bab i pendahuluan melaporkan jumlah kematian akibat aids...

28
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia kian memprihatinkan. Ketika angka kematian akibat AIDS dan kasus baru infeksi HIV di dunia berangsur turun, tidak demikian halnya dengan Indonesia. United Nations Program on HIV and AIDS (UNAIDS) melaporkan jumlah kematian akibat AIDS pada tahun 2011 mengalami penurunan hingga 5.000 orang dibandingkan tahun 2005 (http://health.kompas.com). Penurunan tersebut salah satunya disebabkan oleh keberhasilan pengendalian penyakit ini di benua Afrika. Terjadi penurunan jumlah kasus baru secara signifikan di kawasan Sub Sahara Afrika yang merupakan salah satu kawasan paling rawan di dunia. Namun di Indonesia, berdasarkan laporan dari tahun ke tahun kasus HIV/AIDS masih menunjukkan tren peningkatan yang terus-menerus. Menurut laporan Ditjen Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan, jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia sampai dengan akhir September 2014 adalah sebanyak 55.799 kasus dan 9.796 kasus diantaranya mengakibatkan kematian (Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, 2014). Permasalahan HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es, artinya data yang ada merupakan data kasus HIV/AIDS yang hanya muncul di permukaan. Masih banyak kasus yang belum terdeteksi karena ada banyak orang yang sudah terinfeksi HIV tetapi tidak terbuka untuk melakukan pemeriksaan di klinik. Hal ini disebabkan karena perasaan takut dan malu untuk memeriksakan diri yang muncul karena adanya stigma dan diskrimininasi dari masyarakat bahkan keluarga sebagai lingkungan terdekat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Untuk mengurangi bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak pihak. Mulai dari kampanye yang informatif dan edukatif pada masyarakat awam, pendampingan untuk menumbuhkan

Upload: hoangdat

Post on 21-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia kian memprihatinkan. Ketika

angka kematian akibat AIDS dan kasus baru infeksi HIV di dunia berangsur

turun, tidak demikian halnya dengan Indonesia. United Nations Program on HIV

and AIDS (UNAIDS) melaporkan jumlah kematian akibat AIDS pada tahun 2011

mengalami penurunan hingga 5.000 orang dibandingkan tahun 2005

(http://health.kompas.com). Penurunan tersebut salah satunya disebabkan oleh

keberhasilan pengendalian penyakit ini di benua Afrika. Terjadi penurunan jumlah

kasus baru secara signifikan di kawasan Sub Sahara Afrika yang merupakan salah

satu kawasan paling rawan di dunia. Namun di Indonesia, berdasarkan laporan

dari tahun ke tahun kasus HIV/AIDS masih menunjukkan tren peningkatan yang

terus-menerus. Menurut laporan Ditjen Pencegahan Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan, jumlah kumulatif kasus AIDS di

Indonesia sampai dengan akhir September 2014 adalah sebanyak 55.799 kasus

dan 9.796 kasus diantaranya mengakibatkan kematian (Statistik Kasus HIV/AIDS

di Indonesia, 2014).

Permasalahan HIV/AIDS merupakan fenomena gunung es, artinya data

yang ada merupakan data kasus HIV/AIDS yang hanya muncul di permukaan.

Masih banyak kasus yang belum terdeteksi karena ada banyak orang yang sudah

terinfeksi HIV tetapi tidak terbuka untuk melakukan pemeriksaan di klinik. Hal

ini disebabkan karena perasaan takut dan malu untuk memeriksakan diri yang

muncul karena adanya stigma dan diskrimininasi dari masyarakat bahkan keluarga

sebagai lingkungan terdekat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Untuk

mengurangi bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi tersebut, berbagai

upaya telah dilakukan oleh banyak pihak. Mulai dari kampanye yang informatif

dan edukatif pada masyarakat awam, pendampingan untuk menumbuhkan

2

kepercayaan diri bagi ODHA dan kelompok terdampak AIDS, hingga penerbitan

kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Berdasarkan kondisi yang berkembang saat ini, dapat dipahami bahwa

HIV/AIDS adalah sebuah isu yang sangat rumit. Hal ini bukan hanya menjadi

masalah kesehatan semata, tetapi sekaligus telah menjadi masalah sosial.

Mengingat kompleksitas permasalahan tersebut, penyelesaiannya pun menjadi

tidak mudah. Selain upaya-upaya dari bidang kesehatan, juga dibutuhkan

pendekatan secara sosial yang cenderung lebih sulit. Salah satu pendekatan sosial

dilakukan melalui kampanye publik. Dalam melakukan perlawanan terhadap

HIV/AIDS, hal utama yang perlu dipahami oleh masyarakat adalah informasi

yang tepat dan akurat mengenai HIV dan AIDS itu sendiri. Setelah itu, hal yang

tak kalah penting adalah menciptakan pemahaman bahwa perlawanan yang

seharusnya dilakukan ialah terhadap virusnya, bukan kepada pengidapnya

(ODHA). Pesan-pesan inilah yang berusaha disampaikan oleh IAC kepada

khalayak luas melalui kampanye publik yang mereka lakukan.

Kampanye publik yang dikelola IAC dengan tujuan mendistribusikan

informasi yang benar dan lengkap tentang HIV/AIDS bernama ODHA Berhak

Sehat (OBS). Kampanye OBS pada mulanya merupakan sebuah gerakan masif

melalui media sosial Twitter yang digagas oleh ODHA yang tergabung dalam

berbagai organisasi dan jaringan HIV. Gerakan ini lahir dari keprihatinan para

aktivis atas mode penyebaran informasi HIV/AIDS. Sangat sulit untuk

memperoleh informasi terkait HIV/AIDS saat itu. Kalau pun ada hanya bersifat

medis dan ilmiah yang justru mengakibatkan kebingungan bahkan ketakutan bagi

masyarakat awam terutama bagi mereka dengan HIV positif. Maka, tujuan dari

gerakan ini awalnya adalah untuk menyebarkan informasi seputar HIV/AIDS

kepada masyarakat luas secara lebih bersahabat, dengan bahasa yang sederhana

dan mudah dipahami agar menciptakan pemahaman yang lebih baik dan tidak

menimbulkan ketakutan bagi pengidap HIV/AIDS.

3

Gerakan tersebut dimulai sejak bulan Juni tahun 2010. Namun dalam

perjalanannya, gerakan ini mengalami berbagai kendala hingga akhirnya meredup

bahkan sempat vakum untuk beberapa waktu. Baru pada tahun 2011, setelah IAC

terbentuk, inisiatif pengelolaan gerakan tersebut diambil alih oleh IAC dan meluas

menjadi kampanye OBS. Untuk kepentingan administrasi dan teknis IAC

memanfaatkan website www.odhaberhaksehat.org serta media sosial Facebook,

Twitter, dan Instagram sebagai sarana berkampanye. Selain itu, kampanye OBS

juga dilengkapi dengan aplikasi mobile AIDS Digital yang mendukung kegiatan

kampanye. Pada tahun 2013, kampanye OBS memperoleh penghargaan Indonesia

MDG Award 2013 dari pemerintah sebagai program unggulan dalam pencegahan

dan penanggulangan HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya yang dilakukan

oleh organisasi masyarakat sipil.

Menelusuri perkembangan kampanye OBS sejak kelahirannya hingga

sampai pada pencapaiannya saat ini, membuat kampanye ini menarik untuk

disoroti. Kampanye yang dilakukan IAC sesungguhnya merupakan bentuk

pemasaran ide dan gagasan yang bertujuan menanggulangi permasalahan

HIV/AIDS di Indonesia. Demi tercapainya tujuan kampanye dibutuhkan strategi

yang matang dan penuh perhitungan. Strategi tersebut tidak ubahnya seperti

strategi pemasaran produk pada umumnya. Adapun konsep pemasaran dalam

konteks ini dinamakan pemasaran sosial. Berangkat dari pemikiran tersebut,

penelitian ini bermaksud untuk mengkaji strategi pemasaran sosial IAC dalam

‘menjual’ gagasan terkait penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia melalui

kampanye ODHA Berhak Sehat.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana strategi

komunikasi pemasaran sosial Indonesia AIDS Coalition dalam kampanye ODHA

Berhak Sehat periode 2011-2014?

4

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian

ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis strategi komunikasi

pemasaran sosial Indonesia AIDS Coalition dalam kampanye ODHA Berhak

Sehat periode 2011-2014.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu komunikasi

terkait komunikasi pemasaran, khususnya tentang strategi pemasaran sosial yang

dilakukan oleh organisasi non-profit. Selain itu, penelitian ini juga dapat dijadikan

sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang dianggap masih relevan dengan

permasalahan yang dikaji.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman praktis terkait penyelenggaraan kampanye

dengan menggunakan prinsip-prinsip pemasaran sosial. Hasil penelitian ini juga

diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi Indonesia AIDS Coalition

sebagai bahan masukan dalam mengevaluasi dan meningkatkan kegiatan

kampanye mereka sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kasus

HIV/AIDS di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Setiap penelitian memerlukan landasan berfikir dalam memecahkan atau

mengkaji permasalahan yang diteliti. Untuk itu perlu disusun kerangka pemikiran

yang memuat teori-teori yang menggambarkan dari sudut mana penelitian akan

disorot. Bagian ini merupakan kerangka berpikir peneliti tentang strategi

komunikasi pemasaran sosial yang diterapkan dalam penyelenggaraan kampanye

sosial oleh organisasi non-profit. Adapun yang menjadi poin-poin penting dari

kerangka pemikiran ini adalah kampanye dalam perspektif pemasaran sosial dan

strategi komunikasi pemasaran sosial dalam kampanye.

5

1. Kampanye dalam Perspektif Pemasaran Sosial

Paisley (1981) mendeskripsikan kampanye komunikasi publik sebagai

upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mempengaruhi keyakinan atau sikap

orang lain dengan menggunakan pendekatan komunikasi. Penekanan terhadap

kegiatan komunikasi dalam sebuah kampanye dipertegas oleh Snyder (dalam

Venus, 2012:8) yang menyatakan kampanye merupakan sebuah aktivitas

komunikasi yang terorganisir dengan audiens, waktu, serta tujuan tertentu yang

spesifik. Secara tersirat pendapat ini memberikan pemahaman bahwa sebuah

kampanye akan selalu dilaksanakan dengan tahap dan proses yang terperinci.

Dengan demikian, implementasi kegiatan kampanye akan terfokus hingga

tercapainya hasil yang diharapkan.

Tujuan kampanye secara lebih spesifik diuangkapkan oleh McGuire

(1981) yaitu “public communication campaigns are designed to manipulate

human behaviour by inducing people to do something other than what they are

initially inclined to do.” Dalam definisi tersebut, McGuire menekankan kampanye

pada tujuan untuk menggerakkan perilaku manusia dan secara spesifik

menggunakan kata membujuk (inducing) sebagai upaya komunikasinya. Batasan

yang paling lengkap tentang kampanye dikemukakan oleh Rogers dan Storey

(1987) yang berpendapat bahwa kampanye merupakan serangkaian tindakan

komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada

sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu

tertentu (dalam Venus, 2012:7). Definisi tersebut secara tegas menyatakan bahwa

kampanye merupakan wujud tindakan komunikasi, serta mencakup keseluruhan

proses dan fenomena praktik kampanye yang terjadi di lapangan.

Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi

individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk

menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Motivasi yang melatarbelakangi

diselenggarakannya sebuah program kampanye menentukan ke arah mana

kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Larson (1992)

membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori berikut (dalam Venus, 2012:11):

6

1) Product oriented campaigns. Merupakan kegiatan kampanye yang berorientasi

komersial, seperti peluncuran produk baru, biasanya sekaligus bermuatan

kepentingan untuk membangun citra positif terhadap produk yang

diperkenalkan ke publiknya;

2) Candidate oriented campaigns. Adalah kampanye yang bertujuan untuk

memperoleh dukungan politik atas kandidat yang diajukan agar memperoleh

kekuasaan politik, seperti kampanye calon presiden dan kepala daerah

menjelang Pemilu; dan

3) Ideological or cause oriented campaigns. Biasa juga disebut kampanye sosial

(social change campaigns) yaitu kampanye yang berorientasi pada tujuan yang

bersifat khusus dan berdimensi sosial atau perubahan sosial.

Dalam penelitian ini, kampanye HIV/AIDS yang dilakukan oleh IAC

merupakan kampanye yang masuk dalam kategori kampanye sosial. Meskipun

memiliki orientasi yang berbeda, kampanye pada dasarnya dilakukan dalam upaya

untuk mengubah aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku

(behaviour) masyarakat (Pfau & Parrot, 1993). Ostergaard (2002) menyebut

ketiga aspek tersebut dengan istilas 3A, singkatan dari awareness, attitude,

dan action (dalam Venus, 2012:10). Pada tahap pertama kegiatan kampanye

biasanya diarahkan untuk menciptakan perubahan pada tataran pengetahuan

sehingga mengakibatkan munculnya kesadaran, berubahnya keyakinan atau

meningkatnya pengetahuan tentang isu tertentu. Tahap berikutnya diarahkan pada

perubahan dalam ranah sikap. Sasarannya adalah untuk memunculkan simpati,

rasa suka, kepedulian atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema

kampanye. Sementara tahap terakhir kegiatan kampanye ditujukan untuk

mengubah perilaku khalayak secara konkret dan terukur. Tahap ini menghendaki

adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat sebagai sasaran

kampanye.

Segala tindakan dalam kegiatan kampanye dilandasi oleh prinsip persuasi

yang mengajak dan mendorong publik untuk menerima gagasan tertentu atau

melakukan sesuatu yang dianjurkan atas dasar kesukarelaan. Perloff (1993)

7

mengungkapkan “campaigns generally exemplify persuasion in action” (dalam

Venus, 2012:7). Pfau dan Parrot (1993) menyatakan bahwa “campaign are

inherently persuasive communication activities”. Dengan demikian kampanye

pada dasarnya adalah contoh tindakan persuasi secara nyata. Dari pengertian

tersebut dapat dikatakan setiap aktivitas kampanye selalu melekat dengan kegiatan

komunikasi persuasif.

Jika dicermati lebih jauh, kampanye merupakan bentuk pemasaran

terhadap ide dan gagasan tertentu sehingga dapat diterima oleh masyarakat.

Sehingga dalam melaksanakan kampanye, konsep-konsep pemasaran yang

berlaku di bidang komersial kiranya dapat pula dimanfaatkan dalam kegiatan

kampanye. Pemasaran pada mulanya hanya digunakan untuk tujuan yang

berorientasi pada profit. Namun seiring perkembangan zaman, konsep pemasaran

mulai digunakan secara meluas untuk kepentingan yang bersifat nirlaba termasuk

kampanye publik. Wiebe (dalam Kotler & Roberto, 1989:11) mengatakan

semakin banyak kampanye sosial menyerupai kampanye komersial, maka akan

semakin tinggi tingkat keberhasilan kampanye tersebut.

Kampanye OBS yang menjadi kajian dari penelitian ini merupakan

kampanye sosial yang fokus pada bidang kesehatan. Pengaplikasian prinsip

pemasaran sosial dalam kampanye sosial bidang kesehatan telah terbukti

mendorong keberhasilan kampanye, misalnya kampanye EPODE dalam

menanggulangi masalah obesitas pada anak di Perancis (Henley, Raffin, &

Caemmerer, 2011) dan kampanye kesehatan tulang (osteoforosis) di Amerika

(Lefebvre, 2006).

Pemasaran merupakan aktivitas sosial yang persuasif sehingga dapat

digunakan selain pada organisasi komersial (Kotler & Roberto, 1989:10).

Penerapan prinsip pemasaran dalam ranah sosial inilah yang kemudian

dikembangkan sebagai konsep pemasaran sosial. Nasution (1988) mengatakan

pemasaran yang diterapkan dalam bidang sosial disebut sebagai pemasaran sosial,

dimana hal ini merupakan suatu cara yang didesain untuk memotivasi masyrakat

8

agar dapat mengubah perilaku (yang dianggap kurang menguntungkan bagi diri

sendiri, masyarakat, dan lingkungan) menuju kehidupan yang lebih baik dengan

tetap menggunakan prinsip bauran pemasaran (dalam Larasati, 2014).

Kotler dan Zaltman dikenal sebagai yang pertama kali memperkenalkan

konsep pemasaran sosial untuk menjelaskan pengaplikasian prinsip-prinsip

pemasaran dalam konteks mencapai tujuan sosial (Henley, Raffin, & Caemmerer,

2011). Kotler dan Zaltman (1971) mendefinisikan pemasaran sosial sebagai suatu

desain, implementasi, dan kontrol dari sebuah program yang dibuat untuk

memberikan pengaruh terhadap penerimaan suatu ide sosial dengan

mempertimbangkan perencanaan produk, harga, komunikasi, distribusi, dan riset

pemasaran (dalam Niblett, 2005). Pada konsep ini, pemasaran sosial menekankan

pada bagaimana mempengaruhi perilaku target audiens melalui pendekatan 4P:

product, price, place, dan promotion.

Definisi tersebut terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.

Andreasen (1995) memberikan pengertian pemasaran sosial dengan menekankan

pada aspek perubahan perilaku, “social marketing is application of commercial

marketing technologies to the analysis, planning, execution, and evaluation of

programs designed to influence the voluntary behavior of target audiens in order

to improve their personal welfare and that of their society”(dalam Gordon et. al.,

2006). Berdasarkan definisi tersebut Gordon et. al. (2006) menyimpulkan bahwa

terdapat empat poin kunci yang dapat menjelaskan tentang konsep pemasaran

sosial. Pertama, perubahan perilaku secara sukarela dimana pendekatan dilakukan

secara persuasif. Kedua, adanya prinsip pertukaran dimana harus jelas bahwa ada

manfaat yang diperoleh dari perubahan perilaku. Ketiga, menggunakan teknik

pemasaran yang berorientasi pada target. Keempat, tujuan akhir yang ingin

dicapai adalah perubahan perilaku, berbeda dengan keuntungan materil yang ingin

dicapai dalam pemasaran pada umumnya.

Peattie dan Peattie (2009) menambahkan, manfaat pendekatan pemasaran

untuk mencapai perubahan sosial adalah sebagai berikut: (1) Customer

9

orientation. Pemasaran sosial mengadopsi penekanan pemasaran komersial

tentang mencari, memahami, merespon, dan berkomunikasi dengan konsumen.

Dalam konteks permasalahan sosial, pendekatan yang dilakukan dalam pemasaran

juga dilakukan dari sudut pandang kelompok yang perilakunya ingin diubah; (2)

Emphasis on behavior maintenance. Tujuan yang ingin dicapai oleh pemasaran

sosial adalah mengubah sikap hingga mengubah perilaku, dan memastikan

perilaku baru yang diadopsi akan terus bertahan; (3) Flexibility. Pemasaran sosial

dapat diaplikasikan pada stakeholder yang berbeda, misalnya target audiens,

regulator, dan para pihak yang terkait; (4) Partnership opportunities. Menangani

isu-isu sosial memungkinkan kesempatan untuk menjalin kemitraan dengan pihak

lain yang terlibat seperti lembaga pemerintah, LSM, perusahaan, dan komunitas;

dan (5) Opportunities to de-market unsustainable behaviors. Perusahaan dan

organisasi lain dengan kepentingan dalam status quo terus mempromosikan

banyak unsur yang tidak berkelanjutan dalam masyarakat. Misalnya, perusahaan

rokok terus memasarkan rokok meskipun telah banyak bukti tentang bahaya

merokok. Pemasaran komersial terus berinovasi, hendaknya pemasaran sosial juga

tidak tertinggal dan terus mengembangkan metode dan teknik bersaing.

Perlu dipahami bahwa hal mendasar dari pemasaran sosial adalah upaya

pemanfaatan prinsip pemasaran dalam merancang dan mengkomunikasikan aksi

sosial secara lebih efektif dalam mempengaruhi khalayak sehingga menimbulkan

respon yang diharapkan. Konsep pemasaran sosial juga merupakan cara yang

efektif untuk mempersuasi masyarakat agar secara sukarela mengadopsi perilaku

yang baru dalam ranah kesehatan, sehingga kampanye HIV/AIDS yang dilakukan

oleh IAC dapat ditinjau dari pendekatan pemasaran sosial. Weinreich (2011:4)

menyatakan “social marketing is the use of commercial marketing principles and

techniques to promote the adoption of a behavior that will improve the health or

well-being of the target audience or of society as awhole.”

Inti dari pemasaran sosial adalah sebuah usaha terencana yang dilakukan

oleh agen perubahan untuk meyakinkan target adopters agar bersedia untuk

menerima, memodifikasi atau meninggalkan ide, sikap, praktek dan perilaku

10

negatif tertentu. Dengan melakukan kampanye perubahan sosial, agen perubahan

berusaha untuk merubah perilaku target adopters yang pada tahap tertentu akan

menunjukan sebuah perubahan positif seiring dengan semakin banyaknya

informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh. Kotler dan Roberto (1989:17)

berpendapat bahwa keberhasilan atau kegagalan sebuah kampanye perubahan

sosial dipengaruhi oleh beberapa elemen penting, yaitu:

1) Cause adalah sebuah tujuan sosial yang dipercayai oleh agen perubahan dapat

memberikan jawaban dalam mengatasi masalah sosial.

2) Change agent atau agen perubahan adalah seseorang atau sebuah organisasi

atau aliansi yang berusaha untuk melakukan perubahan sosial melalui sebuah

kampanye sosial.

3) Target adopters adalah seseorang atau kelompok atau sejumlah populasi yang

menjadi target perubahan oleh para pemasar.

4) Channels ialah jalur komunikasi dan distribusi yang digunakan untuk

mempengaruhi dan saling bertukar reaksi antara agen perubahan dengan target

adopter-nya.

5) Change strategy adalah arahan dan program yang dilakukan oleh agen

perubahan untuk mempengaruhi sikap dan perilaku target adopter.

Pada prinsipnya, konsep pemasaran yang digunakan dalam bidang

komersial sama saja dengan pemasaran pada bidang sosial. Jika terdapat

perbedaan di sana sini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari adopsi ilmu

antarbidang. Hal mendasar yang membedakan pemasaran sosial dengan komersial

adalah jenis produk yang ‘dijual’. Pemasaran komersial sudah tentu menawarkan

barang dan jasa sebagai komoditas, sedangkan produk pemasaran sosial menurut

Kotler dan Roberto (1989) terbagi atas ide sosial, praktek sosial, dan objek

berwujud. Ide sosial merupakan gagasan yang muncul karena adanya

permasalahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ide ini akan

membentuk tiga hal, yaitu kepercayaan (belief), sikap (attitude), dan nilai (value).

Sedangkan praktek sosial atau pelatihan sosial pada dasarnya bukan produk sosial,

melainkan cara untuk mempromosikan ide sosial yang terbagi menjadi act (aksi,

11

misalnya kampanye perubahan sosial) dan perilaku (behavior). Objek berwujud

merpakan produk fisik yang mendukung kampanye sosial.

Seringkali praktek pemasaran sosial menjadi lebih sulit dibandingkan

dengan pemasaran komersil. Menurut Kotler, Roberto, dan Lee (2002:10)

kesulitan tersebut muncul sebagai akibat dari perbedaan karakteristik di antara

keduanya. Adapun perbedaan karakteristik pemasaran komersial dan pemasaran

sosial dapat dirangkum sebagai berikut:

Pemasaran Komersial Pemasaran Sosial

Produk Barang dan jasa Perubahan perilaku

Tujuan Peningkatan finansial Peningkatan individu atau sosial.

Segmentasi Individu/kelompok yang mampu meningkatkan penjualan

Individu/kelompok yang memiliki permasalahan sosial.

Kompetitor Penyedia barang dan jasa yang sejenis

Perilaku sebelumnya atau perilaku lain yang disukai dan keuntungan yang diperoleh dari perilaku tersebut.

Tabel 1. Perbedaan pemasaran komersial dengan pemasaran sosial

Sumber: Diolah dari Kotler, Roberto, dan Lee (2002:10)

2. Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial Kampanye

Konsep strategi pada mulanya berasal dari bidang militer yang diadaptasi

ke dalam dunia bisnis dan kemudian meluas ke bidang-bidang lain termasuk

komunikasi. Strategi secara umum diartikan sebagai seni dimana melibatkan

kemampuan untuk memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia secara

maksimal dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan komunikasi

pemasaran sosial merupakan bentuk komunikasi yang mengakibatkan terjadinya

pertukaran pemahaman antara suatu organisasi dengan target audiensnya

mengenai isu-isu terkait permasalahan sosial. Maka, secara utuh strategi

pemasaran sosial dapat dipahami sebagai seni dalam mengelola sumber daya yang

tersedia untuk mengkomunikasikan isu-isu tertentu hingga terciptanya

pemahaman target audiens akan suatu permasalahan sosial.

12

Komunikasi pemasaran menjadi aspek penting dalam keseluruhan misi

pemasaran, serta menentukan suksesnya pemasaran. Bahkan telah diklaim bahwa

pemasaran di era 1990-an adalah komunikasi dan komunikasi adalah pemasaran,

keduanya tidak terpisahkan (Shimp, 2003:4). Perkembangan penting dalam dunia

pemasaran menjadi tren dengan munculnya komunikasi pemasaran terpadu

(intregrated marketing communication atau IMC) yang menekankan integrasi

antara komunikasi dan pemasaran untuk mencapai keberhasilan. Konsep tersebut

juga meluas digunakan dalam pemasaran sosial. Peran komunikasi dalam

pemasaran sosial dianggap penting dalam menyebarluaskan pesan terkait produk

sosial yang ditawarkan. Hoffman, Novak, dan Patrali Chatterjee (2000)

mengatakan komunikasi pemasaran sosial memiliki tiga fungsi yaitu untuk

menginformasikan, mengingatkan, dan untuk membujuk (dalam Larasati, 2014).

Dalam perkembangan bidang pemasaran sosial, dikenal dua aliran

pendekatan dalam menciptakan perubahan sosial. Di masa awal kemunculan

konsep pemasaran sosial oleh Kotler dan Zaltman (1971) hingga pertengahan

1990-an, sebagian besar pemasaran sosial berfokus pada perubahan perilaku

individu atau yang dikenal dengan istilah downstream. Kemudian setelahnya,

kajian pemasaran sosial mencoba turut mempengaruhi faktor-faktor yang

menciptakan perubahan sosial di level individu seperti pembuat kebijakan,

regulator, dan media yang dikenal dengan istilah upstream (Goldberg, 1996;

Andreasen, 2006; dalam Gordon 2013). Selanjutnya konsep tersebut dibenarkan

oleh Niblett (2005) sebagai upstream strategy dan downstream strategy yang

digunakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan dalam pemasaran sosial.

Dalam penelitian ini, downstream strategy akan dijadikan kerangka yang

menaungi penjabaran strategi kampanye sosial dalam mempengaruhi perubahan

sikap di level individu. Sedangkan upstream strategy akan menjadi landasan

pemaparan strategi kampanye sosial dalam mempengaruhi para pembuat

kebijakan untuk mendukung proses perubahan perilaku individu. Adopsi terhadap

konsep ini didasari dengan alasan bahwa dalam kampanye juga dikenal dua

pembagian jenis kampanye yang maksud dan tujuannya sama dengan downstream

13

dan upstream pada pemasaran sosial. Coffman (2003:2) membagi kampanye

sosial menjadi kampanye perubahan perilaku (individual behavior change

campaign) dan kampanye perubahan kebijakan (policy change campaign).

Kampanye perubahan perilaku menjadikan individu yang perilakunya ingin

dipengaruhi sebagai target kampanye. Sama halnya dengan pemasaran sosial

downstream yang secara langsung menyasar individu untuk melakukan perubahan

perilaku. Sedangkan sasaran kampanye perubahan kebijakan adalah para pembuat

kebijakan atau regulator yang kemudian diharapkan mampu mendorong

perubahan perilaku di level individu dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan

yang mendukung. Hal ini senada dengan apa yang menjadi tujuan pemasaran

sosial upstream.

a. Downstream Strategy

Pemasaran sosial memiliki fokus utama untuk melakukan persuasi

terhadap individu agar mengadopsi perilaku yang direkomendasikan, atau dikenal

dengan istilah downstream (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Dalam teori

perubahan perilaku, diketahui terdapat banyak faktor yang mempengaruhi

perilaku individu. Informasi yang diberikan untuk meningkatkan pengetahuan

atau kesadaran tentang pentingnya merubah perilaku atau mengadopsi perilaku

tertentu tidak dapat mencapai tujuan tersebut. Sehingga, kampanye seringkali

hanya merupakan proses penyebaran informasi untuk meningkatkan kesadaran

atau untuk mempengaruhi aspek lain seperti bagaimana kita berpikir dan

bertindak tentang suatu isu. Misalnya, apakah kita memiliki self-efficacy

(persepsi) tentang seberapa penting kita melakukan perubahan perilaku, atau

persepsi tentang pentingnya perubahan perilaku tersebut dilakukan oleh teman

dan keluarga kita, atau keinginan kita untuk melakukan perubahan perilaku

(Coffman, 2003:4).

Niblett (2005) mendefinisikan downstream sebagai program pemasaran

sosial yang secara spesifik dirancang untuk menghasilkan perubahan perilaku

individul. Konsep pemasaran yang diaplikasikan secara meluas dalam praktek

14

kampanye sosial adalah konsep 4P, yang terdiri dari product, price, place, dan

promotion (Solomon, 1981). Selain empat elemen tersebut, partnership sebagai

‘P’ yang kelima perlu ditambahkan dalam menyusun dan mengimplementasikan

kampanye pemasaran sosial (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011).

1) Product

Produk dalam pemasaran sosial dapat diartikan secara lebih luas daripada

produk dalam pemasaran komersial. Bukan hanya sekedar benda berwujud

(tangible object), tetapi produk juga dapat berupa benda tidak berwujud

(intangible object) seperti ide dan perubahan perilaku. Kotler, Roberto, dan Lee

(2002:195) mengatakan bahwa dalam konteks pemasaran sosial produk adalah

sesuatu yang dijual, perubahan perilaku yang diinginkan beserta manfaat yang

didapat dari perilaku tersebut.

Levebfre (2011) menyebut behaviors, products, dan services sebagai

produk yang dijual dalam pemasaran sosial. Produk dan service biasanya

merupakan pendukung, setelah ide dari perubahan perilaku yang ditawarkan.

Misalnya, kondom dibutuhkan untuk pencegahan HIV/AIDS dan kelambu

dibutuhkan untuk pengendalian wabah malaria. Namun yang lebih penting adalah

bagaimana masyarakat harus menggunakan produk tersebut dan kemudian

mengubah perilaku mereka. Karena produk utama dari pemasaran sosial adalah

ide tentang perubahan perilaku (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011).

2) Price

Pengertian price atau harga dalam pemasaran sosial tidak selalu berkaitan

dengan biaya secara finansial. Kotler, Roberto, dan Lee (2002:217) melihat biaya

dalam pemasaran sosial dapat berupa moneter maupun nonmoneter. Biaya

moneter biasanya dipakai untuk mendapatkan produk tambahan (tangible object)

dalam mengadopsi perilaku yang baru. Sedangkan biaya non-moneter merupakan

biaya yang tidak nampak tetapi terasa nyata bagi target audiens. Biaya ini

termasuk waktu, upaya, dan tenaga untuk menjalankan perilaku, atau dapat pula

berupa resiko serta ketidaknyamanan psikologis yang mungkin dialami. Menurut

15

Levebfre dan Flora (1998) harga dalam perspektif pemasaran sosial tidak hanya

dari segi material tetapi juga mencakup aspek psikologis, sosial, geografis, serta

reward dan punishment bagi perilaku sehari-hari.

Tujuan harga pada pemasaran sosial dapat dijelaskan melalui exchange

theory. Pertukaran dalam sistem pemasaran didefinisikan sebagai pertukaran

barang, jasa, atau sumber daya antara dua pihak atau lebih dengan harapan atas

keuntungan dalam memenuhi kebutuhan. Lefebvre dan Flora (1988) menyatakan

bahwa pertukaran dapat tercapai melalui beberapa cara, yaitu ancaman, paksaan,

perintah, dan sukarela. Pendekatan pemasaran termasuk pemasaran sosial

memfasilitasi terjadinya pertukaran secara sukarela. Pemasaran sosial melibatkan

penekanan pada perubahan perilaku sukarela dan biasanya pertukaran fisiologis,

sosial, atau menfaat tidak berwujud lainnya yang lebih simbolis seperti perbaikan

kesehatan dan kesejahteraan (Gordon, 2013).

Kotler dan Andreasen mengatakan apa yang didapatkan target audiens

akan sama besar atau lebih besar dibanding apa yang mereka berikan (Kotler,

Roberto, & Lee, 2002:217). Jika manfaat dari perubahan perilaku tersebut dinilai

lebih besar daripada ‘harga’ yang harus dibayar, maka penerimaan atas perilaku

tersebut juga lebih besar (Gordon, 2013). Maka, dalam menentukan harga terdapat

dua langkah yang perlu dilakukan. Pertama mengidentifikasi biaya moneter dan

non-moneter terkait dengan adopsi perilaku tertentu. Kedua, membangun strategi

untuk meminimalisir biaya dan meningkatkan manfaat sebagai upaya untuk

“balance the scale” (Kotler, Roberto, & Lee, 2002:217).

3) Place

Dalam pemasaran sosial, place yang dimaksud berbeda dengan media

channel sebagai saluran komunikasi. “Place is where and when the target market

will perform the desired behavior, acquire any related tangible objects, and

receive any associated services” (Kotler, Roberto, & Lee, 2002:243). Place lebih

merujuk pada dimana audiens dapat memperoleh barang atau jasa yang

16

memfasilitasi perubahan perilaku. Place berarti saluran distribusi yang

menjadikan produk, layanan, atau ide tersedia bagi kelompok sasaran.

Kemampuan social marketers untuk menjamin aksesibilitas barang dan

jasa yang mendukung perubahan perilaku menjadi sangat penting. Sebab,

permasalahan akses atas barang dan jasa mendukung promosi kesehatan dapat

menjadi penghalang antara keinginan untuk memiliki gaya hidup yang lebih sehat

dengan kemampuan untuk mewujudkannya (Lefebvre, 2011). Banyak kampanye

sosial mengalami kegagalan karena mereka tidak memiliki sistem distribusi pesan

dan produk yang memadai (Solomon, 1981). Place dalam pemasaran harus

mempertimbangkan: (1) bagaimana membuat produk tersedia dengan nyaman;

dan (2) melakukan manajemen terhadap berbagai perantara (Henley, Raffin, &

Caemmerer, 2011).

Seiring perkembangan teknologi, konteks place dalam pemasaran sosial

turut berkembang. Yang semula hanya berupa tempat tersedianya barang dan jasa

yang mendukung kampanye secara fisik, kini juga meliputi place yang tidak

memiliki bentuk fisik melalui pemanfaatan internet atau dapat dikatakan sebagai

virtual place. Robinson (2010) menyatakan virtual places tidak mengharuskan

users mengunjungi lokasi fisik tertentu untuk mengkonsumsi dan membagi

informasi dan gaya hidup sehat dan memungkinkan orang untuk

mempersonalisasi dan membagi pengetahuan dan ketertarikan atas hal tertentu

(dalam Alden, 2011).

4) Promotion

Promosi merupakan serangkaian aktivitas yang menimbulkan kesadaran

terhadap produk beserta atributnya, atau pengingat bahwa produk tersebut ada.

Tugas komunikator adalah untuk memastikan bahwa target audiens mengetahui

tentang apa yang ditawarkan, percaya bahwa mereka akan mengalami benefit

yang dijanjikan, dan terinspirasi untuk bertindak (Kotler, Roberto, & Lee,

2002:264). Dari unsur-unsur pemasaran sosial yang ada, promosi adalah yang

paling mendapat perhatian lebih dibanding tiga unsur lainnya. Terutama dalam

17

studi komunikasi, unsur promosi memiliki hubungan langsung dengan proses

pembuatan pesan kampanye. Pesan inilah yang kemudian memberikan pembeda

yang cukup jelas antara pemasaran sosial dan pemasaran komersial.

Promosi dalam pemasaran sosial pada intinya terdiri dari proses produksi

pesan melalui komunikasi persuasif yang kemudian dilanjutkan dengan memilih

saluran komunikasi yang efektif untuk mendistribusikan pesan perubahan sosial

yang dimaksud. Kotler, Roberto, dan Lee (2002:265) merumuskan elemen-elemen

penting yang dapat memudahkan dalam penyusunan pesan kampanye perubahan

sosial yang terdiri dari: (1) key message; (2) target audience; (3) communication

objectives; (4) benefit to promise; (5) support to promise; (6) openings; dan (7)

positions. Selain memperhatikan aspek pesan, keberhasilan kegiatan promosi juga

ditentukan oleh ketepatan media yang digunakan. Adapun pertimbangan utama

dalam memilih media promosi adalah: (1) choosing types of media channel; (2)

selecting specific media vehicles, dan (3) determining campaign timing (Kotler,

Roberto, & Lee, 2002:292).

Perkembangan budaya dan teknologi yang kita alami dalam berkomunikasi

seperti kehadiran media sosial, perangkat mobile, dan website interaktif kemudian

menggiring kita untuk mengadopsi model komunikasi modern. Inovasi ini juga

mendorong kita agar memikirkan cara untuk menjejali target dengan program dan

pesan, serta menyediakan sebanyak-banyaknya kesempatan bagi mereka untuk

terpapar perilaku, produk, jasa, dan komunikasi yang mengarah pada terwujudnya

perubahan perilaku (Lefebvre, 2011). Salah satu media promosi alternatif yang

semakin banyak digunakan sekarang adalah media sosial. Dahl (2010)

menegaskan ketika media saluran tradisional seperti public service announcement,

billboards, poster, media berbayar, dan iklan cetak telah digunakan secara luas

sebagai media promosi dalam kampanye pemasaran sosial, media sosial

menawarkan kesempatan bagi target audiens untuk berpartisipasi aktif dalam

membangun dan menyebarkan iklan dan materi promosi lainnya (dalam Alden,

2011).

18

5) Partnership

Sebagai ‘P’ yang kelima, partnership memainkan peran signifikan dalam

serangkaian kegiatan pemasaran sosial. Seringkali masalah sosial yang ingin

diselesaikan melalui pemasaran sosial sangat rumit dan tidak dapat ditangani

sendiri, sehingga perlu kolaborasi dari berbagai pihak. Permasalahan sosial dan

kesehatan biasanya menjadi sangat kompleks, oleh karena itu dibutuhkan

kemitraan dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan isu yang dikampanyekan

(Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011). Hal ini penting untuk memudahkan

penyampaian pesan yang lebih efektif.

Pada dasarnya social marketing adalah strategi menjual gagasan untuk

mengubah pemikiran, sikap dan perilaku masyarakat tentang isu sosial tertentu.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak.

Partnership merupakan kunci keberhasilan dari hampir semua proyek pemasaran

sosial, bahkan lebih penting dari pemasaran komersial (Niblett, 2005). Prinsip

pemasaran sosial tidak ada artinya apabila kemitraan tidak dijadikan tujuan

organisasi. Menurut Ayadi dan Young (2006), partnership adalah elemen

pemasaran sosial yang paling esensial, karena permasalahan sosial hanya dapat

diselesaikan melalui upaya yang terintegrasi dengan beberapa stakeholder (dalam

Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011).

“A partnership is a voluntary collaboration between two or more private

sector, non-profit (or government) institutions that has: 1) a written agreement. 2)

goal of mutual benefit; 3) resource transfer; and 4) substantive purpose” (AED

dalam Niblett, 2005). Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa

kemitraan dapat terjalin dengan adanya kesepakatan tertulis, persamaan persepsi

terhadap tujuan, dan transfer sumber daya di antara organisasi dengan tujuan yang

sama. Pada akhirnya, kemitraan diharapkan dapat saling mendukung pencapaian

tujuan. Dalam memilih mitra yang dapat diandalkan, setiap organisasi baik non-

profit maupun privat, harus mempertimbangkan aspek segmentasi pasar,

kesamaan visi dan nilai, citra (image) yang baik, serta kesamaan reputasi dan

sumber daya yang memadai (Lefebvre, 2006).

19

b. Upstream Strategy

Menurut Andreasen (2003), pemasaran sosial bertujuan untuk merubah

pengetahuan dan sikap yang pada akhirnya merubah perilaku individu atau

kelompok (Gordon, 2013). Kampanye dalam advokasi kebijakan juga ditujukan

untuk menciptakan atau mengubah persepsi dan membangun dukungan untuk

mempengaruhi pembuat kebijakan (Cohen dkk., 2010:7). Kampanye dalam

advokasi kebijakan dilakukan untuk mengedukasi dan memobilisasi publik atas

isu sosial. Aktivitas kampanye bisa dengan mempromosikan isu sosial/kebijakan

serta mengorganisasi dan mempromosikan aktivitas advokasi lainnya seperti

petisi, demonstrasi, dan aksi turun ke jalan. Upaya mempromosikan berbagai

aktivitas berbagai aktivitas tersebut bisa dilakukan melalui berbagai macam cara

dan beragam media.

Pemasaran sosial tidak hanya mencakup downstream yaitu perubahan

perilaku di tingkat individu semata, namun juga upstream yang merupakan

perubahan kebijakan kesehatan, legislasi, dan infrastruktur yang menciptakan

kondisi dimana komunitas dan populasi mengadopsi perilaku kesehatan (Alden,

2011). Pemasaran sosial upstream masih mencakup perubahan perilaku tetapi

menyasar pada pembuat kebijakan, legislatif, regulatif, dan manajemen keputusan

yang mempengaruhi individu, kelompok, dan organisasi dalam masyarakat

(Hastings & Donovan dalam Gordon, 2013). Tidak ada artinya upaya mengubah

perilaku melalui pemasaran sosial apabila tidak diikuti atau dilanjutkan dengan

upaya mendorong tersusunnya sebuah kebijakan.

“Upstream social marketing is used to change policies, laws, regulations,

and physical environments in order to facilitate individual behavior change”

(Niblett, 2005). Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa pemasaran sosial

upstream bekerja sebagai alat advokasi kebijakan dalam mencapai perubahan

sosial di masyarakat. John Hopkins mendefinisikan advokasi sebagi usaha

mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk komunikasi

persuasif (dalam Maulana, 2009:75). Pemahaman lebih lengkap tentang advokasi

20

disampaikan oleh Pelletier, et al. (2013) bahwa advokasi merupakan intervensi ke

dalam sistem sosial-politik yang kompleks, dinamis dan sangat kontekstual, di

mana strategi dan taktik harus disesuaikan secara terus menerus mengingat

kondisi yang berubah dengan cepat, reaksi dari aktor dan umpan balik.

Upaya advokasi kebijakan dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas baik

yang secara langsung ditujukan kepada pembuat kebijakan, maupun secara tidak

langsung. Adapun kegiatan-kegiatan advokasi tersebut menurut Mosley (2006:20)

termasuk mengadakan atau berpartisipasi dalam demonstrasi, mengorganisasi

anggota komunitas untuk mengambil tindakan terkait isu kebijakan, melobi

(mengadakan pertemuan dengan pejabat publik, memberikan testimoni publik),

atau menulis surat kepada editor, merilis laporan kebijakan, berpartisipasi dalam

koalisi yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan publik, dan mengedukasi

publik tentang isu-isu kebijakan.

Advokasi memainkan peranan penting dalam menyuarakan kepentingan

masyarakat dalam kebijakan kesehatan dan mendorong perubahan (Alden, 2011).

Advokasi kesehatan menurut Departemen Kesehatan RI diartikan sebagai

advokasi yang dilakukan untuk memperolah komitmen atau dukungan dalam

bidang kesehatan, atau yang mendukung pengembangan lingkungan dan perilaku

sehat (dalam Basuki & Topobroto, 2007). Chapman (2003) menyatakan tujuan

kesehatan masyarakat yang dapat diatasi dengan advokasi antara lain (dalam

Basuki & Topobroto, 2007):

1) Mengubah “political will” untuk kepentingan kesehatan masyarakat

2) Mengubah “social climate” untuk mendukung kesehatan masyarakat

3) Menerbitkan atau memperbaharui undang-undang atau peraturan

4) Pelaksanaan undang-undang yang seolah-olah tertidur

5) Mengubah alokasi sumberdaya serta pendanaan

6) Mengubah pelaksanaan serta prioritas suatu institusi

7) Meningkatkan pengawasan pelayanan bagi publik

8) Mempercepat modifikasi produk.

Perlu diingat bahwa advokasi merupakan suatu strategi, bukan merupakan

tujuan. Setiap advokasi yang dilakukan harus selalu dipertimbangkan dengan

21

cermat tujuannya serta kemudian dievaluasi seberapa jauh sumbangannya

terhadap tujuan kesehatan masyarakat yang akan kita atasi permasalahannya.

Berarti setiap langkah advokasi harus direncanakan secara rinci dan cermat,

sampai akhirnya dicapai tujuan yang diinginkan. Menurut UNFA dan BKKBN

(2002), terdapat lima pendekatan utama dalam adavokasi, yaitu melibatkan para

pemimpin, bekerja dengan media massa, membangun kemitraan, memobilisasi

masa, dan membangun kapasitas. Strategi advokasi yang dapat dilakukan adalah

melalui pembentukan koalisi, pengembangan jaringan kerja, pembangunan

institusi, pembuatan forum, dan kerjasama bilateral (Maulana, 2009:78)

Aktivitas-aktivitas advokasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan

tindakan kebijakan sebagai tujuan utama (output) dari upaya advokasi kebijakan.

Pada prosesnya, pencapaian tujuan utama ini didukung oleh outcomes yang

dihasilkan oleh aktivitas advokasi kebijakan. Outcomes yang dihasilkan

menunjukkan pengaruh dan perubahan sebagai dampak dari aktivitas advokasi

kebijakan. Outcomes berbeda dengan output. Outcomes menunjukkan measures of

effect terkait perubahan yang terjadi dalam target populasi atau komunitas sebagai

hasil dari advokasi kebijakan, sedangkan output menunjukkan measures of effort

terkait apa dan berapa banyak yang dicapai, distribusi, jangkauan advokasi dan

output tidak bercerita banyak tentang efek (Coffman, 2002:20-21).

Dalam penelitian ini, upstream strategy dalam pemasaran sosial tidak akan

sampai pada terbitnya kebijakan sebagai output dari serangkaian kegiatan

advokasi. Karena pembahasan terbatas pada kampanye OBS sebagai pendukung

kegiatan advokasi IAC, maka pemaparan akan mencakup bagaimana kampanye

OBS memperoleh outcome. Coffman (2003:6) berpendapat outcome yang

mendukung pencapaian tindakan dan implementasi kebijakan tersebut antara lain

koverasi media, kesadaran publik, dukungan publik atau public will, dan

dukungan pembuat kebijakan atau political will.

Koverasi media menunjukkan pemberitaan terkait isu atau permasalahan

sosial oleh media massa cetak, elektronik, dan online. Kesadaran publik mengacu

22

pada kemampuan publik untuk mengetahui bahwa ada isu atau permasalahan

sosial dan usulan kebijakan atas isu tersebut. Dukungan publik atau public will

merujuk pada kesediaan publik untuk bertindak dalam mendukung isu atau usulan

kebijakan. Sedangkan dukungan pembuat kebijakan atau political will

didefinisikan sebagai kesediaan pembuat kebijakan untuk bertindak dalam

mendukung isu atau usulan kebijakan.

3. Konsep Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti berupaya menggambarkan strategi pemasaran

sosial dalam kampanye sosial yang diselenggarakan oleh IAC. Untuk memberikan

batasan dan kerangka yang jelas dalam mendeskripsikan temuan di lapangan,

dibutuhkan konsep penelitian. Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah

diuraikan sebelumnya, dapat dipahami bahwa kampanye sosial merupakan bagian

dari pemasaran sosial. Kampanye adalah implementasi dari strategi komunikasi

pemasaran sosial yang digunakan.

Kampanye sosial dalam konteks penelitian ini adalah aktivitas persusasi

yang dilakukan oleh IAC melalui kampanye ODHA Berhak Sehat dalam rangka

mewujudkan pemerataan informasi yang benar dan komprehensif seputar

HIV/AIDS. Aktivitas ini dilakukan guna mengurangi bahkan menghilangkan

stigma dan diskriminasi tentang HIV/AIDS sehingga tidak lagi menghambat

pencegahan dan penanggulangannya. Kampanye tersebut ditujukan kepada

beberapa kelompok sasaran, yaitu masyarakat awam, ODHA dan kelompok

terdampak, serta jajaran permbuat kebijakan. Kelompok sasaran yang berbeda

tersebut membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Strategi kampanye sosial

yang digunakan oleh IAC dijelaskan dengan dua konsep pemasaran sosial, yaitu

downstream strategy dan upstream strategy yang diadopsi dari Niblett (2005).

Downstream strategy akan dijadikan kerangka yang menaungi penjabaran

strategi komunikasi pemasaran sosial kampanye IAC dalam mempengaruhi

perubahan sikap di level individu, dimana yang menjadi target adalah masyarakat

awam, juga ODHA dan kelompok terdampak. Strategi komunikasi pemasaran

23

sosial IAC dalam downstream strategy kemudian dijabarkan melalui beberapa

indikator yang dikembangkan dari konsep bauran pemasaran sosial yang terdiri

dari ‘4P’ (product, place, price, dan promotion) dan dilengkapi dengan

partnership sebagai ‘P’ yang kelima (Henley, Raffin, & Caemmerer, 2011).

Sedangkan upstream strategy akan menjadi landasan pemaparan strategi

komunikasi pemasaran sosial kampanye IAC dalam mempengaruhi para pembuat

kebijakan. Pembahasan upstream strategy dikembangkan dari pencapaian

outcomes dalam mewujudkan kebijakan yaitu koverasi media, kesadaran publik,

dukungan publik, dan dukungan pembuat kebijakan (Coffman, 2003:6). Konsep,

definisi, dan indikator secara lengkap tampak dalam tabel berikut:

Konsep Definisi Indikator Downstream strategy

Strategi pemasaran sosial untuk mewujudkan perubahan perilaku pada level individu.

Produk sosial Harga produk sosial Saluran kampanye Kegiatan pendukung kampanye Kemitraan

Upstream strategy

Strategi pemasaran sosial untuk mendorong lahirnya kebijakan yang mendukung perubahan perilaku individu.

Koverasi media Dukungan publik Dukungan pembuat kebijakan

Tabel 2.

Konsep penelitian

Sumber: Diadaptasi dan dikembangkan Niblett (2005), Henley, Raffin, dan Caemmerer (2011), dan Coffman (2003).

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yakni penelitian yang

menurut Bodgan dan Taylor (1975) menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang bisa diamatai (dalam

Moleong, 2008:4). Jenis penelitian ini adalah deskriptif karena bertujuan untuk

mendeskripsikan strategi pemasaran sosial dalam kampanye sosial. Sedangkan

metode yang dipilih adalah metode studi kasus, dengan harapan dapat

24

menjelaskan temuan-temuan di lapangan secara lebih mendalam. Studi kasus

dilakukan ketika peneliti perlu memahami atau menjelaskan fenomena (Wimmer

& Dominick, 2011:141). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambarkan

fenomena kampanye sosial yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan

pemasaran sosial. Penelitian ini mengumpulkan informasi terkait bagaimana

konsep pemasaran digunakan dalam penyelenggaraan sebuah kampanye sosial.

Sebagai sebuah metode, studi kasus terdiri dari beberapa desain penelitian.

Stake (1994) menyebutkan tiga jenis studi kasus yakni intrinsic case study,

instrumental case study, dan collective case study. Studi kasus intrinsik dipilih

ketika peneliti ingin memahami suatu kasus secara mendalam. Sedangkan studi

kasus instrumental dilakukan jika sebuah kasus dipelajari untuk memberikan

wawasan tentang suatu persoalan dan memungkinkan untuk digeneralisasi.

Sementara itu, studi kasus kolektif adalah penelitian dengan jumlah kasus yang

banyak. Berdasarkan pembagian tersebut, penelitian ini termasuk dalam studi

kasus instrumental, dimana kasus diposisikan sebagai sarana (instrumen). Artinya,

kasus digunakan sebagai sarana untuk memberikan pemahaman mendalam

tentang sesuatu yang lain dari yang biasa dijelaskan. Melalui kasus kampanye

HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh IAC, peneliti bermaksud menunjukkan

adanya sesuatu yang khas yang dapat dipelajari dari kasus tersebut, yaitu

penerapan prinsip-prinsip pemasaran sosial dalam kampanye sosial.

2. Objek Penelitian

Pada penelitian ini, yang menjadi objek adalah Indonesia AIDS Coalition

dengan alamat Jl. Tebet Timur Dalam X D No. 3 Tebet, Jakarta Selatan, 12820.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu

data primer dan data sekunder. Dengan perbedaan jenis data tersebut, dibutuhkan

cara yang berbeda dalam proses pengumpulannya. Kegiatan pengumpulan data

dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumen.

25

1) Wawancara

Teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini dilakukan

melalui wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara dalam penelitian

ini bersifat tidak terstruktur dan terbuka. Peneliti dilengkapi pedoman wawancara

(interview guide) yang sangat umum dan hanya akan mencantumkan isu-isu yang

harus diteliti tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk

pertanyaan eksplisit. Proses wawancara ini berkembang menyesuaikan dengan

perkembangan pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah antara peneliti

dengan informan. Proses menentukan informan dalam penelitian ini menggunakan

teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan

pertimbangan tertentu. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Ayu Oktariani

selaku Public Campaign Officer IAC. Kemudian sebagai pelengkap data

penelitian, wawancara juga melibatkan informan lain yaitu Bani Risset selaku

Program Manager IAC dan Deni Prasetyo sebagai ICT Officer IAC.

2) Observasi

Observasi merupakan kegiatan pengamatan yang dalam penelitian ini

dilakukan secara online. Observasi secara online dilakukan melalui pengamatan

terhadap media sosial dan website yang dikelola IAC sebagai bagian dari kegiatan

komunikasi pemasaran sosial dalam kampanye OBS.

3) Dokumen

Dokumen merupakan teknik pengumpulan data dalam penelitian yang

tidak pernah dapat ditinggalkan. Dokumen yang digunakan adalah semua data

tertulis yang dapat berupa dokumen pribadi maupun dokumen resmi IAC seperti

laporan pertanggungjawaban, program kerja, hasil pemeriksaan, surat keputusan,

gambar, foto, dan sebagainya yang dapat dijadikan pendukung dalam penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi pada penelitian kualitatif

dikembangkan atas dasar kejadian yang diperoleh ketika kegiatan penelitian di

lapangan berlangsung (Bungin, 2008:69). Kegiatan pengumpulan data dan proses

26

analisis data menjadi dua hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Aktivitas

dalam analisis data kualitatif dilakukan serempak dan berlangsung secara

interaktif, seperti yang digambarkan Miles dan Huberman sebagai berikut:

Masing-masing komponen analisis tersebut secara lebih jelas dapat

didefinisikan sebagai berikut :

1) Pengumpulan Data (Data Collection)

Berbagai data dikumpulkan melalui hasil wawancara, observasi, dan

dokumen yang terkait dengan strategi komunikasi pemasaran sosial kampanye

oleh Indonesia AIDS Coalition. Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan

perbandingan-perbandingan apakah data yang diperoleh dilapangan dapat

memperkaya data bagi tujuan konseptualisasi, kategorisasi, ataukah teoritisasi.

2) Reduksi Data (Data Reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok dan

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas

dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan

mencarinya bila diperlukan.

3) Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data dilakukan setelah proses pengumpulan data dan reduksi

data dilakukan. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam

Gambar 1. Analisis data model interaktif Sumber: Miles dan Huberman dalam Bungin (2008:69)

27

bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya.

Akan tetapi, yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

4) Penarikan Kesimpulan (Conclution Drawing and Verifying)

Tahap yang terakhir dari teknik analisis ini adalah penarikan kesimpulan.

Kesimpulan diambil dari hasil penelitian dan pembahasan yang mempertegas

hasil dari temuan dilapangan. Apabila kesimpulan yang dikemukakan didukung

oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan untuk

mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan

yang kredibel.

5. Validitas Data

Pengujian validitas data sangat penting untuk menjamin kredibilitas hasil

penelitian. Metode triangulasi merupakan salah satu metode yang paling umum

dalam uji validitas penelitian kualitatif. Terdapat empat jenis triangulasi (Denzin

dalam Patton, 2006:99), yaitu: 1) triangulasi sumber data, menguji konsistensi

hasil temuan penelitian dari sumber data yang berbeda didalam metode yang

sama; 2) triangulasi pengamat, adanya pengamat di luar peneliti yang turut

memeriksa hasil pengumpulan data; 3) triangulasi teori, menggunakan beragam

perspektif atau teori dalam menginterpretasikan data; dan 4) triangulasi metode,

menggunakan metode pengumpulan data yang berbeda dalam menguji konsistensi

penemuan penelitian yang dihasilkan. Validitas data dalam penelitian ini

dilakukan dengan triangulasi sumber data. Peneliti menguji konsistensi data yang

diperoleh melalui metode pengumpulan data yang beragam yaitu wawancara,

observasi, dan dokumen untuk membantu membangun kredibilitas.

6. Limitasi Penelitian

Limitasi penelitian merupakan batasan-batasan yang harus diberikan

terhadap konteks suatu penelitian. Penelitian ini mendeskripsikan strategi

pemasaran sosial dalam sebuah kampanye sosial. Yang menjadi fokus penelitian

28

ini adalah bagaimana Indonesia AIDS Coalition melakukan kampanye sosial

dengan dua pendekatan pemasaran sosial, downstream strategy dan upstream

strategy. Penelitian ini hanya memaparkan bagaimana strategi pemasaran sosial

menjadi dasar bagi organisasi non-profit dalam melakukan kampanye sosial,

tetapi tidak menilai sejauh mana keberhasilan atau efektivitas strategi tersebut.

7. Sistematika Penulisan

Peneliti memaparkan strategi pemasaran sosial dalam kampanye sosial

oleh Indonesia AIDS Coalition pada penelitian ini dengan membagi penulisan

menjadi empat bab, yaitu:

Bab I : Berisi pendahuluan dan desain penelitian yang mencakup latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, objek penelitian,

kerangka pemikiran, dan metode penelitian.

Bab II : Penjelasan mencakup gambaran umum Indonesia AIDS Coalition

sebagai penyelenggara kampanye beserta instrumen pendukung kampanye ODHA

Berhak Sehat lainnya.

Bab III : Peneliti memaparkan temuan di lapangan serta analisis data.

Pembahasan strategi pemasaran sosial Indonesia AIDS Coalition dijelaskan secara

lengkap pada bagian ini.

Bab IV : Peneliti membuat kesimpulan akhir dari penelitian untuk selanjutnya

dijadikan dasar dalam mengajukan saran. Setelah itu, peneliti juga memberikan

rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.