bab i-vi dapus berubah
DESCRIPTION
fgdfgfdgfdgdfgfdgTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam dan sangat luas, mengakibatkan terjadinya penurunan
fungsi ginjal yang terjadi secara progresif, dan pada umumnya akan berakhir
dengan gagal ginjal tahap akhir (terminal) (1). Hampir 8 juta orang (4% dari
populasi dewasa AS) menderita PGK sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya
menderita penyakit ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease/ESRD). Angka
tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD diperkirakan akan meningkat
paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (2,3). Dari data di beberapa pusat
nefrologi di Indonesia, diperkirakan insidensi dan prevalensi PGK masing-masing
berkisar 100-150/juta penduduk dan 200-250/juta penduduk (4). Sementara itu,
berdasarkan rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin, jumlah
kunjungan pasien PGK yang sudah mencapai tahap ESRD yang ditangani di Unit
Hemodialisis pada tahun 2009 sebanyak 462 orang.
Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi penggantian ginjal (renal replacement
therapy), antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) (1). Berkurangnya fungsi ginjal
dihubungkan dengan banyak komplikasi, seperti hipertensi, anemia, gagal
1
2
jantung, asidosis metabolik, malnutrisi, penyakit tulang, berkurangnya kualitas
hidup, bahkan meninggal. Komplikasi PGK muncul paling banyak pada stadium 4
atau 5. Diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menilai prognosis dari PGK
(1,5).
Pemeriksaan untuk menilai fungsi ginjal sangat beragam, seperti perkiraan
Glomerular Filtration Rate (GFR), pemeriksaan hemoglobin (Hb), proteinuria,
dan tekanan darah (6). Berdasarkan penelitian Daniel, dalam mengidentifikasi
pasien PGK, hal yang paling penting adalah memperkirakan GFR dengan akurat.
Standar klinik saat ini menganjurkan perkiraan GFR dengan menggunakan
persamaan kreatinin serum (3). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR merupakan
penilaian secara keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat fungsi ginjal
(5). Menurut Levey et al, penurunan GFR pada usia lanjut merupakan prediktor
independen dalam menentukan komplikasi, seperti kematian dan penyakit
kardiovaskular. Hal ini disebabkan oleh prevalensi PGK yang meningkat seiring
bertambahnya usia, kira-kira 17% dari pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
memiliki GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 (2). Namun, terdapat masalah
keakuratan dari formula yang digunakan untuk memperkirakan GFR, yaitu
populasi dan etnik yang beragam dengan perbedaan ukuran tubuh dan massa otot.
Masalah lainnya adalah perbedaan pengukuran kadar kreatinin serum di
laboratorium klinik, padahal penghitungan GFR diperkirakan dari hasil
pengukuran tersebut (7). Selain itu, pengukuran GFR ini memerlukan banyak
waktu, mahal (8).
2
3
Salah satu pemeriksaan penting lainnya untuk menilai fungsi ginjal adalah
pemeriksaan kadar Hb. Ginjal yang normal memproduksi hormon yang disebut
eritropoietin, yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah
sel darah merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ
vital. Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir selalu mengalami penurunan
Hb di bawah kadar normal. Penyebab paling penting dari hal ini adalah
berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami kerusakan berat,
ginjal tidak mampu membentuk eritropoietin dalam jumlah yang cukup, sehingga
mengakibatkan penurunan produksi sel darah merah dan menimbulkan penurunan
Hb (9,10). Beberapa studi menunjukkan hubungan antara konsentrasi Hb dan
fungsi ginjal (11). Pemeriksaan hemoglobin relatif murah dan tersedia secara luas
di Puskesmas, sehingga baik diterapkan untuk menjadi pemeriksaan dalam
menilai fungsi ginjal.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mencari korelasi antara hasil
pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR tersebut. Penelitian mengenai hal
ini belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUD Ulin Banjaramasin. Penelitian
akan dilakukan di Instalasi Hemodialisis RSUD Ulin Banjarmasin karena rumah
sakit tersebut merupakan pusat rujukan pasien penyakit ginjal dari seluruh
wilayah Kalimantan Selatan. Instalasi Hemodialisis umumnya menangani pasien
penyakit ginjal yang sudah berada pada tahap akhir (ESRD).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dikemukakan permasalahan, yaitu:
Apakah terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai
3
4
GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di
RSUD Ulin Banjarmasin?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara hasil
pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal
ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengukur kadar hemoglobin,
menghitung nilai GFR, dan mencari korelasi keduanya dalam menilai prognosis
gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memprediksi prognosis gagal ginjal terminal
dengan menggunakan pemeriksaan kadar hemoglobin, sehingga dapat mencegah
komplikasi, prognosis yang buruk, dan secara tidak langsung akan mengurangi
angka kematian akibat gagal ginjal terminal. Oleh karena itu, penelitian ini akan
bermanfaat untuk masyarakat dan pengembangan ilmu kedokteran.
4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Ginjal Kronik dan Gagal Ginjal Terminal
Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) memperkenalkan
sebuah petunjuk standar untuk diagnosis, definisi dan klasifikasi PGK. Definisi
PGK adalah kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, yang ditandai dengan
abnormalitas struktur dan fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan GFR, atau
GFR < 60 ml/menit/1,73 m² luas permukaan tubuh lebih dari tiga bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal (12,13). Suatu keadaan dimana faal ginjal yang masih
tersisa sudah minimal sehingga usaha pengobatan konservatif yang berupa diet,
pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang
diharapkan lagi disebut gagal ginjal terminal (GGT) atau end-stage renal disease
(ESRD) (14). Klasifikasi PGK menurut NKF adalah seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 2.1.
5
6
Tabel 2.1. Klasifikasi PGK dan rencana tatalaksana sesuai dengan stadiumnya (1,15)
Stadium PGK
DeskripsiGFR
(ml/menit/1,73m2)Rencana Tatalaksana
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
>90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid*, evaluasi progresivitas fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan
60-89 Menghambat progresivitas
3 Penurunan GFR sedang
30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 Penurunan GFR berat
15-29 Persiapan untuk terapi penggantian ginjal
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis Terapi penggantian ginjal jika uremia
Keterangan:* Kondisi komorbid seperti gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol,
infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
PGK merupakan masalah kesehatan utama di Amerika Serikat.
Prevalensi gagal ginjal meningkat secara permanen sejak ditemukannnya
penyakit ini oleh Medicare pada tahun 1973 (16). Menurut penelitian Daniel,
insidensi dan prevalensi meningkat dari semua stadium penyakit ginjal, termasuk
gagal ginjal. Hampir 8 juta orang (4% dari populasi dewasa AS) menderita PGK
sedang sampai berat, dan 450.000 lainnya menderita penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD). Angka tersebut diperkirakan akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, prevalensi diabetes, dan hipertensi. Populasi ESRD
diperkirakan akan meningkat paling tidak 600.000 sampai dengan 2015 (3). Di
Singapura, negara Asia Selatan-Timur, prevalensi PGK dilaporkan 10,1% (5,17).
6
7
Berdasarkan data di beberapa pusat nefrologi Indonesia diperkirakan
insidensi dan prevalensi PGK masing-masing berkisar 100-150/juta penduduk dan
200-250/juta penduduk (4). Namun menurut Widiana, di Indonesia sendiri belum
memiliki sistem register yang lengkap di bidang penyakit ginjal, diperkirakan
terdapat 100 per sejuta penduduk atau sekitar 20.000 kasus baru dalam setahun.
Selain itu mahalnya tindakan hemodialisis masih merupakan masalah besar dan di
luar jangkauan sistem kesehatan (18).
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), dimana GFR basal masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai GFR 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai GFR 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi, seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo- atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit, antara lain natrium dan kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi
7
8
gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis atau transplantasi
ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD)
(1).
Pada ESRD, pasien mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah,
karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam tubuh (19). Gejala-gejala klinis yang serius sering tidak muncul
sampai jumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70% di bawah normal (9).
Urutan peristiwa dalam patofisiologi gagal ginjal progresif dapat diuraikan
dari segi hipotesis nefron yang utuh. Meskipun PGK terus berlanjut, namun
jumlah zat terlarut yang harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan
homeostasis tidak berubah, walaupun jumlah nefron yang bertugas melakukan
fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan
oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk
melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi,
beban zat terlarut dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun GFR
untuk seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai
normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat
rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi
sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan
8
9
filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat lagi dipertahankan.
Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun konservasi zat terlarut dan air
menjadi berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah
keseimbangan yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti
makin sedikit nefron yang ada), semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per
nefron (19).
Faktor risiko PGK antara lain adalah hipertensi atau penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus, usia di atas 60 tahun, riwayat penyakit ginjal di
keluarga, infeksi saluran kemih yang berulang, terpapar obat-obatan Nonsteroidal
anti-inflamatory drugs (NSAID), antibiotik, dan agen kimia lainnya (20).
PGK mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi (1), seperti ditunjukkan pada
Tabel 2.2.
9
10
Tabel 2.2. Komplikasi PGK (1)
Derajat PenjelasanGFR
(ml/menit)Komplikasi
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal
> 90-
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang ringan
60-89Tekanan darah mulai meningkat
3 Penurunan GFR sedang 30-59 Hiperfosfatemia Hipokalemia Anemia Hiperparatiroid Hipertensi Hiperhomosistinemia4 Penurunan GFR berat 15-29 Malnutrisi Asidosis metabolic
Cenderung hiperkalemia
Dislipidemia5 Gagal ginjal <15 Gagal jantung
Uremia
B. GFR
GFR didefinisikan sebagai kecepatan munculnya filtrat glomerulus dari
filtrasi darah di glomerulus (19). GFR relatif konstan dan memberi indikasi kuat
mengenai fungsi ginjal (21). Nilai GFR yang tinggi bermanfaat untuk membuat
ginjal mampu menyingkirkan produk sisa dari tubuh dengan cepat, yang terutama
bergantung pada filtrasi glomerulus untuk eksresinya. Nilai normal GFR kira-kira
130 ml/menit/1,73m² pada pria muda dan 120 ml/menit/1,73m² pada wanita muda
(5). Kebanyakan produk sisa tersebut direabsorbsi sedikit oleh tubulus, oleh
10
11
karena itu bergantung pada GFR yang tinggi untuk penyingkiran yang efektif
pada tubuh (9).
Faktor yang mempengaruhi GFR antara lain adalah (21):
1. Tekanan kapiler
Tekanan kapiler bergantung pada tekanan arteri rerata. Peningkatan tekanan
arteri rerata meningkatkan tekanan kapiler, sehingga cenderung terjadi
peningkatan filtrasi glomerulus, dan sebaliknya.
2. Tekanan cairan interstisium
Tekanan cairan interstisium di kapsula Bowman dan tubulus di sekitarnya
dapat meningkat secara drastis apabila glomerulus rusak. Peningkatan tekanan
cairan interstisium menahan filtrasi glomerulus lebih lanjut. Dengan
berkurangnya filtrasi glomerulus, maka volume darah dan komposisi elektrolit
tidak dapat diatur.
3. Tekanan osmotik koloid plasma
Tekanan osmotik koloid plasma bergantung pada konsentrasi protein plasma.
Kadar protein plasma dapat menurun akibat penyakit hati, pengeluaran protein
melalui urin, atau malnutrisi protein. Tekanan osmotik koloid plasma
merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya reabsorbsi cairan kembali
ke kapiler.
4. Tekanan osmotik koloid cairan interstisium
Tekanan osmotik koloid cairan interstisium rendah karena hanya sedikit
protein plasma atau sel darah merah dapat menembus glomerulus. Pada cedera
glomerulus, tekanan osmotik koloid cairan interstisium dapat meningkat.
11
12
Apabila tekanan osmotik koloid cairan interstisium meningkat, maka cairan
akan tertarik keluar glomerulus, sehingga terjadi pembengkakan dan edema di
ruang yang mengelilingi tubulus, sehingga dapat mengganggu filtrasi
glomerulus lebih lanjut.
Menurut Amira, terdapat beberapa cara yang digunakan para klinisi untuk
menilai GFR, yaitu (22):
1. Kreatinin serum
Kreatinin adalah metabolit dari kreatinin fosfat yang ditemukan di otot skelet.
Produksinya dipengaruhi oleh massa otot dan diet protein. Kreatinin bebas
difiltrasi di glomerulus dan juga mengalami sekresi di tubulus, nilainya
beragam di setiap individu tergantung dari tingkat fungsi ginjal. Nilai normal
kreatinin serum 0,6-1,2 mg/dl.
2. Bersihan inulin
Inulin merupakan polimer fruktosa yang memilki berat molekul 5200 dalton.
Inulin bebas difiltrasi, tidak direabsorbsi dan disekresi di tubulus, akan tetapi
harus dieliminasi dari ginjal. Oleh karena itu, bersihan inulin merupakan
standar baku emas dalam menilai GFR. Akan tetapi, adanya prosedur yang
sangat menyulitkan dan mahal membuat cara ini jarang digunakan oleh klinisi.
3. Bersihan kreatinin endogen
Bersihan kreatinin membutuhkan urin 24 jam yang dikumpulkan, yang cukup
sulit untuk dilakukan. Sumber kesalahan dari pengukuran ini adalah proses
pengumpulan urin, yaitu memulai mengumpulkan urin pasien di saat kandung
12
13
kemihnya kosong dan mencatat waktu dimulainya pengumpulan urin selama
24 jam.
4. Plasma cystatin C
Cystatin C merupakan penanda baru dalam menilai GFR yang sensitif yang
lebih akurat dari pengukuran lainnya. Cystatin C adalah protein yang berat
molekulnya rendah, diproduksi di seluruh inti sel dan relatif konstan. Kondisi
peradangan, perubahan diet, dan status volume tidak mempengaruhi penanda
ini. Cystatin C dieliminasi dari tubuh melalui filtrasi glomerulus dan tidak
disekresi di tubulus. Akan tetapi, pemeriksaan ini sangat mahal dan belum
tersedia secara luas, sehingga hanya sebagian kecil klinisi yang menggunakan
cara ini untuk menilai GFR.
5. Formula perkiraan
Persamaan Cockcroft–Gault dapat digunakan untuk memperkirakan GFR pada
orang dewasa. Rasio filtrasi glomerulus dapat diperkirakan dari kadar kreatinin
serum dengan menggunakan persamaan yang juga mempertimbangkan usia,
berat badan, jenis kelamin, dan kreatinin plasma (2).
Persamaan Formula Cockroft-Gault adalah sebagai berikut (1):
GFR (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan (pria)
72 x kreatinin plasma
GFR (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan x 0,85 (wanita)
72 x kreatinin plasma
Berdasarkan penelitian Daniel, dalam mengidentifikasi pasien PGK, hal
yang paling penting adalah memperkirakan GFR dengan akurat. Standar klinik
13
14
saat ini menganjurkan perkiraan GFR dengan menggunakan persamaan kreatinin
serum (3). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR merupakan penilaian secara
keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat fungsi ginjal, karena
kerusakan/pemburukan ginjal seiring dengan penurunan GFR (5). Namun,
terdapat masalah pada keakuratan formula yang digunakan untuk memperkirakan
GFR, yaitu dalam hal populasi dan etnik yang beragam dengan perbedaan ukuran
tubuh dan massa otot. Masalah lainnya adalah perbedaan pengukuran kadar
kreatinin serum di laboratorium klinik, padahal penghitungan GFR diperkirakan
dari hasil pengukuran tersebut (7).
C. Kadar Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) adalah molekul protein dalam sel darah merah yang
membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan kembali membawa
karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru. Hb memiliki kapasitas mengikat
oksigen antara 1,36 sampai 1,37 ml oksigen per gram Hb (9).
Ginjal yang normal memproduksi hormon yang disebut eritropoietin (EPO),
yang dapat merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah sel darah
merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ vital.
Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir selalu mengalami penurunan Hb di
bawah normal. Penyebab paling penting dari hal ini adalah berkurangnya sekresi
eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal tidak mampu
membentuk eritropoietin dalam jumlah yang cukup, sehingga mengakibatkan
penurunan produksi sel darah merah dan menimbulkan penurunan kadar Hb di
bawah normal (9,10).
14
15
Hemoglobin merupakan molekul protein dalam sel darah merah yang
membawa oksigen, sehingga penurunan kadar Hb di bawah normal akan
mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen yang dibawa oleh sel darah merah.
Padahal ginjal menerima aliran darah per unit massa yang lebih tinggi
dibandingkan organ tubuh yang lain. Fraksi oksigen yang diekstraksi oleh
seluruh organ tubuh relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan ginjal, akan
tetapi ginjal sangat sensitif dengan keadaan hipoksia. Hal ini berhubungan
dengan tingginya kadar konsumsi oksigen lokal oleh sel epitel tubulus dan
vaskuler ginjal. Kerusakan ginjal yang sudah mencapai batas adaptasinya akan
berlanjut secara konsisten dan tidak dapat diperbaiki kembali (23).
Menurut World Health Organization (WHO), penurunan Hb di bawah
normal didefinisikan sebagai kadar Hb < 13,0 g/dl untuk laki-laki dan wanita
pasca menopause, <12,0 g/dl untuk wanita lainnya. Pada pasien yang menerima
hemodialisis, direkomendasikan nilai target Hb untuk wanita >11 g/dl dan pria >
12 g/dl (11,24,25).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar Hb antara lain adalah (26):
1. Faktor penggunaan obat, meliputi pengobatan dengan preparat zat besi untuk
memicu pembentukan Hb, pengobatan Erythropoiesis Stimulating Agents
(ESA), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan penghambat
reseptor angiotensin untuk pengobatan penyakit kardiovaskular, serta
kemoterapi pada pasien PGK dengan kanker.
2. Faktor yang berhubungan dengan status demografi dan sosial ekonomi pasien,
dan penyakit lain meliputi usia, jenis kelamin, ras, status demografik dan
15
16
ekonomi lainnya, penyakit kronis yang diderita seperti HIV, TBC, kondisi
kesakitan yang sudah ada, seperti diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskular, tipe penyakit ginjal dan stadium PGK, hiperparatiroid,
penyakit hematologi yang terjadi bersama-sama dengan PGK, seperti anemia
sel sabit, defisiensi zat besi, kehilangan zat besi akibat dari perdarahan
gastrointestinal, kehilangan zat besi yang dihubungkan dengan terapi
hemodialisis, dan seringnya pengambilan darah untuk kepentingan
pemeriksaan.
16
17
BAB III
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, yang
ditandai dengan abnormalitas struktur dan fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan GFR, atau GFR < 60 ml/menit/1,73 m² luas permukaan tubuh lebih
dari tiga bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (12,13). Suatu keadaan dimana
faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha pengobatan
konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak
memberi pertolongan yang diharapkan lagi disebut gagal ginjal terminal (GGT)
atau end-stage renal disease (ESRD) (14).
GFR relatif konstan dan memberi indikasi kuat mengenai fungsi ginjal (21).
Nilai GFR yang tinggi bermanfaat untuk membuat ginjal mampu menyingkirkan
produk sisa dari tubuh dengan cepat, yang terutama bergantung pada filtrasi
glomerulus untuk ekskresinya (9). Menurut Lesley et al, perkiraan GFR
merupakan penilaian secara keseluruhan yang terbaik dalam menentukan tingkat
fungsi ginjal karena kerusakan/pemburukan ginjal seiring dengan penurunan GFR
(5). Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan/penurunan GFR adalah
tekanan kapiler, tekanan cairan interstisium, tekanan osmotik koloid plasma, dan
tekanan osmotik koloid cairan interstisium (21).
Hemoglobin (Hb) merupakan molekul protein dalam sel darah merah yang
membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh dan kembali membawa
17
18
karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru (9). Ginjal yang normal memproduksi
hormon yang disebut eritropoietin (EPO), yang dapat merangsang sumsum tulang
untuk memproduksi jumlah sel darah merah dengan tepat yang dibutuhkan untuk
membawa oksigen ke organ vital. Pasien dengan PGK stadium 4 dan 5 hampir
selalu mengalami penurunan Hb di bawah normal. Penyebab paling penting dari
hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal (9,10). Beberapa studi
menunjukkan terdapat hubungan antara konsentrasi Hb dan fungsi ginjal (11).
Dari uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep seperti pada Gambar 3.1.
Keterangan : = menginduksi, = diduga, * variabel yang diteliti
Gambar 3.1 Skema kerangka konsep penelitian korelasi antara kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis GGT pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin periode Juli 2010
18
Penurunan GFR*
Fungsi ginjal terganggu
Produksi hormon eritropoietin menurun
Rangsangan produksi sel darah merah di sumsum tulang menurun
Penurunan kadar hemoglobin*
Filtrasi glomerulus menurun
Ginjal rusak
Gagal Ginjal Terminal
PGK
19
B. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan
kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal
pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
19
20
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan
cross-sectional.
B. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien gagal ginjal terminal yang
dihemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin selama kurun waktu bulan Juli 2010.
Proses pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling.
Pada penelitian ini, jumlah sampel yang digunakan adalah 30 orang. Kriteria
inklusi pasien adalah pasien yang tidak sedang menderita penyakit hematologi
lain seperti leukemia, tidak sedang menderita penyakit kronis seperti HIV dan
TBC, tidak sedang menderita penyakit keganasan, dan tidak sedang mendapatkan
pengobatan kemoterapi pada pasien PGK dengan kanker (24).
C. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan pada pemeriksaan kadar hemoglobin adalah darah
vena, kapas, alkohol 70%, reagen (Stromotolyser-FB, Stromotolyser-4DL,
Stromotolyser-4D5, Sulfulyser-SL5). Bahan yang digunakan pada pemeriksaan
kadar kreatinin serum adalah darah serum bebas hemolisis, reagen AMP, kapas,
alkohol 70%.
20
21
2. Alat penelitian
Alat yang digunakan pada pemeriksaan kadar hemoglobin adalah
seperangkat Sysmex® XT 1800i, tabung EDTA, spuit injeksi 3 cc, sarung tangan,
masker, torniket. Alat yang digunakan pada pemeriksaan kadar kreatinin serum
adalah Express Plus (Bayer®), spuit injeksi 3 cc, tabung reaksi, cup serum, kuvet,
tempat pembuangan kuvet, centrifuge, clinipette dan tips, sarung tangan, masker,
torniket.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar hemoglobin pasien
hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah nilai GFR pasien hemodialisis di
RSUD Ulin Banjarmasin.
3. Variabel pengganggu
a. Subyek penelitian (pasien hemodialisis)
1) Asupan makanan dan minuman.
2) Pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan preparat zat besi untuk
memicu pembentukan Hb.
3) Usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi.
4) Kondisi kesakitan yang sudah ada, seperti diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskular.
5) Hiperparatiroid.
21
22
6) Kehilangan zat besi akibat dari perdarahan gastrointestinal
7) Tidak sedang mendapatkan pengobatan angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI) dan penghambat reseptor angiotensin untuk pengobatan
penyakit kardiovaskular
8) Tidak sedang mendapatkan pengobatan Erythropoiesis Stimulating Agents
(ESA)
Semua variabel pengganggu yang berasal dari subjek penelitian tidak dapat
dikendalikan.
b. Bahan penelitian
Kualitas bahan penelitian dikendalikan dengan memperoleh bahan
penelitian yang masih baru dan belum kadaluwarsa.
c. Alat penelitian
Variabel laboratorium berupa standarisasi alat, dikendalikan dengan
melakukan pengkalibrasian alat sebelum melakukan penelitian.
E. Definisi Operasional
1. Kadar hemoglobin merupakan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dengan
menggunakan Sysmex® XT 1800i, dinyatakan dalam mg/dL. Darah yang
digunakan adalah darah vena yang diambil di lengan pasien pada fossa kubiti
dan diberi EDTA.
2. Nilai GFR adalah kecepatan filtrasi glomerulus yang dihitung dengan
menggunakan rumus Persamaan Cockcroft–Gault.
Persamaan Formula Cockroft-Gault adalah sebagai berikut (1):
22
23
GFR (ml/min/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan (pria)
72 x kreatinin plasma
GFR (ml/min/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan x 0,85 (wanita)
72 x kreatinin plasma
3. Kadar kreatinin adalah hasil pemeriksaan kadar kreatinin dengan
menggunakan metode analisis kimia. Darah yang digunakan adalah darah
vena yang diambil di lengan pasien dan disentrifugasi sehingga menghasilkan
serum. Serum tersebut yang digunakan untuk dianalisis.
4. Pasien hemodialisis adalah pasien yang sedang menjalani hemodialisis di
RSUD Ulin Banjarmasin oleh karena penyakit ginjal kronik stadium akhir
yang diderita.
F. Prosedur Penelitian
Langkah-langkah prosedur penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan sampel
Pengambilan darah vena dilakukan di lengan pasien pada fossa kubiti.
Darah diambil pada saat sebelum dilakukan hemodialisis (pre hemodialisis)
pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan dengan cara mencelupkan 1 ml
darah dengan EDTA ke dalam Sysmex® XT 1800i (reagen telah tercampur
secara otomatis dengan Sysmex® XT 1880i). Kemudian dibaca hasilnya dengan
melihat monitor komputer yang telah disambungkan dengan Sysmex® XT 1800i.
23
24
Pemeriksaan kadar kreatinin dilakukan dengan cara memasukkan serum
darah bebas hemolisis ke dalam alat Express Plus (Bayer®) (reagen telah
tercampur secara otomatis dengan alat Express Plus (Bayer®)). Kemudian dibaca
hasilnya dengan melihat monitor komputer yang telah disambungkan dengan alat
Express Plus (Bayer®). Cara pembuatan serum darah bebas hemolisis adalah
darah vena yang didapatkan tanpa EDTA dari pasien disentrifugasi selama 5-10
menit pada 3.000 rpm.
G. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Darah yang sudah diambil selanjutnya dikirim ke Laboratorium Patologi
Klinik RSUD Ulin Banjarmasin untuk dilakukan pemeriksaan kadar Hb dan
kreatinin serum. Hasil pemeriksaan kreatinin serum dimasukkan ke dalam rumus
Cockcroft–Gault untuk menghitung nilai GFR.
H. Cara Analisis Data
Data hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR diperoleh
ditampilkan dalam tabel dan grafik. Sebelum dilakukan analisis, dilakukan uji
normalitas, yaitu dengan uji Saphiro-Wilk. Data yang telah terdistribusi secara
normal diuji korelasinya dengan menggunakan regresi linear sederhana untuk
mencari korelasi antara kadar hemoglobin dan nilai GFR.
I. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 di Bagian Hemodialisis RSUD
Ulin Banjarmasin dan Laboratorium Patologi Klinik RSUD Ulin Banjarmasin.
24
25
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara hasil pemeriksaan
kadar hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal
pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin bulan Juli 2010. Jumlah
sampel yang digunakan untuk penelitian ini sebanyak 30 pasien hemodialisis.
Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil seperti ditunjukkan pada Gambar
5.1.
Gambar 5.1 Grafik korelasi antara kadar hemoglobin dan nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin periode Juli 2010
25
26
Berdasarkan Gambar 5.1, nampak bahwa kadar hemoglobin tertinggi dan
terendah berturut-turut adalah 12,7 mg/dl dan 5,6 mg/dl, sedangkan nilai GFR
tertinggi dan terendah berturut-turut adalah 8,89 ml/menit/1,73 m2 dan 2,29
ml/menit/1,73 m2. Rerata kadar hemoglobin dan nilai GFR pada pasien
hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin berturut-turut adalah 9,16 mg/dl dan
6,01 ml/menit/1,73 m2. Selain itu dapat dilihat juga bahwa terdapat korelasi yang
lemah antara kadar hemoglobin dan nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD
Ulin Banjarmasin.
Data yang didapatkan diuji normalitasnya untuk mengetahui kenormalan
sebaran data. Uji normalitas yang digunakan adalah uji Saphiro-Wilk. Sebaran
data dikatakan normal jika nilai p > 0,05. Dari hasil uji normalitas (Lampiran 3),
didapatkan nilai p untuk kadar hemoglobin dan nilai GFR masing-masing adalah
0,928 dan 0,315. Hal ini menunjukkan bahwa data kadar hemoglobin dan nilai
GFR terdistribusi normal.
Data kemudian dianalisis menggunakan uji regresi linear (Lampiran 4).
Analisis memberikan persamaan linear yaitu GFR = 6,218 - (0,023 x kadar
hemoglobin). Kualitas persamaan tersebut dapat dilihat dari nilai p, dimana pada
penelitian ini nilai p = 0,912 (p > 0,05), sehingga persamaan tersebut tidak dapat
digunakan untuk memprediksi nilai GFR, karena tidak memenuhi syarat dari nilai
p yang diinginkan (p < 0,05). Selain itu kualitas persamaan regresi linear juga
dapat dinilai dengan nilai Adjusted R Square. Jika nilai Adjusted R Square
mendekati 100%, maka persamaan tersebut semakin baik untuk memprediksi nilai
GFR. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan nilai Adjusted R Square = -0,035 (-
26
27
3,5%). Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar hemoglobin hanya dapat
memprediksi sebesar 3,5% untuk nilai GFR, sedangkan 96,5% lainnya dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak diteliti oleh peneliti.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, didapat kesimpulan bahwa
terdapat korelasi yang lemah dan tidak bermakna antara hasil pemeriksaan kadar
hemoglobin dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada
pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin, sehingga kadar hemoglobin tidak
bisa digunakan untuk memprediksi nilai GFR pada pasien gagal ginjal terminal
pada penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini sudah sesuai
dengan hipotesis yang ada yaitu terdapat korelasi, walaupun korelasinya lemah
dan tidak bermakna, antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai GFR
dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada pasien hemodialisis di RSUD
Ulin Banjarmasin.
Hipotesis penelitian ini didasarkan pada sebuah teori yaitu ginjal yang
normal memproduksi hormon yang disebut eritropoietin (EPO), yang dapat
merangsang sumsum tulang untuk memproduksi jumlah sel darah merah dengan
tepat yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke organ vital. Pasien yang
menjadi subyek penelitian ini, yaitu pasien dengan PGK stadium 4 dan 5, hampir
selalu mengalami penurunan Hb di bawah normal. Penyebab paling penting dari
hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal. Jika ginjal mengalami
kerusakan berat, ginjal tidak mampu membentuk eritropoietin dalam jumlah yang
cukup, sehingga mengakibatkan penurunan produksi sel darah merah dan
menimbulkan penurunan kadar Hb di bawah normal (9,10). Hal ini didukung oleh
27
28
penelitian O’Mara yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara
konsentrasi Hb dan fungsi ginjal (11).
Kadar hemoglobin di bawah normal pada pasien gagal ginjal terminal
memiliki keeratan hubungan dengan komplikasi yang berat. Hal ini didukung oleh
penelitian Phrommintikul et al., yang menjelaskan bahwa rendahnya kadar
hemoglobin pada pasien PGK memiliki hubungan dengan menurunnya energi,
kecerdasan, kapasitas olahraga, kualitas hidup, dan meningkatnya risiko kematian
(27). Rendahnya konsentrasi hemoglobin pada pasien diabetes tipe 2 tanpa
terdapat albuminuria bisa menjadi prediktor yang bermakna pada penurunan GFR
di kemudian hari (28). Pengenalan dini dari faktor risiko untuk progresivitas PGK
dan tindakan mengatasi tekanan darah yang tinggi, penurunan proteinuria, kadar
hemoglobin di bawah normal dan dislipidemia (untuk menurunkan risiko
kardiovaskular) diduga dapat menghambat progresivitas PGK menuju gagal
ginjal terminal, sehingga dapat menunda kebutuhan akan terapi penggantian ginjal
(24). Oleh karena itu pertimbangan pengukuran kadar hemoglobin pada pasien
gagal ginjal terminal merupakan hal yang diperlukan untuk mengetahui
progresivitas gagal ginjal terminal dan risiko kematian.
Selain itu, menurut penelitian Kalantar-Zadeh dan Aronoff, terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin, antara lain (26):
1. Faktor penggunaan obat, meliputi pengobatan dengan preparat zat besi untuk
memicu pembentukan Hb, pengobatan Erythropoiesis Stimulating Agents
(ESA), angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan penghambat
reseptor angiotensin untuk pengobatan penyakit kardiovaskular, serta
28
29
kemoterapi pada pasien PGK dengan kanker. Pada penelitian ini, diduga
pasien telah mendapat pengobatan-pengobatan ini, sehingga kadar
hemoglobin yang dimilikinya saat ini telah dipengaruhi oleh obat-obat
tersebut. Variabel pengganggu penggunaan obat ini tidak bisa dikendalikan
pada penelitian ini karena rekam medis dari pasien tidak secara lengkap
menyebutkan bahwa pasien mendapat pengobatan-pengobatan ini.
2. Faktor yang berhubungan dengan status demografi dan sosial ekonomi
pasien, dan penyakit lain meliputi usia, jenis kelamin, ras, status demografik
dan ekonomi lainnya, penyakit kronis yang diderita seperti HIV, TBC,
kondisi kesakitan yang sudah ada, seperti diabetes mellitus dan penyakit
kardiovaskular, tipe penyakit ginjal dan stadium PGK, hiperparatiroid,
penyakit hematologi yang terjadi bersama-sama dengan PGK, seperti anemia
sel sabit, defisiensi zat besi, kehilangan zat besi akibat dari perdarahan
gastrointestinal, kehilangan zat besi yang dihubungkan dengan terapi
hemodialisis, dan seringnya pengambilan darah untuk kepentingan
pemeriksaan. Pada penelitian ini, variabel-variabel ini juga tidak bisa
dikendalikan, karena pasien merupakan pasien rawat jalan yang tidak bisa
diawasi secara terus-menerus. Selain itu, pasien hemodialisis datang ke rumah
sakit biasanya tidak murni disebabkan penyakit ginjal yang menjadi penyebab
utama, tetapi menurut perjalanan klinis penyakit lain, sehingga cukup sulit
untuk mengeliminasi faktor-faktor tersebut. Pasien hemodialisis akan
dilakukan pemeriksaan laboratoriumnya jika ada indikasi khusus, oleh karena
29
30
itu peneliti tidak bisa mendapatkan secara lengkap data mengenai penyakit
hematologi yang diderita pasien.
Beberapa keterbatasan penelitian ini harus dipertimbangkan dalam
memahami hasil penelitian ini, yaitu pada penelitian ini, peneliti belum bisa
mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin, serta
keterbatasan jumlah sampel yang bisa diambil karena batasan waktu dan biaya.
Pada penelitian selanjutnya, diharapkan agar dapat menambah jumlah sampel
sehingga hasil yang diperoleh dapat mewakili populasi sampel dan mengendalikan
variabel pengganggu. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperoleh data
yang lengkap untuk kepentingan penelitian, rancangan penelitian yang diubah
menjadi jenis penelitian kohort, mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi
penelitian, dan penambahan kurun waktu penelitian.
.
30
31
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil simpulan,
yaitu:
1. Rerata kadar hemoglobin pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin
Banjarmasin adalah 9,16 mg/dl.
2. Rerata nilai GFR pada pasien hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin
adalah 6,01 ml/menit/1,73 m2.
3. Terdapat korelasi yang lemah antara hasil pemeriksaan kadar hemoglobin
dan nilai GFR dalam menilai prognosis gagal ginjal terminal pada pasien
hemodialisis di RSUD Ulin Banjarmasin. Dalam penelitian ini, kadar
hemoglobin tidak bisa digunakan untuk memprediksi nilai GFR pada pasien
gagal ginjal terminal.
B. Saran
Untuk perbaikan dan penyempurnaan penelitian yang akan datang, maka
dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penelitian ini dengan jumlah
sampel yang lebih banyak, pengendalian variabel-variabel pengganggu sehingga
dapat mengurangi bias pada penelitian.
31
32
.
32