bab i pengantar a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Jaringan ekonomi komunitas Islam sudah ada sejak abad-abad pertama
perkembangan agama ini di Nusantara. Keberadaan jaringan ini semakin menguat
seiring perubahan zaman dan perkembangan kota-kota di Jawa. Sejak kemunculan
pusat-pusat perekonomian baru di wilayah kerajaan-kerajaan lokal yang bercirikan
keislaman yang kuat, jaringan ekonomi mulai terbentuk seiring meluasnya aktivitas
perdagangan yang bersinggungan dengan jaringan sosial-keagamaan.1 Awal abad ke-
20, kita menyaksikan suatu perkembangan penting dalam perjalanan sejarah
masyarakat Indonesia, ketika komunitas daerah pedesaan sebagai tempat
berlangsungnya perubahan sosial mulai digeser peranannya oleh daerah perkotaan.2
Sebagian besar daerah perkotaan di Nusantara sepertihalnya kota-kota di Jawa
banyak dihuni oleh komunitas muslim yang dikenal sebagai kelompok santri.
Kelompok tersebut sampai sekarang menguasai sumber dan aktivitas ekonomi di
dalam masyarakat Indonesia yang terkonsentrasi di sekitar pelabuhan, pasar, sentra-
1 Bambang Purwanto, “Merajut Jaringan di Tengah Perubahan: Komunitas
Ekonomi Muslim di Indonesia pada Masa Kolonial”, dalam Lembaran Sejarah
(Yogyakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UGM, 2000), hlm. 49.
2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 78.
2
sentra industri kecil (kerajinan) dan pusat pemerintahan di daerah perkotaan.
Selanjutnya keberadaan kelompok pengusaha dan pedagang muslim pada masyarakat
kota dikategorikan sebagai golongan menengah perkotaan selain kaum cendekiawan.
Van Der Kroef menyatakan bahwa kemunculan kedua golongan tersebut (golongan
pengusaha dan cendekiawan) pada awal abad ke-20 hampir bersamaan waktunya.
Beberapa pedagang tersebut berkecimpung dalam industri kecil dan memiliki toko-
toko yang mereka jadikan tempat usaha. Sejak awal kemunculannya mereka
mempunyai kepentingan ekonomi yang mencoba mengimbangi pedagang Cina dan
Eropa.3
Para pengusaha dan pedagang muslim dalam tingkatannya menempati posisi
penting dalam perluasan peran ekonomi. Secara ekonomi mereka berada pada posisi
tengah di antara elit dan masyarakat biasa. Kelompok ini sebagian besar berasal dari
lingkungan tradisi santri yang kuat.4 Mereka tidak hanya terlibat dalam perdagangan,
melainkan juga dalam produksi berbagai jenis barang industri yang dibutuhkan pasar
dalam skala yang cukup besar untuk saat itu. Para pengusaha dan pedagang muslim
ini dalam kegiatan usaha perdagangan dan industri selanjutnya mampu menguasai
cakrawala kehidupan daerah perkotaan, termasuk wilayah Yogyakarta.5
3 J. M. Van Der Kroef, Indonesia In The Modern World part I (Bandung:
Masa Baru), hlm. 151.
4 Bambang Purwanto, op.cit. hlm. 64.
5 Kuntowijoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia dalam Mencari Identitas,
1910-1950”, Prisma, November 1985 (Jakarta: LP3ES, 1985) hlm. 35.
3
Keberadaan kota Yogyakarta pada jaringan ekonomi komunitas Islam
Nusantara dianggap cukup berpengaruh pada awal abad ke-20. Beberapa wilayah
yang dihuni para komunitas muslim di kota ini menjadi pusat perdagangan dan
sentra-sentra industri kerajinan seperti Kotagede, Kauman dan Karangkajen.
Kotagede di Yogyakarta pada mulanya hanya merupakan sebuah kota satelit yang
cukup banyak dihuni oleh wirausahawan muslim. Pada tahun 1926, H.J Van Mook
melaporkan bahwa Kotagede bertumbuh menjadi kota pusat komunitas pedagang
pribumi di Yogyakarta.6 Menurutnya, salah satu faktor pendukung yang turut
memajukan Kotagede adalah peran serta dari para haji dan kelompok santri dalam
aktivitas perdagangan. Mereka mempunyai semangat ekonomi dan etika kerja yang
cocok dengan iklim perkotaan dan pemikiran rasional. Para haji tersebut membentuk
jaringan atau hubungan dagang dengan sesama pedagang muslim lainnya di kota
besar di Jawa sepertihalnya Betawi, Cirebon, Purwokerto, Pekalongan, Semarang,
Surakarta, Madiun, Tulung Agung dan Surabaya.7
Komunitas muslim lain yang bermukim di Yogyakarta selain Kotagede adalah
Kauman dan Karangkajen. Dua tempat tersebut merupakan kantong santri yang
cukup banyak dihuni oleh para pengusaha yang berkecimpung dalam industri batik.
Para kaum santri ini termasuk golongan kelas menengah yang menggeluti bidang
6 H.J. Van Mook, Kuta Gede (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm. 19-21.
7 Kuntowijoyo, Muslim Kelas Menengah..., hlm. 40.
4
perniagaan. Menurut Kuntowijoyo beberapa kota santri di Jawa mempunyai daerah-
daerah pusat perdagangan dan industri yang dikenal dengan istilah Kauman.8
Kata Kauman berasal dari kata “pa – kaum – an” . Kata pa berarti sebagai
tempat, sedangkan kata kaum berasal dari kata qoimuddin yang berarti penegak
agama. Kauman merupakan tempat para haji (kajen), dimana komunitasnya
merupakan semacam enclave tersendiri.9 Pendapat lain mengemukakan bahwa
perkampungan Kauman terletak di belakang Masjid Besar Sultan. Terdiri dari jalan-
jalan sempit dan tembok-tembok putih. Tanahnya sebagai tanah gaduh sultan yang
dihadiahkan kepada para abdi dalem keraton selaku pegawai atau pejabat-pejabat
keagamaan.10 Kauman bisa diartikan sebagai tempat para penegak agama atau para
ulama haji dan para santri, mereka bertempat tinggal di sekitar Masjid Gede (besar)
sepertihalnya yang ada di Yogyakarta.
Masyarakat Kauman Yogyakarta sebagian besar berprofesi sebagai pedagang
yang sekaligus menjadi abdi dalem urusan keagamaan. Para santri di Kauman
sebagaimana dikatakan Geertz, memiliki hubungan yang erat dengan usaha
perdagangan. Dalam sejarahnya mereka juga diketahui sebagai penyebar Islam
8 Kuntowijoyo, Muslim Kelas Menengah..., hlm. 37.
9 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Cetakan Ketiga, Jilid 2 (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 93.
10 Pijper, Fragmenta Islamica Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di
Indonesia Awal Abad XX, Terjemahan Tudjimah, (Jakarta: UI. PRESS, 1987), hlm. 1.
5
melalui jalur perdagangan yang dijalin para santri yang salah satunya adalah
perdagangan batik. Akan tetapi para santri dari Kauman ini tidak bertempat tinggal di
pusat-pusat perdagangan, tetapi sebagai abdi dalem keraton, mereka tinggal di
perkampungan di tengah-tengah kota Yogyakarta. Mereka kebanyakan bergelar haji,
di samping bergelar raden atau mas.11
Batik yang dahulu hanya berkembang di Kauman dan kraton Yogyakarta
menjadi industri setelah mulai merambah ke daerah di luar kraton seiring
berkembangnya organisasi Muhammadiyah di Kauman.12 Kesuksesan Kauman dalam
perdagangan batik, menyebabkan Yogyakarta dikenal sebagai pusat kerajinan batik
yang mencapai puncaknya pada tahun 1922.13 Hampir setiap orang yang mempunyai
modal di kota ini langsung terjun ke dalam perdagangan batik. Tempat-tempat
pengerjaan batik berkembang dimana-mana bahkan orang yang tidak mempunyai
uang pun tidak mau ketinggalan. Mereka dengan mudah bisa memperoleh pekerjaan
sebagai buruh. Seringkali, buruh yang bekerja dengan giat, rajin dan bisa dipercaya
mendapatkan pinjaman kain batik dari pedagang besar kemudian dijajakannya dari
11 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi
tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede,Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press,1983), hlm. 59.
12 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung
Muhammadiyah (Yogyakarta: Tarawang Kauman, 2000), hlm. 90.
13 Mitsuo Nakamura, op.cit. hlm. 62.
6
pasar ke pasar atau dari desa ke desa. Beberapa diantara mereka segera menjadi
cukup kaya sehingga mampu mendirikan usaha batiknya sendiri.14
Memasuki tahun 1930an sampai akhir tahun 1940an industri batik di
Yogyakarta termasuk di Kauman dan Karangkajen mengalami penurunan
dikarenakan berbagai rangkaian peristiwa. Krisis ekonomi yang melanda Hindia
Belanda pada tahun 1930 turut melemahkan aktivitas perdagangan batik di
Yogyakarta. Industri batik sempat bangkit sedikit setelah mengalami krisis ekonomi
namun tidak berlangsung lama karena datangnya Jepang. Selanjutnya sekitar tahun
1945 hingga 1949, situasi perang kemerdekaan tidak memberikan suasana yang
kondusif bagi perkembangan batik. Bahkan terdapat beberapa kampung batik menjadi
korban pengeboman Belanda. Setelah masa revolusi berakhir, batik kembali
mengalami perkembangan. Dengan didirikannya Gabungan Koperasi Batik Indonesia
(GKBI) pada tahun 1949 perkembangan kewirausahaan batik melaju dengan pesat.
GKBI merupakan gabungan dari lima koperasi batik yang besar di Pekalongan, Solo,
Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.15
Batik Indonesia khususnya di Yogyakarta masih tergolong ke dalam industri
rumah tangga dan dalam perkembangannya mengalami pasang-surut. Untuk
membantu laju perekonomian industri batik salah satunya, pemerintah Indonesia
kemudian memperkenalkan Program Benteng yaitu dengan memberikan izin dan
14 Mitsuo Nakamura, op.cit. hlm. 62-63.
15 Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia
1950-1980 (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 234.
7
kredit impor kepada para importir pribumi. Pemerintah mencoba memberikan
peluang kepada para calon pengusaha Indonesia untuk masuk ke dalam sektor
perdangan impor. Hal ini membuahkan hasil pada pertengahan tahun 1950-an, sekitar
70% perdagangan impor Indonesia dipegang oleh para pengusaha Indonesia.16 Salah
satu kelompok pengusaha di Yogyakarta pada tahun 1950-an yang turut mendapatkan
dampak positif dari kebijakan Program Benteng adalah Kampung Karangkajen. Di
kampung tersebut komunitas santri telah lama mengembangkan usaha perbatikan.
Pengusaha batik Karangkajen mempunyai ikatan kekerabatan (keluarga) yang
cukup kuat dengan Kauman. Hal ini salah satunya dikarenakan banyak pengusaha
batik di Kauman yang berasal dari Karangkajen. Kampung ini pada tahun 1950-1975
merupakan sentra batik yang cukup terkenal di Yogyakarta. Sebagai salah satu
kantong organisasi Muhammadiyah selain Kauman, Karangkajen mempunyai iklim
keagamaan yang cukup kuat dalam beberapa bidang sosial. Sebagian besar pengusaha
batik di tempat ini memahami Islam tidak hanya dilihat sebagai refleksi tingkah laku,
tetapi memberikan pengaruh kesadaran terhadap kegiatan ekonomi.
Aktivitas keberagamaan mereka dalam kehidupan sehari-hari mempengaruhi
pembangunan dan kegiatan ekonomi masyarakat tempat tinggal mereka. Tahun 1950-
1975 bagi pengusaha batik di Karangkajen dianggap sebagai periode yang
16 Thee Kian Wie, “Kebijakan Ekonomi Indonesia Selama Periode 1950-
1956, Khususnya terhadap Penanaman Modal Asing”, dalam Thomas Lindblad (ed.),
Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara
UGM, 2002), hlm. 377.
8
memberikan mereka banyak pengalaman hidup dalam pengelolaan industri batik.
Pengusaha muslim Karangkajen termasuk kelompok pengusaha yang dinamis dalam
mengembangkan perdagangan batik di Yogyakarta. Para pengusaha ini
mengembangkan suatu jaringan ekonomi yang tidak hanya berfokus pada komunitas
Islam, tetapi juga dengan para pedagang Cina dan Arab. Mereka menjalin hubungan
dagang hingga ke daerah-daerah pelosok Jawa dan luar pulau Jawa.
Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki para pengusaha batik Karangkajen,
mereka mendirikan tempat-tempat pendidikan dan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat sekitar. Banyak orang di kampung-kampung sekitarnya yang bekerja
menjadi buruh batik di Karangkajen dan menyekolahkan anak-anak mereka di sana.
Semangat keberagamaan para pengusaha ini banyak terpengaruh dari paham
Muhammadiyah yang mereka anut. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti
bermaksud untuk mengkaji dinamika komunitas santri pengusaha batik di
Karangkajen pada periode pasca kemerdekaan.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Fokus penelitian yang dibahas dalam tesis ini adalah dinamika perdagangan
dan kerajinan batik di Karangkajen tahun 1950-1975. Permasalahan pokok yang ingin
dijawab adalah mengapa industri batik di Karangkajen yang dimotori oleh para
pengusaha santri menunjukkan dinamika yang tinggi pada periode 1950-1975 dan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dinamika tersebut. Dengan demikian,
peneliti juga memfokuskan mengenai asal-usul kewirausahaan batik di Karangkajen
9
dan perkembangannya serta aspirasi sosial politik para pedagang batik di
Karangkajen pada periode tersebut. Tahun 1950, merupakan tahun ketika usaha batik
di Karangkajen mulai berkembang lagi setelah selesai perang dan pulihnya
perekonomian di Yogyakarta. Adapun tahun 1975, merupakan masa terpuruknya
usaha batik di Karangkajen sehingga roda perekonomian mulai tersendat dan
membuat para pengusaha batik menutup usahanya atau mencari bisnis lain. Hal ini
juga salah satunya akibat dari kebijakan rezim Orde Baru mencabut monopoli khusus
peredaran batik oleh GKBI dan konsesi-konsesi lainnya serta meliberalisasi impor
tekstil yang membuat batik terpuruk oleh jenis pakaian lain yang lebih murah.
Selanjutnya permasalahan-permasalahan pokok di atas akan diuraikan dalam
pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut ini :
1. Siapa saja tokoh penggerak industri batik di Karangkajen pada tahun
1950-1975? Mengapa dan bagaimana mereka bisa tertarik terjun ke
industri batik ?
2. Strategi usaha seperti apa yang dikembangkan oleh para pengrajin batik di
Karangkajen dan sejauh mana aktivitas keagamaan mereka mempengaruhi
strategi usaha mereka?
3. Bagaimana para pengrajin batik di Karangkajen menyalurkan aspirasi
mereka dalam bidang sosial, politik, pendidikan dan keagamaan?
Mengapa komunitas pengrajin batik di Karangkajen memilih menjadi
pengikut / anggota Muhammadiyah?
10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang
dipaparkan dalam rumusan masalah di atas.
Adapun tujuan ini dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan berikut ini:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan situasi dan kondisi
kewirausahaan batik di Karangkajen pada tahun 1950-1975.
2. Untuk menjelaskan strategi dagang para pengusaha batik di Karangkajen
pada tahun 1950-1975.
Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain:
1. Sebagai sumbangsih bagi pengetahuan terutama dalam sejarah
perekonomian di Indonesia.
2. Memberikan wawasan dan pemahaman tentang perilaku ekonomi
komunitas Islam di Karangkajen kepada masyarakat yang belum
mengetahuinya.
3. Sebagai acuan atau bahan pertimbangan untuk penelitian lebih lanjut
dalam kajian yang sama.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka merupakan salah satu usaha untuk memperoleh data yang
sudah ada dan untuk memetakan studi yang ada dan menunjukkan posisi penelitian
11
serta kontribusi yang ingin diberikan. Penelitian mengenai hubungan antara agama
dan etos kerja telah banyak dilakukan. Sejumlah besar studi telah dilakukan untuk
meneliti tema tersebut. Beberapa diantaranya adalah tulisan Clifford Geertz, Lance
Castle, Kuntowijoyo dan Taufik Abdullah.
Tulisan Clifford Geertz yang berjudul Peddlers and Princes yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Penjaja dan Raja,
menyatakan bahwa di Jawa santri reformis mempunyai profesi sebagai pedagang atau
wirausahawan dengan etos enterpreunership yang tinggi.17 Terdapat hubungan
historis dan fungsional antara Islam dengan perdagangan. Dalam kaitannya dengan
etos kerja pedagang Jawa, Geertz dalam karyanya ini menggeneralisasi adanya
hubungan yang harmonis, historis dan fungsional antara Islam dan perdagangan.
Keseimbangan antara mengejar tujuan duniawi dan kesalehan adalah suatu kebajikan
di dalam ajaran Islam. Kesalehan digunakan untuk mengatasi ketegangan moral
dengan masyarakat sekitar menggunakan etika untuk membenarkan kegiatan
ekonomi yang bersifat sekular.
Sementara itu, Lance Castle juga turut menyumbangkan pemikirannya yang
dituangkan ke dalam buku yang berjudul Religion, Politics and Economic Behavior
in Java yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tingkah Laku
17 Clifford Geertz, Penjaja dan Raja (Jakarta: Gramedia, 1977).
12
Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus.18 Karya Lance Castle
ini menjelaskan mengenai keberadaan kelompok santri dalam kegiatan ekonomi dari
zaman kolonial hingga kemerdekaan di Kudus. Konsep kelas menengah yang
ditawarkan oleh Castle menarik untuk melihat korelasi antara ajaran Islam dengan
kegiatan perdagangan. Satu aktivitas yang pelakunya dipandang rendah dalam
konteks masyarakat dua kelas, raja dan kawula. Kebekuan kegiatan ekonomi
terpecahkan manakala Islam masuk dan berkembang di Jawa. Kelas pedagang
menemukan jalan bagi mereka untuk setara dengan kelas atas dengan memilih agama
Islam yang bersifat egaliter. Penelitiannya mengenai industri kretek Kudus
memperlihatkan kepada kita peran para elite santri sebagai kelas menengah dalam
membangun kegiatan ekonomi.
Selanjutnya tulisan Kuntowijoyo yang berjudul, “Economic and Religious
Attitutes of Entrepreneurs in a Village Industry: Notes of the Community of Batur”.
Dalam penelitiannya ia menyatakan adanya hubungan yang erat antara kehidupan
keagamaan para santri dan perilaku kewirausahaan para pengusaha kerajinan besi di
Batur (Klaten).19 Puritanisme Islam, di samping menganut sikap hidup asketisme,
juga memiliki doktrin mewajibkan para pengikutnya untuk lebih bersemangat dan
bersungguh-sungguh dalam usaha ekonomi. Bekerja dianggap sebagai makna yang
18 Lance Castle, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri
Rokok Kudus (Jakarta: Sinar Harapan, 1982).
19 Kuntowijoyo, “Economic and Religious Attitutes of Entrepreneurs in a
Village Industry: Notes of the Community of Batur” (Jakarta: Indonesia, 1971).
13
sebenarnya dari Al-quran dan hadits. Para pengusaha kerajinan logam yang dinamis
di Batur bukanlah kalangan Islam reformis, melainkan pemeluk taat Islam tradisional.
Tulisan selanjutnya yang membahas mengenai hubungan agama dan etos
kerja adalah buku yang berjudul Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, yang diedit
oleh Taufik Abdullah.20 Buku ini berisi bunga rampai yang membahas tesis Weber
tentang pengaruh ajaran agama terhadap kegiatan ekonomi Islam di Indonesia secara
umum. Taufik Abdullah menyatakan bahwa ajaran agama dapat mempengaruhi
seseorang untuk melakukan sesuatu, misalnya dalam kegiatan ekonomi meskipun,
tentunya, perlu ditambah dengan beberapa catatan. Tesis Weber tentang apa yang
disebutnya ‘Etika Protestan’ (Protestant Ethic, die Protestantische Ethik) dan
hubungannya dengan semangat kapitalisme mengkaitkan adanya hubungan antara
ajaran agama dengan perilaku ekonomi. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl
Marx mengenai kapitalisme, dasar asumsinya dipersoalkan dan ketepatan interpretasi
sejarahnya digugat.
Tulisan selanjutnya yang membahas hubungan agama dan etos kerja dengan
kasus di Yogyakarta adalah tulisan Mitsuo Nakamura dan Ghifari Yuristiadhi.
Selanjutnya dilengkapi dengan tulisan dari Abdurrachman Surjomihardjo yang
membahas tentang sejarah sosial kota Yogyakarta. Terkait hubungan antara agama
dan etos kerja di Yogyakarta, Mitsuo Nakamura menulis buku yang berjudul Bulan
Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah
20 Taufik Abdullah, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta: LP3ES,
1978).
14
di Kotagede, Yogyakarta.21 Mitsuo Nakamura menjelaskan bahwa Kotagede secara
etnis merupakan kota Jawa yang murni, terletak di jantung peradaban Jawa. Ia
memaparkan bahwa kelompok utama penyangga Muhammadiyah adalah para
pedagang dan pengusaha (kelas menengah). Banyak pengusaha di Kotagede menjadi
tokoh Muhammadiyah. Sejak tahun 1910-an perkembangan Muhammadiyah
Kotagede telah menarik banyak anggota dari kalangan pengrajin dan pedagang kaya
di kota itu.
Muhammadiyah Kotagede mampu memberikan sejumlah sumbangan bagi
kemajuan kepentingan Islam dalam tingkat regional dan bahkan nasional. Saat itu
berdirinya Muhammadiyah Kotagede dihadapkan pada pertumbuhan kelas menengah,
seperti abdi dalem, pegawai pemerintah, pedagang besar, juragan pengrajin,
pedagang eceran, pekerja harian, dan petani. Sehingga paham pembaharuan
Muhammadiyah mampu diterima dengan simpatik oleh kalangan kelas menengah
Kotagede. Prestasi Muhammadiyah Kotagede yang paling menonjol dapat dilihat
pada bidang pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Sementara itu, Ghifari Yuristiadhi, dalam skripsi yang berjudul
“Wirausahawan dan Muhammadiyah di Kampung Nitikan, Yogyakarta 1950-an -
2000-an”, menyatakan bahwa perubahan sosial dan ekonomi di Kampung Nitikan
dipengaruhi oleh dua elemen penting yakni wirausahawan dan organisasi
21 Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi
tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1983).
15
Muhammadiyah.22 Para pedagang dan kaum intelektual agama yang tergabung dalam
organisasi Muhammadiyah itulah yang mengisi kelas menengah dalam masyarakat
Nitikan, dalam kurun waktu setengah abad. Periode 1980an menjadi titik tolak
perkembangan ekonomi masyarakat Nitikan dengan muncul banyaknya disversifikasi
pekerjaan, membaiknya infrastruktur jalan. Jauh sebelum itu ekonomi Nitikan telah
berkembang dan berdenyut dengan keberadaan para pengrajin malam dan kerajinan
alumunium. Bermula dari itulah Muhammadiyah di Nitikan sebagai organisasi sosial
keagamaan sejak 1954 mencoba membangun sebuah gerakan untuk mendekati para
wirausahawan secara khusus dan masyarakat Nitikan secara umum dengan sentuhan
zakat, infaq, sodaqoh, wakaf dan kurban. Berkembangnya gerakan Muhammadiyah di
Nitikan dilatarbelakangi kedekatan kampung itu dengan Karangkajen, ada tiga hal
yang mendorong internalisasi ideologi Muhammadiyah dari Karangkajen ke Nitikan
yatu pendidikan, ekonomi dan dakwah.
Buku selanjutnya adalah buku yang berjudul Sejarah Perkembangan Sosial
Kota Yogyakarta (1880-1930), ditulis oleh Abdurrachman Surjomihardjo.23 Buku ini
memaparkan akar-akar pembentukan sebuah keadaan kota tradisional, kehidupan
serta proses penyesuaian kelompok penduduk kota kerajaan dengan kolonialisme
Belanda yang mulai mencengkram kota itu sejak abad ke-19. Benturan budaya antara
22 Ghifari Yuristiadhi, “Wirausahawan dan Muhammadiyah di Kampung
Nitikan, Yogyakarta 1950-an - 2000-an”. Skripsi, Universitas Gadjah Mada, 2011.
23 Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan Sosial Kota
Yogyakarta (1880-1930) (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000).
16
kekuatan tradisional dengan kekuatan kolonial yang membawa modernisasi turut
mewarnai keadaan sosial di Yogyakarta. Saat itu muncul perusahaan kereta api, gas,
listrik dan air minum yang mengubah segi fisik kota dengan jalan-jalan, gedung-
gedung dan pemukiman baru. Semua mempengaruhi cara berpikir penduduknya.
Kota kerajaan tumbuh menjadi kota dengan kemudahan-kemudahan baru yang tidak
terdapat dalam kota tradisional. Tumbuh juga lembaga pendidikan, organisasi
pergerakan nasional, pers serta elite-elite modern yang akhirnya membawa perubahan
dan pembaruan dalam pelbagai bidang kehidupan kota Yogyakarta. Hal yang tetap
menarik dari Yogyakarta adalah bagaimana kota itu terus maju dan menjadi modern
dengan tetap mempertahankan tradisi.
Tulisan berikutnya adalah buku yang berjudul Kampung Santri, Tatanan Dari
Tepi Sejarah, yang ditulis oleh Muhammad Fuad. Buku ini mengkaji beberapa
kampung santri di Yogyakarta, salah satunya yakni Karangkajen. Kampung
Karangkajen di jelaskan dalam sub-bab singkat akibat kurangnya data dan informan.
Dalam tulisannya, Muhammad Fuad menjelaskan keterkaitan antara pemahaman
keagamaan dengan kegiatan perekonomian. Karangkajen dinilai sebagai basis kedua
Muhammadiyah di Yogyakarta mampu memberikan teladan bagi kampung santri lain
disekitarnya sepertihalnya Nitikan dalam hal mengenai pemahaman keagamaan (yang
berdampak pada kuatnya perekonomian kampung tersebut). Di Karangkajen,
sebagian besar warganya memiliki apresiasi teologis atau tradisi intelektual
keagamaan yang relatif lebih tinggi. Mereka tidak madhek jadi kiai atau ulama
17
disebabkan pilihan hidup mereka adalah berdagang. Mereka juga mempunyai tradisi
memasukan anak-anak mereka ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur.24
Selain tulisan-tulisan sejarah, ada pula beberapa kajian sosiologi dan
antropologi yang penting bagi penelitian ini yaitu tulisan Selo Sumardjan, Irwan
Abdullah, Abdul Munir Mulkan, Heddy Shri Ahimsa dan Zuli Qodir. Kajian yang
pertama adalah buku yang berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta yang ditulis oleh
Selo Soemardjan.25 Buku ini menjelaskan mengenai perubahan sosial masyarakat
yang terjadi di Yogyakarta sejak akhir zaman kolonial Belanda hingga tahun 1958.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam waktu kurang lebih 20 tahun itu amat
banyak dan meliputi hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Secara jelas
digambarkan perubahan yang berkenaan dengan administrasi pemerintahan, partai
politik, pertanian-perkebunan rakyat, perkembangan teknologi, perkembangan
pendidikan, kemunculan perusahaan asing dan akhirnya bagaimana semua itu
mengubah mentalitas masyarakat Yogyakarta dari introvert ke ekstrovert, terutama
sekali setelah kota kerajaan itu menjadi Ibukota Republik Indonesia pada 1946-1949.
Di antara perubahan-perubahan sosial yang terjadi sebagian besar dikarenakan
bertambahnya teknologi baru yang digunakan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat. Teknologi baru itu seperti terlihat dalam pabrik-pabrik baru yang
24 Muhammad Fuad, Kampung Santri, Tatanan Dari Tepi Sejarah
(Yogyakarta: Ittaq Press, 2001).
25 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1986).
18
mempunyai modal yang besar dan penggunaan pesawat terbang untuk perhubungan
cepat lewat udara. Teknologi baru yang masuk di daerah pedesaan juga berpengaruh
pada masyarakatnya, misalnya penggunaan kendaraan bermotor, “listrik masuk desa”
yang membuka kemungkinan masyarakatnya menggunakan lampu listrik dan melihat
televisi serta mendengarkan radio. Akhirnya teknologi elektronik yang mulai
berkembang di Indonesia akan membawa perubahan-perubahan besar dalam
masyarakat kita.
Tulisan selanjutnya yang membahas mengenai hubungan agama dan etos
kerja dilihat dari sudut pandang antropologi adalah disertasi Irwan Abdullah yang
berjudul “The Muslim businessmen of Jatinom: religious reform and economic
modernization in a Central Javanese town”.26 Irwan Abdullah melakukan penelitian
mengenai hubungan agama dan perdagangan dalam konteks perubahan sosial
ekonomi dan sosial politik pada kelompok muslim dalam kegiatan perdagangan di
Jatinom Klaten. Menurutnya keberhasilan kaum pedagang muslim tidak hanya
berkaitan dengan ketaatan dalam agama. Agama memiliki peranan penting di dalam
proses pembaharuan pemikiran yang mengarahkan perilaku ekonomi pedagang di
satu pihak dan mempengaruhi cara penduduk menerima kegiatan perdagangan
(dengan prinsip-prinsip ekonomi yang terkait) sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Agama dalam hal ini membentuk dasar sosial budaya yang memungkinkan kegiatan
26 Irwan Abdullah, “The Muslim businessmen of Jatinom: religious reform
and economic modernization in a Central Javanese town”. Phd. Dissertasi,
Universiteit van Amsterdam, 1994.
19
ekonomi berlangsung. Selanjutnya perkembangan usaha dagang ditentukan oleh
struktur politik lokal dimana berbagai kekacauan telah menghambat kegiatan dagang
dan sebaliknya iklim politik yang baik dapat menjadi pendorong tumbuhnya kegiatan
ekonomi. Para pengusaha kecil di Jatinom adalah para penganut Islam yang
berpaham modernis progresif (Muhammadiyah), yang telah berhasil menafsir
kembali paham keagamaannya menjadi paham keagamaan yang reformis, sehingga
mampu mendorong pada proses usaha mereka. Perkembangan perdagangan dan
kemajuan-kemajuan pesat yang dicapai oleh pedagang muslim Jatinom ditentukan
oleh peluang-peluang ekonomi yang muncul setelah tahun 1970-an. Demikian pula
perubahan-perubahan dalam bidang pertanian di wilayah Jatinom pada tahun 1980-an
telah memberikan dampak yang paling penting dari seluruh tahap perkembangan
ekonomi kota.
Selanjutnya buku yang berjudul Islam Murni dalam Masyarakat Petani yang
ditulis oleh Abdul Munir Mulkan.27 Buku ini menjelaskan mengenai kondisi Islam
Muhammadiyah di kalangan masyarakat petani wilayah Kecamatan Wuluhan Jember
Jawa Timur. Meluasnya Muhammadiyah dalam masyarakat petani, terjadi ketika
dominasi PKI, PNI dan NU merosot serta kaum petani mengalami krisis sosial politik
dan keagamaan sesudah tahun 1965 setelah terjadinya “kudeta” PKI.
Karena perbedaan pendidikan, pekerjaan, sejarah sosial, dan kadar taninya,
Abdul Munir Mulkan dalam penelitiannya membagi Muhammadiyah menjadi empat
27 Abdul Munir Mulkan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000).
20
kelompok yang disebut: Al-Ikhlas, Kiai Dahlan, Munu (Muhammadiyah-NU) dan
Marmud (Marhaenisme-Muhammadiyah). Mayoritas pengikut Muhammadiyah
adalah kelompok Munu yang bekerja sebagai petani yang tekun dan menjadikan TBC
(Takayul Bid’ah Churafat) sebagai tradisi. Kiai Dahlan adalah kelompok Islam murni
yang selalu percaya bahwa nasib dan rezeki adalah kehendak Tuhan, namun mereka
toleran terhadap praktek TBC. Al-Ikhlas adalah minoritas pengikut paling puritan
yang mengecam keras praktek TBC. Walaupun dikenal paling saleh dan disegani,
namun Al-Ikhlas gagal menduduki posisi pimpinan Muhammadiyah ranting desa dan
cabang kecamatan. Minoritas lainnya adalah Marmud yang menjadikan TBC sebagai
tradisi, simpati dengan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan kehidupan
keagamaannya mirip abangan. Islam petani Muhammadiyah menunjukkan
munculnya “teologi petani” yang memandang Tuhan yang pemaaf, bukan hakim yang
keras seperti dalam sistem syariah.
Buku berikutnya adalah buku yang berjudul Ekonomi Moral, Rasional dan
Politik dalam Industri Kecil di Jawa yang diedit oleh Heddy Shri Ahimsa, berisi
tentang esei-esei antropologi ekonomi industri kecil di Jawa dari sudut pandang
etnografi yang menonjolkan aspek-aspek sosiokulturnya.28 Esei-esei tersebut meliputi
penelitian mengenai industri kecil yang dibahas yaitu industri pakaian konfeksi di
Mlangi Yogyakarta, industri kecil kerajinan agel di Kulonprogo Yogyakarta dan
28 Heddy Shri Ahimsa, Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri
Kecil di Jawa (Yogyakarta: Kepel Press, 2002).
21
industri penyamaan kulit di Magetan Jawa Timur. Dalam buku ini digambarkan
secara mendetail mengenai kegiatan ekonomi tiga industri kecil yang diteliti
menggunakan paradigma dalam antropologi ekonomi. Salah satu esei di dalam buku
ini membahas mengenai siasat usaha kaum santri dalam usaha konfeksi di Mlangi
Yogyakarta.
Kajian terakhir dalam tinjauan pustaka ini adalah buku berjudul Agama &
Etos Dagang, ditulis oleh Zuly Qodir yang menyatakan bahwa agama sejatinya
memberikan pengaruh etos ekonomi kepada umatnya.29 Keberadaan agama
diposisikan sebagai pendorong semangat ekonomi. Nilai-nilai agama digali, ditelaah,
dan difungsikan sebagai pendobrak kejumudan ekonomi. Zuly Qodir melakukan
penelitian tentang etos dagang masyarakat di Pekajangan, Pekalongan yang berakhir
pada kesimpulan bahwa pengaruh agama sangat kuat dalam memotivasi etos
ekonomi. Pengusaha di Pekajangan memanfaatkan gerakan sosial sebagai wadah
elaborasi implementasi agama. Agama menjanjikan imbalan besar dan melimpah,
ketika aktivitas sosial dengan pengeluaran harta untuk kemaslahatan umat. Di sini
terlihat agama tidak hanya berorientasi vertikal, melainkan horisontal.
Dalam buku-buku maupun kajian ilmiah di atas peneliti menemukan banyak
hal tentang hubungan antara etos kerja dengan agama, namun studi yang
memfokuskan mengenai satu wilayah di Yogyakarta yaitu kampung Karangkajen
belum ada. Melalui studi ini peneliti ingin memberikan kontribusi melalui studi kasus
29 Zuly Qodir, Agama & Etos Dagang (Solo: Pondok Edukasi, 2002).
22
baru dengan menggunakan perspektif sejarah ekonomi. Oleh karena itu penelitian ini
diharapkan memiliki kekhususan dibandingkan dari penelitian sebelumnya.
E. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan kajian sejarah dengan pendekatan sosial ekonomi,
yang mencoba mengkaitkan dinamika sosial dan dinamika ekonomi komunitas
pengusaha batik di Karangkajen. Para pengusaha ini dalam menjalankan aktivitas
bisnisnya menghubungkan kesalehan beragama dengan tingkah laku ekonomi.
Agama dalam hal ini dipahami sebagai konsep yang dinamis, karena memiliki
kemampuan membebaskan dan berperan penting dalam mewujudkan hubungan yang
positif antara kesalehan dan tingkah laku ekonomi.
Di dalam pandangan agama Islam, dinamika kegiatan ekonomi dibagi menjadi
dua yakni dinamika vertikal dan horizontal. Dinamika vertikal ekonomi Islam adalah
transendensi pemilikan kekayaan, yang diperoleh melalui bekerja sebagai realisasi
kewajiban agama. Sedangkan dinamika horizontal adalah makna sosial dalam
pekerjaan dan kemajuan kegiatan usaha, baik dalam pengertian internal yaitu untuk
memperluas usaha, maupun eksternal dalam kaitannya dengan kewajiban sosial
kepada sesamanya.30
Selanjutnya kedua dinamika kegiatan ekonomi tersebut melahirkan etos kerja
Islami. Etos kerja Islami adalah etos kerja yang terpancar dari sistem
30 Musa Asy’arie, Islam (Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat)
(Yogyakarta: Lesfi, 1997), hlm. 68.
23
keimanan/aqidah Islam berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu yang
bekerjasama dengan akal. Sikap jujur, tanggung jawab, mengghargai waktu, memiliki
semangat tinggi, ikhlas dan amanah termasuk ke dalam etos kerja Islami. Etos kerja
Islami bersifat dinamis yang dikerjakan berdasarkan dengan perintah Nabi dan Al-
Quran.31
Islam dengan ajaran-ajarannya sepertihalnya sembahyang, berpuasa, naik haji
menghindari makanan dan minuman yang haram membawa akibat-akibat ekonomis.
Larangan berjudi juga mempunyai dampak yang sangat penting berkenaan dengan
sikap golongan beragama terhadap usaha-usaha dagang yang spekulatif.32 Ketakwaan
dan kesalehan penganut ajaran Islam dalam kondisi tertentu mampu memacu,
mendinamiskan, serta mengagresifkan pemeluk Islam dalam kegiatan-kegiatan yang
bersifat keduniawian secara konsisten dan sistematis.33
Islam menempatkan kerja dalam arti amal saleh pada posisi yang amat tinggi,
yaitu kedua setelah iman. Kerja atau amal salah merupakan bagian terintegrasi
dengan iman yang yang menempati posisi sentral. Di dalam pandangan Islam, orang
31 Janan Asifudin, Etos Kerja Islami (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2004), hlm. 35.
32 Taufik Abdullah (ed.), Agama Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi
(Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 81.
33 Yahya A. Muhaimin, Etos Kerja dan Moral Pembangunan, dalam Sekitar
Kemiskinan dan Keadilan (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 50.
24
yang bekera guna memperolah rizki disejajarkan dengan orang yanng berjihad di
jalan Allah.34
Dalam tradisi kajian sejarah sosial ekonomi hubungan antara agama dengan
kegiatan ekonomi (kerja) sering dikaitkan dengan teori sosiologi Weber. Banyak para
peneliti yang menggunakan pendekatan Weberian untuk menganalisis hubungan
tersebut. Dalam kerangka teoritik sosiologi Weber kerja dipahami semata-mata
bukanlah suatu sarana atau alat ekonomi. Kerja merupakan suatu tujuan akhir
spiritual. Islam sebagai sebuah agama dan ideologi pun turut mendorong umatnya
untuk selalu bekerja keras, tidak melupakan kerja setelah beribadah.35
Meski Islam mengakui kepemilikan harta secara individual namun Islam tetap
melarang umatnya untuk menumpuk kekayaan secara besar-besaran tanpa
dimanfaatkan untuk kepentingan sosial terutama kegiatan amal (infaq dan sedekah)
kepada sesama muslim yang fakir dan miskin.36 Setiap muslim adalah bersaudara
sehingga ketika salah seorang muslim mengalami kesusahan atau kekurangan maka
muslim yang lain wajib memberikan pertolongan. Selain itu Islam juga melarang
34 Janan Asifudin, op.cit .hlm. 85. Lihat juga QS:Al-Muzzamil 73:20.
35 Bekerja di dalam agama Islam hukumnya wajib. Islam mengajarkan bahwa
kehidupan manusia tidak hanya di dunia melainkan juga di Akhirat. Manusia bekerja
dan beribadah di dunia untuk mempersiapkan kehidupan berikutnya di Akhirat. Lihat
QS: Al-Jumu’ah (62) ayat 10 dan QS: Al-Mulk (67) ayat 15.
36 Muhammad Djakfar, Agama, Etika dan Ekonomi (Malang: UIN Malang
Press, 2007), hlm. 133.
25
adanya praktek riba. Riba di dalam Islam dianggap sebagai hal yang merugikan dan
hukumnya haram.37
Pengusaha batik di Karangkajen yang menganut paham Muhammadiyah
enggan untuk meminjam uang di bank dikarenakan adanya riba, bahkan mereka juga
memilih untuk menginvestasikan harta mereka ke dalam berbagai bentuk investasi
(tanah, perhiasan, dan rumah) daripada menyimpan uang mereka di bank. Ketika
kekurangan modal, mereka akan lebih senang untuk meminjam kepada tetangga
maupaun sanak familinya dibandingkan meminjam bank. Ada pula alasan lain yang
mereka pegang ketika meminjam / meminjami tetangga maupun kerabatnya, yakni
prinsip ukhuwah Islamiyah yang mengajarkan bahwa setiap muslim harus saling
tolong menolong.38
Kaum muslim memiliki konsep tentang solidaritas yang luas dan mendalam.
Ikatan solidaritas itu sedemikian sempurna, meliputi ikatan keimanan, spiritual,
intelektual, social, ekonomi dan bahkan pada seluruh kehidupan itu sendiri. Dalam
bidang ekonomi, solidaritas sosial bisa kita lihat dengan jelas dari berbagai risalah
atau konsep. Dalam Islam dikenal konsep shodaqoh, zakat, infaq, wakaf, hibah yang
termasuk ke dalam habluminannas dan habluminallah.39 Dari sini bisa ditarik benang
37 Lihat: QS. Al-Baqarah: 278. (Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Alloh dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang yang beriman).
38 Muhammad Djakfar. op.cit. hlm. 133.
39 Janan Asifudin, op.cit .hlm. 72.
26
merah, bahwa solidaritas sesama muslim merupakan hal yang mereka yakini akan
memberikan dampak positif yaitu balasan pahala dari Allah.
F. Metode Penelitian
Sejarah adalah peristiwa masa lampau yang meliputi apa saja yang sudah
dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dan dialami oleh seseorang. Penelitian sejarah
berupaya mengkaji dan menganalisa secara sistematik dan objektif terhadap persoalan
masa lampau dan bertujuan untuk mendeskripsikannya.
Rencana pengumpulan data ini memanfaatkan studi pustaka / library research
dan juga penelitian langsung di lapangan, sedangkan analisis data beserta
pengumpulannya mempergunakan metode kualitatif, sehingga menghasilkan
informasi yang komprehensif tentang permasalahan yang dikaji dari sumber-sumber
yang ditemukan.
Sesuai dengan penelitian ini, penulis menggunakan metode sejarah, yaitu
proses pengumpulan data kemudian menguji, menganalisis dan menafsirkan suatu
gejala peristiwa atau gagasan yang muncul pada masa lampau. Yang pertama yaitu
heuristik yang merupakan tahap pengumpulan data, peneliti melakukan penelusuran
terhadap sumber-sumber literatur dari beberapa buku, jurnal, surat kabar (koran),
majalah dan juga laporan hasil penelitian yang terkait dengan objek penelitian yaitu
dalam hal ini mengenai dinamika perdagangan batik di kampung santri Karangkajen.
Sumber yang diperoleh didapat dari sumber primer dan sekunder yang dicari. Dalam
upaya pengumpulan sumber-sumber yang terkait dengan penelitian tersebut, peneliti
27
mencari di perpustakaan di Yogyakarta, di antaranya yaitu Perpustakaan UPT UGM,
Perpustakaan Daerah Yogyakarta, dan Perpustakaan Puro Pakualaman, Arsip Daerah
Yogyakarta, Museum Batik, Museum Sono Budoyo, dan Perpusnas.
Sumber data berupa buku-buku penunjang, arsip, dokumen maupun laporan
tahunan dari koperasi batik Karang Tunggal. Selain itu juga peneliti mewawancarai
narasumber yang turut andil dalam kegiatan perdagangan batik. Upaya penggalian
lebih dalam mengenai sejarah ekonomi sosial di Karangkajen akan dicoba melalui
penggalian sejaran lisan (oral history). Penggalian sejarah lisan dilakukan dengan
menggali ingatan yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai
peneliti.
Teknis pelaksananaan sejarah lisan dengan melakukan wawancara kepada
narasumber yang menjadi saksi muncul dan berkembangnya komunitas pengrajin
batik di kampung ini. Narasumber dikategorikan menjadi 2, yaitu 1) pengusaha, 2)
tokoh masyarakat Karangkajen, 3) masyarakat umum yang merasakan langsung
kegiatan sosial ekonomi tersebut. Peneliti nantinya akan mewawancarai 6 pengusaha
batik di Karangkajen, dan menuliskan profil bisnis mereka. Hal ini bertujuan untuk
melihat apakah mereka menerapkan etos dagang yang berhubungan dengan agama,
ataupun murni untuk mengembangkan bisnis.
Tahapan yang kedua adalah verifikasi (kritik sumber). Berbagai sumber yang
sudah didapatkan, selanjutnya dilakukan verifikasi guna memperoleh data yang valid.
Kritik ekstern untuk menguji dan meneliti keautentikan sumber yang telah diperoleh,
sehingga validitas sumber tersebut dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan kritik
28
intern berfungsi untuk mengetahui kredibilitas sumber. Dalam penelitian ini
dilakukan kritik intern, dengan cara membaca, mempelajari, memahami dan
menelaah secara mendalam berbagai sumber yang sudah didapatkan. Langkah
selanjutnya adalah membandingkan antara isi sumber yang satu dengan yang lain
guna menemukan keabsahan sumber dan mengambil data yang bisa dipercaya.
Tahapan yang ketiga yaitu interpretasi (penafsiran). Setelah melakukan
verifikasi, langkah selanjutnya adalah penafsiran atau interpretasi terhadap sumber-
sumber dan data yang sudah terkumpul. Interpretasi atau sering disebut analisis
mempunyai pengertian menguraikan yang secara terminologi berbeda dengan sintesis
yang berarti menyatukan.40 Dalam kerangka metode ini, peneliti memberikan
interpretasi terhadap data yang diperoleh mengenai dinamika perdagangan batik di
Karangkajen dibantu dengan pendekatan ekonomi. Hal ini guna memperoleh
informasi yang relevan dengan objek penelitian.
Selanjutnya, tahap historiografi merupakan langkah terakhir setelah
pengumpulan dan penyaringan data hingga menjadi kesimpulan akhir yang relevan.
Dalam hal ini, peneliti menuliskan dan memaparkan hasil dari penelitian yang
dilakukan secara jelas, sesuai dengan kerangka tulisan dan sistematika pembahasan
dalam penyajian hasil penelitian.
40 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999), hlm. 64.
29
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan lebih jelas dan sistematis, dalam penyusunannya dibagi ke
dalam beberapa bab yang masing-masing terdiri atas beberapa sub-bab.
Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari tujuh sub-bab yaitu: latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Dalam bab ini diuraikan objek penelitian serta langkah-langkah yang dilakukan
dalam penelitian dari awal hingga akhir.
Bab kedua mendeskripsikan mengenai kondisi dan gambaran umum keadaan
masyarakat Karangkajen pada periode yang dikaji. Pada awal bab ini akan dipaparkan
mengenai kondisi kota Yogyakarta menjelang tahun 1950an. dijelaskan pula sejarah
perkembangan batik di Karangkajen dan faktor-faktor pendorong yang mendukung
perkembangan kewirausahaan batik di kampung itu.
Bab ketiga memaparkan tentang bagaimana manajemen usaha batik di
Karangkajen yang meliputi mengenai 6 profil pengusaha batik di Karangkajen,
hubungan buruh-majikan, strategi dagang dan juga kendala-kendala dalam kegiatan
ekonomi kewirausahaan batik serta memaparkan penerapan etos dagang dalam
kewirausahaan batik di Karangkajen. Bab ini penting untuk mengetahui kondisi
masyarakat Karangkajen dan pengaruhnya terhadap kemajuan ekonomi mereka
dalam hal kewirausahaan batik. Peneliti berupaya untuk menganalisis hubungan
antara agama (Islam) dengan semangat wirausahawan batik di Karangkajen.
30
Bab keempat mendeskripsikan dan menganalisis tentang alasan orang
Karangkajen memilih menjadi penganut Muhammadiyah. Selain itu juga akan
dijabarkan mengenai pengaruh kewirausahaan batik Karangkajen terhadap berbagai
bidang seperti politik, pendidikan, ekonomi dan dakwah Islam di wilayah
Yogyakarta. Dalam hal ini peneliti akan mencoba memberikan penjelasan yang
konkret mengenai aspirasi sosial politik pengusaha batik di Karangkajen. Menurut
hemat peneliti, kewirausahaan batik di Karangkajen memberikan kontribusi yang
besar dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama dalam bidang ekonomi, politik,
pendidikan dan dakwah Islam.
Bab kelima yaitu penutup yang berisi kesimpulan hasil analisa dari seluruh
bahasan mengenai Islam dan kewirausahaan batik di kampung Karangkajen untuk
memperjelas dan menjawab rumusan masalah. Bab ini diakhiri dengan kata penutup.