dilanjutkan dengan menganalisis maksud para pihak saat instrumen
dibuat
2. Object and context of treaty
Apabila terdapat kata-kata atau susunan kata-kata yang
meragukan, konstruksinya harus dikaitkan dengan tujuan kejadian
tersebut. Hal ini dilakukan dengan hanya mempelajari bagian-bagian
tertentu dari kata-kata atau susunan kata-kata yang meragukan itu
3. Reasonableness and consistency
Bahwa perjanjian harus ditafsirkan dengan mengutamakan arti
yang wajar dari kata-kata dan kalimat dengan memperhatikan
keselarasan dengan bagian-bagian yang lainnya dari perjanjian
tersebut.
4. The Principle of Effectiveness
62
Lihat Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Penerbit PT. Alumni,
Bandung, 2003, hlm. 116-117
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
34
Apabila perjanjian harus ditafsirkan secara keseluruhan yang akan
menjadikan perjanjian itu paling efektif dan bermanfaat.
5. Resource to Extrinsic Materials
Penggunaan bahan-bahan ekstrinsik, apabila dalam melakukan
penafsiran dibatasi pada isi perjanjian tersebut atau pada apa yang
tercantum dalam perjanjian itu.
PERTANGGUNG JAWABAN NEGARA TERHADAP PEMBERSIHAN ETNIS DI BOSNIA-HERZEGOVINASAFIQ MUHAMMADINUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/