bab i - hendraprijatna68.files.wordpress.com€¦ · web viewmenggunakan konsep-konsep...
TRANSCRIPT
PRANATA SOSIAL(Modul Untuk Lingkungan Sendiri)
Disusun oleh :HENDRA PRIJATNA, M.Pd
Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)Universitas Bale Bandung (UNIBBA)
2012
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1
BAB IKelembagaan/Pranata Sosial (Social Institution)
A. Definisi dan Gambaran Umum
Pranata sosial adalah kumpulan atau sistem norma-norma, falkways
(kebiasaan), mores (adat istiadat) dan hukkum yang membentuk prilaku yang tepat agar
supaya masyarakat dapat berfungsi dengan baik.
Konsep kelembagaan adalah bersifat abstrak dalam bentuk prosedur atau cara
organisasi yang tidak nampak secara konkrit. Lembaga keluarga (sebagai suatu
kumpulan nilai, prosedur dan bentuk-bentuk hubungan antar peranan) tidak dapat
diamati secara konkrit, contoh keluarga petani.
B. Tipe-Tipe Pranata Sosial
Dalam ilmu sosiologi dibedakan berbagai macam lembaga sosial. Yang paling
banyak dibicarakan adalah lembaga-lembaga keluarga, pendidikan, agama, ekonomi
dan pemerintahan.
C. Ciri-Ciri Kelembagaan Sosial
a. Suatu lembaga setelah terbentuk umumnya bertahan lama.
b. Lembaga juga mengalami perubahan akan tetapi proses perubahannya lambat.
c. Lembaga muncul secara tiba-tiba dan tidak terencana, umumnya muncul tatkala
diperlukan
d. Dalam kelembagaan dikenal simbol-simbol yang gunanya untuk meningkatkan
loyalitas para anggotanya.
e. Lembaga juga memiliki “etika laku lampah” (code of behaviour). Dalam keluarga,
yang muda menghormati yang tua. Ten Commandement dalam agama, dll.
f. Lembaga juga menganut ideologi sebagai landasan untuk memperkokoh
eksistensinya.
g. Lembaga juga memegang berbagai macam fungsi. Diantaranya yang penting adalah
fungsi manifes (Manifest Function) yakni tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai;
dan fungsi laten (Latent Function) yakni merupakan akibat beroperasinya suatu
lembaga. Akibat ini biasanya memang tidak diharapkan.
h. Berbagai lembaga biasanya saling berkaitan satu sama lain dalam satu sistem
interpendency (saling bergantung).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2
1. Lembaga Keluarga
Ciri-Ciri Keluarga
Keluarga umumnya bersifat universil, artinya yang namanya keluarga itu
dimana-mana sama, yang mempunyai tugas antara lain :
Mengontrol hubungan kelamin, tempat kelahiran bagi anak-anak yang syah, dll.
Kingsley Davis, dalam bukunya “Human Society” (1969) menyebutkan bahwa
fungsi keluarga antara lain adalah reproduksi (mengatur keturunan), mengatur
sistem penggantian, mendidik balita, dll.
Tipe Keluarga
1. Keluarga dapat diklasifikasikan secara luas dalam
hubungannya dengan pola hubungan keluarga.
Keluarga Konjugal ( Conjugal Family ) atau keluarga kecil (nuclear family)
yakni keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anaknya.
Keluarga Konsanguini ( Consanguine Family ) atau sering disebut keluarga
besar (exstended family), yakni keluarga yang didasarkan atas hubungan
darah (kakek-nenek, paman, kemenakan, dll.).
Umumnya dalam setiap masyarakat berlaku kedua sistem kekeluargaan
tersebut.
2. Keluarga dapat juga digolongkan menurut bentuk perkawinannya.
a. Monogami ( monogamy ) yakni sistem kekeluargaan yang didasarkan
pada satu suami satu istri.
b. Poligami ( poligamy ) yakni sistem kekeluargaan dimana seorang suami
dapat mempunyai lebih dari satu istri atau sebaliknya. Kalau seorang
suami mempunyai lebih dari satu istri disebut polyginy. Kalau seorang
istri mempunyai lebih dari satu suami disebut polyandry.
c. Senogami ( cenogamy ) yakni sistem kekeluargaan yang membolehkan
suami istri mempunyai lebih dari satu istri atau suami.
1. Disamping sistem perkawinan, keluarga dapat juga dibedakan menurut tata cara
pemilihan callon suami/istri.
a. Endogami ( Endogamy ) menentukan bahwa seseorang harus memilih
calon suami/istri dalam kelompoknya sendiri.
b. Eksogami ( Exogamy ) menentukan bahwa seseorang harus memilih
calon suami/istri dari luat kelompoknya sendiri.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3
3. Keluarga juga digambarkan menurut sumber otoritasnya.
a. Keluarga patriarkal ( patriarchal ) ditandai dengan kekuasaan dipihak
laki-laki.
b. Keluarga matriarkal ( matriarchal ) ditandai dengan kekuasaan dipihak
wanita.
c. Equalitarian adalah sistem kekeluargaan yang membagi kekuasaan
sama antara laki-laki dan wanita.
4. Turunan juga merupakan basis untuk membedakan sistem kekeluargaan.
a. Patrilineal adalah sistem
kekeluargaan yang mengaitkan dengan garis turunan laki-laki.
b. Matrilineal adalah sistem kekeluargaan yang mengaitkan dengan garis
turunan perempuan.
c. Bilateral adalah sistem kekeluargaan yang mengikat hubungan baik
melalui garis turunan laki-laki atau perempuan.
5. Tempat tinggal dapat juga dipakai untuk membedakan sistem kekeluargaan.
a. Keluarga Patrilocal, menggambarkan keadaan
dimana pasangan bertempat tinggal pada keluarga atau desa tempat asal
suami.
b. Keluarga Matrilocal, menggambarkan keadaan
dimana pasangan bertempat tinggal pada keluarga atau desa tempat asal
istri.
c. Keluarga Neolocal, menggambarkan keadaan
dimana pasangan tinggal ditempat yang masih baru (tidak di
desa/keluarga laki-laki atau perempuan).
Disamping klasifikasi yang disebutkan di atas para ahli sosiologi juga
membedakan dua konsep-konsep yang berorientasi pada perkawinan (family of
procreation) yakni keluarga tang terbentuk dari suatu perkawinan dan diakhiri bila
salah satu diantaranya meninggal; dan keluarga yang berorientasi pada kelahiran dan
sosialisasi (family orientation) yakni keluarga tempat seseorang dilahirkan dan
dibesarkan dan biasanya ikatannya terus menerus sepanjang masa kehidupannya.
2. Masalah-Masalah Keluarga
Salah satu masalah yang sering dijadikan topik pembicaraan dikalangan para
ahli adalah semakin meningkatnya angka perceraian, terutama di negara-negara maju.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4
Sebagai contoh di USA pada tahun 1860 angka perceraian adalah 1,2 per 1000 wanita
kawin dan pada tahun 1946 telah meningkat menjadi 1,8 per 1000 wanita kawin.
Diantara faktor-faktor penyebabnya disebutkan antara lain adalah keadaan sosial
ekonomi terutama semakin meningkatnya angka employment untuk wanita, sebagai
akibat meningkatnya industrialisasi.
3. Lembaga Pendidikan
Aspek-aspek pendidikan secara umum
Sepanjang kehidupan manusia, pendidikan dilaksanakan secara informil, yakni
dalam keluarga atau kelompok-kelompok primer lainnya. Dengan semakin majunya
perkembangan budaya non-materiil di dunia, semakin berkembang pula pendidikan.
Dalam masyarakat moderen, keluarga tidak dapat lagi berfungsi sepenuhnya sebagai
pusat pendidikan bagi para anggotanya (anak-anak). Anak-anak memerlukan
pendidikan yang lebih maju. Seorang pegawai pabrik tidak mungkin mendidik anak-
anaknya menjadi ahli atom. Sehingga wajib sekolah di negara-negara maju akhirnya
melembaga. Dengan adanya wajib sekolah bagi anak-anak, maka jumlah anak yang
terdaftar di sekolah-sekolah semakin meningkat terus setiap tahunnya. Organisasi dan
pengendalian sekolah bervariasi antara satu dengan lain negara. Di negara-negara
Eropa organisasi dan pengendalian sekolah adalah ganda. Untuk masyarakat umum dan
untuk golongan elite. Di Indonesia organisasi dan pengendalian sistem pendidikan
diatur oleh pemerintah (kurikulumnya, jenjangnya, dll.).
Fungsi pendidikan dalam masyarakat yang maju adalah menyediakan tenaga
terlatih untuk jabatan tertentu. Sebab itu antara pendidikan dengan perekonomian
(sebagai kelembagaan) adalah sangat erat. Pasaran tenaga kerja akan menambah atau
mengurangi output pendidikan, sedangkan penyediaan tenaga berpendidikan
mempengaruhi pembangunan dan perekonomian. Disamping itu dalam negara-negara
industri juga diperlukan “pendidikan masal” sebab industri umumnya memerlukan
pekerja-pekerja yang memiliki dasar-dasar pengetahuan terutama kemampuan
membaca. Pendidikan juga membantu mobilitas sosial baik keatas (vertikal) atau
menyamping (horizontal).
Pendidikan tinggi (universitas) menghasilkan tenaga-tenaga yang mempunyai
fungsi inovative. Pendidikan juga meningkatkan integrasi sosial dalam masyarakat.
Semakin tinggi pendidikan masyarakat diharapkan semakin tinggi pula kerukunan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5
nasional. Pendidikan juga berfungsi meningkatkan pengembangan kepribadian. Para
mahasiswa diharapkan memiliki aspirasi yang lebih tinggi terhadap seni, musik, dll.
Yang tidak kalah pentingnya pendidikan juga berfungsi memberikan fasilitas
terjadinya pilihan pasangan hidup, melalui berbagai kegiatan, misalnya olah raga,
kesenian, dll. Pendidikan juga dapat membatasi/mengerem terlalu banyaknya jumlah
penganggur, pencari kerja yang memasuki pasaran tenaga kerja.
4. Pendidikan dan Stratifikasi Sosial
Pendidikan eret hubungannya dengan stratifikasi sosial. Semakin tinggi
pendidikan, semakin besar kemungkinan mendapatkan kehidupan yang layak, melalui
perolehan pekerjaan yang baik, penghasilan yang tinggi dan tingkat kebahagiaan yang
lebih stabil.
Meskipun pendidikan menyiapkan jalan kearah pelapisan sosial yang lebih
tinggi bagi yang mampu, akan tetapi pendidikan juga tidak mampu melenyapkan
struktur perbedaan ras dan struktur perbedaan kelas. Hanya kecil sekali proporsi anak-
anak yang berasal dari kelas bawah yang dapat menikmati pendidikan tinggi. Hal ini
terjadi di negara-negara berkembang dan negara-negara maju.
5. Pendidikan dan Sub-Kultur
Pendidikan juga menciptakan sub-kultur khususnya pada tingkat pendidikan
menengah dan menengah atas. Sub-kultur biasanya menyiapkan atau menyediakan satu
sistem kepercayaan atau teknik-teknik untuk mengatasi hal-hal yang tidak terduga,
terutama untuk masa remaja dan menjelang dewasa. Sub-kultur juga dapat mengurangi
ketergantungan kepada orang tua. Kegiatan yang terjadi dalam sub-kultur kebanyakan
berkisar pada kegiatan atletik, tari, pesta, dll. Dalam bidang akademik, kegiatan
berkisar pada penampilan di sekolah yang diukur dengan nilai ujian.
Salah satu bentuk sub-kultur yang bersifat negatif adalah berbentuk kenakalan-
kenakalan yang umumnya ditujukan terhadap sekolah misalnya, tidak disiplin, nyontek,
dll.
6. Masalah-Masalah Pendidikan
Semakin komplek suatu masyarakat semakin beraneka ragam dan semakin luas
tingkat spesialisasi dalam bidang pendidikan. Spesialisasi pendidikan mempersempit
interest/daya tarik terhadap “subject matter” (bidang studi) pendidikan (ilmu); padahal
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6
sebaiknya terhadap fleksibilitas dalam pilihan bidang studi mengingat semakin
cepatnya proses perubahan sosial dalam masyarakat.
Sebenarnya telah lama terjadi konflik dalam konsep-konsep pendidikan, yakni
antara penganut konsep pendidikan “elite” dengan penganut konsep pendidikan
“masal”. Menurut sejarah orang yang berpengetahuan adalah yang memperoleh
penghargaan status tinggi. Dan golongan elite tingkat atas yang umumnya
mengendalikan lembaga-lembaga pendidikan menghendaki agar golongan lain (diluar
golongan tersebut) tidak memasuki kelompoknya, agar supaya status yang
diperolehnya dapat dipertahankan. Dengan semakin berkembangnya demokrasi dan
industrialisasi, pendidikan yang ditujukan hanya untuk segelintir orang elite saja tidak
dapat dilaksanakan.
Masalah lain yang masih menghantui pendidikan adalah masalah sistem
pendidikan yang dianut. Apakah mau mengikuti paham konservatif atau paham
pembaharuan (reformist). Pendidikan mempunyai dua peranan penting. Pertama adalah
mentrasmisikan budaya yang ada disamping menambah dengan yang baru. Biasanya
dibentuk beberapa lembaga pendidikan tinggi yang mempunyai fungsi inovatif,
sedangkan lembaga pendidikan yang lain (SLA atau dibawahnya) berfungsi
mempertahankan budaya yang ada.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7
BAB IIOrganisasi Sosial
A. Pendidikan Pribadi dan Masyarakat
Mengapa manusia bertindak atau bertingkah laku seperti apa yang mereka
lakukan? Ini adalah merupakan salah satu interest para ahli sosiologi yang perlu kita
pelajari secara mendalam. Untuk menjawab pertanyaan di atas ada baiknya bila kita
mencoba melihat dua type human grouping (pengelompokan manusia) yang lazim
dikenal dengan istilah primary group dan secondary group. Grup primer adalah tempat
dimana manusia-manusia dibina dan dididik sehingga memiliki kepribadian sebagai
manusia yang mampu bergaul dengan manusia lainnya dalam konteks sosial atau
budaya tertentu. Kepribadian sosial (sosial self) inilah yang pertama kalinya
ditanamkan didalam setiap kehidupan keluarga. Jadi keluarga adalah merupakan grup
primer yang penting (terpenting) di dalam membina dan mendidik manusia sejak lahir
sampai ia harus melepaskan diri dari lingkungan keluarganya untuk kemudian bergaul
dengan manusia lain dalam kondisi dan situasi yang mungkin sekali berbeda.
Charles Cooley, seorang ahli sosiologi bangsa Amerika adalah orang yang
pertama kali mengintrodusir primary group sebagai satu bentuk interaksi atau
hubungan antara individu yang satu dengan yang lain yang ditandai dengan “estimate
face to face association and operation”. Ia menyebutkan sebagai primary relation
karena beberapa alasan berikut:
a. Hubungan primer adalah merupakan landasan universil didalam setiap bentuk
hubungan yang ada dalam kehidupan manusia dengan kelompoknya.
b. Hubungan tersebut primer karena setiap bayi yang dilahirkan di dunia ini
pertama kalinya akan dihadapkan dengan bentuk hubungan primer; oleh karena
itu grup primer yang harus memberikan landasan kuat didalam pembinaan
manusia baru. Hubungan itulah yang diharapkan akan dapat membina manusia
sosial yang lengkap.
c. Terutama sekali hubungan-hubungan primer tersebut membawa manusia
merasakan kesatuannya dengan alam lingkungannya, nilai-nilai hidupnya,
sistem kepercayaannya dan makna serta tujuan bermasyarakat dan pada
akhirnya manusia tersebut akan mampu mengekspresikan rasa kesatuannya
dengan istilah atau ungkapan “kita” dan bukan “aku”.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8
Apa yang disebut sebagai bentuk hubungan yang bersifat “face to face” oleh
ahli sosiologi lainnya (Ellswort Faris) perlu diartikan secara hati-hati sebab dapat saja
hal itu akan memberikan kesan yang lain, seolah-olah hanya hubungan secara
berhadapan muka sajalah yang dianggap hubungan primer. Sebab menurut Faris (1874
– 1953), hubungan primer tidak perlu dalam bentuk berhadapan muka. Antar keluarga
kadang-kadang berhubungan satu sama lain dengan melalui surat atau dapat juga
melalui telepon dan dalam jarak yang amat jauh sekalipun. Orang yang berhubungan
dengan berhadapan muka belum tentu mempunyai hubungan yang bersifat primer.
Contohnya hubungan seorang WTS dengan langganannya, hubungan seorang pembeli
dengan penjual. Hubungan primer, kata Faris adalah satu bentuk hubungan dimana “
................ person are uniquely related one another inpersonal, informal and total
ways”.
Ahli sosiologi mendefinisikan hubungan sekunder (secunder relationship)
sebagai suatu bentuk interaksi antara individu, tetapi tidak memiliki atribut-atribut yang
bersifat primer. Malah diantara dua kutub dari pada bentuk hubungan tersebut
(hubungan primer dan sekunder) dapat dianggap sebagai satu hubungan yang berbentuk
dikotomi (dari berbagai jenis hubungan manusia yang ada) yang bersifat “continum”.
Pada satu sisi kita temukan bentuk hubungan yang bersifat akrab, informal dan bersifat
total sedangkan pada sisi lainnya kita temukan bentuk hubungan yang resmi (formal)
tidak akrab dan hanya merupakan hubungan persiil. Didalam kenyataannya, hubungan-
hubungan yang ada bersifat gabungan diantara jenis pola hubungan primer dan
sekunder. Dalam bentuk hubungan primer umumnya sangat berhubungan dengan
kebutuhan yang sangat mendalam dan hakiki bagi setiap insan, yakni hubungan dari
hati ke hati, dimana seorang dipandang sebagaimana adanya atau seutuhnya (totalitas).
Didalam hubungan primer kita bebas mengungkapkan isi hati baik tentang perasaan
cinta, benci atau perasaan takut atau perasaan-perasaan yang bersifat saling
bertentangan. Sedangkan dalam hubungan sekunder, bentuk interaksinya mengikuti
pola yang kaku dan pada umumnya telah memberikan semacam definisi tentang bentuk
hubungan yang pasti dilakukan apakah dalam bentuk tugas maupun kewajiban. Dalam
bentuk hubungan sekunder seseorang tidak dapat mengungkapkan isi serta perasaan
hatinya, bahkan ini dilarang dan tidak berlaku. Setiap orang hanya merupakan bagian
dari personalitasnya atau sebagian dari dirinya.
Diagram di bawah memperlihatkan bentuk hubungan yang fundamentil dari
sebuah bentuk yang telah disebutkan diatas, demi terciptanya keserasian didalam
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9
kehidupan sosial masyarakat. Kedua bentuk hubungan tersebut tidak ada yang benar
secara mutlak. Hubungan dalam bentuk primer atau sekunder sangat ditentukan pula
oleh sistem nilai yang ada dan berlaku pada suatu saat atau masa.
Dalam suatu riset yang dilaksanakan setelah Perang Dunia ke II sikap atau
performance (baik tidaknya ia melakukan tugas) sangat tergantung pada ada tidaknya
rasa keakraban diantara satu sama lain, baik dengan atasan maupun sesama anggota
korps, semakin akrab hubungan semakin besarlah semangat juangnya. Setiap prajurit
merasa terikat untuk membela kelompoknya. Hal yang kontras dalam keadaan ini
adalah riset yang dilakukan ketika terjadi perang di Vietnam, justru perasaan
individualistislah yang kebanyakan terjadi. Semangat juang tumbuh justru sebagai
gambaran atas sikap individualistis yang merasa tertekan karena ingin melepaskan diri
dari peperangan. Kedua contoh tersebut menggambarkan bahwa unsur hubungan
manusia sangat penting. Manakala seseorang merasa tidak ada lagi ikatan yang akrab
dengan kelompoknya, maka ia merasa telah tersisihkan dari kehidupan masyarakat dan
mendorong tindakan nekad seperti apa yang dikemukakan oleh Emille Durkheim,
yaitu tindakan bunuh diri (egoistic suicide).
Bila kita gambarkan dengan diagram kira-kira akan memberikan jalinan
kerangka hubungan yang berpola sebagai berikut:
Hubungan Primer dan Sekunder Dalam Situasi Sosial
Hubungan Primer Kombinasi Hubungan Sekunder
Sifat –
sifat
Akrab bersifat
pribadi, informil
dan total
Pribadi tidak formil Tidak bersifat
pribadi, formal
parsiil
Contoh : Keluarga Peer grup Kelas di sekolah
Hubungan
(interaksi)
:
Anak – orang tua Sesama anggota atau
sebagai anggota tim/
kelompok
Guru – murid
Bentuk
hubungan
:
Yang menyangkut
perasaan-perasaan
individu (cinta,
benci, iri). Segala
bentuk aturan dan
tingkah laku telah
tersusun dan teratur.
Dalam setiap tindakan
kelompok masing
masing bersikap resmi
dan formil sebagai-
mana yang telah
digariskan oleh grup
(peer- nya). Setiap
Perasaan-perasaan
sen-timentil
diminimalkan dalam
hubungan sekunder.
Hubungan antara guru
dan murid telah
tersusun sesuai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10
Hubungan antara
orang tua dan anak
adalah spontan dan
selalu berubah.
Anak diterima
seperti adanya, baik
dalam hal
kekurangan atau
kelebihan.
Hubungan ini
menumbuhkan
perasaan menyatu
seperti terungkap
dalam sebutan :
‘kita” dan bukan
“aku”.
anggota tim mem-
punyai tugas sendiri.
Setelah pertandingan/
perkumpulan resmi
selesai, diganti dengan
hubungan yang ber-
sifat akrab seperti pada
hubungan primer
Perasaan “aku”, “kita”
tumbuh sebagai akibat
kombinasi kedua
bentuk interaksi ter-
sebut.
dengan pola yang ada.
Murid harus duduk
pada tempat yang
disediakan. Guru
diharapkan mem-
berikan pelajaran.
Siswa dinilai menurut
kemaju-an baik dalam
bentuk test atau
bentuk lainnya.
Akibat hubungan
dalam bentuk ini
tumbuhlah perasaan
“aku”.
Keluarga sebagai salah satu bentuk grup primer
Hubungan primer paling besar kemungkinannya terjadi dalam grup tertentu
yang tidak besar jumlahnya dan memiliki ikatan yang tahan lama dan memiliki bentuk
hubungan yang intim. Peer grup dimana anggota memiliki derajat yang sama dan yang
selalu membantu setiap anggota selagi membutuhkan, dapat merupakan grup primer.
Umumnya grup-grup seperti ini anggotanya tediri atas individu-individu yang
umumnya sebaya dan memiliki interest yang sama dan bersifat sukarela. Salah satu
contoh grup primer yang baik adalah keluarga. Meskipun sifatnya agak lain, yaitu
anggotanya tidak sebaya umumnya, karena orang tua lah yang memikul tanggung
jawab dan sifatnyapun tidak sukarela terutama bagi si anak. Namun demikian
keluargalah yang memungkinkan terjadinya hubungan yang penuh perasaan (ada ikatan
batin) baik perasaan cinta, benci atau perasaan antagonistis (contoh : permusuhan).
Karena keluarga merupakan landasan bagi kehidupan primer, maka ada baiknya kita
mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang peranan keluarga dalam relasi
primer tersebut.
Keluarga sebagai grup sosial memiliki ciri sebagai berikut :
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11
1. setiap orang menjadi anggota dua kelompok keluarga, yaitu “the family of
orientation” (keluarga dimana individu dilahirkan dan dididik serta dibesarkan)
dan “the family of procreation” (yakni manakala seseorang telah lepas dari
keluarganya dan membina keluarga tersendiri, contoh : setelah menikah).
2. Struktur setiap keluarga berbeda-beda antara satu dengan lainnya, antara satu
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Di beberapa masyarakat hubungan
darah keluarga terikat didalam satu kesatuan keluarga besar yang lazim disebut
“kinship grup”. Sebaliknya ada masyarakat dimana setiap anggota masyarakat
meninggalkan keluarga asalnya untuk membentuk keluarga sendiri di suatu
lokasi tertentu yang kadang-kadang berjauhan letaknya. Keluarga seperti ini
disebut keluarga kecil, sebab suami istri meninggalkan unit kinshipnya masing-
masing untuk membentuk satu keluarga sendiri dan hidup di dalam unit
“nuclearnya” (nuclear family adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan
anak; sedangkan keluarga besar yang menyangkut beberapa keluarga disebut
“extended family” ). Keluarga kecil tersebut sering juga disebut “the conjugal
unit” dan keluarga besar dikenal dengan nama “consanguine unit” (beberapa
nuclear family bergabung menjadi satu kedalam kinship unit yang besar –
extended family). Keluarga kecil umumnya terdapat di masyarakat moderen
dimana individu-individu meninggalkan tempat “the family of orientation”
untuk mencari pekerjaan dan juga mencari calon istri sendiri.
3. Ikatan-ikatan primer juga berbeda, bahkan ada ambivalensi dalam grup kinship
dalam masyarakat yang pra moderen. Meskipun demikian keluarga terikat erat
oleh harapan-harapan sosial dan ekonomis. Tingkat perceraian sedikit sebab
suami istri tidak bebas untuk melakukannya; setiap tindakan individu adalah
merupakan tindakan keluarga. Sebaliknya dalam masyarakat moderen setiap
individu diharapkan memiliki kematangan dan bebas untuk memilih pasangan
masing-masing. Perasaan-perasaan yang bertentangan didalam keluarga sering
terjadi. Manakala perasaan cinta dan benci terjadi dalam waktu yang bersamaan
ini disebut sebagai “ambivalence”. Contoh, sepasang suami istri yang
selamanya saling mencintai, pada suatu saat dapat terjadi pertengkaran.
Demikian juga antara orang tua dan anak juga terjadi ambivalensi. Anak-anak
sangat tergantung kepada orang tua untuk suatu jangka waktu yang lama sekali.
Orang tua harus memenuhi berbagai kewajiban untuk anak-anaknya dan ikatan
cintapun tumbuh karenanya. Terjadilah rasa saling mengisi akan kebutuhan-
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12
kebutuhan yang terjadi diantara anggota keluarga mereka. Sebaliknya
ketegangan-ketegangan pun sering timbul. Sigmund Freud menghipotesakan
bahwa beberapa perasaan cinta, benci tumbuh karena persaingan antar jenis
kelamin didalam keluarga. Anak tidak menyukai ayahnya karena keduanya
merupakan saingan untuk cinta sang ibu. Freud menyebutkan perasaan
persaingan ini sebagai “Oedipus Complex” dan menurutnya dapat terjadi
disetiap keluarga. Bronislow Mlinowski, seorang antropologi mencoba
memodifikasikan hipotesa Freud atas dasar hasil penelitiannya dan mengatakan
bahwa persaingan atau permusuhan yang terjadi didalam keluarga disebabkan
karena keharusan untuk menjaga disiplin si anak. Pendapat Freud adalah benar
manakala ia menemukan bahwa sering terjadi permusuhan antara anak dengan
ayah pada keluarga orang-orang Eropa, tetapi menurut Mlinowski permusuhan
tersebut disebabkan karena sang ayah menganut azas kedisiplinan dan bersifat
otoriter terhadap anak-anaknya (sang ayah memaksakan kehendaknya atau
authoriter). Pemaksaan kehendak inilah yang dirasakan berat untuk diterima
oleh sang anak dan yang selanjutnya menimbulkan perasaan “tidak senang”
terhadap sang ayah.
Malinowski membuktikan lawan hipotesanya tersebut dengan menunjukkan
bukti bahwa pada keluarga dimana ayah tidak melakukan tindakan disiplin kepada
anaknya, maka rasa persaingan antara ayah dan anak rendah sekali dan justru sang
pamanlah yang menjadi saingan bagi si anak (masyarakat suku asli Australia
menganut sistem “matriakrat” coba bandingkan dengan sistem kekeluargaan di
Sumatera Barat).
Keakraban hubungan didalam keluarga telah banyak mengundang minat para
sosiolog untuk menyelidiki hubungan yang ada antara keakraban hubungan didalam
keluarga dengan sukses didalam hidup. Bernard C Rosen membuat penelitian yang
membandingkan “achievement motivation” (hasrat untuk maju) antar anak-anak muda
di Amerika Serikat dan sekelompok anak-anak muda seusia di Brasil. Hasilnya
menunjukkan bahwa anak-anak muda di Brasil mendapatkan score atau nilai yang
rendah dalam achievement motivation dibandingkan dengan teman-teman sebayanya di
Amerika Serikat. Alasan yang dikemukakan oleh Rosen dalam riset tersebut adalah
karena anak-anak muda di Brasil tidak dididik pengetahuan yang dapat memberikan
bekal untuk mencapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Mereka juga tidak
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13
diberikan kesempatan untuk menjadi manusia yang dapat berdiri sendiri
“independence”. Secara singkat alasan yang dikemukakan adalah :
a. Sistem kekeluargaan di Brasil bersifat authoritarian, dimana figure ayah sangat
penting.
b. Anak laki-laki terlalu dilindungi terutama oleh sang ibu.
c. Anak terlalu patuh tak pernah berontak terhadap ayah. Anak tidak pernah
berusaha maju sebab mungkin akan bersaing dengan ayah.
Sebagai kontras, anak-anak Amerika Serikat mempunyai nilai atau score yang
tinggi untuk “aspirasi” pada setiap tingkatan kelas sosial. Di Amerika ayah tidak
terlalu mendominasi, meskipun kekuasaan terakhir di tangan sang ayah. Dan sang ayah
selalu mendidik anaknya dasar-dasar skill dan selalu menganjurkan untuk menjadi
orang yang mampu berdiri sendiri. Dari studi perbandingan tersebut memperlihatkan
bahwa kehidupan keluarga berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya, meskipun setiap
keluarga ditandai oleh sifat kekeluargaan yang bersifat primer. Jadi hubungan primer
didalam keluarga juga memiliki sifat yang berbeda-beda. Ada sistem yang
mengutamakan aspirasi yang tinggi, oleh karenanya mereka menyiapkan individu-
individu untuk mencapai tingkatan yang tinggi di masyarakat. Mereka selalu
menanamkan dan mendidik skill dan kemampuan lain yang akan membantu sang anak
untuk mencapai tujuan tersebut. Tetapi ada juga sistem kekeluargaan yang tidak terlalu
menghiraukan aspirasi anak-anaknya. Bahkan didalam masyarakat yang sama terdapat
pula perbedaan didalam cara setiap keluarga melaksanakan hubungan yang bersifat
primer tersebut.
Beberapa ahli sosiologi lain, yaitu Dynes, Clark dan Dinits (1956 – 212, 215)
pernah membuat suatu penyelidikan tentang bagaimana pengaruh hubungan primer
dalam beberapa lingkungan keluarga Amerika terhadap sikap dan tingkah laku anak-
anaknya. Mereka ingin membuktikan hipotesa bahwa hubungan-hubungan
interpersonal yang tidak memuaskan erat hubungannya dengan tingkat aspirasi yang
rendah. Hipotesa ini dilandasi oleh teori yang mengatakan bahwa “behavior is learned
and emerges out of social context” (tingkah laku adalah merupakan pengalaman yang
tumbuh dari konteks sosialnya; dari kondisi dan situasi sosial dimana seseorang
dibesarkan).
Didalam penelitian tersebut ternyata bahwa 42% dari orang-orang yang
memiliki aspirasi tinggi mengatakan bahwa mereka mengalami suatu perasaan bahwa
sebenarnya ayah mereka tidak menyenanginya. Dan hanya 25% dari orang-orang yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14
beraspirasi rendah yang menyatakan bahwa mereka juga mengalami perasaan yang
sama yakni ayah mereka tidak menyenanginya. Ketika datanya diklasifikasikan
berdasarkan perasaan-perasaan individual yang pernah dialami bahwa sebenarnya
ibunya pernah menolak sesuatu yang diinginkan oleh anaknya, menunjukkan bahwa
mereka yang beraspirasi tinggi ternyata 34% dibandingkan dengan mereka yang
mengalami hal yang serupa tetapi dari golongan yang beraspirasi rendah. Meskipun
hasil dari penelitian tersebut tidak dapat dianggap final, namun telah menimbulkan
pertanyaan yang fundamental tentang “manusia dan masyarakatnya”.
B. Perkembangan Pribadi (Self)
Pembicaraan kita tentang keluarga erat hubungannya dengan analisa tentang
bagaimana pribadi manusia tumbuh dan menjadi pribadi sosial. Manusia sepanjang
hidupnya adalah mahluk yang selalu terikat dengan hubungan-hubungan grup-nya (man
is group related being). Jadi manusia ketika dilahirkan belum disebut manusia sosial; ia
menjadi manusia sosial melalui partisipasinya didalam kehidupan sosial. Interaksi
antara bayi dan ibunya langsung terjadi begitu ia dilahirkan. Pengalaman seperti ini
bagi manusia terjadi di lingkungan keluarganya, dimana hubungan primer merupakan
karakter utamanya dan tempat sang bayi kelak akan mengalami pertumbuhannya.
Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia memerlukan kebutuhan-kebutuhan
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya ataupun kebutuhan lainnya. Ia harus diberi
makan, rumah tempat berlindung dari gangguan alam lingkungan. Tetapi manusia tidak
seperti binatang yang memiliki instinct yang dapat bereaksi secara otomatis terhadap
segala prilakunya. Instinct tumbuh secara alamiah dalam organ mahluk binatang yang
dilahirkan ke dunia. Instinct tersebut tumbuh atau diterima secara turun-temurun, dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti sejenis burung secara instinct akan
membuat sarang dengan cara yang sama sebagai respon terhadap lingkungannya.
Manusia dapat membangun berbagai bentuk rumah sesuai dengan alam
lingkungannya yang paling cocok. Sedangkan binatang tidak dapat memanipulasikan
instinctnya menurut kehendak lingkungannya. Demikian pula binatang tidak mampu
memanipulasikan tingkah lakunya atau behaviornya. Tetapi manusia dapat, sebagai
contoh ia dapat mengontrol dorongan instinct seksnya, bahkan terdapat segolongan
manusia yang mampu mengontrol hawa nafsunya sampai tuntas (seperti pendeta
Katolik dan biarawati). Manusia dapat menahan diri terhadap kelaparan bila ia
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15
kehendaki. Mahatma Gandhi, seorang tokoh pimpinan India pernah mogok makan
dalam usaha menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa itu.
Anak yang baru dilahirkan hidupnya sepenuhnya sangat tergantung pada
lingkungan sosial dan budaya dimana ia dilahirkan. Ia tergantung bukan saja dalam hal
kebutuhan-kebutuhan untuk pertumbuhan biologisnya saja tetapi juga sangat
tergantung sepenuhnya didalam perkembangan personalitasnya. Seperti pernah
dikatakan oleh seorang ahli psikologi sosial bangsa Amerika, George Herbert Mead
(1863 – 1937) bahwa pengaruh masyarakat terhadap individu-individu dapat dilihat dan
diperhatikan secara dramatis dalam beberapa tahun saja pada waktu seorang anak
berusia beberapa tahun. Seorang bayi hanya samar-samar saja dapat merasakan risi
tidaknya dalam waktu-waktu tertentu. Bila ia merasa kurang enak (risi) karena
popoknya basah misalnya, maka ia akan menangis. Bila ibunya telah mengganti
popoknya atau menyusuinya dengan susu yang hangat, atau perasaan cinta kasihnya
mungkin yang dirasakannya atau yang tampak perubahannya adalah fisiknya saja.
Secara psikologis mungkin juga terjadi reaksi manakala sang ibu menumpahkan
rasa kasihnya, meskipun reaksi tersebut tidak tampak. Manakala sang ibu bereaksi
tatkala sang bayi menangis, seolah-olah sang ibu dapat membaca dan mengantisipasi
keinginan sang bayi. Manakala sang bayi sudah agak besar, reaksi yang diberikannya
mungkin mulai dapat terbaca meskipun masih dalam bentuk senyuman atau perubahan
wajah (gesture). Manakala sang bayi sudah memeberikan reaksi yang lebih jelas,
interaksi yang bersifat elementer mulai dipersiapkan untuk membentuk komunikasi
yang lebih mendalam lagi dimasa mendatang.
“I” (aku) dan “Me” (diriku)
Mead berpendapat bahwa “pribadi” (self) terdiri dari unsur “I” dan “Me” atau
“aku” dan “diriku”. “I” adalah gambaran dari pada pribadi manakala ia masih dalam
masa kanak-kanak. “I” (aku) masih belum terorganisir dan belum berdisiplin. Aku
merupakan pelaku. Me atau diriku memerlukan waktu untuk tumbuh dan berkembang
sebab merupakan bagian dari pribadi yang mampu mengontrol “I” (aku). Secara graduil
seorang anak akan belajar dari interaksi dengan dunia lingkungannya kapan “I” (aku)
tidak boleh berbuat. Jadi hanya setelah seorang anak menyadari tentang “I”
sepenuhnya, barulah “Me” berfungsi sewajarnya. Pada mulanya hanya ibunya lah yang
bertindak sebagai “Me” : “Jangan lemparkan gelas itu, nak”. Beberapa waktu kemudian
barulah “Me” menjadi bagian dari kedua orang tuanya, peer grup-nya, gurunya,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16
temannya atau pihak-pihak lainnya. Dengan kata lain “Me” yang telah menjadi bagian
dari hidupnya itulah sehingga sang anak dianggap telah mampu menyesuaikan dirinya
secara mantap. Jadi “diriku” (Me) lah yang sebenarnya merupakan bagian dari pribadi
yang mampu mengontrol “aku” (I) sesuai dengan harapan dari orang tuanya, peer
grupnya, kawan-kawannya, gurunya atau pihak-pihak yang lain. Yang baik menurut
Mead adalah bila “I” dan “Me” berada dalam keseimbangan.
Tahapan belajar
Bagaimanakah caranya menyeimbangkan antara I dan Me? Anak-anak didalam
proses belajar biasanya melalui tiga tahapan, yaitu : (1) tahap imitasi; (2) tahap bermain
(play) dan (3) tahap bertanding (game). Setelah anak berusia setahun atau lebih, dimana
tubuhnya sudah cukup matang (seimbang) dan mulai dapat bergerak berkeliling sambil
mengamati dunia sekitarnya, mulailah ia meniru perbuatan (action) orang tuanya.
Kalau ayah sedang duduk di kursi baca koran, sang anak juga ikut-ikutan membaca;
tatkala ibunya sedang memasak sang anak juga ikut-ikutan masak-masakan. Dalam
tahapan pertumbuhan kedua, anak mulai menjadi manusia sosial. Kata-kata seperti
“saya mandi”, atau “saya makan” mulai dikenal. Namun demikian apa yang ia lakukan
masih terbatas pada tahap meniru dan belum mampu berinisiatif sendiri. Jadi ia baru
memegang peran sebagai “role playing”; peranannya (role-nya) masih ditentukan oleh
orang lain terutama oleh ayah ibunya. Jadi anak tersebut telah dihadapkan kepada dunia
sosial, tetapi hanya sebagai objek tindakan atau action social; “Andi, jangan makan
buah itu”. Bagian dari pada pribadi anak tersebut yang tumbuh pada masa tahapan ini
adalah “Me” yang hanya merupakan objek saja. Tahapan teakhir terjadi manakala sang
anak sudah pandai menguasai bahasa dan cara berkomunikasi. Mulailah ia terlibat
didalam interaksi sosial yang semakin ruwet danserba komplek. Disini barulah ia dapat
menilai tentang potensi “I” (aku) sebagai subjek dan sebagai inisiator yang mampu
menguasai atau mempengaruhi action atau perbuatan orang lain. Mead menyebut
tahapan ini sebagai The Game State, sebab bila seseorang ingin berpartisipasi didalam
suatu permainan (game) maka ia harus mampu mengambil atau memainkan suatu
peranan (role). Perbedaan antara role-playing dan ro le-taking dapat kita bandingkan
antara anak-anak yang bersekolah di TK, dan berpura-pura bermain sebagai salah satu
tim sepak bola yang sungguh-sungguh. Pada anak-anak TK mungkin mereka
memainkan peranannya dengan cara bermain-main dengan menggunakan balok-balok
kayu mainan saja. Permainan seperrti ini akan diikuti dengan permainan yang lebih
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17
ruwet, sampai sang anak cukup memiliki skill untuk benar-benar turut bermain didalam
sebuah tim sepak bola. Dengan cara role playing sang anakpun sudah mulai dapat
belajar bagaimana menendang atau menangkap bola atau belajar tehnik-tehnik lainnya.
Tetapi ia masih harus belajar lagi manakala ia menghadapi situasi yang agak aneh atau
berlainan.
Pribadi ( the self ) dan Interaksi sosial
Kita semua memiliki “I” sebagai subjek dan “Me” sebagai objek. Keduanya
merupakan kesatuan diri kita yang disebut “pribadi”. Kedua aspek tersebut dibentuk
didalam diri kita tatkala kita masih kanak-kanak melalui hubungan-hubungan kita
dengan pihak lain. Kedua aspek pribadi tersebut dibentuk tatkala kita sudah dapat
membedakan bahwa diri kita menjadi objek (sasaran) dari pada action orang lain dan
demikian pula sebaliknya, orang lain menjadi objek atau sasaran action kita. Apa-apa
yang dipikirkan oleh orang lain tentang diri kita tatkala kita sedang berada di kantor, di
rumah ibadah atau di sekolah menentukan apa yang kita pikirkan tentang diri kita
sendiri dan peranan apakah yang kemudian akan kita mainkan didalam arena kehidupan
sosial masyarakat.
Charles Cooley menyebutkan proses tersebut di atas sebagai proses “looking-
glass-self”. Melalui “cermin” kita mendapat gambaran tentang bentuk maupun wajah
dan tubuh kita. Dengan gambaran yang kita peroleh tentang diri kita tersebut kita
pergunakan pula action atau perbuatan orang lain terhadap kita didalam hubungan
interpersonal (yang dialami kita) untuk mendapat perkiraan atau rabaan yang tepat
tentang diri kita sendiri sebagai manusia. Jadi dengan cepat kita catat bagaimana orang
lain bereaksi terhadap kita dalam situasi dan hubungan kelompok yang diberikan tadi.
Dari hasil estimasi tentang diri kita melalui “cermin” itulah selanjutnya kita dapatkan
kesan-kesan tentang diri kita sendiri; apakah kesan yang membanggakan ataukah kesan
yang memalukan. Pribahasa “sebelum mencubit orang lain, cubitlah diri sendiri” kira-
kira memberikan gambaran yang cukup jelas tentang proses yang kita bahas di atas.
Sudah barang tentu kadang-kadang terjadi kejanggalan-kejanggalan didalam
menilai tentang diri kita sendiri. Apa yang oleh orang lain dipandang baik, kita malah
menafsirkan sebaliknya. Namun demikian, tepat tidaknya kita memperkirakan diri kita
melalui “cermin” tadi akan mendorong untuk memikirkan diri kta sesuai dengan situasi
dan kondisi yang kita amati. Tepo sliro, barangkali sudah merupakan satu bahasa
sosiologi yang dimiliki oleh orang Jawa didalam setiap langkah perbuatannya.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18
Apabila anda ingin dihormati, maka anda harus menghormati. Mungkin sekali
bagi seseorang yang menderita gangguan jiwa akan mendapat kesukaran didalam
menginterpretasikan reaksi-reaksi orang lain secara tepat. Orang yang secara baik
bermaksud menolongnya mungkin dianggap menghina. Proses pembinaan diri pribadi
dan proses interprestasi diri pribadi berlangsung terus didalam setiap tingkatan
masyarakat sosial manusia.
Proses pembinaan pribadi dan proses penginterprestasian tentang diri pribadi
adalah merupakan landasan pokok didalam setiap kehidupan dan kondisi sosial
manusia. Lain orang mungkin akan menggunakan proses tersebut untuk tujuan lain
pula. Pada masa sebelum Perang Dunia II Hitler telah membina pribadi anak-anak
muda Jerman untuk tujuan cinta kepada Ras-nya (Aria) yang dipandang sebagai Ras
yang paling “Uberalles” yang paling tinggi dan menanamkan semangat juang yang
tidak mengenal mundur. Setiap bangsa di dunia mereka anggap sebagai bangsa kelas
dua. Demikian pula dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Indonesia pun sedang melakukan pembinaan manusia yang memiliki
kepribadian Indonesia sejati sesuai dengan pancasila. Bagi anda yang belajar
sosiologipun diharapkan akan dapat mencoba mengambil peranan sebagai seorang ahli
sosiologi atau memproyeksikan diri anda dalam peranan ahli sosiologi agar supaya
anda dapat memahami pelajaran sosiologi dengan baik. Semua perasaan (cinta, benci,
simpati dan semacamnya) adalah hasil dari pada proses interaksi antara subjek “I” dan
objek “Me” didalam diri kita masing-masing yang merupakan produk lingkungan sosial
masyarakat kita.
Adakah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa setiap individu dibentuk menjadi
manusia sosial oleh masyarakat (lingkungannya)? Beberapa puluh tahun yang lampau,
1954, di Lucknow-India ditemukan seorang anak yang tingkahnya mirip dengan
seekor serigala. Para dokter yang mencoba menyelidiki sebab-sebab mengapa ia
berperangai seperti itu, mengalami kesulitan sebab anak itu sukar sekali untuk
dijinakkan. Anak tersebut berusia sekitar 9 tahun dan diberi nama Ramu. Ada diantara
dokter yang yakin bahwa anak tersebut dibesarkan oleh serigala. Kasus anak seperti
serigala juga ditemukan di tempat lain di bagian dunia ini. Demikian pula sering
ditemukan anak yang berperangai aneh sebagai akibat dilahirkan dan dibesarkan di
tempat sempit. Sebagai contoh, pernah terjadi kasus dimana seorang wanita bangsa
Yahudi yang terpaksa bersembunyi di tempat perlindungan di bawah tanah karena
takut ditemukan oleh orang Jerman. Dalam tempat perlindungan tersebut kebetulan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19
telah tinggal seorang laki-laki lain bangsa Yahudi. Bahwa akibat nasibnya yang buruk
sang wanita tersebut melahirkan seorang anak yang diberi nama Anna. Anak tersebut
sejak kecil telah mendapat perlakuan yang tidak wajar. Tidak boleh menangis (selalu
dibungkam mulutnya kalau menangis) karena takut suaranya didengar orang Jerman.
Setelah orang Rusia membebaskan mereka, anak tersebut sudah tidak dapat terkontrol
lagi. Anak itu menjadi anak yang memiliki perangai aneh yang biasa disebut “autistic”
atau hidup seperti di alam mimpi (halusinasi) tidak dapat menyesuaikan diri dengan
dunia nyata di sekelilingnya.
Kasus-kasus seperti contoh di atas, menurut para ahli sosiologi adalah
merupakan kasus prilaku atau tingkah laku (behavior) manusia sebagai akibat hidup
terisolasi karena menghadapi ancaman situasi sosial yang ada pada waktu itu. Bahwa
tingkah laku binal seperti serigala atau tingkah laku aneh seperti orang bermimpi adalah
akibat dari perbuatan tanpa perikemanusiaan dari pada manusia itu sendiri. Jadi kalau
anak bertabiat seperti serigala, bukanlah disebabkan karena seekor serigala menjadi
ibunya sang anak, tetapi karena sang ibu bertindak seperti serigala. Kedua contoh di
atas menjelaskan kepada kita bahwa bayi dilahirkan ke dunia ini memiliki potensi
sebagai manusia sosial. Tetapi hidupnya sangat tergantung pada orang lain (dalam hal
ini orang tuanya/ibu) dan tidak seperti binatang yang demikian dilahirkan ke dunia
telah dibekali instinct untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru. Jadi
kalau ketergantungan terhadap kebutuhan biologis dan sosial tidak dapat dipenuhi
maka akan berakibat yang tidak baik bagi individu itu sendiri ataupun bagi masyarakat
seluruhnya. Tugas yang dilaksanakan oleh masyarakat untuk mendidik dan
membesarkan seorang anak sehingga menjadi manusia sosial yang dapat diterima oleh
sesama manusia lain yang hidup bersamanya disebut “sosialisasi” (Socialization).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20
BAB IIISosialisasi
A. Gambaran Umum
Untuk menjamin kelanggengan hidup individu-individu dan masyarakat, maka
setiap bayi yang dilahirkan di dunia harus dididik dan dilatih sesuai dengan tata cara
dan kebiasaan hidup pada masyarakat dimana ia dilahirkan. Pertama sang anak harus
dididik dasar-dasar keterampilan yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat. Ia
harus belajar berjalan dan makan. Ia perlu belajar bagaimana berkomunikasi melalui
percakapan, bacaan atau tulisan. Bahkan ia harus belajar bagaimana caranya buang air
besar atau kecil. Semua keterampilan atau skill tersebut adalah merupakan pondasi bagi
kelangsungan dan kelanggengan hidup bermasyarakat dimana para individu saling
berhubungan atau berinteraksi satu sama lainnya. Pendidikan tersebut juga penting bagi
individu-individu (anak kecil) untuk mulai sadar akan dirinya dan dapat mengontrol
dirinya terhadap keadaan lingkungan sosialnya.
Kecakapan atau keterampilan yang diajarkan kepada setiap anak yang baru lahir
di dunia ini akan bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Anak kecil
yang dilahirkan di lingkungan masyarakat pemburu akan belajar dasar-dasar
keterampilan berburu pula, demikian juga dengan anak-anak yang dilahirkan di
lingkungan petani ia akan belajar keterampilan yang berkaitan dengan pertanian pula.
Sosialisasi juga melatih individu untuk dapat menguasai dasar-dasar pengetahuan
tentang masyarakat yang memungkinkan anak tersebut menggunakan pengetahuan
secara baik.
Anak yang dilahirkan di lingkungan masyarakat Islam akan belajar
mempraktekan ajaran keagamaan dengan melalui upacara-upacara sesuai dengan tata
cara yang telah diajarkannya. Demikian pula seorang anak yang dilahirkan di
lingkungan masyarakat Hindu. Melalui akumulasi dari pada segala pengetahuan yang
dipelajari atau yang diajarkan oleh masyarakat, maka individu tersebut secara potensial
menjadi produktif bagi masyarakat lingkungannya.
Sosialisasi juga merupakan proses dimana masyarakat mengorientasikan setiap
induvidu kepada nilai-nilai hidup (values) dan kepercayaan yang sangat penting
didalam masyarakat manusia. Sekolah-sekolah formil, Gereja, Mesjid atau Pura adalah
tempat dimana individu belajar tentang nilai hidup dan sistem kepercayaan. Individu di
sekolah harus belajar apa artinya demokrasi Pancasila, apa artinya kebebasan,
kemerdekaan dan persamaan. Pada umumnya tempat beribadah, seperti Mesjid, Gereja
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21
dan lain-lain adalah merupakan tempat untuk belajar apa artinya hidup persaudaraan,
persaman –brotherhood. Seseorang tidak akan sepenuhnya dipandang sebagai orang
Indonesia bila ia belum belajar dengan sungguh-sungguh tentang nilai-nilai hidup yang
terkandung pada masyarakat Indonesia yakni melalui proses sosialisasi. Konsep
sosialisasi bukanlah sekedar pekerjaan rutin yang dilakukan oleh masyarakat terhadap
setiap insan yang beru lahir ke bumi. Melalui sosialisasi individu-individu
merencanakan skills dan pengetahuan yang ia peroleh dari masyarakat (termasuk nilai-
nilai hidup) menjadi landasan konsep hidupnya. Kalau anda menjadi seorang guru, itu
karena anda telah belajar dari masyarakat, baik dari sekolah, dari buku-buku, dari
kawan-kawan atau dari sumber lain dalam masyarakat kita. Anda akan berpikir tentang
diri anda atau orang lain akan memandang anda dan mengidentifikasikan anda sesuai
dengan skill yang anda miliki. “Si Badu adalah guru SMP X”, Tuti seorang ahli
kecantikan. Demikian pula dengan nilai-nilai hidup. Si A adalah seorang yang anti
NKK. Si B adalah pejuang hak-hak azasi manusia. Jadi hubungan interdepedensi antara
masyarakat dan individualah sebenarnya yang menjadikan proses sosialisasi menjadi
landasan yang penting didalam hidup ini. Seseorang tidak akan dapat hidup tanpa
bantuan orang lain. Masyarakat ada karena individu-individu menciptakan landasan-
landasan bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Apabila sesuatu tidak berjalan
sewajarnya, seperti halnya dengan “manusia serigala”, maka akibatnya akan serius bagi
masyarakat, sebab kita tidak lagi mempunyai seorang individu yang memiliki sifat
sosial lagi. Jelas bahwa anak yang bertabiat “serigala” atau yang bertabiat aneh akibat
isolasi, memiliki kekurangan ketiga unsur yang disebutkan tadi, yaitu keterampilan
(skills), pengetahuan dan nilai hidup.
Ada tiga hal yang perlu diingat manakala kita mempelajari proses sosialisasi, yaitu :
1. Sosialisasi adalah proses yang terus menerus terjadi sepanjang hidup dan
sepanjang ada masyarakat serta individu yang dilahirkan ke bumi ini.
2. Sosialisasi bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain baik dalam
bentuk maupun dalam tingkatannya.
3. Sering terjadi adanya proses yang disebut desosialisasi atau resosialisasi
didalam kehidupan kita.
Di bawah ini akan kita bahas bersama secara singkat.
Meskipun George Herbert Mead mengatakan bahwa pembinaan pribadi (self)
sepenuhnya dimulai ketika anak masih kecil, tetapi tidak diartikan bahwa proses
tersebut selesai pada saat itu. Unsur-unsur masyarakat yang dipindahkan kepada
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22
individu melalui sosialisasi memerlukan pengukuhan dan pemeliharaan sepanjang
hidup individu-individu. Jadi anggapan bahwa pendidikan berakhir pada waktu
seseorang memperoleh sebuah ijasah adalah tidak benar. Suatu studi kasus orang-orang
yang terisolasi karena dipenjarakan misalnya, untuk jangka waktu yang sangat lama
memperlihatkan bahwa orang-orang tersebut ternyata kemudian menjadi tidak normal
(nilai martabat kemanusiaannya menurun). Mereka telah kehilangan nilai-nilai hidup,
bentuk kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat. Pengetahuannya tentang
masyarakat dimana ia pernah hidup dan mengenal menjadi kabur atau ditafsirkannya
secara salah. Mereka menjadi kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dan
menggunakan bahasa yang berlaku. Ini menandakan bahwa individu-individu
tergantung kepada kontak-kontak sosial dalam masyarakat sepanjang hidupnya.
B. Perbedaan proses dalam sosialisasi
Seperti telah disebut di atas, sosialisasi berbeda baik dalam bentuk maupun
tingkatannya, dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya dan dari satu kelompok
yang satu ke kelompok berikutnya. Di Amerika, biasanya sosialisasi secara formal
terkonsentrasi pada saat individu berusia antara setelah kelahiran sampai menjelang
usia 21 tahun. Dalam periode ini anak kecil dan anak dewasa dihadapkan kepada
keluarga, sekolah dan gereja sebagai lembaga sosialisasi yang formal. Pada waktu yang
bersamaan peer-grupnya, seperti kawan-kawan bermainnya, kawan-kawan akrabnya
sama-sama memegang peranan yang penting didalam pembinaan atau pendidikan
skills, pengetahuan serta nilai-nilai kepada individu-individu. Pada masa usia
meningkat tua, proses sosialisasi formal ataupun informal selesai atau hilang.
Orang-orang yang telah berusia 60 tahunan atau 70 tahun baik masih sebagai
suami istri atau sudah menjanda/menduda, dimana anak-anaknya mungkin sudah
menikah semua, mereka tidak lagi mengunjungi sekolah-sekolah. Fisiknya mungkin
sudah tidak memungkinkan untuk mengunjungi gereja ataupun untuk tetap bergaul
ditengah dunia atau masyarakat; mereka telah pensiun dan kawan-kawan karibnya
mungkin tinggal beberapa orang saja. Masalah-masalah yang timbul akibat usia yang
telah lanjut tersebut adalah akibat langsung dari adanya perubahan didalam proses
sosialisasi yang disebabkan karena makin melemahnya fisik maupun mental pada
individu-individu. Orang-orang tua merasa bahwa masyarakat sudah tidak
menghendakinya lagi dan menganggap mereka sudah tidak berguna lagi. Masyarakat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23
pun memperoleh akibat buruk akibat tidak mampunya menggunakan tenaga-tenaga
yang berbakat yang ada diantara orang-orang tua tersebut.
Konflik antara orang tua dan anak yang timbul didalam masyarakat adalah
sebagai akibat apa yang pada umumnya didalam sosiologi disebut sebagai perbedaan
tingkat sosialisasi (differential rate of socialization). Orang tua tampaknya menganut
pandangan konservatif dan tegar hati (bersitegang) dengan anak-anak karena perbedaan
dalam skills, pengetahuan ataupun nilai-nilai hidup. Anak-anak sebaliknya selalu
dihadapkan kepada perubahan-perubahan baru yang terjadi sangat cepat di masyarakat,
padahal orang tua rasanya sangat sukar untuk mengikuti perubahan-perubahan yang
diakibatkan oleh perkembangan jaman tersebut. Ketegangan meningkat karena masing-
masing pihak saling mempertahankan konsep-konsep hidupnya atas dasar apa yang
telah mereka pelajari didalam proses sosialisasinya. Tidak satupun yang mau mengalah.
Adalah sunguh sukar untuk seseorang melepaskan nilai atau pandangan hidup yang
sudah merupakan bagian dari hidup mereka. Perbedaan-perbedaan dasar (pandangan
hidup) termasuk perbedaan didalam pengetahuan, skills dan nilai hidup tersebut
masing-masing (oleh orang tua dan anak-anak) dipandang sebagai bagian dari pada
hidup mereka yang berbeda, sehingga konflik tersebut akhirnya menjadi konflik
pribadi.
Kinsley Davis, seorang ahli sosiologi bangsa Amerika, juga membicarakan
masalah konflik dari prespektif sosiologi. Ia berpendapat bahwa didalam setiap
masyarakat selalu terdapat perbedaan antara generasi muda dan generasi tua. Golongan
tua merasa sukar untuk berada pada posisi anak muda. Begitu pula golongan muda
yang hidupnya terlahir belakang setelah orang tua, juga merasa memiliki pandangan
hidup yang berbeda. Mereka melihat generasi tua sebagai orang yang ketinggalan
jaman dan terlalu berhati-hati. Gelombang pertentangan tersebut menjadi meningkat
pada masa sekarang dimana masyarakat berkembang dan berubah sedemikian cepatnya.
Generasi tua yang merenungi masa-masa muda ketika mereka sedang berusia belasan
tahun merasa bahwa apa yang ia lihat pada generasi sekarang ternyata sudah berubah
secara radikal dan tidak pernah dialami sebelumnya. Oleh karena itu generasi tua
merasa sangat kuno sedangkan generasi muda tampak ganjil dan sangat mengagetkan
generasi tua. Davis menggambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut :
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24
Perbandingan siklus hidup antara Generasi tua dan muda
Isi dari pada budaya generasi tua yang diperoleh didalam Setiap tahapan kehidupan.A B C D E F G orang tua
(siklus/putaran)
kelahiran
/ / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / / Konflik (pertentangan)
A’ B’ C’ D’ E’ F’ G’ anak
Isi dari pada budaya baru pada setiap tahapan
Kalau C merupakan posisi orang tua ketika berusia 16 tahun, maka jelas orang
tua tersebut melihat kembali ke masa-masa lampau yang sebenarnya sudah tidak ada
lagi. Orang tua yang kini berusia 45 tahun masih ingat sebagian dari pada
pengalamannya ketika ia berusia pada posisi C dan berusaha mengingatkan kepada
anaknya bagaimana seharusnya seorang anak muda usia tersebut berprilaku. Tetapi
rupanya orang tua sukar menyadari bahwa anaknya tidak berada pada posisi C,
melainkan pada posisi C’. Kehidupan moderen telah merubah sang anak menjadi
manusia yang lain (tidak seperti ayahnya) dan yang harus selalu menyesuaikan diri
dengan setiap perubahan-perubahan, yang kesemuanya itu tidak pernah dialami oleh
sang ayah. Jelas bahwa sang ayah telah mempersiapkan sang anak untuk suatu jaman
yang sebenarnya sudah tidak ada lagi.
Masalah perbedaan ini kemudian diperbesar lagi oleh kenyataan adanya
tambahan faktor-faktor lainnya:
1. Faktor fisologis
2. Faktor psikologis
Fisologis, orang tua makin tua kehidupan tersebut telah mengalami masa penurunan,
baik dalam semangat didalam menanggulangi tantangan jaman ataupun dalam
menghadapi ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan
jaman tersebut. Tidak demikian untuk anak-anaknya yang masih muda. Dengan kata
lain orang tua sudah tidak bergairah dan sudah tidak idealis lagi. Ia telah meninggalkan
impian-impian yang belum dapat dilaksanakan selama hidupnya. Ia telah belajar hidup
dengan cara kompromi dan dengan kenyataan yang jauh dari pada idealisme. Jelasnya
orang tua hidup sudah dengan penalaran yang pragmatis dan lebih realistis.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25
Sebaliknya golongan muda sedang dan akan menghadapi masa hidupnya yang
penuh dengan gelora tantangan dan idealisme. Ia dilengkapi dengan intelektualitas,
meskipun belum banyak pengalaman-pengalaman yang dirasakan. Segala yang ada
dalam masyarakat dinilainya dari segi pandangan yang ideal yang ia anggap akan dapat
direalisir. Ini adalah masa-masa bagi para orang muda dimana ia dapat menjadi seorang
yang khusu terhadap agama maupun menjadi seorang pejuang yang akan
memperjuangkan ketidakadilan yang tumbuh didalam masyarakat dimana ia hidup.
Dalam pandangan orang muda, orang tua sudah terlalu kuno dan terlalu tradisionil,
yang mencoba mewujudkan idealisme hanya sebagai hiasan mulut saja (lips services).
Bahkan anak-anak muda di Universitas California, pada masa-masa sekitar tahun
1960-an membuat slogan “jangan percaya kepada orang yang berusia lebih dari 35
tahun”. Dan pada saat itulah “gap” atau jurang pemisah tersebut menurut kalangan ahli
sosiologi lain, sebagian juga disebabkan karena golongan muda merasa berhutang budi
kepada oarng tua yang membesarkannya. Karena perasaan berhutang inilah yang
menyebabkan tidak memungkinkannya keserasian hubungan komunikasi yang jujur
dan akrab antara orang tua dan anak-anaknya. Sebaliknya anak-anak muda lebih
memiliki hubungan yang akrab dengan kawan-kawan mainnya atau sahabat-sahabat
yang seusia yang jelas tidak didasarkan pada hubungan yang bersifat “balas budi”
seperti hubungan antara anak dan orang tua. Jadi kalau seorang anak menurut kepada
orang tuanya adalah karena rasa berhutang budi belaka sebagai landasannya dan bukan
karena hubungan yang didasarkan karena persamaan dan kejujuran (Joseph B. Tanney,
1967).
C. Resosialisasi untuk pengalaman-pengalaman baru
Bila sosialisasi adalah suatu proses yang harus terus menerus yang bervariasi
dari suatu keadaan ke keadaan berikutnya, maka selanjutnya dalam keadaan atau situasi
tertentu akan menimbulkan terjadinya desosialisasi atau resosialisasi. Masalahnya
adalah karena tidak ada satu kondisi atau situasi yang persis sama antara grup yang satu
dengan yang lainnya. Setiap pengalaman yang baru atau terjun ke grup lain yang baru,
harus mengalami proses resosialisasi menurut kondisi dan situasi yang baru. Dan bila
nilai-nilai baru telah didapatkan, maka kita harus melepaskan nilai-nilai yang lama
tersebut dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut (desosialisasi).
Contoh yang paling tepat adalah sehubungan dengan mereka yang menerjunkan diri
dalam dunia keprajuritan (ABRI). Setiap orang yang memasuki anggota ABRI harus
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26
memiliki atau memperoleh skills pengetahuan serta nilai-nilai baru yang mungkin
sangat asing dibandingkan dengan sistem nilai atau sitstem kepercayaan yang telah
pernah diperolehnya. Seorang prajurit dilatih untuk membunuh lawannya manakala
menghadapi keadaan yang gawat sebagai usaha membela diri.
Agar ABRI dapat mendidik seseorang menjadi prajurit yang kokoh dan perkasa,
maka setiap individu harus di desosialisasi terlebih dahulu. Ini biasanya dilakukan
dengan mengisolasikan para calon projurit dari pengaruh kawan atau lingkungan yang
lama. Mereka dilatih disiplin dengan melalui latihan-latihan yang berat bukan sekedar
latihan fisik, tetapi juga mental. Para calon prajurit yang telah digembleng tadi mulai
menanyakan tentang diri pribadinya setelah sekian lama mengalami gemblengan yang
maha berat; “siapakah saya ini?”. Dan “apakah yang saya lakukan di tempat ini?”.
ABRI menyediakan jawaban-jawaban yang menggambarkan suatu konsep diri
pribadi yang baru, yakni engkau adalah seorang prajurit yang telah disumpah sebagai
bayangkara negara yang harus menghormati atasan dan warga negara lain yang engkau
lindungi. Membunuh yang bagi orang sipil selalu dikutuk, kini telah didefinisikan
kembali menjadi salah satu tanggung jawab yang dihargai.
Mereka telah dididik diberbagai bidang dan kejuruan baik dalam skill maupun
pengetahuan dan mereka diberi status baru dan simbol baru. Semuanya ini tak akan
terlaksana tanpa proses desosialisasi maupun proses resosialisasi. Namun karena sukar
untuk membentuk manusia yang benar-benar baru dan tidak terpengaruh oleh proses
sosialisasi yang lama, maka ABRI menggunakan agen-agen sosialisasi yang lama,
seperti keluarga, negara, bahkan gereja atau mesjid yang pada prinsipnya minta
bantuannya agar dapat meyakinkan sang prajurit bahwa tugas yang dibebankan telah
direstui.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27
BAB IVMasyarakat (Society)
A. Apakah Masyarakat itu?
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang terorganisir secara teratur
memiliki budaya tertentu dan masing-masing menyadari bahwa mereka adalah
merupakan satu kesatuan. Masyarakat sering dianggap sebagai kelompok besar dimana
seseorang dapat menjadi salah seorang anggotanya. Dengan kata lain, yang termasuk
masyarakat adalah kelompok sosial lain yang diorganisir oleh para anggotanya,
misalnya komunitas perkotaan dan pedesaan, keluarga, persatuan buruh, asosiasi
profesi, dll. Kelompok-kelompok tersebut saling terikat satu dengan yang lain dan
sering kali tumpang tindih (overlap). Dalam dunia moderen dewasa ini pengertian
masyarakat cenderung mengarah kepada masyarakat besar yang diorganisir dan
dikontrol oleh suatu pemerintah. Sedangkan pada masa dahulu yang dimaksud
masyarakat adalah kelompok yang lebih kecil, seperti masyarakat Sunda, masyarakat
Minang, Masyarakat Baduy. Atas dasar asumsi tersebut maka dimungkinkan untuk
menganalisis masyarakat dalam arti sempit (masyarakat Sunda) dan dalam arti luas
yakni interaksi antara satu masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya.
Suatu masyarakat terdiri dari jaringan kerja atau sistem hubungan-hubungan
sosial antara individu-individu yang juga disebut sistem sosial (social system). Hal ini
ada hubungannya dengan kenyataan bahwa :
- prilaku setiap orang dipengaruhi dan mempengaruhi prilaku orang lain
- beberapa tindakan dianggap tabu (dilarang)
- semua prilaku saling mengisi sehingga merupakan suatu sistem yang terpadu.
Bentuk-bentuk hubungan seperti itu sebagian besar ditentukan oleh kebudayaan. Hal ini
disebabkan karena kesatuan dan keterpaduan yang dicapai diantara anggota suatu
masyarakat timbul karena adanya kesamaan dalam warisan budaya mereka. Setiap
anggota dalam masyarakat belajar apa yang diharapkan dari mereka dalam kondisi
yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya orang-orang berinteraksi dalam pola yang teratur
yang disetujui oleh sebagian besar anggota masyarakatnya dengan tujuan meningkatkan
solidaritas dan keakraban kelompok.
B. Ciri-Ciri Dasar Masyarakat
1. Masyarakat adalah melebihi bagian-bagiannya, yaitu para anggota masyarakatnya,
hubungan-hubungan sosialnya dan berbagai kelompoknya. Masyarakat memiliki
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28
struktur dan kesinambungan yang tidak banyak berubah untuk kurun waktu yang
lama. Setiap manusia menjadi anggota masyarakat karena dilahirkan disana.
Meskipun seseorang tak mungkin hidup tanpa bantuan anggota masyarakat lainnya.
2. Agar supaya masyarakat dapat tetap hidup ia harus dapat menyediakan kebutuhan-
kebutuhan utama bagi warganya. Misalnya, ketentraman dan keteraturan hidup
dalam masyarakat harus tetap dipertahankan dengan berbagai cara; dengan undang-
undang, hukum, tata cara, peraturan, dll; kebutuhan pokok bagi para anggota
masyarakat (makan, perumahan, dll) harus disediakan; kekosongan keanggotaan
dalam masyarakat (karena mati) harus diganti; anak-anak harus dididik dan dilatih
dengan berbagai kepandaian, pengetahuan, keterampilan, sistem nilai, adat istiadat,
dll; sistem ritual atau upacara-upacara yang menekankan pentingnya sistem nilai,
sistem kepercayaan, dll perlu dilakukan secara periodik. Contoh, penyelenggaraan
upacara hari kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus adalah suatu contoh yang ada
di Indonesia.
Meskipun masyarakat adalah melebihi bagian-bagiannya tetapi perlu diingat
bahwa pengaruhnya adalah dua arah. Bagian-bagiannya mempengaruhi keseluruhann
dan keseluruhan juga mempengaruhi bagian-bagian. Tanpa manusia, masyarakat tidak
mungkin ada. Sifat individualitas dan keunikan mahluk manusia menjamin bahwa
manusia akan memberi pengaruh terhadap masyarakat, bahkan dapat merubahnya
secara perlahan-lahan. Oleh karena itu akan keliru bila ada anggapan bahwa
kebudayaan menentukan dan mengontrol kehidupan dan prilaku manusia.
C. Struktur dan Dinamika Masyarakat (Status dan Peranan/Role)
Status adalah kedudukan sosial individu dalam suatu kelopok dalam masyarat.
Status berdiri terpisah dari individu tertentu yang menduduki posisi tertentu tersebut.
Dengan kata lain, beberapa orang dapat mengisi suatu status tertentu (beberapa orang
dapat saja mengisi status guru, polisi, dokter atau lain-lainnya). Tetapi ada beberapa
status yang hanya dapat diduduki oleh seseorang saja dalam suatu waktu tertentu.
Contohnya adalah Presiden RI. Suatu status adalah kumpulan hak dan hak-hak
istimewa yang menyertai mereka yang menduduki posisi dan kumpulan prilaku yang
diharapkan serta kewajiban para pemegang posisi tersebut.
Peranan (Role) adalah prilaku yang diharapkan bagi mereka yang menduduki
suatu status. Prilaku ini termasuk melaksanakan tugas-tugas dan menikmati hak-hak
istimewa yang melengkapi suatu status serta memiliki sikap, sistem nilai dan perasaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29
yang cocok bagi status tersebut. Hal ini sangat penting dalam keadaan dimana
seseorang mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsinya kecuali ia telah belajar
sebelumnya untuk menerima peranan sebagai suatu yang bermanfaat dan
menyenangkan. Contoh, seorang wanita yang telah dididik untuk menyandang peran
ibu rumah tangga dan peranan ibu sebagai kegiatan yang paling diinginkan bagi
seorang wanita, akan sukar menyesuaikan diri dengan peranan seorang wanita yang
mementingkan karir dan tidak kawin.
Untuk setiap status selalu tersedia peranan. Pada umumnya status dan peranan
yang berbeda-beda saling mengisi satu sama lain. Contoh, peranan suami istri adalah
saling mengimbangi. Bila suami bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarganya, maka
sang istri diharapkan untuk mengatur rumah tangga, menyiapkan makanan dan
melaksanakan tugas-tugas lain di rumah.
D. Ciri Ciri dan Fungsi Status
Ralph Linton, seorang ahli antropologi mengatakan bahwa ada beberapa
diantara status yang bersifat turunan (ascribed) atau diturunkan prestasi (achieved).
Ascribed status diberikan sejak lahir tanpa mempertimbangkan ataupun usaha-usaha
lainnya. Raja Inggris atau Raja Monaco adalah status turunan yang sudah ditentukan
sejak lahir kedalam garis keluarga tertentu. Dengan menggunakan ciri-ciri seperti umur,
jenis kelamin, dll kedalam status turunan maka masyarakat memperoleh jaminan bahwa
semua posisi akan terisi, meskipun yang mengisi belum tentu orang yang tepat.
Achieved status adalah posisi yang diperoleh atas dasar usaha perseorangan melalui
perjuangan dan persaingan. Contoh, jabatan/pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dll.
Proses pencapaian status melalui usaha perseorangan umumnya menghasilkan suatu
status yang terbaik, akan tetapi belum tentu bahwa status seperti itu akan dapat
diperoleh hanya melalui kompetisi saja, sebab sering kali suatu posisi memerlukan
latihan sejak kecil (lahir) secara terus menerus tidak berbeda dengan status turunan.
Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan yang cepat (kebanyakan
negara-negara barat) sebagian besar harus menggantungkan diri kepada achievement,
sebab “turunan” sangat tergantung kepada peranan tradisional yang kebanyakan sudah
menghilang atau sudah tidak dikenal lagi dalam proses spesialisasi jabatan dan proses
pembangunan ekonomi. Dalam masyarakat stabil status turunan akan dapat berjalan
atau berlangsung dengan lancar dalam mengisi posisi yang kosong. Akan tetapi status
prestasi sering harus disertai dengan elemen turunan didalam memperoleh posisi-posisi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 30
tertentu yang baik, misalnya di Amerika Serikat akan lebih mudah bagi orang kulit
putih yang pandai untuk mendapatkan jabatan penting dengan upah tinggi
dibandingkan dengan orang Negro yang berpendidikan sama. Di Indonesia akan lebih
mudah buat kaum pria dengan pendidikan tinggi untuk memperoleh jabatan yang baik
dibanding dengan wanita dengan pendidikan dan kecerdasan yang sama.
Ada beberapa cara untuk memperoleh status achievement. Di Amerika Serikat
setiap orang dengan kualifikasi sama dapat bersaing secara adil untuk mendapat suatu
jabatan tertentu. Di Inggris pendekatannya agak lain, di negara ini ada yang disebut
“Sponsored Achievement” dimana para calon dididik atau dilatih dibawah asuhan
orang-orang yang kini memiliki posisi yang diinginkan oleh para pelamar. Umumnya
terdapat variasi yang digunakan oleh berbagai negara dalam mengatur atau
melaksanakan status prestasi tersebut.
Jenis kelamin adalah kriteria umum yang dipakai untuk mengisi posisi-posisi
dalam masyarakat. Ketentuan ini sebenarnya bukan didasarkan pada unsur biologis
tetapi lebih ditentukan oleh unsur sosial. Di Amerika Serikat wanita tidak dikenakan
wajib militer; wanita lebih disarankan untuk menjadi ibu rumah tangga. Dahulu wanita
Indian Iroquois di Amerika menduduki posisi tukang menganiaya musuh yang
tertangkap, sebab mereka paling pandai mencari cara untuk memberi hukuman yang
paling menyakitkan. Di Pakistan laki-laki adalah pekerja rumah yang baik, sedang di
Filipina laki-laki banyak diminta untuk bekerja sebagai sekertaris. Di Indonesia kira-
kira hampir mirip dengan keadaan di Amerika Serikat. Nampaknya jelas bahwa
terdapat variasi yang besar antara satu masyarakat dengan masyarakat lain dalam
mengatur posisi atau jabatan apa yang paling tepat untuk laki-laki dan perempuan.
Umur juga dipakai untuk menentukan ascribed status. Umumnya dikenal lima
tahap perkembangan berdasarkan umur yakni: masa bayi; masa anak; masa remaja;
masa dewasa; dan masa tua. Hak-hak istimewa yang diturunkan (ascribed) dan
penampilan peranannya berbeda-beda menurut tahap-tahap umur, misalnya siapa yang
berhak mengatur upacara dalam suatu keluarga, yang tua atau yang muda. Dalam hal
hak-hak dan kewajiban setiap kelompok umur juga terdapat variasi antara masyarakat
satu dengan yang lainnya. Di Indonesia (umumnya di Asia) mereka yang tertua adalah
yang paling dihormati. Di Amerika Serikat yang tua justru tersisihkan.
Ras juga kadang-kadang menentukan status turunan. Di Amerika Serikat,
menurut tradisi, orang Negro selalu diberi status yang rendah terutama pekerjaan yang
memerlukan otot. Akan tetapi setelah perang saudara, mulai terjadi sedikit perubahan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 31
karena adanya “Civil Rights Movement”. Tetapi dalam kenyataan hampir setiap
jabatan/pekerjaan kasar selalu dipegang oleh orang-orang Black.
Status berikut perannya dinilai berdasarkan tingkat prestasi atau penghargaan.
Gejala seperti itu disebut “Social rank” atau “kedudukan sosial”. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan gejala tersebut, antara lain adalah: (1) Kemampuan individu
berbeda-beda, yang berbakat perlu ditunjang untuk mendorong agar supaya mereka
mau mengisi posisi tertentu; (2) Beberapa tugas/pekerjaan jauh lebih sulit dibanding
dengan lainnya. Seorang ahli bedah otak dengan pendidikan dan latihan yang cukup
lama dan memerlukan kecakapan tertentu harus dihargai lebih tinggi dari pada pekerja
pabrik yang tidak terlatih; (3) Di beberapa masyarakat, beberapa status tertentu
dipandang lebih berharga (ber-prestise) dibanding dengan masyarakat lainnya. Di
Amerika Serikat setiap pekerjaan yang memberikan upah/gaji yang tinggi lebih
dihargai. Di Indonesia pegawai negeri diantara golongan menengah dan rendah lebih
dinilai tinggi dibanding dengan pekerja swasta, meskipun gajinya kecil.
Dalam kelompok yang serba komplek dengan bermacam-macam status rank
(kedudukan/pangkat) dapat dipakai untuk menentukan ciri berbagai posisi. Orang akan
mudah membedakan antara seorang jenderal dan seorang mayor dari tanda pangkatnya.
Untuk menjaga nama dan integritas individu setiap status atau posisi dapat diberikan
nama (titel) yang nampak lebih mentereng. Contoh, di Amerika Serikat “Janitor”
(tukang bersih-bersih) dirubah namanya yang lebih mentereng menjadi “maintenance
engineer”. Di Indonesia, pelayan di kapal terbang diberi nama “pramugari/pramugara”,
pelayan toko menjadi “pramuniaga”, hostes menjadi “pramuria”, pelayan rumah
menjadi “pramuwisma”.
Individu-individu dapat mempunyai beberapa status dan peranan misalnya,
seseorang dapat sekaligus sebagai seorang suami, seorang ayah, seorang veteran,
seorang siswa, seorang tokoh agama. Status secara terpisah-pisah dapat membawa
pangkat atau kedudukan yang berbeda pula. Kadang-kadang status yang memiliki
kehormatan tinggi belum tentu sebanding dengan gaji/income yang diperoleh. Status
profesor di perguruan tinggi di USA adalah jabatan terhormat, tetapi income-nya
rendah. Sama halnya dengan Indonesia, dosen adalah jabatan terhormat, demikian juga
guru, tetapi gajinya rendah. Keadaan seperti itu menimbulkan ketimpangan dalam
perasaan bagi orang yang memiliki status tersebut yang sering disebut “status
inconsintancy” (ketidak serasian status). Tetapi kalau antara status dan rank
(kedudukan/pangkat) serasi dan harmonis disebut “status crystalization”. Salah satu
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 32
akibat dari status inconsistancy adalah frustasi. Sering terjadi bahwa orang-orang yang
frustasi itu bereaksi terhadap status ‘quo’nya dengan menuntut perubahan-perubahan
dan umumnya mereka berafiliasi dengan partai politik berhaluan liberal.
E. Ciri-Ciri dan Fungsi Peranan (Role)
Peranan memiliki karakteristik yang hampir sama dengan status. Setiap individu
dalam masyarakat memainkan peranan ganda. Contoh, diwaktu makan pagi seseorang
dapat berperan sebagai seorang anak pria atau wanita suatu keluarga; disiang hari ia
berperan sebagai mahasiswa di perguruan tinggi; diwaktu malam ia berperan sebagai
seorang kekasih. Kekomplekan peranan tersebut disebut “role complex”.
Peranan mengandung ide reciprokal, artinya bukan saja sang peranan harus
berprilaku seperti yang diharapkan, tetapi orang lain juga perlu menunjukkan prilaku
yang diharapkan oleh si pemegang peranan. Contoh, tatkala seseorang menerima suatu
pemberian, ia diharapkan memperlihatkan penghargaannya dengan mengatakan “terima
kasih”; yang memberi hadiah juga diharapkan akan menjawab “kembali”.
Peranan berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Beberapa waktu
yang lalu gadis yang sudah akil balig ( + umur 13 – 15 tahun) sudah boleh kawin.
Tetapi di beberapa negara mereka hanya boleh kawin setelah berumur 20 tahun.
Peranannya juga berubah-ubah dari waktu ke waktu. Seorang yang sudah berumur 25
tahun lebih diharapkan mampu berdiri sendiri (tidak tergantung pada orang tuanya
lagi). Dimasa mendatang mungkin umur 20 tahun harus berdiri sendiri. Suatu peranan
dapat dijabat oleh banyak orang. Dilihat dari kewajibannya, peranan ada yang sukarela
(bisa pilih Golkar atau PPP) ada yang tidak sukarela (wajib militer mungkin tidak dapat
memerankan sifat-sifat prajurit sejati).
Banyak individu yang mengalami kesulitan didalam melaksanakan peranannya,
bahkan sering saling bertentangan (role conflict). Seorang ibu yang berperan sebagai
guru dapat mengalami konflik peranan apabila anaknya yang kebetulan berada di dalam
kelasnya nakal. Sang anak harus dihukum sesuai dengan peraturan, padahal di rumah
sang anak dimanja. Beberapa penyebab konflik peranan antara lain adalah: (1)
Persiapan kurang mantap, seorang wanita yang tidak memperoleh persiapan yang
matang untuk berperan sebagai ibu rumah tangga akan mengalami kesulitan, terutama
konflik antara kematangan yang diperlukan sebagai ibu rumah tangga dan “sifat
kekanak-kanakan”-nya. (2) Ketidak serasian peranan; apa beda peranan istri terhadap
suami dan peranan gundik terhadap sang kekasih?. (3) Ketidak serasian antara syarat-
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 33
syarat untuk suatu peranan dengan sifat-sifat individu. Bagi peran dan status turunan
tidak ada masalah ketidak serasian tersebut, akan tetapi untuk peran dan status
berdasarkan prestasi adalah berbeda. Pendidikan cukup tinggi tetapi pemalu,
pendidikan rendah tetapi kepribadiannya supel. Keduanya mungkin menduduki status
yang sama, tetapi siapa yang lebih berhasil?. (4) Ketidak jelasan syarat-syarat suatu
peranan. Perubahan jaman membawa konsekuensi perubahan selera, sikap dan
wawasan. Jabatan sopir diharapkan dipegang oleh laki-laki. Tetapi dengan munculnya
persamaan hak antara pria dan wanita, mungkin keadaan akan berubah.
Beberapa konsekuensi konflik peranan antara lain adalah: kejahatan; sakit jiwa
disebabkan karena frustasi; sakit fisik karena ketegangan mental mengakibatkan
ketegangan fisik; kesehatan umum.
F. Kondisi Alamiah Yang Mempengaruhi Masyarakat
1. Kondisi Geografis
Sejak jamannya Hippocrates, para ilmuan sudah mengemukakan pendapatnya
bahwa perbedaan-perbedaan yang ada diantara masyarakat adalah disebabkan karena
iklim dan fenomena alamiah lainnya. Dijaman moderen ini, beberapa ahli geografis,
seperti Ellsworth Hutington, juga mengajukan teori-teori yang menyebutkan bahwa
pengaruh iklim, kondisi tanah, sumber alam, dsb terhadap perkembangan masyarakat
adalah sangat besar dan tidak dapat dihindarkan. Akan tetapi berbagai penelitian yang
pernah dilakukan tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat tentang teori-teori
tersebut.
Banyak masyarakat yang berbeda hidup berdampingan dalam lokasi geografis
dan dengan lingkungan yang sama. Disamping itu terdapat juga masyarakat yang
hampir sama tetapi terletak pada lokasi geografis yang berbeda, contohnya masyarakat
Amerika Serikat dan Masyarakat Inggris. Meskipun demikian hal tersebut tidak berarti
bahwa lingkungan fisik tidak membatasi ke arah mana masyarakat dapat berkembang.
Negara Swiss yang daerahnya pegunungan jelas bukan merupakan daerah maritim. Jadi
geografis adalah kondisi penting tetapi tidak cukup untuk mempengaruhi masyarakat.
Tambang batu bara di Pennsylvania tidak berguna untuk orang-orang Indian yang
tinggal di sekitarnya, tetapi sangat penting bagi kehidupan masyarakat mederen disana
dewasa ini. Memiliki sumber-sumber industri saja bukanlah jaminan bahwa sumber-
sumber tersebut akan dimanfaatkan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 34
2. Kondisi Biologis
Sudah disinggung di atas bahwa warisan fisik adalah faktor pembatas dan bukan
faktor penentu. Kehidupan bayi adalah kehidupan sosial yang memerlukan bantuan
para anggota masyarakat. Tanpa bantuan tersebut bayi-bayi itu tidak akan dapat hidup.
Ini adalah ciri kehidupan kelompok untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.
Manusia harus dapat memenuhi kebutuhan biologisnya (makan, minum, tidur,dll.) agar
dapat mempertahankan kehidupannya. Hal tersebut sudah menjamin beberapa dasar
kesamaan antara masyarakat yang berbeda-beda; semua akan mempunyai periode-
periode untuk makan, tidur, beranak, bercucu, dst.
Riset tentang sifat-sifat biologis ras telah memperlihatkan bahwa perbedaan
yang ada diantara masyarakat-masyarakat tidak dapat dihubungkan dengan tirai-tirai
tadi. Di Amerika Serikat banyak orang dari berbagai kelompok ethnic yang berbeda
dan mempunyai latar belakang berbeda, mempunyai pola prilaku dan gaya hidup yang
sama. Pola warisan dalam suatu masyarakat tidak berubah cukup cepat untuk
menghasilkan fluktuasi besar sebagaimana yang kita saksikan dibanyak masyarakat
dijaman sekarang.
G. Tipe-Tipe Masyarakat
1.Dikotomi ( Dichotomy ) masyarakat: tradisi lawan moderen
Para ahli sosiologi secara tradisional telah membuat dikotomi (membagi
menjadi bagian) diantara berbagai masyarakat dan dengan istilah-istilah yang berbeda.
Hebert Spencer berbicara tentang masyarakat millitant dan masyarakat industrial. Sir
Henry Maine menggunakan istilah status dan contact untuk membedakan masyarakat.
Ferdinand Tonnies menggunakan konsep-konsep Gemeinschaft yang berarti
komunitas dan Gessellschaft yang diterjemahkan sebagai masyarakat. Emile
Durkheim, yang sedang mencari konsep dasar keakraban masyarakat, mencantumkan
nama Mechanical Solidarity dan Organic Solidarity. Baru-baru ini Howard Becker
mendapatkan masyarakat Sacred dan masyarakat Secular. Robert Redfield
membedakan antara masyarakat folk dan masyarakat urban. Sedangkan Ely Chinoy
memakai istilah masyarakat Communal dan Associational.
Konsep-konsep tersebut adalah hampir sama satu sama lainnya dan masing-
masing membahas tentang kesamaan sifat dan juga menganalisa perbedaan-
perbedaannya. Masyarakat tradisional (folk society), memiliki sejumlah trait yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 35
umumnya sama yang membedakannya dari masyarakat moderen. Perbedaan-perbedaan
itu adalah:
(a) Masyarakat tradisionil lebih kecil;
(b) Keluarga dan kelompok kekerabatan relatif lebih penting pada masyarakat
tradisionil dibanding dengan pada masyarakat moderen;
(c) Dalam masyarakat tradisionil interaksi antar individu dan hubungan intim
jauh lebih banyak dibandingkan pada masyarakat moderen;
(d) Masyarakat tradisionil umumnya menggantungkan dirinya pada kehidupan
dibidang agrikultur dimana perbedaan okupasi relatif langka. Sebaliknya
dalam masyarakat moderen pembagian kerja jauh lebih luas dan lebih maju;
(e) Masyarakat tradisionil lebih mementingkan peri kehidupan sakral (religius),
sedangkan masyarakat moderen lebih bersifat sekuler;
(f) Masyarakat tradisionil lebih bersatu dan akrab, sedangkan masyarakat
moderen lebih tersebar dan terkotak-kotak;
(g) Masyarakat tradisionil lebih stabil dibandingkan dengan masyarakat
moderen.
2. Kecenderungan perubahan dari masyarakat tradisionil menjadi masyarakat
moderen
Para ilmuwan telah mulai menyadari adanya dikotomi antara masyarakat
tradisionil lawan masyarakat moderen sejak revolusi industri. Ini terlihat dari
perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam pola hidup masyarakat. Sampai abad ke
18 pola hidup yang paling dominan untuk sebagian besar anggota masyarakat adalah
tradisionil. Dengan terjadinya urbanisasi dan industrialisasi secara besar-besaran,
kehidupan moderen ternyata kemudian menjadi kenyataan. Trend perubahan dari
masyarakat tradisionil ke masyarakat moderen terus berkesinambungan hingga
sekarang. Hanya sedikit sekali sisa masyarakat tradisionil yang masih ada dewasa ini.
Karena terjadinya perubahan secara historis dari masyarakat tradisionil menjadi
masyarakat moderen tersebut, sering dinyatakan bahwa masyarakat telah kehilangan
bentuk hubungan personal dan ikatan sosial. Kini kehidupan manusia telah berubah
dingin dan penuh permusuhan dan tiap individu tersisihkan dan seolah-olah terbuang
dari masyarakat. Hilangnya bentuk hubungan antar individu yang tradisionil tidak
berarti bahwa masyarakat tidak menciptakan lagi bentuk hubungan baru. Berbagai
bentuk asosiasi telah ada (pendidikan, profesi, politik, rekreasi, dll.) dalam masyarakat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 36
yang menghendaki loyalitas dari umat manusia sebagaimana halnya yang terjadi pada
masyarakat tradisionil.
Selanjutnya masyarakat tradisionil telah dipuja-puja sebagai masyarakat yang
bebas dari konflik, bebas dari tekanan dan ketegangan. Oscar Lewis, yang mengulang
kembali studi Robert Redfield tentang Tepoztlan (masyarakat yang tergantung dan
yang memiliki ciri-ciri tradisionil). Setelah beberapa tahun berselang, menemukan
bahwa Tepoztlan ternyata telah mengalami banyak perubahan yang mencolok, seperti
tindak kekerasan, rasa tidak percaya pada sesama anggota masyarakat, tekanan-
tekanan, dll.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 37
BAB VPerubahan Sosial Kultural
A. Definisi dan Gambaran Umum
Salah satu konsep yang sukar didefinisikan dan digambarkan secara jelas dalam
ilmu sosiologi adalah konsep perubahan sosial. Hal ini disebabkan karena penyebabnya
selalu dapat dicari dari berbagai variabel sosial yang jumlahnya cukup banyak dan
umumnya saling berinteraksi satu dengan lainnya.
Secara analitis suatu perubahan dapat dilihat dari segi sosial dan kultural.
Perubahan sosial lebih memusatkan pada perubahan yang terjadi dimasyartakat. Seperti
misalnya jumlah banyaknya anak usia universitas yang masuk sekolah, menurunnya
angka mortalitas atau meningkatnya umur harapan hidup (life expectancy) atau
perubahan fungsi wanita dalam kehidupan moderen. Sedangkan perubahan kultural
lebih menitik beratkan pada transisi yang sedang terjadi dalam warisan budaya
masyarakat, apakah itu menyangkut hilangnya aspek atau nilai budaya lama atau
munculnya hasil budaya baru. Contohnya, diketemukannya televisi atau introdusirnya
bentuk-bentuk seni yang baru, diketengahkannya kata-kata atau jenis kata-kata baru
atau ejaan bahasa baru. Umumnya perubahan disatu bagian (sosial) juga akan
mempengaruhi bidang lain (budaya). Bahkan dalam kenyataan sukar membedakan
antara keduanya.
Salah satu syarat penting untuk terjadinya perubahan adalah prilaku individu-
individu. Disamping itu juga kesediaan masyarakat untuk menerima perubahan-
perubahan tertentu juga sangat penting. Artinya prilaku individu-individu sendiri saja
belum merupakan prasyarat yang cukup bagi terjadinya perubahan. Penyimpangan
sosial juga merupakan unsur penting bagi perubahan sosial. Sebab kalau hidup sekedar
untuk taat pada norma-norma yang ada saja, maka kehidupan itu akan terasa sangat
statis. Meskipun demikian golongan yang selalu taat pada norma/aturan pun dapat
menimbulkan perubahan sosial. Suatu penelitian terhadap pimpinan-pimpinan atau
tokoh-tokoh masyarakat di Amerika Serikat menemukan bahwa pemimpin yang selalu
patuh terhadap norma-norma kelompoknya dapat menempati posisi-posisi dimana
mereka dapat berinisiatif untuk terjadinya perubahan, yakni dengan jalan melaksanakan
tugas sebaik-baiknya. Namun demikian apakah orang yang mencoba mengetengahkan
perubahan itu seorang penyimpang atau seorang yang patuh terhadap norma
kelompoknya, ia harus berusaha agar perubahan yang terjadi tidak tampak merugikan;
ia harus dapat menduduki suatu posisi yang cukup tinggi dan dihormati; ia harus hati-
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 38
hati dalam mengintrodusir perubahan yang akan dilaksanakan, jangan sampai
menyinggung warga yang akan terkena perubahan yang sebenarnya ingin
mempertahankan apa yang telah ada (status quo).
Perubahan sosial adalah suatu yang pasti akan terjadi dan tidak dapat dihindari.
Setiap masyarakat dan budaya secara terus menerus mengalami perubahan. Meskipun
tingkat perubahannya berbeda, ada yang cepat tetapi ada pula yang lambat. Kemudian
kepribadian seseorang dan ketidak sempurnaan semua masyarakat dan kebudayaannya,
keinginan untuk lebih kreatif, keinginan untuk memperoleh pengalaman baru,
menghindari kebosanan atau mendapatkan keinginan yang belum terlaksana,
kesemuanya itu merupakan kombinasi yang dapat menjamin modifikasi-modifikasi
dalam pola kehidupan sosial.
“No Society is an Island onto it self” tak ada masyarakat mandiri. Selalu ada
kekuatan dari luar yang menimbulkan reaksi kuat, apakah reaksi yang baik ataukah
reaksi yang akan menghancurkan masyarakat tersebut. Kekuatan dari luar hampir-
hampir melenyapkan suku bangsa Indian di Amerika Utara, baik akibat perang atau
alkohol, yang diintrodusir oleh bangsa Eropa. Contoh lain adalah yang terjadi di
negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, dimana kekuatan dari luar yang berasal
dari dunia barat telah menimbulkan berbagai perubahan yang besar terhadap negara-
negara tersebut, melalui pengaruh westernisasi.
Perubahan sosial dapat terjadi secara sengaja atau secara tidak sengaja,
kebanyakan adalah karena keduanya. Program-program yang diselenggarakan
pemerintah, seperti ABRI masuk desa, KKN, dll. Adalah secara sengaja diadakan
sesuai dengan apa yang direncanakan supaya terjadi perubahan-perubahan. Namun
demikian sering terjadi bahwa perubahan yang sengaja diadakan di suatu tempat
menimbulkan perubahan yang tidak dikehendaki di tempat lain. Sebagai contoh,
perubahan dalam policy pembangunan pemerintah Indonesia dengan menaikan kue
GNP adalah sengaja dilakukan. Tetapi bahwa dengan meningkatnya GNP tersebut
hanya sekelompok kecil saja dari anggota masyarakat Indonesia yang menerima kue
GNP, adalah suatu perubahan yang tidak diharapkan.
Perubahan terjadi secara terus menerus tetapi bervariasi dengan waktu. Ada
perubahan yang memerlukan waktu pendek, tetapi ada yang memerlukan waktu yang
panjang. Tingkat perubahan sosial juga bervariasi antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya dalam suatu negara. Arah perubahan biasanya dari yang dianggap
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 39
tua ke yang masih baru (muda). Ada beberapa teori tentang perubahan sosial, antara
lain adalah teori evolusi, teori siklus, teori keseimbangan dan teori konflik.
1. Teori Evolusi (Evoluntionary Theories)
Teori-teori evolusi memandang masyarakat berubah dari bentuk-bentuk yang
sederhana menjadi serba komplek. Para penganut aliran tersebut percaya bahwa
masyarakat yang berada pada tahap-tahap pembangunan yang lebih tinggi adalah lebih
maju dibanding dengan lainnya. Namun demikian pandangan aliran evolusi tersebut
agak bias karena teori-teori itu menganggap bahwa masyarakat moderen adalah lebih
baik dibanding masyarakat yang tradisional.
2. Teori Siklus (Cyclical Theories)
Teori siklus memandang masyarakat mengalami berbagai tahap-tahap yang
berbeda-beda. Akan tetapi tahap-tahap yang terjadi adalah merupakan tahap-tahap
melingkar-lingkar terus menerus secara berputar dan berulang-ulang dan bukan
merupakan pergerakan rata kedepan.
3. Teori Keseimbangan (Equillibrium Theories)
Teori keseimbangan memandang masyarakat sebagai sesuatu yang terdiri dari
sejumlah bagian yang saling bergantung satu sama lain, dimana masing-masing bagian
memberikan sumbangan terhadap keefektifan masyarakat tersebut. Kalau perubahan
sosial menimbulkan kekacauan pada salah satu bagian, maka masyarakat akan berada
pada keadaan tidak seimbang dan seterusnya perubahan-perubahan sosial lainnya akan
terjadi lagi dibagian-bagian lain dari masyarakat itu. Dan hal ini akan menempatkan
masyarakat kembali ke keadaan harmoni dan seimbang lagi.
4. Teori Konflik (Conflict Theories)
Para ahli sosiologi yang menganut faham teori konflik memandang masyarakat
sebagai suatu massa kelompok-kelompok yang secara kanstant selalu berada pada
suasana konflik antara satu dengan lainnya. Selagi kelompok-kelompok tersebut saling
bersaing atas benda-benda dan sumber-sumber yang tersedia, perubahan sosial akan
terjadi. Karena masing-masing kelompok yang saling berlawanan secara terus menerus
berusaha merubah “status quo” (keadaan atau kondisi yang ada) maka masyarakat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 40
berada pada keadaan tidak terorganisir (disorganization) sehingga membawa akibat
ketidak stabilan masyarakat pada waktu itu.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Sosial
Salah satu pertanyaan menarik yang lazim ditanyakan oleh para ahli adalah “apa
penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial-kultural” itu?
1. Faktor lingkungan-geografis
Lingkungan fisik, sampai tahap-tahap tertentu, dapat mempengaruhi perubahan-
perubahan-perubahan sosial dan kultural. Sudah tentu keadaan
lingkungan/geografis tersebut dapat berpengaruh negatif atau positif. Iklim, gempa
bumi, suhu/temperatur dapat mempengaruhi gaya hidup manusia. Orang Eskimo
harus menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungannya kalau ingin tetap hidup.
Kebiasaan hidup di daerah tropis tidak mungkin dapat diterapkan di daerah kutub.
Para transmigran dari pulau Jawa yang dapat bertahan (tidak pulang kampung)
adalah mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi alam dan
lingkungannya.
2. Faktor Penduduk
Jumlah penduduk dan penyebarannya juga dapat mempengaruhi perubahan sosial
kultural. Jumlah penduduk yang terlalu sedikit akan mempersulit tumbuhnya
industrialisasi, sebab industrialisasi lebih memerlukan sistem pembagian kerja yang
lebih luas. Sebaliknya jumlah penduduk yang terlampau banyak akan
menghabiskan surplus produksi, yang selanjutnya dapat menghambat investasi yang
sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih lanjut Distribusi
penduduk juga berpengaruh terhadap perubahan sosial kultural. Sebagai
contoh,mengalirnya penduduk dari desa-desa ke perkotaan akan mempengaruhi
perikehidupan baik di desa-desa yang ditinggalkan atau perikehidupan di tempat-
tempat tujuan (kota-kota besar). Diantara perubahan yang dapat terjadi antara lain
adalah cara-cara hidup yang lebih rasionil, semakin retaknya bentuk hubungan
antara individu yang membawa akibat semakin retaknya pula bentuk kehidupan
kelompok-kelompok primer (misalnya, keluarga).
3. Struktur Kelembagaan
Struktur dan tingkat integrasi kelembagaan dalam masyarakatjuga mempengaruhi
tingkat perubahan sosial. Masyarakat yang menganut sistem stratifikasi yang kaku
(rigid) lebih condong untuk mempertahankan status quo, sebab golongan-golongan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 41
tertentu yang berpengaruh dalam masyarakat akan merasa was-was (takut) kalau-
kalau perubahan yang terjadi dapat mempengaruhi kepentingan (interest) mereka,
terutama hak-hak istimewa yang selama ini telah dimilikinya. Sebaliknya dalam
masyarakat dimana struktur dan tingkat integrasi kelembagaannya lebih luwes
(tidak kaku), modifikasi dan variasi dalam kehidupan sosial kultural lebih sering
terjadi dan dapat diterima oleh segala pihak.
4. Faktor Teknologi
Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa perubahan itu cepat atau lambat
tetapi pasti akan datang. Dan umumnya setiap masyarakat akan menerima suatu
perubahan bila ternyata membawa kebaikan bagi semua pihak. Di banyak negara
berkembang telah muncul perasaan anti sistem nilai dari negara-negara barat,
karena dianggapnya memiliki sifat-sifat serakah dan terlalu indendualistis. Akan
tetapi hampir tidak pernah menolak hasil teknologi baru yang diintrodusir oleh
mereka. Ini membuktikan bahwa benda-benda materiil (seperti mobil) dan
teknologi lebih mudah dicerna dan diterima dibanding dengan sistem nilai atau
sistem kepercayaan. Salah satu alasannya adalah lebih mudah bagi para petani yang
bias menggunakan kerbau atau pacul untuk mencangkul tanahnya, melihat
kenyataan bahwa traktor merupakan alat yang lebih praktis bagi pekerjaannya
sebagai petani. Sebaliknya konsep-konsep seperti demokrasi misalnya, adalah
terlalu abstrak bagi mereka dan lebih sukar melihat kegunaannya terlebih lagi
karena tidak terbiasa dalam budayanya.
Tampaknya sudah jelas sebagaimana telah sering dikatakan oleh para ahli
bahwa tingkat kemajuan teknologi yang terjadi dalam masyarakat menentukan
tingkat perubahan. sebagaimana telah dipraktekkan pula oleh para ahli bahwa
semakin banyaknya benda-benda artifek dan penemuan-penemuan baru dalam
suatu kebudayaan semakin besarlah kemungkinan-kemungkinan terjadinya
kombinasi-kombinasi baru yang dapat menghasikan penemuan-penemuan baru
yang lebih cepat pula. Sebagai contoh, sebenarnya pemecahan komponen nuclear
(nuclear fission) telah ditemukan seabad yang lampau oleh para ahli, tetapi baru
sekitar tahun 1940-an, teknologi-teknologi penunjang baru muncul yang
menghasilkan kombinasi-kombinasi baru yang memungkinkan terciptanya bom
atom pertama yang diledakkan di Hirosima (Jepang). Sekarang ini entah sudah
berapa banyak teknologi teknologi baru yang bermunculan dan entah berapa
kombinasi-kombinasi baru lagi yang memungkinkan diciptakannya bom baru, jenis
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 42
baru (Hidrogen, dll.). Tidak mustahil bahwa dalam abad teknologi tinggi seperti
sekarang ini, beratus-ratus kombinasi-kombinasi teknologi baru
bermunculan,bahkan angka/tingkat perkembangan teknologi tersebut mengikuti
deret ukur, misalnya 2, 4, 8, 16 dst. Dan tidak hanya mengikuti pelipatan deret
hitung saja, misalnya 1, 2, 3, 4, 5, dst.
Namun demikian tidak selamanya kemajuan atau perkembangan teknologi itu
akan berlanjut terus secara deret ukur, sebab sering terjadi bahwa untuk suatu abad
tertentu sebenarnya tidak terjadi perubahan teknologi yang berarti, bahkan dapat
terjadi kebalikannya, yaitu kemunduran. Sebagai contoh, bila diketemukannya
senjata nuclear adalah demi kepentingan umat manusia, maka hal tersebut pertanda
suatu kemajuan, tetapi kalau sebaliknya malah digunakan untuk menghancurkan
umat manusia, maka hal tersebut adalah suatu kemunduran.
Akhirnya perlu juga kita sadari bahwa dengan semakin bertambahnya benda-
benda materi sebagai akibat kemajuan teknologi tidak selalu harus diimbangi
dengan perubahan dalam kehidupan sosial yang non-materil. Hal ini sejalan dengan
William F Ogburn, dalam teori “Cultural Lag”-nya yang menyatakan bahwa
perubahan terjadi dalam budaya non-materil lebih lambat dibandingkan dengan
budaya materil. Sebagai contoh di dunia ini senjata nuclear telah dimiliki sejak
seperempat abad lalu, tetapi usaha kearah pengamanannya, terutama terhadap
bahaya yang ditimbulkan bob nuclear tersebut (radio aktif, dll.) belum diperhatikan.
Akan tetapi kritik terhadap teorinya Ogburn tersebut juga banyak disampaikan,
sebab banyak contoh di negara-negara berkembang memperlihatkan bahwa
perubahan non-materil jauh lebih cepat dibandingkan dengan perubahan dibidang
materil. Disamping itu juga interaksi yang saling mempengaruhi antara materil dan
non-materil juga sering berlangsung.
5. Faktor Ideologi
Dasar ideologi suatu negara yang pada umumnya terdiri dari kombinasi yang serba
komplek antara sistem nilai, tradisi dan sistem kepercayaan, juga ada dalam setiap
masyarakat.Biasanya ideologi menghendaki bertambahnya status quo, akan tetapi
dapat merangsang perubahan jika sistem nilai dan sistem kepercayaan masyarakat
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakatnya.
6. Faktor Kepemimpinan (Leadership)
Banyak terjadi bahwa perubahan sering dimulai/diprakarsai oleh pemimpin yang
mempunyai wibawa tertentu (charismatic Leadership) sebab pemimpin tipe
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 43
charismatic mampu mengumpulkan massa yang banyak. Contoh, pemimpin
charismatic dimasa lampau (Bung Karno, Hitler, dll.).
C. Tipe Perubahan Sosial Kultural
1. Penemuan Baru (discovery)
Sesuatu yang baru diketemukan, dalam arti belum diketahui sebelumnya
(meskipun sudah ada keberadaannya) disebut penemuan baru. Contoh, meskipun
dunia mengelilingi matahari, tetapi hal tersebut baru diketemukan pada beberapa
ratus tahun yang lalu, sebelum itu dunia dianggap datar. Pengaruh dari penemuan
baru adalah pengetahuan baru yang tidak pernah disadari sebelumnya.
2. Penemuan Cara Baru (Inovation)
Penemuan cara baru yang merupakan hasil kombinasi antara berbagai
elemen/faktor atau cara-cara yang telah ada sebelumnya (misalnya, melakukan
penelitian/experiment) disebut invention. Jadi dalam invention tidak ada suatu yang
sama sekali baru, sebab yang baru tercipta mungkin merupakan kreasi dari sesuatu
yang telah ada. Banyaknya invention sangat tergantung kepada landasan-landasan
kebudayaan. Semakin banyak materi ciptaan budaya yang telah ada, semakin
banyak kombinasi yang dapat tercipta. Dengan kata lain semakin maju (moderen)
suatu kebudayaan, semakin banyak kemungkinan ditemukan cara baru atau
invention. Invention dapat juga mendorong kearah penemuan baru (discovery).
Contoh, dengan diketemukannya mikroskop elektron, maka terjadi perubahan yang
cukup besar dan mendasar dalam dunia ilmu dan teori dibidang fisika dan kimia.
Invention juga sangat selektif dan mungkin tidak dapat dipergunakan dalam
masyarakat. Bayi tabung adalah merupakan invention, akan tetapi kemungkinan
besar masih belum akan diterapkan karena permintaan masyarakat akan cara baru
tersebut masih jarang.
3. Penyebaran (Diffusion)
Mengenalkan hasil budaya atau menyebarluaskan hasil-hasil budaya dari satu
masyarakat ke masyarakat lain disebut difusi. Pada umumnya proses penyebaran
budaya sangat selektif, dalam arti bahwa tidak setiap masyarakat mau menerima
atau menolak budaya yang berasal dari luar. Umumnya suatu hasil budaya luar
akan diambil/diterapkan bila terlihat ada manfaatnya. Sering terjadi bahwa proses
difusi tersebut berjalan setelah melalui modifikasi-modifikasi. Istilah “teknologi
tepat guna” adalah salah satu proses penerapan hasil budaya luar melaui modifikasi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 44
Difusi lebih banyak menimbulkan perubahan sosial budaya dibandingkan dengan
invention atau discovery.
D. Beberapa Akibat Perubahan Sosial
Jika perubahan sosial budaya terjadi, berbagai efek negatif dapat timbul.
Individu dalam masyarakat mungkin akan merasa tersisih dari pergaulan, seolah-olah
berdiri sendiri tiada yang menolong. Bahkan bila perubahannya terlalu cepat, banyak
anggota masyarakat merasa bingung dan gelisah. Meskipun ketika pertama mobil
diketemukan nampaknya sebagai suatu benda materi tanpa dosa, tetapi akibat yang
ditimbulkan terasa sangat besar dan telah merubah segi-segi kehidupan manusia yang
hakiki, seperti sistem kekeluargaan, pendidikan, pola perkawinan, dll.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 45
BAB VIKontrol Sosial (Social Control)
A. Definisi dan Pengertian Kontrol Sosial
Kontrol sosial (pengendalian sosial) adalah suatu cara atau metode yang dipakai
untuk mengatur agar setiap warga masyarakat mematuhi norma-norma sosial yang
berlaku sehingga dengan demikian terciptalah keteraturan sosial (sosial order). Dan
bilamana dalam masyarakat telah tercipta keteraturan sosial maka segala aktivitas
(kegiatan) masyarakat sehari-hari dapat berjalan dengan lancar dan efisien.
Para ahli sosiologi berpendapat bahwa didalam masyarakat manusia,
keteraturan dalam kehidupan sosial selalu dapat ditemukan dan dapat pula dipelajari.
Hal ini menurut para ahli adalah disebabkan karena manusia menciptakan aturan-aturan
sosialnya sendiri yang mereka anggap penting demi kelangsungan kehidupan mereka.
Sejak lahir di dunia, setiap anak mempelajari prilaku yang dapat diterima oleh
berbagai situasi dan juga belajar membedakan mana pola prilaku yang pantas dan tidak
pantas. Dan kontrol sosial sebenarnya adalah merupakan kelanjutan dari proses
sosialisasi. Apabila kontrol sosial dapat dijalankan secara efektif maka prilaku individu
akan menjadi lebih konsisten dengan tipe prilaku yang diharapkan.
Didalam mempelajari kontrol sosial perlu terlebih dahulu dihayati tentang
konsep “kepatuhan” (conformity). Sebab kepatuhan inilah yang sebenarnya menjadi inti
keberhasilan dari pada kontrol sosial. Tanpa kepatuhan, kehidupan sosial akan menjadi
kacau (chaos). Kalau setiap pengendara mobil atau motor tidak mematuhi tanda lampu
atau rambu-rambu yang dipasang, maka sudah dapat dipastikan bahwa akan terjadi
“chaos” dalam masyarakat itu. Namun demikian memang tidak pernah ada kepatuhan
yang bersifat absolut. Tidak semua pengendara mobil atau motor berhenti secara tiba-
tiba waktu tanda lampu merah sedang menyala. Dengan kata lain untuk setiap norma
kepatuhan tidak dapat berjalan secara sempurna, sebab setiap orang mempunyai alasan-
alasannya sendiri yang sebagian besar bersumber dan berhasil tidaknya proses
sosialisasi yang dijalankan oleh masyarakat.
B. Beberapa Cara Meningkatkan Kontrol Sosial
1. Melalui proses sosialisasi. Semakin berhasil sosialisasi dilaksanakan semakin
tinggi tingkat kepatuhan. Seperti telah kita bicarakan pada baba yang lalu bahwa
sosialisasi menumbuhkan hasrat untuk mengisi peran tertentu dan berprilaku
sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Setiap laki-laki di Indonesia
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 46
selalu ingin menjabat suatu pekerjaan tertentu baik di pemerintahan atau swasta.
Apakah sebagai manager, mandor, kepela bagian atau lainnya. Tetapi sangat
jarang sekali laki-laki yang menghendaki jabatan sebagai ibu rumah tangga.
Jadi semakin berhasil proses sosialisasi dilaksanakan semakin tinggi tingkat
kepatuhan. Apabila tingkat kepatuhan sudah tinggi maka pengendalian sosial
lebih mudah dilaksanakan.
2. Identifikasi diri terhadap suatu kelompok tertentu (reference group) juga dapat
menumbuhkan kepatuhan. Seseorang yang ingin dihargai atau dipuja atau
disanjung oleh suatu kelompok tertentu, maka ia harus mematuhi segala aturan
atau norma yang berlaku bagi kelompok itu. Sebagai contoh, apabila anda ingin
terpakai atau terpuji sebagai anggota team Wanadri maka anda harus berusaha
mematuhi segala norma atau aturan yang telah ditentukan. Seseorang yang
berprilaku menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan dalam kelompoknya
akan ditolak oleh para anggota lainnya. Keinginan atau hasrat untuk diterima
atau diakui oleh kelompoknya itulah yang merupakan mekanisme kontrol
sosial. Dan bekerjanya mekanisme tersebut umumnya lebih kuat pada
kelompok-kelompok yang lebih kecil dan tradisionil seperti keluarga, kawan
main (peer group), dll. Reaksi terhadap ketidak patuhan atas aturan main dalam
kelompok biasanya bersifat mekanis dan informal, seperti misalnya melalui
sindiran, ejekan atau semacamnya. Dalam kehidupan kelompok-kelompok suku
yang masih belum moderen lazim terjadi pengusiran dari kelompoknya. Sebagai
contoh, misalnya adalah dalam kehidupan orang Baduy dimana setiap
pelanggaran terhadap norma yang telah diterapkan akan menyebabkan anggota
yang melanggar dikeluarkan/diusir dari kelompok-kelompok baduy dalam.
Menurut cerita yang tersebar secara luas kelompok orang baduy, Panamping
misalnya, adalah kelompok dimana para anggotanya telah pernah melakukan
pelanggaran. Dalam masyarakat yang lebih komplek seperti masyarakat
moderen, kepatuhan selalu disarankan. Di Indonesia kini jiwa patriotisme mulai
ramai ditanamkan. Dalam setiap acara resmi pemerintah, tanda penghargaan
mulai dibagi-bagikan atas kepatuhan yang telah diperlihatkan baik untuk para
pejabat pemerintah aselon tinggi atau pegawai biasa. Bahkan kepada para
peserta KB lestari pemerintah juga membagi-bagikan penghargaan berupa dua
butir kitri (bibit pohon kelapa) kepada masing-masing akseptor KB lestari
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 47
sebagai tanda penghargaan pemerintah atas kepatuhan mereka dalam
melaksanakan program KB.
3. Sistem pembagian kerja yang lebih luas dalam masyarakat juga menimbulkan
suatu bentuk saling ketergantungan timbal balik antara sesama anggota
masyarakat. Dan umumnya mereka yang telah ikut serta terlibat didalamnya
enggan untuk menghindarkan diri. Di negara-negara barat yang telah maju,
sudah lazim bahwa setiap perayaan Natal dan Tahun Baru selalu terjadi saling
tukar menukar hadiah. Seseorang yang menerima hadiah dari orang lain selalu
berhasrat untuk membalas memberikan hadiah pula. Di Indonesia kini juga
mulai populer dikalangan keluarga terutama di kota besar untuk selalu hadir dan
memberikan hadiah (kado) dalam setiap undangan perayaan perkawinan atau
khitanan. Setiap keluarga merasa berkewajiban memberi hadiah (kado) tersebut.
Mereka saling terikat oleh kewajiban yang sudah mulai tumbuh sebagai norma
sosial budaya yang berlaku. Sebab pada gilirannya setiap orang juga akan
mengharapkan hal yang sama bila kelak mereka mengadakan upacara
perkawinan putra-putrinya.
4. Sanction atau sangsi (hukuman) juga dipergunakan untuk meningkatkan rasa
kepatuhan. Ada berbagai macam sangsi: yang positif atau negatif, yang formal
atau informal. Sangsi yang positif biasanya berupa hadiah (reward) atau
penghargaan atas prilaku yang sesuai dengan harapan. Bagi anaknya yang
pandai, tersedia hadiah yang baik. Sebaliknya yang negatif adalah berupa
hukuman badan atau hanya sekedar cemoohan atau sindiran-sindiran. Yang
formal biasanya telah ditetapkan oleh negara. Misalnya, bagi pencuri ayam akan
dikenakan hukuman sekian bulan. Di Saudi Arabia ada hukuman potong tangan
bagi pencuri/pencopet atau hukuman dera (pukulan dengan rotan) bagi
kejatahan atau pelanggaran tertentu. Di negara-negara yang moderen, fungsi
keluarga dan kelompok-kelompok kecil semakin pudar. Sehingga praktis
negaralah yang melaksanakan sangsi hukumannya, demi tercapainya
pengendalian sosial.
C. Reaksi terhadap Kontrol Sosial
Bilamana perubahan sosial terjadi terlalu cepat terutama perubahan-perubahan
dari masyarakat tradisionil ke masyarakat moderen sering terjadi “sosial
disorganization” (kekacauan organisasi sosial). Sebagai contoh misalnya bila terjadi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 48
konflik atau kontradiksi pada norma-norma budaya yang ada, reaksinya pada umumnya
adalah munculnya suatu keadaan dalam masyarakat dimana para anggotanya merasa
seolah-olah telah diabaikan (ditinggalkan) oleh masyarakat yang lazim disebut “the
state of anomie”. Gejalanya biasanya terlihat dari banyaknya para anggota masyarakat
yang melepaskan diri dari ikatan sistem nilai atau sistem kepercayaannya. Dalam
suasana seperti itu seseorang tidak merasakan lagi bahwa dirinya adalah merupakan
bagian dari masyarakat atau kelompok tertentu yang selalu harus mematuhi aturan-
aturan sosial tertentu. Dalam kondisi dan situasi seperti itu prilaku manusia menjadi
tidak lugu dan sering menyimpang. Akibatnya angka-angka bunuh diri, alkoholisme,
kejahatan dan sakit jiwa meningkat.
Reaksi yang agak moderat akibat situasi dan kondisi seperti itu dapat terjadi
misalnya dengan semakin meningkatnya tingkat “alienasi” yakni suatu keadaan dimana
semakin banyak para anggota masyarakat yang merasakan bahwa dirinya bukan lagi
menjadi bagian dari masyarakat (tersisihkan). Para ahli sependapat bahwa hal seperti
itu banyak terjadi di kota-kota besar yang moderen dimana sistem pembagian kerja
masyarakat (division of labour) telah terjadi semakin luas yang membawa akibat
frustasi dan perasaan putus asa (tanpa kuasa) diantara para anggota masyarakat. Akibat
dari lingkungan dan keadaan seperti itu adalah semakin berkurangnya rasa
persaudaraan yang penuh keakraban atau kalau dinyatakan dalam bahasa Sunda adalah
semakin kurangnya perasaan “silih asih, silih asuh dan silih asah”.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 49
BAB VIIPenyimpangan Sosial (Sosial Deviance)
A. Definisi dan Pengertian Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial adalah prilaku yang berbeda atau tidak sejalan dengan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Atau dapat juga dikatakan bahwa
penyimpangan sosial adalah setiap prilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri
dengan apa yang dikehendaki masyarakat atau kelopmpok tertentu dalam masyarakat.
Penyimpangan biasanya dibagi dalam berbagai kategori: agak menyimpang,
menyimpang atau menyimpamg sama sekali.
Penyimpangan adalah masalah “arah” yakni apakah arah yang disepakati atau
ke arah yang tidak disepakati oleh mayoritas manusia. Penyimpangan hendaklah jangan
selalu dipandang negatif. Banyak orang genius atau tokoh-tokoh yang dimasa hidupnya
banyak melakukan penyimpangan dari paugeran normal. Thomas Edison adalah orang
yang telah berjasa bagi masyarakat dunia. Diwaktu kecilnya ia dikenal sebagai anak
yang tidak mengetahui aturan yang ada. Raden Ajeng Kartini juga dapat kita sebut
sebagai orang yang menyimpang dari paugeran normal yang berlaku dalam masyarakat
pada waktu itu. Tetapi sekarang Raden Ajeng Kartini dianggap sebagai tokoh pembela
hak-hak azasi wanita Indonesia yang namanya selalu diperingati setiap tahun oleh
seluruh kaum wanita Indonesia. Para tokoh dunia yang memperoleh hadiah Nobel bila
kita lihat dari sudut pandangan sosiologis banyak yang tergolong
“penyimpangan/penyelewengan”.
Penyelewengan (deviation) sukar diukur dan dianalisis karena tidak ada
kesepakatan mutlak tentang norma mana yang diterapkan. Sebagai contoh, bagaimana
mengukur kejahatan? Apa didasarkan pada jumlah kejahatan yang dilaporkan? Atau
didasarkan pada jumlah penjahat yang tertangkap? Ataukah didasarkan pada banyaknya
yang tersangka?
Disamping itu juga sukar dicapai kesepakatan tentang prilaku yang bagaimana
yang diterima oleh semua pihak. Di beberapa negara barat kini kaum homosex/lesbian
sudah agak dibiarkan, padahal beberapa tahun yang lalu homoseksual/lesbian dianggap
sebagai suatu kejahatan.
Prilaku menyimpang dapat dilakukan oleh perseorangan dan kelompok (grup).
Contoh, sekelompok anak remaja yang merokok mariyuana. Dalam masyarakat
moderen, terutama di kota-kota besar banyak kelompok-kelompok sub-kultur yang
melakukan perbuatan atau prilaku yang menyimpang dan tidak dapat diterima oleh
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 50
budaya induknya (masyarakat luas). Meskipun prilaku tersebut mungkin tidak dianggap
sebagai prilaku menyimpang didalam kelompok sub-kulturnya. Kelompok teroris
menganggap bahwa membunuh atau melakukan perbuatan teror demi tujuan
kelompoknya sebagai suatu perbuatan yang tidak menyimpang. Namun demikian tidak
jarang diantara para anggota kelompok teroris sebenarnya tahu bahwa perbuatan atau
tindakannya adalah menyimpang dari paugeran normal yang berlaku dalam masyarakat
luas.
Dalam masyarakat sering terdapat individu-individu yang tidak mampu
menahan untuk melakukan perbuatan menyimpang. Seperti misalnya orang yang
dihinggapi penyakit kleptomaniac, yakni semacam penyakit yang mendorong seseorang
melakukan tindakan mencuri suatu barang tertentu, umumnya perhiasan-perhiasan,
meskipun orang tersebut sebenarnya tergolong orang kaya.
Ada dua macam penyimpangan yang lazim dibedakan, yaitu penyimpangan
kulturil dan penyimpangan psikologis. Seorang pria hippie yang berambut panjang
(seperti rambut wanita) termasuk penyimpangan kultural. Seorang yang nyentrik
termasuk penyimpangan psikologis. Juga sering dibedakan antara penyimpangan
primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer umumnya bersifat
sementara dan tidak terulang lagi. Individu yang melakukan penyimpangan primer
masih tetap dipandang orang yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Hampir semua
individu pernah melakukan penyimpangan primer, sekali atau dua kali. Misalnya
ngebut, mabuk-mabukan diwaktu pesta, memalsukan pembukuan, mengurangi
besarnya pajak, dll.
Penyimpangan sekunder adalah bentuk penyimpangan yang telah menjadi
kebiasaan, dimana setiap anggota masyarakat telah mengetahuinya. Masyarakat tidak
dapat lagi menerima atau mentolerir individu-individu semacam itu. Contoh, orang
yang setiap hari kerjanya mabuk, para pelaku kriminal, orang-orang yang telah
kecanduan morfin, dll. Prilaku penyimpang juga bervariasi antara satu masyarakat
dengan masyarakat lain atau antara satu sub-kultural dengan sub-kultur lain.
Dikalangan atas sering terdengar istilah “gentlement’s agreement” atau istilah-
istilah lain seperti “lobbying”, “pelicin”, dsb. Yang sebenarnya adalah sama dengan
prilaku menyimpang. Di negara Uncle Sam ada juga istilah “white collar crime”,
semacam bentuk pelanggaran hukumyang dilakukan oleh golongan atas. Kesemuanya
itu sukar untuk dibuktikan secara hukum sebagai suatu perbuatan menyimpang.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 51
B. Sebab-Sebab Penyimpangan
1. Penyimpangan menurut teori biologis
Barangkali teori pertama yang mencoba menjelaskan sebab-sebab prilaku
menyimpang adalah teori biologis. Teori ini mengemukakan bahwa manusia sejak lahir
telah ditentukan nasibnya, apakah akan menjadi penjahat atau akan menjadi pemimpin
“person was born criminal or born leader”. Para ilmuan yang mengikuti aliran ini
yakin bahwa penyimpangan sosial erat hubungannya dengan faktor-faktor biologis
seperti tipe tubuh, pola sel-sel tubuh, dll.
Seorang ahli ilmu kejahatan (kriminalogi) bangsa Italia yang hidup diabad 19,
Cesare Lombroso adalah tokoh yang telah mencoba menjelaskan kaitan antara prilaku
menyimpang dengan tipe tubuh seseorang. Orang yang memiliki ukuran rahang dan
tulang pipi yang panjang, mempunyai kelainan mata yang khas, mempunyai tangan-
tangan yang panjang,mempunyai jari-jari tangan dan kaki yang besar dan susunan gigi
yang abnormal, menurut Lambroso adalah tipe orang-orang jahat yang tidak segan-
segan melakukan tindak kriminal.
William Sheldon, seorang ahli antropologi fisik bangsa Amerika, mencoba
membedakan tiga macam tipe tubuh manusia: 1. Endomorph – tipe tubuh bulat dan
lembek; 2. Mesomorph – tipe tubuh berotot dan atletis; 3. Ectomorph – tipe kurus,
lemah dan penuh tulang. Dari hasil penelitian-penelitiannya ia menyimpulkan bahwa
mesomorph adalah tipe bagi orang jahat, tipe ini mempunyai ciri kepribadian untuk
berbuat sekehendak hati dan sering gelisah. Endomorph adalah tipe orang yang mudah
tersinggung dan selalu menyendiri.
Eleanor dan Sheldon Gluech dengan menggunakan tipologi yang dibuat oleh
Sheldon pernah melakukan penelitian yang mencoba membandingkan sekelompok
anak nakal dan sekelompok anak-anak tidak nakal dan menemukan bahwa sebagian
besar anak-anak tersebut adalah pemarah. Namun demikian teori-teori yang mencoba
menghubungkan antara prilaku menyimpang dengan tipe tubuh banyak diperdebatkan.
2. Penyimpangan menurut pandangan psikologis
Banyak ahli sosiologi yang melihat penyimpangan prilaku dari segi psikologis.
Mereka berpendapat bahwa prilaku penyimpangan ada hubungannya dengan retaknya
kepribadian manusia. Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna ternyata
memiliki tipe kepribadian yang beraneka ragam. Diantaranya terdapat tipe-tipe
kepribadian yang mempunyai kecenderungan melakukan penyimpangan sosial
dibandingkan dengan yang lain.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 52
Ahli ilmu jiwa terkenal, Sigmund Freud, telah membedakan kepribadian
manusia menjadi tiga bagian yakni: “id”, “ego” dan “superego”. “Id” mewakili ciri
kepribadian yang bersifat tidak sadar, mudah terpengaruh oleh kata hati (impulsif) dan
bersifat naluriah. “ego” mewakili diri (pribadi) lebih dewasa yang telah menyerap
berbagai nilai sosio-kulturil yang menyuarakan kata hati. Menurut faham Freud
(terutama para psikoanalis) prilaku menyimpang timbul manakala “id” yang terlalu
aktif dan sukar dikontrol muncul bersamaan dengan “superego” yang kurang aktif,
sedangkan “ego” yang merupakan alat pengontrol tidak dapat berfungsi dengan baik.
Sebagai contoh, misalnya kalau ada seorang yang lapar, maka “id” –nya akan
mengatakan supaya segera dipenuhi dengan cara apapun. Bila “superego” terlalu lemah
ia tidak mampu mengendalikan “id” –nya maka mungkin orang tersebut akan masuk ke
rumah orang atau restoran untuk merampas makanan yang diperlukan. Dalam hal ini
“ego” tidak mampu memperingatkan “id” sebagaimana seharusnya, demikian pula
“superego” tidak dapat memberikan isyarat bahwa prilaku itu adalah jenis prilaku yang
tidak dapat diterima.
3. Penyimpangan menurut pandangan sosiologis
Banyak pendekatan telah dilakukan oleh para ahli sosiologi dalam usaha
menerangkan prilaku menyimpang. Pendekatan pertama umumnya berpendapat bahwa
faktor “sosialisasi” memegang peranan menentukan. Seseorang yang disosialisasikan
secara kurang tepat tidak dapat menyerap norma-norma kultural dengan baik kedalam
diri pribadinya. Sebab itu ia tidak mampu membedakan mana prilaku yang pantas dan
mana yang kurang pantas. Pendapat kedua menyebutkan bahwa prilaku menyimpang
adalah prilaku yang dipelajari (learned behavior). Beberapa ahli yakin bahwa bentuk-
bentuk prilaku menyimpang merupakan warisan yang diturunkan dari satu orang ke
orang berikutnya dan proses pewarisan prilaku menyimpang tersebut melibatkan
mekanisme yang sama sebagaimana mekanisme proses pengajaran lainnya. Edwin H.
Sutherland dalam bukunya: “Principles of Criminology” (1939), juga mengatakan
lebih lanjut bahwa prilaku menyimpang disamping harus dipelajari juga sebagai akibat
interaksi sosial seseorang dengan orang lainnya. Kejadian bahwa seseorang dipengaruhi
oleh orang atau kelompok lain adalah hal yang wajar. Sutherland mengatakan bahwa
prioritas, intensitas, frekwensi dan lamanya hubungan juga sangat menentukan derajat
penyimpangan. Semakin tinggi derajat keempat faktor yang disebut di atas tentang
prilaku menyimpang semakin tinggi pula kemungkinan untuk menerapkan pola prilaku
yang sama. Sutherland juga mengatakan bahwa seseorang mungkin akan berprilaku
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 53
menyimpang kalau budaya induknya menunjang prilaku dalam usaha penyelewengan
atau pelanggaran atas hukum yang sedang berlaku. Teori ini dikenal dengan nama
“Differential Association” atau hubungan diferensial. Di Amerika Serikat ada semacam
penyimpangan yang dilakukan oleh lapisan masyarakat golongan atas yang disebut
“white collar crime”. Kejahatan tersebut biasanya melibatkan individu-individu yang
melakukan kejahatan dalam kegiatan-kegiatan pekerjaan mereka. Contohnya antara
lain, pemotongan biaya, penipuan pajak, pemasangan advertesi yang berlebihan.
Kejahatan semacam itu memerlukan teknik-teknik tertentu yang perlu dipelajari
terlebih dahulu dan umumnya dilakukan bersama-sama melalui proses interaksi.
Dengan saling tukar pengalaman dengan kawan-kawan akhirnya menjadikan kebiasaan
yang mapan didalam penyelewengan-penyelewengan baik yang dilakukan secara
tersendiri, tertentu atau secara bersama-sama.
Seorang sosiologi bangsa Perancis, Emile Durkheim, memperkenalkan konsep
“Anomie” yakni suatu situasi dalam masyarakat tanpa norma dan tanpa arah yang
tercipta akibat tidak ada keselarasan atau keharmonisan antara harapan kultural dengan
kenyataan sosial. Konsep tersebut dipakai oleh Robert K. Merton (seorang tokoh ilmu
sosiologi bagsa Amerika Serikat) untuk menerangkan sebab-sebab terjadinya
penyimpangan sosial. Merton berpendapat bahwa sebagai akibat proses sosialisasi,
individu-individu belajar mengenal tujuan-tujuan kebudayaan dan sekaligus
mempelajari cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang selaras dengan kebudayaan.
Apabila kesempatan untuk mecapai tujuan tidak ada, akan mendorong individu-
individu memilih alternatif. Dari prilaku alternatif tersebut mungkin menimbulkan
penyimpangan sosial (misalnya sebagai akibat frustasi). Merton menyebut 4 macam
prilaku menyimpang yang dapat timbul manakala kondisi sosial sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. Tipe-tipe prilaku yang dimaksud adalah1)
a. Ritualism (ritualisme)
Ritualisme artinya menerima cara-cara yang diperkenalkan secara kultural dan
menolak tujuan-tujuan lain. Dalam hal ini individu yang frustasi akan menyimpang dari
kenyataan hidup dengan melakukan hal-hal yang sifatnya lebih bersifat menutup diri. Ia
akan menjadi orang yang hemat, kerja keras, bersedia memberikan pengorbanan yang
besar.
1 Robert K.Merton, “Social Theory and Social Structure”. Glencoe, III.: Free Press,1957
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 54
b. Retreatisme (pengasingan diri)
Retreatisme terjadi manakala seseorang tidak dapat menerima tujuan-tujuan
yang telah digariskan oleh budayanya atau pun cara-cara mencapai tujuannya. Hal
tersebut mungkin disebabkan karena apa yang diharapkan sangat berbeda dengan
kenyataan. Umumnya orang yang frustasi dan memilih jalan ini akan banyak
melakukan perbuatan yang menyimpang yang tidak disetujui oleh masyarakat luas. Ia
akan mencari tempat-tempat sunyi, mungkin terlibat penggunaan narkoba, menjadi
pemabok atau yang lainnya yang berbeda dari kehidupan wajar.
c. Innovation (pembaharuan)
Inovasi terjadi manakala individu dapat menerima cara-cara pencapaian tujuan
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sekaligus menolak yang bertentangan dengan itu.
Orang yang frustasi dapat tetap melakukan pekerjaan yang sama seperti anggota
masyarakat lain, akan tetapi dengan cara lain. Kalau orang lain bekerja keras untuk
mendapat penghasilan yang cukup, termasuk untuk menabung, misalnya dengan
bekerja di perusahaan atau pemerintah, tetapi individu tersebut bekerja keras dengan
cara merampok bank atau mencuri; tujuannya sama yakni mengumpulkan penghasilan
sebanyak-banyaknya agar dapat hidup bahagia. Cara tersebut sudah tentu disertai
metode atau teknik baru yang memungkinkan. Sebab tanpa inovasi ia tak mungkin
berhasil menjadi kaya dengan satu kali pukul.
d. Rebellion (pemberontakan)
Pemberontakan terjadi manakala seseorang tidak dapat menerima sarana dan
tujuan yang dibenarkan oleh kebudayaan dan menggantikan dengan cara lain. Di
Amerika Serikat “Black Panthers” (perkumpulan orang-orang Negro) adalah kelompok
pemberontak yang berhasil menanamkan kehendaknya (yang berlawanan dengan
pemerintah) disekitar tahun 1960. DI/TII di Jawa Barat mungkin juga termasuk salah
satu kelompok pemberontak yang juga berhasil melaksanakan sebagian dari cita-cita
mereka pada sekitar tahun 1060-an juga, sebagai pernyataan/sikap menolak sarana dan
tujuan pemerintah yang syah.
C. Labelling Theory
Beckern 2), seorang sosiolog bangsa Amerika Serikat, mengemukakan suatu
teori tentang prilaku penyimpangan yang didasarkan atas label yang diberikan pada
seseorang. Hampir setiap manusia, sekali atau dua kali sudah pasti pernah melakukan
2 Howard S. Becker, “Outsiders : Studies in the Sociology of Deviance” New York: Free Press, 1963.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 55
penyimpangan. Pertanyaan yang sering dikemukakan oleh para ahli sosiologi adalah
apakah jika seseorang kebetulan secara tidak sengaja berprilaku menyimpang, apakah
ia akan selalu menyimpang terus atau tidak?
Sering terjadi bahwa nasib orang yang sedang sial atau katakan bernasib buruk
dapat berubah secara drastis. Seseorang pada suatu saat mungkin secara tidak sengaja
membunuh orang lain. Akibatnya ia dihukum, bahkan ia dianggap sebagai penjahat.
Setelah keluar dari penjara, label penjahat biasanya akan terus disandang. Mungkin
keluarganya mengucilkannya, bahkan istrinya dapat pula menceraikannya. Akhirnya ia
akan mulai didekati oleh kawan-kawan penjahat yang sebenarnya akibat label tersebut.
Perlu kita perhatikan bahwa janganlah sekali-kali kita memberikan label kepada orang
lain (terutama anak-anak) kalau ia memang tidak berhak atas label tersebut. Memberi
sebutan “nakal’ kepada seseorang anak adalah sangat berbahaya bagi perkembangan
jiwa dan perkembangan hidup anak. Apalagi sampai memberikan sebutan “gila”,
“maling”, dsb.
D. Sub-Kultur menyimpang
Sebagian besar tindak penyimpangan tidak terlepas dari konteks kelompok. Bila
seorang anggota kelompok berprilaku menyimpang dan mampu membudayakan
penyimpangan tersebut diantara kawan-kawannya, maka penyimpangan yang mereka
lakukan menjadi kebiasaan yang tetap. Sudah tentu kebiasaan tersebut berbeda dengan
kebiasaan kultur induknya. Banyak individu yang telah ditolak atau diasingkan dari
kultur induknya, mencari persahabatan pada sub-kultur yang menyimpang dengan
tujuan mencari kepuasan/kesenangan. Sekali seseorang telah memasuki pintu sub-
kultur menyimpang, selanjutnya ia harus menyesuaikan diri dengan melalui “re-
sosialisasi” sesuai dengan kebiasaan sub-kultur tersebut. Umumnya orang telah
terlanjur melepaskan diri dari ikatan benang kusut yang terjadi. Seseorang telah
ketagihan obat/narkoba, rasanya akan sukar melepaskan diri dari cengkraman tersebut.
Demikian pula seorang wanita yang telah terlanjur masuk ke lembah hitam (dunia
pelacuran) akan sukar melepaskan diri dari kehidupan tersebut.
E. Konsekwensi Prilaku Menyimpang
Umumnya bagi para penyeleweng/penyimpang yang melanggar norma dan
hukum yang berlaku akan menerima hukuman. Namun demikian banyak para ahli
kriminologi yang tidak setuju dengan bentuk-bentuk hukuman yang ada. Mereka mulai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 56
mempertanyakan apakah hukuman satu-satunya jalan untuk mengobati prilaku
menyimpang? Sebab hukum ternyata tidak memperbaiki prilaku, tetapi hanya untuk
menunjukkan bahwa norma dan hukuman harus diatasi.
Tidak semua prilaku menyimpang itu tidak berguna, meskipun dalam bentuk
perbuatan kriminal sekalipun. Dengan menjatuhkan hukuman sebagai suatu sikap untuk
menjatuhkan moral seseorang, bukan memperbaiki malahan justru dapat lebih
memperkuat “sense of solidarity” atau rasa setia kawan diantara mereka yang senasib.
Sehingga semakin jelas garis pemisah antara si jahat dan si alim.
Sering terjadi bahwa prilaku menyimpang justru menumbuhkan toleransi atas
norma-norma yang berlaku. Di jaman kolonial para perintis kemerdekaan sering masuk
penjara, karena mengkritik pemerintah Belanda. Tetapi lambat laun rasa hormat dan
penghargaan mulai tumbuh, sehingga penjara tidak lagi merupakan cara yang efektif
untuk menghilangkan prilaku menyimpang. Dan pada akhirnya pemerintah Belanda
menyediakan tempat bersuara di Valkskraat (semacam DPR) bagi beberapa orang
Indonesia> Prilaku menyimpang sering bermanfaat sebagai sarana penyaluran
kebosanan dan kesalahan setelah lama hidup di masyarakat yang terlalu ketat dengan
berbagai aturannya
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 57
BAB IXKelas Kelas Sosial
A. Definisi dan Karakteristik Pelapisan Sosial
Pelapisan sosial (stratifikasi sosial) adalah perbedaan-perbedaan yang terjadi
dalam kelompok-kelompok masyarakat suatu populasi yang sama dalam hal prestise,
kegiatan, kekayaan pribadi dan etika pergaulan. Berbagai studi sosial yang pernah
dilaksanakan di negara-negara maju telah sampai kepada suatu kesimpulan bahwa
social inequality (perbedaan sosial) selalu terjadi pada masyarakat moderen. Dengan
kata lain perbedaan-perbedaan dalam prikehidupan sosial masyarakat baik dalam
bentuk “life chance” (kesempatan hidup) atau dalam bentuk “style of living” atau gaya
hidup adalah tidak mungkin dihindari. Dalam setiap kota-kota besar selalu terdapat satu
atau beberapa bagian kota yang dihuni orang-orang miskin dan melarat. Di kota-kota
besar di Amerika Serikat selalu ada bagian termiskin yang dijuluki “Chetto” (daerah
bagian kota yang dihuni oleh orang-orang negro miskin).
Masalah tentang ketidaksamaan atau masalah stratifikasi bukan semata-mata
membicarakan tentang ada tidaknya dalam suatu masyarakat, akan tetapi lebih
menekankan pada distribusi benda-benda atau lainnya yang tidak merata. Stratifikasi
adalah tidak sama dengan differensiasi. Sebab differensiasi hanya menyangkut
perbedaan kategori dari suatu populasi yang pada umumnya didasarkan atas umur atau
jenis kelamin dan tidak menjelaskan tentang tingkatan atau derajat. Jadi mungkin
terjadi differensiasi dalam suatu masyarakat tanpa stratifikasi, akan tetapi tidak
mungkin jika sebaliknya yang terjadi.
B. Keanekaragaman Stratifikasi
Sistem stratifikasi tidak selamanya kaku, sebab dalam jangka lama ia berubah,
meskipun di negara-negara seperti India sekalipun. Stratifikasi pada umumnya berbeda-
beda antara satu masyarakat atau negara dengan masyarakat atau negara lain. Meskipun
Uni Soviet dikenal sebagai negara yang tidak mengenal kelas (classless) akan tetapi
terdapat katidaksamaan dalam kekuasaan yang sudah tentu berikut berbagai privilage-
nya. Di Amerika Serikat pendapatan dipergunakan sebagai sarana untuk mengelompok-
ngelompokkan para anggota masyarakat berdasarkan rangking sosialnya. Namun
demikian selalu terdapat kerelasi antara kekuasaan dengan pendapatan sehingga kedua
konsep tersebut sebenarnya tidak berbeda secara exclusive. Menurut Max Weber ada
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 58
tiga aspek dikalangan masyarakat yang selalu terbagi secara tidak merata, yakni kelas,
status dan kekuasaan.
Ada dua teori stratifikasi yang sering dikemukakan oleh para ahli yakni:
Functional Theory yang dikemukakan oleh Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore,
yang menegaskan bahwa setiap masyarakat perlu memenuhi keperluan-keperluan
pokok tertentu agar dapat hidup terus, misalnya masyarakat harus memiliki guru-guru,
ulama-ulama, dll. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut masyarakat menyediakan
sejumlah reward (penghargaan) untuk merangsang para anggotanya agar masuk
keberbagai jenjang okupasi. Karena beberapa posisi dalam masyarakat adalah lebih
penting dibanding dengan posisi-posisi lainnya, maka sebagian besar dari penghargaan
itu akan menarik bagi orang-orang yang mempunyai kompetensi atau kemampuan dan
oleh karena itu terjadi inequality (perbedaan) didalam distribusi benda-benda (di
Amerika Serikat, presiden mendapat gaji tertinggi dibanding dengan senator, karena
presiden lebih penting didalam menjaga berfungsinya negara secara terus menerus).
Teori ini banyak dikritik karena lebih konservative dan lebih berorientasi untuk
mempertahankan diri dengan keadaan yang telah ada (status-quo oriented).
Teori yang bertentangan dengan teori fungsional adalah Conflict Theory atau
teori konflik yang mengemukakan bahwa masyarakat adalah sebagai arena bagi
golongan yang saling berkompetisi untuk mendapatkan benda-benda yang langka. Karl
Marx didalam bukunya “Communist Manifesto” secara tegas mengatakan bahwa
dengan terjadinya konflik antara pemilik peralatan produksi dengan buruh (proletariat),
maka golongan yang kuat akan berkuasa sampai pada satu titik dimana kaum proletar
(buruh) pada akhirnya akan menang didalam persaingan mereka sehingga alat-alat
produksi akan beralih ketangan golongan buruh.
Dalam masa beberapa dasawarsa terakhir telah muncul teori baru yang
menerapkan kombinasi antara teori fungsional dengan teori konflik, yakni teori yang
dikembangkan oleh Gerhard Lenski didalam bukunya “Power and Privilage” (1966).
Lenski merasa bahwa orang-orang akan megalokasikan sumber-sumber yang langka
secara adil/merata untuk menjamin kelangsungan kehidupan yang terus menerus. Akan
tetapi jika terjadi surplus, maka orang-orang yang paling kuat akan lebih memiliki
keuntungan; semakin besar surplus semakin tidak adil distribusi yang didasarkan pada
kekuasaan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 59
Terdapat berbagai konsep yang digunakan dalam ilmu sosiologi untuk
menggambarkan stratifikasi, masing-masing menekankan pada atribut-atribut yang
sedikit berbeda, antara lain adalah:
a. Kasta ( caste ) menjelaskan satu sistem stratifikasi kaku dan tidak fleksibel yang
membagi individu-individu kedalam lapisan/tingkatan dimana mereka tidak
mungkin berpindah dari satu lapisan ke lapisan lain. Tiap kasta biasanya
mendominasi satu pekerjaan. Kasta yang besar dikenal (di India) adalah Brahmana
(pendeta), Ksatria (pahlawan), Waisa (pedagang) dan Sudra (pekerja).
b. Estate yakni bentuk stratifikasi yang lebih luwes dibanding dengan kasta dimana
mobilitas dari satu lapisan/tingkatan ke lapisan/tingkatan yang lebih tinggi masih
dimungkinkan. Estate terjadi di Eropa dan dibeberapa negara lain yang mengalami
feodalisme. Pada lapisan teratas adalah golongan pemilik tanah dan pendeta,
sedangkan pada lapisan bawah adalah petani dan para pembantu (serfs-mirip budak
belian). Estate mulai menghilang sejak revolusi industri dimana terdapat bentuk
kepemilikan lain selain tanah. Menurut Geertz3) seorang ahli antropologi bangsa
Amerika, di pulau Jawa juga terdapat satu bentuk stratifikasi yang mirip dengan
estate. Ia membagi individu kedalam tiga lapisan yang disebut: (1) Priyayi, yakni
tingkatan teratas yang umumnya masih mempunyai kaitan dengan darah biru dan
golongan tuan tanah. (2) Kiyai, yakni golongan ulama dan kaum beragama yang
taat; (3) Abangan, yakni golongan miskin (kebanyakan) terdaftar sebagai umat
Islam, tetapi tidak menjalankan beberapa rukun Islam, terutama shalat atau puasa
dibulan Ramadhan.
c. Sistem kelas, adalah bentuk stratifikasi/pelapisan atau tingkatan yang didasarkan
pada keadaan sosial ekonomi seseorang yang ditandai oleh besarnya income
(pendapatan) sebagai suatu bentuk penghargaan tertinggi atas pekerjaan atau
okupasi yang diduduki berdasarkan sistem pembagian kerja (division of labour)
yang berlaku. Faktor-faktor agama, adat/tradisi atau hukuman tidak dapat
memisahkan secara tegas batas-batas antara satu kelas dengan kelas lainnya. Oleh
karena itu masih dapat kita lihat mobilitas maupun perkawinan campur antara satu
kelas dengan kelas lainnya.
d. Sistem status, status menurut Max Weber, adalah satu bentuk pelapisan dalam
masyarakat yang didasarkan atas penghormatan. Bagi sekelompok individu yang
mendapat kehormatan untuk menduduki suatu kelompok tertentu, umumnya
3 Clifford Geertz, Agriculture Involution, california : University of California Press, 1974.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 60
memiliki prestise yang sama. Mereka mempunyai gaya hidup yang sama, misalnya
berpakaian dengan model dan cara tertentu, makan jenis makanan yang sama,
menggunakan gaya bahasa sama dan harus mencapai pendidikan tertentu.
Meskipun okupasi merupakan ciri dari pada status, tetapi banyak faktor lain yang
menentukan suatu status.
C. Metode-Metode Penelitian Stratifikasi
Ada 3 (tiga) metode yang banyak dipakai dalam penelitian tentang kelas-kelas
sosial dalam masyarakat, yakni: reputasional, subyektif dan obyektif.
1. Metode Reputasional ( Reputational Method )
Metode ini dipakai oleh para peneliti dengan jalan menanyakan kedalam kelas
mana seseorang seharusnya dikelompokkan. Dalam masyarakat kecil dimana para
individu didalamnya saling mengenal dengan baik, metode ini sangat berguna.
Sebaliknya untuk penelitian stratifikasi di daerah perkotaan metode ini kurang
berguna, karena para individu di daerah-daerah perkotaan umumnya tidak saling
kenal satu sama lain.
2. Metode Subyektif ( Subjective Method )
Metode ini menggunakan pendekatan klasifikasi sendiri. Individu-individu diminta
untuk menempatkan dirinya kedalam kelas-kelas tertentu yang mereka anggap
paling cocok. Kelemahan metode ini adalah pada susunan kalimat/kata-kata untuk
alternatif pilihan lainnya. Contoh, kalau individu yang ditanya dihadapkan pada 3
alternatif pilihan: kelas atas, kelas menengah dan kelas miskin, umumnya mereka
memilih yang tengah. Bila demikian mungkin akan ada anggapan bahwa
kebanyakan responden adalah golongan menengah, padahal belum tentu demikian.
Metode ini sangat baik jika dipergunakan untuk penelitian kelas-kelas sosial di
daerah dimana penduduknya heterogen dan jumlahnya banyak.
3. Metode Obyektif ( Objective Method )
Didalam metode ini sang peneliti biasanya menggunakan metode sembarang saja,
yang penting ia mempunyai keyakinan bahwa dengan caranya sendiri itu ia dapat
mengelompokkan individu-individu kedalam kelas yang telah ditentukannya yang
mungkin didasarkan pada skala ukuran tertentu sesuai dengan kelas-kelas yang ada
dalam kenyataan. Metode ini banyak digunakan di negara-negara yang sudah maju,
seperti Amerika Serikat.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 61
D. Kelas-Kelas Dalam Masyarakat Amerika Serikat
Para ahli di Amerika Serikat nampaknya telah setuju bahwa kelas-kelas disana
terdiri dari :
1. Kelas Atas ( Upper Class ) , yang ditandai oleh akumulasi kekayaan yang berpengaruh
baik dimasyarakat umum atau pada lingkungan terbatas (dikalangan usahawan,
dll.), jumlahnya sedikit, penghasilan tinggi, tingkat pendidikan tinggi dan
kekeluargaan yang stabil,
2. Kelas Menengah ( Middle Class ) , kelas menengah tumbuh sebagai akibat
berkembangnya industri-industri di Amerika Serikat. Sebab dengan pertumbuhan
industri diperlukan tenaga cakap dibidang managerial dan personal. Dan hal
tersebut sudah tentu menimbulkan pula semakin banyaknya jumlah keanggotaan
golongan menengah tersebut. Kelas menengah biasanya terbagi kedalam kelas
menengah atas (Upper-Middle Class) dan kelas menengah bawah (Lower-Middle
Class). Ciri-ciri Upper-Middle Class adalah penghasilan tinggi, tingkat pendidikan
tinggi, tingkat pengangguran rendah, sangat mementingkan tabungan dan masa
depan. Kelas menengah bawah umumnya terdiri dari pegawai kantor (selalu
berdasi) sering disebut “white collar”, pengusaha kecil, perwakilan penjualan, guru,
dll. Kelas ini hampir memiliki ciri-ciri Upper-Middle Class. Penghasilan tergolong
sedang (moderat), mementingkan tabungan dan masa depan, tingkat pendidikan
agak diatas SLA.
3. Kelas Pekerja ( Working Class )
Kelas ini umumnya terdiri dari pegawai/karyawan pabrik, sering disebut “blue
collar”, termasuk semi-skilled workers atau pegawai setengah ahli. Berpenghasilan
agak rendah, tidak dapat mengumpulkan tabungan, bagi mereka masa sekarang
yang lebih penting, berpendidikan rendah, umumnya banyak hutang (menggunakan
banyak kredit).
4. Kelas Bawah ( Lower Class )
Kelas ini merupakan lapisan terbawah dalam masyarakat USA. Kebanyakan para
penganggur yang hidup atas bantuan pemerintah melalui dana sosial yang disebut
social-securuty. Kebanyakan berpendidikan rendah bahkan banyak yang buta huruf.
Anggota kelas bawah ini, jika bekerja penghasilannya rendah yang tidak dapat
melampaui garis kemiskinan (poverty level). Tidak punya tabungan, umumnya
kondisi kesehatannya buruk.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 62
CACATAN TAMBAHAN
1. Sosiologi bagian dari mata pelajaran Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar
Pengetahuan sosial merupakan seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan
generalisasi yang berkaitan dengan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun
dirinya, masyarakatnya, bangsanya. Dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman
masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan diantisipasi untuk masa yang akan
datang (Fajar A., 2004).
Tujuan mata pelajaran sosiologi itu sendiri adalah untuk mengupayakan :
a. Pengembangan pengetahuan dasar kesosiologian;
b. Pengembangan kemampuan berfikir, inkuiri, pemecahan masalah,
dan keterampilan sosial;
c. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan;
d. Peningkatan kemampuan berkompetensi dan bekerja sama dalam masyarakat
yang majemuk, baik dalam sekala nasional maupun sekala internasional.
2. Fungsi dan tujuan pengajaran sosiologi di Sekolah Dasar
Mata pelajaran sosiologi di Sekolah Dasar sebagai bagian dari pengetahuan
sosial memiliki fungsi untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan
keterampilan sosial dan kewarganegaraan peserta didik agar dapat direfleksikan dalam
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara (Fajar A., 2004). Sedangkan tujuannya
mencakup dua sasaran, yaitu bersifat kognitif dan praktis. Secara kognitif pengajaran
sosiologi dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dasar sosiologi sehingga siswa
mampu memahami dan menelaah secara rasional komponen-komponen dari individu,
kebudayaan dan masyarakat sebagai suatu sistem. Sementara sasaran yang bersifat
praktis dimaksudkan untuk mengembangkan keterampilan sikap dan perilaku siswa
yang rasional dan kritis dalam menghadapi kemajemukan masyarakat, kebudayaan,
situasi sosial serta berbagai masalah sosial yang ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari. Sehingga sebagai ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan sosial masyarakat
dan aspek-aspeknya, sosiologi sangat diperlukan sesuai dengan GBPP berdasarkan
Kepmen Dikbud No. 0611U/93 tanggal 25 Februari 1993. Dengan demikian pengajaran
sosiologi memberikan pengalaman dan kesempatan kepada siswa untuk mengkaji,
menganalisis, dan membandingkan secara kritis tentang keanekaragaman budaya dalam
kaitannya dengan proses pengembangan identitas diri, kelompok, dan masyarakat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 63
Indonesia (Saripudin, 1999). Dalam kaitan ini, siswa perlu dibekali dengan perspektif
kebangsaan yang bertolak dari budaya masing-masing. Perspektif yang demikian
diperlukan dalam rangka membangun sikap saling menghargai antara seorang dengan
orang lain, atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Sehubungan dengan
hal tersebut, ada beberapa pertanyaan mendasar yang diharapkan dapat dijawab oleh
siswa belajar sosiologi, yaitu
Bagaimana manusia mempelajari dan mewarisi tradisi budaya sendiri?
Mengapa suatu kelompok masyarakat mempunyai pola perilaku seperti yang
terlihat oleh kita?
Mengapa cara manusia memenuhi kebutuhan hidup bervariasi sesuai dengan
lingkungannya?
Apa peran pranata sosiokultural dalam kehidupan masyarakat? Bagaimana
individu-individu dipengaruhi oleh pranata sosiokultural?
Bagaimana kita menghadapi berbagai perubahan budaya yang disebabkan oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi?
3. Pendekatan Pembelajaran dan Penilaian Sosiologi di Sekolah Dasar
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran sosiologi adalah pendekatan
pembelajaran aktif yang dikombinasikan dengan pendekatan lingkungan meluas atau
expanding environment approach (Saripudin: 1989) dengan model pembelajaran
konstruktivisme yaitu memfungsikan guru, siswa dan sarana belajar secara sinergi,
dengan memperhatikan: (1) keseimbangan antara kognisi, keterampilan, afektif dan
keseimbangan antara deduktif dan induktif, (2) penyajian materi menggunakan ilustrasi
dan pemberian tugas secara aktif, (3) proses pembelajaran dilakukan dengan upaya
memfasilitasi tumbuhnya dinamika kelompok di dalam kelas, sehingga terwujud siswa
yang mandiri dalam belajar. Pendekatan belajar aktif dengan menggunakan model
pembelajaran konstruktivisme memiliki ciri (Porter B.& Hernacki M., 1999).
a. Pusat kegiatan belajar mengajar adalah siswa yang aktif
b. Pembelajaran dimulai dengan hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.
c. Guru harus segera mengenali materi dan metode pembelajaran yang
membuat siswa bosan.
Sesuai dengan karakteristik mata pelajaran sosiologi, strategi pembelajaran yang
diharapkan adalah pembelajaran yang terpusat pada siswa dengan pendekatan belajar
aktif, yaitu siswa menjadi pusat kegiatan belajar mengajar. Siswa dirangsang untuk
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 64
bertanya dan mencari pemecahan masalah serta didorong untuk menafsirkan informasi
yang diberikan oleh guru, sampai informasi tersebut dapat diterima oleh akal sehat.
4. Pengertian dan Pengorganisasian Materi Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok (Raucek dan Warren). Sejumlah rangkaian atau sistem yang dapat
menyebabkan kelompok berstruktur, yaitu
a. Adanya sistem dari status-status para anggotanya.
b. Berlakunya nilai-nilai, norma-norma (kebudayaan) dalam
mempertahankan kehidupan kelompoknya.
c. Terdapat peranan-peranan, proses, dan pranata sosial (Abdul
Syani : 1994)
Sebagai ilmu, maka sosiologi merupakan kumpulan pengetahuan tentang
masyarakat dan kebudayaan yang disusun secara sistematis berdasarkan analisis
berpikir logis. Berdasarkan rumpun sosial, ilmu sosiologi memiliki kompetensi: (1)
menganalisis masyarakat sebagai sistem sosial, (2) memahami proses kejadian,
interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam kehidupan di muka bumi dalam
dimensi ruang dan waktu, (3) menerapkan perilaku yang rasional dalam pemanfaatan
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup, (4) menerapkan siklus akuntansi dalam
pengelolaan keuangan, (5) menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam
kehidupan bermasyarakat (6) merekonstruksi masa lampau, memaknai masa kini, dan
memprediksi masa depan, (7) beradaptasi terhadap proses perkembangan dan
perubahan masyarakat menghadapi tantangan global.
Dengan demikian pengorganisasian materi pengajaran sosiologi berdasarkan
rumpun ilmu sosial, mencakup :
a. Sistem sosial; merupakan bahan kajian untuk memahami masyarakat sebagai
sistem sosial
b. Kebudayaan; merupakan bahan kajian untuk mengembangkan sikap
menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Perubahan masyarakat; merupakan bahan kajian untuk menentukan sikap
dan mengambil keputusan dalam beradaptasi terhadap perubahan masyarakat
dalam menghadapi tantangan global. Keterampilan sosial; merupakan sarana
dalam melakukan analisis bahan kajian yang difokuskan pada pemecahan
masalah (Saripudin : 1989)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 65
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan belajar kontekstual untuk
mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, sikap, dan keterampilan sosial.
Pendekatan tersebut diwujudkan antara lain melalui penggunaan metode 1) inkuiri, 2)
eksploratif, 3) pemecahan masalah. Metode-metode pembelajaran tersebut dapat
dilaksanakan secara bervariasi di dalam atau di luar kelas dengan memperhatikan
ketersediaan sumber-sumber belajar.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 66
DAFTAR PUSTAKA
Allport, Gordon W., "The Problem of Prejudice", Racial and Ethnic Relations -
Selected Readings, Bernard E.Segal (ed.), New York, Thomas Y.Crowell
Company, 1954, Hlm.5-53.
Bierstedt, Robert; The Social Order, (3rd ed.) Mc Graw-Hill, New York 1968;
Broom, Leonard, and Phillip Selznick; Sociology : A text with Adapted Readings. (4th
ed.) Harper & Row. New York 1968;
Chinoy, Ely; Society : An Introduction to Sociology. (2nd ed). Random House. New
York 1967;
Cuber, John F.; Sociology : A Synopsis of Principles, (6th ed.). Appleton-Century-
Crofts. New York 1968;
Dressler, David; Sociology: The Study of Human Interaction. Alfred A. Knopf. New
York 1968;
Geertz, Clifford, "The Inrtegrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil Politics
in the New States", Old Societies and New States, C.Geertz (ed.), New
York, The Free Press, 1965, Hlm.105-107.
Gordon, Milton M., Assimilation in American Life, Oxford University Press, New
York, 1964.
Green, Arnold W.; Sosiology : An Analysis of Life in Modern Society. (5th ed). Mc
Graw- Hill. New York. 1968;
Horton, Paul B., and Chester L. Hunt.: Sociology (2nd ed.) Mc Graw-Hill. New York
1968;
Koentjaraningrat (ed.), Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi
Terapan, LP3ES, Jakarta, 1982.
Linton, Ralp (ed.), The Science of Man in the World Crisis, New York, Columbia
University Press, 1945.
Lowry, Ritchie P., and Robert P. Rankin : Sociology : The Science of Society. Charles
Scribner’s Sons. New York. 1969;
Lundberg, George A., and Clarence C. Schrag, Otto N. Larsen, William R. Catton, Jr :
Sociology (4th ed.) Harper & Row. New York. 1968;
Martin, James G and Clyde W.Franklin, Minority Group Relations, Charles E. Merrill
Publishing Company, Ohio, 1973.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 67
Mc Kee, James B. : Introduction to Sociology, Holt, Rinehart, and Winston. New York
1969;
Merrill, Francis E. : Society and Culture : An Introduction to Sociology. (4th ed.)
PrenticeHaal. Englewood Cliffs, New York. 1969;
Phillips, Bernard S.: Sociology : Social Structure and Change. Collier-Macmillan,
London. 1969.
Wirth, Louis, "The Problem of Minority Groups", The Science of Man in the World
Crisis, R.Linton (ed.), New York, Columbia University Press, 1945,
Hlm.347-372.
http://www.riauposonline.com/site/index2.php?option=content&task=view&id=988
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 68