bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk kehidupan yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Perkawinan dalan
Bahasa Arab disebut dengan al-nikah atau al-wathi yang bermakna bersetubuh,
berkumpul dan akad.2 Selanjutnya Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan
sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan,
masing-masing menjadi suami-isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan
hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. Lebih jelasnya ia
menyatakan “Marriage is a relationship of body and soul between a man and
woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and lasting
family founded an belief in god almighty”.3
Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan atau pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati “perintah Allah dan melaksanakannya
1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2 Imam Taqiyuddin, Kifayatul al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung : Al-Ma’Arif, t.t), Juz II, h. 36
3 Tahir Mahmood, Personal law in Islamic Countries, (New Delhi : Academy of law and Religion, 1987), h. 209
1
2
merupakan ibadah.4 Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.5
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbooek)
putusnya perkawinan dipakai istilah “pembubaran perkawinan” (ont binding des
huweliks).6 Yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang
pembubaran perkawinan pada umumnya (pasal 199), tentang pembubaran
perkawinan setelah pisah meja dan ranjang (pasal 200-2006 b), tentang perceraian
perkawinan (pasal 207-232 a), dan yang tidak dikenal dalam hukum adat atau
hukum agama (Islam) walaupun kenyataannya juga terjadi, ialah bab XI tentang
pisah meja dan ranjang (pasal 233-249).
Dengan ibadah dalam sebuah perkawinan menjadi perkawinan yang harus
dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya apa yang menjadi
tujuan perkawinan yaitu : terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan
warahmah. Namun seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan itu kandas
diperjalanan harus bubar ditengah jalan karena beberapa sebab dan alasan
perceraian.
Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada
kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat
4 Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 “Perkawinan Menurut Hukum Islam Adalah Pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqal ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
5 Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, Lihat Juga Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2005), h. 7
6 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Mandar Maju, 1990), Cet Ke 1, h. 160
3
diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi
pertengkaran terus menerus antara suami isteri, suami atau isteri mendapat
hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan
yang menyebabkan perceraian.
Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami
isteri. Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga
membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara
anak secara bersama-sama lagi, untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada
salah satu dari orang tua. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan
adalah harus dibaginya harta bersama antara suami isteri tersebut.7
Dalam pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan
perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak ; (2) keadaan tidak
hadirnya suami isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru
isteri atau suami, setelah mendapat izin dari hakim sesuai dengan pasal 199 ayat 3
dan 4 yang menyatakan bahwa keputusan hakim setelah adanya perpisahan meja
dan ranjang dan pembekuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu
dalam registrasi catatan sipil karena kematian salah satu pihak.
Ada beberapa sebab yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus
berdasarkan atas persetujuan antara suami-isteri.8 Lebih lanjut dinyatakan dalam
pasal 209 ayat (1), (2), (3), dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata alasan-
7 Masyudin, ‘Akibat Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 19 Juli 2010 dari http://www.Skripsi-Tesis.com,
8 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 445-446
4
alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah : zina baik yang dilakukan
oleh suami atau isteri ; meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja ;
suami atau isteri di hukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan
setelah perkawinan dilaksanakan ; salah satu pihak melakukan penganiayaan berat
yang membahayakan jiwa pihak lain (suami atau isteri).9
Sebenarnya perpisahan suatau ikatan perkawinan merupakan hal yang
wajar. Karena akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai
kemauan dan kesanggupan yang dipadukan dalam suatu ketentuan dan dinyatakan
denga kata-kata yang bisa dipahami. Dengan demikan terjadilah peristiwa hukum
yang disebut dengan perikatan.10 Apabila ikatan tersebut sudah tidak dapat
dipertahankan lagi, karena berbagai pertimbangan maka konsekuensinya dapat
terjadi talak. Pada dasarnya perkara talak itu diperbolehkan, namun merupakan
hal yang amat dibenci oleh Allah SWT.
Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah untuk hidup rukun
bahagia dan tenteram namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus
sesuai yang diharapkan, kadang terdapat perbedaan pandangan dalam memahami
kehidupan dan pertengkaran diantara pasangan suami isteri yang merasa tidak
nyaman dan tenteram lagi dengan perkawinan mereka, karena pada kenyataannya
membina hubungan keluarga tidak mudah bahkan sering terjadi perkawinan
9 R.. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT.
Pradnya Paramita, 2006), Cet. 37, h. 46-51
10 Ahmad Kurzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 1
5
mereka kandas ditengah jalan.11 Perselisihan yang timbul dalam pernikahan kini
banyak disebabkan permasalahan yang beragam bermula dari faktor ekonomi,
perbedaan dalam menentukan sikap penyelesaian masalah yang mementingkan
ego, dan lain sebagainya.12
Syarat untuk mendirikan rumah tangga bahagia dapat dikelompokkan
menjadi empat faktor yaitu :13
1. Faktor yang berkenaan dengan ciri-ciri pribadi, keadaan bathin dan hubungan
timbal balik antara anggota-anggota keluarga. Faktor inilah yang merupakan
faktor terpenting.
2. Faktor yang berkaitan dengan masalah ekonomi keluarga, meliputi
penghasilan yang memadai, pengaturan terhadap urusan rumah tangga
termasuk ketertiban pembelanjaan rumah tangga.
3. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pikiran-pikiran umum yang
mendominasi rumah, termasuk perilaku suami isteri dan pandangan mereka
terhadap nilai-nilai moral dan agama.
4. Faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan hubungan keluarga dan cara
pengaturan waktu-waktu senggang, waktu untuk istirahat dan rekreasi.
Banyak suami yang tidak mengetahui apa yang diinginkannya. Oleh karena
itu, yang pertama harus dikerjakan seorang isteri adalah membantunya
11 Chuzaemah Tahido Yanggo dan A. Hafit Anshari. A. Z., Problematika Hukum Islam dan Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), h. 72
12 Budianto, ‘Perselisihan Dalam Rumah Tangga’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.
13 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet Ke-1, h. 166
6
memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benaknya, atau
membantunya mengetahui apa yang sebenarnya dicari dalam kehidupan ini.
Setelah itu ia mengajukan diri agar diikut sertakan dalam merealisasikan
tujuan-tujuan yang hendak dicapai suaminya dan juga tujuan mereka berdua.
Sebenarnya, dua tujuan diatas tidak ada bedanya. Tujuan-tujuan suami
haruslah satu dan sesuai dengan tujuan isterinya yang menjadi teman
hidupnya. Sebab, keberadaan satu tujuan merupakan asas pernikahan yang
bahagia.14
Seorang suami atau isteri yang baik tidak akan meninggalkan pasangannya
disaat mengalami berbagai macam cobaan. Sebagaimana mereka telah bersama-
sama merasakan kebahagiaan, maka mereka juga harus bersama-sama pula
sewaktu berada dalam keadaan susah tanpa disertai keluh kesah dan perasaan
marah.15
Pada saat didalam rumah tangga timbul masalah seperti suami ketahuan
berselingkuh dengan perempuan lain maka bicarakan berdua dengan baik-baik
tanpa emosi dan pertengkaran. Selesaikan masalah rumah tangga dengan pikiran
dewasa dan kepala dingin. Apabila dalam rumah tangganya mengalami masalah,
alangkah indahnya antara suami dan isteri mengingat kembali masa-masa indah
dahulu agar rasa emosi itu bisa diredam oleh diri sendiri. Jika masalah tersebut
tidak dapat diselesaikan dan jalan terakhirnya yaitu perceraian maka bercerailah
14 Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, h. 80
15 Ibid., h. 85
7
secara resmi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 39 UUP
dinyatakan :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tdak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana perceraian tanpa
melalui proses persidangan di pengadilan yang membuat masyarakat tidak
mempunyai kekuatan hukum di Indonesia. Kasus perceraian sering terjadi di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, apakah dilakukan karena inisiatif suami
untuk permohonan cerai talak atau inisiatif untuk menggungat cerai suami.
Dalam masalah perceraian sudah diatur sedemikian oleh aturan yang
dijadikan pedoman oleh umat Islam di Negara Indonesia, tetapi masyarakat di
Desa Kadu Ti’is hampir seluruhnya melakukan perceraian tanpa mengikuti
peraturan yang sudah ditetapkan tersebut. Bukannya masyarakat di Desa Kadu
Ti’is tidak ingin mematuhi aturan yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang
hanya saja terbatasnya keuangan di Desa Kadu Ti’is dan mahalnya biaya
perceraian. Perceraian yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is tanpa melalui proses
persidangan di Pengadilan Agama. Bila dilihat dari hukum yang berlaku maka
8
perceraian yang mereka lakukan tidak mempunyai kekuatan hukum meskipun
keduanya sebelumnya melakukan pernikahan yang dicatat.16
Akan tetapi pada kenyataannya banyak sekali masyarakat yang melakukan
sebuah perceraian sebagai jalan terakhir untuk mengakhiri sebuah pernikahan
tanpa melalui proses persidangan di pengadilan. Padahal sudah jelas sekali bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan melalui sebuah proses persidangan
dipengadilan dan telah melalui prosedur yang telah ditentukan serta telah melalui
usaha untuk perdamaian untuk tidak terjadinya perceraian, jika semua jalan itu
sudah dijalankan dan tetap menjadi keinginan antara suami isteri tetap bercerai
maka perceraianlah yang menjadi jalan terakhir bagi keduanya.
Akibat hukum dari perceraian yang dilakukan tanpa melalui proses
persidangan di pengadilan pada masyarakat merupakan akibat hukum berdasarkan
hukum Islam. Akibat hukum tersebut meliputi akibat terhadap harta benda,
sedangkan apabila dipandang dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 maka perceraian tersebut belumlah mempunyai akibat hukum yang diakui
dan bersifat mengikat secara yuridis.
Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar
Jaya Kabupaten Pandeglang ketika diantara mereka ada yang bercerai mereka
hanya mendatangkan pihak keluarga dan beberapa orang saksi, bukan hanya itu
saja, ada beberapa masyarakat Desa Kadu Ti’is yang ingin bercerai hanya cukup
mengucapkan kata cerai secara lisan di depan saksi-saksi, kemudian mereka
16 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
9
mendapatkan bukti cerai yaitu sebuah selembar kertas yang menyatakan mereka
sah bercerai. Dengan cara yang mereka lakukan tersebut dianggap perceraian
yang sah, tapi jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka
perceraian mereka tidaklah sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 1 dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan
rujuk, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan.17
Perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan bukan hanya di
desa kadu ti’is saja tapi di semua desa yang ada di daerah terpencil. Karena bagi
mereka proses perceraian sangat membutuhkan biaya yang besar sedangkan
mereka tidak cukup untuk membayar biaya perceraian di pengadilan maka dari itu
mereka melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan hanya lewat
KUA lalu mereka mendapatkan surat cerai mereka.18 Ada sebagian
masyarakatnya jika ingin bercerai maka hanya mendatangkan penghulu yang
waktu itu menikahkan mereka lalu mendatangkan kedua orang tua mereka
masing-masing sebagai saksi bahwa suami dan isteri akan melakukan perceraian
setelah itu suami dan isteri mendatangani surat cerai diatas selembar kertas yang
bermaterai, maka menurut mereka sudah sah perceraian mereka berdua dan
mereka sudah tidak menjadi pasangan suami isteri.
17 Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta :
Akademik Presindo, 1986), Cet Ke 1, h. 114
18 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
10
Selain karena faktor biaya yang sangat mahal melakukan proses
perceraian di pengadilan, faktor lainnya, dikarenakan tempat pengadilan yang
begitu jauh dari tempat tinggal mereka. Tempat tinggal mereka di pelosok-
pelosok dan perdesaan yang jauh dari mana-mana termasuk pasar sekalipun
sedangkan tempat pengadilan agama yang letaknya di perkotaan jauh dari
pedesaan, makanya masyarakat tidak bisa melakukan perceraian melalui proses
persidangan. Selain itu dikarenakan awamnya atau tidak tahunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dikehidupan mereka. Dengan adanya perilaku perceraian
masyarakat Desa Kadu Ti’is tersebut maka saya tertarik untuk melakukan
penelitian yang akan saya tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis merasa terdorong untuk
melakukan penelitian dan membuat pembahasan skripsi ini dengan judul
“PERCERAIAN TANPA MELALUI PROSES PERSIDANGAN DI
PENGADILAN AGAMA DI TINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974
(Studi Kasus Di Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten
Pandeglang)”
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas kemana-mana, maka skripsi ini harus
penulis batasi agar nantinya diharapkan dapat memberikan konstribusi
pemahaman yang mendalam. Karena pembahasan mengenai perceraian sangat
luas, maka penelitian ini difokuskan pembahasannya mengenai perceraian tanpa
11
melalui proses persidangan di pengadilan agama. Karena di dalam Undang-
Undang yang berkaitan dengan masalah perceraian sangat luas, maka penulis juga
mempertegas batasan-batasan penyusunan skripsi ini mengenai perceraian tanpa
melalui proses persidangan di pengadilan agama di tinjau dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974.
2. Perumusan Masalah
Menurut Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal
39 ayat 1 dan KHI Pasal 115 yang berbunyi : Perceraian hanya dapat dilakukan
didepan Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Meskipun peraturan perceraian telah
jelas diatur seperti yang sudah dijelaskan diatas, akan tetapi pada kenyataannya
sebagian masyarakat dari Desa Kadu Ti’is yang melakukan perceraian tidak
melalui Pengadilan. Maka dalam permasalahan ini penulis akan menelusuri dan
meneliti tinjauan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Faktor apa saja yang menyebabkan sebagian masyarakat di Desa Kadu Ti’is
melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan
Agama?
2. Bagaimana tatacara perceraian diluar Pengadilan Agama yang dilakukan
sebagian masyarakat Desa Kadu Ti’is?
3. Apakah tradisi perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan
Agama pada sebagian masyarakat desa Kadu Ti’is sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974?
12
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui proses perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
b. Untuk mengetahui faktor penyebab dari perceraian di Desa Kadu Ti’is
tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama.
c. Untuk mengetahui dampak positif dan negaifnya akibat perceraian
masyarakat di Desa Kadu Ti’is.
d. Untuk mengetahui tradisi perceraian di Desa Kadu Ti’is dengan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui faktor yang
menyebabkan masyarakat bercerai tanpa proses persidangan di
pengadilan
b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pentingnya perceraian
melalui proses persidangan di pengadilan Agama
c. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai betapa penting
mempunyai surat cerai atau kekuatan hukum perceraian yang sah melalui
proses persidangan di pengadilan dan menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
13
d. Dapat mengetahui dampak positif dan negatif perceraian tanpa melalui
proses persidangan di pengadilan
D. METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang akan di butuhkan untuk menyusun skripsi
ini, maka penulis menggunakan beberapa langkah antara lain :
1. Jenis Penelitian
a. Penulis kepustakaan (library research) yaitu penulis yang di lakukan
dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur, dan yang lainnya
yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
b. Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang di lakukan
dengan cara mengumpulkan data-data lapangan yang berkaitan dengan
judul skripsi ini.
2. Sumber Data
a. Data Primer : Data yang didapat dari hasil wawancara dengan masyarakat
yang bercerai tanpa melalui proses persidangan. Dalam penelitian
menggunakan tehnik wawancara secara mendalam (in-depth interview)
dengan menggunakan pokok-pokok masalah sebagai pedoman
wawancara. Pokok-pokok tersebut guna menghindari terjadinya
penyimpangan dari pokok masalah penelitian dan kevakuman selama
wawancara.
b. Data Sekunder : Data yang memberikan bahan tidak langsung atau data
yang didapat selain dari data primer. Data ini dikumpulkan melalui
penelusuran buku, makalah tulis baik dari surat kabar, internet, literatur-
14
literatur yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan
tempat penelitian, ataupun data lain yang berkumpul dan yang mempunyai
hubungan dengan tema ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data-data akurat saat penelitian, penulis
menggunakan beberapa tehnik, yaitu :
a. Interview (Wawancara), yaitu suatu alat pengumpulan data yang
digunakan untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat yang
berkaitan dengan hal yang diteliti.19 Wawancara dilakukan dengan cara
mengadakan tanya jawab langsung dengan masyarakat setempat, serta
tanya jawab juga dilakukan dengan lembaga pemerintahan dibidang
hukum yaitu pengadilan setempat.
b. Dokumentasi, yaitu dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang
ada di lembaga pemerintah atau swasta setempat yang dijadikan objek
penelitian serta data-data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang
berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini.
c. Observasi, adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperhatikan sesuatu
secara akurat, serta mencatat fenomena atau kejadian yang muncul saat
pengamatan serta mempertimbangkan hubungan aspek dalam fenomena
tersebut. Observasi dilakukan penelitian apabila dalam penelitian nanti
sedang terjadi kegiatan yang menjadi objek utama bagi penelitian.
19 Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah,
Metodelogi Penelitian Sosial (terapan dan kebijaksanaan), hal : 39
15
4. Jenis Data
Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data
kuantitatif (deskriptif) yaitu data yang didapatkan dari buku, literatur-literatur
yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan tempat
penelitian.
5. Tehnik Analisa Data
Dalam menyusun skripsi ini menggunakan tehnik analisa dengan cara
menganalisis dan mengambil kesimpulan dari data-data yang ada.
6. Tehnik Penulisan Skripsi
Adapun tehnik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cet 1 Tahun 2005.
7. Kerangka Teori
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, fiqh al-Sunnah menyatakan bahwa
kata itlaq, yang berarti “melepaskan” atau “meninggalkan”. Selanjutnya dalam
istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya
hubungan perkawinan.20
Sedangkan Al-San’ani dalam kitabnya, subul al-salam memberikan
pengertian talak menurut bahasa adalah “pelepasan ikatan yang kokoh”,
sedangkan menurut istilah syara’, talak adalah pelepasan akad perkawinan.21
20 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah [terj.] Drs. Moh. Tholib, (Bandung : Al-Ma’ruf, 1994), hal. 9
21 Al-San’ani, Subulus Salam [terj.] Abu Bakar Muhammad, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1995)
16
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perceraian dalam istilah ahli fikih disebut talak atau furqah. Talak berarti
membuka ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, yaitu
lawan kata dari berkumpul. Kemudian kedua kata ini dijadikan istlah oleh para
ahli fikih yang berarti perceraian antara suami isteri.
Kemudian yang dimaksud dengan perceraian atau talak disini adalah
sebagaimana yang dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, percerian,
dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tata cara perceraian di depan
sidang pengadilan diatur dalam peraturan perUndang-Undangan tersendiri yang
sudah jelas.
E. REVIEW STUDI TERDAHULU
Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul skripsi,
dalam review terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan
perceraian.
Diantaranya adalah :
17
Pertama, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Perceraian Bersama
Dengan Gugatan Penguasa Anak (analisis putusan No. 816/pdt.G/2004/PPAJT)
Oleh : Ariyanih (102044124992) Tahun 2006.
Skripsi menjelaskan bahwa cerai gugat diatur dalam pasal 86 ayat (1)
yaitu: gugatan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama
suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun
sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kedua, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan
Agama Karena Penganiayaan (Studi kasus di pengadilan agama jaktim)
Oleh : Desi Royalya (101044222186)Tahun 2005.
Skripsi ini menjelaskan bahwa sebab berakhirnya suatu ikatan perkawinan
terbagi menjadi :
1. Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami isteri masih hidup dapat terjadi
atas kehendak suami dan isteri.
2. Dapat juga terjadi di luar kehendak keduanya.
Ketiga, skripsi yang berjudul, Cerai Gugat Menurut Hukum Islam Dan Hukum
Positif (Studi kasus cerai gugat karena cacat badan di pengadilan agama jaktim)
Oleh : Ahmad Madroji (101044222175) Tahun 2005.
Skripsi ini menjelaskan hukum cerai gugat karena cacat badan menurut
KHI landasan hukum cerai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, analisa
tentang cerai gugat karena cacat badan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
18
Jelas sekali bahwa skirpsi ini berbeda dengan skripsi terdahulu. Dalam skripsi ini
yang akan saya tulis mengenai tentang perilaku perceraian masyarakat kadu ti’is
Mekar Jaya pandeglang.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka
penulis mengklarifikasikan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai
berikut :
Pada Bab Pertama, penulis menjelaskan mengenai pendahuluan yang memuat
latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Pada Bab Kedua, penulis menjelaskan mengenai pengertian perceraian, rukun
dan syarat-syarat perceraian, perceraian dalam perspektif fiqh, perceraian dalam
perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pada Baba Ketiga, penulis menjelaskan mengenai sejarah singkat desa kadu
ti’is, letak geografis, kondisi kebudayaan, dan kondisi perekonomian di desa kadu
ti’is.
Pada Bab Keempat, penulis menjelaskan mengenai tradisi perceraian
masyarakat di desa kadu ti’is, alasan dan faktor perceraian, akibat perceraian
masyarakat di desa kdu ti’is yang membahas tentang dampak positif dan
negatifnya, prosedur perceraian di desa kadu ti’is, perceraian menurur Undang-
19
Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan analisa penulis terhadap perilaku perceraian
yang terjadi pada masyarakat kadu ti’is.
Pada Bab Kelima, penulis menjelaskan mengenai inti kajian penelitian penulis
mengenai kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TINJAUAN HUKUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian
a. Pengertian
“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU
Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup
sebagai suami isteri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah
furqah.1
Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak”
berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “furqah” berarti “bercerai”,
lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh
ahli-ahli fiqih yang berarti : perceraian antara suami isteri.
Perceraian berasal dari bahasa Arab yaitu Thalaq yang berarti membuka
ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau tawanan ataupun ikatan ma’nawi
seperti ikatan pernikahan. Sedangkan thalaq menurut istilah adalah
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan
menggunakan kata-kata tertentu. Secara spesifik menurut syara’ thalaq adalah
melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami isteri.2
1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, ( Jakarta : Kencana, 2006), h. 189
2 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), Cet ke-1, h. 94
20
21
Perkataan “talak” dan “furqah” dalam istilah fiqih mempunyai arti yang
umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk
perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan
perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan
meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Arti khusus ialah perceraian
yang diajtuhkan oleh suami saja.3
Talak merupakan kalimat bahasa Arab yang artinya “menceraikan” atau
“melepaskan”. Mengikuti istilah syara ia bermaksud, “melepaskan ikatan
pernikahan atau perkawinan dengan kalimat atau lafaz yang menunjukkan talak
atau perceraian”.
Dalam Islam perceraian biasa disebut dengan talak. Dan dalam bab ini
penulis akan memaparkan beberapa pengertian dari talak. Kata talak berasal dari
bahasa arab “ithlaq” yang berarti “melepaskan” atau meninggalkan. Dalam istilah
fiqih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami isteri,4
talak merupakan perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami.5
Jika suami melafazkan kalimat sindiran kepada isterinya, maka dengan
sendirinya mereka berdua telah terpisah dan istrinya berada dalam keadaan iddah.
Jika semasa isteri didalam iddah kedua pasangan ingin berdamai, mereka boleh
3 Ibid., h. 156
4 Muhammad Baghir Al Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As Sunnah da Pendapat Para Ulama, (Bandung : Mizan, 2002), Cet Ke 2, h. 81
5 Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indah, 1985), Cet Ke 2, h. 35
22
☺
☺
): /قالطال( Artinya: “Maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka
dengan cara yang baik pula”. (QS. At-Talaq : 2)
Talak merupakan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT., hal ini
pun disepakati oleh para ulama sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi
SAW :
هيلعصلى اهللا اهللالوس رالق : الا قمهن ع ااهللايض ررم عنب انع : ملسورواه ابود اودوابن م جه وصححه (قال الط اهللالى الالح الضغبا
)الحاآم
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan dinilai shahi oleh Hakim)6
Adapun pengertian perceraian menurut istilah ahli hukum adalah :
a. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan
lafal talak atau yang semakna dengan lafal talak itu.
b. Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang
menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri.7
6 Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), Jilid 2, h. 500
7 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam ”Nikah”, Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet Ke-2, Jilid 4, h. 53
23
c. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan
ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan dimasa yang
akan datang.
d. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami isteri.8
Menurut Prof. Subekti, S.H. perceraian adalah penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim, atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan
tersebut.9
b. Hukum Perceraian
Perceraian dalam Islam memang dibolehkan kalau rumah tangga yang
didirikan sulit dirajut kembali, tetapi menjatuhkan talak mempunyai muatan
hukum yang berbeda-beda. Hukum perceraian adalah10 :
a) Wajib
Sebuah rumah tangga yang selalu ribut dan terjadi pertengkaran (syiqaq) yang
sangat memuncak antara suami dan isteri, serta sudah diusahakan intervensi
pihak ketiga yang terdiri dari dua orang, satu orang dari pihak suami dan satu
orang lagi dari pihak isteri, yang berfungsi sebagai pendamaian. Namun usaha
ini tidak membawa hasil maka sudah seharusnya talak itu dijatuhkan.
8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet ke-2, Jilid 9,
h. 9
9 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), Cet ke-31, h. 42
10 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam Perum Griya Suryo, 2004), h. 232
24
b) Sunnah
Seorang isteri yang kurang menjaga kehormatannya seperti bermata
keranjang, mudah mengundang kecemburuan suaminya, bergaul terlalu dekat
dengan orang lain, dan sebagainya, dan setelah diberikan peringatan oleh
suaminya tentang perilaku dan sikapnya itu agar dihentikan tetapi dia tetap
tidak menghiraukan, maka sebaiknya (sunnah) talak itu dijatuhkan.
c) Mubah (boleh)
Hubungan rumah tangga antara suami dan isterinya cenderung tertutup,
pergaulan sehari-harinya kurang harmonis, ada ketidakcocokan, dan
sebagainya, maka suasana rumah tangga semacam ini dibolehkan terjadi
perceraian.
d) Haram
Seorang isteri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci dan hari-hari
yang dilalui antara suami dan isterinya biasa mengadakan hubungan badan,
tahu-tahu suaminya mau menjatuhkan talak.
e) Makruh
Sebuah rumah tangga yang berjalan sebagaimana biasanya dan tidak terjadi
badai sedikitpun yang dianggap bisa meretakkan keharmonisan rumah
tangganya yang didirikan, maka menjatuhkan talak pada suasana semacam
imi hukumnya makruh menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan pendapat
Hanafi adalah haram hukumnya, karena bisa menimbulkan kesengsaraan
terhadap isteri dan anak-anaknya. Ini berlandaskan kepada sabda Nabi SAW :
25
“Tidak boleh mendatangkan mudarat (kepada isterinya) dan tidak juga
kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Malik).
Talak adalah sesuatu yang halal yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi ada
talak yang dijatuhkan oleh seorang suami yang tidak dibenci oleh Allah SWT
disebabkan oleh tindakan dan perilaku pasangannya11 diantaranya :
1. Isterinya diketahui berbuat zina;
2. Isterinya berbuat nusyuz dan sudah berkali-kali dikasih peringatan;
3. Isterinya suka mabuk, penjudi, bertindak tanduk yang bisa merugikan
lingkungan sekitarnya; dan
4. Isterinya susah diajak kerja sama dalam membina rumah tangga yang lebih
damai dan tentram, mau menang sendiri, kurang menghargai peran suami, dan
sebagainya.
Talak atau sebuah perceraian itu sah apabila dijatuhkan oleh seorang laki-
laki yang bertindak sebagai suami (atau bisa diwakilkan), dewasa (baligh), tidak
gila, dan tidak ada paksaan.
Seorang suami yang dipaksa oleh orang lain agar menceraikan isterinya
tanpa sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariat Islam, menurut Syafi’i dan
Maliki, adalah tidak sah talaknya.
Hal ini berlandaskan pada Nabi Muhammad SAW :
“Diangkat (tidak diberikan beban hukum) kepada umatku tentang kesalahan,
kelupaan dan sesuatu yang dipaksa kepadanya.” (HR. Ibnu Majah).
11 Ibid., h. 234.
26
Sedangkan pendapat Hanafi, talak yang dipaksakan kepada seorang
suami dan orang yang bersangkutan mau menerimanya adalah tetap sah,
karena ada tindakan menerima terhadap sesuatu yang dipaksakan itu.
Adapun seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dan
dia dalam keadaan mabuk, menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi, adalah sah
jika orang yang bersangkutan itu mabuk mengikuti kemauannya sendiri,
bukan karena paksaan atau darurat lainnya. Istinbath hukum semacam ini
merupakan hukuman yang harus diterima oleh seorang pemabuk yang
bergelimang dengan kemaksiatan. Sedangkan pendapat Hanbali, seorang
suami yang sedang mabuk yang menjatuhkan talak kepada isterinya adalah
tidak sah, karena pada saat itu orang yang bersangkutan sudah hilang akal atau
bisa dikatagorikan orang hilang.
Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dengan
perkataan yang bolok-olok atau bersenda gurau, menurut Syafi’i dan Hanafi,
adalah sah. Ini berlandaskan kepada sabda Nabi Muhammad SAW :
“Ada tiga perkara: sesungguhnya memang benar-benar sungguh-sungguh
dan ungkapan olok-oloknya sama dengan ungkapan yang sungguh-sungguh:
yaitu nikah, talak dan rujuk.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah).
Sedangkan pendapat Maliki dan Hanbali, suami yang menjatuhkan
talak dengan perkataan bernada senda gurau adalah tidak sah, karena ucapan
yang dilontarkan itu hanya sekedar guyonan belaka dan tidak bisa
dikatagorikan yang sungguh-sungguh.
27
c. Dasar Hukum Perceraian
Perceraian (thalak) dalam agama Islam diatur dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits Nabi SAW. Dan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian
dalam Islam dibolehkan atau halal dilakukan sebagaimana yang tercantum dalam
surat Al-Baqarah ayat 227 :
)227 :2/ البقره ( ⌧ Artinya: “Dan kalau mereka tetap hendak menceraikan isterinya itu, maka Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Selanjutnya disebutkan sebagaiman firman Allah dalam Al-Qur’an suarat
Al-Baqarah ayat 228 :
☺
☺
☺
☯
)228 : 2/ لبقره ( Artinya: “Dan wanita-wanita yang diceraikan itu harus menahan diri
(menunggu) tiga kali quru’ dan tidak boleh mereka menyembunyikan isi kandungannya yang telah diciptakan oleh Allah, jika mereka benar-benar percaya kepada Allah dan hari kemudian. Dan suaminya berhak menarik kembali isterinya itu (dalam masa iddah), kalau mereka mau berdamai. Dan kaum wanita mempunyai hak terhadap kaum pria, sebagaimana kaum pria mempunyai hak terhadap kaum wanita dengan cara yang sebaik-baiknya. Hanya kaum pria
28
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kaum wanita satu tingkat. Tuhan Maha Tinggi dan Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228)
Selanjutnya disebutkan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 229 :
⌧
☺ ☺ ⌧ ☺
⌧ ☺
⌧
) : / البقره ( Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) itu hanya dua kali, sesudah itu harus
kembali rujuk lagi dengan cara yagn sebaik-baiknya, atau diceraikan lepas dengan cara yang sebaik-baiknya pula. Dan tidak dihalalkan bagi kamu mengambil kembali apa yagn sudah diberikan kepada isterimu sedikitpun juga, kecuali kalau kedua belah pihak merasa tidak akan dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. (Dalam hal ini) kalau kamu pun (para hakim) berpendapat bahwa tidak mungkin bagi kedua belah pihak dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah itu, maka tidak ada dosa buat kedua belah pihak mengenai uang tebusan dari isteri-isterinya itu. Demikianlah batasan-batasan ketentuan dari Allah. Janganlah hendaknya kamu langgar batas-batas tersebut. Barang siapa yang melanggar batas-batas Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Firman Allah SWT surat At-Thalaq ayat 1 :
29
⌧
) : / الطالق (
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (izinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali, Allah mengadakan sesudah itu sesuatu ketentuan yang baru”. (Q.S. At-Thalaq ayat 1).
Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 231 :
☺
☺
30
) : / البقره ( ⌧
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya. Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula), janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan. Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu. Dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu, dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 231)
B. Rukun Dan Syarat-Syarat Perceraian
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun
talak ada empat, sebagai berikut12 :
a. Suami
Suami adalah yang emiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya,
selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat
menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali
setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.
Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
12 Drs. H. Abdul Rahman Ghazaly, M. A., Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201
31
ال طالق ال بعد نكح وال عتق اال بعد ملك
Artinya: “Tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada
pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan.
Abu Daud dan Al-Tirmizi meriwayatkan hadits dari Amir Ibn Syu’aib
bahwa Rasulullah SAW bersabda :
وال طالق فيما ال النذر البن ادم تيما ال يملق واال عتق فيا ال يملك يملك
Artinya: “tidak ada nazar bagi anak Adam (manusia) tentang hal yang baik
dimiliki, tidak ada pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki,
dan tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki.
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan13 :
1. Berakal
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila
dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk
kedalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan
karena rusak syaraf otaknya.
2. Baligh
Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa.
Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang
13 Ibid, h. 202
32
sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah
mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
3. Atas kemauan sendiri
Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri
suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan
dipaksa orang lain.
Kehendak dan kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan
pertanggung jawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan sesuatu
(dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas perbuatannya.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
هيلا عوهركتااسم وانيسالن واءطخ اليتم ان ععض ر اهللانا
Artinya: “Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dari dosa
silap, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.
b. Isteri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isteri
sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap isteri orang lain.
Untuk sahnya talak, bagi isteri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut14 :
1) Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Isteri yang
menjalani masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang
masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenaya bila dalam masa
itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga
14 Ibid, h. 203
33
menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang
dimiliki suami. Dalam hal talak ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan
talak lagi terhadap bekas isterinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan
talak ba’in itu bekas isteri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan
bekas suami.
2) Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan
yang sah. Jika ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad
nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan
perempuan saudara isterinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau
akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak
tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang
demikian tidak dipandang ada.
c. Shighat Talak
Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap
isterinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah
(sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, isyarat bagi suami tuna wicara
ataupun dengan suruhan orang lain.
Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isterinya
menunjukkan kemarahannya, semisal suami memarahi isteri, memukulnya,
mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya,
tanpa disertai pernyataan talak, maka yang demikian itu bukan talak.
Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan,
34
tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang
talak tetapi tidak ditujukan terhadap isterinya juga tidak dipandang sebagai
talak.
d. Qashdu (Sengaja),
Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh
yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu,
salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak,
seperti suami memberikan sebua salak kepada isterinya, semestinya ia
mengatakan kepada isterinya itu kata-kata : “Ini sebuah salak untukmu”,
tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak
dipandang jatuh.15
C. Perceraian Dalam Perspektif Fiqh
Menurut istilah, adalah : melepaskan ikatan (hal al-qoid) atau bisa juga
disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah
ditentukan.16
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan
perkawinan itu sendiri. Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam
kitab kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk
melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam
15 Ibid, h. 204
16 Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 207
35
datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil
tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadist, ijma ahli agama dan ahli
sunnah.17
Dari definisi diatas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi
yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan
demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah
diatur baik di dalam fikih maupun di dalam UUP. Meskipun perkawinan
tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak
boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Perkawinan Islam tidak boleh
dipandang sebagai sebuah sakramen seperti yang terdapat di dalam agama
Hindu dan Kristen, sehingga tidak dapat diputuskan. Ikatan perkawinan harus
dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia dan
bisa juga putus di tengah jalan.18
Para ulama klasik juga telah membahas masalah putusnya perkawinan
ini di dalam lembaran kitab-kitab fikih. Menurut Imam Malik srebab-sebab
putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz,
ila’ dan zihar. Imam safi’i menuliskan sebab-sebab putusnya perkawinan
adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’, zihar dan li’an.
As-Sarakshi juga menuliskan sebab-sebab perceraian, talak, khulu, ila’ dan
zihar.19
17 Ibid 18 Ibid
19 Ibid, h. 208
36
Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal
dan menghindarkan terjadinya perceraian (talak). Dapatlah dikatakan, pada
prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali
pada hal-hal yang darurat.
Ada empat kemungkinan yang dapt terjadi dalam kehidupan rumah
tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian20 yaitu :
1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri
terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran
perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu
keharmonisan rumah tangga.
Berdasarkan firman Allah memberikan opsi sebagai berikut :
a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar
terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi
isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi
terhadap kekeliruannya.
c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah
memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk
20 Ahmad Rafiq,Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995), h. 269-272
37
dicatat, yang boleh dipukul adalah bagian yang tidak membahayakan
si isteri seperti betisnya.21
2. Nusyuz Suami Terhadap Isteri
Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi
dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa
nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal al-Qur’an juga
menyebutkan adanya nusyuz dari suami sebagaimana yang tercantum
pada firman Allah SWT :
⌧ ☺
☺ ☯ ⌧ ☯ ⌧
⌧ ☺
☺
) : / النساء ( Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa : 4/128)
21 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 93
38
Adapun nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari
pihak suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap isteri, baik nafkah lahir
ataupun nafkah batin.
3. Terjadinya siqoq
Jika kedua kemungkinan diatas telah disebutkan di muka
menggambarkan satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang
lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena
kedua-duanya terlibat dalam syiqoq (percekcokan), misalnya disebabkna
kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh
alasan syiqoq. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
dinyatakan bahwa syiqoq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus
antara suami isteri.
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi
didamaikan harus dilalui beberapa proses. Sebagaimana firman Allah SWT :
☺ ☺
☯ ☺
) : / النساء ( ☺ ⌧Artinya: “Bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua,
putuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga isteri. Jika keduanya menghendaki
39
kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa : 4/35)
Berdasarkan ayat diatas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani
problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari
masing-masing pihak di karenakan para perantara itu akan lebih mengetahui
karakter, sifat keluarga mereka. Ini lebih mudah mendamaikan suami isteri
yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah muhazzab menytakan
bahwa disunnahkan hakam itu dari pihak suami isteri, dan jika tidak boleh
dari pihak lain.22
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang
menimbulkan saling tuduh-menuduh antar keduanya.
Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan
yang di dakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung di muka. Li’an
sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan
untuk selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in
kubro.23
Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan
seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat
tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah
22 Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 214
23 Ibid., h. 214
40
talak menjadi hak frerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami
bertindak otoriter, misalnya, mencerai isteri (perempuan) secara sepihak.24
Jika fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP
dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini
untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu
yang dibenarkan Undang-Undang dan ajaran agama. Jadi tidak semata-mata
diserahkan kepada aturan-aturan agama.25
D. Perceraian Dalam Perspektif UU No.1 Tahun 1974
Pada pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam realitanya sering kali perkawinan
tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik
karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.26
Pasal 38 UUP menyatakan :
Perkawinan dapat putus karena, a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas
keputusan pengadilan.
Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika
salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia. Sedangkan untuk
24 Ibid, h. 215
25 Ibid, h. 216
26 Ibid., h. 216
41
sebab perceraian, UUP memberikan peraturan-peraturan yang telah baku,
terperinci, dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan
pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk
waktu yang lama. Dan UUP tidak menyebutkan beberapa lama jangka waktu
untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. Di
dalam UUP pasal 38 tersebut dipandang cukup jelas.27
Didalam PP No.9 Tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan
sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain
diluar kemampuannya ;
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihka lain ;
d. Salah satu pihak mendapt cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri ;
e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan :
27 Ibid, h. 217
42
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri
tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh
perceraian. Adapaun bunyi pasalnya sebagai berikut :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :
a. Baik ibu atau bapak tertap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
Berbeda dengan putusnya perkawinan dengan sebab kematian yang
merupakan ketentuan Allah yang tidak bisa ditolak, sebab-sebab lain seperti
43
percerian pada dasarnya kesalahan yang bersumber dari manusia itu sendiri.
Terjadinya perceraian misalnya, lebih disebabkan ketidak mampuan pasangan
saumi isteri tersebut merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri.28
28 Ibid, h. 220
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA KADU TI’IS
A. Sejarah Singkat Desa Kadu Ti’is
Nama “Ranca” adalah lahan yang dialiri air yang mengandung banyak
lumpur hingga mencapai 1-2 meter sehingga lahan ini tidak di garap oleh
masyarakat, nama “Bugel” adalah sebuah bukit/hutan tua, atau di sebut oleh
masyarakat setempat adalah “Leuweung Kolot”, dan bukit ini mempunyai
mata air yang terus mengalir ke ranca tersebut. Sehingga di satukanlah ranca
dan bukit tersebut sehingga menjadi “Rancabugel”1
Sedangkan di lihat dari sudut pemerintahan, desa Rancabugel adalah
salah satu pemekaran dari Desa Wirasinga Kecamatan Cimanuk, pada tahun
1980 Desa Wirasinga di mekarkan menjadi 3 (tiga desa) yaitu Desa
Wirasinga, Rancabugel dan Pasirmae, pada awalnya Desa Rancabugel masuk
kepada Kecamatan Cimanuk, pada tahun 2005 ada pemekaran Kecamatan
antara Kecamatan Banjar dan Kecamatan Cimanuk, dan Desa Rancabugel
masuk kepada Kecamatan baru yaitu Kecamatan Mekarjaya.
Desa Rancabugel pernah dipimpin oleh beberapa kepala desa
diantaranya :
a. Bapak Husein
b. Bapak H. Dulsirad
c. Bapak Nurdin
1 Wawancara Pribadi dengan Sumantri. Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari, 2010
43
44
d. Bapak Sukraya
e. Bapak Sumantri
B. Letak Geografis
Desa Rancabugel dengan luas Wilayah seluruhnya 323 ha,
Penggunaan lahan di Desa Rancabugel terdiri Lahan Sawah 150 ha dan Lahan
Darat 173 ha. Lahan Darat terbagi pada lahan Perkebunan, Hutan dan
Pertanian dan Pemukiman.2
a. Batas-Batas Desa Rancabugel sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Gunung Cupu Kecamatan Cimanuk
Sebelah Timur : Desa Pareang, Desa Wirasinga
Sebelah Barat : Desa Pasirmae Kecamatan Cipeucang
Sebelah Selatan : Kabupaten Lebak
b. Sedangkan jarak tempuh ke desa rancabugel adalah :
Jarak dari Kecamatan Mekarjaya 10 km
Jarak dari ibu kota Kabupaten 25 km
Jarak dari ibu kota Provinsi 45 km
Jarak dari ibu kota Negara 155 km
c. Daftar Kampung atau dusun, dan jaraknya dari satu kampung ke kampung
lain 500 m-1 km. Diantaranya :
a. Kampung Rancabugel
2 Wawancara Pribadi dengan Sumantri. Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari, 2010
45
b. Kampung Karoya
c. Kampung Pasir Pogor Girang
d. Kampung Pasir Pogor Kidul
e. Kampung Kebon
f. Kampung Dukuh
g. Kampung Karya Jaya Barat
h. Kampung Karya Jaya Timur
i. Kampung Panamun
j. Kampung Kadu Ti’is
k. Kampung Garunggang
l. Kampung Rancanyenang
m. Kampung Dahu
C. Kondisi Kebudayaan
Sebelum kita membahas kebudayaan di Desa Kadu Ti’is, kita bahas
pengertian kebudayaan itu sendiri terlebih dahulu. Definisi kebudayaan yang
di kemukakan oleh beberapa ahli yaitu3 :
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, dan
3 Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari
http://docs.google.com.
46
kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat.
2. M. Jacobs dan B. J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi
sosial, ideologi, realigi, dan kesenian serta benda yang kesemuanya
merupakan warisan sosial.
3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan relajar.
4. Dr. K. Kopper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan
pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara
individu maupun kelompok.
5. William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki
bersama oleh para anggota masyarakat yang jika dilaksanakan oleh para
anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat
diterima oleh semua masyarakat.
6. Kihajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia
terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan
47
bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan
kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan
damai.
7. Francis Merill
• Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial
• Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang
sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui interaksi
simbolis.
8. Bounded et:al
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan
transmisi diri kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu,
misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk
mengalihkan keyakinan budaya diantara para angggota suatu masyarakat.
Pesan-peasan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di
dalam media, pemerintah, institusi agama, sistem pendidikan, dan
semacam itu.
9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)
Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau
aktifitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah
48
memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara
genetikal.4
10. Robert H. Lowie
Kebudayaan adalah segala sesuatau yang diperolah individu dari
masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, nama-nama artis,
kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya
sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui
pendidikan formal atau informal.
11. Arkeologi R. Soekmono
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda
ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan.
Secara etimologi (bahasa), kebudayaan berasal dari akar kata budaya
(Budaya Sansekerta) “bodhya” yang diartikan pikiran dan akal budi.
Berbudaya berarti mempunyai budaya, mempunyai pikiran dan akal budi
untuk memajukan diri. Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang
dilakukan oleh manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya; peradaban
sebagai hasil akal budinya; ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberikan manfaat
kepadanya.5
4 Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari
http://docs.google.com. 5 Dadan Anugerah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya Konsep dan
Aplikasinya, (Jakarta : Jala Permata, 2008), Cet Ke-1, h. 32
49
Desa Kadu Ti’is mempunyai kebudayan tersendiri yang mungkin
berbeda dari yang lainnya. Seperti dalam bidang pengetahuan : anak-anak di
Desa ini pendidikannya bisa dihitung, lulusan SD jumlahnya 1.071 orang,
lulusan SLTP jumlahnya 227 orang, lulusan SLTA jumlahnya 52 orang,
lulusan perguruan D II jumlahnya 4 orang, SI jumlahnya 3 orang, dan yang
tidak sekolah jumlahnya 412 orang, kebanyakan orang tua disini mengatakan
bahwa buat apa anak saya sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka
di dapur-dapur juga kerjanya dan lagian saya tidak mampu untuk
menyekolahkan anak saya ke tingkat yang lebih tinggi.6
Untuk masalah kepercayaan, masyarakat Desa Kau Ti’is masih
percaya kepada Allah SWT., tetapi ada juga yang masih percaya dengan guna-
guna, pelet pokoknya hal-hal yang berbau mistis. Kepercayan seperti itu
sudah menjadi kebudayaan bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is serta kota
Pandeglang.
Kesenian di Desa Kadu Ti’is seperti alat musik yang sering mereka
gunakan adalah gendang, suling yang sering di gunakan oleh orang-orang
sunda dan sering digunakan jika ada salah seorang masyarakat sedang
mengadakan pernikahan maka sering memanggil dangdutan atau tarian-tarian
6 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
50
seperti jaipongan dan lain-lainnya. Bukan hanya dari segi alat musiknya saja
tapi kesenian yang masih digunakan si desa ini yaitu pencak silat.7
Adat istiadat di desa ini dalam masalah pernikahan, jika ada salah satu
dari masyarakat ini ada yang melakukan pernikahan maka sesudah mereka
resmi menjadi pasangan suami isteri lalu mereka digiring atau diarak keliling
desa gunanya untuk mengetahui kepada penduduk desa sekitar bahwa mereka
berdua telah resmi menjadi pasangan suami isteri. Pasangan suami isteri
tersebut di temani oleh keluarga mereka masing-masing untuk keliling desa.
Selain itu ada juga yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat disini,
seperti dalam setiap hari-hari besar contohnya maulid Nabi SAW., bulan
Rajab, Roah, dan bulan Syafar. Di saat bulan-bulan tertentu itu mereka
mempunyai kebiasaan melakukan sedekahan (itu sebutan bagi masyarakat
Desa Kadu Ti’is).
Setiap acara maulidan tanggal 12, 24, 25, dan 27 masyarakat
mengeluarkan sedekah buat masyarakat sekitar seperti memberikan makanan
kesetiap rumah dan semua masyarakat di Desa itu melakukannya dengan
ikhlas dan senang. Pada setiap bulan Rajab pun mereka melakukan sedekahan
seperti itu. Membawakan atau memberikan makanan kepada masyarakat
sekitar, istilahnya mereka saling tukar-menukar makanan. Begitupun saat
7 Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 12 Juni 2010
51
menjelang datangnya bulan puasa (Roah), masyarakat sekitar memberikan
atau sedekahkan makanannya kepada masyarakat sekitar.8
Jika menjelang bulan syafar, sama seperti maulidan, Rajab dan Roah
sama-sama memberikan sedekahan makanannya kepada masyarakat tetapi
disini yang bikin bedanya adalah setiap bulan syafar masyarakatnya
diwajibkan memberikan sedekah makanannya berupa ketupat dan itu sudah
menjadi tradisi di Desa Kadu Ti’is. Hanya bukan syafar saja sedekahannya
harus berupa ketupat itu yang jadi utamanya di bulan syafar.
Kalau kita lihat dari setiap acara hari-hari besar seperti yang diatas
bahwa menggambarkan di Desa ini masih kuat agamanya tetapi kenapa masih
ada yang mempercayai dengan adanya dukun ataupun yang lainnya.
Dalam masalah perceraian di Desa Kadu Ti’is ini pun sudah menjadi
tradisi mereka, setiap masyarakat yang melakukan perceraian tidak melalui
proses persidangan di karena ada beberapa faktor penyebab yang menurut
mereka tidak bisa melakukan perceraiannya di depan persidangan. Salah satu
faktor penyebabnya yaitu:
1. Letak persidangannya yang jauh dari perkampungan mereka
2. Faktor ekonomi
3. Repot dan sulitnya mengurus perceraian, mereka menginginkan perceraian
yagn simpel dan gampang.
8 Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 12 Juni 2010
52
4. Karena sudah adanya perceraian (tidak melalui proses persidangan) yang
seperti itu di Desa Kadu Ti’is sejak berdirinya Desa tersebut.
Angka perceraian di Kabupaten Pandeglang saat ini terbilang tinggi.
Berdasarkan data di Pengadilan Agama (PA) dalam kurun waktu sebulan, ada
20 hingga 25 perkara. Bahkan, sampai akhir April ini, sudah 100 perkara yang
selesai disidangkan.Walaupun begitu, bila dibandingkan kabupaten dan kota
lain di Banten, jumlahini terbilang rendah. Humas PA Pandeglang Sopyan
Maulani mengatakan, perceraian di Pandeglang mayoritas didominasi oleh
faktor ekonomi. Istri dengan terpaksa menuntut suami karena merasa tidak
dipenuhi kebutuhan hidupnya. “Penyebab lainnya karena ditinggal pergi
dalam jangka waktu lama oleh suami,” katanya kepada Radar Banten di ruang
kerjanya, Jumat (30/4). Ia menilai, jika dibanding dengan daerah lain, kasus
perceraian di Pandeglang relatif kecil. “Di sini yang menggugat cerai rata-rata
istri. Kalau dirata-rata jumlahnya mencapai 75 persen,” tukasnya seraya
menambahkan ada empat alasan isteri menggugat cerai suami.9
Pertama si suami meninggalkan isteri selama dua tahun lebih, kedua
suami tidak memberikan nafkah wajib selama tiga bulan, ketiga menyakiti
badan seperti memukul dan keempat membiarkan atau tidak mempedulikan
isteri selama enam bulan. Ia melanjutkan, tahun 2008 perkara perceraian
mencapai 150 perkara dan tahun 2009 meningkat jadi 280 kasus. “Jenis
9 Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010 dari
http://docs.google.com.
53
perceraian yang ditangani PA terbagi dua. Yakni gugat cerai (cerai yang
diajukan isteri-red) dan permohonan ikrar talak yang disampaikan
suami,”paparnya.
Dalam kesempatan ini bapak yang telah 13 tahun menjadi hakim di PA
Pandeglang meminta masyarakat mematuhi Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan itu, semua persoalan dalam
pernikahan harus diselesaikan melalui jalur ini. Rain Fachrudin meminta
Pemkab memperbanyak lapangan kerja sebagai solusi menekan angka
perceraian. “Saya yakin gugat cerai yang diajukan isteri akan berkurang jika
suami memiliki pekerjaan alias tidak menganggur,”10
D. Kondisi Ekonomi
Secara umum mata pencaharian masyarakat di Desa Rancabugel masih
mengandalkan sektor pertanian yang pada umumnya dikarenakan kondisi
yang sangat mendukung untuk pertanian, namun demikian ada beberapa
sektor lain yang menjadi andalan pendapatan masyarakat. Seperti Buruh
Perkebunan, Budidaya Ikan Air Tawar, Beternak dan Berkebun ada juga
beberapa masyarakat yang berdagang kecil-kecilan, melihat kondisi jalan
yang dilalui desa Rancabugel sekarang banyak yang rusak sehingga sulit
untuk memasarkan hasil pertanian.11
10 Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari
http://docs.google.com. 11 Wawancara Pibadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
BAB IV
PERCERAIAN MASYARAKAT DI DESA KADU TI’IS
A. Tradisi Perceraian Masyarakat Desa Kadu Ti’is
a. Prosedur Perceraian
Semua masyarakat yang sudah berumah tangga sudah pasti
menginginkan rumah tangganya yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Akan
tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang rumah tangganya mengalami
perselisihan yang pada ujungnya berakhir dengan sebuah perceraian.
Seperti halnya masyarakat di Desa Kadu Ti’is ternyata tidak semua
masyarakatnya dapat atau memiliki suasana sebagaimana yang mereka
inginkan. Beberapa rumah tangga tidak harmonis lagi, yang kemudian
bercerai. Mereka menganggap bahwa perceraian adalah suatu jalan yang
terbaik diantara mereka karena menurut mereka apabila tidak bercerai, salah
satu diantara mereka merasa tersakiti dikarenakan tidak ada rasa
tanggungjawab antara mereka. Selain alasan yang diatas ada juga alasan dari
terjadinya perceraian diantaranya faktor ekonomi dan karena tidak saling
memahami antara keduanya yang mengakibatkan perselisihan terus-menerus
sehingga perceraian dipilih sebagai jalan terbaik.
Perceraian bukanlah suatu yang mustahil terjadi bagi setiap
masyarakat yang sudah menikah. Masyarakat yang berada di Desa Kadu Ti’is
pun ada masyarakat yang bercerai akan tetapi mereka bercerai tidak mengikuti
54
55
prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Proses perceraian yang dilakukan masyarakat Kadu Ti’is yaitu perceraian
tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama.
Prosedur perceraian yang dilakukan suami isteri di Desa Kadu Ti’is
langkah pertama yaitu melalui kelurahan, maupun para penghulu atau lebe
dan juga tokoh masyarakat setempat. Masyarakat yang ingin melakukan
perceraian biasanya mereka mendatangi Bapak RT setempat dan mereka
mengemukakan alasan-alasan kenapa mereka ingin bercerai, dalam hal ini
Bapak RT berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang ingin bercerai
dengan segala cara, jika RT setempat tidak mampu lagi untuk mendamaikan
kedua belah pihak untuk hidup rukun, maka Bapak RT menghadirkan RW
setempat.1
Tugas RT dan RW dalam hal ini yaitu bermusyawarah untuk berusaha
mendamaikan kedua belah pihak yang ingin melakukan perceraian, jika RT
dan RW tidak sanggup membujuk kedua belah pihak untuk rukun kembali dan
tidak sanggup mendamaikan mereka maka dari pihak RT dan RW memanggil
atau menghadirkan Bapak lurah, penghulu dan tokoh masyarakat juga para
saksi dari pihak keluarga masing-masing.
Pasangan suami isteri yang ingin melakukan perceraian setelah sudah
memberitahukan kepada RT, RW, Bapak Lurah, penghulu, dan tokoh
1 Wawancara Pribadi dengan Bapak Abah Ibin, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari
2010, Jam 14:10
56
masyarakat, kemudian suami mengucapkan kata cerai kepada isterinya yang
disaksikan oleh pihak keluarga masing-masing dan dihadapan penghulu,
setelah kata talak itu di ucapkan maka resmilah mereka bercerai dan bagi
mereka itu sudah sah perceraian kedua belah pihak.
Persyaratan yang lain yaitu hanya selembar kertas yang berisi
ungkapan bahwa telah terjadi perceraian diantara keduanya, yang kemudian
ditanda tangani oleh suami dan istri yang bercerai di atas materai. Dari tata
perceraian yang mereka lakukakan tersebut sudah dianggap sah, dan yang
menjadi bukti dari perceraian mereka adalah selembar kertas yang berisi
ungkapan cerai lalu selembar kertas itu di pegang oleh kedua belah pihak
yang sudah sah melakukan perceraian.2
Tradisi atau kebiasaan perceraian yang berlaku di desa kadu ti’is sudah
berlaku sejak dahulu kala hingga sekarang pun tradisi ini tetap berjalan. Bagi
masyarakat kadu ti’is proses perceraian yang mereka lakukan sudah sah dan
mempunyai kekuatan hukum, sehingga mereka tidak merasa takut akan hal
yang datang dikemudian hari jika salah satu diantara kedua belah pihak ada
menuntut hak asuh anak dan menuntut harta gono gini, karena mereka
memiliki selembar kertas yang berisi ungkapan cerai yang ditanda tangani di
atas materai. Itulah yang dapat dijadikan bukti oleh mereka.3
2 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010 3 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
57
Jika perceraian sudah terjadi ada kemungkinan kedua belah pihak
rujuk kembali dan bisa juga tidak, dengan kata lain tetap bersatus janda atau
duda bahkan ada juga yang menikah lagi dengan orang lain yang dianggap
lebih baik dari pasangan mereka sebelumnya. Bagi mereka yang akan
menikah lagi dengan yang lain maka harus menunjukkan tanda bukti bahwa
dia sudah bercerai dengan pasangannya yang sebelumnya.
Mengenai perceraian biasanya diprioritaskan adalah anak-anak dan
bagaimana masa depannya. Namun bagi masyarakat Kadu Ti’is perceraian
bukanlah penghalang bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan kasih
sayang dari orang tua kandung mereka. Hal ini karena mereka memberikan
kebebasan kepada anaknya untuk ikut ke bapak atau ibunya. Orang tua
mereka tetap mengutamakan kasih sayang kepada anak-anak mereka
meskipun sudah bercerai.4
Sedangkan mengenai harta bersama menurut tradisi masyarakat Kadu
Ti’is jatuhnya kepada istri dikarenakan anak yang diperoleh dari
pernikahannya yang terdahulu diasuh oleh mantan isterinya sehingga harta
bersama tersebut jatuh kepda mantan isterinya guna untuk kehidupan anaknya
pada saat ini dan masa depannya. Setelah terjadi perceraian suami tidak boleh
mempermasalahkan mana yang menjadi hak isterinyaa dan suaminya tidak
berhak untuk meminta bahkan menggunakannya sedikitpun.5
4 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010 5 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
58
Prosedur perceraian baik penerimaan perkara sampai jalannya
persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara di kepaniteraan
pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan.
Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan
ditandatangani diajukan kepanitera Pengadilan Agama atau (surat gugatan
diajukan pada sub kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub
kepaniteraan permohonan) Undang-Undang membedakan antara perceraian
atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik Hukum Islam dalam
perceraian memang menghendaki demikian.6
Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan
perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut Hukum Islam
suamilah yang memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang
berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak.
Pemohonan cerai talak meskipun bentuknya adalah permohonan tetapi pada
hakekatnya adalah kontentius (perkara gugatan). Sedangkan perceraian atas
kehendak isteri disebut dengan cerai gugatan.7
Sebelum perkara terdaftar di kepaniteraan, penitera melakukan
penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian
terhadap bentuk dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum
perkara didaftarkan. Misalnya dalam membuat surat gugatan kepaniteraan
6 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003), Cet Ke4, h. 206
7 Ibid., h. 208
59
dibolehkan memberikan arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang
dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan
maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas.
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut
terlebih dahulu harus diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai
kewenangan dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya
melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang
kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut
diserahkan kepada ketua pengadilan (dengan buku ekspedisi lokal
sebenarnya) dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “syarat-syarat
cukup dan siap untuk di sidangkan”.8
Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk
menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada surat kuasa untuk
membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan
pasal 193 Rbg atau pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan dari Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang meliputi :
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b. Biaya pemeriksaan saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah
8 Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2001), Cet Ke2, Cet Ke8, h. 129
60
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan
yang berkenaan dengan perkara tersebut.9
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan
untuk mengajukan gugatan perkara secara prodeo (Cuma-Cuma). Ketidak
mampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari
lurah atau kepala desa setempat yang dilegalisir oleh camat. Setelah itu,
penggugat atau pemohon menghadap kemeja II dengan menyerahkan surat
gugatan atau permohonan dan surat kuasa untuk membayar (SKUM) yang
telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan atau permohonan
tersebut dimaksudkan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya
pada wakil panitia untuk disampaikan kepada ketua pengadilan melalui
panitera.10
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara, kemudian diajukan
kepada ketua pengadilan, setelah ketua pengadilan menerima gugatan maka ia
menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada
prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua
9 Pasal 90 ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 74 10 M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2005), Cet Ke2, h. 14
61
menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim
anggota.11
Setalah itu hakim bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat
menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua
majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam
persidangan. Pasal 121 HIR,12 untuk membantu majelis hakim dalam
menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih penitera sidang
dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti.13
Tata cara memanggil dimana harus secara resmi dan patut, yaitu :
a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil ditempat tinggalnya.
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
kepala desa dimana ia tinggal.
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada
ahli warisnya.
11 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004), Cet Ke6, h. 39 12 M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2005), Cet Ke2, h. 13
13 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), Cet Ke1, h. 214
62
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
(tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan
memeriksa perkara yang bersangkutan.
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.14
Sedangkan proses pemeriksaan perkara di depan sidang dilakukan
melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah
tertera dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan dari Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 5415 : “hukum
acara yang berlaku pada pengadilan Agama dalam lingkungan peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-Undang ini”.
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini
hanya bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti
mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada uapaya
perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim penggugat ataupun
tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh mendamaikan para pihak apabila
ternyata upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang
14 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004), Cet Ke6, h. 40 15 Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h. 202-203
63
dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan diwali
dengan membaca surat gugatan.16
Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan
kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya
terhadap penggugat melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali
menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga
mempertahankan diri atas sanggahan-sanggahan yang disangkal tergugat.
Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya
yang disangkal oleh penggugat.17
Tahap replik dan duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat
memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap
pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang
demikian untuk mendukung jawabannya (sanggahan-sanggahan), masing-
masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan
pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan,
hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan
menyimpulkan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri
sengketanya.
16 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2004), Cet Ke6, h. 41-42 17 Ibid., h. 43
64
b. Alasan Perceraian dan faktor perceraian
Yang dimaksud dengan alasan perceraian di sini adalah suatu kondisi
dimana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri
atau memutuskan tali perkawinan mereka.
Di Indonesia dalam hal masalah perceraian telah diatur dalam
rangkaian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dan
sebagai warga Negara Indonesia sudah sepatutnya kita harus mentaati dan
menjalankan peraturan yang ada. Pada pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.”
Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-
alasan. Sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan
pasal 39 ayat 2 undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
berbunyi : “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”
Tradisi perceraian masyarakat di Kadu Ti’is yang dilakukan diluar
persidangan di Pengadilan Agama sudah menjadi adat atau kebiasaan yang
dilakukan masyarakat di desa ini dan berlaku hingga sekarang. Perceraian
yang terjadi ini terdapat berbagai macam alasan diantaranya yaitu:18
18 Wawancara Pribadi dengan Abah Ibin, Desa Kadu Tti’is Pandegllang, 13 Februari 2010
65
1. Faktor ekonomi, seperti yang sudah kita ketahui biaya perceraian melalui
Pengadilan Agama sangatlah tinggi sehingga bagi masyarakat yang
berlatar belakang ekonomi menengah kebawah dalam hal ini masyarakat
Kadu Ti’is tidaklah mampu menyelesaikan masalah perceraian mereka
melalui Pengadilan Agama.
2. Waktu persidangan (proses persidanga sangat lama)
3. Karena perselingkuhan dari salah satu pihak (suami atau isteri) dan
4. Karena meninggal dunia.
Berdasarkan alasan-alasan diatas yang banyak terjadi perceraian di
Desa Kadu Ti’is dikarenakan meninggal dunia dan perselingkuhan. Bagi
masyarakat Desa Kadu Ti’is jika telah terjadi perselingkuhan maka jalan yang
terbaik yaitu perceraian, hal ini dianggap bila diteruskan rumah tangganya
tidak akan harmonis lagi.19
Sebenarnya masih banyak alasan-alasan yang sering terjadi dalam
perceraian di dalam rumah tangga masyarakat Desa Kadu Ti’is yaitu
dikarenakan faktor perekonomian, kurangnya komunikasi antara suami dan
isteri, ditinggal mati (meninggal) oleh salah satu dari mereka, perselingkuhan.
Alasan tersebut yang sering membuat perceraian terjadi.
Perceraian yang dilakukan di luar persidangan yang sudah menjadi
tradisi di Desa Kadu Ti’is ini merupakan hal yang tidak boleh berlaku lagi di
19 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari,
2010
66
Indonesia. Prosedur perceraian sudah diatur sedemikian rupa, sehingga
perceraiannya sah menurut Agama dan Negara. Sedangkan yang melatar
belakangi terjadinya perceraian di luar persidangan di Desa Kadu Ti’is yang
paling utama adalah faktor ekonomi.20
Dengan kurangnya ekonomi bagi masyarakat Kadu Ti’is ini suatu
hambatan bagi mereka untuk menjalankan peraturan-peraturan hukum yang
ada di Indonesia khususnya mengenai perceraian. Masyarakat Kadu Ti’is
merasa tidak mampu untuk membayar pengeluaran untuk mengurusi prosedur
perceraian yang dilakukan di pengadilan. Maka mereka memilih untuk
bercerai yang tidak sah menurut Negara, yaitu yang hanya dihadiri dari pihak
KUA, suami dan isteri yang akan bercerai kemudian mendatangani surat cerai
yang ditulis di selembar kertas yang bermaterai.
Mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian ada
beberapa alasan yang melatarbelakangi kenapa perceraian dapat terjadi. Hal
ini dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam pasal 116 dan PP No. 9 tahun
1975 pasal 19. Terdapat juga pasal 39 ayat 2 UUP No.1 tahun 1974.
Alasan perceraian menurut hukum Islam adalah :
1. Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana rumah tangga,
tidak ada lagi rasa kasih sayang yang merupakan tujuan dan hikmah dari
perkawinanan
20 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari
2010
67
2. Karena salah satu pihak berpindah Agama
3. Salah satu pihak melakukan perbuatan Keji
4. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak Isteri
5. Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu Akad Pernikahan
(Taklik Talak).21
Hal-hal yang menjadi sebab putusnya Ikatan Perkawinanan antara
seorang suami dengan seorang Isteri yang menjadi pihak-pihak terkait dalam
perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan ada tiga
sebab, yaitu karena kematian, karena Perceraian, dan atas keputusan
pengadilan agama.22
Perceraian bisa merupakan sebab hak suami, sebab hak istri, dan sebab
keputusan pengadilan.
1. Sebab yang merupakan hak suami
Islam memperbolehkan untuk memutus ikatan perkawinan atas dasar
kemauan pihak-pihak. Suami di beri hak untuk melaksanakan suatu perbuatan
hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut
dengan Talak.23
2. Sebab yang merupakan Hak Isteri.
21 Muhammad Hamidy, Perkawinan Dan Permasalahannya, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), h. 22 Ahmad Khuzari, MA., Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1995), Cet 1, h. 117 23 Ibid, h. 117-118
68
Isteri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang
menjadi sebab putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah
Khul’un.24 Isteri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan
perkawinan dengan cara isteri menyediakan pembayaran untuk menembus
dirinya kepada suami.
3. Sebab atas keputusan Pengadilan.
Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada
di luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan
hubungan ikatan perkawinan ini pengadilan tidak melakukan inisiatif
keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak suami ataw pihak
isteri mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan.25
Suami isteri memiliki hak yang sama untuk melakukan perceraian
karena para pihak itu tidak melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah
tangga. Akan tetapi perceraian itu, harus dengan alasan-alasan yang sesuai
dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Adapun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian
diperlukan alasan-alasan yang dapat di jadikan dasar untuk perceraian, oleh
karena itu dalam peraturan pemerintahan nomor 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal
24 Ibid, h. 121 25 Ibid, h. 123
69
19 dan dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 dan 51 menjelaskan
tentang alasan perceraian yang dapat terjadi.
Untuk itu penulis berusaha untuk menguraikannya satu persatu sebagai
berikut :
1. Salah satu pihak berbuat Zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Zina merupakan alasan
untuk bercerai. Pembuktian zina ini dapat dibuktikan dengan mendengar
kesaksian para saksi yang memang benar-benar mengetahuai perbuatan
zina tersebut. Namun dalam pembuktian ini sangat sulit untuk di
buktikan, maka dalam persidangan digunakan istilah perselingkuhan.
Awal dari perbuatan ini menimbulkan pertengkaran serta memancing
konflik dalam rumah tangga secara terus menurus.begitu pula dengan
perbuatan judi, madat serta mabuk yang berdampak sama dengan
perbuatan zina.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
Perceraian dengan alasan diatas bertujuan untuk melindungi pihak yang
ditinggalkan karena tidak ada kejelasan tentang informasi keadaan pihak
yang meninggalkan. Jadi pihak yang ditinggalkan dapat dilindungi dari
haknya.
70
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukumannya lebih berat setelah per kawinan berlangsung.
Dalam peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 23 disebutkan bahwa :
Gugatan perceraian karena salah seorang suami atau isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun hukuman yang lebih berat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 19 huruf (c) maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Hal ini berarti pihak tergugat tidak dapat melumpuhkan alat bukti yang
diajukan penggugat, karena hakim pun terikat secara mutlak atas alat bukti
tersebut, dengan syarat :
a. Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara
b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan, menjelaskan
bahwa putusan pidana tersebut telah benar mempunyai hukum tetap
d. Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung antara suami
isteri.26
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
26 M. Yahya Harap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka
Kartini, 1993), Cet Ke 2, h. 260
71
Jika seorang suami melakukan penganiayaan berat terhadap
isterinya, maka isteri berhak mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya
di pengadilan. Sebagai langkah untuk tidak terjadi lagi hal-hal yang lebih
buruk lagi.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
Cacat badan juga dapat dijadikan alasan untuk bercerai, ini disebabkan
oleh karena salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai
suami isteri. Perceraian pada alasan ini bisa tidak terjadi kalau masing-
masing pihak dapat menerima kekurangan serta kelebihan masing-masing.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak pada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Pertengkaran yang terjadi antara suami isteri secara terus menerus ini
berdampak buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga mereka. Semua
usaha harus dilakukan untuk berdamai antara suami isteri tersebut tapi kalau
tidak bisa maka salah satu jalan adalah perceraian.
Masyarakat Desa Kadu Ti’is melakukan perceraian tanpa melalui
proses persidangan di Pengadilan Agama karena ada beberapa faktor yang
menyebabkan masyarakat hanya melakukan perceraiannya melalui saksi-saksi
dari kedua belah pihak. Faktor diantaranya letak Pengadilan Agama yang jauh
dari perkampungan mereka, ketidak tahuan mereka dalam melakukan
72
perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan lain
sebagainya.
Faktor yang menyebabkan perceraian sering terjadi dalam rumah
tangga di Desa Kadu Ti’is diantaranya yaitu27 :
1. Faktor Perekonomian
Masyarakat Desa Kadu Ti’is masih mengandalkan dari sektor pertanian
karena kondisi yang sangat mendukung untuk pertanian, ada beberapa
sektor lain yang menjadi andalan masyarakat Desa Kadu Ti’is seperti dari
perkebunan salah satunya kelapa muda yang sering dijual keluar daerah,
pertenakan seperti melihara kambing, ayam dan sebagainya. Mereka
hanya mengandalkan penghasilan dari perkebunan, pertanian dan
perternakan saja, itupun tidak banyak yang didapat dari penghasilan
tersebut.
2. Letak Pengadilan Agama yang jauh
Jarak antara perkampungan dengan kotanya sangat jauh dijangkau oleh
masyarakat perkampungan. Bukan hanya letak Pengadilan saja yang jauh
tapi dari perkampungan kepasarpun sangat jauh jaraknya dan sulit
dijangkau oleh masyarakat perkampungan. Kebanyakan masyarakat yang
bertempat tinggal diperkampungan seperti di Desa Kadu Ti’is ini harus
mempunyai kendaraan seperti motor. Motor yang mereka punya hampir
27 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari
2010, Pukul 13:00
73
seluruhnya motor bodongan yang tidak mempunyai STNK dan mesin
yang sudah diganti oleh mereka masing-masing. Masyarakat sekitar
walaupun membeli motor bodongan seperti itu, bagi mereka yang penting
hanya sebagai kendara untuk mereka pergi jauh-jauh seperti kepasar itu
sudah jauh jika sudah melewati pasa mereka tidak berani karena sudah
banyak polisi, bisa-bisa mereka terkena tilang oleh polisi.
3. Faktor ketidak tahuan masyarakat terhadap perceraian
Pada dasarnya masyarakat yang tinggalnya di perkampungan ataupun di
pedesaan tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Ada juga yang sudah mengetahui tapi berpura-pura tidak mengetahuinya,
itu yang membuat masyarakatnya menjadi tidak memperdulikan terhadap
peraturan-peraturan yang sudah ada.
4. Faktor Pendidikan
Pendidikan masyarakat di Desa Kadu Ti’is kebanyakan lulusannya hanya
sampai tingkat SLTA, untuk melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi lagi
orang tua tidak bisa membiayainya dikarenakan mahalnya biaya
perguruan tinggi. Bagi orang tua disana, anak mereka bisa bersekolah
sampai tingkat SD saja sudah bersyukur alhamdulilah. Masyarakat di Desa
Kadu Ti’is hanya lulus sampai SD dan yang tidak bersekolah jumlah
masih banyak sekitar 412 orang makanya mereka tidak mengetahui
peraturan diluar dari Desa mereka seperti peraturan Undang-Undang
tentang perceraian dan yang lain-lain. Jika kita lihat pendidikan di Desa
74
Kadu Ti’is sudah jelas bahwa sangat kurangnya pendidikan disana.
Pengetahuan serta wawasan masyarakat disana sangat kurang sekali,
makanya mereka tidak mengerti tentang apa itu Undang-Undang, cara
menggunakan komputer, dan yang lainnya.
Ada yang melanjutkan sampai keperguruan tinggi S1 jumlahnya 3
orang dan DII jumlahnya 4 orang. Rata-rata masyarakat yang mempunyai
gelar DII dan S1 menjabat sebagai lurah di desa dan ada juga yang menjadi
tokoh Agama yang suka mengajar ngaji disana pokoknya masyarakat yang
sekolahnya sampai tingkat tinggi mendapatkan kepercayaan dari masyarakat
sekitar dan dihormati.
c. Kekuatan Hukum Perceraian
Tidak ada seorang pun yang ketika melangsungkan perkawinan
mengharapkan akan mengalami perceraian. Apalagi jika dari perkawinan itu
telah dikaruniai anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab
tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan lagi sehingga
terpaksa harus terjadi perceraian antara suami isteri.
Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian
harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 39 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan
bahwa ”pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
75
kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi
dilakukan.
Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di
depan sidang pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari
perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari
lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat, dan bersifat
mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat
yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan pengadilan
dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, bekas
suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh
pengadilan selama isteri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan
biaya pemeliharaan dan pendidikan anank yang di wajibkan kepadanya, dapat
dituntut oleh bekas isteri dengan menggunakan dasar putusan pengadilan yang
telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami.
Adapun pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara
perceraian ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.28
Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya
hukum lain lagi oleh para pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya
perkawinan karena perceraian. Jika dari perkawinan yang telah dilakukan,
28 Soemati, ‘Kekuatan Hukum Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 20 Agustus 2009
dari http://docs.google.com
76
terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian
sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Itu kekuatan hukum menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
sedangkan menurut tradisi di Desa Kadu Ti’is bagi suami isteri yang ingin
bercerai hanya mendatangkan saksi kedua belah pihak dan di depan bapak
Sumantri (dalam kedudukan/jabatan sebagai lurah)setelah itu pihak-pihak
yang akan melakukan perceraian menandatangi surat cerai diatas selembar
kertas yang bermaterai, selembar kertas yang bermaterai tersebut oleh
masyarakat lingkungan desa Kadu Ti'is beranggapan sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap, setelah itu kertas tersebut di pegang oleh kedua belah
pihak yang sudah sah bercerai. Kemudian ada lagi tradisi yang menganggap
atau melakukan perceraian hanya dengan ucapan yang di ucapkan di depan
saksi-saksi kedua belah pihak seperti orang tua dari sang suami dan kedua
orang tua sang isteri.
Sebenarnya kekuatan hukum yang seperti itu tidak sah jika dilihat dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. kekuatan hukum tersebut juga tidak
bisa dijadikan bukti jika suatu saat nanti salah satu dari mereka melakukan
tuntutan seperti kewajiban mantan suami memberikan biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak maka sang isteri tidak bisa menuntut mantan suaminya
dikarenakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap yang bisa dan
mengharuskan mantan suaminya memberikan biaya pemeliharaan dan
77
pendidikan anaknya. Kekuatan hukum mereka hanya sebuah selembar kertas
yang bermaterai saja, itu tidak bisa dijadikan kekuatan hukum tetap atau
kekuatan hukum yang kuat dan bersifat mengikat karena tidak ada keputusan
dari pengadilan, itu hanya keputusan dari kedua orang tua mereka masing-
masing.
Tradisi perceraian di Desa Kadu Ti’is tidak pernah mengalami
permasalahan seperti menuntut mantan suami agar memberikan biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak atau sebaliknya mantan isteri dituntut
untuk melakukan keadilan dalam mengatur anaknya untuk bisa hidup bersama
mantan suaminya
B. Akibat Perceraian Masyarakat Di Desa Kadu Ti’is
Akibat perceraian ialah bahwa suami dan isteri hidup sendiri-sendiri,
isteri atau suami dapat bebas untuk menikah lagi dengan orang lain.
Perceraian membawa konsekwensi yuridis yang berhubungan dengan status
isteri, status anak dan status harta kekayaan. Sesudah perceraian bekas isteri
dapat bebas untuk menikah setelah masa iddah berakhir. Persetubuhan antara
bekas suami dan bekas isteri dilarang, sebab mereka sudah tidak terikat dalam
pernikahan yang sah lagi. Terhadap isteri, sebagai akibat terjadinya
perceraian, isteri dapat menikah kembali setelah masa iddah berakhir baik
dengan bekas suami ataupun dengan orang lain.29
29 Masyudin, ‘Akibat Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 19 Juli 2010 dari
http://www.Skripsi-Tesis.com,
78
Akibat dari perceraian tersebut yaitu berdampak terhadap isteri yang
berstatus janda atau suami yang berstatus duda, perebutan hak asuh anak,
perkembangan anak dan psikologi terhadap anak, kecewanya orang tua dari
masing pihak yang melihat anaknya telah bercerai dan masih banyak lagi
akibat dari perceraian.
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai, dan perceraian
yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian
itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau
Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal berikut
ini, yaitu :
1. Dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197430 disebutkan,
akibat putusnya perkawinan karena percerian ialah :
a. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan
menghindari keputusan:
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang di perlukan anak itu; Bilamna bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut:
30 Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya
Paramita, 2006), h. 549
79
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri;
2. Dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI)31 dinyataakan, bilamana
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. Memberikan Mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa
uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al-Dukhul;
b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama
dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz
dan dalam keadaan tidak hamil:
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila
Qobla al-Dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun:
e. Dalam Pasal 150 dinyatakan, bekas suami berhak melakukan rujuk’
kepada bekas isterinya yang masih dalam masa iddah;
f. Dalam Pasal 151 dinyatakn, Bekas Isteri selama dalam masa iddah,
wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah
dengan pria lain;
31 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta ; Akademik Presindo, 2004),
h. 149
80
g. Dalam Pasal 152 dinyatakan, Bekas isteri berhak mendapat nafkah
iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz;
h. Dalam Pasal 156 dinyatakan Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah:
a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan
oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah
dari ayah atau ibunya;
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan
Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula;
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa
dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
81
e. Bilammana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),(c),
dan (d);
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya.
Menurut masyarakat Desa Kadu Ti’is perceraian itu bisa berdampak
kepada semua orang. Berdampak di sini dibagi menjadi dua bagian yaitu
dampak positif dan dampak negatif.
a. Dampak Positif
Perceraian adalah perbuatan yang sangat di benci oleh Allah SWT.
Karena perceraian itu bisa berdampak kepada semua orang, seperti berdampak
kepada diri sendiri, orang tua dan yang terutama berdampak buat anak sendiri.
Walaupun perceraian itu di benci oleh Allah tapi masih ada saja yang
melakukan perceraian karena jalan terakhirnya adalah perceraian dan hanya
jalan itu yang terbaik buat keduanya.
Di Desa Kadu Ti’is perceraian menurut masyarakatnya berbeda-beda,
ada yang mengatakan perceraian yang mereka lakukan itu yang terbaik buat
keduanya, ada juga yang mengatakan bahwa perceraian itu mereka lakukan
karena sang suami yang kunjung tidak ada kabarnya dan tidak memberikan
nafkah lagi kepada isteri dan anaknya, ada juga yang mengatakan bahwa dari
82
pada harus menahan rasa sakit hati karena melihat suami selingkuh lebih baik
perceraianlah yang Ibu Nengsih lakukan.
Menurut masyarakat Desa Kadu Ti’is perceraian dimana-mana
berdampak negatif tidak ada dampak positifnya. Penulis penasaran dengan
pengakuan dari salah seorang Ibu Nengsih yang menyatakan bahwa ia
mengalami perceraian oleh suaminya dikarenakan adanya perselingkuh antara
suami saya dengan perempuan lain selama ia bekerja di Jakarta. Mengapa
penulis penasaran dengan perceraian yang dialami oleh ibu Nengsih?
Karena ibu Nengsih satu-satunya masyarakat di Desa Kadu Ti’is yang
mengatakan bahwa perceraian berdampak positif buat dirinya sendiri dan
anaknya, walaupun tidak menutup kemungkinan perceraian tersebut
berdampak negatif buat sang buah hati (anak).
Timbul pertanyaan penulis mengapa ibu Nengsih mengatakan bahwa
perceraian ini berdampak positif bagi ibu sendiri. Perrtanyaan penulis dijawab
bahwa32: ”Dampak positifnya status bagi saya jadi lebih jelas dan tidak
digantung oleh yang tidak kunjung pulang dan menunggu kiriman uang buat
kebutuhan hidup sehari-hari saya dengan anak tidak kunjung dikirim, saya
lama-lama jenuh menunggu yang tidak jelas dan tidak ada kepastian dari
suami sehingga saya mengambil tindakan menuntut bercerai dengan suami.
Alasan lain sehingga saya berkeras menuntut bercerai diketahui bahwa selama
ini suami saya tidak mengirimkan uang dan tidak pernah pulang-pulang ke
32 Wawancara Dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
83
kampung, karena suami saya telah berselingkuh dengan perempuan lain di
Jakarta.
Setelah saya bercerai dengan suami saya, saya merasa lega dan senang
karena pada akhirnya saya mempunyai status yang saya sandang yaitu single
parent walaupun sebenarnya di dalam hati saya merasakan sakit yang begitu
mendalam karena saya tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh suami
saya.33
Sebenarnya mempunyai status single parent tersebut tidaklah mudah
karena saya harus berkerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan
anak saya, yang pada saat itu masih kecil. Hidup diperkampungan seperti ini
memanglah sulit karena jauh dari mana-mana apa lagi pekerjaan. Pekerjaan
saya hanya bertani menanam padi agar hasil padi saya bisa di jual ke luar kota
dan yang pastinya saya bisa menghasilkan uang agar saya bisa memenuhi
kehidupan saya dan anak saya.34
Dampak positif yang ibu Nengsih rasakanpun bukan hanya itu saja
tapi ibu Nengsih bisa lebih banyak mendapatkan pengalaman hidup, bisa
mengontrol emosinya sendiri, bisa menata hidupnya kembali dengan orang
lain dan lain sebagainya. Dengan kesabaran ibu Nengsih dan terus
menjalankan hidupnya sendiri beserta anaknya dan mendidiknya dengan
sungguh-sungguh.
33 Wawancara Pribadi dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010 34 Wawamcara Pribadi dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
84
Seperti yang telah kita ketahui menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 153 ayat 2 b : Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu
tunggu yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.35
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, sebelum Ibu Nengsih
menjalankan masa Iddah selama 3 (tiga) kali suci selama masih datang bulam
jika tidak datang bulan maka masa Iddah 90 (sembilan puluh) hari setelah
masa Iddah selesai maka Ibu Nengsih diperbolehkan menikah kembali.
Setelah menikah dan mempunyai keluarga baru, ibu Nengsih tidak
ingin mengalami perceraian untuk yang kedua kalinya, untuk itu ibu Nengsih
akan lebih memperbaiki lagi kehidupannya.
b. Dampak Negatif
Jika kita melihat dari sisi negatif perceraian, maka dampak dari
perceraian itu sangatlah buruk kepada psikologi anak dan perkembangan anak
itu sendiri. Memang sangat tidak adil khususnya buat anak sendiri yang harus
melihat kedua orang tuanya berpisah atau bercerai. Mengapa sebagai orang
tua tidak pernah melihat atau memikirkan dampak dari perceraian yang
mereka lakukan terhadap anaknya dan kenapa harus anak yang menjadi
korban dari perceraian orang tua kita
35 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 49
85
Idealnya, seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari
ayah dan ibu. Tetapi kadangkala keadaan ”memaksa” seorang ibu
membesarkan anak seorang diri. Meski si ibu sudah merawat dan
memperhatikan si anak, tapi tetap saja ada dampak psikologis yang akan
dialami oleh anak yang dibesarkan tanpa figur ayah.36
Menurut Lifina Dewi, M. Psi, psikolog dari Universitas Indonesia,
”Pada anak-anak yang memiliki sifat tegar atau tidak memperdulikan keadaan
yang sebenarnya mungkin dampaknya tidak terlalu terlihat tapi untuk anak
yang sensitif pasti akan terjadi perubahan perilaku, misalnya jadi pemurung
atau suka menangis diam-diam, hal ini biasanya terjadi pada anak yang orang
tuanya bercerai.37
Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orang tua untuk
dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun
alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun
dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik
daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan
pernikahan yang buruk.
Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus
ditempuh dan tak terhindar lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan
36 Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari
2010 dari http://docs.google.com, 37 Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari
2010 dari http://docs.google.com,
86
oleh orang tua (Mama dan Papa) untuk mengurangi dampak negatif
perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan
kata lain bagaimana orang tua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian.38
Sebagai orang dewasa, mudah bagi kita memahami bahwa pernikahan
tidak selamanya berlangsung sesuai harapan dan rencana. Setiap orang
berubah, perubahan berdampak pada penyesuaian kebutuhan; termasuk
kebutuhan untuk diperhatikan dan dicintai. Kondisi ini beresiko mengubah
perasaan pada pasangan, rasa cinta bekurang, atau jatuh cinta pada orang lain,
hingga akhirnya berujung pada keputusan untuk berpisah.39
Entah apapun penyebabnya, perpisahan selalu menciptakan kesedihan
bagi pihak yang merasa ditinggalkan, atau dikhianati. Akan lebih mudah
kondisinya jika perpisahan hanya melibatkan pasangan.
Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada
anak.”Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang,
tidak sabaran, impulsif, dan lain-lain. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah
dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab perceraian orang
tuanya. ”Anak akan mempunyai pikiran: ’Ah jangan-jangan saya yang
membuat papa dan mama bercerai,’ sehingga muncul rasa marah dan bersalah
38 Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari
2010 dari http://docs.google.com, 39 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
87
pada dirinya.” Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi perebutan anak
antara suami isteri. ”Anak menjadi sulit untuk memilih, pingin ikut ayah, tapi
kok akhirnya ikut sang ibu. Ia akan merasa menjadi biang keladi perebutan
hak asuh anak.” Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau
sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengruh oleh perceraian orang tuanya.
”Orang tua harus berhati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar,
karena dia sudah secara matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura.”
Anak juga bisa menjadi tidak percaya diri dan merasa takut menjalani
kedekatan dengan lawan jenis, anak bisa jadi akan dendam pada orang tuanya,
seperti terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk
bunuh diri.”40
Psikolog, Dra. Sugiarti Musabiq, M. Kes, mengungkap pentingnya
ayah dan ibu yang telah berpisah untuk tidak mementingkan kepentingan diri
sendiri. ”Perceraian, bagaimanapun prosesnya, memang tetap mengandung
konflik dan mempengaruhi emosi pasangan maupun anak. Senantiasa ada
masa transisi yang relatif berat. Masa transisi yang dimaksud adalah
perubahan keadaan yang semula tenang menjadi bergejolak karena
ketidaksepahaman maupun konflik antara pasangan, yang mau tidak mau
40 Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari
2010 dari http://docs.google.com,
88
berefek pada sikap, tingkah laku dan perkataan, baik yang disadari maupun
tidak”.41
Agar dampak proses perceraian dapat diminimalisasi pada anak,
pastikanlah anda dan pasangan melakukan langkah-langkah berikut ini :
a. Sampaikan baik-baik
Anak mengingat saat-saat orang tua menyampaikan berita perceraian
dalam waktu yang sangat panjang. Karena berita ini membuatnya panik,
menguncang rasa aman dirinya. Idealnya berita ini disampaikan bersama-
sama pada anak oleh anda dan pasangan. Sampaikan bahwa keputusan itu
diambil untuk kebaikan bersama. Jelaskan juga bahwa pernikahan ini diawali
oleh cinta, dan sebenarnya anda mengharapkan untuk selalu bersama. Tetapi
setelah dijalani hal tersebut tidak terlaksana. Ungkapan juga bahwa anda
sebenarnya sedih dan kecewa. Pastikan pula bahwa perpisahan ini bukan salah
anak, anda dan pasangan tetap akan mencintai mereka dan selalu menemani
mereka sekalipun berpisah.42
b. Jangan saling menjelekkan
Sekalipun tergolong sulit, sebaiknya anda tidak mengungkapkan hal-
hal buruk tentang pasangan. Jika anda butuh bercerita atau ingin curhat
tentang pasangan, pastikan anak tidak mendengar apapun. Tidak
mengabaikan. Hal yang menjadi masalah pada anak-anak korban perceraian
41 Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com,
42 Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari
2010 dari http://docs.google.com,
89
adalah mereka selalu menduga-duga tentang kepastian mendapat perhatian
dari orang tua. Karenanya sebaiknya anda dan pasangan selalu menepati janji
dan jadwal yang berhubungan dengan anak.
c. Masa transisi
Kondisi yang paling menegangkan bagi anak adalah ketika dia pergi
meninggalkan orang tua yang satu ke orang tua yang lain. Hal ini disebabkan
karena anak merasakan ketegangan diantara kedua orang tuanya. Atasi
kondisi ini dengan memberi penguatan positif bahwa anda dan pasangan
mencintai mereka, dan sangat ingin mereka menikmati suasana yang gembira
ketika berada bersama anda ataupun pasangan.
d. Tenggang rasa
Umunya orang tua berpikiran bahwa agar semuanya berjalan lancar,
peraturan yang diterapkan ketika anak bersama ibu haruslah konsisten
diterapkan saat ia ada bersama ayah. Sebenarnya tidak perlu demikian, tidak
perlu membuat perdebatan baru dengan mantan. Anak yang paling kecil
sekalipun bisa menemukan dan memahami bahwa ayah ibunya berbeda,
demikian pula aturan ketika dia bersama ayah atau ibunya.
e. Kepentingan bersama.
Jika anda adalah orang tua yang mendapatkan mandat perwalian anak,
pastikan bahwa mantan pasangan tahu bahwa anda sangat menginginkan
90
keterlibatannya dalam kehidupan anak. Hal ini akan membuat mantan
pasangan merasa lebih nyaman ketika ia akan bertemu dengan anak.43
f. Menikmati hubungan baru
Sekalipun semula tidak terpikirkan, sebaiknya sejak awal dipahami
bahwa anda ataupun pasangan memiliki kemungkinan menjalin hubungan
baru. Pastikan anda siap menghadapi situasi ini.
Hal yang penting untuk diingat bahwa reaksi dan dampak perceraian
terhadap anak sebenarnya dapat diatasi jika anda dan pasangan memberi
dukungan yang positif pada anak sejak awal. Tetapi jika perceraian anda
sudah terlanjur mengarah ke situasi yang negatif, tidak pernah ada kata
terlambat untuk memperbaikinya, karena anak-anak anda membutuhkannya,
berapa pun usia mereka.
Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang
pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi
jika itu dilakukan, berarti orang tua sungguh-sungguh merupakan individu
egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan
kesejahteraan dan masa depan anak.
Kalau perceraian memang tidak terhindar lagi, maka mari membuat
perceraian tersebut menjadi perceraian yang tidak merugikan anak. Suami
isteri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orang tua ikut juga
43Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari
2010 dari http://docs.google.com,
91
bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orang tua dan
menginginkan kedua orang tuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi
anak, rasa percaya diri, rasa terima dan bangga pada dirinya sendiri
bergantung pada ekspresi cinta kedua orang tuanya. Bagi anda yang akan atau
sedang atau telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut dan
masa depan anak-anak anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun
itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi
dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin riwet dengan
membiarkan anak-anak kita yang tidak berdosa menjadi terlantar.44
Perceraian yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is ini memang dilihat dari
Undang-Undang tidak sah karena tidak ada kekuatan hukum tetapnya, tetapi
masyarakat di Desa ini yang sudah bercerai tidak pernah ada masalah sama
sekali seperti masalah kepada anak, harta bersama serta masalah pendidikan
dan pemeliharaan anak sekalipun. Memang setelah orang tuanya bercerai
anaklah yang menjadi korbannya tetapi mereka bercerai secara baik-baik dan
tidak meninggalkan tanggung jawabnya kepada anak mereka masing-masing.
Seperti dengan perceraian yang dialami oleh ibu Nengsih dengan
mantan suaminya. Mereka bercerai dengan mempunyai anak yang masih
kecil, lalu mereka berdua tidak memperebutkan anaknya harus ikut dengan
siapa karena mereka sebagai orang tua tahu bahwa dengan perceraian mereka
44 Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari
2010 dari http://docs.google.com,
92
sudah membuat anak mereka menjadi hancur hatinya, maka dari itu mereka
berdua sebagai orang tuanya tidak mengharuskan anaknya ikut dengan siapa.
Bagi ibu Nengsih serta mantan suami anaknya adalah segala-galanya buat
mereka dan mereka tidak akan pernah menghilangkan rasa kasih sayang
mereka buat anak-anaknya.
Ibu Nengsih dan mantan suami mempercayai anaknya dididik oleh
neneknya karena ibu Nengsih dan mantan suami harus bekerja di jakarta
untuk memenuhi kebutuhan hidup buat anaknya juga agar anaknya bisa
terpenuhi semua kebutuhannya. Bukan hanya itu saja tapi ibu Nengsih dan
mantan suami tidak pernah lepas untuk memberikan kasih sayang mereka
kepada anaknya seperti menjenguk atau merawatnya sesekali jika mereka
sedang pulang ke kampung. Selama mereka berada di kampung mereka tidak
henti-hentinya memberikan kasih sayang, merawatnya, mendidiknya,
memberikan apa yang dibutuhkan anaknya walaupun sebenarnya keadaan
mereka sangat sulit dalam perekonomiannya mereka tetap berusaha membuat
anaknya senang dan bahagia, bagi mereka apapun yang akan mereka lakukan,
itu yang terbaik buat anaknya.
Ibu Nengsih beruntung anaknya tidak berdampak terhadap perceraian
mereka, tetapi sesungguhnya ibu Nengsih serta mantan suami tidak
mengetahui bahwa anaknya mempunyai rasa minder atau tidak percaya diri
93
jika kumpul dengan ibu Nengsih dengan suami barunya dan bapak dengan
isteri barunya yang masing-masing sudah diberikan anak.45
Penulis yang kebetulan dekat dengan anak dari ibu Nengsih yang
bernama Suprana yang sudah dewasa berusia kira-kira 25 tahun dan yang
pada saat itu dia bersedia di wawancarai oleh penulis tentang bagaimana
perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya lalu bagaimana dengan
perasaan Suprana sendiri melihat orang tuanya sudah bercerai. Suprana
menceritakan semua kepada penulis.46
Pertama kali Suprana melihat orang tuanya bercerai adalah perasaan
yang sangat sedih dan merasa dirinya tidak berguna bagi orang tuanya
terutama dirinya sendiri. Dia juga mempunyai perasaan minder atau tidak
percaya diri bila mendekati seorang wanita yang dia sukai, selain itu juga dia
merasa minder jika harus kumpul sama bapak tiri dan adek-adek tirinya
padahal bapak dan adek-adek tirinya sangat baik kepada dirinya hanya saja
Suprana merasa tidak pantas untuk ikut bergabung bersama bapak serta adek-
adek tirinya, dia lebih suka tinggal bersama neneknya dari pada harus ikut
gabung dengan keluarga baru dari ibunya sendiri.
Sedangkan kepada keluarga bapak barunya pun Suprana merasa
minder dan tidak percaya diri jika sedang berkumpul sama ibu dan adek-adek
tirinya. Selama Suprana bekerja di Jakarta pun Suprana tidak pernah mau
45 Wawancara Pribadi dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010 46 Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
94
tinggal bersama bapak kandungnya di Jakarta padahal bapaknya sendiri yang
meminta Suprana untuk tinggal di rumahnya tetapi tetap saja nana tidak mau.
Paling dia ke rumah bapaknya hanya sekedar menanyakan keadaan bapak
serta keluarganya setelah itu dia pergi lagi ketempat kerjanya dan dia lebih
milih untuk tinggal di tempat kerjanya dari pada tinggal di rumah bapak
kandungnya sendiri.
Perasaan minder dan tidak percaya diri itu ternyata susah dihilangkan
di dalam dirinya karena Suprana sendiripun tidak tahu kenapa perasaan itu
muncul dalam dirinya. Perasaan itu muncul setelah nana beranjak dewasa dan
sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik buat dirinya
sendiri.47
Dalam masalah harta kekayaanpun Ibu Nengsih serta mantan suami
tidak pernah meminta harta. Selain masyarakat disini mempunyai tradisi
dalam perceraiannya yang menurut Undang-Undang tidak sah tapi desa ini
pun mempunyai tradisi dimana setelah suami isteri telah bercerai maka harta
yang dipunyai oleh mereka dulu, seluruh hartanya jatuh kepada mantan isteri
dan mantan suami tidak berhak mendapatkan hartanya.48
C. Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 14: Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan
menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat
47 Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
48 Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
95
kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta
meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.49
Pasal 15: Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang
dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud
perceraian itu.
Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan
untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila
memang terdapat alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Pasal 17: Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk
menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan
membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat
Keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu
terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
49 Hasanudin, ‘Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974’, artikel diakses pada
tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.
96
Pasal 18: Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan didepan sidang Pengadilan.
Pasal 19: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 20:
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
(2) Dalam hal kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan
kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
97
(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua
Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 21
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b,
diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampaui 2 (dua)
tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan
sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.
Pasal 22
(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf f,
diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman tergugat.
(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas
bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu
dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat
dengan suami isteri itu.
Pasal 23: Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami
isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk rnendapatkan
putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
98
putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakaan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Pasal 24
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan. Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat
atau tergugat, pengadilan dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang
barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Pasal 25: Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri
meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan
perceraian itu.
Pasal 26
(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
99
(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk
oleh ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila
yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan
melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan
disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun
tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum
sidang dibuka.
(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Pasal 27
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20
ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada
papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui
satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan
oleh Pengadilan.
(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass
media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
100
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud dalam
ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga)
bulan.
(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat
(2) dan tercatat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa
hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak
beralasan.
Pasal 28: Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
Pasal 29
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan
perceraian.
(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan
perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau
kuasa mereka.
(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20
ayat (3) sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-
kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan
perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
101
Pasal 30: Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan
isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
Pasal 31
(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan
kedua pihak.
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang perneriksaan.
Pasal 32: Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan
gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada
sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu
dicapainya perdamaian.
Pasal 33: Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan
gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 34
(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya
terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor
pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama
Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
102
Didalam PP No.9 Tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang
menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan
sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
yang lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihka lain ;
d. Salah satu pihak mendapt cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri ;
e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan :
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri
tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.
103
Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh
perceraian. Adapaun bunyi pasalnya sebagai berikut :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :
a. Baik ibu atau bapak tertap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberikan
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
D. Analisa Penulis
Dari uraian penjelasan setiap bab diatas dapat diketahui bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak. Gugatan perceraian yang diajukan oleh suami atau isteri
atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman tergugat.
104
Adapun pelaksaan perceraian yang dilakukan suami isteri di Desa
Kadu Ti’is itu sebagaimana hasil penelitian yang penulis lakukan di
Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten Pandeglang melalui aparat kelurahan,
maupun para penghulu atau lebe dan juga tokoh masyarakat setempat, secara
singkat penulis uraikan pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama
tersebut.
Pada pasangan suami isteri yang ingin melakukan perceraian itu yang
biasanya yang pertama mereka datangi adalah Bapak RT setempat disana
mereka mengemukakan alasan-alasan kenapa mereka ingin bercerai, dalam
hal ini RT mewakili tugas seorang hakim yakni berusaha mendamaikan kedua
belah pihak yang sedang bersengketa dengan segala cara, akan tetapi bilamana
RT setempat tidak mampu lagi untuk membujuk atau mendamaikan kedua
belah pihak untuk hidup rukun, maka biasanya Bapak RT menghadirkan RW
setempat.
Tugas RW dalam hal ini sama halnya seperti RT yaitu berembuk atau
bermusyawarah dengan RT untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak
yang bersengketa, perlu diketahui pula bahwa selama proses ini, yakni
menghadapi RT dan RW para pasangan kawin yang melakukan perceraian itu
tidak didampingi oleh siapapun. Barulah setelah RT dan RW sudah tidak
sanggup lagi mendamaikaan kedua belah pihak maka dari pihak RT dan RW
memanggil atau menghadirkan penghulu dan tokoh masyarakat juga para
saksi dari pihak keluarga masing-masing atau orang yang mengetahui
kejadian yang sebenarnya.
105
Pada hal ini penghulu dan tokoh masyarakat berperan sama seperti RT
dan RW tersebut yakni berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Apabila
tidak ditemukan kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mendamaikan,
maka penghulu dan tokoh masyarakat meminta keterangan dahulu oleh para
saksi, guna mengetahui kebenaran-kebenaran para pihak yang bersangkutan.
Apabila hal ini para saksi memberikan keterangan yang sama seperti
yang dijelaskan oleh para pihak yang bersengketa, maka penghulu dan tokoh
masyarakat kembali mengkonfirmasikan hal ini kepada para pihak yang
bersengketa. Setelah hal ini dilakukan dan para pihak yang bersangkutan
masih tetap pada pendiriannya (yakni ingin bercerai) maka penghulu dan
tokoh masyarakat mengambil keputusan perceraian dengan lisan yang
didengarkan oleh para saksi dan pihak isteri yang bersengketa, dengan
demikian kedua belah pihak telah bercerai dan berakhirlah hubungan
perkawinan mereka. Perlu diketahui perceraian mereka hanya dilakukan
secara lisan dan tidak tertulis, tetapi apabila salah satu pihak yang bersengketa
tidak hadir pada putusan perceraian tersebut maka penghulu dan tokoh
masyarakat membuat surat pernyataan cerai untuk disampaikan kepada pihak
yang tidak hadir.
Perlu diketahui pula bahwa proses perceraian yang dilakukan oleh
kedua belah pihak yang bersengketa itu dilakukan dari pengaduan kedua belah
pihak sampai diputusnya itu 10 hari dan tidak dipungut biaya. Adapun apabila
para pihak yang bersengketa itu memiliki anak, maka apabila anak tersebut
106
berusia dibawah 6 tahun itu biasanya diasuh oleh ibunya dan apabila diatas
usia tersebut itu diserahkan sepenuhnya kepada anak untuk memilih kepada
siapa dia akan tinggal atau dipelihara. Akan tetapi dari pihak suami tidak
memberikan nafkah kepada anaknya.
Menurut hukum Islam, cerai (talak) adalah ikrar suami dihadapan
sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan sebagaimana kita lihat dalam pasal 129, 130, 131 (11) sesuai
dengan pasal 117 KHI.50
Islam mengajarkan kepada kita bahwa dalam perceraian, jika sang
isteri atau sang suami ingin melakukan perceraian maka lakukanlah atau
laksanakanlah sesuai dengan ajaran agama dan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 agar perceraiannya mempunyai kekuatan hukum tetap
dan mempunyai surat keterangan cerai dari Pengadilan Agama.
Jadi berdasarkan analisa penulis dalam melaksanakan perceraian tanpa
melalui proses persidangan yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is sangat
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan ajaran Agama Islam karena memiliki perbedaan dalam
penafsiran menurut adat di Desa Kadu Ti’is dan menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. sehingga dalam hal ini lebih baik ketentuan-ketentuan
tersebut tidak dijadikan patokan utama dalam suatu perceraian dan dapat
membuka pola pikir masyarakat di Desa Kadu Ti’is di Kecamatan Mekar Jaya
50 Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Pengadilan Agama,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet Ke 5, h. 28
107
Kabupaten Pandeglang karena Allah SWT melihat manusia bukan dari
banyaknya harta dan jabatan. Akan tetapi semua dilihat dan diukur
berdasarkan iman dan takwa seseorang. Dan ketahuilah bahwa perceraian itu
sangat dibenci oleh Allah SWT.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diatas penulis dapat memberikan beberapa
kesimpulan diantaranya sebagai berikut :
1. Faktor utama penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama adalah
faktor ekonomi, faktor yang lain yaitu terjadinya pertengkaran dalam rumah
tangga dan suami yang selingku dengan perempuan lain.
2. Tata cara perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Kadu Ti’is
yaitu dengan mereka mendatangi RT untuk menyelesaikan masalah mereka
setelah itu ketua RT menghadirkan ketua RW, apabila belum selesai juga maka
ketua RW menghadirkan Penghulu dan Tokoh masyarakat. Kemudian
menghadirkan saksi dari kedua orang tua mereka masing-masing untuk dimintai
keterangan dan pada akhirnya Penghulu dan Tokoh Masyarakat dengan
disaksikan para saksi memutuskan perceraian secara lisan bagi yang hadir dan
tertulis bagi pihak yang tidak hadir.
3. Perceraian yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is tidak sah menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan sudah
jelas perceraian tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dikarenakan teori dengan kenyataan yang ada di Desa Kadu Ti’is tidak
108
109
mengikuti prosedur tata cara perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B. Saran-Saran
Penulis berharap agar kiranya pemahaman tentang tata cara perceraian yang
sesuai dengan pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dimana salah satu persyaratan
perceraian harus di depan sidang Pengadilan di masukkan kedalam materi setiap
majelis taklim yang berada di Desa Kadu Ti’is agar masyarakat menajadi paham dan
mengerti tentang tata cara perceraian, dan kepada petugas Kantor Urusan Agama di
Desa Kadu Ti’is memberikan pemahaman kepada pasangan suami isteri yang ingin
bercerai agar melakukan perceraian di depan sidang Pengadilan. Akhirnya semoga
penelitian ini dapat memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006
Abdurrahman, Kompilsai Hukum Islam Di Indonesia, Akademik Presindo, Jakarta, 2004
Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Kencana, Jakarta, 2003
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Dar al-Fikr, Beirut, 1994
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan,
Ahmad Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006
Ahmad Kurzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, Rajawali Press, 1995
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta, 1995
Al-San’ani, Subulus Salam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2006
Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media Grouf, Jakarta, 2006
Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah, Metodelogi Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanaan)
Chuzaemah Tahido Yanggo dan A. Hafit Anshari. A. Z., Problematika Hukum Islam dan Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002
Dadan Anugerah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya, Jala Permata, Jakarta, 2008
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam “Nikah”, Ensiklopedia Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990
110
111
Imam Taqiyuddin, Kifayatul al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, Al-Ma’arif, Bandung, 1995
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1987
Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan hidup rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, Lihat Juga Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, 2005
Tahir Mahmood, Personal law in Islamic Countries, Academy of law and Religion, New Delhi, 1987
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2003
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004
Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, Darussalam Perum Griya Suryo, Yogyakarta, 2004
Muhammad Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005
Muhammad Hamidy, Perkawinan Dan Permasalahannya, Bina Ilmu, Surabaya, 1980
Muhammad Yahya Harap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2006
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Daar al-Fath, Kairo, 2000
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemahan, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1996
112
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Pres, Jakarta, 1986
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2003
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006
www.google.com
114
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN
(Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama)
Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber : Bapak Sanuri
Jabatan : Penghulu
Pewawancara : Risna Ayesa
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah bapak sudah lama menjadi penghulu di desa kadu ti’is?
Jawab :
Sudah cukup lama juga saya menjadi penghulu di desa kadu ti’is sekitar 2 tahun saya
menjabat sebagai penghulu.
2. Apakah bapak pernah mengurus perceraian di desa ini?
Jawab :
Tidak karena saya menjadi penghulu baru 2 tahun jadi saya belum pernah mengurus
perceraian.
3. Bagaimana menurut bapak tentang proses perceraian yang dilakukan pada masyarakat
di desa kadu ti’is?
Jawab :
Perceraian di desa ini memang seperti itu, masyarakatnya tidak ada yang melalui
proses perceraiannya di depan persidangan karena biaya yang sangat mahal dan
115
mengurus di Pengadilannya sangat sulit dan ribet bukan hanya itu saja, sudah menjadi
tradisi dan kebiasaanya bagi masyarakat di desa kadu ti’is.
4. Apa Bapak Sanuri bekerja di KUA?
Jawab :
Saya tidak bekerja di KUA dan saya bukan pegawai KUA
5. Jika Bapak bukan salah satu pegawai dari KUA, mengapa Bapak bisa menjadi
penghulu di Desa Kadun Ti’is?
Jawab :
Saya bisa menjadi penghulu karena saya dipilih oleh bapak lurah setempat yaitu
Bapak Sumantri untuk mewakili desa ini menjadi penghulu di Desa Kadu Ti’is.
6. Apakah peran KUA di desa tersebut?
Jawab :
Peran KUA di desa ini hanya sebagai tempat pencatat nikah bagi masyarakat desa
sedangkan penghulu di datangkan bukan dari KUA melainkan penghulu desa masing-
masing yang sudah di pilih oleh Bapak Lurah yaitu Bapak Sumantri.
7. Apakah di KUA sebelum menikahkan orang ada kurscaten terlebih dahulu dari BP4?
Jawab :
Di sini sih setiap masyarakat yang ingin menikah memang mendapatkan pengarahan
atau nasehat terlebih dahulu tetapi bukan dari BP4 melainkan dari orang tua masing-
masing.
8. Apa penyebab perceraian yang sering terjadi di desa?
Jawab :
116
Yang saya ketahui penyebab perceraian dari rumah tangga mereka yaitu dikarenakan
faktor ekonomi, suami tidak memberikan nafkah kepada anak dan isterinya selama
berbulan-bulan, suami berselingkuh dengan wanita lain (adanya orang ketiga dalam
rumah tangganya), ditinggal mati (meninggal) oleh suami, sudah tida ada lagi ketidak
cocokan dalam rumah tangganya. Tapi yang paling sering terjadi dalam perceraian di
desa ini yaitu seringnya ditinggal mati (meninggal) oleh suami, faktor ekonomi dan
perselingkuhan itu yang sering di jadikan penyebab retaknya rumah tangga di desa
ini.
9. Bagaimana dengan si anak dan harta kekayaan yang dimiliki oleh mereka berdua
selama mereka masih menjadi pasangan suami isteri?
Jawab :
Selama pasangan itu sudah resmi bercerai maka si anak bebas untuk hidup dengan
siapa saja dan kedua orang tuanya tetap memberiikan kasih sayang yang cukup
kepada anaknya tanpa ada kekurangan sedikitpun sedangkan dengan harta kekayaan
tidak pernah dijadikan masalah yang besar juga karena masyarakat disini tidak
mempunyai harta yangg banyak paling hartanya hanyalah sawah dan peternakan. Jika
masalah harta di desa ini bisa dibilang sudah tradisi juga karena setiap pasangan yang
resmi bercerai maka bagi mantan isterilah yang berhak mendapatkan harta
kekayaannya sedangkan mantan suami tidak berhak membawa harta sedikipun dari
isterinya, karena itu sudah menjadi tradisi di desa ini juga. Makanya masyarakat
disini yang sudah pisah dari suaminya mereka masih bisa menghidupkan anak-
anaknya serta dirinya sendiri dengan bergantung kepada hasil dari sawah dan
peternakannya tersebut.
117
10. Apa yang membuktikan bahwa kedua belah pihak sudah resmi bercerai?
Jawab :
Kalau yang dimaksud adalah surat cerai maka didesa ini tidak ada surat cerainya.
Mereka hanya memegang kertas selembar yang bertuliskan kata cerai lalu di
tandatangani diatas materai oleh kedua belah pihak setelah itu surat tersebut di
pegang oleh masing-masing kedua belah pihak yang sudah resmi bercerai.
121
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN
(Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama)
Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber : Abah Ibin
Jabatan : Tokoh yang di tuakan di Desa
Pewawancara : Risna Ayesa
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah Bapak sudah lama tinggal dikampung ini?
Jawab :
Saya tinggal dikampung ini sejak saya dilahirkan oleh Ibu saya. Saya dibesarkan
dikampung ini sampai saya sudah berkeluarga tetap tinggal dikampung ini karena
saya sudah cinta dengan perkampungan sini. Orang tua saya juga tinggal disini.
Suasan dipedesaan yang sejuk dan tidak ramai dari kendaraan yang membuat saya
betah untuk tinggal di Desa ini.
2. Apakah perceraian di Desa ini selalu tidak melalui proses persidangan di Pengadilan
Agama?
Jawab :
Perceraian di Desa ini memang tidak pernah melalui proses persidangan di
Pengadilan Agama dikarenakan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat di
Desa ini tidak pernah melakukan perceraian melalui proses persidangan di Pengadilan
Agama. Perceraian tersebut sudah lama sejak orang tua saya tinggal disini jadi
122
menurut masyarakat disini sudah tidak heran lagi dengan perceraian yang tidak
melalui proses persidangan di Pengadilan Agama.
3. Bagaimana menurut Bapak sendiri tentang adanya perceraian tanpa melalui proses
persidangan di Pengadilan Agama?
Jawab :
Menurut saya sah-sah saja perceraian yang seperti ini karena perceraian di Desa ini
sudah menjadi tradisi atau kebiasaan untuk masyarakat sekitar. Di desa ini jika ada
yang bercerai pasti minta bantuan saya karena saya disini dihormati oleh masyarakat
desa dank arena saya yang mengerti tentang perceraian.
4. Apakah menurut Bapak sah dengan adanya perceraian tanpa melalui proses
persidangan di Pengadilan Agama dengan adanya peraturan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?
Jawab :
Tadi yang sudah saya jelaskan sama risna bahwa perceraian yang seperti itu sah-sah
saja tapi jika kita melihat kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perceraian
tersebut tidak sah karena tidak mempunyai kekuatan hokum yang tetap dan tidak ada
surat cerai yang akan memperkuatnya dalam bentuk masalah apapun, tapi mau
gimana lagi kalau perceraian itu sudah menjadi tradisi dan kebiasaan di Desa ini dan
susah dirubahnya.
5. Apa saja yang menyebabkan masyarakat di Desa ini bercerai?
Jawab :
Penyebab dari perceraian dalam rumah tangga di Desa kami itu rata-rata karena
ditinggal meninggal oleh suaminya dan rata-rata suami selingkuh diluar sana dengan
123
seorang perempuan lain dan kebanyakan yang menginginkan perceraian itu adalah
isteri (isteri yang meminta untuk bercerai dari suaminya).
118
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN
(Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama)
Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber : Suprana
Jabatan : Anak Ibu Nengsih
Pewawancara : Risna Ayesa
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah benar kamu anak dari Ibu Nengsih?
Jawab :
Iya memang benar saya anak dari Ibu Nengsih
2. Apakah saya boleh mewawancarai anda?
Jawab :
Boleh saja, memang ingin wawancara mengenai apa nih
3. Apakah kamu sudah mengetahui bahwa orang tua kamu sudah bercerai?
Jawab :
Iya, Saya sudah tahu bahwa orang tua saya sudah bercerai
4. Sejak kapan kamu mengetahui perceraian orang tuamu?
Jawab :
Sejak umur 8 tahun saya mengetahuinya. Ibu dan Nenek saya yang cerita sama saya
bahwa Bapak saya sudah pisah dengan Ibu.
119
5. Apakah kamu dirawat atau diasuh oleh Ibu atau Bapak?
Jawab :
Orang tua saya tetap merawat dan mendidik saya sampai saya dewasa seperti ini tapi
saya dari kecil tinggal sama Nenek dan Nenek yang merawat saya dengan sabar dan
penuh kasih sayang.
6. Berapa lama kamu tinggal dirumah Nenek dan apakah selama kamu sudah dewasa
tinggal bersama dari salah satu orang tuamu?
Jawab :
Dari bayi sampai dewasa sekarang ini saya tetap tinggal bersama Nenek saya. Saya
tidak mau tinggal bersama Ibu ataupun Bapak karena orang tua saya sudah
mempunyai keluarga sendiri jadi saya tidak mau merusak kebahagiaan mereka.
7. Setelah kamu mengetahu orang tua kamu bercerai, Bagaimana perasaan kamu?
Jawab :
Perasaan saya sedih karena orang tua saya sudah tidak bersama-sama lagi dan saya
sedih karena sering kali teman-teman saya meledek orang tua saya yang sudah
bercerai dan saya sering diejek bahwa saya tidak punya Bapak tapi saya tidak pernah
diambil hati. Setiap teman ngejek saya seperti itu saya hanya cuek dan langsung pergi
dari teman-teman saya.
8. Apakah setelah orang tuamu sudah mempunyai keluarga baru lagi, kamu sering
datang menjenguk orang tuamu?
Jawab :
Kalau Ibu saya sering datang kerumahnya karena rumah Ibu dekat dengan rumah
Nenek masih di kampung hanya beda desa saja sedangkan Bapak saya jarang main
120
kerumahnya karena Bapak saya menetap di Jakarta dengan keluarga barunya, ingin
ketempat Bapak tapi jauh dan saya tidak mempunyai ongkos untuk kerumah Bapak.
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN
(Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama)
Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber : Bapak Sanuri
Jabatan : Penghulu
Pewawancara : Risna Ayesa
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah bapak sudah lama menjadi penghulu di desa kadu ti’is?
Jawab :
Sudah cukup lama juga saya menjadi penghulu di desa kadu ti’is sekitar 2 tahun saya
menjabat sebagai penghulu.
2. Apakah bapak pernah mengurus perceraian di desa ini?
Jawab :
Tidak karena saya menjadi penghulu baru 2 tahun jadi saya belum pernah mengurus
perceraian.
3. Bagaimana menurut bapak tentang proses perceraian yang dilakukan pada masyarakat
di desa kadu ti’is?
Jawab :
Perceraian di desa ini memang seperti itu, masyarakatnya tidak ada yang melalui
proses perceraiannya di depan persidangan karena biaya yang sangat mahal dan
mengurus di Pengadilannya sangat sulit dan ribet bukan hanya itu saja, sudah menjadi
tradisi dan kebiasaanya bagi masyarakat di desa kadu ti’is.
4. Bapak di Desa ini sebagai penghulu berarti Bapak mengetahui prosedur perceraian,
mengapa Bapak tidak memberitahukan kepada masyarakat tentang prosedur
perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
Jawab :
Diberitahukan beberapa kalipun kepada masyarakat di Desa ini, mereka tetap tidak
akan melakukan perceraian di Pengadilan Agama dikarena faktor dari perekonomian
di Desa kami yang menyebabkan masyarakat sini tidak melakukan proses
perceraiannya di Pengadilan Agama.
5. Mengapa Bapak tetap melakukan perceraian tersebut jika ada pasangan suami isteri
yang bercerai tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama?
Jawab :
Karena di Desa ini yang ditunjuk untuk menjadi penghulu itu adalah Bapak jadi
semua yang ingin bercerai melapor ke Bapak. Jika saya tidak melaksanakan
permintaan kedua belah pihak maka saya akan dilaporkan kepada Bapak Lurah dan
bias-bisa saya tidak dipercaya oleh masyarakat sekitar.
6. Apakah Bapak Pegawai dari KUA?
Jawab :
Saya bukan pegawai KUA. Aku menjadi penghulu karena ditunjuk atau dipilih oleh
Bapak Sumantri sebagai lurah di Desa Kadu Ti’is untuk menjadi penghulu di Desa
Kadu Ti’is.
7. Apakah data-data perceraian di desa ini ada di KUA dan apa gunanya KUA di Desa
Kadu Ti’is?
Jawab :
Gunanya KUA hanya mencatatkan pernikahan dan perceraiannya.
Data-data perceraian tersebut ada di KUA tetapi kami tidak memberi ijin kepada
siapapun untuk melihat ataupun foto copy karena kami tidak ingin mengambil resiko
ketahuan oleh orang lain karena perceraian di Desa tidak melalui proses persidangan i
dan kami takut dilacak keberadaan Desa kami karena itu bentuknya non illegal dan
tidak mempunyai kekuatan hkum yang tetap di Pengadilan Agama
124
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN
(Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama)
Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber : Ibu Nengsih
Jabatan : Yang mengalami perceraian
Pewawancara : Risna Ayesa
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apa benar Ibu sudah bercerai dari suami?
Jawab :
Iya memang benar saya sudah bercerai dari suami saya yang dulu.
2. Siapa yang menginginkan perceraian ini?
Jawab :
Saya yang ingin bercerai dari suami saya
3. Apa yang menyebabkan Ibu ingin bercerai dari suami Ibu?
Jawab :
Suami saya telah berselingkuh dengan wanita lain selama dia bekerja di jakarta dan
dia sudah tidak menafkahi anak serta isterinya.
4. Apakah Ibu bercerai melalui proses persidangan di Pengadilan Agama? Mengapa!
Jawab :
Tidak, saya tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama karena letak PA
yang sangat jauh dari desa saya dan mahalnya biaya perceraian dan susah atau
125
ribetnya mengurus perceraian di Pengadilan Agama. Saya bercerai dengan suami
hanya melalui kiyai dan disaksikan oleh kedua orang tua kita masing-masing.
5. Apa yang membuktikan Ibu dan suami bahwa Ibu telah bercerai?
Jawab :
Bukti bahwa saya sudah resmi bercerai dari suami saya yaitu hanya selembar kertas
yang ditandatangani oleh saya dan suami diatas materai dan disaksikan oleh kiyai dan
kedua orang tua kita masing-masing.
6. Apakah sah perceraian yang Ibu lakukan tanpa melalui proses persidangan di
Pengadilan Agama?
Jawab :
Iya sah perceraian yang saya lakukan karena saya bercerai dengan suami disaksikan
oleh kedua orang tua kita masing-masing dan dihadapan Bapak penghulu yang waktu
itu menikahkan saya dengan suami saya.
7. Bagaimana dengan anak Ibu yang sekarang sudah dewasa dengan perceraian Ibu dan
suami?
Jawab :
Saya bercerai dengan suami sejak anak saya masih kecil sekitar umur 5 bulan tapi
setelah anak saya berumur 8 tahun saya memberitahukan tentang keadaan orang
tuanya yang sudah mengalami perceraian atau pisah dari bapaknya. Anak saya juga
sebelumnya lama-lama mengetahui bahwa Bapaknya sudah tidak tinggal bersama lagi
dengan Ibunya. Semakin dewasa saya memberi tahu mengapa alasan Ibu dan Bapak
berceraian. Ibu bercerai karena Bapak selingkuh dnegan perempuan lain selama
Bapak bekerja di Jakarta.
126
8. Setelah Ibu bercerai dari suami dan Ibu menikah lagi, apakah dengan bukti selembar
kertas yang menyatakan bahwa Ibu pernah menikah bisa dijadikan bukti abhwa Ibu
telah bercerai dari suami Ibu yang pertama?
Jawab :
Jika saya menikah dengan laki-laki lain maka saya hanya menunjukkan selembar
kertas yang menyatakan saya pernah bercerai dari suami setelah itu selembar kertas
tersebut ditunjukkan kepada orang tua laki-laki dan dihadapan penghulu. Jika semua
sudah selesai maka saya baru bias menikah kembali dengan laki-laki lain.
9. Apakah Ibu menikah kembali sebelumnya meminta ijin kepada anak Ibu?
Jawab :
Pastinya saya minta ijin kepada anak saya, masalah boleh atau tidaknya dengan anak
saya, saya akan terima keputusannya karena saya menikah dengan laki-laki lain yang
benar-benar sayang dan mau nerima anak saya apa adanya. Jika saya diperbolehkan
menikah kembali sama anak maka saya akan menikah.
10. Selama Ibu bercerai dari suami, Apakah Ibu melarang anaknya untuk tidak bertemu
dengan Bapaknya?
Jawab :
Saya tidak pernah melarang anak untuk tidak bertemu lagi dengan Bapaknya karena
saya tidak berhak, dia adalah Bapak dari anak saya juga dan saya tidak boleh ikutin
egois saya sendiri. Semua akan saya lakukan demi anak, apapun itu.
127
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN
(Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama)
Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber : Bapak Sumantri
Jabatan : Kelurahan
Pewawancara : Risna Ayesa
Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Bagaimana menurut bapak jika ada masyarakat di sekitar ini ada yang ingin bercerai?
Jawab :
Yang pertama pasti saya merasa sedih karena saya sebagai lurah tidak bisa membuat
warga di desa ini hidup harmonis dan tentram. Kemudian saya akan bertanya kepada
kedua belah pihak yang ingin bercerai, alasan apa yang membuat kedua belah pihak
ingin bercerai lalu apa tidak ada jalan yang lain selain perceraian dan apa sudah
dipikirkan dengan baik-baik, setelah saya bertanya kepada mereka dan kedua belah
pihak sudah yakin ingin bercerai maka saya sebagai lurah di desa ini, akan saya bantu
mengurus perceraian kedua belah pihak.
2. Bagaimana proses perceraian di Desa Kadu Ti’is ini?
Jawab :
Proses perceraian di desa ini hanya datang ke RT, RW dan kelurahan untuk
mengetahui bahwa kedua belah pihak ingin bercerai lalu dari RT memanggil bapak
Sanuri yang bekerja di KUA lalu kedua belah pihak membawa saksi-saksi yaitu
128
kedua orang tua kedua belah pihak setelah itu kedua belah pihak melakukan
perceraian di depan saksi-saksi dan di depan bapak Sanuri setelah itu kedua belah
pihak sudah sah bercerai lalu kedua belah pihak menandatangani surat cerai di atas
selembar kertas yang bermateraikan dan kertas itu di pegang oleh masing-masing
kedua belah pihak yang sudah sah melakukan perceraian.
3. Siapa saja yang berperan penting dalam proses perceraian?
Jawab :
Yaitu RT, RW, bapak lurah. Kedua orang mereka masing-masing untuk dan bapak
Sanuri sebagai yang bekerja di KUA dan sering menikahkan masyarakat di desa ini.
4. Apakah proses perceraian ini sudah ada sejak lama?
Jawab :
Memang proses perceraian di desa ini tidak melalui proses persidangan di Pengadilan
Agama sudah ada sejak dahulu kala. Dan perceraian yang sperti ini sudah menjadi
adat bagi masyarakat di desa kadu ti’is.
5. Apakah masyarakat di desa ini mengetahui tentang proses perceraian yang harus
dilakukan di depan Pengadilan Agama?
Jawab :
Masyarakat disini tidak mengetahui dan tidak paham sekali dengan peraturan undang-
undang yang seperti itu dan kalau mengetahuipun mereka tetap tidak bisa melakukan
perceraian di Pengadilan Agama. Kebanyakan masyarakat disini mengetahuinya
bahwa perceraian yang seperti itu yang biasa dilakukan di desa kadu ti’is.
6. Fakor apa yang menyebabkan masyarakat di desa kadu ti’is melakukan perceraian
tanpa mealui proses persidangan di Pengadilan Agama?
129
Jawab :
Faktor yang pertama karena perekonomian di desa tersebut sangat lemah, fakktor
yang kedua karena letak Pengadilan Agama yang jauh dari letak desanya, yang ketiga
karena biaya mengurus perceraian di Pengadilan Agama terbilang mahal, dan faktor
yang terakhir adalah karena perceraian ini sudah menjadi adat ataupun kebiasaan bagi
masyarakat di desa kadu ti’is.
7. Apakah letak Pengadilan Agama menjadi faktor perceraian tidak dapat dilaksanakan
di Pengadilan Agama?
Jawab :
Iya, salah satunya karena letak Pengadilan Agama yang begitu jauh dari
perkampungan atau desa.
8. Apakah bapak sebagai lurah di desa ini sudah memberikan mereka nasehat tentang
adanya peraturan perceraian menurut Undang-Undang?
Jawab :
Setiap masyarakat disini yang ingin melakukan perceraian sudah saya kasih tahu
bahwa proses perceraian itu harus melalui proses persidnagan di Pengadilan Agama
dan sbelumnyapun saya sudah sering mengatakanya di setiap ada pertemuan dan
disetiap ada acara di desa.
9. Apakah setelah kedua belah pihak bercerai maka data-data perceraian itu ada di
KUA?
Jawab :
Data-data itu ada di KUA tetapi data perceraian tersebut sudah lama kalau untuk
akhir-akhir ini sudah tidak ada lagi yang bercerai di desa kadu ti’is, maksudnya
130
perceraian di desa ini sudah jarang terjadi lagi. Data-data perceraian disini juga tidak
bisa dilegalisir karena kami tidak menginjikan memberikan baik dalam bentuk
legalisir ataupun foto copy kepada siapapun, saya takut desa kami dilacak oleh
pegawai Pengadilan atau siapapun