bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Kehamilan yang direncanakan dan diinginkan akan menimbulkan
kebahagiaan, sedangkan kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan
dapat menimbulkan dampak tidak baik bagi si ibu maupun janin yang dikandung.
Depresi hingga kematian dapat terjadi akibat kehamilan yang tidak diinginkan.
Kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan dapat terjadi salah
satunya akibat perkosaan. Tindak pidana perkosaan dalam hukum positif
Indonesia diatur dalam Buku II Pasal 285 KUHP yang bunyinya: “Barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Perempuan merupakan kelompok yang rentan menjadi korban perkosaan.
Perkosaan dapat terjadi karena faktor diri pribadi, faktor interaksi dengan
lingkungan dan faktor sosial kemasyarakatan. Perempuan sebagai korban
perkosaan mengalami dua jenis penderitaan. Pertama, kesengsaraan akibat
kekerasan fisik yang terjadi sebagai akibat langsung dari perkosaan yang berakhir
pada cidera fisik, kematian, penularan penyakit kelamin, ataupun kehamilan.
Kedua, kesengsaraan akibat kekerasan psikis dari perkosaan. Kekerasan psikis
pada korban perkosaan menyebabkan korban marah, malu, sedih, menyesal dan
cenderung menutup diri dan enggan untuk bersosialisasi dengan lingkungannya
2
yang keseluruhannya. Stres jangka panjang akibat perkosaan yang berlangsung
lebih dari 30 hari dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress
Disorder.1
Tindak pidana perkosaan erat sekali kaitannya dengan fungsi reproduksi
perempuan. Jika korban perkosaan mengalami kehamilan, korban pada umumnya
akan berusaha untuk menghentikan kehamilan tersebut dengan melakukan
berbagai upaya, baik seperti meminum berbagai ramuan tradisional, obat peluntur
haid atau dengan bantuan tenaga medis untuk melakukan aborsi. KUHP melarang
aborsi, dan bagi ibu serta pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengatur tindak pidana aborsi. Dengan
berlakunya UU No. 36 Tahun 2009 ini maka pasal-pasal tentang aborsi dalam
KUHP tidak berlaku lagi berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis.
Berbeda dengan KUHP, Pasal 75 ayat (2) UU No. 36 Tahun 2009
memberikan pengecualian (legalisasi) terhadap tindakan aborsi tertentu yaitu
aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibu atau janinnya dan
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan. Secara naluriah keberadaan Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No.
36 Tahun 2009 tersebut dapat dipahami. Sebagai korban perkosaan tentu
kehamilan yang terjadi akibat perkosaan bukanlah hal yang diinginkan oleh
korban maupun keluarganya. Amat berat bagi korban perkosaan untuk menjalani
dan memelihara kehamilan tersebut karena bukan tidak hanya akan terus
1 Ekandari Sulistyaningsih & Faturochman, “Dampak Sosial Psikologis Perkosaan,” Buletin
Psikologi, Tahun X, No.1, Juni 2002 diakses
melalui:http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNAL%20%20Dampak%20SosialPsikologis%20P
erkosaan.pdf
3
mengingatkan korban atas tindak pidana perkosaan tersebut, tetapi juga sulit
untuk menumbuhkan adanya rasa kasih sayang pada anaknya, serta sulitnya
penerimaan oleh korban maupun keluarganya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menemukan topik yang mirip dengan
skripsi penulis yaitu skripsi Endah Kristiningayu (3198080) berjudul
“Problematika Aborsi Suatu Tinjauan Normatif”. Skripsi Endah Kristiningayu
membahas kemungkinan dapat diperbolehkannya aborsi dengan pertimbangan
pro-choice, yaitu untuk mengurangi AKI (Angka Kematian Ibu) akibat praktik
aborsi tidak aman. Selain membahas mengenai perkembangan aborsi, skripsi
tersebut juga membahas mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh agar
pembolehan aborsi seperti tuntutan pro-choice dapat menjadi suatu norma.
Sementara skripsi penulis membahas mengenai legalisasi aborsi pada
perempuan korban perkosaan. Dalam pembahasan ini penulis berargumen tidak
setuju terhadap Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang
memberikan alasan pembenar terhadap praktik aborsi pada korban perkosaan
berdasarkan indikasi medis. Menurut penulis undang-undang tersebut
bertentangan dengan Pasal 53 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan. Pasal 49 ayat (3)
UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa wanita berhak memperoleh
perlindungan hukum yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Akan tetapi
pelayanan aborsi bukan merupakan fungsi reproduksi yang dilindungi oleh
hukum. Fungsi reproduksi wanita yang dilindungi oleh hukum adalah meliputi
pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan
4
pemberian kesempatan untuk menyusui anak (Penjelasan Pasal 49 ayat 2 UU No.
39 Tahun 1999).
Penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam penelitian
karena ada pro-kontra yang kuat dalam menerima praktik aborsi yaitu antara
pendapat pro-life versus pro-choice. Menurut penulis, dalam kasus ini, yaitu Pasal
75 ayat (2) huruf b UU No. 39 Tahun 2009, pertimbangan pro-life jauh lebih kuat
daripada pertimbangan pro-choice untuk menjawab pertanyaan dapat dibenarkan
atau tidaknya aborsi pada perempuan korban perkosaan.
B. Latar Belakang Masalah
Menggugurkan kandungan, atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan
istilah aborsi, berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel
sperma) sebelum janin hidup di luar kandungan. Abortus provocatus merupakan
istilah lain yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini
adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan
untuk bertumbuh. Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health oleh
Institute For Social, Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan,
aborsi didefinisikan sebagai “penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur
(ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus), sebelum janin (fetus) mencapai 20
minggu.”2 Aborsi juga didefinisikan sebagai terjadinya keguguran janin.
2 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, Hal. 225.
5
Melakukan aborsi sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tidak
menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).3
Ada dua pendapat mengenai aborsi yaitu paham pro-life dan paham pro-
choice. Penganut paham pro-life memiliki pendapat ekstrem bahwa manusia
dimulai sejak pembuahan, mereka memiliki hak hidup sejak mulai dari janin
sampai dilahirkan.4 Sehingga penganut paham pro-life berpendapat melakukan
aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan, menuduh pelaku aborsi
melanggar prinsip kemanusiaan yang sangat mendasar yaitu meniadakan hak
hidup calon anak kandungnya sendiri dan melawan hukum negara. Pada sisi lain
penganut paham pro-choice menganggap bahwa aborsi tidak sama dengan
pembunuhan, karena janin belum memiliki status hukum yang sama dengan
manusia. Janin merupakan bagian tubuh perempuan hamil, sehingga otonomi
dalam mengambil keputusan menyangkut janin yang tumbuh dirahimnya
sepenuhnya merupakan hak perempuan tersebut.5 Melarang aborsi berarti
melanggar hak asasi individu dan dalam hal ini reproduksi perempuan. Aborsi
merupakan konsekuensi logis dari munculnya kehamilan tidak dikehendaki di
masyarakat. Pilihan aborsi oleh perempuan yang mengalami kehamilan tidak
dikehendaki adalah pilihan yang wajar, dapat diterima, bahkan harus dilindungi.
3 J. S. Badudu, Sutan Muhammad Zain, 1996, Kamu Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan. 4 Loebby Loqman, 2003, Jurnal Obsetri dan Ginekologi Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Hal 232. 5 Muhadjir M. Darwin, MPA, 2005, Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik,
Yogyakarta: Media Wacana, Hal. 245.
6
Posisi ini mewakili pikiran kalangan aktivis perempuan dan kesehatan
reproduksi.6
Yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah Pasal 75 ayat
(2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 yang memperbolehkan dilakukannya aborsi
dengan alasan medis pada perempuan korban perkosaan, aborsi pada korban
perkosaan dapat dilaksanakan dengan syarat sebelum kehamilan berumur 6
minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan
medis ( Pasal 76 huruf a UU Kesehatan) . Penulis berpendapat bahwa aborsi pada
perempuan korban perkosaan tidak dapat dibenarkan, karena aborsi melanggar
HAM, yaitu hak janin untuk hidup. Perbuatan aborsi menentang hukum alam dan
hukum Allah. Aborsi adalah tindakan pembunuhan manusia, walaupun ada
sebagian orang yang menutup mata terhadap kenyataan ini. Hidup manusia
dimulai saat konsepsi atau fertilisasi, maka manusia harus dihormati dan
diperlakukan sebagai manusia sejak masa konsepsi dan karenanya, sejak saat
konsepsi, hak-haknya sebagai manusia harus diakui, terutama haknya untuk
hidup”.7 Pengajaran Alkitab dan Gereja Katolik menyatakan, “Kehidupan
manusia adalah sakral karena sejak dari awalnya melibatkan tindakan penciptaan
Allah”.8 Kehidupan, seperti halnya kematian adalah sesuatu yang menjadi hak
Allah,9 dan manusia tidak berkuasa untuk mempermainkannya. Gereja Katolik
tidak pernah urung dalam menyatakan sikapnya yang “pro-life“ atau mendukung
6 Ibid.
7 Congregation for the Doctrine of the Faith, Instruction on Respect for Human Life in its Origin
and on the Dignity of Procreation Donum Vitae: (22 February 1987), I, No. 1, AAS 80
(1988), 79. 8 Evangelium Vitae 53.
9 Evangelium Vitae 39.
7
kehidupan, sebab, Gereja menghormati Allah Pencipta yang memberikan
kehidupan itu.
Dalam Convention on the Rights of the Child (CRC) yang disetujui Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989, terdapat
sebuah paragraf dalam pembukaan yang terkenal dan sering dikutip untuk
menjustifikasi signifikansi perlindungan terhadap janin: “Whereas the child, by
reason of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care,
including appropriate legal protection, before as well as after birth.”10
Hal ini
membuktikan bahwa hak anak yang dimaksud dalam konvensi ini mencakup anak
sebelum lahir. Anak sebelum lahir diakui haknya tak kurang dari anak setelah
kelahiran dan merupakan subjek hukum hak asasi manusia dan berhak untuk
perlindungan hukum yang sesuai. Dalam konvensi ini juga disebutkan Negara-
negara Pihak harus menghormati dan menjamin hak-hak yang dinyatakan dalam
Konvensi ini pada setiap anak yang berada di dalam yurisdiksi mereka, tanpa
diskriminasi macam apa pun, tanpa menghiraukan ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau
asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak
atau orang tua anak atau wali hukum anak (Pasal 2 ayat [1] Konvensi). Hal ini
juga dikukuhkan dalam Pasal 52 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi
“Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu
diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan”, dan Pasal 53
ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi “Setiap anak sejak dalam
10
Rita Joseph, 2009, Human Rights and Unborn Children, Leiden Boston: Martinus Nijhoff
Publishers, Hal 2.
8
kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.”
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal ini membuktikan bahwa hak
anak yang dimaksud dalam undang-undang ini mencakup anak sebelum kelahiran.
Anak sebelum kelahiran diakui haknya tak kurang dari anak setelah kelahiran dan
merupakan subjek hukum perlindungan anak dan berhak untuk perlindungan
hukum yang sesuai. Anak dalam kandungan dimulai sejak masa konsepsi. Pasal 4
UU No. 23 Tahun 2002 juga menentukan: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.” Hal ini juga sesuai dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 dan
prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Penulis dapat menerima abortus provocatus medicinalis sebagai
pengecualian terhadap ketentuan larangan aborsi, misalnya untuk menyelamatkan
nyawa ibu atau janin. Tetapi penulis menolak aborsi pada perempuan korban
perkosaan dengan alasan trauma psikologis sebagai abortus provocatus
medicinalis karena melanggar hak janin untuk hidup. Hal ini tidak menutup
kemungkinan terjadinya abortus provocatus medicinalis pada perempuan korban
perkosaan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka melalui penelitian ini penulis
hendak mengemukakan argumen ketidaksepahaman penulis terhadap pengaturan
UU No. 36 Tahun 2009 yang melegalisasi abortus provocatus medicinalis bagi
9
perempuan korban perkosaan. Legalisasi tersebut menurut penulis melanggar atau
bertentangan dengan HAM. Penulis akan fokus pada argumen HAM yaitu hak
janin guna hidup untuk mendukung ketidaksepahaman penulis terhadap Pasal 75
ayat (2) huruf (b) UU No. 36 Tahun 2009.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada alasan pemilihan judul dan latar belakang
masalah di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Apakah legalisasi
praktik aborsi dengan alasan medis pada perempuan korban perkosaan oleh UU
No. 36 Tahun 2009 dapat dibenarkan dari perspektif HAM?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengemukakan argumen tidak setuju (argue
against) terhadap ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009
yang mengatur dan memberi legalisasi terhadap praktik abortus provocatus
medicinalis bagi perempuan korban perkosaan karena bertentangan dengan HAM.
Sesuai tujuan tersebut maka fokus penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip HAM berkenaan dengan perlindungan terhadap janin.
2. Argumen bahwa legalisasi aborsi dengan alasan medis pada perempuan
korban perkosaan melanggaran HAM, yaitu HAM janin.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
10
Pembahasan terhadap masalah dalam skiripsi ini akan menambah pemahaman
dan pandangan masyarakat tentang aborsi dan dapat dijadikan bahan
pertimbangan lebih lanjut dalam rangka pengembangan hukum pidana dan
HAM di Indonesia.
2. Manfaat Praktis hasil penelitian ini dapat digunakan:
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi
hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah mengatasi
persoalan aborsi di masyarakat.
b. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan keilmuan
terutama di bidang hukum pidana dan HAM.
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan di sini adalah penelitian hukum (legal
research) dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.
Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi
dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan penelitian.11
Pendekatan konseptual mengkaji konsep-konsep dan teori-teori yang berkembang
di bidang hukum HAM dan hukum pidana yang relevan dengan permasalahan
penelitian.
Sumber-sumber hukum penelitian ini meliputi bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
11
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, Hal. 97.
11
a. Bahan hukum primer, yaitu Perundang-Undangan yang merupakan
kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan
mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara.12
Penulis dalam
melakukan penelitian ini menggunakan bahan hukum primer: UUD 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM, UU No. 23 Tahun 2002 tentang kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009
tentang kesehatan, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM,
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, American
Convention on Human Rights (ACHR), International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), Convention on the Rights of the Child (CRC),
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms
(European Convention on Human Rights).
b. Bahan Hukum Sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku hukum di
bidang HAM oleh penulis yang terkualifikasi sebagai yuris yang otoritatif
sehingga pendapatnya layak dijadikan sebagai acuan dalam menyusun
argumen.
c. Bahan Hukum Tersier, adalah adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, misalnya ensiklopedia dan lain-lainnya. Penulis
menggunakan bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan Black’s Law Dictionary.
12
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, Hal. 142.
12
Yang menjadi unit-unit analisis dalam penelitian ini adalah: Pertama,
argumen berdasarkan HAM bahwa pembentuk undang-undang (legislator) tidak
seyogianya memfasilitasi perempuan korban perkosaan untuk melakukan aborsi
dengan alasan medis (abortus provocatus medicinalis). Di sini penulis akan
mengemukakan prinsip-prinsip HAM berkenaan dengan perlindungan terhadap
janin (hak untuk hidup pada janin).13
Kedua, argumen tentang ketidaksesuaian
atau pertentangan Pasal 75 ayat (2) huruf (b) UU No. 36 Tahun 2009 dengan
prinsip-prinsip HAM berkenaan dengan perlindungan terhadap janin sehingga
oleh karena itu konsekuensinya adalah tidak seyogianya pembentuk undang-
undang melegalisasi praktik aborsi dengan alasan medis pada perempuan korban
perkosaan.14
13
Hal ini akan menjadi pokok bahasan penulis pada Bab II. 14
Hal ini akan menjadi pokok bahasan penulis pada Bab III.