bab i sle akdr

15
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun yang berhubungan dengan berbagai Manifestasi klinis setiap organ serta kerusakan jaringan. (Isbagio et al, 2007) Penyakit lupus dapat ditemukan pada semua kelompok usia dimana banyak mengenai usia produktif yaitu antara usia 21 sampai 50 tahun dengan prevalensi 17 sampai 48 dalam 100.000 penduduk pada suku Afro-Karibia. Di Eropa Utara, prevalensi penyakit lupus berkisar 40 kasus per 100.000 penduduk dan 200 kasus per 100.000 penduduk ditemukan pada orang dengan kulit hitam. Meskipun penyakit ini merupakan penyakit autoimun, 1

Upload: febri-mutiarani-putri

Post on 20-Oct-2015

16 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

sle

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

I.1. Latar BelakangLupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun yang berhubungan dengan berbagai Manifestasi klinis setiap organ serta kerusakan jaringan. (Isbagio et al, 2007)

Penyakit lupus dapat ditemukan pada semua kelompok usia dimana banyak mengenai usia produktif yaitu antara usia 21 sampai 50 tahun dengan prevalensi 17 sampai 48 dalam 100.000 penduduk pada suku Afro-Karibia. Di Eropa Utara, prevalensi penyakit lupus berkisar 40 kasus per 100.000 penduduk dan 200 kasus per 100.000 penduduk ditemukan pada orang dengan kulit hitam. Meskipun penyakit ini merupakan penyakit autoimun, akan tetapi terdapat peran eksogen misalnya lingkungan (ultraviolet, hormon) maupun faktor endogen seperti faktor genetic. (Insawang dan Kulthanan,2010)

Patogenesis SLE, dimana interaksi antara faktor-faktor host (genetik, hormonal) dan faktor- faktor lingkungan (radiasi ultraviolet, virus, obat- obatan) mengarah pada hilangnya toleransi, dan menginduksi suatu autoimunitas. Diikuti dengan aktivasi dan ekspansi sistem imun dan akibatnya terjadi kerusakan jaringan akibat respon imun dan ekspresi klinis penyakit. (Rahman dan Isenberg,2008)

Patogenesis faktor hormonal penyakit ini umumnya menyerang wanita muda usia pubertas, wanita hamil, wanita post partum, wanita yang menggunakan kontrasepsi dengan estrogen dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. (Rahman dan Isenberg, 2008)

Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti - DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. (Rahman dan Isenberg, 2008)

Distribusi menurut jenis kelamin didominasi oleh wanita yaitu 83% dibandingkan pasien laki-laki yang hanya 17%. Berdasarkan kelompok usia, penderita baru paling banyak berada dikelompok usia 41-50 tahun (50%) dengan usia termuda 16 tahun dan usia tertua 48 tahun. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Komalig FM, dkk yang melaporkan bahwa wanita SLE di Jakarta tahun 2004 sebesar 94,6%, dan kelompok umur terbanyak di usia subur 15-44 tahun (88,4%). Hal ini dimungkinkan kerena pada pasien lupus terjadi peningkatan hormon estrogen 20 kali lipat dibandingkan dengan pasien yang sehat. Diketahui bahwa wanita memiliki predisposisi SLE jauh lebih banyak daripada pria dikarenakan memiliki 2 kromosom X. Onset penyakit yang jarang diderita oleh perempuan pre-pubertas dan menopouse, mendukung keterlibatan hormon seks terhadap patogenesisnya. (Rahman dan Isenberg, 2008)

Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai prognosis kehamilan yang baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang bisa terjadi pada kehamilan yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal,bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi 50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat menigkatkan risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat sekitar 25% demikian juga risiko terjadinya preeklamsia-eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita LES yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi dua kalilipat. Membedakan preeklamsia dengan lupus nefritis karena keduanya mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. (Anak agung, 2007)

Adapun peran hormonal termasuk dalam penggunaan kontrasepsi hormonal dalam patogenesis timbulnya aktivitas LES, dan adanya komplikasi yang dapat timbul pada wanita dengan LES yang hamil tanpa perencanaan yang baik, maka diperlukannya alat kontrasepsi yang aman digunakan oleh wanita dengan LES.

Metode program KB bertujuan mencegah pertemuan sel sperma dengan sel telur yang akan berubah menjadi konsepsi dan nidasi. Kontrasepsi adalah cara untuk mencegah terjadinya konsepsi dengan menggunakan alat atau obat-obatan. Macam-macam metode Keluarga Berencana, yaitu : Metode Amenore Laktasi (MAL), Metode Keluarga Berencana Alamiah (KBA), sanggama terputus, metode barier yaitu Kondom, diafragma, spermisida, kontrasepsi kombinasi (hormon estrogen dan progesteron), pil, suntik, implant (norplant), AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) atau IUD (Intra Uterine Device), medis operatif wanita (tubektomi), serta medis operatif pria (vasektomi). (Saifuddin, dkk, 2010)

Kontrasepsi IUD memang kalah populer dibandingkan dengan kontrasepsi pil atau suntik. Bukan cuma di negara berkembang, di negara maju pun pengetahuan kaum wanita akan kontrasepsi ini masih rendah. (health.kompas.com, 2013) Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (selanjutnya disingkat AKDR) / Intra Uterine Device (selanjutnya disingkat IUD) adalah inert sintetik (dengan atau tanpa unsur tambahan untuk sinergi efektivitas) dengan berbagai bentuk yang dipasangkan ke dalam rongga rahim untuk menghasilkan efek kontraseptif. (Saefudin, 2006) AKDR dibedakan jenisnya menurut sifat dan bentuknya. (Hanafiah, 2005)

Sampai sekarang mekanisme kerja AKDR belum diketahui dengan pasti. (Erdjan Albar, 2013) Mengenai mekanisme kerja dari AKDR, kelompok studi World Health Organization (selanjutnya disingkat WHO) mengatakan bahwa efek antifertilasi tidak hanya terdiri dari satu mekanisme tunggal, melainkan terjadi dari beberapa mekanisme yang terjadi secara bersamaan. Salah satu mekanismenya yaitu timbulnya reaksi radang lokal di dalam kavum uteri sehingga implantasi sel telur yang telah dibuahi terganggu. Disamping itu, dengan munculnya leukosit, makrofag, dan sel plasma yang dapat mengakibatkan lisisnya spermatozoa atau ovum dan blastosit. Blastosit yang telah berimplantasi di dalam endometrium pun dapat terlepas. Produksi lokal prostaglandin meninggi sehingga menyebabkan terhambatnya implantasi. Terjadi pula pergerakan ovum yang bertambah cepat di dalam tuba falopii serta immobilisasi spermatozoa saat melewati kavum uteri. Ion cuprum (tembaga, selanjutnya disingkat Cu) yang dikeluarkan AKDR dengan cooper menyebabkan gangguan gerak spermatozoa sehingga mengurangi kemampuan untuk melakukan konsepsi. (Canavan, 2002)

Terdapat beberapa faktor yang kurang mendukung penggunaan metode kontrasepsi AKDR ini, baik faktor internal maupun eksternal. (Erfandi, 2008) Terhadap tindak aborsi yang berkaitan dengan perdebatan mekanisme kerja alat ataupun obat kontrasepsi, perangkat hukum kita telah melarang dan akan memberikan hukuman bagi pelakunya, yang ditegaskan dalam Pasal 346 - 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP). Memang dalam kondisi apapun termasuk kesehatan, KUHP melarangnya karena KUHP hanya menitikberatkan abortus kriminalis saja. Tetapi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan peluang dilakukannya aborsi apabila dalam keadaan darurat medis sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

Metode kontrasepsi AKDR menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama karena menyangkut aspek agama dan hukum. Mengenai penggunaan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), terdapat perbedaan pendapat dari para ulama, sebagian ulama menyatakan penggunaan AKDR diharamkan sebagian ulama lainnya menyatakan penggunaan AKDR dibolehkan.

Diharamkan karena dalam pemasangannya mengharuskan melihat kemaluan wanita pemakainya (aurat mughallazhah) dan karena yang terjadi di dalam rahim wanita dengan dimasukkannya AKDR adalah antinidasi (anti penyarangan dalam dinding rahim), yang bersifat menggugurkan (abortive) setelah pembuahan terjadi, bukan antikonseptif. Dibolehkan karena pada dasarnya sama dengan azl atau alat-alat kontrasepsi yang lain karena sifat alat kontrasepsi tersebut yang sementara dan dapat membantu tujuan untuk mengatur jarak kelahiran yang akan membawa kepada mashlahah.

Salah satu alasan diharamkannya penggunaan AKDR adalah kaitannya dengan mekanisme kerja AKDR yang bersifat bukan antikonsepsi, melainkan abortif, oleh karena itu perlu ditinjau kapan dan bagaimana manusia itu diciptakan dan bagaimana Islam memandang janin dan kehidupannya kemudian sebagai calon khalifah di muka bumi Allah. Beriringan dengan pernyataan tersebut, melahirkan, memiliki, dan memperbanyak keturunan adalah hal yang sangat dianjurkan di dalam Islam.

Meski sebagian pakar mempersoalkan cara kerja alat, tetapi tidak menjadi perhatian dari lembaga fatwa di Indonesia. Peraturan pemerintah, dalam hal ini Hukum Kesehatan, dibuat dengan pertimbangan demi mencapai taraf kesehatan dan kesejahteraan bagi ibu, bayinya, serta keluarga, dam masyarakat secara umum. Sebagai muslim hendaklah mengikuti aturan Allah, Rasul, dan pemimpin yang diangkat, selama peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.

Metode kontrasepsi AKDR ini nampaknya dapat menjadi bahan diskusi yang menarik, terutama karena menyangkut aspek medis, hukum, dan agama. Ditambah bahwa metode AKDR merupakan bagian dari Program Keluarga Berencana Nasional yang telah dicanangkan sejak 1970 dan coba terus dikembangkan sampai sekarang hingga waktu kedepan. Dari segi medis sendiri, metode AKDR dinilai lebih efektif dalam mencegah kehamilan dibanding metode kontrasepsi sementara lainnya. Tidak adanya efek samping sistemik menjadikan AKDR pilihan yang banyak dianjurkan.Berangkat dari perihal di atas inilah, penulis mengajukan judul Risiko Dan Keamanan Penggunaan Kontrasepsi AKDR Pada Wanita Dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) Ditinjau Dari Kedokteran dan Islam.

1.2 PermasalahanI.2.1. Apa itu Lupus Eritematosus Sistemik (LES)?1.2.2. Bagaimanakah faktor hormonal dapat berperan dalam patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ?1.2.3. Bagaimanakah pengaruh kehamilan pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ?1.2.4. Apa itu AKDR?1.2.5. Bagaimanakah mekanisme kerja AKDR ?1.2.6. Bagaimanakah keuntungan penggunaan AKDR pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ?1.2.7. Apakah kerugian penggunaan AKDR pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ?1.2.8. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap metode AKDR ?I.3. Tujuan

I.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui tentang risiko serta keamanan penggunaan metode AKDR pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ditinjau dari kedokteran dan Islam.I.3.2. Tujuan KhususI.3.2.1. Mengetahui apa itu Lupus Eritematosus Sistemik (LES).

I.3.2.2. Mengetahui pengaruh faktor hormonal pada patogenesis terjadinya Lupus Eritematosus Sistemik (LES) .

I.3.2.3. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada kehamilan tanpa perencanaan yang tepat pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES).

I.3.2.4. Mengetahui tentang AKDR .I.3.2.5. Mengetahui keuntungan serta kerugian AKDR pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES). I.3.2.6. Mengetahui pandangan Islam terhadap metode AKDR. I.4. Manfaat

I.4.1. Manfaat bagi penulis

Dengan skripsi ini diharapkan penulis dapat lebih memahami mengenai risiko serta keamanan penggunaan metode AKDR pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ditinjau dari kedokteran dan Islam. Serta penulis juga mendapatkan pengalaman dalam menulis skripsi yang baik dan benar.

I.4.2. Manfaat bagi Universitas Yarsi

Skripsi ini diharapakan mampu menambahkan rujukan atau informasi dan menjadi bahan masukan bagi civitas akademika Universitas Yarsi mengenai risiko serta keamanan penggunaan metode AKDR pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ditinjau dari kedokteran dan Islam.I.4.3. Manfaat bagi masyarakatSkripsi ini diharapakan dapat menambah pengetahuan masyarakat sehingga dapat lebih memahami tentang risiko serta keamanan penggunaan metode AKDR pada wanita dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ditinjau dari kedokteran dan Islam.12