bab i pendahuluan i.1. latar...
TRANSCRIPT
15
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Dinamika penduduk di muka bumi semakin komplek ditandai dengan
adanya peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk yang terus
meningkat selaras dengan peningkatan kebutuhan penduduk, tingkat kepadatan
penduduk disuatu wilayah mempengaruhi aktifitas sosial ekonomi masyarakat
yang menuntut adanya ketersedian lahan sebagai konsekuensi dari pemenuhan
kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Pemerintah di negara maju maupun
negara yang sedang berkembang memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap penggunaan lahan yang selama ini diwujudkan dalam program
pembangunan. Pembangunan Nasional di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur secara material maupun spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Tujuan utama pembangunan daerah adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perencanaan pembangunan yang baik perlu melibatkan tokoh masyarakat,
swasta, dan birokrat/pemerintah. Menurut Jayadinata (1999) pembangunan dalam
suatu wilayah dapat dibagi dalam proyek produktif dan sosial. Proyek produktif
cenderung pada pembangunan fisik sehingga secara wujud nyata dapat dirasakan
secara langsung, sedangkan pembangunan sosial bersifat nonfisik, pembangunan
mental dan spiritual masyarakat sehingga tidak dapat dirasakan secara langsung
dalam kurun waktu yang pendek namun akan dapat dirasakan dalam jangka waktu
lama. Upaya yang dilakukan untuk mewujudkan tentu saja harus dilaksanakan
dengan bertahap sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunan yang diselaraskan
dengan dinamika kebutuhan masyarakat, disusun dengan senantiasa berpijak pada
kondisi, potensi, dan permasalahan yang ada serta harus berpihak pada kebutuhan
masyarakat. Program pemerintah yang selama ini dilakukan untuk pemenuhan
kebutuhan tempat tinggal yaitu dengan mendirikan perumahan. Pemenuhan
kebutuhan penduduk di suatu negara dapat dipenuhi dengan baik apabila
16
pembangunan dilaksanakan dengan baik. Berdasarkan fenomena tersebut dapat
diketahui bahwa secara umum manusia di manapun di dunia membutuhkan lahan,
sehingga lahan memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan manusia.
Usaha pemenuhan kebutuhan lahan terkandung berbagai permasalahan yang
berhubungan dengan dinamika kewilayahan dan dinamika sosial masyarakat
(penghuni).
Salah satu permasalahan mengenai lahan adalah semakin terbatas
pemenuhan kebutuhan akan lahan. Adanya kebutuhan ruang yang semakin
meningkat yang tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan, menyebabkan
perhatian orang untuk mencari lahan baru yang masih luas dengan harga yang
relatif murah. Berdasarkan pertimbangan tersebut masyarakat umumnya memilih
lokasi di daerah pinggiran kota atau desa yang notabene merupakan lahan agraris,
pilihan ini disebabkan ketersedian lahan didaerah pinggiran kota dan desa masih
luas dan harga lahan relatif murah dibandingkan dengan harga lahan di kota.
Akibat daerah pinggiran kota dan desa digunakan sebagai tempat tinggal atau
fungsi lain mengakibatkan lahan agraris semakin menyempit atau terjadi suatu
konversi penggunaan lahan. Makin gencarnya pengurangan lahan pertanian, akan
menimbulkan keraguan akan kemampuan intensitas pertanian dalam memberikan
nilai lebihnya dimasa yang akan datang (Yunus, 1991).
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul dapat
diketahui bahwa setiap tahun terjadi penyusutan secara terus menerus terhadap
lahan pertanian, Pada tahun 2003 lalu, sedikitnya 28,9 hektar sawah di Bantul
berubah fungsi menjadi lahan pekarangan. Perubahan itu meliputi izin perubahan
penggunaan tanah seluas 13,02 hektar, izin lokasi seluas 5,28 hektar, dan
pembentukan klarifikasi tanah seluas 10,62 hektar. Pada tahun 2004 telah terjadi
alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seluas 213.748 Ha.
sebagian penyusutan lahan pertanian ini disebabkan adanya pembangunan
pemukiman yang cukup tinggi. Pembangunan pemanfaatan lahan di Kabupaten
Bantul mengacu pada Perda No. 01 tahun 1994 tentang Rencana Umum Tata
Ruang Daerah Kabupaten Bantul yang menunjukkan pemanfaatan ruang wilayah.
17
Menurut data Kantor Menteri Perumahan Rakyat, kebutuhan perumahan
mengalami peningkatan dalam kurun waktu 10 tahun, pada tahun 1990 kebutuhan
perumahan sebanyak 202 ribu unit pertahun kemudian pada tahun 2000 kebutuhan
perumahan meningkat menjadi 300 ribu unit pertahun, rata-rata peningkatan
kebutuhan perumahan selama sepuluh tahun sebesar 49,7 %. Selama kurun waktu
27 tahun di wilayah Kabupaten Bantul terjadi peningkatan jumlah rumah sebesar
601 unit per tahun (Ritohardoyo, 2000). Pembangunan pemukiman yang cukup
tinggi sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk, berdasarkan data
penduduk tahun 2000 di wilayah Kabupaten Bantul jumlah penduduk mencapai
795.778 jiwa dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,88 %. Tingkat kepadatan
penduduk Kabupaten Bantul pada tahun 2000 mencapai 1.570 jiwa/km2, tiap
tahun rata-rata mengalami peningkatan kepadatan sebesar 0,98 %. mengenai
peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Bantul berada di
peringkat ketiga bila dibandingkan dengan kabupaten/kota yang ada di wilayah
DIY.
Pertimbangan pemilihan lahan dapat dipengaruhi juga oleh faktor
lingkungan alam, Peristiwa gempa yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 di
sebagian Bantul, selama 52 detik dengan skala 5,9 skala richter berakibat
kerusakan bangunan dan korban jiwa. Pusat gempa berada pada kedalaman 35 km
dari permukaan tanah, dan berada pada posisi 8,030 LS 110,32
0 BT. Wilayah
yang tergolong mengalami kerusakan berat antara lain Kecamatan Pleret, Jetis,
dan Imogiri, Adanya kerusakan bangunan yang hampir merata di seluruh wilayah
Bantul perlu penanganan yang serius dan berkelanjutan dari semua pihak baik
pemerintah dan instansi terkait. Rekontruksi bangunan yang rusak akibat gempa
sudah berjalan, bantuan dana rekontruksi baik dari pemerintah maupun lembaga
terkait di berikan dengan tujuan untuk meringankan beban masyarakat, besar
bantuan disesuai dengan tingkat kerusakan bangunan, adanya proses rekontruksi
dapat berpengaruh pada perubahan bentuk dan fungsi bangunan, sebagian besar
bangunan mengalami perubahan bentuk hanya sebagian kecil saja yang tidak
berubah, bahkan terjadi perubahan fungsi bangunan yang disesuaikan dengan
18
kebutuhan, dilihat secara makro terjadi perubahan persebaran pola spasial
dikarenakan adanya perubahan penggunaan dan perpindahan lokasi yang
dipandang lebih aman dari ancaman bencana,
Adanya permasalahan yang tersebut di atas maka diperlukan sebuah
kebijakan bersama sebagai penentu arah dalam mencapai tujuan dan sasaran serta
cara yang dilakukan dalam pengelolan lahan. Konversi penggunaan lahan
pertanian diidentikkan dengan kenampakan fisik yang menunjukkan semakin
bertambahnya daerah terbangun. Perkembangan fisikal spasial dari waktu ke
waktu, khususnya perkembangan secara horizontal sentrifugal telah
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan batas fisikal morfologi daerah
terbangun, sehingga batas fisikal morfologi terlihat sangat dinamis. Perubahan
penggunaan lahan baik yang diakibatkan dari faktor alam maupun faktor aktivitas
sosial ekonomi masyarakat perlu dilakukan pemantauan, hasil dari pemantauan
ini bertujuan sebagai salah satu bahan masukan dalam pembangunan. Pemantauan
ini akan lebih baik bila dilakukan secara periodik, sebagai salah satu
konsekuensinya pemantauan yang bersifat periodik dibutuhkan data kewilayahan
yang up to date dan mampu memberikan informasi kewilayahan yang cukup
akurat. Perolehan data kewilayahan dapat diperoleh melalui pengukuran terestrial
dan pemanfaatan data penginderaan jauh. Data penginderaan jauh sebagai produk
teknologi penginderaan jauh baik foto udara maupun citra dapat dijadikan sebagai
salah satu alternatif sumber data. Rekaman yang diperoleh dari jarak jauh
memberikan informasi yang serupa dengan pengamatan di udara mengenai
permukaan bumi. Informasi yang diperoleh memiliki cakupan wilayah yang luas
dan lebih banyak bila dibandingkan dengan pengamatan langsung dilapangan.
Data penginderaan jauh dikenal cukup akurat dalam memberikan informasi
permukaan bumi.
Foto udara dan citra Ikonos merupakan salah satu data penginderaan jauh
yang memiliki kemampuan penyajian data yang detail karena memiliki resolusi
spatial yang tinggi. Foto udara memiliki beberapa kelebihan yaitu caranya yang
sederhana, relatif murah, resolusi spatial baik dan integritas geometrinya baik, dan
19
yang sangat menguntungkan adalah foto udara dapat menggambarkan ujud dan
letak obyek yang mirip dengan yang ada di permukaan bumi, serta meliputi
daerah yang luas dan permanen ( Sutanto, 1986). Kelebihan data penginderaan
jauh yang memiliki resolusi spatial yang tinggi dapat memberikan informasi
permukaan bumi khususnya informasi penggunaan lahan dengan lebih detail.
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan satu kesatuan perangkat lunak yang
digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan
membuat keluaran suatu informasi yang terkait dengan unsur geografis beserta
atribut-atributnya (Prahasta, 2001). Konversi lahan pertanian menjadi pemukiman
dapat diketahui dengan analisis multitemporal yaitu membandingkan dua data
penggunaan lahan dari tahun yang berbeda sehingga akan dapat diketahui
perubahan yang terjadi. Pemanfaatan data penginderaan jauh dan keunggulan
Sistem Informasi Geografis diharapkan mampu membantu mempermudah dalam
analisis multitemporal khususnya dalam teknik overlay untuk mengetahui
konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian
I.2. Perumusan Masalah
Lahan memiliki kedudukan yang penting dalam memenuhi salah satu
kebutuhan dasar manusia. Salah satu permasalahan mengenai lahan adalah
semakin terbatas pemenuhan kebutuhan akan lahan, dinamika dan pertumbuhan
penduduk yang terus meningkat berdampak pada peningkatan kebutuhan
penduduk yang meningkat, Laju pertumbuhan penduduk yang cepat
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang, baik sebagai tempat tinggal
maupun untuk fungsi lainnya. Kebutuhan ruang yang semakin meningkat tidak
diimbangi dengan ketersediaan lahan, menyebabkan perhatian orang untuk
mencari lahan baru yang masih luas dengan harga yang relatif murah. Akhir-akhir
ini banyak kompleks pemukiman dan pusat-pusat aktifitas ekonomi maupun
pemerintahan yang di bangun di daerah pinggiran dan di desa, pilihan ini
disebabkan ketersedian lahan didaerah pinggiran kota dan desa masih luas dan
harga lahan relatif murah dibandingkan dengan harga lahan di kota, berkurangnya
lahan pertanian merupakan indikasi adanya proses perubahan lahan, sehingga di
20
pandang dari sisi penggunaan lahan akan terjadi suatu konversi lahan. Proses
konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian mengakibatkan sektor produksi
pangan akan berkurang disamping itu akan terjadi proses perubahan lapangan
kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian.
Pembangunan wilayah yang sangat pesat khususnya di wilayah
Kecamatan Bantul khususnya di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) V sangat
perlu dilakukan pemantauan, proses konversi lahan pertanian menjadi
nonpertanian tidak terjadi secara otomatis tetapi didorong oleh faktor-faktor lain
yang mempengaruhi, dalam menganalisis konversi lahan dapat memanfaatkan
data primer dan sekunder, proses konversi lahan dapat membentuk suatu pola
tertentu sehingga salah satu pemantauan ini dapat dilakukan dengan melihat pola
konversi lahan, pola konversi lahan dapat dipetakan sekaligus dapat diketahui
faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi.
Foto udara atau citra yang memiliki resolusi yang tinggi dapat
memberikan gambaran obyek yang lebih detail. Setiap obyek yang tidak tertutup
obyek lain akan terekam, ujud dan letak mirip dengan keadaan sebenarnya
dilapangan. Pada saat ini salah satu produk dari teknik penginderaan jauh yang
memiliki resolusi spasial yang baik adalah foto udara. Foto udara dapat
menggambarkan ujud dan letak obyek yang mirip dengan yang ada di permukaan
bumi, serta meliputi daerah yang luas dan permanen. Teknik perolehan data
dengan pemanfaatan penginderaan jauh dapat memberikan salah satu alternatif
untuk inventarisasi lahan di suatu daerah yang cukup luas salah satunya data
penggunaan lahan. Pemanfaatan data penginderaan jauh dan sistem informasi
geografis (SIG) dapat digunakan untuk mengetahui variabel-variabel yang
mempengaruhi konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian dan dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui hubungan antar variabel-variabel kaitannya
dengan proses konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian.
21
Dari hal-hal tersebut diatas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan :
1. Bagaimana teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis
(SIG) dapat digunakan untuk mengkaji konversi lahan pertanian menjadi
nonpertanian?
2. Bagaimana distribusi pola konversi lahan pertanian menjadi
nonpertanian secara keruangan dan temporal?
3. Bagaimana analisis kualitatif mengenai hubungan faktor-faktor pengaruh
dengan hasil konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian yang ada di
daerah penelitian?
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka penulis ingin
melaukan penelitian dengan judul “Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh
Untuk Kajian Konversi Lahan Pertanian Menjadi Nonpertanian Di
Sebagian Wilayah Kabupaten Bantul”.
I.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian dengan
menggunakan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis.
2. Mengetahui distribusi pola konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian
secara keruangan dan temporal
3. Mengetahui hasil analisis kualitatif mengenai hubungan faktor-faktor
pengaruh dengan konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian yang
terjadi di daerah penelitian
I. 5. Kegunaan Penelitian
1. Menambah pemahaman dan pengetahuan tentang penginderaan jauh dan
Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk analisis konversi penggunaan
lahan.
2. Memberikan informasi mengenai konversi lahan pertanian menjadi
pemukiman, sehingga dapat dijadikan salah satu masukan dalam
perencanaan pembangunan.
22
I.6. Sasaran Penelitian
Penelitian ini diarahkan terutama dalam hal pengenalan obyek pada foto
udara dan citra IKONOS, dengan metode visual menggunakan kunci interpretasi.
Obyek yang diinterpretasi antara lain penggunaan lahan, aksesibilitas serta
kelengkapan utilitas umum. Sasaran lain adalah penekanan metode analisa
menggunakan Sistem Informasi Geografis. Data yang telah dihasilkan oleh
metode penginderaan jauh diolah dengan software SIG, overlay merupakan
metode yang akan digunakan dalam penelitian kali ini.
I.7. Telaah Pustaka
I.7.1. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
mengenai tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang
diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek,
daerah, atau gejala yang diteliti tersebut. Teknik penginderaan jauh merupakan
teknik pengumpulan data dan informasi tentang obyek atau gejala dipermukaan
bumi dengan menggunakan sensor tanpa ada hubungan langsung dengan obyek
atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994).
Sumber tenaga dalam teknik penginderaan jauh berupa tenaga aktif dan
tenaga pasif. Sumber tenaga aktif adalah sumber tenaga elektromagnetik yang
dihasilkan dari sensor pada wahana yang dipencarkan ke obyek di bumi kemudian
tenaga tersebut dipantulkan sebagai gelombang elektromaknetik yang di terima
oleh sensor pada wahana penginderaan jauh, sedangkan sumber tenaga pasif
adalah sumber tenaga yang dihasilkan dari pencaran sinar matahari atau sumber
tenaga alamiah lainnya yang kemudian di pantulkan oleh obyek di permukaan
bumi sebagai gelombang elektromagnetk yang dapat diterima oleh sensor pada
wahana. Sistem penginderaan jauh juga dapat bekerja dengan satu atau lebih
panjang gelombang pada spektrum tampak, inframerah, inframerah thermal serta
gelombang radio (Lillesand dan Kiefer, 1994).
23
Atmosfir memiliki pengaruh yang besar dalam proses interaksi tenaga
elekromaknetik yang dipancarkan dari wahana yang kemudian dipantulkan oleh
obyek yang ada dipermukaan bumi, banyak terjadi interaksi antara gelombang
elektromagnetik dengan atmosfer. Interaksi tersebut dapat berupa pantulan,
serapan, dan hamburan, jendela atmosfer berperan sebagai media pengantar
tenaga yang berasal dari matahari atau sumber tenaga lain dipencarkan atau
dipantulkan dari obyek yang ada dipermukaan bumi, hanya sedikit tenaga yang
mampu di terima kembali oleh wahan sensor.
Setiap obyek yang ada di permukaan bumi memiliki karakteristik atau sifat
masing-masing, perbedaan karakteristik ini disebabkan pengaruh tenaga yang
berinteraksi dengan obyek, interaksi tenaga dengan obyek dapat berupa pantulan,
serapan mapun terusan. Berdasarkan karakteristik perlakuan obyek dengan tenaga
yang mengenainya maka setiap obyek dapat dikenali dengan melihat panjang
gelombang elektromagnetik dari obyek yang dapat diterima oleh sensor.
Gelombang ektromagnetik yang dipantulkan oleh obyek yang ada di permukaan
bumi diterima oleh sensor. Tiap sensor telah dirancang untuk menerima
gelombang elektromaknetik yang berbeda-beda spesifikasinya, setiap sensor
memiliki karakteristik kepekaan terhadap bagian spektrum elektromagnetik
tertentu, sensor juga memiliki kemapuan yang berbeda-beda dalam merekam
obyek terkecil yang masih dikenali dan dibedakan dengan obyek lainnya. Hasil
dari teknik penginderaan jauh berupa data penginderaan jauh yang lebih dikenal
dengan data citra penginderaan jauh. Berdasarkan sensor yang digunakan dalam
teknik penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi citra foto dan citra nonfoto.
Citra foto adalah jenis data penginderaan jauh yang diperoleh dengan
menggunakan spektrum tampak dan perluasannya, sedangkan citra nonfoto
menggunakan spektrum tampak dan perluasannya thermal dan gelombang mikro.
(Sutanto, 1994).
Penginderaan jauh fotografik yaitu sistem penginderaan jauh yang didalam
merekam obyek menggunakan kamera sebagai sensor, menggunakan film sebagai
detektor dan menggunakan tenaga elektromagnetik yang berupa spektrum tampak
dan atau perluasannya. (Sutanto, 1992). Pada saat telah banyak dikembangkan
24
kamera digital, pada kamera digital perekaman obyek dilakukan dengan kamera
digital sebagai sensor yang bekerja seperti scanner pada perekaman citra. Tenaga
elektromagnetik yang dipantulkan oleh obyek ditangkap dan direkam dalam
bentuk sinyal elektrik yang kemudian diubah dalam bentuk nilai digital,
pengolahan dilakukan secara elektronik menggunakan bantuan komputer.
Berdasarkan kepekaan film maka foto udara dapat dbedakan atas : (1) foto
ultraviolet, (2) foto ortokromatik, (3) foto pankromatik hitam putih, (4) foto
pankromatik berwarna, (5) foto inframerah hitam-putih, (6) foto inframerah
berwarna, (7) foto multispektral dan (8) foto jenis lainnya.
I.7.2. Karakteristik Data Penginderaan Jauh
a. Karakteristik Foto Udara
Perekaman obyek dilakukan dengan menggunakan kamera yang berfungsi
sebagai sensor sedangkan film dijadikan sebagai detektor. Energi yang digunakan
berupa tenaga elektromagnetik yang berupa spektrum tampak. Film pankromatik
peka terhadap 0,36 µm - 0,72 µm. kepekaannya hampir sama dengan mata
manusia, adanya kepekaan yang hampir sama dengan mata manusia sehingga
kesan ronanya sama dengan kesan mata yang melihat obyek aslinya Colwell dan
Lo 1976. (dalam Sutanto,1986). Foto udara berisi data fotografik mentah yang
harus diolah terlebih dahulu agar dapat menghasilkan informasi yang berguna.
Film pankromatik hitam putih memiliki empat keunggulan, yaitu :
1. Kesan rona obyek serupa dengan kesan mata yang memandang obyek
aslinya karena kepekaan film sama dengan kepekaan mata manusia.
2. Resolusi spasialnya halus, resolusi spasial yang halus memungkinkan
pengenalan obyek yang berukuran kecil.
3. Stabilitas dimensional tinggi sehingga banyak digunakan dalam bidang
fotogrametri.
4. film pankromatik hitam putih telah lama dikembangkan sehingga orang
telah terbiasa menggunakannya.
25
Pada penelitian kali ini informasi mengenai penggunaan lahan di peroleh
melalui interpretasi foto udara yang telah dibuat mosaik, Foto udara mosaik
adalah serangkaian foto daerah tertentu yang disusun menjadi satu lembar foto
(Sutanto, 1986). Mosaik foto udara dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Mosaik Terkontrol
Mosaik terkontrol merupakan susunan dari foto udara yang telah
mengalami rektifikasi dan ratioing, rektifikasi di maksudkan untuk
menghilangkan kesalahan disebabkan karena kemiringan pesawat
(kemiringan sumbu kamera atau topografi yang kasar), sedangkan
ratioing adalah menyeragamkan skala pada semua bagian foto.
2. Mosaik Tidak Terkontrol
Mosaik tidak terkontrol merupakan susunan dari foto udara yang tidak
mengalami proses rektifikasi dan ratioing, mosaik tidak terkontrol
tidak dapat digunakan untuk pegukuran maupun untk kepentingan
fotogrametri namun dapat digunakan untuk mengetahui gambaran
suatu obyek atau wilayah secara umum.
3. Mosaik Setengah terkontrol
Mosaik setengah terkontrol merupakan susunan dari foto udara yang
merupakan kombinasi dua bentuk mosaik terkontrol dan mosaik tidak
terkontrol, mosaik setengah terkontrol disusun dengan menggunakan
titik kontrol medan namun tanpa rektifikasi dan retioing atau tersusun
dengan rektifikasi dan retioing namun tanpa titik kontrol medan.
b. Karakteristik Citra Ikonos
Satelit Ikonos dibuat oleh perusahaan kontruksi satelit Lockheed Martindi
Sunnyuale, California, Amerika Serikat. Satelit ini memiliki ukuran 1,8 m x 1,6
m, dengan berat 720 Kg (Space Imaging, 2002) direncanakan akan beroperasi
selama 7 th. Sumber energi satelit dihasilkan oleh 3 buah Sollar array yang
menghasilkan daya sebesar 1100 watt. satelit Ikonos diluncurkan oleh badan
ruang angkasa komersial Amerika Serikat Space Image, memiliki sensor berupa
kamera digital yang dapat menghasilkan dalam bentuk pankromatik dan
26
multispektral, Kamera digital yang digunakan sebagai sensor dibuat oleh Eastman
Kodak Company dari Rochester New York Amerika Serikat, Kamera digital
satelit Ikonos memiliki panjang fokus 10 m dengan dilengkapi 3 buah cermin
anastigmal yang memiliki kemampuan fokus dan refokus pada orbit. Detektor
pankromatik dan multispektral dilengkapi anti blooming. Sensor pankromatik
satelit Ikonos berisis 13,816 detektor dengan 5 buah ground common double time
deleyed integration (TDI) merupakan model untuk mengatur besar kecilnya
pemasukan cahaya pada saat eksposure dengan perubahan yang tinggi. Detektor
pankromatik dilengkapi dengan anti-blooming circuiritry untuk membatasi
adanya kerusakan/kesalahan (blooming) hingga 1,5 kali maksimum penyiaman
cahaya untuk setiap 1 piksel. Persyaratan detektor yang dioperasikan kurang dari
atau sama dengan 0,1 %, persyaratan pada sistem akurasi radiometriknya adalah
10 % absolute (meaning temporally) 10 % relative dari piksel ke piksel.
Tinggi orbit 681 km dengan type orbit sun synchronous yang hampir
polar, sudut inklinasi satelit 98,10
dengan kecepatan 7 km per detik, mampu
melakukan perekaman untuk daerah sepanjang 1000 km dan mosaik yang dapat
dibentuk mencapai luas 12.000 km2 sesuai dengan kapasitas memori yang
dimiliki. Satelit mampu melakukan off-nadir pointing dengan sudut sapuan
mencapai 51 m, sehingga mampu mengambil data dengan panjang 13 m x 13 m
sedangkan cakupan yang berada tepat dibawah kamera sebesar 11 km x 11 km.
sehingga mampu menghasilkan citra sterioskopik, resolusi spasial yang dihasilkan
dari pankromatik sebesar 1 m sedangkan untuk multispektal sebesar 4 m, sensor
mampu menghasilkan citra dengan resolusi radiometrik 8 bit-11 bit sehingga
memiliki tingkat keabuan atau ketajaman yang baik. Data yeng terekam disimpan
dalam memori dengan kapasitas memori 64 gigabyte, kemudian ditransfer
kestasiun penerima di bumi dengan kemampuan transfer data sebesar 320
megabyte/detik sebelum pengiriman data dilakukan pengkompresian sampai lebar
band 2,6 kemudian dikirim ke bumi.
27
I.7.3. Interperetasi Foto Udara Pankromatik dan Citra Ikonos
Data penginderaan jauh akan dapat dimanfaatkan setelah melalui tahap
interpretasi, tranformasi semantik bertujuan untuk memberikan informasi dari
hasil ekstraksi data penginderaan jauh melalui proses interpretasi, fokus utama
dari proses interpretasi adalah pengenalan obyek. Interpretasi penginderan jauh
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara manual dan digital. Proses
interpretasi dapat dilakukan dengan bantuan kunci interpretasi sehingga
diharapkan dapat mempermudah dan mempercepat proses interpretasi.
Foto Udara dan Citra Ikonos memiliki resolusi spasial yang baik, untuk
mempermudah dalam proses interpretasi dapat menggunakan bantuan kunci
interpetasi. Unsur-unsur kunci interpretasi yang digunakan antara lain :
1. Rona/Warna (tone/color)
Rona adalah tingkat kegelapan atau kecerahan obyek pada citra. Warna
merupakan tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra,
tetapi leih bervariasi dan beraneka sesuai banyaknya warna (Sutanto,
1986).
2. Ukuran (size)
Karakteristik ukuran dari suatu obyek yang dinyatakan dalam jarak,
luas, tinggi dan volume. Ukuran dapat dijadikan salah satu
pertimbangan dalam interpretasi obyek.
3. Bentuk (shape)
Bentuk merupakan kunci interpretasi yang memeberikan kerangka atau
konfigurasi pada obyek (Sutanto, 1986).
4. Tekstur (texture)
Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona pada citra. (Lillesand dan
Kiefer, 1979).
5. Pola
Pola ialah hubungan susunan spatial obyek, pengulangan bentuk
umum tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak
obyek alamiah maupun bangunan dan akan memberikan suatu pola
28
yang membantu penafsir untuk mengenali obyek tersebut. (Lillesand
dan Kiefer, 1979).
6. Bayangan (shadow)
Bayangan dihasilkan dari cahaya yang terhalang obyek sehingga
menghasilkan daerah yang gelap. Bentuk atau kerangka dari bayangan
dapat memberikan profil suatu obyek dan obyek di bawah bayangan
hanya dapat memantulkan sedikit cahaya serta sukar diamati pada foto.
7. Situs (site)
Situs bukan merupakan ciri obyek secara langsung melainkan dalam
kaitannya dengan lingkungan sekitarnya (Sutanto, 1986).
8. Asosiasi
Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan suatu obyek yang satu
dengan obyek lain (Sutanto, 1986).
I.7.4. Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan satu kesatuan perangkat
lunak yang digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi,
menampilkan, dan membuat keluaran suatu informasi yang terkait dengan unsure
geografis beserta atribut-atributnya (Prahasta, 2001), Sistem Informasi Geografis
(SIG) merupakan sistem informasi yang didesain untuk mengolah data berkenaan
dengan koordinat geografis atau keruangan. SIG adalah suatu sistem basis data
dengan kemampuan khusus untuk data yang berkenaan dengan keruangan dan
juga seperangkat operasi untuk mengolah data. SIG juga merupakan alat atau
sarana analisis spasial yang sangat bermanfaat untuk menurunkan informasi baru
berdasarkan sekumpulan data spasial tematik, baik secara konvensional, dan atau
dengan bantuan komputer.
SIG merupakan suatu sistem berbasis komputeryang digunakan untuk
menyimpan dan memanipulasi informasi geografis. SIG dirancang untuk
mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisa obyek dan fenomena dimana
referensi geografis merupakan karakteristik yang penting untuk analisa. (Arranof,
29
1981). Komponen SIG terdiri dari beberapa subsistem yang dapat digunakan
untuk memasukkan data, menyimpan dan mengeluarkan informasi yang
diperluakan. Masukan data merupakan fasilitas di dalam SIG yang dapat
digunakan untuk memasukkan data dan merubah bentuk data asli ke bentuk yang
dapat diterima dan dapat dipakai dalam SIG. subsistem pengelolaan data pada
dasarnya dapat dimanfaatkan untuk menghimpun atau menarik kembali dari arsip
data dasar. Manipulasi dan analisis data, subsistem ini berguna untuk
membedakan data yang akan diproses dalam SIG dan dapat digunakan untuk
merubah format data. Keluaran data berfungsi utuk menayangkan informasi atau
hasil analisis data geografis secara kualitatif yang dapat disajikan dalam bentuk
peta atau tabel data statistik. Menurut Arronof, (1981), proses yang terjadi dalam
SIG meliputi :
1. Masukan data
Masukan data merupakan tahap awal sebelum data dilakukan tahap
pemrosesan, ada beberapa macam metode untuk melakukan input data,
antara lain dengan cara digitasi dan pelarikan. Proses digitasi adalah
mengubah data grafis analog menjadi data grafis digital. Proses pelarikan
merupakan cara input data dengan cara mengubah data grafis kontinu
menjadi data grafis diskrit yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar
(piksel)
2. Pemrosesan Data
Pemrosesan data dalam SIG terdiri atas proses manipulasi dan anlisis data
(spasial) untuk menghasilkan informas baru.
3. Keluaran Data
Hasil dari tahap pemrosesan akan menghasilkan data baru atau informasi
baru. Informasi baru ini dapat ditampilkan dalam bentuk soft copy maupun
bentuk cetak (hard copy).
30
Menurut Suharyadi dan Retnadi Heru (1993), ada dua jenis data yang
dapat diproses dalam SIG, yaitu :
1. Data grafis
Data grafis merupakan data yang berupa kenampakan yang berupa fisik
seperti titik, garis dan area.
titik, merupakan kenampakan tunggal dari koordinat x dan y yang
menunjukkan posisi dari suatu obyek.
garis, merupakan sekumpulan titik yang membentuk suatu
kenampakan memanjang atau terus menerus seperti jalan, sungai,
dan garis kontur.
area, merupakan kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang
membentuk ruang homogen seperti danau, batas propinsi, dan
batas penggunaan lahan.
2. Data attribut
Data attribut merupakan informasi dari suatu data grafis (titik, garis, area)
yang disimpan dalam format data tabel.
Pemanfaatan SIG pada saat ini telah meliputi berbagai bidang dan
aktivitas, SIG dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan yang bersifat
keruangan, Aplikasi SIG dapat melakukan pemodelan spasial, analisis maupun
identifikasi antar variabel-variabel yang dipetakan.
I.7.4. Penggunaan Lahan dan Problematika Konversi Lahan
Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik
secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya
alam dan sumber daya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan
tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik materiil maupun spiritual ataupun
kebutuhan kedua-duanya (Malingreau, 1978). Dalam kehidupan sehari-hari orang
mempunyai kaitan erat dengan lahan karena lahan memiliki nilai fisik, sosial dan
ekonomi. Lahan diperlukan sebagi tempat berdirinya prasarana untuk
melaksanakan berbagai kegiatan sosial dan ekonomi tertentu. Bentuk-bentuk
31
peggunaan lahan dapat berupa unsur-unsur alami maupun unsur-unsur hasil cipta
karya manusia yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Pada dasarnya
hubungan interaksional makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya merupakan
interaksi ekologi, menurut Haggett (1965) perhatian keterkaitan manusia dengan
lingkungan alam terarah pada sitem ekologi yaitu menekankan pada keterkaitan
manusia dengan lingkungan dan sitem keruangan yang menekankan antar
hubungan wilayah dalam hubungan timbal balik.
Kajian mengenai penggunaan lahan seringkali mengacu pada kenyataan
penggunaan lahan ada saat ini, aktivitas manusia yang bersifat dinamis secara
tidak langsung dapat mempengaruhi bentuk-bentuk penggunaan lahan yang sering
kali mengalami perubahan, kajian penggunaan lahan tidak hanya berkisar pada
penggunaan lahan pada saat ini namun dapat dikembangkan untuk kajian
perubahan penggunaan lahan. Kajian penggunaan lahan merupakan kajian
lingkungan geografi, termasuk bagian dalam perwujudan hubungan manusia
dengan lingkungan, yang menekankan pada pola-pola penggunaan lahan dan
persebarannya. Penggunaan lahan memiliki sifat yang kompleks, perbedaan
kompleksitas dipengaruhi faktor alam dan aktivitas sosial masyarakat, untuk
mempermudah dalam inventarisasi penggunaan lahan dibutuhkan
pengelompokkan, penggolongan atau klasifikasi, klasifikasi penggunaan lahan
sangat penting dalam inventarisasi penggunaan lahan. Klasifikasi membagi-bagi
kenampakan menjadi unit-unit tertentu yang dapat diatur, dengan adanya
klasifikasi dapat mempermudah dalam memperoleh suatu bahasan dan pengertian
mengenai tata guna lahan, informasi yang diperoleh berupa informasi kultural dan
informasi secara alami. Adanya klsifikasi akan memberikan batasan yang jelas
dalam pembagian klas-klas penggunaan lahan, namun demikian dalam
penerapannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan.
Konversi penggunaan lahan adalah perubahan penggunaa lahan dari suatu
sektor ekonomi ke ekonomi yang lain, konversi penggunaan lahan dalam cakupan
wilayah luas merupakan fungsi kawasan (Budi, 2001). Konversi lahan dapat
32
dipengaruhi oleh bermacam faktor baik faktor fisik maupun faktor sosial ekonomi
budaya, Faktor fisik berkaitan dengan keadaan topografi, struktur geologi,
geomorfologi, perairan, dan tanah. Faktor-faktor non fisik antara lain kegiatan
penduduk, urbanisasi, peningkatan kebutuhan akan ruang, peningkatan jumlah
penduduk, perencanaan tata ruang, peraturan pemerintah dan lain sebagainya.
Penelitian ini difokuskan pada faktor sosial ekonomi yang lebih dipandang
dapat mempengaruhi konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian meliputi
kepadatan penduduk, kepadatan jalan dan persentase jumlah pekerja nonagraris
terhadap jumlah pekerja bidang agraris. Faktor kependudukan mengacu pada
perspektif demografi, dimana jumlah penduduk khususnya di negara berkembang
seperti di Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan jumlah penduduk regional
yang masih jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan
tingkat nasional. Pertambahan penduduk yang terus-menerus membawa
konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan, Sejalan dengan peningkatan
jumlah penduduk, peningkatan kebutuhan hidup dalam aspek politik, ekonomi,
sosial, budaya dan teknologi telah berdampak pada peningkatan kegiatan
penduduk. Kegiatan penduduk yang semakin bertambah sebagai akibat
peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan kehidupan masyarakat telah
mengakibatkan meningkatnya volume kebutuhan lahan untuk kegiatan penduduk.
Ketersedian ruang tetap dan terbatas sedangkan kebutuhan ruang untuk tempat
tinggal dan kegiatan penduduk semakin meningkat sehingga terjadi ketidak
seimbangan pemenuhan kebutuhan lahan. Konsekuensi keruangan sangat jelas
yaitu meningkatnya tunutan akan ruang untuk mengaomodasi sarana atau struktur
fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Perkembangan fisik pada hakekatnya terjadi di dua wilayah, yaitu bagian
dalam kota dan bagian pinggiran, perkembangan fisik di dalam kota berupa
bertambanya kepadatan bangunan, sedangkan perkembangan fisik yang terjadi di
bagian pinggiran berupa ekspansi kota ke daerah pinggiran kota. Pemekaran
wilayah di suatu kawasan menjadi propinsi atau kabupaten baru, akan
33
menumbuhkan suatau kawasan pertumbuhan baru yang membutuhkan lahan
untuk permukiman, perkantoran, lahan jasa dan kawasan industri. Permasalahan
yang dihadapi pemerintah adalah keterbatasan lahan persediaan ruang yang dapat
dimanfaatkan untuk mengakomodasikan sarana-prasarana kegiatan baru. Sebagian
besar kebutuhan akan ruang yang belum bisa dibangun akibat kelangkaan ruang
maupun tingginya harga lahan di wilayah kota akan mengalihkan perhatian di
bagian pinggiran kota yang ketersediaan lahannya masih banyak khususnya lahan
pertanian disisi lain akibat hilangnya lahan pertanian di daerah pingiran
berdampak pada hilangnya sumber daya lahan pertanian sebagai sumber utama
penghasilan pangan utama.
Adanya ketidak seimbangan ini berdampak pada pengambil alihan atau
terjadi konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian baik digunakan
sebagai tempat tinggal atau fungsi lain. Akibat yang ditimbulkan adalah jumlah
penduduk di daerah pinggiran kota dan desa semakin bertambah disisi lain lahan
agraris semakin menyempit. Konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian
terjadi terutama di wilayah yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi
yaitu di daerah pinggiran kota sebagian besar perubahan penggunaan lahan berupa
perubahan dari penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman, Menururut
Direktur Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian
melaporkan selama kurun waktu 10 tahun (1983-1993), lahan sawah berganti
menjadi kawasan permukiman dan kegiatan usaha lainnya, lahan sawah yang
beralih fungsi sebesar 400.000 hektar (Kompas, 01/5/2004).
Variasi keruangan dan lingkungan yang terdapat di pinggiran kota akan
menyebabkan variasi akselerasi perkembangan perkembangan spasial yang
terjadi, makin banyak dan kuat faktor-faktor yang mempengaruhi maka akan
semakin cepat pula proses perkembangannya. Peranan aksesibilitas, sarana
prasarana transportasi, ketersediaan fasilitas umum juga memiliki peranan yang
besar dalam membentuk variasi ekspresi konversi lahan atau proses perluasan
areal kekotaan (urban sprawl). Lahan yang memiliki akses jalan, ketersediaan
34
fasilitas dan letak strategis cenderung lebih cepat mengalami perubahan atau
perkembangan dibandingkan dengan lahan yang berada di daerah yang tidak ada
akses jalan, lokasi yang tidak strategis, dan ketersediaan fasilitas yang kurang
memadai, pembangunan infrastruktur berupa jalan dapat memacu konversi lahan,
laju pertumbuhan pembangunan jalan di Jawa pada periode 1981-1990 mencapai
7,52 %.
Menurut Lee,1979 dalam hadi sabari yunus mengemukakan bahwa
terdapat 6 faktor yang memiliki pengaruh kuat terhadap proses perkembangan
ruang secara secara sentrifugal dan sekaligus akan mencerminkan variasi
intensitas perkembangan ruang di daerah pinggiran, keenam factor tersebut ialah
(a) Faktor aksesibilitas (accessibility); (b) factor pelayanan umum (public
services);(c) karakteristik lahan (land charackteristicts); (d) karakter pemilik
lahan (land owners characteristics); (e) keberadaan peraturan-peraturan yang
mengatur tata guna lahan (regulatory measures) dan (f) prakarsa pengembang
(developer’s initiatives.)
1.7.7. Pola Keruangan
Konversi lahan ini memiliki pola atau ekspresi yang bervariasi. Ekspresi
keruangan ini sebagian terjadi melalui proses-proses tertentu yang dipengaruhi
oleh fakor fisik dan nonfisik. Menurut Russwurm (1980) terdapat 7 faktor utama
yang dapat mempengaruhi terhadap ekspresi keruangan konversi lahan atau proses
perluasan areal kekotaan (urban sprawl), yaitu : (1) pertumbuhan penduduk
(population growth); (2) persaingan memperoleh lahan (competition for land); (3)
hak-hak kepemilikan lahan (property rights); (4) kegiatan “developers”
(developers activities); (5) perencanaan (planning controls); (6) perkembangan
teknologi (technological development); (7) lingkungan fisik (physical
environment). Pola (pattern) sangat erat kaitannya dengan metode pendekatan
keruangan (spatial approach), dalam pendekatan keruangan meliputi tiga aspek
utama yaitu pola keruangan, struktur keruangan dan proses keruangan.
35
Pola keruangan dikelompokkan dalam tiga jenis kenampakan yaitu
kenampakan titik, kenampakan garis dan kenampakan bidang.
1. Pola Kenampakan Titik
Pola kenampakan titik adalah kekhasan distribusi titik-titik tertentu dalam
ruang, tiga jenis distribusi titik-titik yaitu distribusi acak, distribusi teratur
dan distribusi klaster (mengelompok).
2. Pola Kenampakan Garis
Pola kenampakan garis adalah jalinan keruangan dengan kenampakan
linier atau peraliran dalam ruang atau wialayah tertentu. Beberapa jenis
pola peraliran antara lain pola dendritik, pola pararel, pola trellis, pola
rectangular dan pola annular.
3. Pola Kenampakan Bidang
Pola kenampakan bidang dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu pola tersirat
(implicit pattern) dan pola tersurat (explicit pattern). Pola tersirat adalah
pola keruangan bidang yang terangkai dengan system titik-titik, garis
maupun gabungan dari keduanya. Pola tersurat adalah pola keruangan
bidang yang telah jelas batas-batasnya.
Secara garis besar ada 3 macam proses perluasan area terbangun :
1. Tipe Konsentris ”lowdensity, continous development” oleh Harvey Clark
(1971) atau “concentric development” oleh Wallace (1980).
Perembetan berjalan secara berlahan-lahan terbatas pada semua bagian-
bagian luar kenampakan fisik, perembetan ini merupakan perembetan yang
paling lambat sifat perembetan yang yang merata hampir di bagian luar
kenampakan yang sudah ada, maka tahap berikutnya akan membentuk
seatu kenampakan morfologi yang relatif kompak, proses perembetan ini
tidak banyak terpengaruh dengan adanya fasilitas transportasi, jadi bisa
dikatakan perembetan yang paling lambat.
36
: City core
: New development of urban land uses
Gambar 1.1
2. Tipe Merembet Memanjang (ribbon development/linear development/axial
development)
Pada perembetan tipe memanjang menunjukkan perembetan kenampakan
fisik yang tidak merata disemua bagian sisi-sisi luar dari daerah utama.
Tipe ini berkembang sejalan dengan jalur transportasi, sehingga peran
aksesibilitas jalan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan tipe
merembet memanjang. Daerah disepanjang rute trnsportasi utama
memiliki tekanan paling berat dari perkembangan bangunan, harga lahan
yang mengalami kenaikan membumbung tinggi dapat mempengaruhi
sikap para petani untuk menjual lahan atau akan terjadi proses konversi
perubahan lahan pertanian menjadi nonpertanian.
: City core
: New development of urban land uses
Gambar 1.2
37
3. Tipe Meloncat (leap frog development/creckerboard development)
Tipe perkembangan ini oleh sebagian dari pakar lingkungan di anggap
paling merugikan, tidak efisien dalam pengertian ekonomi, tidak memiliki
arti estetika dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi
berpencaran secara sparadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.
Keadaan ini sangat menyulitkan pemerintah dalam membangun prasarana-
prasarana fasilitas kebutuhan hidup sehari-hari. Pembiayaan untuk
pembangunan jaringan-jaringannya sangat tidak sebanding dengan jumlah
penduduk yang diberikan fasilitas. Khususnya apabila dibandingkan
dengan penduduk yang tinggal di areal kekotaan yang kompak.
: City core
: New development of urban land uses
Gambar 1.3
Adanya pola-pola yang menyimpang, dapat dipengaruhi adanya kenyataan
perlakuan rekayasa atau terjadinya bencana alam. Perlakuan rekayasa sebagai
usaha penataan ruang atau lahan sehingga perkembangan penggunaan lahan dapat
dikendalikan, dikontrol dan diarahkan kea rah pola penggunaan yang sesuai untuk
mempertahankan keseimbangan komponen lingkungan, dengan demikian pola
penggunaan lahan dapat diarahkan agar diperoleh hasil yang lebih optimal.
38
I.8. Telaah Penelitian Sebelumnya
Djasmani (1989) penelitian yang telah dilakukan adalah “Studi Pemekaran
Fisik Kota Bekasi bagian Utara berdasarkan Foto Udara Tahun 1976 dan 1986.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan foto udara untuk
menghasilkan informasi penggunaan lahan kota dan membuat peta pemekaran
fisik kota Bekasi bagian utara. Bahan penelitian ini menggunakan foto udara
pankromatik hitam putih tahun 1976 dengan skala 1: 5.500 dan foto udara
pankromatik hitam putih tahun 1986 dengan skala 1: 5.000, penelitian ini
menggunakan metode interpretasi foto udara, analisis data sekuder dan uji
lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa foto udara skala
1 : 5.500 dapat digunakan untuk pemetaan dengan tingkat keakuratan sebesar
87,47 %, sedangkan foto udara skala 1:5.000 dapat untuk pemetaan dengan
tingkat keauratan sebesar 90 %.
Atmajaya (1993) melakukan penelitian mengenai “Perubahan Bentuk
Penggunaan Lahan Pinggiran Yogyakarta Bagian Barat Melalui Interpretasi Foto
Udara dan Digitasi”, dalam penelitian ini menggunakan foto udara inframerah
hitam-putih skala 1:10.000 dan 1:11.000 dengan tuhun pemotretan yang berbeda
yaitu tahun 1973 dan 1987, metode penelitian yang digunakan adalah interpretasi
foto udara dan pemanfaatan SIG, hasil akhir dari penelitian ini adalah foto
inframerah hitam-putih skala 1 : 10.000 tahun 1973 dapat digunakan untuk
pemetaan dengan tingkat keakuratan sebesar 82,22 % dan foto udara inframerah
hitam-putih skala 1 : 11.000 tahun 1987 dapat digunakan untuk pemetaan dengan
tingkat kekuratan 89,47 %. Pada periode 1973-1978 sebagian besar terjadi
perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi pemukiman seluas 31,03 ha.
Supriyanto (1995) melakukan penelitian dengan judul “Aplikasi
Penginderaan Jauh dan SIG untuk Pemantauan Pola Penggunaan Lahan dan
Perkembangan Fisik Kota”. Wilayah yang diambil untuk penelitian in adalah
Kotamadya Surakarta bagian barat. Penelitian ini menggunakan Foto Udara
Pankromatik Hitam-Putih skala 1: 7.000 tahun 1983 dan Foto Udara
39
Pankromatik Warna skala 1: 6.000 tahun 1992. Tujuan dari penelitan ini untuk
menguji ketelitian hasil interpretasi perameter bangunan dengan foto udara,
melakukan pemantauan pola penggunaan lahan dan perkembangan fisik kota
berdasarkan informasi yang disadap dari data penginderaan jauh dan diolah
dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Analisis yang dilakukan yaitu dengan
analisis keruangan melalui metode tetangga terdekat (nearest-neightbour
analysis). Analisis temporal dengan melakukan overlay antara peta penggunaan
lahan tahun 1983 dan 1992 yang merupakan peta hasil interpretasi dari foto udara.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan yang
paling besar menjadi penggunaan lahan pemukiman yang memiliki pola tidak
teratur, perkembangan fisik kota banyak terjadi di wilayah perbatasan atau
pinggiran kota.
Budi (2001) melakukan penelitian dengan judul “Pola Spasial Konversi
Penggunaan Lahan Koridor Pemalang-Comal”. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dan data data lapangan. Data sekunder diperoleh dari lembaga
pemerintah dan pihak terkait. Metode yang digunakan untuk pengujian variabel
menggunakan korelasi parametrik dan dan korelasinon parametrik, metode
analisis statistik menggunakan Chi square Test dan T-Test, proses
matching/ploting menggunakan alat bantu peta dan untuk analisis pola spasial
menggunakan metode Tetangga Terdekat (nearest-neightbour analysis). Hasil
yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagian besar konversi penggunaan
lahan merupakan konversi sawah menjadi nonagraris. Pola spasial konversi
penggunaan lahan daerah penelitian adalah memusat memanjang, berdasarkan
pola spasial ini dapat disimpulkan bahwa ada indikasi perkembangan kota berpola
chained city (kota berantai) yang membentuk ribben development (perkembangan
dengan bentuk pita). Faktor yang berasosiasi secara spasial dengan konversi
penggunaan lahan adalah jumlah petani, kepemilikan bangunan, dan kepemilikan
akses. Laju konversi penggunaan lahan dipengaruhi olah sifat kekotaan dan
keberadaan jalur pantura.
40
Widodo (2005) melakukan penelitian mengenai aplikasi Penginderaan
Jauh dan SIG untuk Monitoring Pemekaran Fisik Kota Antara Tahun 1992-2005,
tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan data penginderaan jauh dan SIG untuk
memetakan pemekaran fisik kota berdasarkan hasil interpretasi data penginderaan
jauh, data sekunder dan data uji lapangan serta mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan pemekaran fisik kota. Data yang digunakan adalah Foto udara tahun
1992 dan 2000, menggunakan metode interpretasi foto udara dan analisis multi
temporal. Dari penelitian ini dihasilkan tingkat ketelitian sebesar 82,42 %, dengan
perubahan yang terjadi pertanian menjadi pemukiman, perumahan, fasilitas
pendidikan dan industri. Hasil akhir ditampilkan dalam bentuk peta Pemekaran
Fisik Kota Yogyakarta Bagian Utara tahun 1992-2005.
Persamaan yang ada dengan penelitian sebelumnya pada penggunaan data
spasial baik berupa data penginderaan jauh maupun peta sebagai dasar
penyadapan informasi penggunaan lahan, data penggunaan lahan digunakan
sebagai data pokok untuk kajian perubahan penggunaan lahan, data penginderaan
jauh yang digunakan memiliki sifat yang sama yaitu bersifat multitemporal
dengan menggunakan data dua tahun yang berbeda. Perbedaan dengan penelitian
sebelumnya, pada penelitian kali ini terletak pada waktu penelitian, metode,
obyek, tujuan penelitian dan hasil penelitian. Data dasar untuk interpretasi
menggunakan foto udara dengan skala 1: 20.000 pemotretan tahun 2001 dan Citra
digital Ikonos dengan perekaman tahun 2007. Obyek kajian difokuskan pada
konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, Metode analisis meliputi analisis
multitemporal dengan cara membandingkan data penggunaan lahan dari tahun-
tahun yang berbeda sehingga akan dapat diketahui gambaran pola pengguanaan
lahan dari tahun yang berbeda, Teknik yang dilakukan untuk mengetahui
perubahan lahan dilakukan dengan cara overlay dari peta penggunaan lahan tahun
yang berbeda, analisis statistik spearman’s rho digunakan untuk mengetahui
hubungan faktor-faktor pengaruh dengan konversi lahan pertanian menjadi
nonpertanian. Persamaan dan perbedaan penelitian dengan penelitian sebelumnya
secara umum terdapat dalam Tabel. 1.1
41
I.9. Kerangka Pemikiran
Tingkat kepadatan penduduk disuatu wilayah selaras dengan aktifitas
sosial ekonomi masyarakat, peningkatan aktifitas sosial ekonomi masyarakat
menuntut adanya ketersedian lahan. Semakin meningkat pertumbuhan jumlah dan
kebutuhan penduduk, semakin meningkat pula kebutuhan tempat atau lahan untuk
tempat tinggl. Pertumbuhan penduduk yang pesat akan meningkatkan tuntutan
terhadap fasilitas pemenuhan kebutuhan, Kebutuhan pemukiman yang semakin
meningkat sedangkan luas lahan yang terbatas menimbulkan suatu permasalahan.
Pemenuhan kebutuhan lahan di kota mengalami hambatan disebabkan terjadinya
keterbatasan lahan dan tingginya harga lahan, akhir-akhir ini banyak pemukiman
dan pusat-pusat ekonomi yang dibangun di luar kota dan daerah pedesaan
sehingga dipandang dari sisi penggunaan lahan akan terjadi suatu konversi
penggunaan lahan.
Pertimbangan pemilihan lahan dapat dipengaruhi juga oleh faktor
lingkungan alam, masyarakat memiliki kecenderungan untuk memilih lokasi
pemukiman yang memiliki tingkat keamanan dari bencana, pertimbangan ini
didasarkan atas kebutuhan akan rasa aman dan nyaman, lokasi yang rawan
terhadap bencana memberikan rasa khawatir bagi masyarakat yang tinggal di
tempat tersebut, adanya bencana alam dapat menyebabkan korban jiwa maupun
kerusakan bangunan, gempa yang terjadi di sebagian wilayah Bantul
mengakibatkan kerusakan bangunan dan tercatat adanya kurban jiwa yang
mengalami luka maupun meninggal, peristiwa ini memberikan gambaran dan
pengalaman baru dalam mensikapi adanya bencana, pembangunan pemukiman
yang dilakukan secara mendadak dan tidak adanya perencaan banyak di bangun di
lahan-lahan kosong yang di pandang aman sehingga timbul kesan adanya proses
alih fungsi lahan, penempatan dan penataan bangunan rumah yang kirang tertata
memberikan kesan komples pemukiman yang padat dan tidak teratur.
Data penginderaan jauh yang memiliki resolusi spasial yang baik dapat
memberikan informasi wilayah yang lebih baik, data penginderaan jauh yang
42
memiliki resolusi spasial yang baik antara lain foto udara dan Citra Ikonos, kedua
data tersebut dapat menggambarkan obyek dan gejala di permukaan bumi dan
mampu menanpilkan letak yang hampir sesuai dengan letak di lapangan, selain itu
relatif lengkap, permanen dan memiliki cakupan yang luas. Melihat kelebihan dari
data penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang baik maka dapat dijadikan
salah satu sumber data yang penting khususnya dalam studi menitoring konversi
lahan pertanian menjadi nonpertanian. Penggunaan foto udara dan Citra Ikonos
khususnya digunakan untuk memperoleh informasi data penggunaan lahan di
suatu wilayah.
Data penggunaan lahan merupakan data utama untuk membuat peta
konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian. Data penggunaan lahan diperoleh
dari hasil proses interpretasi penggunan lahan dari foto udara dan Citra Ikonos,
Interpretasi data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan cara visual dan
digitasi on sceen yang dikerjakan dengan media alat bantu komputer, untuk
mempermudah proses interpretasi dapat dilakukan dengan cara pembuatan kunci
interpretasi, adanya kunci interpretasi dapat dijadikan acuan dalam melakukan
interpretasi data penggunaan lahan, hasil akhir dari interpretasi foto udara berupa
data penggunaan lahan, hasil dari proses interpretasi perlu dilakukan cek lapangan
sebagai salah satu metode untuk mencocokkan hasil interpretasi dengan kondisi
nyata di lapangan selain itu untuk memperoleh data-data baru dari lapangan yang
dibutuhkan. Data penggunaan lahan yang sudah ada perlu dilakukan klasifikasi,
tujuan klasifikasi untuk inventarisasi jenis dan tingkatan penggunaan lahan,
pembagian jenis dan tingkatan klasifikasi didasarkan pada tujuan, jenis data dan
tingkatan ukuran skala, pada penelitian kali ini klasifikasi yang digunakan
mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh Sutanto (1981) dengan dilakukan
modifikasi disesuaikan dengan daerah penelitian.
Sistem Informasi Geografis diperlukan sebagai alat bantu untuk
memproses data spasial khususnya dalam analisis konversi lahan pertanian
menjadi nonpertanian, Penentuan konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian
dilakukan dengan analisis multitemporal dengan cara membandingkan dua data
43
yang memiliki perbedaan waktu, teknik yang digunakan adalah tumpang susun
atau overlay. Untuk mengetahui luas konversi lahan pertanian menjadi
pemukiman dilakukan proses overlay peta penggunaan lahan tahun 2001 dan peta
penggunaan lahan tahun 2007. Hasil dari proses overlay adalah Peta Perubahan
Penggunaan Lahan tahun 2001-2007. Karena konversi lahan berhubungan dengan
perubahan penggunaan lahan maka perubahan lahan tersebut akan dapat diketahui
konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian.
Proses konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian dipengaruhi oleh
bermacam faktor, baik faktor alam maupun faktor sosial ekonomi dan budaya,
dalam penelitian ini faktor alam difokuskan pada peristiwa bencana gempa bumi
yang terjadi di sebagian kabupaten Bantul sedangkan faktor sosial ekonomi
difokuskan pada fenomena sosial yang dipandang dapat mempengaruhi konversi
lahan pertanian menjadi nonpertanian meliputi kepadatan penduduk, kepadatan
jalan dan persentase jumlah pekerja nonagraris terhadap jumlah pekerja bidang
agraris. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk peta tematik yaitu peta konversi
lahan pertanian menjadi nonpertanian daerah penelitian, sedangkan hubungan
antara konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian dengan faktor penentu
dijabarkan dalam analisa kualitatif.
I. 10. Batasan Istilah
Citra adalah gambaran dua dimensional yang menggambarkan bagian dari
permukaan bumi, hasil perekaman sensor atau pantulan ataupun pancaran
spektralobyek yang tersimpan dalam media tertentu (Projo Danoedoro 1996)
Foto udara mosaik adalah serangkaian foto daerah tertentu yang disusun menjadi
satu lembar foto (Sutanto, 1986).
Interpretasi Citra adalah perbuatan mangkaji foto udara dan atau citra dengan
maksud untuk identifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut
(Sutanto, 1986).
44
Klasifkasi adalah pengelompokkan obyek tertentu yang sama atau sejenis dan
pemisahan obyek yang berbeda (Nelson et. al, 1978 dalam Su Ritohardoyo, 2002).
Konversi penggunaan lahan adalah perubahan penggunaa lahan dari suatu
sektor ekonomi ke ekonomi yang lain, konversi penggunaan lahan dalam cakupan
wilayah luas merupakan fungsi kawasan. (Budi, 2001)
Lahan adalah sebagai suatu wilayah tertentu di atas permukaan bumi khususnya
meliputi semua benda penyususn biosfer yang dapat dianggap bersifat menetap
atau berpindah berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, akibat dari kegiatan
manusia pada masa sekarang maupun yang akan datang.
Penduduk adalah sekelompok orang yang mendiami suatu tempat tertentu
dipermukaan bumidan mencerminkan attribut budayanya masing-masingserta
terikat dalam suatu sistem kehidupan bersama.
Pankromatik adalah saluran spectral lebar yang terdiri atas pentulan sinar pada
spectrum tampak (biru, hijau, merah, dan inframerah dekat). Saluran spektral ini
ditampilkan dalam bentuk gambaran hitam putih.
Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik secara
menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya alam
dan sumber daya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan
untuk mencukupi kebutuhan baik materiil maupun spiritual ataupun kebutuhan
kedua-duanya (Malingreau, 1978)
Perumahan yakni suatu tempat dimana terdapat rumah-rumah tempat tinggal
penduduk atau salah satu sarana hunian yang sangat erat kaitanya dengan tata
kehidupan masyarakat. (Pedoman Perencanaan Lingkungan Pemukiman. 1979
dalam Ritohardoyo, 2000).
45
Pemukiman adalah sebagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung baik
yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagi
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan kehidupan. (Pedoman Perencanaan Lingkungan
Pemukiman. 1979 dalam Ritohardoyo, 2000)
Tempat tinggal/tempat kediaman secara umum disebut permukiman dan secara
khusus disebut sebagai bangunan rumah (Hudson, 1974; Hammond, 1979 dalam
Ritohardoyo, 2000).
Tumpang susun atau overlay suatu kegiatan untuk menggabungkan antara dua
atau lebih data grafis untuk memperoleh data grafis baru yang memiliki satuan
pemetaan (mapping unit) gabungan dari beberapa data grafis tersebut.