bab i pengantar servant ). para ahli kepemimpinan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR
Setiap organisasi mengharapkan munculnya kepemimpinan
yang efektif yang mampu menggerakkan dan mengendalikan semua
komponen organisasi supaya berhasil dalam mencapai tujuannya.
Salah satu fenomena kepemimpinan yang efektif yang banyak diteliti
dan dipelajari saat ini adalah Kepemimpinan pelayan (servant
leadership). Para ahli kepemimpinan menyimpulkan bahwa servant
leadership merupakan konsep atau teori kepemimpinan yang otentik
dalam kaitannya dengan efektivitas organisasi baik organisasi bisnis,
pemerintah, maupun organisasi atau institusi keagamaan khususnya
gereja. Karena itu servant leadership merupakan isu penting yang
menarik untuk dikaji guna mengetahui sejauh mana perannya dalam
menentukan efektivitas kepemimpinan dalam organisasi. Dalam bab
ini, penulis akan menguraikan latar belakang mengapa ingin
melakukan penelitian tentang kepemimpinan yang difokuskan pada
servant leadership pendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah.
1.1. LATAR BELAKANG
Meningkatnya kompleksitas tantangan dan ketidakpastian serta
munculnya persaingan yang lebih kompetitif di era globalisasi setiap
organisasi di tuntut untuk memiliki kepemimpinan yang efektif dan
kuat yang mampu meningkatkan daya saing organisasi dengan
menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Kepemimpinan yang efektif dan kuat adalah kepemimpinan yang
dimaknai sebagai suatu seni yang dapat mengomunikasikan kepada
2
orang lain nilai dan potensi diri yang dimilikinya secara amat jelas,
amat kuat, dan amat konsisten supaya orang lain tersebut benar-benar
mulai bisa melihat nilai dan potensi tersebut di dalam dirinya (Covey,
2005). Definisi ini secara ekspilisit mencoba menjelaskan beberapa hal
penting yang patut untuk dicermati dan dihayati, yaitu (1) sebagai seni
kepemimpinan dibangun di atas dasar nilai-nilai pemimpin yang akan
diteruskan kepada para pengikut, (2) sebagai seni kepemimpinan
melibatkan interaksi antara pemimpin dan pengikut, (3) sebagai seni
interaksi antara pemimpin dan pengikut dipengaruhi oleh situasi
dimana komunikasi itu berlangsung, (4) sebagai seni kepemimpinan
difokuskan pada pencapaian akhir yaitu aktualisasi diri pengikut
supaya memberikan pengaruh yang besar dalam masyarakat luas.
Searah dengan itu, uraian ini memberikan gambaran yang jelas bahwa
kepemimpinan itu perlu dan harus dipraktekkan dalam kehidupan
sehari-hari. Praktek kepemimpinan seperti ini tersimpul dalam esensi
dari model kepemimpinan pelayan (servant leadership). Secara
sederhana servant leadership adalah tentang membuat orang lain
bertumbuh sebagai pribadi, lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas,
lebih mandiri, dan lebih cenderung memiliki hati seorang hamba yang
selalu ingin melayani demi kebaikan orang lain (Spears, 1995).
Dengan kata lain servant leadership adalah tentang memanusiakan
manusia di dalam organisasi. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut
maka servant leadership harus dipahami dan dihayati dalam satu
prinsip pelayanan dengan mengedepankan karakter dan hati yang
secara konsisten diterapkan melalui integritas, kerendahan hati, dan
kehambaan (Kouzes dan Posner 1999; Wong dan Page 2000).
3
Integritas, kerendahan hati, dan kehambaan merupakan pra-
syarat dasar yang harus dimiliki seorang servant leader untuk dapat
mengartikulasi dan melihat nilai sekaligus potensi yang dimiliki orang
lain agar dapat meretas berbagai daya, kemampuan, dan talenta setiap
individu dalam organisasi yang berguna untuk meningkatkan
komitmen anggota dalam mencapai tujuan bersama. Pernyataan ini
searah dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ambali,
Suleiman, Bakar, dan Tariq (2011) dalam satu kajian tentang Servant
Leadership’s Values and Staff’s Commitment: Policy Implementation
Focus, dengan responden PNS diberbagai departemen pelayanan
publik di Malaysia dengan jumlah sampel 204 staf, hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara karakteristik servant leadership dengan komitmen staf dalam
organisasi, karakteristik yang paling menonjol adalah integritas
kemudian diikuti oleh kerendahan hati. Selanjutnya Denis (dalam
Wong, 2007), melakukan penelitian terhadap ribuan karyawan hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ketika praktek servant leadership
dilaksanakan melalui pelatihan kepemimpinan dalam bisnis, kinerja
kerja pemimpin mengalami peningkatan sekitar 15-20% dan
produktivitas kerja kelompok meningkat sebesar 20-50%. Handoyo
(2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa servant leadership
merupakan alternatif kepemimpinan yang sangat dibutuhkan dalam era
perubahan supaya efektivitas kepemimpinan dapat dirasakan oleh para
pengikutnya. Demikian pula Russel (2003) dan Irving (2004)
menyatakan bahwa efektivitas kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai karakter yang ditunjukkan servant leader melalui perilaku
sehari-hari, dimana karakter yang kuat mengomunikasikan
4
kepercayaan, konsistensi, potensi, dan kehormatan, serta karakter
yang kuat memberikan otoritas moral kepada pemimpin untuk
mempersatukan pengikut dalam mencapai tujuan organisasi (Maxwell,
2001; Stanley, 2005).
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa di era globalisasi
ini dunia secara global mengalami krisis kepemimpinan. Hal ini bisa
terjadi karena ditunggangi oleh kesalahan cara pandang terhadap
kepemimpinan. Baker (2001) menyatakan bagaimana cara "melihat
dunia" menentukan "apa yang kita lakukan,"dan"apa yang kita
lakukan" menentukan "apa yang kita dapatkan" sebagai suatu hasil.
Covey (2005) menyebutkan cara pandang ini dengan istilah “kekuatan
paradigma”. Apabila kekuatan paradigma dalam menilai sesuatu tepat
maka paradigma tersebut akan menjelaskan lalu mengarahkan, apabila
kekuatan paradigma menilai sesuatu kurang tepat maka hal itu akan
membawa kepada kehancuran. Dalam kaitannya dengan
kepemimpinan, pernyataan ini merupakan suatu gambaran yang sangat
tepat bagi situasi dan kondisi kepemimpinan di Indonesia. Kehancuran
yang dialami oleh para pemimpin saat ini adalah karena rapuhnya
kekuatan paradigma kepemimpinan. Mengapa? Karena kepemimpinan
di Indonesia di pandang sebagai posisi atau jabatan dengan kekuatan
super power yang menjadi pemicu munculnya penyalahgunaan
kekuasaan yang bermuara pada hilangnya pemimpin yang bersih,
jujur, bijaksana, rendah hati, tegas, berani, dan layak dijadikan anutan
sebagaimana dilansir dalam Majalah Inspirasi Vol 34, Agustus 2012.
Kesalahan cara pandang terhadap kepemimpinan tersebut tidak
hanya terjadi dalam konteks negara tetapi juga dalam konteks gereja.
Sendjaya (2004) menyatakan bahwa sejatinya gereja sebagai institusi
5
keagamaan yang seharusnya mencetak para pemimpin yang tinggi
iman, tinggi ilmu, bahkan tinggi pengabdian malah terkontaminasi
dengan masalah kepemimpinan. Demikian pula Barna (2002)
menyatakan bahwa meskipun banyak pendeta yang dilatih secara
ekstensif untuk menafsirkan Alkitab dan memiliki karunia untuk
menyampaikan kebenaran Tuhan namun mereka gagal memimpin
suatu kelompok dari warga gereja, gagal memobilisasi warga gereja
untuk terlibat dalam pelayanan, gagal memelihara perangai atau
perilaku supaya tetap dipercaya, gagal memotivasi diri sendiri untuk
menopang revolusi kerohanian, juga gagal menarik berbagai sumber
daya yang diperlukan untuk melakukan karya-karya seperti yang
dicontohkan oleh Kristus. Permasalahan ini menjadi penyebab ironi
terbesar yang dihadapi gereja masa kini, sekalipun pendeta ada
dimana-mana, namun permasalahan yang munncul adalah pendeta
yang tidak layak dijadikan panutan atau tidak layak untuk diteladani.
Akibatnya gereja penuh dengan orang-orang yang belum dewasa
(matang) dalam iman, bahkan ada sekian banyak orang kristen yang
meninggalkan iman hanya karena jabatan, kekuasaan, harta, cinta, dan
lain sebagainya. Selain itu, gereja juga diwarnai oleh kebutaan
intelektual dan kerohanian (kebobrokan moral), terperangkap dalam
masalah penyembahan berhala dan takhyul, dan hanya sebagian kecil
yang mempunyai kesadaran untuk terlibat dalam pelayanan. Bahkan
yang lebih miris lagi pendeta seringkali menjadi sumber terjadinya
konflik yang menjadi penyebab perpecahan di dalam gereja.
Kenyataan ini menjadi permasalahan gereja secara umum termasuk
Gereja Kristen Sulawesi Tengah (selanjutnya disebut GKST)
6
Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa aktivis gereja
pada tanggal 10 Desember 2011 diketahui bahwa pada prinsipnya
model kepemimpinan yang diterapkan GKST adalah model
kepemimpinan servant leadership namun dalam prakteknya beberapa
pendeta GKST telah bermetamoforse layaknya para pemimpin sekuler,
yang lebih cenderung mempraktekkan model kepemimpinan
konvensional. Permasalahan ini bisa ada karena pergeseran paradigma
kepemimpinan juga terjadi di dalam gereja, dimana gereja memaknai
kepemimpinan sebagai posisi atau kedudukan daripada memaknai
kepemimpinan sebagai suatu panggilan. Hal ini berdampak pada
melemahnya spirit pelayanan para pendeta dan meningkatnya spirit
mentalitas bos yang memiliki tendensi dilayani daripada melayani.
Bahkan lebih buruk lagi berdasarkan wawancara dengan salah seorang
warga jemaat pada tanggal 30 Maret 2012 menyatakan bahwa ada
beberapa pendeta yang telah melakukan perbuatan yang melanggar
nilai-nilai moral dan etika kristen tetapi masih tetap saja melakukan
tugas dan tanggung jawab pelayanan. Perilaku ini tentunya mencoreng
citra pendeta yang akhinya berdampak pada menipisnya kepercayaan
warga gereja terhadap para pendeta. Melihat kenyataan ini, maka dapat
dipastikan bahwa persoalan servant leadership yang paling mendasar
yang sedang dihadapi oleh Gereja Kristen Sulawesi Tengah saat ini
adalah “KARAKTER”. Tanpa karakter pendeta tidak akan dapat
mengembangkan dan memberdayakan sumber daya yang ada di dalam
gereja. Ini harus ditanggapi secara serius sebab kalau tidak gereja akan
kehilangan pengaruhnya.
Melihat berbagai fenomena yang ada maka penulis tergerak
untuk meneliti tentang servant leadership GKST yang diperankan oleh
7
pendeta sebagai servant leader dengan beberapa pertimbangan berikut
ini: 1) berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh LitBang
Majalah Inspirasi Juni 2012, diketahui bahwa sebagian besar
masyarakat khususnya warga gereja menaruh harapan besar kepada
para pendeta untuk memulai gebrakan baru untuk mengembalikan citra
kepemimpinan yang telah rusak karena cacat karakter yang disandang
oleh para pemimpin masa kini. Karena itu, gereja haruslah menjadi
institusi terdepan untuk menerapkan servant leadership. 2) gereja
merupakan pusat pendidikan spiritual dan pembinaan karakter warga
gereja yang sekaligus menjadi anggota masyarakat, karena itu pendeta
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan suatu ruang
transendensi untuk memfasilitasi perjumpaan warga gereja dengan
Allah supaya dapat menggali dan menemukan makna hidup melalui
pengalaman hidup sehari-hari, pekerjaan, dan tanggung jawab; 3)
tugas dan tanggung jawab pendeta adalah memperbaiki penampilan
gereja, membersihkan amoralitas dalam gereja, dan menuntun warga
gereja untuk berperilaku sesuai nilai-nilai etis yang telah disepakati
secara umum; 4) pendeta merupakan katalisator bagi warga gereja
untuk mengejar perubahan supaya dapat mewujudkan karakter Kristus
dalam kehidupan sehari-hari; 5) dalam menghadapi kompleksitas
permasalahan, kesulitan dan tantangan hidup yang dijalani saat ini dan
ke depan warga gereja menaruh harapan besar kepada pendeta untuk
menjadi inspirator terbaik dalam mengubah tantangan menjadi sebuah
kesempatan untuk menghadirkan kerajaan Allah melalui peningkatan
pelayanan yang dapat memberikan shalom Allah kepada semua orang.
Selanjutnya, untuk dapat mengoptimalkan penerapan dan
praktek servant leadership dalam gereja maka terlebih dahulu pendeta
8
harus memahami bagaimana cara kerja servant leadership. Untuk
menjelaskan cara kerja servant leadership ini, Wong dan Page (2000)
membangun bingkai kerja servant leadership yang dikelompokkan
dalam empat orientasi yaitu: orientasi karakter, orientasi orang,
orientasi tugas, dan orientasi proses. Namun bagaimana pendekatan
para pendeta dalam menerapkan servant leadership ini tentunya
berbeda dari satu situasi ke situasi lainnya mengingat setiap gereja adalah
berbeda, terkadang harus lebih dahulu berorientasi pada orang, proses,
tugas, dan karakter. Karena itu formulasi sistem servant leadership
merupakan fenomena kompleks yang melibatkan interaksi yang rumit
antara pemimpin, pengikut, dan konteks lingkungan organisasi (Higs,
2003; Berman, 2003; Higgs dan Rowlan, 2003).
Dalam kaitannya dengan hal di atas, maka di pandang perlu
untuk mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas servant
leadership. Menurut Covey (2005) efektivitas servant leadership
sangat dipengaruhi oleh kecerdasan fisik atau tubuh (Physical
Intelligence atau Physical Quotienct, PQ), kecerdasan mental (IQ),
kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ). Demikian pula
Hogan, Curphy, dan Hogan (1994) mengemukakan efektivitas servant
leadership dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, stabilitas
emosional, surgency, conscientiousness, dan agreeableness. Diantara
faktor-faktor tersebut penulis memilih faktor kecerdasan emosional
dan kecerdasan spiritual yang akan menjadi prediktor servant
leadership pendeta di GKST, karena kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual mempunyai peran penting dalam menentukan
kesuksesan pendeta membangun hubungan dan menyikapi perubahan
secara terbuka, kritis, arif serta bijaksana. Selain itu, dalam konteks
9
Indonesia kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual merupakan
variabel yang masih jarang diteliti dalam kaitannya dengan servant
leadership, khususnya servant leadership pendeta GKST.
Dalam hubungannya dengan alasan di atas, penulis melihat
bahwa menjadi pemimpin bukanlah tugas yang mudah. Kelemahan
umum yang sering dijumpai adalah ketidakmampuan pemimpin dalam
membangun hubungan untuk bisa bekerja bersama-sama orang-orang
lain (Maxwell, 1999). Untuk itu penulis berasumsi bahwa dengan
memahami pengaruh kecerdasan emosional terhadap servant
leadership akan memudahkan pendeta untuk menciptakan lingkungan
gereja yang kondusif sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik
dan sekaligus menolong pendeta untuk mentransformasi warga gereja
secara utuh guna mencapai efektivitas hidup sebagaimana Allah
inginkan.
Pada hakekatnya kecerdasan emosional adalah kemampauan
mendengarkan emosi sebagai sumber informasi penting untuk
membangun efektivitas hubungan intrapersonal dan interpersonal yang
diekspresikan melalui kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran
sosial, dan manajemen relasi (Goleman, 2007). Maka dari itu,
kecerdasan emosional perlu diperhatikan karena mendukung
efektivitas kepemimpinan, sebagaimana dikemukakan oleh Goleman
(2007) bahwa kecerdasan emosional memberikan pengaruh sebesar 85
persen terhadap keberhasilan kepemimpinan dalam organisasi. Hal ini
memberikan informasi bahwa 85 persen kepemimpinan menjelaskan
tentang hubungan dengan orang lain. Searah dengan hal tersebut
Hannay (2009) mengemukakan bahwa perilaku servant leadership
akan cenderung diperlihatkan oleh servant leader yang memiliki
10
kecerdasan emosional yang tinggi. Pendapat ini di dukung oleh hasil
penelitian Staden (2001) yang membuktikan bahwa kecerdasan
emosional adalah prediktor signifikan servant leadership (R² = 0,873,
dan adjusted R² = 0,759). Barbuto dan Bugenhagen (2009) dalam
penelitiannya menemukan yang hubungan positif signifikan antara
kecerdasan emosional pemimpin dengan pengikut Leader-Member
Exchanges (r =.15, p<.01). Hubungan positif yang signifikan juga
ditemukan antara pengikut LMX dan perilaku kecerdasan emosional
yaitu respon empati (r =.16, p<.01) dan keterampilan interpersonal (r
=.13, p<.05). Hasil temuan ini menjelaskan bahwa semakin tinggi
kecerdasan emosional yang dimiliki oleh pemimpin akan berdampak
pada semakin baiknya kualitas hubungan yang terbentuk antara
pemimpin dengan pengikut. Hal ini bisa terjadi karena pemimpin yang
cerdas secara emosional akan menampilkan pengendalian diri yang
kuat, dapat dipercaya, dan dihormati pengikutnya (Barling, Slater, dan
Kelloway, 2000). Selain itu, pemimpin yang cerdas secara emosional
akan mudah diterima oleh pengikutnya sehingga efektif dalam
menggunakan motivasi inspirasional (Palmer, Walls, Burgess dan
Stough, 2001); pemimpin yang cerdas secara emosional akan lebih
mudah memahami dan memberikan respon empati terhadap kebutuhan
pengikutnya (Gardner dan Stough, 2002).
Namun hasil penelitian di atas sangat kontras dengan hasil
penelitian Parolini (2005) yang menemukan bahwa kecerdasan
emosional tidak dapat memprediksi persepsi bawahan terhadap
perilaku servant leadership pemimpin, demikian juga kecerdasan
emosional tidak dapat memprediksi budaya servant leadership. Hasil
temuan ini diperkuat oleh pernyataan Antonakis (2003) yang
11
menyatakan bahwa kecerdasan emosional tidak dapat dijadikan
prediktor efektivitas kepemimpinan karena adanya kontradiksi dan
inskonsistensi yang meragukan perlunya kecerdasan emosional dalam
memahami dan memprediksi efektivitas kepemimpinan. Demikian
juga Locke (2005) menyatakan bahwa konsep kecerdasan emosional
tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak termasuk dalam bentuk
kecerdasan, selain itu kecerdasan emosional memiliki definisi yang
luas dan inklusif sehingga tidak dapat dimengerti. Oleh sebab itu
secara fundamental konsep kecerdasan emosional tidak memenuhi
syarat ketika diterapkan pada kepemimpinan sehingga diperlukan
penelitian selanjutnya untuk melihat sejauh mana pengaruh kecerdasan
emosional terhadap servant leadership.
Selanjutnya, variabel kecerdasan spiritual dipilih menjadi
variabel prediktor kedua terhadap servant leadership karena penulis
mengamati bahwa manusia sekarang telah kehilangan pemahaman
terhadap nilai-nilai mendasar atau di sebut ‘bodoh secara spiritual’,
(yang ditandai dengan materialisme, egoisme, kehilangan makna, dan
komitmen), dalam budaya yang seperti ini kecenderungan
menggunakan kewenangan kepemimpinan demi kepentingan pribadi
terbuka secara luas. Oleh karena itu dibutuhkan kecerdasan spiritual
yang akan mengendalikan perilaku tersebut (Zohar dan Marshall,
dalam Kumalanty, 2001). Hal ini bisa terjadi karena pemimpin yang
cerdas secara spiritual akan memiliki komitmen perjalanan batin.
Artinya pemahaman spiritual akan memberi kesadaran untuk melihat
jauh sampai ke dalam batin (kesadaran diri) yang membuat pemimpin
berkomitmen untuk menjadikan spiritual sebagai pedoman yang
membimbing dalam pencarian makna dan kebenaran yang
12
memungkinkan pemimpin untuk bertahan di masa krisis (tekanan) dan
bangkit dari keterpurukan sekaligus memungkinkan pemimpin
menampilkan keutuhan dan keaslian yang pada gilirannya
menghasilkan pemahaman diri yang didasarkan pada pemahaman
untuk menerima orang lain (Hope, 2005).
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty dan
Chakraborty (2004) tentang kecerdasan spiritual dan kepemimpinan
menyatakan bahwa spiritualitas berpengaruh terhadap bagaimana
seseorang bersikap sebagai pemimpin. Pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual. Mengapa? Karena
pemimpin yang cerdas secara spiritual akan membawa nilai-nilai
spiritualitas dalam proses kepemimpinan. Selanjutnya, Delbecq (1999)
melaporkan pengaruh dari sebuah kursus pengembangan spiritual
untuk pemimpin-pemimpin bisnis yang terdiri dari 9 CEO dan 9 MBA
di Silicon Valley. Kursus tersebut berfokus pada integrasi
kepemimpinan bisnis sebagai sebuah panggilan, mendengarkan suara
batin di tengah pergolakan, integrasi diri untuk menanggapi segala
tantangan maupun hambatan dalam praktek kepemimpinan. Delbecq
melaporkan feedback yang positif dari kebanyakan partisipan tentang
pengaruh kursus ini dalam praktek kepemimpinan bisnis mereka.
Andree dan Kristyanti (2007) melakukan penelitian tentang gambaran
peranan kecerdasan spiritual dalam pengambilan keputusan seorang
pemimpin terhadap dua orang manajerial tingkat atas masing-masing
manajer diwakili oleh satu orang pengikutnya. Penelitian ini
menggunakan model penelitian kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kedua pemimpin memiliki kualitas kecerdasan
spiritual yang dibutuhkan dalam menjalankan organisasinya yang
13
ditunjukkan melalui adanya visi, makna dan nilai yang di anut oleh
masing-masing pemimpin. Amram (2005) melakukan penelitian
terhadap 42 orang CEO, menemukan bahwa kecerdasan spiritual
memberikan kontribusi untuk efektivitas kepemimpinan bisnis melalui
kemampuan memobilisasi makna berdasarkan pemahaman tentang
pertanyaan eksistensial, makna dari tujuan hidup, panggilan pelayanan
yang mengikat peran pemimpin dalam menetapkan tujuan serta
memobilisasi makna bagi organisasi. Namun hasil penelitian ini
kontras dengan hasil penelitian Franklin (2010) yang menemukan
bahwa kecerdasan spiritual tidak memiliki hubungan yang positif
signifikan terhadap servant leadership untuk itu diperlukan penelitian
yang lebih lanjut.
Dari data empiris yang telah dikemukakan di atas, diketahui
bahwa masih ada hasil penelitian yang pro dan kontra tentang
kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual dapat dijadikan
prediktor terhadap servant leadership. Untuk alasan itu penulis merasa
penting untuk melakukan kajian lanjutan untuk mengetahui bahwa
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dapat dijadikan
prediktor potensial servant leadership pendeta GKST.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan dapat
menjadi prediktor servant leadership pendeta Gereja Kristen Sulewesi
Tengah”?
14
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan yang telah
dikemukakan pada rumusan masalah di atas yaitu untuk mengetahui
bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan
dapat dijadikan prediktor servant leadership pendeta di Gereja Kristen
Sulawesi Tengah.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
Sesuai tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkanmemberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran tentang efektivitas dan kualitas servantleadership pendeta melalui kecerdasan emosional dankecerdasan spiritual.
2. Sebagai masukan bagi para pendeta di tempat penelitian untukmeningkatkan kualitas servant leadership yang terus menerusmentransformasi dalam kehidupan gereja baik organismemaupun kelembagaan melalui kematangan emosional danspiritual.
3. Memberikan sumbangsih pengembangan khasanah ilmupengetahuan khususnya dibidang kepemimpinan.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti berikutnya dalammengkaji masalah yang sama di masa yang akan datang.