bab i pendahuluan i. latar...

28
1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Wayang kulit, dalam kedudukannya sebagai sebuah seni pertunjukan, telah lama mengakar dalam sistem kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya suku bangsa Jawa, sejak beberapa abad yang lalu. Eksistensi wayang kulit dalam kehidupan orang Jawa dapat dilihat dari beberapa bukti tertulis yang menyebutkan keberadaannya sejak masa Hindu-Buddha, seperti pada prasasti Wukajana (987 Masehi-Era Mataram Kuno) yang menuliskan istilah sigaligi mawayang bwat hyang (si Galigi memainkan wayang untuk Hyang, yakni manifestasi dewa atau leluhur) dan pada (bait) ke-59 Kakawin Arjunawiwaha (era Airlangga, abad ke-11 Masehi) yang mencantumkan frasa hananonton wayang (orang menonton wayang). 1 Catatan-catatan sejarah tadi menunjukkan bahwa sejak dahulu sebagai sebuah cabang seni drama, pergelaran wayang sudah memiliki dua fungsi, yakni sebagai sarana ritual secara vertikal dan juga sebagai sarana hiburan secara horizontal. Dalam aspek hiburannya pun, fungsi wayang sebagai media pengkomunikasian nilai kepada masyarakat dianggap vital, karena selain membawa misi rekreatif, juga mengemban fungsi didaktis (pendidikan) tentang nilai dan norma tertentu yang berlaku dalam masyarakat. 2 Sebagai sebuah bentuk pertunjukan, wayang, khususnya wayang kulit purwa sebagai ragam paling populer, berada dalam posisi yang memerlukan sintesis antara peran pelaku seni (dalang) dan masyarakatnya. Dalang memiliki peran besar dalam produksi pesan pakeliran lewat dimensi artistik, yang dalam bahasa pedalangan disebut garap pakeliran. Wilayah garap 1 Marwati Djoened Poesponegoro, et.al. Sejarah Indonesia jilid II: Jaman Kuna, (Jakarta, 2002: Balai Pustaka), hal. 277. 2 James R. Brandon, Theatres in Southeast Asia, (Massachussets,1967: Harvard University Press), hal.117.

Upload: dangkhue

Post on 10-Apr-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Wayang kulit, dalam kedudukannya sebagai sebuah seni pertunjukan,

telah lama mengakar dalam sistem kebudayaan masyarakat Indonesia,

khususnya suku bangsa Jawa, sejak beberapa abad yang lalu. Eksistensi

wayang kulit dalam kehidupan orang Jawa dapat dilihat dari beberapa bukti

tertulis yang menyebutkan keberadaannya sejak masa Hindu-Buddha, seperti

pada prasasti Wukajana (987 Masehi-Era Mataram Kuno) yang menuliskan

istilah sigaligi mawayang bwat hyang (si Galigi memainkan wayang untuk

Hyang,yakni manifestasi dewa atau leluhur) dan pada (bait) ke-59 Kakawin

Arjunawiwaha (era Airlangga, abad ke-11 Masehi) yang mencantumkan frasa

hananonton wayang (orang menonton wayang).1 Catatan-catatan sejarah tadi

menunjukkan bahwa sejak dahulu sebagai sebuah cabang seni drama,

pergelaran wayang sudah memiliki dua fungsi, yakni sebagai sarana ritual

secara vertikal dan juga sebagai sarana hiburan secara horizontal. Dalam

aspek hiburannya pun, fungsi wayang sebagai media pengkomunikasian nilai

kepada masyarakat dianggap vital, karena selain membawa misi rekreatif,

juga mengemban fungsi didaktis (pendidikan) tentang nilai dan norma

tertentu yang berlaku dalam masyarakat.2

Sebagai sebuah bentuk pertunjukan, wayang, khususnya wayang kulit

purwa sebagai ragam paling populer, berada dalam posisi yang memerlukan

sintesis antara peran pelaku seni (dalang) dan masyarakatnya. Dalang

memiliki peran besar dalam produksi pesan pakeliran lewat dimensi artistik,

yang dalam bahasa pedalangan disebut garap pakeliran. Wilayah garap

1 Marwati Djoened Poesponegoro, et.al. Sejarah Indonesia jilid II: Jaman Kuna, (Jakarta, 2002:

Balai Pustaka), hal. 277.

2 James R. Brandon, Theatres in Southeast Asia, (Massachussets,1967: Harvard University Press),

hal.117.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

2

pakeliran meliputi beberapa aspek, seperti catur (aspek verbal), sabet (aspek

gerak) dan iringan yang mendukung pakeliran secara keseluruhan.3

Masyarakat, selain sebagai komunikan, juga memiliki peran penting sebagai

pembentuk pesan dan kemasan pakeliran, karena tidak dapat dipungkiri

bahwa wayang sebagai sebuah seni pertunjukan hidup dalam sebuah konteks

sosial tertentu yang juga memiliki beberapa aspek, seperti kerohanian,

ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya.

Dalam perkembangan zaman, keadaan masyarakat sebagai pendukung

utama kehidupan pertunjukan wayang kulit purwa berubah, sebagai

konsekuensi atas kontak-kontak yang mereka lakukan dengan kebudayaan

lain. Sebagai akibat dari persentuhan antarbudaya tersebut, Indonesia,

khususnya Jawa, secara tak terelakkan terkena hantaman arus globalisasi,

yang oleh Arjun Appadurai (1997) dibedakan dalam lima dimensi, yakni

ethnoscapes (dimensi manusia global), technoscapes (teknologi),

financescapes (ekonomi), mediascapes dan ideascapes (media gagasan dan

ideologi).4 Pengaruh globalisasi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat

pendukung kehidupan pertunjukan wayang kulit purwa ini, dalam kadar

tertentu dapat menimbulkan perubahan dalam sikap dan ekspektasi mereka

selaku khalayak penikmat.

Setelah tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, keadaan menjadi

semakin menantang bagi kehidupan seni pertunjukan wayang kulit purwa,

karena dalam masa ini arus informasi yang tidak lagi terbendung oleh

tekanan Pemerintah sebagai gatekeeper membentuk ulang khalayak

Indonesia ke medan yang sama sekali berbeda dengan era sebelumnya.

Kebebasan dalam memilih kanal informasi yang diiringi kemunculan media

baru, khususnya di bidang hiburan, membuat wayang kulit purwa kehilangan

3 Bambang Murtiyoso, Pengetahuan Pedalangan, (Surakarta, 1982: Subproyek Pengembangan

IKI [Institut Kesenian Indonesia] Akademi Seni Karawitan Indonesia), hal. 8

4 Appadurai dalam Umar Kayam, Kelir Tanpa Batas, (Yogyakarta, 2001: Gama Media- Pusat

Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada), hal.3.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

3

signifikansinya. Untuk mencegah hal ini berlanjut ke arah kepunahan, para

dalang sebagai pelaku utama sekaligus produsen pesan banyak merancang

dan menerapkan kiat-kiat tertentu untuk dapat menjaga eksistensi dan

relevansi pertunjukan wayang kulit purwa sebagai salah satu bentuk media

komunikasi tradisional di mata pendukungnya.

Ki Purbo Asmoro, S.Kar, M.Hum, adalah salah satu dalang populer

wayang kulit purwa gaya Surakarta yang mulai menonjol kariernya pada era

pasca-Orde Baru (awal dekade 2000-an), bersama dengan Ki H. Anom

Suroto dan ki H. Manteb Soedharsono yang telah lama dikenal masyarakat

pada masa sebelumnya. Dikenal dengan julukan “dhalang priyayi” atau

dalang “akademis”, seniman kelahiran Pacitan tanggal 17 Desember tahun

1961 ini memiliki banyak penggemar dari berbagai lapisan.5 Hal ini

dibuktikan dengan seringnya ia dipanggil untuk mendalang oleh beragam

khalayak, mulai dari kalangan petani, keluarga seniman hingga akademisi,

termasuk mengisi acara dies natalis di beberapa universitas seperti

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Negeri Sebelas Maret

Surakarta hampir setiap tahunnya.6 Di tengah kondisi seni pertunjukan

tradisional yang semakin terdesak di tengah pertumbuhan modernitas,

kemampuan ki Purbo Asmoro sebagai seorang seniman tradisi

mempertahankan khalayaknya untuk tetap setia mengikuti pakeliran menjadi

menarik untuk diteliti, terlebih bila terdapat metode komodifikasi pesan

tertentu lewat aspek produksi media yang berbeda dengan dalang-dalang

yang semasa dengannya. Metode-metode inilah yang nanti akan menjadi

pokok bahasan utama dalam bab-bab selanjutnya.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh rumusan masalah, yakni:

5Ibid., hal. 213

6 Marwanto M.S. dan Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Perkembangannya, (Surakarta, 2010:

ISI Press), hal. 259

Page 4: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

4

Bagaimana muatan pesan dalam pakeliran dikomodifikasikan, dan

apa saja bentuknya dalam kemasan pertunjukan wayang purwa sajian

Ki Purbo Asmoro bila dibandingkan dengan konvensi lakon tradisional?

III. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diadakan untuk mencapai beberapa tujuan, yakni:

- Mengidentifikasi bentuk-bentuk komodifikasi pesan yang dilakukan

oleh Ki Purbo Asmoro dalam sajian pakeliran lakon Makutharama

sebagai bagian dari proses produksi pesan

- Mengenali penerapan metode-metode produksi pesan yang dilakukan

oleh dalang untuk mengatasi kendala budaya yang tercipta dalam

khalayak lewat komodifikasi

IV. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam segi akademis maupun

praktis, yaitu:

Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam

kajian tentang seni pertunjukan tradisional, khususnya pakeliran

wayang kulit purwa dalam ranah ilmu komunikasi, sehingga dapat

memperluas wawasan dan pengetahuan tentang seni ini dalam

perspektif sosio-humaniora

Manfaat Praktis

Lewat penelitian ini, kalangan dalang sendiri maupun

pembelajar ilmu komunikasi diharapkan untuk mendapat perspektif

baru dalam memandang pertunjukan wayang kulit, selain peran

nyatanya sebagai salah satu cabang kesenian tradisional masyarakat,

yakni sebagai media komunikasi.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

5

V. Kerangka Pemikiran

Definisi umum yang sering diberikan oleh cendekiawan Eropa dan

Amerika tentang “media komunikasi tradisional” pada saat ini cenderung

mengarah kepada jenis-jenis media komunikasi yang telah lama ada dan

dikenal oleh lintas generasi, seperti media massa cetak, elektronik maupun

lisan. Media tradisional dalam pengertian ini memiliki antonim berupa media

baru (new media) yang kita kenal dalam bentuk internet, social media dan

lain sebagainya. Ronald E. Rich membagi kedua kategori media ini

berdasarkan partisipasi sosial (social presence) dan kekayaan media (media

richness) yang dimiliki masing-masing media komunikasi sebagai sebuah ciri

spesifik.7

H.K. Ranganath dalam konteks komunikasi Timur berpendapat bahwa

pada dasarnya media komunikasi tradisional adalah ekspresi budaya dan gaya

hidup yang muncul dalam keseharian masyarakat tertentu dan terus

berkembang dari masa ke masa. Media komunikasi tradisional memiliki sifat-

sifat seperti: (a) mudah diterima, (b) relevan dengan kebudayaan yang ada,

(c) menghibur, (d) menggunakan idiom ungkap lokal, (e) memiliki unsur

legitimasi, (f) fleksibel, (g) memiliki kemampuan mengulangi pesan-pesan

yang dibawa, dan (g) komunikasi bersifat dua arah.8 Sifat-sifat komunikasi

tersebut banyak didapati pada seni pertunjukan yang tumbuh di dalam

masyarakat tradisional sendiri, dan karenanya seni pertunjukan tradisional

7 Rich, Media Appropriateness: Using Social Theory to Compare Traditional and New

Organizational Media, Human Communication Research, edisi Juni 1993 (Washington DC:

International Communication Associations), hal. 451-484.

8 H.K. Ranganath, Not a Thing of the Past: Functional and Cultural Status of Traditional Media in

India, (Paris: Unesco, 1979), hal. 79

Page 6: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

6

atau teater rakyat seringkali dipandang sebagai bentuk media komunikasi

tradisional itu sendiri.9

Menurut pendapat Sartono Kartodirdjo, peran pergelaran wayang kulit

purwa sebagai media komunikasi tradisional secara aksiologis memiliki

beberapa dimensi, yakni dimensi spiritual, moral, estetika dan hiburan.10

Secara garis besar, keempat dimensi ini berada dalam perpotongan dua ranah,

yakni sekala (profan) dan niskala (transenden), sebagaimana yang kita dapati

hingga sekarang pada kategorisasi seni pertunjukan Hindu di Bali

berdasarkan fungsinya, yakni:

a. Sebagai Wali, yakni pertunjukan yang menjadi aktivitas utama dalam

sebuah upacara keagamaan, seperti Wayang Sapuh Leger pada

upacara Pengruwatan/Penglukatan, Wayang Lemah pada Pitra

Yadnya, dan lain sebagainya

b. Sebagai Bebali, yakni pelengkap jalannya sebuah upacara, seperti

pertunjukan Wayang Calonarang pada upacara Piodalan atau hari

jadi Pura atau tempat keramat lainnya, serta

c. Balih-balihan, yakni hiburan yang bersifat sekuler, hanya bertujuan

untuk hiburan masyarakat saja11

Pada perkembangan selanjutnya, dalam kasus pergelaran wayang kulit

purwa di Jawa Tengah, khususnya di wilayah kultural Surakarta, Soetarno

(2011) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-20 setidaknya masyarakat

telah mengenal tiga format pergelaran wayang kulit purwa berdasar nilai

yang dititik beratkan , yakni:

9 Direktorat Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika

RI, Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Disseminasi Informasi, (Jakarta, 2011:

Kemenkominfo), hal. 3.

10

Bambang Murtiyoso, Membangun Kerukunan dan Ketahanan Budaya Bangsa, ceramah

disampaikan pada Sarasehan Pemangku Budaya Jawa di Gedung Korpri, Wonosobo, tanggal 28

Agustus 2013.

11

James R. Brandon dan Kevin Banham, The Cambridge Guide to Asian Theatre, (Cambridge,

1996: Cambridge University Press), hal. 124.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

7

a. Wayangan daleman, yakni pola pertunjukan yang mematuhi kaidah-

kaidah pedalangan, baik teknis maupun filosofis, secara penuh

b. Wayangan pendhapan, yakni pola pertunjukan yang memenuhi

kehendak penonton tanpa mengorbankan kaidah pedalangan

c. Wayangan kebonan, yakni pola pertunjukan yang memenuhi

kehendak penonton dengan menampilkan kecenderungan hedonistik

dan berorientasi pada uang 12

Ketiga klasifikasi lokus pertunjukan ini, menurut Soetarno, membawa

konsekuensi tersendiri bagi sajian seni pertunjukannya, yang berpengaruh

kepada segmentasi audiens dan ekspektasi penonton terhadap garap tertentu

yang ditampilkan dalang lewat pertunjukannya. Dalam idiom Jawa hal ini

bersesuaian dengan istilah angon tinon atau empan nggawa papan (mampu

beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitar).Adanya segmentasi audiens

yang jelas, tuntutan estetis terhadap kemasan pertunjukan yang berbeda-beda

dan kategorisasi kualitas dalang berdasar kemampuan teknis yang dimiliki,

pada akhirnya menjadikan kesenian wayang kulit purwa tidak lagi semata-

mata seni ritual maupun pertunjukan rakyat saja, melainkan telah

bertransformasi menjadi salah satu cabang showbiz (bisnis pertunjukan) yang

bersifat sekuler.

R.M. Soedarsono dalam Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial

dan Ekonomi , menuliskan tentang kemunculan “ledakan kebudayaan” pada

dekade 1960-an yang telah diprediksi oleh Alvin Toffler: bahwa pada masa

pasca-Perang Dunia ke-II dalam tatanan masyarakat negara-negara merdeka

baru yang semula berada di bawah pemerintahan monarkis, akan timbul

kelas-kelas baru pula yang berakibat pula kepada munculnya jenis-jenis

kesenian yang cocok dengan selera kelas tersebut. Ragam kesenian “baru”

ini, menurut Soedarsono, tetap diambil dari bentuk-bentuk kesenian yang

telah lama ada dan mapan dalam kehidupan institusi kebudayaan seperti

12

Soetarno, Gaya Pedalangan Wayang Kulit Purwa Jawa serta Perubahannya, Jurnal Seni

MUDRA, vol. 26 no. I, Januari 2011. (Denpasar: ISI Press), hal.13.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

8

Keraton, meskipun dalam prakteknya akan mengalami desakralisasi untuk

bertransformasi menjadi seni kebudayaan populer.13

John W. Fiske dalam Understanding Popular Culture menyatakan,

bahwa budaya populer dalam masyarakat industri memiliki kontradiksi

tertentu terhadap sumbernya. Produk kebudayaan yang diadaptasi oleh

masyarakat tersebut diindustrialisasikan, sementara komoditas-komoditasnya

dihasilkan dan didistribusikan oleh industri yang dimotivasi oleh keuntungan

yang hanya mengikuti kepentingan-kepentingan ekonominya sendiri. Di lain

sisi, budaya populer sebagai budaya masyarakat membawa kepentingan-

kepentingan masyarakat di dalamnya.14

Budaya populer adalah hasil ciptaan

masyarakat dalem keterkaitan di antara produk-produk industri budaya dan

kehidupan sehari-hari, dan berasal dari tataran bawah dan dalam. Fiske juga

mengutip De Certau (1984) yang menyatakan bahwa budaya populer adalah

seni mengolah apa yang dihasilkan oleh sistem, yakni komoditas. Paradigma

industri kebudayaan, menurut Fiske, dapat digambarkan seperti bagan di

bawah ini:

Gambar 1. Bagan alur paradigma industri kebudayaan menurut John W.

Fiske (Fiske, 2005: 25)

13

Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi, (Yogyakarta, 2003:

Gadjah Mada University Press), hal. 254.

14

John W.Fiske,Karen A. Foss, Memahami Budaya Populer (terj.), (Yogyakarta,2011: Jalasutra),

hal. 25.

Konsumen

Makna/kepuasan itu sendiri

Komoditas

Makna/Kepuasan

Produsen

Audiens

Page 9: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

9

Dari bagan di atas , dapat kita ketahui bahwa dalam perekonomian

budaya, audiens atau masyarakat memegang peranan penting dalam faktor

produksi, dengan asumsi bahwa masyarakatlah yang mengkomodifikasikan

makna atau kepuasannya sendiri sesuai dengan aspirasinya, dan pada

akhirnya menjadikan makna atau kepuasan itu sendiri sebagai konsumen,

yakni tercapainya tujuan-tujuan masyarakat sebagai produsen makna dalam

produk-produk kebudayaannya. Mekanisme yang sama dapat ditemui dalam

pergelaran wayang kulit purwa dewasa ini, ketika masyarakat sebagai “pasar”

dijadikan tolok ukur utama oleh para dalang dalam proses produksinya.

Gendhon Hoemardani, penggagas sekaligus pendiri ASKI (Akademi

Seni Karawitan Indonesia-sekarang ISI Surakarta) melihat bahwa fenomena

desakralisasi dalam dunia pedalangan adalah sebuah realitas yang perlu

disikapi dengan bijak. Sebagaimana dikutip oleh Rustopo, hal ini sangat

mungkin terjadi dalam kehidupan seniman tradisi di Indonesia, terlebih

mengingat sifat pekerjaan sebagai seniman dianggap sebagai mata

pencaharian utama oleh sebagian besar pelaku seni tradisi.15

Di lain pihak, S. Haryanto menyatakan bahwa pergeseran atau

pengalihfungsian pergelaran wayang kulit merupakan penyesuaian diri, dan

penyesuaian merupakan kata kunci untuk dapat tetap mempertahankan

wayang sebagai penyebar pesan dan nilai yang berguna bagi masyarakat.

Dalang sebagai aktor utama di balik pertunjukan wayang kulit purwa dituntut

untuk dapat menyesuaikan materi pertunjukannya dengan dinamika zaman

dan kebutuhan serta keadaan masyarakat pendukungnya untuk dapat

mempertahankan kehidupan keseniannya.16

Dengan perubahan paradigma yang terjadi baik di kalangan dalang

sebagai produsen pesan maupun masyarakat sebagai audiens/komunikannya

dalam menyikapi pergelaran wayang kulit purwa, maka transformasi nilai

15

Rustopo dalam Bambang Murtiyoso, Menggapai Popularitas: Aspek-Aspek Pendukung agar

Menjadi Dalang Kondang, (Surakarta,2005: STSI Press), hal. 3

16

S. Haryanto, Bayang-bayang Adhiluhung: Filsafat, Simbolis dan Mistik dalam Wayang,

Semarang, 1995) : Dahara Prize-Effhar, hal. 206.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

10

yang terjadi pada proses produksi pesan dalam teks dan konteks sajian

pakeliran tidak dapat dihindari lagi. Peran dalang sebagai komunikator utama

dalam rangkaian pertunjukan wayang memang tetap tidak dapat diabaikan,

meskipun dalam konteks budaya populer masyarakat tidak lagi tampil

sebagai komunikan yang menerima pesan belaka, melainkan juga sebagai

pembentuk pesan dalam media. Mekanisme timbal balik dalam produksi

pesan pakeliran ini berlangsung secara simultan, dan terjadi baik dalam

peristiwa pakeliran itu sendiri maupun dalam kehidupan di luar pakeliran,

yang berimbas banyak kepada dalang sebagai anggota masyarakat selain

produsen pesan (lihat gambar 2).

Gambar 2. Hubungan antara dalang dan masyarakat dalam proses

produksi pesan pakeliran wayang kulit purwa (dari berbagai sumber)

VI. Kerangka Konsep

A. Komodifikasi

Vincent Mosco (2009) berpendapat bahwa komodifikasi pada dasarnya

adalah proses transformasi hal-hal yang dinilai dari kegunaannya menjadi

produk-produk yang dapat ditransaksikan yang dihargai dengan nilai tukar,

yakni komoditas. Mengutip asumsi mazhab pemikiran Marx, nilai guna (use

value) merupakan fakta biologis tentang kebutuhan manusia, sementara nilai

PAKELIRAN

WAYANG

PURWA

Sebagai teks yang

dimaknai

Konteks Sosial

MASYARAKAT

DALANG

Garap pakeliran

Page 11: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

11

tukar adalah nilai buatan yang timbul dari serangkaian rekayasa sosial

tertentu, misalnya mekanisme pasar maupun regulasi negara.17

Appadurai (2005) menyatakan bahwa ada setidaknya empat bentuk

komoditas yang dapat dipertukarkan dalam proses komodifikasi, yakni: (a)

komoditas berdasar tujuannya, yang memang dimaksudkan sejak awal oleh

produsen untuk dapat dipertukarkan, (b) komoditas berdasar metamorfosis,

yakni hal-hal yang semula memiliki nilai lain, namun pada perkembangannya

ditempatkan dalam posisi komoditas, (c) komoditas berdasar diversi atau

perluasan ragam, yang bersifat lebih khusus dari komoditas berdasar

metamorfosis, yakni hal-hal yang pada akhirnya ditempatkan pada posisi

komoditas meski sebelumnya dilindungi/dicegah dari upaya komodifikasi,

serta (d) eks-komoditas, yaitu hal-hal yang dikeluarkan dari komodifikasi dan

ditempatkan dalam kondisi lain. Appadurai juga menganggap penting

kategorisasi komodifikasi menjadi tunggal (singular) dan homogen, dengan

alasan bahwa keduanya memiliki orientasi berbeda: komodifikasi tunggal

merujuk kepada kategorisasi karakteristik ke dalam kelas-kelas tertentu

(dalam istilah pertunjukan wayang dapat diambil contoh wayangan kemasan

Pringgitan dan Kebonan), sementara komodifikasi homogen mengacu

kepada keunikan fenomena yang terjadi dalam kelas yang sama (seperti

perbandingan pakeliran kemasan Kebonan gaya Nartasabda, Darman

Gandadarsana dan Purbo Asmoro).18

Proses komodifikasi, dalam hubungannya dengan komunikasi memiliki

dua dimensi signifikansi, yakni: (1) Proses komunikasi dan teknologi

berkontribusi secara umum terhadap penciptaan komodifikasi secara utuh,

dan (2) Komodifikasi merupakan lembaga dan proses yang berpengaruh

17

Vincent Mosco, Political Economy of Communication, (London, 2007: SAGE Publications),

hal. 129-130.

18

Arjun Appadurai, Commodities and the Politics of Value, Rethinking Commodification: Cases

and Readings in Law and Culture, Martha M. Ertman dan Joan C. Williams (eds.), (New York,

2005: New York University Press), hal. 39

Page 12: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

12

besar terhadap peran komunikasi sebagai sebuah praktek sosial. Dalam

kasus pertunjukan wayang kulit purwa, dimensi pertama dapat diilustrasikan

dengan bagaimana kemunculan teknologi rekam pada paruh pertama abad

ke-20 menjadikan pengalaman menyaksikan dan mendengarkan wayang

yang semula bersifat rohani dan dapat ditemukan secara bebas lewat

pergelaran-pergelaran secara langsung menjadi pengalaman profan yang

didapatkan dengan cara mengaksesnya lewat media-media tertentu (rekaman

audiovisual, pita kaset dan lain sebagainya). Sementara itu, dimensi kedua

mendudukkan komodifikasi sebagai penentu posisi sosial praktek-praktek

komunikasi, sebagaimana yang ditunjukkan dengan perubahan arah pandang

masyarakat dalam menyikapi pertunjukan wayang kulit dan posisi dalang

sebagai produsen pesan di dalamnya, dari yang semula merupakan santapan

spiritual menjadi komoditas hiburan yang berimbas kepada munculnya genre

pertunjukan wayang yang lebih mengutamakan kitsch dan berorientasi

kepada selera pasar.19

Perubahan posisi sosial pertunjukan wayang beserta pendukung

pertunjukan dalam masyarakat pasca-terjadinya komodifikasi menjadikan

dalang memerlukan reaktualisasi peranannya. Secara drastis, dalang dan kru

pertunjukan wayang kulit (pesindhen, pangrawit) beranjak dari peran semula

sebagai sekumpulan pujangga alit yang bertugas untuk menyampaikan

petuah lewat sastra tutur bermedia seni pertunjukan, menjadi sekumpulan

pekerja seni profesional yang menempatkan pertunjukan wayang sebagai

“barang dagangan”. Selain pada tataran fisik kemasan pertunjukan yang

dikomodifikasikan secara ekstensif, substansi pergelaran wayang, termasuk

wacana-wacana yang muncul di dalam kesatuan lakon sebagai nilai intrinsik

dari komoditas, tidak luput pula dari sentuhan komodifikasi dengan cara

penambahan, pengurangan, penyesuaian ataupun pemertahanan aspek-aspek

tertentu dalam pertunjukan. Hal ini mungkin terjadi, mengingat dalang

sebagai produsen pesan dalam pertunjukan wayang tidak berlaku sebagai

19

Kayam, op.cit., hal. 125.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

13

sosok yang bebas nilai dan ikatan struktur sosial, melainkan juga terlibat di

dalamnya. Dengan demikian, maka terbentuk asumsi bahwa dalam

pembentukan dan pelontaran wacana-wacana lewat pertunjukan wayang kulit

purwa sebagai sebuah teks kajian, seorang dalang selain memiliki standpoint

(sudut pandang) pribadi terhadap ide yang akan diwacanakan, juga

melibatkan diri dalam pembentukan konstruksi pikir tertentu yang sesuai

dengan perubahan makna, fungsi dan peranan dalang dan pertunjukan

wayang kulit purwa di mata masyarakat.

B. Analisis Wacana Kritis

Dalam definisi James Paul McGee, wacana atau discourse dapat dimaknai

sebagai beragam cara mengintegrasikan bahasa dengan hal-hal non-

kebahasaan. Hal-hal non-kebahasaan yang dimaksud meliputi cara berpikir,

bertindak, berinteraksi, menilai, merasa, atau mempercayai suatu hal, serta

berkaitan dengan penggunaan sistem simbol dalam waktu dan tempat yang

tepat yang memiliki aspek sosial dan menimbulkan relasi maknawiah

tertentu.20

Kajian tentang wacana telah dimulai sejak 2000 tahun yang lalu saat

kesusastraan dan retorika telah meletakkan dasar-dasar kajian tentang wacana

dengan menyediakan pola-pola struktural untuk teks pertunjukan, puisi,

maupun pembicaraan pada konteks formal dan legal (hukum).21

Dalam

perkembangan selanjutnya, kajian tentang wacana telah beranjak lebih jauh

dari sekadar membahas topik di dalam batasan-batasan ilmu ketatabahasaan,

menjadi sebuah kajian yang bersentuhan dengan ilmu-ilmu humaniora, yang

memasukkan analisis latar belakang sosiokultural sebuah teks dalam ruang

lingkup studinya.

20

James Paul McGee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method (New

York,1999: Routledge), hal. 13

21

A. Teun van Dijk, Walter Kintsch, Strategies of Discourse Comprehension, (New York, 1983:

Academy Press), hal. 1.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

14

Wacana muncul sebagai akibat dari pengenalan (recognition) manusia

terhadap kesatuan bahasa, aksi, interaksi, nilai-nilai, kepercayaan, simbol-

simbol, objek dan tempat yang membentuk identitas spesifik yang terlibat

dalam aktivitas tertentu. Dengan kata lain, wacana terjadi ketika masyarakat

mengenali dan memahami posisi sosial aktivitas-aktivitas yang dimaksud

beserta aktor yang menjalankannya. Semakin aktor dan aktivitas yang

dilakukannya bersifat asosial atau tidak dikenali dan dipahami, kesempatan

terjadinya wacana akan semakin mengecil.22

Dalam kasus pertunjukan wayang

kulit purwa, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, kemunculan

wacana-wacana dalam rangkaian pertunjukan, baik yang bersifat dalam

kerangka cerita (njeron kelir) atau di luar cerita (nyebal kelir) menjadi

mungkin, sebagai akibat dari adanya interaksi sosial yang terjadi antara dalang

dan masyarakat yang terus-menerus terjadi. Dalang akan memunculkan wacana

dalam pakeliran sebagai konsekuensi dari persentuhan dan pemahamannya

terhadap diri sendiri dan orang lain (masyarakat) dalam situasi sosial yang

dialaminya.

Komponen-komponen dasar dalam wacana, menurut van Dijk dapat dibagi

dalam tiga kategori, yakni:

a. Model konteks

Yakni model mental yang spesifik dari representasi subyektif dari sebuah

properti wacana, yang mengendalikan keseluruhan proses dan

mengadaptasikan wacana dalam konteks sosial tertentu. Van Dijk menganggap

bahwa model konteks juga mengendalikan gaya dan isi pesan yang akan

disampaikan, dan karenanya, bagi komunikator, menggali sebanyak mungkin

informasi untuk diolah dan disampaikan kepada komunikan dapat dilakukan

dengan pengamatan yang jeli kepada model konteks. Model konteks selain

berfungsi untuk menentukan informasi apa yang disampaikan, juga memiliki

peran penting dalam memilih gaya penyampaian informasi.

b. Sistem kendali,

22

McGee, op.cit., hal. 19.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

15

Sistem kendali (control system) mengacu kepada sistem tempat

penyimpanan informasi kontekstual, yang mengatur aliran informasi,

menspesifikasi model konteks dan memilah fragmen-fragmen tertentu yang

selanjutnya akan disampaikan setelah melewati proses produksi pesan dan

wacana.

Sistem kendali juga mengandung informasi tentang tipe teks yang akan

diproduksi tergantung konteks dan tujuan aktivitas komunikasi, yang akan

mengontrol gaya dan pengaturan pesan, beserta kemungkinan-kemungkinan

wacana yang akan diproduksi. Dengan kata lain, proses diksi, aktivasi,

penerapan serta konstruksi semantik dari sebuah informasi secara strategis

didukung dengan keberadaan sistem kendali.

c. Produksi semantik

Produksi semantik dalam proses pewacanaan terletak dalam batasan-

batasan model konteks dan sistem kendali, dan melibatkan konstruksi

representasi semantik sebuah wacana, yang disebut sebagai basis teks.

Informasi yang terkandung dalam sebuah basis teks kebanyakan berasal dari

model situasi, meskipun pada prakteknya banyak pengetahuan umum dan

informasi tentang konteks tertentu yang ikut masuk di dalamnya. Topik

maupun subtopic yang relevan secara kontekstual dapat dipilih maupun

dikonstruksi, dan nantinya akan menjadi topik utama pewacanaan.

d. Makroproduksi dan Mikroproduksi,

Makroproduksi mengacu kepada produksi makrostruktur teks, baik secara

tematik serta pengaturan urutan pesan yang disampaikan secara linear, yang di

saat yang sama harus memenuhi kategori skematik sebuah teks. Dalam arti

lain, tipe teks dapat menentukan urutan topik informasi yang disajikan, seperti

halnya informasi tentang latar belakang sebuah cerita.

Mikroproduksi mengacu kepada penciptaan sekuen-sekuen mikrostruktur

dalam sebuah basis teks yang dikendalikan oleh makroproposisi topik.

Mikroproduksi meliputi permasalahan linearisasi pesan, koherensi pesan,

selain juga sintaksis permukaan (meliputi intonasi, pemilihan kata, tatabahasa

dan lain sebagainya). Struktur permukaan sebuah teks yang termasuk dalam

Page 16: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

16

mikroproduksi tergantung dengan strategi yang mentransformasikan informasi

model ke basis teks semantik.

Berangkat dari pendapat van Dijk di atas, kita dapat mengetahui bahwa

pada tataran kritis, wacana tidak berhenti dalam kapasitasnya sebagai tautan

antara aspek kebahasaan dan non-kebahasaan dari sebuah fenomena dari sudut

pandang praksis semata. Wacana kritis secara lebih lanjut membicarakan pula

bagaimana kekuasaan, dominasi dan ketidakberimbangan dilakukan,

direproduksi dan dilawan dalam konteks sosiopolitik sebuah teks.23

Wacana

kritis dapat dianalisis secara interpretatif dan eksplanatoris. Analisis wacana

kritis, memiliki beberapa karakteristik yang di antaranya adalah:

a. Mengkaji fenomena kebahasaan praktis yang ditemukan dalam

kehidupan nyata

b. Berfokus kepada unit yang lebih besar dari kata dan kalimat

c. Keluar dari batas-batas ketatabahasaan dengan mencakup kajian tentang

aksi dan interaksi

d. Mencakup pula aspek nonverbal dari interaksi dan komunikasi (gestur,

imaji, film, dan lain sebagainya)

e. Berfokus kepada sosiokognisi atau strategi dan tindakan interaksional

yang dinamis

f. Menganalisis fenomena gramatika teks dan penggunaan bahasa secara

luas

Dengan demikian analisis wacana kritis memiliki perbedaan signifikan

dengan analisis wacana konvensional, yang terletak pada sifat kajiannya yang

berorientasi kepada problematika interdisipliner, serta kecenderungannya untuk

menyelidiki fenomena sosial yang terkandung di balik teks dibanding dengan

meneliti tataran permukaan lewat berbagai perangkat linguistik.24

Penelitian ini

23

Van Dijk, Critical Discourse Analysis, The Handbook of Discourse Analysis, Deborah Schiffrin,

et.al., (eds.), (Ontario,Canada, 2003: Wiley-Blackwell), hal. 352-353.

24

Ibid.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

17

menggunakan analisis wacana kritis berdasarkan teori kognisi sosial van Dijk,

yang akan diterangkan pada subbab selanjutnya.

C. Aspek Produksi Pesan dalam Pakeliran

Stephen W. Littlejohn memetakan konsep bahwa komunikasi pada

hakikatnya adalah proses yang bergantung pada pesan dan informasi.25

Dalam

tahap produksi pesan, peran individu dalam proses komunikasi menjadi

penting, karena individu adalah aktor yang dapat berlaku sebagai subjek

(komunikator) maupun objek (komunikan) dalam tiap fenomena komunikasi.

Anderson (1972) lewat model komunikasi Stimuli and Response yang

disusunnya mengemukakan bahwa peranan komunikator sebagai dalam

produksi pesan menjadi krusial dalam proses komunikasi, karena pada

hakikatnya komunikator memiliki kuasa penuh dalam memilih stimuli pesan

yang ditransmisikan kepada komunikan lewat kanal-kanal yang dipilihnya

(selectivity on transmission stimuli). Wilbur Schramm (1973) di sisi lain juga

menyatakan bahwa salah satu prasyarat efektivitas pesan komunikasi adalah

ketika komunikan dapat bertindak sesuai kehendak komunikatornya.26

Seni drama sebagai salah satu cabang media komunikasi didefinisikan

sebagai “representasi realitas lewat imitasi peristiwa-peristiwa kehidupan

manusia yang ditarik ke dalam konteks pertunjukan dengan bingkai-bingkai

„semesta fiksional‟ tertentu”.27

Hakikat dari pementasan drama menurut Miley

S. Barranger adalah proses penyingkapan dan penjelajahan diri manusia untuk

menemukan jalan pemenuhan kebutuhan kita atas hubungan tertentu dengan

manusia lain, atau mengatasi berbagai kesusahan dan kematian dalam

peristiwa hidup. Dengan kata lain, drama memberikan kesempatan bagi

25

Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication(9th

Edition), (Belmont, California,

2008: Thomson-Wadsworth),hal. 107.

26

Ibid.

27

Miley S. Barranger, Understanding Plays, (Boston, 2004: Allyn and Bacon), hal. 6-7.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

18

audiens untuk berefleksi atas diri dan menjelajahi makna tentang menjadi

manusia dalam keadaan-keadaan tertentu. Oleh karenanya , menurut teori-

teori dramaturgi pesan dalam dunia teater tidak hanya berkutat kepada

pemenuhan kesenangan pribadi pembuat teks, melainkan juga memiliki

kecenderungan untuk membangkitkan kesadaran sosial masyarakat selaku

audiensnya, dengan mempertautkan cerita yang diangkat dengan isu sosial dan

politik maupun konteks kesejarahan tertentu yang akrab dengan kehidupan

masyarakat sehari-hari.28

Hakikat pertunjukan wayang kulit purwa sebagai sebuah media

komunikasi tidak jauh berbeda dengan pendapat Barranger, yakni sebagai

sarana penyampaian pesan-pesan tertentu bagi penonton lewat olah kejiwaan

yang dibangun oleh dalang lewat berbagai aspek produksi pesan yang tersebar

di seluruh pakeliran. Aspek produksi pesan dalam pertunjukan wayang kulit

purwa, sebagaimana halnya pada drama, pada hakikatnya tidak hanya

menyangkut hal-hal yang bersifat estetis semata, melainkan juga berkaitan

dengan fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Fenomena-

fenomena ini ditangkap, dimaknai dan disajikan kembali sebagai sebuah

refleksi bagi audiens oleh seorang dalang dalam kapasitasnya sebagai

komunikator dan penyampai nilai bagi masyarakat.

Masyarakat Jawa masih memandang dalang sebagai sosok pujangga alit

(komunikator dalam tataran mikro) yang bersinggungan langsung dengan

masyarakat, dan karenanya juga harus melampaui kualifikasi komunikasi

berupa paramasastra (mahir tentang tata kebahasaan), paramakawi (mahir

dalam memakai kata-kata dan istilah Kawi atau Jawa Tengahan), mardi basa

(memilih diksi yang tepat), mardawalagu (memiliki kemampuan estetis dalam

tembang dan lagu), awicarita (pandai bercerita dan mengarang), mandraguna

(menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan) dan sambegana (berdaya

ingat tajam) sebagaimana yang disyaratkan kepada para pujangga ageng,

yakni sastrawan. Di samping itu seorang dalang juga harus memiliki

28

Ibid. hal. 8.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

19

sensitivitas terhadap keadaan sosial masyarakat dan lingkungan di sekitarnya,

yang diistilahkan sebagai nawungkridha.29

Dampak konkrit dari tuntutan masyarakat terhadap kepujanggaan dalang

ini ialah kebutuhan dalang untuk dapat sekongruen mungkin dengan

kehendak khalayak (penanggap dan penonton)nya lewat sejumlah metode,

termasuk komodifikasi pesan yang menempatkan isi pakeliran menjadi

sebuah komoditas bisnis pertunjukan, seiring dengan pergeseran makna dan

fungsi pergelaran wayang dari seni ritual ke seni profan yang di satu sisi

juga memiliki aspek pragmatik. Pergeseran substansi nilai mengarah kepada

kecenderungan atas pertukaran nilai-nilai tertentu dengan masyarakat, yang

dijelmakan lewat komodifikasi pesan-pesan dalam pakeliran-nya.

Aspek produksi pesan dalam pakeliran, pada dasarnya dapat dibagi

menjadi dua bagian, yakni: garap teknis, meliputi pengolahan keterampilan

dalang dalam bidang sabet (manipulasi gerakan wayang), catur (narasi),

iringan pakeliran dan hal-hal lain yang bersifat kemasan pertunjukan. Selain

garap teknis, terdapat pula garap non-teknis yang bersifat lebih substansial,

meliputi pesan yang ditampilkan beserta nilai-nilai yang dibawa dan

dikomodifikasikan sepanjang pertunjukan.

Berangkat dari hal tersebut, maka dapat kita tarik pokok pemikiran

utama yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya, yakni:

- Pertunjukan wayang kulit purwa sebagai teks besar yang

dikaji berada pada ranah relasi timbal balik tiga dimensi antara

dalang sebagai produsen pesan utama, masyarakat sebagai

audiens dan ranah garap pakeliran sebagai pembangun materi

pertunjukan

- Dalang sebagai aktor utama dalam pergelaran wayang

kulit purwa memiliki peran sentral dalam proses komodifikasi

29

Karsono H. Saputra, Percik-percik Bahasa dan Sastra Jawa, (Jakarta, 2001: Keluarga

Mahasiswa Sastra Jawa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia), hal. xii.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

20

pesan yang terjadi dalam pementasan-pementasan masa kini,

seiring dengan pergeseran makna dan fungsi pertunjukan wayang

kulit dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Meski

demikian, penanggap dan penonton selaku bagian dari audiens

memiliki peran pula dalam proses terjadinya komodifikasi pesan

dalam pertunjukan wayang kulit

- Komodifikasi pada pertunjukan wayang kulit purwa

terjadi untuk memenuhi kehendak masyarakat sebagai khalayak

pemirsanya, juga untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan

zaman dan dinamika kehidupan pelaku seninya sendiri dari masa

ke masa. Dengan kata lain, komodifikasi memungkinkan

kesenian wayang kulit purwa untuk mewadahi aspirasi manusia

pendukungnya dalam berbagai situasi dan kondisi.

VII. Metodologi Penelitian

Sifat penelitian ini pada dasarnya adalah analitis, sehingga diperlukan

kedalaman data untuk mengkajinya. Dengan demikian, pendekatan kualitatif

dirasa lebih tepat untuk membahas pokok permasalahan, karena pendekatan

ini mampu mewadahi eksplorasi penulis terhadap fenomena yang terjadi

pada suatu konteks lewat sumber yang beragam. Penulis menggunakan

metode analisis wacana kritis dengan mengambil sampel satu pertunjukan

yang dilakukan dalam konteks sosial tertentu untuk mendefinisikan,

mengidentifikasi dan menginterpretasi proses dan metode komodifikasi

pesan dalam pertunjukan wayang kulit purwa oleh ki Purbo Asmoro.

Analisis wacana kritis dapat dipergunakan untuk mengkaji pertunjukan

wayang kulit purwa sebagai sebuah teks. Hal ini dimungkinkan karena teks

berasal dari individu atau sekelompok produsen pesan tertentu yang

berkonsekuensi kepada munculnya subjektivitas dalam berbagai aspek unik di

dalamnya. Dengan paradigma berpikir kritis, sebuah teks dapat diteliti secara

Page 21: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

21

ekstensif untuk mendapatkan jawaban tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi dan membentuk konstruksinya, baik secara parsial maupun

keseluruhan.

Pertunjukan wayang kulit purwa sebagai sebuah teks kajian memiliki

beberapa lapisan makna yang tidak dapat diungkap dengan analisis

linguistik lain, meskipun sama-sama bertitik berat kepada unit kebahasaan

yang dipergunakan sebagai kanal komunikasi. Pertunjukan wayang kulit

purwa, meskipun meliputi berbagai aspek audio dan visual dalam

penyajiannya, akan tetapi dalam proses produksi pesannya tetap bergantung

kepada seni bercerita (storytelling) dan komunikasi verbal yang dilakukan

oleh dalang lewat garap sanggit yang diolahnya untuk membangun sebuah

lakon. Dengan demikian, yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah

wacana-wacana yang muncul dalam proses produksi pesan yang dilakukan

oleh dalang yang membentuk satu rangkaian utuh pakeliran.

Karena mengarah kepada analisis korelasi komodifikasi dan pergeseran

wacana dari konvensi klasik ke kemasan pentas populer, termasuk juga

faktor-faktor yang mempengaruhinya jauh di balik permukaan kebahasaan,

maka metode yang dipergunakan dalam analisis wacana penelitian ini

nantinya merujuk mazhab Van Dijk. Dalam teori Kognisi Sosial yang

disusunnya, Van Dijk menyatakan bahwa teks sebagai sebuah objek material

kajian tidak dapat lepas dari pengaruh kognisi sosial atau pengenalan

masyarakat terhadap sebuah gagasan/ide dan konteks sosial tempat

kemunculannya. Kedua faktor ini tidak hanya berperan sebagai latar

belakang saja, melainkan juga berfungsi membentuk lapisan-lapisan wacana

dalam kesatuan teks yang utuh (lihat bagan).30

30

Van Dijk, Critical Discourse Studies: a Sociocognitive Approach,, Methods of Cultural

Discourse Analysis,Ruth Wodak dan Michael Meyer (ed.), (London,2002: SAGE Publications),

hal. 64.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

22

Gambar 3. Posisi Teks dalam Realitas Sosial menurut Van Dijk (Van

Dijk,2002:64)

Van Dijk membagi struktur wacana teks ke dalam enam tingkatan,

yakni tematik, skematik, semantik, sintaktik, stilistik dan retorik. Dari

pembacaan keenam tingkatan struktur wacana tersebut, pada tataran

selanjutnya akan didapatkan deskripsi tekstural dan struktural pakeliran

sajian Purbo Asmoro, dengan memanfaatkan korpus lakon “[Wahyu Sri]

Makutharama” sebagai sumber data utama dalam penelitian ini.

Metode analisis wacana kritis Van Dijk menjadi relevan dengan objek

material penelitian ini, karena dalam prakteknya, proses komodifikasi pesan

dalam pertunjukan wayang kulit purwa berkaitan dengan hegemoni dalang

dan kuasanya menjadikan bahasa pakeliran sebagai alat untuk menciptakan

konstruksi nilai tertentu lewat pementasan maupun menegaskan definisi

peranannya dalam proses ekonomi politik komunikasi yang dijalankan baik

dengan sesama kru, masyarakat selaku audiens ataupun terhadap

pertunjukan wayangnya sendiri. Wayang sebagai alat penyampai nilai-nilai

juga memiliki indikasi sebagai alat persuasi masyarakat dengan

kecenderungan untuk mendramatisir persoalan yang ada dan mengemasnya

dalam berbagai tingkatan gaya ungkap, mulai dari yang bersifat simbolis

hingga vulgar.

KonteksSosial

Kognisi Sosial

TEKS

Page 23: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

23

VIII. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, objek yang akan dikaji adalah rekaman

audiovisual pergelaran ki Purbo Asmoro yang termasuk dalam paket Wayang

Educational Package yang diterbitkan oleh Yayasan LONTAR tahun 2011.

Data fisik objek material penelitian ini adalah sebagai berikut:

DATA FISIK REKAMAN AUDIOVISUAL

Judul : Pakeliran Garap Semalam lakon “Makutharama”

Penyaji : Ki Purbo Asmoro, S. Kar, M. Hum

Kru Pengiring : Paguyuban MAYANGKARA (“Mangesthi Wayang

Kagunan Rahayu”)

Format Rekaman : DVD (Digital Versatile Disc)

Durasi : Disc 1, 5 video, total 110 menit 24 detik

Disc 2, 5 video, total 111 menit 15 detik

Disc 3, 5 video, total 122 menit

Disc 4, 5 video, total 113 menit 51 detik

Subtitle : Indonesia dan Inggris

Penerbit : LONTAR Foundation, Jakarta

Tanggal rilis : 26 November 2013 (Jakarta)

Penulis memilih rekaman audiovisual pementasan ini sebagai objek

bahasan dengan beberapa pertimbangan, di antaranya:

a. Pentas diadakan pada lingkungan masyarakat umum, sehingga

dalam penyampaian pesan-pesannya diharapkan ada bentuk

Page 24: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

24

komodifikasi yang terjadi sebagai upaya memperkecil jarak field of

reference yang mendasar antara komunikator dan komunikannya

b. Garap pakeliran populer berdurasi semalam suntuk, adalah gaya

pakeliran yang hidup dan dikenal luas oleh sebagian besar

masyarakat masa kini.

c. Lakon Wahyu Makutharama, adalah lakon gubahan asli Jawa (era

Mangkunegara VII) dan merupakan salah satu lakon populer dalam

dunia pedalangan. Pemilihan lakon ini diasumsikan akan

memberikan keterangan lengkap tentang pergeseran wacana-

wacana dalam pakeliran, sesuai dengan keterangan Wignyasutarna

bahwa lakon Makutharama adalah lakon jangkep, maksudnya

lengkap dari segi muatan, baik yang bersifat profan maupun

transendental.31

Dalam penelitian ini, meskipun sampel penelitian bersifat tunggal, yakni

pengamatan pada satu pementasan saja, akan tetapi sifat unik yang muncul

pada konteks pementasan dirasa memadai untuk menggali data tentang

komodifikasi pesan yang dilakukan oleh Ki Purbo Asmoro selaku dalang

dan aktor komunikasi dalam pergelaran wayang kulit purwa. Sementara itu,

dalam satu lakon, penulis membagi lokus observasi ke dalam beberapa unit,

yang didasarkan pada pemilahan lakon menjadi scene-scene terpisah pada

kemasan rekaman audiovisualnya.

IX. Teknik Pengumpulan Data

Untuk keperluan pengambilan data, penulis menggunakan beberapa

metode yang memungkinkan untuk menggali keterangan secara rinci tentang

komodifikasi dalam aspek produksi pakeliran yang dilakukan oleh Ki Purbo

Asmoro dalam pergelaran wayang kulit purwa, faktor-faktor pendukung,

beserta cara dan bentuk implementasinya dalam keseluruhan rangkaian

31

Wignyasutarna, Serat Pakem Pedhalangan Lampahan Makutharama, (Surakarta,1988:

YPDMN), hal. 1.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

25

pergelaran. Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam

penelitian ini adalah:

a. Observasi

Observasi dirasa perlu untuk dilakukan, karena objek penelitian ini

menyangkut pergelaran wayang kulit purwa sebagai sebuah kesatuan dari

rangkaian peristiwa, baik teknis maupun non teknis yang terjadi dalam aspek

produksinya. Observasi yang dijalankan untuk mendapatkan hasil yang

seobjektif mungkin ialah dengan cara observasi nonpartisipan dengan

menggunakan rekaman audiovisual sebagai teks utama dalam pengumpulan

data lewat metode observasi ini. Transkrip lengkap rekaman pertunjukan ini

telah diterbitkan oleh Yayasan LONTAR, Jakarta, pada tahun 2011 sebagai

bagian dari Paket Pendidikan dan Pengenalan Budaya Wayang, dan

dipergunakan sebagai bagian dari proses analisis wacana kritis terhadap

rekaman audiovisual sajian Ki Purbo Asmoro.

b. Wawancara

Wawancara perlu dimasukkan untuk melengkapi data penelitian ini,

karena sebagai sebuah seni pertunjukan, peran seniman sangat sentris dalam

setiap pengambilan keputusan yang membentuk satu rangkaian teks yang

disebut lakon atau cerita. Wawancara tidak hanya dilakukan terhadap ki

Purbo Asmoro selaku narasumber utama, untuk menggali alam

pemikirannya, melainkan juga kepada beberapa narasumber terkait seperti

dalang-dalang senior dan muda, serta kolega dan budayawan yang baik

secara profesional maupun personal mengenal Ki Purbo Asmoro dan gaya

pakeliran-nya.

Narasumber yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah:

a. Purbo Asmoro, S.Kar, M.Hum (52 tahun), dalang, pengajar Institut

Seni Indonesia-Surakarta, sebagai narasumber primer

b. Bambang Suwarno, S.Kar, M.Hum (62 tahun), pengajar Institut Seni

Indonesia Surakarta

Page 26: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

26

c. Suluh Juniarsah (26 tahun), peneliti dan dalang wayang kulit purwa

gaya Surakarta; mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI Surakarta yang

bertindak sebagai informan, serta

d. Kathryn (Kitsie) Emerson, penerjemah, penggagas proyek Paket

Pendidikan Wayang bekerjasama dengan Yayasan LONTAR

Dengan adanya beberapa narasumber ini, data yang didapat dalam

penelitian ini tidak hanya bersifat searah dari pandangan Purbo Asmoro

pribadi selaku aktor utama produksi dan komodifikasi pesan dalam

pertunjukan wayang kulitnya, namun juga didapatkan beberapa pendapat

lain yang diharapkan memperjelas, memperkuat dan menjawab

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini berikut faktor-faktornya.

X. Teknik Analisis Data

Dalam metode kualitatif, proses analisis data bertujuan untuk

memperjelas pemahaman terhadap data yang telah dikumpulkan dalam

proses sebelumnya. Secara teknis, menurut John W. Creswell, analisis data

yang digunakan dalam metode kualitatif memiliki tujuan spesifik untuk

mendapatkan deskripsi yang rinci dan mendalam tentang individu atau latar

belakang tertentu yang diteliti, yang kemudian diikuti dengan analisis data

dari tema atau isu tertentu yang dikaji. 32

Dalam metode penelitian kualitatif, alur analisis data dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Penyusunan dan pengaturan, meliputi transkrip dan observasi serta

pemindaian manual terhadap data audiovisual yang ada, pengetikan

catatan lapangan atau pemilahan dan pengaturan data ke dalam tipe-

tipe yang berbeda

32

John W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches,

(Thousand Oaks, CA: 2009), hal. 183-184.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

27

b. Pembacaan data, diperlukan untuk mendapatkan sifat umum

informasi dan merefleksikan makna keseluruhan dari data yang telah

dikumpulkan selama penelitian

c. Pengkodean, yakni proses penyusunan bahan ke dalam segmen-

segmen teks sebelum dimaknai sebagai pembawa informasi tertentu.

Dalam tahap ini data-data berupa teks, gambar dan bentuk-bentuk

lainnya diseleksi dan digolongkan berdasar kategori tertentu, dan

diadakan proses pelabelan untuk kategori-kategori ini.

d. Deskripsi, mengacu kepada pemberian detail informasi tentang

objek-objek penelitian, sementara tema didapatkan dari hasil

pengkodean sebelumnya, yakni generalisasi dari kode-kode yang

diperoleh dalam proses kategorisasi.

e. Interrelasi tema dan deskripsi, meliputi penyajian data yang telah

diolah dalam proses-proses sebelumnya secara tertulis dalam

penelitian

f. Interpretasi makna, yakni penafsiran yang dilakukan terhadap hasil

pengolahan data yang telah disajikan secara tertulis dalam

penelitian. Proses ini memiliki fungsi eksplanasi sekaligus penarikan

kesimpulan terhadap keseluruhan penelitian.

XI. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan rincian sebagai

berikut:

a. Bab I, membahas latar belakang penelitian, rumusan masalah,

manfaat dan tujuan penelitian serta teknik pengumpulan,

pengolahan dan penyajian data

b. Bab II, membahas bagaimana komodifikasi pesan dalam aspek

produksi pakeliran wayang kulit purwa dimaknai dan disikapi oleh

para dalang dan budayawan, khususnya Purbo Asmoro sebagai

narasumber utama

Page 28: BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67778/potongan/S1-2013...sintesis antara peran pelaku seni ... ekonomi, budaya, politik dan ... Kebebasan dalam

28

c. Bab III berisi profil sajian pakeliran Makutharama oleh Ki Purbo

Asmoro dalam format audiovisual yang diterbitkan oleh LONTAR

Foundation atau Yayasan LONTAR pada tahun 2013 sebagai

objek yang akan dianalisis dalam penelitian ini, serta

d. Bab IV berisi analisis bentuk dan metode komodifikasi pesan yang

dilakukan oleh Purbo Asmoro dalam pertunjukannya beserta

perbandingannya dengan konvensi tradisi

e. Bab V berisi penutup, kesimpulan dan saran-saran

Selain kelima bab tersebut di atas, di bagian akhir penelitian juga

dilampirkan daftar referensi, glosarium, disertai dengan foto cuplikan video

pakeliran Makutharama sajian ki Purbo Asmoro.