bab i pendahuluan i. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Wayang kulit, dalam kedudukannya sebagai sebuah seni pertunjukan,
telah lama mengakar dalam sistem kebudayaan masyarakat Indonesia,
khususnya suku bangsa Jawa, sejak beberapa abad yang lalu. Eksistensi
wayang kulit dalam kehidupan orang Jawa dapat dilihat dari beberapa bukti
tertulis yang menyebutkan keberadaannya sejak masa Hindu-Buddha, seperti
pada prasasti Wukajana (987 Masehi-Era Mataram Kuno) yang menuliskan
istilah sigaligi mawayang bwat hyang (si Galigi memainkan wayang untuk
Hyang,yakni manifestasi dewa atau leluhur) dan pada (bait) ke-59 Kakawin
Arjunawiwaha (era Airlangga, abad ke-11 Masehi) yang mencantumkan frasa
hananonton wayang (orang menonton wayang).1 Catatan-catatan sejarah tadi
menunjukkan bahwa sejak dahulu sebagai sebuah cabang seni drama,
pergelaran wayang sudah memiliki dua fungsi, yakni sebagai sarana ritual
secara vertikal dan juga sebagai sarana hiburan secara horizontal. Dalam
aspek hiburannya pun, fungsi wayang sebagai media pengkomunikasian nilai
kepada masyarakat dianggap vital, karena selain membawa misi rekreatif,
juga mengemban fungsi didaktis (pendidikan) tentang nilai dan norma
tertentu yang berlaku dalam masyarakat.2
Sebagai sebuah bentuk pertunjukan, wayang, khususnya wayang kulit
purwa sebagai ragam paling populer, berada dalam posisi yang memerlukan
sintesis antara peran pelaku seni (dalang) dan masyarakatnya. Dalang
memiliki peran besar dalam produksi pesan pakeliran lewat dimensi artistik,
yang dalam bahasa pedalangan disebut garap pakeliran. Wilayah garap
1 Marwati Djoened Poesponegoro, et.al. Sejarah Indonesia jilid II: Jaman Kuna, (Jakarta, 2002:
Balai Pustaka), hal. 277.
2 James R. Brandon, Theatres in Southeast Asia, (Massachussets,1967: Harvard University Press),
hal.117.
2
pakeliran meliputi beberapa aspek, seperti catur (aspek verbal), sabet (aspek
gerak) dan iringan yang mendukung pakeliran secara keseluruhan.3
Masyarakat, selain sebagai komunikan, juga memiliki peran penting sebagai
pembentuk pesan dan kemasan pakeliran, karena tidak dapat dipungkiri
bahwa wayang sebagai sebuah seni pertunjukan hidup dalam sebuah konteks
sosial tertentu yang juga memiliki beberapa aspek, seperti kerohanian,
ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya.
Dalam perkembangan zaman, keadaan masyarakat sebagai pendukung
utama kehidupan pertunjukan wayang kulit purwa berubah, sebagai
konsekuensi atas kontak-kontak yang mereka lakukan dengan kebudayaan
lain. Sebagai akibat dari persentuhan antarbudaya tersebut, Indonesia,
khususnya Jawa, secara tak terelakkan terkena hantaman arus globalisasi,
yang oleh Arjun Appadurai (1997) dibedakan dalam lima dimensi, yakni
ethnoscapes (dimensi manusia global), technoscapes (teknologi),
financescapes (ekonomi), mediascapes dan ideascapes (media gagasan dan
ideologi).4 Pengaruh globalisasi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
pendukung kehidupan pertunjukan wayang kulit purwa ini, dalam kadar
tertentu dapat menimbulkan perubahan dalam sikap dan ekspektasi mereka
selaku khalayak penikmat.
Setelah tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, keadaan menjadi
semakin menantang bagi kehidupan seni pertunjukan wayang kulit purwa,
karena dalam masa ini arus informasi yang tidak lagi terbendung oleh
tekanan Pemerintah sebagai gatekeeper membentuk ulang khalayak
Indonesia ke medan yang sama sekali berbeda dengan era sebelumnya.
Kebebasan dalam memilih kanal informasi yang diiringi kemunculan media
baru, khususnya di bidang hiburan, membuat wayang kulit purwa kehilangan
3 Bambang Murtiyoso, Pengetahuan Pedalangan, (Surakarta, 1982: Subproyek Pengembangan
IKI [Institut Kesenian Indonesia] Akademi Seni Karawitan Indonesia), hal. 8
4 Appadurai dalam Umar Kayam, Kelir Tanpa Batas, (Yogyakarta, 2001: Gama Media- Pusat
Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada), hal.3.
3
signifikansinya. Untuk mencegah hal ini berlanjut ke arah kepunahan, para
dalang sebagai pelaku utama sekaligus produsen pesan banyak merancang
dan menerapkan kiat-kiat tertentu untuk dapat menjaga eksistensi dan
relevansi pertunjukan wayang kulit purwa sebagai salah satu bentuk media
komunikasi tradisional di mata pendukungnya.
Ki Purbo Asmoro, S.Kar, M.Hum, adalah salah satu dalang populer
wayang kulit purwa gaya Surakarta yang mulai menonjol kariernya pada era
pasca-Orde Baru (awal dekade 2000-an), bersama dengan Ki H. Anom
Suroto dan ki H. Manteb Soedharsono yang telah lama dikenal masyarakat
pada masa sebelumnya. Dikenal dengan julukan “dhalang priyayi” atau
dalang “akademis”, seniman kelahiran Pacitan tanggal 17 Desember tahun
1961 ini memiliki banyak penggemar dari berbagai lapisan.5 Hal ini
dibuktikan dengan seringnya ia dipanggil untuk mendalang oleh beragam
khalayak, mulai dari kalangan petani, keluarga seniman hingga akademisi,
termasuk mengisi acara dies natalis di beberapa universitas seperti
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta hampir setiap tahunnya.6 Di tengah kondisi seni pertunjukan
tradisional yang semakin terdesak di tengah pertumbuhan modernitas,
kemampuan ki Purbo Asmoro sebagai seorang seniman tradisi
mempertahankan khalayaknya untuk tetap setia mengikuti pakeliran menjadi
menarik untuk diteliti, terlebih bila terdapat metode komodifikasi pesan
tertentu lewat aspek produksi media yang berbeda dengan dalang-dalang
yang semasa dengannya. Metode-metode inilah yang nanti akan menjadi
pokok bahasan utama dalam bab-bab selanjutnya.
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh rumusan masalah, yakni:
5Ibid., hal. 213
6 Marwanto M.S. dan Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Perkembangannya, (Surakarta, 2010:
ISI Press), hal. 259
4
Bagaimana muatan pesan dalam pakeliran dikomodifikasikan, dan
apa saja bentuknya dalam kemasan pertunjukan wayang purwa sajian
Ki Purbo Asmoro bila dibandingkan dengan konvensi lakon tradisional?
III. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diadakan untuk mencapai beberapa tujuan, yakni:
- Mengidentifikasi bentuk-bentuk komodifikasi pesan yang dilakukan
oleh Ki Purbo Asmoro dalam sajian pakeliran lakon Makutharama
sebagai bagian dari proses produksi pesan
- Mengenali penerapan metode-metode produksi pesan yang dilakukan
oleh dalang untuk mengatasi kendala budaya yang tercipta dalam
khalayak lewat komodifikasi
IV. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dalam segi akademis maupun
praktis, yaitu:
Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
kajian tentang seni pertunjukan tradisional, khususnya pakeliran
wayang kulit purwa dalam ranah ilmu komunikasi, sehingga dapat
memperluas wawasan dan pengetahuan tentang seni ini dalam
perspektif sosio-humaniora
Manfaat Praktis
Lewat penelitian ini, kalangan dalang sendiri maupun
pembelajar ilmu komunikasi diharapkan untuk mendapat perspektif
baru dalam memandang pertunjukan wayang kulit, selain peran
nyatanya sebagai salah satu cabang kesenian tradisional masyarakat,
yakni sebagai media komunikasi.
5
V. Kerangka Pemikiran
Definisi umum yang sering diberikan oleh cendekiawan Eropa dan
Amerika tentang “media komunikasi tradisional” pada saat ini cenderung
mengarah kepada jenis-jenis media komunikasi yang telah lama ada dan
dikenal oleh lintas generasi, seperti media massa cetak, elektronik maupun
lisan. Media tradisional dalam pengertian ini memiliki antonim berupa media
baru (new media) yang kita kenal dalam bentuk internet, social media dan
lain sebagainya. Ronald E. Rich membagi kedua kategori media ini
berdasarkan partisipasi sosial (social presence) dan kekayaan media (media
richness) yang dimiliki masing-masing media komunikasi sebagai sebuah ciri
spesifik.7
H.K. Ranganath dalam konteks komunikasi Timur berpendapat bahwa
pada dasarnya media komunikasi tradisional adalah ekspresi budaya dan gaya
hidup yang muncul dalam keseharian masyarakat tertentu dan terus
berkembang dari masa ke masa. Media komunikasi tradisional memiliki sifat-
sifat seperti: (a) mudah diterima, (b) relevan dengan kebudayaan yang ada,
(c) menghibur, (d) menggunakan idiom ungkap lokal, (e) memiliki unsur
legitimasi, (f) fleksibel, (g) memiliki kemampuan mengulangi pesan-pesan
yang dibawa, dan (g) komunikasi bersifat dua arah.8 Sifat-sifat komunikasi
tersebut banyak didapati pada seni pertunjukan yang tumbuh di dalam
masyarakat tradisional sendiri, dan karenanya seni pertunjukan tradisional
7 Rich, Media Appropriateness: Using Social Theory to Compare Traditional and New
Organizational Media, Human Communication Research, edisi Juni 1993 (Washington DC:
International Communication Associations), hal. 451-484.
8 H.K. Ranganath, Not a Thing of the Past: Functional and Cultural Status of Traditional Media in
India, (Paris: Unesco, 1979), hal. 79
6
atau teater rakyat seringkali dipandang sebagai bentuk media komunikasi
tradisional itu sendiri.9
Menurut pendapat Sartono Kartodirdjo, peran pergelaran wayang kulit
purwa sebagai media komunikasi tradisional secara aksiologis memiliki
beberapa dimensi, yakni dimensi spiritual, moral, estetika dan hiburan.10
Secara garis besar, keempat dimensi ini berada dalam perpotongan dua ranah,
yakni sekala (profan) dan niskala (transenden), sebagaimana yang kita dapati
hingga sekarang pada kategorisasi seni pertunjukan Hindu di Bali
berdasarkan fungsinya, yakni:
a. Sebagai Wali, yakni pertunjukan yang menjadi aktivitas utama dalam
sebuah upacara keagamaan, seperti Wayang Sapuh Leger pada
upacara Pengruwatan/Penglukatan, Wayang Lemah pada Pitra
Yadnya, dan lain sebagainya
b. Sebagai Bebali, yakni pelengkap jalannya sebuah upacara, seperti
pertunjukan Wayang Calonarang pada upacara Piodalan atau hari
jadi Pura atau tempat keramat lainnya, serta
c. Balih-balihan, yakni hiburan yang bersifat sekuler, hanya bertujuan
untuk hiburan masyarakat saja11
Pada perkembangan selanjutnya, dalam kasus pergelaran wayang kulit
purwa di Jawa Tengah, khususnya di wilayah kultural Surakarta, Soetarno
(2011) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-20 setidaknya masyarakat
telah mengenal tiga format pergelaran wayang kulit purwa berdasar nilai
yang dititik beratkan , yakni:
9 Direktorat Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika
RI, Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Disseminasi Informasi, (Jakarta, 2011:
Kemenkominfo), hal. 3.
10
Bambang Murtiyoso, Membangun Kerukunan dan Ketahanan Budaya Bangsa, ceramah
disampaikan pada Sarasehan Pemangku Budaya Jawa di Gedung Korpri, Wonosobo, tanggal 28
Agustus 2013.
11
James R. Brandon dan Kevin Banham, The Cambridge Guide to Asian Theatre, (Cambridge,
1996: Cambridge University Press), hal. 124.
7
a. Wayangan daleman, yakni pola pertunjukan yang mematuhi kaidah-
kaidah pedalangan, baik teknis maupun filosofis, secara penuh
b. Wayangan pendhapan, yakni pola pertunjukan yang memenuhi
kehendak penonton tanpa mengorbankan kaidah pedalangan
c. Wayangan kebonan, yakni pola pertunjukan yang memenuhi
kehendak penonton dengan menampilkan kecenderungan hedonistik
dan berorientasi pada uang 12
Ketiga klasifikasi lokus pertunjukan ini, menurut Soetarno, membawa
konsekuensi tersendiri bagi sajian seni pertunjukannya, yang berpengaruh
kepada segmentasi audiens dan ekspektasi penonton terhadap garap tertentu
yang ditampilkan dalang lewat pertunjukannya. Dalam idiom Jawa hal ini
bersesuaian dengan istilah angon tinon atau empan nggawa papan (mampu
beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitar).Adanya segmentasi audiens
yang jelas, tuntutan estetis terhadap kemasan pertunjukan yang berbeda-beda
dan kategorisasi kualitas dalang berdasar kemampuan teknis yang dimiliki,
pada akhirnya menjadikan kesenian wayang kulit purwa tidak lagi semata-
mata seni ritual maupun pertunjukan rakyat saja, melainkan telah
bertransformasi menjadi salah satu cabang showbiz (bisnis pertunjukan) yang
bersifat sekuler.
R.M. Soedarsono dalam Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial
dan Ekonomi , menuliskan tentang kemunculan “ledakan kebudayaan” pada
dekade 1960-an yang telah diprediksi oleh Alvin Toffler: bahwa pada masa
pasca-Perang Dunia ke-II dalam tatanan masyarakat negara-negara merdeka
baru yang semula berada di bawah pemerintahan monarkis, akan timbul
kelas-kelas baru pula yang berakibat pula kepada munculnya jenis-jenis
kesenian yang cocok dengan selera kelas tersebut. Ragam kesenian “baru”
ini, menurut Soedarsono, tetap diambil dari bentuk-bentuk kesenian yang
telah lama ada dan mapan dalam kehidupan institusi kebudayaan seperti
12
Soetarno, Gaya Pedalangan Wayang Kulit Purwa Jawa serta Perubahannya, Jurnal Seni
MUDRA, vol. 26 no. I, Januari 2011. (Denpasar: ISI Press), hal.13.
8
Keraton, meskipun dalam prakteknya akan mengalami desakralisasi untuk
bertransformasi menjadi seni kebudayaan populer.13
John W. Fiske dalam Understanding Popular Culture menyatakan,
bahwa budaya populer dalam masyarakat industri memiliki kontradiksi
tertentu terhadap sumbernya. Produk kebudayaan yang diadaptasi oleh
masyarakat tersebut diindustrialisasikan, sementara komoditas-komoditasnya
dihasilkan dan didistribusikan oleh industri yang dimotivasi oleh keuntungan
yang hanya mengikuti kepentingan-kepentingan ekonominya sendiri. Di lain
sisi, budaya populer sebagai budaya masyarakat membawa kepentingan-
kepentingan masyarakat di dalamnya.14
Budaya populer adalah hasil ciptaan
masyarakat dalem keterkaitan di antara produk-produk industri budaya dan
kehidupan sehari-hari, dan berasal dari tataran bawah dan dalam. Fiske juga
mengutip De Certau (1984) yang menyatakan bahwa budaya populer adalah
seni mengolah apa yang dihasilkan oleh sistem, yakni komoditas. Paradigma
industri kebudayaan, menurut Fiske, dapat digambarkan seperti bagan di
bawah ini:
Gambar 1. Bagan alur paradigma industri kebudayaan menurut John W.
Fiske (Fiske, 2005: 25)
13
Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial dan Ekonomi, (Yogyakarta, 2003:
Gadjah Mada University Press), hal. 254.
14
John W.Fiske,Karen A. Foss, Memahami Budaya Populer (terj.), (Yogyakarta,2011: Jalasutra),
hal. 25.
Konsumen
Makna/kepuasan itu sendiri
Komoditas
Makna/Kepuasan
Produsen
Audiens
9
Dari bagan di atas , dapat kita ketahui bahwa dalam perekonomian
budaya, audiens atau masyarakat memegang peranan penting dalam faktor
produksi, dengan asumsi bahwa masyarakatlah yang mengkomodifikasikan
makna atau kepuasannya sendiri sesuai dengan aspirasinya, dan pada
akhirnya menjadikan makna atau kepuasan itu sendiri sebagai konsumen,
yakni tercapainya tujuan-tujuan masyarakat sebagai produsen makna dalam
produk-produk kebudayaannya. Mekanisme yang sama dapat ditemui dalam
pergelaran wayang kulit purwa dewasa ini, ketika masyarakat sebagai “pasar”
dijadikan tolok ukur utama oleh para dalang dalam proses produksinya.
Gendhon Hoemardani, penggagas sekaligus pendiri ASKI (Akademi
Seni Karawitan Indonesia-sekarang ISI Surakarta) melihat bahwa fenomena
desakralisasi dalam dunia pedalangan adalah sebuah realitas yang perlu
disikapi dengan bijak. Sebagaimana dikutip oleh Rustopo, hal ini sangat
mungkin terjadi dalam kehidupan seniman tradisi di Indonesia, terlebih
mengingat sifat pekerjaan sebagai seniman dianggap sebagai mata
pencaharian utama oleh sebagian besar pelaku seni tradisi.15
Di lain pihak, S. Haryanto menyatakan bahwa pergeseran atau
pengalihfungsian pergelaran wayang kulit merupakan penyesuaian diri, dan
penyesuaian merupakan kata kunci untuk dapat tetap mempertahankan
wayang sebagai penyebar pesan dan nilai yang berguna bagi masyarakat.
Dalang sebagai aktor utama di balik pertunjukan wayang kulit purwa dituntut
untuk dapat menyesuaikan materi pertunjukannya dengan dinamika zaman
dan kebutuhan serta keadaan masyarakat pendukungnya untuk dapat
mempertahankan kehidupan keseniannya.16
Dengan perubahan paradigma yang terjadi baik di kalangan dalang
sebagai produsen pesan maupun masyarakat sebagai audiens/komunikannya
dalam menyikapi pergelaran wayang kulit purwa, maka transformasi nilai
15
Rustopo dalam Bambang Murtiyoso, Menggapai Popularitas: Aspek-Aspek Pendukung agar
Menjadi Dalang Kondang, (Surakarta,2005: STSI Press), hal. 3
16
S. Haryanto, Bayang-bayang Adhiluhung: Filsafat, Simbolis dan Mistik dalam Wayang,
Semarang, 1995) : Dahara Prize-Effhar, hal. 206.
10
yang terjadi pada proses produksi pesan dalam teks dan konteks sajian
pakeliran tidak dapat dihindari lagi. Peran dalang sebagai komunikator utama
dalam rangkaian pertunjukan wayang memang tetap tidak dapat diabaikan,
meskipun dalam konteks budaya populer masyarakat tidak lagi tampil
sebagai komunikan yang menerima pesan belaka, melainkan juga sebagai
pembentuk pesan dalam media. Mekanisme timbal balik dalam produksi
pesan pakeliran ini berlangsung secara simultan, dan terjadi baik dalam
peristiwa pakeliran itu sendiri maupun dalam kehidupan di luar pakeliran,
yang berimbas banyak kepada dalang sebagai anggota masyarakat selain
produsen pesan (lihat gambar 2).
Gambar 2. Hubungan antara dalang dan masyarakat dalam proses
produksi pesan pakeliran wayang kulit purwa (dari berbagai sumber)
VI. Kerangka Konsep
A. Komodifikasi
Vincent Mosco (2009) berpendapat bahwa komodifikasi pada dasarnya
adalah proses transformasi hal-hal yang dinilai dari kegunaannya menjadi
produk-produk yang dapat ditransaksikan yang dihargai dengan nilai tukar,
yakni komoditas. Mengutip asumsi mazhab pemikiran Marx, nilai guna (use
value) merupakan fakta biologis tentang kebutuhan manusia, sementara nilai
PAKELIRAN
WAYANG
PURWA
Sebagai teks yang
dimaknai
Konteks Sosial
MASYARAKAT
DALANG
Garap pakeliran
11
tukar adalah nilai buatan yang timbul dari serangkaian rekayasa sosial
tertentu, misalnya mekanisme pasar maupun regulasi negara.17
Appadurai (2005) menyatakan bahwa ada setidaknya empat bentuk
komoditas yang dapat dipertukarkan dalam proses komodifikasi, yakni: (a)
komoditas berdasar tujuannya, yang memang dimaksudkan sejak awal oleh
produsen untuk dapat dipertukarkan, (b) komoditas berdasar metamorfosis,
yakni hal-hal yang semula memiliki nilai lain, namun pada perkembangannya
ditempatkan dalam posisi komoditas, (c) komoditas berdasar diversi atau
perluasan ragam, yang bersifat lebih khusus dari komoditas berdasar
metamorfosis, yakni hal-hal yang pada akhirnya ditempatkan pada posisi
komoditas meski sebelumnya dilindungi/dicegah dari upaya komodifikasi,
serta (d) eks-komoditas, yaitu hal-hal yang dikeluarkan dari komodifikasi dan
ditempatkan dalam kondisi lain. Appadurai juga menganggap penting
kategorisasi komodifikasi menjadi tunggal (singular) dan homogen, dengan
alasan bahwa keduanya memiliki orientasi berbeda: komodifikasi tunggal
merujuk kepada kategorisasi karakteristik ke dalam kelas-kelas tertentu
(dalam istilah pertunjukan wayang dapat diambil contoh wayangan kemasan
Pringgitan dan Kebonan), sementara komodifikasi homogen mengacu
kepada keunikan fenomena yang terjadi dalam kelas yang sama (seperti
perbandingan pakeliran kemasan Kebonan gaya Nartasabda, Darman
Gandadarsana dan Purbo Asmoro).18
Proses komodifikasi, dalam hubungannya dengan komunikasi memiliki
dua dimensi signifikansi, yakni: (1) Proses komunikasi dan teknologi
berkontribusi secara umum terhadap penciptaan komodifikasi secara utuh,
dan (2) Komodifikasi merupakan lembaga dan proses yang berpengaruh
17
Vincent Mosco, Political Economy of Communication, (London, 2007: SAGE Publications),
hal. 129-130.
18
Arjun Appadurai, Commodities and the Politics of Value, Rethinking Commodification: Cases
and Readings in Law and Culture, Martha M. Ertman dan Joan C. Williams (eds.), (New York,
2005: New York University Press), hal. 39
12
besar terhadap peran komunikasi sebagai sebuah praktek sosial. Dalam
kasus pertunjukan wayang kulit purwa, dimensi pertama dapat diilustrasikan
dengan bagaimana kemunculan teknologi rekam pada paruh pertama abad
ke-20 menjadikan pengalaman menyaksikan dan mendengarkan wayang
yang semula bersifat rohani dan dapat ditemukan secara bebas lewat
pergelaran-pergelaran secara langsung menjadi pengalaman profan yang
didapatkan dengan cara mengaksesnya lewat media-media tertentu (rekaman
audiovisual, pita kaset dan lain sebagainya). Sementara itu, dimensi kedua
mendudukkan komodifikasi sebagai penentu posisi sosial praktek-praktek
komunikasi, sebagaimana yang ditunjukkan dengan perubahan arah pandang
masyarakat dalam menyikapi pertunjukan wayang kulit dan posisi dalang
sebagai produsen pesan di dalamnya, dari yang semula merupakan santapan
spiritual menjadi komoditas hiburan yang berimbas kepada munculnya genre
pertunjukan wayang yang lebih mengutamakan kitsch dan berorientasi
kepada selera pasar.19
Perubahan posisi sosial pertunjukan wayang beserta pendukung
pertunjukan dalam masyarakat pasca-terjadinya komodifikasi menjadikan
dalang memerlukan reaktualisasi peranannya. Secara drastis, dalang dan kru
pertunjukan wayang kulit (pesindhen, pangrawit) beranjak dari peran semula
sebagai sekumpulan pujangga alit yang bertugas untuk menyampaikan
petuah lewat sastra tutur bermedia seni pertunjukan, menjadi sekumpulan
pekerja seni profesional yang menempatkan pertunjukan wayang sebagai
“barang dagangan”. Selain pada tataran fisik kemasan pertunjukan yang
dikomodifikasikan secara ekstensif, substansi pergelaran wayang, termasuk
wacana-wacana yang muncul di dalam kesatuan lakon sebagai nilai intrinsik
dari komoditas, tidak luput pula dari sentuhan komodifikasi dengan cara
penambahan, pengurangan, penyesuaian ataupun pemertahanan aspek-aspek
tertentu dalam pertunjukan. Hal ini mungkin terjadi, mengingat dalang
sebagai produsen pesan dalam pertunjukan wayang tidak berlaku sebagai
19
Kayam, op.cit., hal. 125.
13
sosok yang bebas nilai dan ikatan struktur sosial, melainkan juga terlibat di
dalamnya. Dengan demikian, maka terbentuk asumsi bahwa dalam
pembentukan dan pelontaran wacana-wacana lewat pertunjukan wayang kulit
purwa sebagai sebuah teks kajian, seorang dalang selain memiliki standpoint
(sudut pandang) pribadi terhadap ide yang akan diwacanakan, juga
melibatkan diri dalam pembentukan konstruksi pikir tertentu yang sesuai
dengan perubahan makna, fungsi dan peranan dalang dan pertunjukan
wayang kulit purwa di mata masyarakat.
B. Analisis Wacana Kritis
Dalam definisi James Paul McGee, wacana atau discourse dapat dimaknai
sebagai beragam cara mengintegrasikan bahasa dengan hal-hal non-
kebahasaan. Hal-hal non-kebahasaan yang dimaksud meliputi cara berpikir,
bertindak, berinteraksi, menilai, merasa, atau mempercayai suatu hal, serta
berkaitan dengan penggunaan sistem simbol dalam waktu dan tempat yang
tepat yang memiliki aspek sosial dan menimbulkan relasi maknawiah
tertentu.20
Kajian tentang wacana telah dimulai sejak 2000 tahun yang lalu saat
kesusastraan dan retorika telah meletakkan dasar-dasar kajian tentang wacana
dengan menyediakan pola-pola struktural untuk teks pertunjukan, puisi,
maupun pembicaraan pada konteks formal dan legal (hukum).21
Dalam
perkembangan selanjutnya, kajian tentang wacana telah beranjak lebih jauh
dari sekadar membahas topik di dalam batasan-batasan ilmu ketatabahasaan,
menjadi sebuah kajian yang bersentuhan dengan ilmu-ilmu humaniora, yang
memasukkan analisis latar belakang sosiokultural sebuah teks dalam ruang
lingkup studinya.
20
James Paul McGee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method (New
York,1999: Routledge), hal. 13
21
A. Teun van Dijk, Walter Kintsch, Strategies of Discourse Comprehension, (New York, 1983:
Academy Press), hal. 1.
14
Wacana muncul sebagai akibat dari pengenalan (recognition) manusia
terhadap kesatuan bahasa, aksi, interaksi, nilai-nilai, kepercayaan, simbol-
simbol, objek dan tempat yang membentuk identitas spesifik yang terlibat
dalam aktivitas tertentu. Dengan kata lain, wacana terjadi ketika masyarakat
mengenali dan memahami posisi sosial aktivitas-aktivitas yang dimaksud
beserta aktor yang menjalankannya. Semakin aktor dan aktivitas yang
dilakukannya bersifat asosial atau tidak dikenali dan dipahami, kesempatan
terjadinya wacana akan semakin mengecil.22
Dalam kasus pertunjukan wayang
kulit purwa, sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, kemunculan
wacana-wacana dalam rangkaian pertunjukan, baik yang bersifat dalam
kerangka cerita (njeron kelir) atau di luar cerita (nyebal kelir) menjadi
mungkin, sebagai akibat dari adanya interaksi sosial yang terjadi antara dalang
dan masyarakat yang terus-menerus terjadi. Dalang akan memunculkan wacana
dalam pakeliran sebagai konsekuensi dari persentuhan dan pemahamannya
terhadap diri sendiri dan orang lain (masyarakat) dalam situasi sosial yang
dialaminya.
Komponen-komponen dasar dalam wacana, menurut van Dijk dapat dibagi
dalam tiga kategori, yakni:
a. Model konteks
Yakni model mental yang spesifik dari representasi subyektif dari sebuah
properti wacana, yang mengendalikan keseluruhan proses dan
mengadaptasikan wacana dalam konteks sosial tertentu. Van Dijk menganggap
bahwa model konteks juga mengendalikan gaya dan isi pesan yang akan
disampaikan, dan karenanya, bagi komunikator, menggali sebanyak mungkin
informasi untuk diolah dan disampaikan kepada komunikan dapat dilakukan
dengan pengamatan yang jeli kepada model konteks. Model konteks selain
berfungsi untuk menentukan informasi apa yang disampaikan, juga memiliki
peran penting dalam memilih gaya penyampaian informasi.
b. Sistem kendali,
22
McGee, op.cit., hal. 19.
15
Sistem kendali (control system) mengacu kepada sistem tempat
penyimpanan informasi kontekstual, yang mengatur aliran informasi,
menspesifikasi model konteks dan memilah fragmen-fragmen tertentu yang
selanjutnya akan disampaikan setelah melewati proses produksi pesan dan
wacana.
Sistem kendali juga mengandung informasi tentang tipe teks yang akan
diproduksi tergantung konteks dan tujuan aktivitas komunikasi, yang akan
mengontrol gaya dan pengaturan pesan, beserta kemungkinan-kemungkinan
wacana yang akan diproduksi. Dengan kata lain, proses diksi, aktivasi,
penerapan serta konstruksi semantik dari sebuah informasi secara strategis
didukung dengan keberadaan sistem kendali.
c. Produksi semantik
Produksi semantik dalam proses pewacanaan terletak dalam batasan-
batasan model konteks dan sistem kendali, dan melibatkan konstruksi
representasi semantik sebuah wacana, yang disebut sebagai basis teks.
Informasi yang terkandung dalam sebuah basis teks kebanyakan berasal dari
model situasi, meskipun pada prakteknya banyak pengetahuan umum dan
informasi tentang konteks tertentu yang ikut masuk di dalamnya. Topik
maupun subtopic yang relevan secara kontekstual dapat dipilih maupun
dikonstruksi, dan nantinya akan menjadi topik utama pewacanaan.
d. Makroproduksi dan Mikroproduksi,
Makroproduksi mengacu kepada produksi makrostruktur teks, baik secara
tematik serta pengaturan urutan pesan yang disampaikan secara linear, yang di
saat yang sama harus memenuhi kategori skematik sebuah teks. Dalam arti
lain, tipe teks dapat menentukan urutan topik informasi yang disajikan, seperti
halnya informasi tentang latar belakang sebuah cerita.
Mikroproduksi mengacu kepada penciptaan sekuen-sekuen mikrostruktur
dalam sebuah basis teks yang dikendalikan oleh makroproposisi topik.
Mikroproduksi meliputi permasalahan linearisasi pesan, koherensi pesan,
selain juga sintaksis permukaan (meliputi intonasi, pemilihan kata, tatabahasa
dan lain sebagainya). Struktur permukaan sebuah teks yang termasuk dalam
16
mikroproduksi tergantung dengan strategi yang mentransformasikan informasi
model ke basis teks semantik.
Berangkat dari pendapat van Dijk di atas, kita dapat mengetahui bahwa
pada tataran kritis, wacana tidak berhenti dalam kapasitasnya sebagai tautan
antara aspek kebahasaan dan non-kebahasaan dari sebuah fenomena dari sudut
pandang praksis semata. Wacana kritis secara lebih lanjut membicarakan pula
bagaimana kekuasaan, dominasi dan ketidakberimbangan dilakukan,
direproduksi dan dilawan dalam konteks sosiopolitik sebuah teks.23
Wacana
kritis dapat dianalisis secara interpretatif dan eksplanatoris. Analisis wacana
kritis, memiliki beberapa karakteristik yang di antaranya adalah:
a. Mengkaji fenomena kebahasaan praktis yang ditemukan dalam
kehidupan nyata
b. Berfokus kepada unit yang lebih besar dari kata dan kalimat
c. Keluar dari batas-batas ketatabahasaan dengan mencakup kajian tentang
aksi dan interaksi
d. Mencakup pula aspek nonverbal dari interaksi dan komunikasi (gestur,
imaji, film, dan lain sebagainya)
e. Berfokus kepada sosiokognisi atau strategi dan tindakan interaksional
yang dinamis
f. Menganalisis fenomena gramatika teks dan penggunaan bahasa secara
luas
Dengan demikian analisis wacana kritis memiliki perbedaan signifikan
dengan analisis wacana konvensional, yang terletak pada sifat kajiannya yang
berorientasi kepada problematika interdisipliner, serta kecenderungannya untuk
menyelidiki fenomena sosial yang terkandung di balik teks dibanding dengan
meneliti tataran permukaan lewat berbagai perangkat linguistik.24
Penelitian ini
23
Van Dijk, Critical Discourse Analysis, The Handbook of Discourse Analysis, Deborah Schiffrin,
et.al., (eds.), (Ontario,Canada, 2003: Wiley-Blackwell), hal. 352-353.
24
Ibid.
17
menggunakan analisis wacana kritis berdasarkan teori kognisi sosial van Dijk,
yang akan diterangkan pada subbab selanjutnya.
C. Aspek Produksi Pesan dalam Pakeliran
Stephen W. Littlejohn memetakan konsep bahwa komunikasi pada
hakikatnya adalah proses yang bergantung pada pesan dan informasi.25
Dalam
tahap produksi pesan, peran individu dalam proses komunikasi menjadi
penting, karena individu adalah aktor yang dapat berlaku sebagai subjek
(komunikator) maupun objek (komunikan) dalam tiap fenomena komunikasi.
Anderson (1972) lewat model komunikasi Stimuli and Response yang
disusunnya mengemukakan bahwa peranan komunikator sebagai dalam
produksi pesan menjadi krusial dalam proses komunikasi, karena pada
hakikatnya komunikator memiliki kuasa penuh dalam memilih stimuli pesan
yang ditransmisikan kepada komunikan lewat kanal-kanal yang dipilihnya
(selectivity on transmission stimuli). Wilbur Schramm (1973) di sisi lain juga
menyatakan bahwa salah satu prasyarat efektivitas pesan komunikasi adalah
ketika komunikan dapat bertindak sesuai kehendak komunikatornya.26
Seni drama sebagai salah satu cabang media komunikasi didefinisikan
sebagai “representasi realitas lewat imitasi peristiwa-peristiwa kehidupan
manusia yang ditarik ke dalam konteks pertunjukan dengan bingkai-bingkai
„semesta fiksional‟ tertentu”.27
Hakikat dari pementasan drama menurut Miley
S. Barranger adalah proses penyingkapan dan penjelajahan diri manusia untuk
menemukan jalan pemenuhan kebutuhan kita atas hubungan tertentu dengan
manusia lain, atau mengatasi berbagai kesusahan dan kematian dalam
peristiwa hidup. Dengan kata lain, drama memberikan kesempatan bagi
25
Stephen W. Littlejohn, Theories of Human Communication(9th
Edition), (Belmont, California,
2008: Thomson-Wadsworth),hal. 107.
26
Ibid.
27
Miley S. Barranger, Understanding Plays, (Boston, 2004: Allyn and Bacon), hal. 6-7.
18
audiens untuk berefleksi atas diri dan menjelajahi makna tentang menjadi
manusia dalam keadaan-keadaan tertentu. Oleh karenanya , menurut teori-
teori dramaturgi pesan dalam dunia teater tidak hanya berkutat kepada
pemenuhan kesenangan pribadi pembuat teks, melainkan juga memiliki
kecenderungan untuk membangkitkan kesadaran sosial masyarakat selaku
audiensnya, dengan mempertautkan cerita yang diangkat dengan isu sosial dan
politik maupun konteks kesejarahan tertentu yang akrab dengan kehidupan
masyarakat sehari-hari.28
Hakikat pertunjukan wayang kulit purwa sebagai sebuah media
komunikasi tidak jauh berbeda dengan pendapat Barranger, yakni sebagai
sarana penyampaian pesan-pesan tertentu bagi penonton lewat olah kejiwaan
yang dibangun oleh dalang lewat berbagai aspek produksi pesan yang tersebar
di seluruh pakeliran. Aspek produksi pesan dalam pertunjukan wayang kulit
purwa, sebagaimana halnya pada drama, pada hakikatnya tidak hanya
menyangkut hal-hal yang bersifat estetis semata, melainkan juga berkaitan
dengan fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Fenomena-
fenomena ini ditangkap, dimaknai dan disajikan kembali sebagai sebuah
refleksi bagi audiens oleh seorang dalang dalam kapasitasnya sebagai
komunikator dan penyampai nilai bagi masyarakat.
Masyarakat Jawa masih memandang dalang sebagai sosok pujangga alit
(komunikator dalam tataran mikro) yang bersinggungan langsung dengan
masyarakat, dan karenanya juga harus melampaui kualifikasi komunikasi
berupa paramasastra (mahir tentang tata kebahasaan), paramakawi (mahir
dalam memakai kata-kata dan istilah Kawi atau Jawa Tengahan), mardi basa
(memilih diksi yang tepat), mardawalagu (memiliki kemampuan estetis dalam
tembang dan lagu), awicarita (pandai bercerita dan mengarang), mandraguna
(menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan) dan sambegana (berdaya
ingat tajam) sebagaimana yang disyaratkan kepada para pujangga ageng,
yakni sastrawan. Di samping itu seorang dalang juga harus memiliki
28
Ibid. hal. 8.
19
sensitivitas terhadap keadaan sosial masyarakat dan lingkungan di sekitarnya,
yang diistilahkan sebagai nawungkridha.29
Dampak konkrit dari tuntutan masyarakat terhadap kepujanggaan dalang
ini ialah kebutuhan dalang untuk dapat sekongruen mungkin dengan
kehendak khalayak (penanggap dan penonton)nya lewat sejumlah metode,
termasuk komodifikasi pesan yang menempatkan isi pakeliran menjadi
sebuah komoditas bisnis pertunjukan, seiring dengan pergeseran makna dan
fungsi pergelaran wayang dari seni ritual ke seni profan yang di satu sisi
juga memiliki aspek pragmatik. Pergeseran substansi nilai mengarah kepada
kecenderungan atas pertukaran nilai-nilai tertentu dengan masyarakat, yang
dijelmakan lewat komodifikasi pesan-pesan dalam pakeliran-nya.
Aspek produksi pesan dalam pakeliran, pada dasarnya dapat dibagi
menjadi dua bagian, yakni: garap teknis, meliputi pengolahan keterampilan
dalang dalam bidang sabet (manipulasi gerakan wayang), catur (narasi),
iringan pakeliran dan hal-hal lain yang bersifat kemasan pertunjukan. Selain
garap teknis, terdapat pula garap non-teknis yang bersifat lebih substansial,
meliputi pesan yang ditampilkan beserta nilai-nilai yang dibawa dan
dikomodifikasikan sepanjang pertunjukan.
Berangkat dari hal tersebut, maka dapat kita tarik pokok pemikiran
utama yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab berikutnya, yakni:
- Pertunjukan wayang kulit purwa sebagai teks besar yang
dikaji berada pada ranah relasi timbal balik tiga dimensi antara
dalang sebagai produsen pesan utama, masyarakat sebagai
audiens dan ranah garap pakeliran sebagai pembangun materi
pertunjukan
- Dalang sebagai aktor utama dalam pergelaran wayang
kulit purwa memiliki peran sentral dalam proses komodifikasi
29
Karsono H. Saputra, Percik-percik Bahasa dan Sastra Jawa, (Jakarta, 2001: Keluarga
Mahasiswa Sastra Jawa, Fakultas Sastra Universitas Indonesia), hal. xii.
20
pesan yang terjadi dalam pementasan-pementasan masa kini,
seiring dengan pergeseran makna dan fungsi pertunjukan wayang
kulit dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Meski
demikian, penanggap dan penonton selaku bagian dari audiens
memiliki peran pula dalam proses terjadinya komodifikasi pesan
dalam pertunjukan wayang kulit
- Komodifikasi pada pertunjukan wayang kulit purwa
terjadi untuk memenuhi kehendak masyarakat sebagai khalayak
pemirsanya, juga untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman dan dinamika kehidupan pelaku seninya sendiri dari masa
ke masa. Dengan kata lain, komodifikasi memungkinkan
kesenian wayang kulit purwa untuk mewadahi aspirasi manusia
pendukungnya dalam berbagai situasi dan kondisi.
VII. Metodologi Penelitian
Sifat penelitian ini pada dasarnya adalah analitis, sehingga diperlukan
kedalaman data untuk mengkajinya. Dengan demikian, pendekatan kualitatif
dirasa lebih tepat untuk membahas pokok permasalahan, karena pendekatan
ini mampu mewadahi eksplorasi penulis terhadap fenomena yang terjadi
pada suatu konteks lewat sumber yang beragam. Penulis menggunakan
metode analisis wacana kritis dengan mengambil sampel satu pertunjukan
yang dilakukan dalam konteks sosial tertentu untuk mendefinisikan,
mengidentifikasi dan menginterpretasi proses dan metode komodifikasi
pesan dalam pertunjukan wayang kulit purwa oleh ki Purbo Asmoro.
Analisis wacana kritis dapat dipergunakan untuk mengkaji pertunjukan
wayang kulit purwa sebagai sebuah teks. Hal ini dimungkinkan karena teks
berasal dari individu atau sekelompok produsen pesan tertentu yang
berkonsekuensi kepada munculnya subjektivitas dalam berbagai aspek unik di
dalamnya. Dengan paradigma berpikir kritis, sebuah teks dapat diteliti secara
21
ekstensif untuk mendapatkan jawaban tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi dan membentuk konstruksinya, baik secara parsial maupun
keseluruhan.
Pertunjukan wayang kulit purwa sebagai sebuah teks kajian memiliki
beberapa lapisan makna yang tidak dapat diungkap dengan analisis
linguistik lain, meskipun sama-sama bertitik berat kepada unit kebahasaan
yang dipergunakan sebagai kanal komunikasi. Pertunjukan wayang kulit
purwa, meskipun meliputi berbagai aspek audio dan visual dalam
penyajiannya, akan tetapi dalam proses produksi pesannya tetap bergantung
kepada seni bercerita (storytelling) dan komunikasi verbal yang dilakukan
oleh dalang lewat garap sanggit yang diolahnya untuk membangun sebuah
lakon. Dengan demikian, yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah
wacana-wacana yang muncul dalam proses produksi pesan yang dilakukan
oleh dalang yang membentuk satu rangkaian utuh pakeliran.
Karena mengarah kepada analisis korelasi komodifikasi dan pergeseran
wacana dari konvensi klasik ke kemasan pentas populer, termasuk juga
faktor-faktor yang mempengaruhinya jauh di balik permukaan kebahasaan,
maka metode yang dipergunakan dalam analisis wacana penelitian ini
nantinya merujuk mazhab Van Dijk. Dalam teori Kognisi Sosial yang
disusunnya, Van Dijk menyatakan bahwa teks sebagai sebuah objek material
kajian tidak dapat lepas dari pengaruh kognisi sosial atau pengenalan
masyarakat terhadap sebuah gagasan/ide dan konteks sosial tempat
kemunculannya. Kedua faktor ini tidak hanya berperan sebagai latar
belakang saja, melainkan juga berfungsi membentuk lapisan-lapisan wacana
dalam kesatuan teks yang utuh (lihat bagan).30
30
Van Dijk, Critical Discourse Studies: a Sociocognitive Approach,, Methods of Cultural
Discourse Analysis,Ruth Wodak dan Michael Meyer (ed.), (London,2002: SAGE Publications),
hal. 64.
22
Gambar 3. Posisi Teks dalam Realitas Sosial menurut Van Dijk (Van
Dijk,2002:64)
Van Dijk membagi struktur wacana teks ke dalam enam tingkatan,
yakni tematik, skematik, semantik, sintaktik, stilistik dan retorik. Dari
pembacaan keenam tingkatan struktur wacana tersebut, pada tataran
selanjutnya akan didapatkan deskripsi tekstural dan struktural pakeliran
sajian Purbo Asmoro, dengan memanfaatkan korpus lakon “[Wahyu Sri]
Makutharama” sebagai sumber data utama dalam penelitian ini.
Metode analisis wacana kritis Van Dijk menjadi relevan dengan objek
material penelitian ini, karena dalam prakteknya, proses komodifikasi pesan
dalam pertunjukan wayang kulit purwa berkaitan dengan hegemoni dalang
dan kuasanya menjadikan bahasa pakeliran sebagai alat untuk menciptakan
konstruksi nilai tertentu lewat pementasan maupun menegaskan definisi
peranannya dalam proses ekonomi politik komunikasi yang dijalankan baik
dengan sesama kru, masyarakat selaku audiens ataupun terhadap
pertunjukan wayangnya sendiri. Wayang sebagai alat penyampai nilai-nilai
juga memiliki indikasi sebagai alat persuasi masyarakat dengan
kecenderungan untuk mendramatisir persoalan yang ada dan mengemasnya
dalam berbagai tingkatan gaya ungkap, mulai dari yang bersifat simbolis
hingga vulgar.
KonteksSosial
Kognisi Sosial
TEKS
23
VIII. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, objek yang akan dikaji adalah rekaman
audiovisual pergelaran ki Purbo Asmoro yang termasuk dalam paket Wayang
Educational Package yang diterbitkan oleh Yayasan LONTAR tahun 2011.
Data fisik objek material penelitian ini adalah sebagai berikut:
DATA FISIK REKAMAN AUDIOVISUAL
Judul : Pakeliran Garap Semalam lakon “Makutharama”
Penyaji : Ki Purbo Asmoro, S. Kar, M. Hum
Kru Pengiring : Paguyuban MAYANGKARA (“Mangesthi Wayang
Kagunan Rahayu”)
Format Rekaman : DVD (Digital Versatile Disc)
Durasi : Disc 1, 5 video, total 110 menit 24 detik
Disc 2, 5 video, total 111 menit 15 detik
Disc 3, 5 video, total 122 menit
Disc 4, 5 video, total 113 menit 51 detik
Subtitle : Indonesia dan Inggris
Penerbit : LONTAR Foundation, Jakarta
Tanggal rilis : 26 November 2013 (Jakarta)
Penulis memilih rekaman audiovisual pementasan ini sebagai objek
bahasan dengan beberapa pertimbangan, di antaranya:
a. Pentas diadakan pada lingkungan masyarakat umum, sehingga
dalam penyampaian pesan-pesannya diharapkan ada bentuk
24
komodifikasi yang terjadi sebagai upaya memperkecil jarak field of
reference yang mendasar antara komunikator dan komunikannya
b. Garap pakeliran populer berdurasi semalam suntuk, adalah gaya
pakeliran yang hidup dan dikenal luas oleh sebagian besar
masyarakat masa kini.
c. Lakon Wahyu Makutharama, adalah lakon gubahan asli Jawa (era
Mangkunegara VII) dan merupakan salah satu lakon populer dalam
dunia pedalangan. Pemilihan lakon ini diasumsikan akan
memberikan keterangan lengkap tentang pergeseran wacana-
wacana dalam pakeliran, sesuai dengan keterangan Wignyasutarna
bahwa lakon Makutharama adalah lakon jangkep, maksudnya
lengkap dari segi muatan, baik yang bersifat profan maupun
transendental.31
Dalam penelitian ini, meskipun sampel penelitian bersifat tunggal, yakni
pengamatan pada satu pementasan saja, akan tetapi sifat unik yang muncul
pada konteks pementasan dirasa memadai untuk menggali data tentang
komodifikasi pesan yang dilakukan oleh Ki Purbo Asmoro selaku dalang
dan aktor komunikasi dalam pergelaran wayang kulit purwa. Sementara itu,
dalam satu lakon, penulis membagi lokus observasi ke dalam beberapa unit,
yang didasarkan pada pemilahan lakon menjadi scene-scene terpisah pada
kemasan rekaman audiovisualnya.
IX. Teknik Pengumpulan Data
Untuk keperluan pengambilan data, penulis menggunakan beberapa
metode yang memungkinkan untuk menggali keterangan secara rinci tentang
komodifikasi dalam aspek produksi pakeliran yang dilakukan oleh Ki Purbo
Asmoro dalam pergelaran wayang kulit purwa, faktor-faktor pendukung,
beserta cara dan bentuk implementasinya dalam keseluruhan rangkaian
31
Wignyasutarna, Serat Pakem Pedhalangan Lampahan Makutharama, (Surakarta,1988:
YPDMN), hal. 1.
25
pergelaran. Metode yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini adalah:
a. Observasi
Observasi dirasa perlu untuk dilakukan, karena objek penelitian ini
menyangkut pergelaran wayang kulit purwa sebagai sebuah kesatuan dari
rangkaian peristiwa, baik teknis maupun non teknis yang terjadi dalam aspek
produksinya. Observasi yang dijalankan untuk mendapatkan hasil yang
seobjektif mungkin ialah dengan cara observasi nonpartisipan dengan
menggunakan rekaman audiovisual sebagai teks utama dalam pengumpulan
data lewat metode observasi ini. Transkrip lengkap rekaman pertunjukan ini
telah diterbitkan oleh Yayasan LONTAR, Jakarta, pada tahun 2011 sebagai
bagian dari Paket Pendidikan dan Pengenalan Budaya Wayang, dan
dipergunakan sebagai bagian dari proses analisis wacana kritis terhadap
rekaman audiovisual sajian Ki Purbo Asmoro.
b. Wawancara
Wawancara perlu dimasukkan untuk melengkapi data penelitian ini,
karena sebagai sebuah seni pertunjukan, peran seniman sangat sentris dalam
setiap pengambilan keputusan yang membentuk satu rangkaian teks yang
disebut lakon atau cerita. Wawancara tidak hanya dilakukan terhadap ki
Purbo Asmoro selaku narasumber utama, untuk menggali alam
pemikirannya, melainkan juga kepada beberapa narasumber terkait seperti
dalang-dalang senior dan muda, serta kolega dan budayawan yang baik
secara profesional maupun personal mengenal Ki Purbo Asmoro dan gaya
pakeliran-nya.
Narasumber yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah:
a. Purbo Asmoro, S.Kar, M.Hum (52 tahun), dalang, pengajar Institut
Seni Indonesia-Surakarta, sebagai narasumber primer
b. Bambang Suwarno, S.Kar, M.Hum (62 tahun), pengajar Institut Seni
Indonesia Surakarta
26
c. Suluh Juniarsah (26 tahun), peneliti dan dalang wayang kulit purwa
gaya Surakarta; mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI Surakarta yang
bertindak sebagai informan, serta
d. Kathryn (Kitsie) Emerson, penerjemah, penggagas proyek Paket
Pendidikan Wayang bekerjasama dengan Yayasan LONTAR
Dengan adanya beberapa narasumber ini, data yang didapat dalam
penelitian ini tidak hanya bersifat searah dari pandangan Purbo Asmoro
pribadi selaku aktor utama produksi dan komodifikasi pesan dalam
pertunjukan wayang kulitnya, namun juga didapatkan beberapa pendapat
lain yang diharapkan memperjelas, memperkuat dan menjawab
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini berikut faktor-faktornya.
X. Teknik Analisis Data
Dalam metode kualitatif, proses analisis data bertujuan untuk
memperjelas pemahaman terhadap data yang telah dikumpulkan dalam
proses sebelumnya. Secara teknis, menurut John W. Creswell, analisis data
yang digunakan dalam metode kualitatif memiliki tujuan spesifik untuk
mendapatkan deskripsi yang rinci dan mendalam tentang individu atau latar
belakang tertentu yang diteliti, yang kemudian diikuti dengan analisis data
dari tema atau isu tertentu yang dikaji. 32
Dalam metode penelitian kualitatif, alur analisis data dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Penyusunan dan pengaturan, meliputi transkrip dan observasi serta
pemindaian manual terhadap data audiovisual yang ada, pengetikan
catatan lapangan atau pemilahan dan pengaturan data ke dalam tipe-
tipe yang berbeda
32
John W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches,
(Thousand Oaks, CA: 2009), hal. 183-184.
27
b. Pembacaan data, diperlukan untuk mendapatkan sifat umum
informasi dan merefleksikan makna keseluruhan dari data yang telah
dikumpulkan selama penelitian
c. Pengkodean, yakni proses penyusunan bahan ke dalam segmen-
segmen teks sebelum dimaknai sebagai pembawa informasi tertentu.
Dalam tahap ini data-data berupa teks, gambar dan bentuk-bentuk
lainnya diseleksi dan digolongkan berdasar kategori tertentu, dan
diadakan proses pelabelan untuk kategori-kategori ini.
d. Deskripsi, mengacu kepada pemberian detail informasi tentang
objek-objek penelitian, sementara tema didapatkan dari hasil
pengkodean sebelumnya, yakni generalisasi dari kode-kode yang
diperoleh dalam proses kategorisasi.
e. Interrelasi tema dan deskripsi, meliputi penyajian data yang telah
diolah dalam proses-proses sebelumnya secara tertulis dalam
penelitian
f. Interpretasi makna, yakni penafsiran yang dilakukan terhadap hasil
pengolahan data yang telah disajikan secara tertulis dalam
penelitian. Proses ini memiliki fungsi eksplanasi sekaligus penarikan
kesimpulan terhadap keseluruhan penelitian.
XI. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab, dengan rincian sebagai
berikut:
a. Bab I, membahas latar belakang penelitian, rumusan masalah,
manfaat dan tujuan penelitian serta teknik pengumpulan,
pengolahan dan penyajian data
b. Bab II, membahas bagaimana komodifikasi pesan dalam aspek
produksi pakeliran wayang kulit purwa dimaknai dan disikapi oleh
para dalang dan budayawan, khususnya Purbo Asmoro sebagai
narasumber utama
28
c. Bab III berisi profil sajian pakeliran Makutharama oleh Ki Purbo
Asmoro dalam format audiovisual yang diterbitkan oleh LONTAR
Foundation atau Yayasan LONTAR pada tahun 2013 sebagai
objek yang akan dianalisis dalam penelitian ini, serta
d. Bab IV berisi analisis bentuk dan metode komodifikasi pesan yang
dilakukan oleh Purbo Asmoro dalam pertunjukannya beserta
perbandingannya dengan konvensi tradisi
e. Bab V berisi penutup, kesimpulan dan saran-saran
Selain kelima bab tersebut di atas, di bagian akhir penelitian juga
dilampirkan daftar referensi, glosarium, disertai dengan foto cuplikan video
pakeliran Makutharama sajian ki Purbo Asmoro.