bab ii 1. pengertian pemimpin leader memiliki berbagai...

41
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Kepemimpinan 1. Pengertian Pemimpin Perkataan pemimpin atau leader memiliki berbagai pengertian. Pemimpin merupakan dampak interaktif dari faktor individu atau pribadi dengan faktor situasi. Fairchild dalam Kartono (2009: 38-39) menyatakan bahwa pemimpin dalam pengertian luas adalah seorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan, mengorganisasi, mengontrol usaha/upaya orang lain, melalui prestise, kekuasaan atau posisi, sedangkan pemimpin dalam arti terbatas ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan akseptansi/penerimaan secara sukarela oleh para pengikutnya. Pemimpin dapat diibaratkan seperti kompas, di mana ia dapat menjadi penuntun disaat kehilangan arah. Dengan menggunakannya maka akan mendapatkan arah yang benar menuju jalan ke luar terhadap suatu permasalahan. Selain itu, pemimpin harus memiliki kemampuan yang menjadikannya istimewa dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga ia dapat diterima secara baik oleh pengikutnya. Pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

Upload: truongkiet

Post on 05-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Kepemimpinan

1. Pengertian Pemimpin

Perkataan pemimpin atau leader memiliki berbagai pengertian.

Pemimpin merupakan dampak interaktif dari faktor individu atau pribadi

dengan faktor situasi. Fairchild dalam Kartono (2009: 38-39) menyatakan

bahwa pemimpin dalam pengertian luas adalah seorang yang memimpin

dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur,

mengarahkan, mengorganisasi, mengontrol usaha/upaya orang lain,

melalui prestise, kekuasaan atau posisi, sedangkan pemimpin dalam arti

terbatas ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan

kualitas-kualitas persuasifnya, dan akseptansi/penerimaan secara

sukarela oleh para pengikutnya.

Pemimpin dapat diibaratkan seperti kompas, di mana ia dapat

menjadi penuntun disaat kehilangan arah. Dengan menggunakannya

maka akan mendapatkan arah yang benar menuju jalan ke luar terhadap

suatu permasalahan. Selain itu, pemimpin harus memiliki kemampuan

yang menjadikannya istimewa dibandingkan dengan yang lainnya,

sehingga ia dapat diterima secara baik oleh pengikutnya. Pemimpin dapat

menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda

untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

13

Selanjutnya, Allee dalam Kartono (2009: 39) menyatakan

“Leader… a guide; a conductor; a commander” (pemimpin itu adalah

pemandu, penunjuk, penuntun, dan komandan). Begitu pula, Kartono

(2009: 38) mengatakan bahwa pemimpin adalah seorang pribadi yang

memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan

di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk

bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian

satu atau beberapa tujuan.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Fairchild, Allee, dan

Kartono, maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah sosok yang

memiliki kemampuan untuk menjadi teladan dan panutan sehingga orang

lain dibawahnya dapat mengikutinya.

Pada dasarnya, aktivitas yang “dipimpin” dan yang “memimpin”

itu merupakan dua hal yang berbeda, namun kedua hal tersebut perlu

dipelajari bersama-sama agar pemimpin dapat menjadi penuntun yang

baik, sehingga para pengikut pun bisa menjadi pihak terpimpin yang baik

pula. Dalam kehidupan, dikenal beberapa jenis pemimpin di antaranya

pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal menurut

Kartono (2009: 9-10) ialah orang yang oleh organisasi/lembaga tertentu

ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan

resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan

segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai

sasaran organisasi.

14

Pemimpin formal menurut Kartono (2009: 10) memiliki beberapa

ciri antara lain sebagai berikut.

a. Berstatus sebagai pemimpin formal selama masa jabatan tertentu, atas dasar legalitas formal oleh penunjukan pihak yang berwenang (ada legitimitas).

b. Sebelum pengangkatannya, dia harus memenuhi beberapa persyaratan formal terlebih dahulu.

c. Ia diberi dukungan oleh organisasi formal untuk menjalankan tugas kewajibannya. Karena itu dia selalu memiliki atasan/superiors.

d. Dia mendapatkan balas jasa materiil dan immateriil tertentu, serta emolumen (keuntungan ekstra, penghasilan sampingan) lainnya.

e. Dia bisa mencapai promosi atau kenaikan pangkat formal, dan dapat dimutasikan.

f. Apabila dia melakukan kesalahan-kesalahan, dia akan dikenai sanksi dan hukuman.

g. Selama menjabat kepemimpinan, dia diberi kekuasaan dan wewenang, antara lain untuk menentukan policy, memberikan motivasi kerja kepada bawahan, menggariskan pedoman dan petunjuk, mengalokasikan jabatan dan penempatan bawahannya, melakukan komunikasi, mengadakan supervisi dan kontrol, menetapkan sasaran organisasi, dan mengambil keputusan-keputusan penting lainnya. Sementara itu, pemimpin informal menurut Kartono (2009: 10-11)

ialah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai

pemimpin. Namun, karena pemimpin informal memiliki sejumlah

kualitas unggul, pemimpin informal mencapai kedudukan sebagai orang

yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok

atau masyarakat. Ia menambahkan ciri pemimpin informal, yaitu sebagai

berikut.

a. Tidak memiliki penunjukan formal atau legitimitas sebagai pemimpin.

b. Kelompok rakyat atau masyarakat menunjuk dirinya, dan mengakuinya sebagai pemimpin. Status kepemimpinannya berlangsung selama kelompok yang bersangkutan masih mau mengakui dan menerima pribadinya.

15

c. Dia tidak mendapatkan dukungan dari suatu organisasi formal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.

d. Biasanya tidak mendapatkan imbalan jasa, atau imbalan jasa itu diberikan secara sukarela.

e. Tidak dapat dimutasikan, tidak pernah mencapai promosi, dan tidak memiliki atasan. Dia tidak perlu memenuhi persyaratan formal tertentu.

f. Apabila dia melakukan kesalahan, dia tidak dapat dihukum; hanya saja respek orang terhadap dirinya jadi berkurang, pribadinya tidak diakui, atau dia ditinggalkan oleh massanya.

Dengan demikian merujuk pada ciri pemimpin yang diungkapkan

oleh Kartono, pemimpin dalam sebuah partai politik merupakan

pemimpin formal karena dalam prosesnya pemimpin formal harus

memenuhi persyaratan formal yang telah ditentukan dan dalam

melaksanakan tugas serta fungsinya pemimpin formal terpaku pada

peraturan yang ada dalam sebuah organisasi sehingga pemimpin formal

tidak bisa semena-mena terhadap anggotanya juga terhadap segala hal

yang akan pemimpin formal kerjakan.

2. Teori-Teori Kepemimpinan

Adapun teori kepemimpinan menurut Kartono (2009: 3) adalah

sebagai berikut.

a. Suatu penggeneralisasian dari suatu seri fakta mengenai sifat-sifat dasar dan perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinan.

b. Dengan menekankan latar belakang historis, dan sebab musabab timbulnya kepemimpinan serta persyaratan untuk menjadi pemimpin.

c. Sifat-sifat yang diperlukan oleh seorang pemimpin, tugas-tugas pokok dan fungsinya, serta etika profesi yang perlu dipakai oleh pemimpin.

Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain,

bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku

16

bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus

dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan

organisasi atau kelompok. Oleh karena itu, memilih seorang pemimpin

harus mempertimbangkan banyak hal di antaranya adalah track record,

sifat, perilaku yang baik serta mempertimbangkan apakah seseorang

tersebut mampu menjalangkan fungsi dan tugasnya sebagai seorang

pemimpin dengan baik.

Seorang pemimpin tidaklah mungkin muncul secara tiba-tiba.

Untuk menjadi seorang pemimpin, ia harus melalui proses dan terdapat

banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya seorang pemimpin. Hal

tersebut didukung oleh tiga teori yang yang diungkapkan oleh Kartono

(2009: 33-34) dalam menjelaskan kemunculan pemimpin sebagai berikut.

a. Teori genetis menyatakan sebagai berikut. 1) Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh

bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya. 2) Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi-kondisi

yang bagaimanapun juga, yang khusus. 3) Secara filosofi, teori tersebut menganut pandangan

deterministis. b. Teori sosial (lawan teori genetis) menyatakan sebagai berikut.

1) Pemimpin harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja.

2) Setiap orang bisa menjadi pemimpin, melalui usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri.

c. Teori ekologis atau sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu), menyatakan bahwa seorang akan sukses menjadi pimpinan, bila sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat sikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan ekologisnya. Sementara itu, Terry dalam Kartono (2009: 71-80) mengemukakan

sejumlah teori kepemimpinan, sebagai berikut.

17

Tabel 2.1. Teori Kepemimpinan

No Teori Gagasan Pokok 1. Teori Otokratis Kepemimpinan didasarkan atas perintah,

paksaan, dan tindakan arbitrer. 2. Teori Psikologis Pemimpin harus mampu memunculkan dan

mengembangkan motivasi. 3. Teori Sosiologis Pemimpin berusaha melancarkan antar-relasi

dalam organisasi. 4. Teori Suportif Pengikut berusaha dan bekerja dengan baik,

pemimpin sebagai pembimbing. 5. Teori Laissez

Faire Pemimpin dan anggota menunjukkan sikap acuh sehingga kelompok menjadi tidak berimbang dan tidak terkontrol.

6. Teori Kelakuan Pribadi

Pemimpin terpilih berdasarkan kualitas pribadi atau pola kelakuan pemimpinnya.

7. Teori Sifat Orang-orang Besar (Traits of Great Men)

Pemimpin memiliki intelegensi tinggi, inisiatif, energik, kepercayaan diri, kedewasaan emosional, memiliki daya persuasif dan komunikatif.

8. Teori Situasi Pemimpin harus mampu menyelesaikan masalah aktual

9. Teori Humanistik/ Populastik

Pemimpin merealisir kebebasan dan memenuhi kebutuhan insani melalui interaksi pemimpin dengan rakyat.

Sumber: Kartini Kartono (dalam buku Pemimpin dan Kepemimpinan; Apakah Kepemimpinan Abnormal itu?)

Setiap teori memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-

masing dalam setiap penerapannya. Seperti teori sosiologis yang

tercantum diatas pada penerapannya menghendaki adanya kerja sama

antara pemimpin dengan yang dipimpinnya karena kerja sama dalam

sebuah organisasi sangat dibutuhkan agar yang menjadi tujuan bersama

dapat tercapai. Berbanding terbalik dengan teori laissez faire di mana

dalam teori ini sama sekali tidak tercipta kerja sama antara pemimpin

dengan yang dipimpinnya sehingga teori tersebut tidak baik untuk

diterapkan dalam sebuah organisasi.

18

Seorang pemimpin harus memiliki keunggulan dalam

kepemimpinannya. Seperti yang diungkapkan Tead dalam Kartono

(2009: 44-47) yang mengemukakan sepuluh sifat seorang pemimpin

sebagai berikut.

a. Energi jasmaniah dan mental (physical and nervous energy). b. Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction). c. Antusiasme (enthusiasm; semangat, kegairahan, kegembiraan yang

besar). d. Keramahan dan kecintaan (friendliness and affection). e. Integritas (integrity; keutuhan, kejujuran, ketulusan hati). f. Penguasaan teknis (technical mastery). g. Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisiveness). h. Kecerdasan (intelligence). i. Keterampilan mengajar (teaching skill). j. Kepercayaan (faith).

Dari sepuluh sifat yang diungkapkan Tead di atas, seorang ahli lain

bernama Terry dalam Kartono (2009: 47-50) menambahkan sifat

pemimpin lainnya sehingga ia dapat dikatakan sebagai pemimpin yang

unggul, yaitu (1) objektif, (2) memiliki keterampilan berkomunikasi, dan

(3) dorongan pribadi dalam dirinya untuk memimpin.

Berdasarkan dua pendapat ahli di atas, maka dapat diketahui bahwa

pemimpin yang unggul harus memiliki semua sifat tersebut. Seorang

pemimpin harus dapat menyeimbangkan seluruh sifat dan

mewujudkannya pada pelaksanaannya ketika ia menjadi seorang

pemimpin sehingga ia mendapatkan pengakuan dan para pengikutnya

menjadi lebih respek terhadapnya sehingga pengikutnya dapat mematuhi

segala peraturan dan perintahnya.

19

3. Tipe dan Gaya Kepemimpinan

Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan

kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya

yang membedakan dirinya dari orang lain. Reddin dalam Kartono (2009:

34) menentukan watak dan tipe pemimpin atas tiga pola dasar, yaitu

sebagai berikut.

a. Berorientasikan tugas (task orientation). b. Berorientasikan hubungan kerja (relationship orientation). c. Berorientasikan hasil yang efektif (effectivess orientation).

Seorang pemimpin dalam memimpin sebuah organisasi haruslah

berorientasikan pada 3 (tiga) hal tersebut karena peningkatan kinerja

sebuah organisasi bergantung pada apa yang dilakukan seorang

pemimpin dengan kerjasama yang dilakukan dengan anggotanya.

Berdasarkan penonjolan ketiga orientasi tersebut, dapat ditentukan

delapan tipe kepemimpinan, yaitu sebagai berikut.

a. Tipe deserter (pembelot). b. Tipe birokrat. c. Tipe misionaris (missionary). d. Tipe developer (pembangun). e. Tipe otokrat. f. Benevolent autocrat (otokrat yang bijak). g. Tipe comromiser (kompromis). h. Tipe eksekutif.

Merujuk pada delapan tipe kepemimpinan yang cocok dan yang

tepat diterapkan di Indonesia adalah (1) tipe kepemimpinan misionaris

yang dipadukan dengan sifat-sifat tipe kepemimpinan developer, (2) tipe

kepemimpinan otokrat yang bijak, serta (3) tipe kepemimpinan eksekutif.

Dengan adanya perpaduan dari tipe-tipe tersebut diharapkan dapat

20

tercipta sosok pemimpin yang mampu menjalankan tugasnya dengan

penuh tanggung jawab dan mampu meminimalisir permasalahan yang

ada.

Nightingle dan Schult dalam Kartono (2009: 37) menyatakan

bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan dan syarat sebagai berikut.

a. Kemandirian, berhasrat memajukan diri sendiri (individualism). b. Besar rasa ingin tahu, dan cepat tertarik pada manusia dari benda-

benda (curious). c. Multiterampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam. d. Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan. e. Perfeksionis, selalu ingin mendapatkan yang sempurna. f. Mudah menyesuaikan diri, adaptasinya tinggi. g. Sabar namun ulet, serta tidak “mandek” berhenti. h. Waspada, peka, jujur, optimistis, berani, gigih, ulet realitis. i. Komunikatif, serta pandai berbicara atau berpidato. j. Berjiwa wiraswasta. k. Sehat jasmaninya, dinamis, sanggup dan suka menerima tugas yang

berat, serta berani mengambil resiko. l. Tajam firasatnya, tajam dan adil pertimbangannya. m. Berpengetahuan luas, dan haus akan ilmu pengetahuan. n. Memiliki motivasi tinggi, dan menyadari target atau tujuan

hidupnya yang ingin dicapai, dibimbing oleh idealisme tinggi. o. Punya imajinasi tinggi, daya kombinasi, dan daya inovasi.

Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Nightingle dan Schult,

maka pada dasarnya pemimpin tersebut harus memiliki beberapa

kemampuan superior melebihi kawan-kawannya atau melebihi para

pengikutnya. Paling tidak ia harus memiliki superioritas dalam satu atau

dua kemampuan atau keahlian sehingga kepemimpinannya bisa

berwibawa. Menjadi seorang pemimpin harus memiliki satu atau lebih

keunggulan dibandingkan dengan yang lainnya. Sogdill dalam Kartono

(2009: 36) menyatakan bahwa pemimpin itu harus memiliki beberapa

kelebihan, yaitu sebagai berikut.

21

a. Kapasitas: kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal facility, keaslian, kemampuan menilai.

b. Prestasi/achievement: gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, perolehan dalam olah raga dan atletik lainnya.

c. Tanggung jawab: mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan punya hasrat unggul.

d. Partisipasi: aktif, memiliki sosiabilitas tinggi, mampu bergaul kooperatif atau suka bekerja sama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa humor.

e. Status: meliputi kedudukan sosial-ekonomi yang cukup tinggi, populer, tenar. Merujuk pada beberapa kelebihan yang diungkapkan oleh Sogdill

bahwa seseorang yang menjadi pemimpin haruslah memiliki suatu hal

yang dapat diunggulkan dibandingkan dengan orang lain. Di mana

kelebihan tersebut dapat menjadi ciri khas atau daya tarik ketika menjadi

seorang pemimpin.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan para ahli di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa tipe dan gaya kepemimpinan bukan suatu hal

yang mutlak untuk diterapkan, karena pada dasarnya semua jenis gaya

kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-masing. Sehingga

memerlukan penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang menuntut

diterapkannnya gaya kepemimpinan tertentu untuk mendapatkan

manfaat.

4. Tugas Pemimpin dalam Kelompok

Akibat adanya kekuatan yang saling mempengaruhi di antara

semua anggota kelompok dan pemimpinnya, maka timbul dinamika

kelompok dalam wujud bermacam-macam usaha dan tingkah laku.

Kekompleksan tingkah laku ini jelas diperlukan pemimpin dan

22

kepemimpinan. Tugas pemimpin dalam kelompok menurut Kartono

(2009: 117-118), ialah sebagai berikut.

a. Memelihara struktur kelompok, menjamin interaksi yang lancar, dan memudahkan pelaksanaan tugas-tugas.

b. Menyingkronkan ideologi, ide, pikiran, dan ambisi anggota-anggota kelompoknya dengan pola keinginan pemimpin.

c. Memberikan rasa aman dan status yang jelas kepada setiap anggota, sehingga mereka bersedia memberikan partisipasi penuh.

d. Memanfaatkan dan mengoptimalisasikan kemampuan, bakat dan produktifitas semua anggota kelompok untuk berkarya dan berprestasi.

e. Menegakkan peraturan, larangan, disiplin dan norma-norma kelompok agar tercapai kepaduan/cohesivenes kelompok; meminimalisir konflik dan perbedaan-perbedaan.

f. Merumuskan nilai-nilai kelompok, dan memilih tujuan-tujuan kelompok, sambil menentukan sarana dan cara-cara operasional guna mencapainya.

g. Mampu memenuhi harapan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan para anggota, sehingga mereka merasa puas, juga membantu adaptasi mereka terhadap tuntutan-tuntutan eksternal di tengah masyarakat, dan memecahkan kesulitan-kesulitan hidup anggota kelompok setiap harinya.

Berdasarkan beberapa poin di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

pemimpin dalam sebuah kelompok harus mampu menyelesaikan

tugasnya karena peran pemimpin adalah memastikan bahwa yang

menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh kelompoknya dapat dipenuhi, jika

tidak akan timbul berbagai macam akibat negatif, salah satunya adalah

ketidakharmonisan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Selain itu

juga, seorang pemimpin harus tetap memelihara hubungan yang baik

dengan anggota kelompoknya sehingga dapat menimbulkan feed back

yang baik untuk kedua belah pihak dan juga bagi organisasinya.

23

5. Kepemimpinan Politik

Kepemimpinan politik menurut Alfian (2009: 191) dapat dipahami

dalam tiga perspektif: (1) kepemimpinan sebagai pola perilaku, (2)

kepemimpinan sebagai kualitas personal, dan (3) kepemimpinan sebagai

nilai politik. Sebagai pola perilaku, kepemimpinan terkait sekali dengan

kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mengupayakan

tujuan yang diharapkan. Kata kuncinya adalah mempengaruhi. Sebagai

kualitas personal, kepemimpinan berkaitan dengan kharisma. Sedangkan

sebagai nilai politik, kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan untuk

menggerakan orang lain dengan otoritas moral atau pandangan ideologis.

Sebagian besar masyarakat Indonesia masih ‘tradisional’.

Masyarakat tradisional membutuhkan suri tauladan. Mereka

membutuhkan sosok individu yang dianggap pemimpin untuk

mengarahkan mereka.

Salah satu karakteristik masyarakat tradisional menurut Weber

dalam Firmanzah (2009: 76) adalah pengkultusan terhadap seorang

pemimpin. Pemimpin politik juga tidak terlepas dari proses pengkultusan

ini. Kultus pemimpin ini terjadi ketika semua atribut seorang pemimpin

partai politik mendapatkan kekuasaan absolutnya dengan mendapatkan

predikat seperti orang suci, keturunan wali, dan memiliki kekuatan

suprnatural. Selanjutnya menurut Surbaki (1992: 45) pemimpin menjadi

panutan sebab warga masyarakat mengidentifikasikan diri kepada sang

pemimpin dan ia dianggap sebagai “penyambung lidah” masyarakat.

24

Pemimpin menjadi begitu kuat dalam mempengaruhi opini publik.

Tentunya predikat pemimpin dalam masyarakat yang masih tradisional

ini memiliki tanggung jawab sosial yang tidak ringan. Setiap ucapan dan

aktivitasnya memiliki kekuatan ‘pengaruh’ yang cukup besar dalam

masyarakat. Sehingga seorang pemimpin politik juga perlu semakin

berhati-hati untuk mencegah munculnya konflik horizontal maupun

vertikal dalam masyarakat.

B. Teori Partai Politik

1. Pengertian Partai Politik

Untuk menjadi negara yang demokratis diperlukan unsur-unsur

yang mendukung tegaknya demokrasi. Salah satu unsur-unsur pendukung

itu adalah infrastruktur politik yang terdiri atas partai politik, kelompok

gerakan dan kelompok kepentingan. Partai politik merupakan salah satu

sarana untuk berpartisipasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Hidayat dan

Azra (2007: 149), partai politik memiliki peran yang sangat strategis

terhadap proses demokratisasi yaitu selain sebagai struktur kelembagaan

politik yang anggotanya bertujuan mendapatkan kekuasaan dan

kedudukan politik, mereka juga sebagai sebuah wadah bagi

penampungan aspirasi rakyat.

Kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi tidak dapat

dilepaskan dari peran dan fungsinya, tidak hanya kepada konstituen yang

dikelola tetapi juga kepada bangsa dan negara. Organisasi partai politik

25

yang dapat menempatkan orang-orangnya dalam jabatan politis berarti

akan menentukan kebijakan publik yang berdampak luas, tidak hanya

kepada konstituen mereka sehingga kehadiran partai politik juga perlu

diletakkan dalam kerangka yang lebih luas dan tidak terbatas pada

kelompok ideologis mereka saja. Menurut Firmanzah (2008: 65), baik

buruknya sistem kaderisasi dan regenerasi dalam tubuh organisasi partai

politik akan menentukan kualitas calon-calon pemimpin bangsa.

Dalam bukunya yang berjudul Economic et Societe, Max Weber

dalam Firmanzah (2008: 66) menekankan aspek profesionalisme dalam

dunia politik modern. Partai politik kemudian didefinisikan sebagai

organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa

dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan

keuntungan dari dukungan tersebut. Duverger dalam Firmanzah (2008:

67) mengatakan sebagai suatu organisasi yang khas, partai politik dilihat

sebagai suatu bentuk organisasi yang berbeda dengan organisasi lain.

Banyak batasan atau definisi yang diberikan oleh para ahli terhadap

partai politik. Friedrich dalam Budiardjo (2005: 161) mendefinisikan

parpol sebagai berikut.

“Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil”.

Definisi tersebut menekankan partai politik adalah sekumpulan

orang yang memiliki tujuan merebut dan mempertahankan fungsi

26

pengawasan terhadap pemerintah. Ahli lain yang juga turut merintis studi

tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah Geovanni Sartori,

yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori

dalam Budiardjo (2008: 404):

“Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.”

Dalam perkembangan studinya, definisi partai politik mengalami

perubahan pada setiap zaman, sehingga tidak ada definisi tunggal yang

bisa diterima secara universal di seluruh dunia tentang definisi partai

politik. Dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan kontrol bagi

pemerintah sekaligus juga mitra bagi pemerintah dalam merumuskan

kebijakan-kebijakan publik.

Berbeda dengan pendapat dari para ahli lainnya di antaranya Burke

dalam bukunya Thoughts upon the Cause of the Present Discontents

dalam Kantaprawira (2006: 64), partai politik adalah:

“… suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan-keinginan bersamanya, yaitu kepentingan nasional melalui prinsip-prinsip khusus yang sudah disepakati”.

Menurut Fadjar (2008: 16) parpol merupakan perantara yang besar

yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan

lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan mengkaitkannya dengan

aksi politik di dalam masyarakat yang lebih luas. Sebuah partai politik

dapat mengartikulasikan dan menyatukan tuntutan-tuntutan dan

kepentingan-kepentingan, bisa merekrut dan memecat para pemimpin

27

yang bertindak diluar kontrol yang ada, membuat atau tidak membuat

kebijakan pemerintah, mendukung atau menghalangi pelaksanaan sebuah

keputusan kebijakan, mempengaruhi penyesuaian atau perpanjangan

perselisihan bahkan mendidik atau memaksa rakyat.

Berdasarkan definisi-definisi tentang partai politik, maka basis

sosiologis suatu parpol adalah ideologi dan kepentingan yang diarahkan

pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Tanpa kedua elemen

tersebut parpol tidak akan mampu mengidentifikasi dirinya dengan para

pendukungnya. Selain itu, hal tersebut juga menunjukan kedudukan

parpol sebagai berikut.

a. Salah satu wadah atau sarana partisipasi politik rakyat.

b. Perantara antara kekuatan-kekuatan sosial dengan pemerintah.

UU Nomor 2 tahun 2008 menyebutkan bahwa “Partai politik

adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok

warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak

dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik

anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Ranney & Kendall dalam Firmanzah (2008: 67) melihat partai

politik sebagai “Autonomous groups that make nominations and contest

elections in the hope of eventually gaining and exercise control of the

personnel anf policies of government”. Dalam konteks ini, mereka

28

melihat bahwa tujuan utama dibentuknya partai politik adalah mendapat

kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang duduk

dalam pemerintahan sekaligus kebijakannya.

Sementara itu, Firmanzah (2008: 67) mengatakan bahwa partai

politik sangat terkait dengan kekuasaan, untuk membentuk dan

mengontrol kebijakan publik. Selain itu partai politik juga diharapkan

independen dari pengaruh pemerintah. Hal ini tentunya menyiratkan

tujuan agar partai politik bisa mengkritisi setiap kebijakan dan tidak

tergantung pada pemerintah yang dikritisi.

La Palombara dan Weiner dalam Rifai dan Soetomo (2010: 68-67)

mengidentifikasi empat karakteristik dasar yang menjadi ciri khas

organisasi yang dikategorikan sebagai partai politik. Keempat

karakteristik dasar dari partai politik adalah sebagai berikut.

1. Organisasi jangka panjang. Organisasi partai politik harus bersifat jangka panjang, diharapkan dapat terus hadir meskipun pendirinya sudah tidak ada lagi.

2. Struktur organisasi. Partai politik hanya akan dapat menjalankan fungsi politiknya apabila didukung oleh struktur organisasi, mulai dari tingkat lokal sampai nasional, dan ada pola interaksi yang teratur di antara keduanya.

3. Tujuan berkuasa. Partai politik didirikan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, baik di level lokal maupun nasional.

4. Dukungan publik luas adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan. Partai politik perlu mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Dukungan inilah yang menjadi sumber legitimasi untuk berkuasa.

Berdasarkan karakteristik di atas maka dapat disimpulkan bahwa

partai politik merupakan organisasi jangka panjang yang dalam

menjalankan tujuan dan fungsinya harus memiliki sesuai struktur

29

organisasi sehingga yang menjadi tujuan yakni memperoleh kekuasaan

dapat terpenuhi dengan syarat adanya dukungan yang luas dari

masyarakat luas.

2. Teori-Teori Partai Politik

a. Teori Asal-Usul Partai Politik

Menurut Surbakti (1992: 113-114), ada tiga teori yang

menjelaskan asal-usul partai politik. Pertama, teori kelembagaan

yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dan timbulnya

partai politik. Teori ini mengatakan bahwa partai politik dibentuk

oleh kalangan legislatif (dan eksekutif) karena ada kebutuhan para

anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan)

untuk mengadakan kontrak dengan masyarakat dan membina

dukungan dari masyarakat.

Kedua, teori ini menjelaskan krisis situasi historis terjadi

manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena

perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur

sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks.

Perubahan-perubahan itu menimbulkan tiga macam krisis, yakni

legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan

mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang

mendasari legitimasi kewenangan atas pihak yang memerintah;

menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat

30

sebagai suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang

semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik.

Ketiga, teori ini melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti

pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan

transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi,

urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi,

pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi,

dan peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi

lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan sesuatu organisasi

politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai

aspirasi tersebut. Jadi, partai politik merupakan produk logis dari

modernisasi sosial ekonomi.

b. Teori Terjadinya Kelompok

Menurut Indrawijaya (2010: 57), terbentuknya suatu kelompok

tidak selalu karena adanya dorongan langsung dari pekerjaan yang

harus dilakukan, sebab dalam kenyataannya kita sering juga

membentuk suatu kelompok atas dasar sukarela. Terhadap

pernyataan ini para ahli mengetengahkan teori tarikan hubungan-

perorangan (interpersonal attraction theory), seperti teori tukar

menukar, teori persamaan sikap, dan teori saling melengkapi.

Teori tukar-menukar (exchange theory attaction) oleh Thibaut

dan Kelley dalam Indrawijaya (2010: 57) menurut teori ini, interaksi

dalam kelompok terjadi dalam proses tukar-menukar antara imbalan

31

(reward) dengan ongkos (cost). Dalam setiap interaksi, seseorang

selalu mendapatkan imbalan berupa kepuasan atau terpenuhinya

sebagian kebutuhan. Seseorang melakukan proses interaksi, akan

memperhitungkan keuntungannya berdasarkan dua standar, yaitu

ukuran perbandingan (comparison level) dan ukuran perbandingan

antara beberapa pilihan (comparison level of alternatives). Caranya

adalah dengan memperbandingkan pengalamannya pada masa

lampau dengan apa yang sedang ia hadapi.

Teori kesamaan sikap (theory of similar attitude) yang

dikemukakan oleh Newcomb dalam Indrawijaya (2010: 58)

mengatakan bahwa seseorang cenderung tertarik kepada orang lain

yang dianggapnya mempunyai sikap yang sama dengannya. Ahli

lainnya bernama Winch dalam Indrawijaya (2010: 58) berpendapat

bahwa daya tarik untuk berinteraksi ditentukan oleh prinsip atau asas

saling melengkapi (the principle bukan karena ada kesamaan sikap

complementary).

Teori perbandingan sosial (social comparison theory) yang

dikemukakan oleh Festinger dalam Indrawijaya (2010: 59)

mengatakan bahwa orang yang memasuki suatu kelompok pada

hakikatnya mempunyai dorongan untuk mengadakan evaluasi

terhadap dirinya. Dengan memasuki kelompok, seseorang akan tahu

pendapat orang lain yang mengenai dirinya, termasuk tentang apa

yang baik, yang boleh, dan apa yang tidak boleh dikerjakan.

32

c. Pembentukan Kelompok

Tuckman dalam Indrawijaya (2010: 59) pada tahun 1965,

mengidentifikasi ada empat tahap dalam terbentuknya suatu

kelompok, yaitu (1) tahap pembentukan (forming), (2) tahap

pancaroba (storming), (3) tahap pembentukan norma (norming), dan

(4) tahap berprestasi (performing). Tahap pembentukan adalah tahap

di mana seseorang melakukan beberapa pengujian terhadap anggota

lainnya tentang hubungan antarperorangan yang bagaimana yang

dikehendaki oleh kelompok. Dapat disimpulkan pada tahap ini telah

diletakkan dasar perilaku kelompok baik yang berkaitan dengan

tugas individu ataupun hubungan dengan individu lainnya.

Tahap kedua yakni tahap pancaroba, di mana pada tahap mulai

terjadinya konflik dalam kelompok. Pada tahap ini muncul pula

berbagai reaksi untuk mengubah arah struktur kelompok. Dapat

ditarik kesimpulan bahwa pada tahap ini konflik terjadi karena

adanya ketidakpuasan anggota kelompok terhadap keadaan

kelompok. Tahap ketiga adalah tahap pembentukan norma. Di mana

pada tahap ini sudah tercipta kesamaan perasaan, keakraban,

penentuan ukuran-ukuran, dan peranan baru.

Tahap terakhir adalah tahap berprestasi. Pada tahap ini

hubungan antarperorangan berperan sebagai alat untuk pelaksanaan

pekerjaan. Dengan begitu, peran seseorang menjadi lebih terlihat dan

makin sesuai dengan fungsinya.

33

3. Tujuan Partai Politik

Tujuan dari partai politik di Indonesia tercantum dalam Undang-

undang. Pengaturan tujuan ini adalah agar partai politik di Indonesia

banyak dapat berdiri dan bergerak ke arah yang sama yaitu mewujudkan

Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur seperti yang

tercantum dalam pembukaan UUD 1945 walaupun dihiasi dengan

ideologi dan platform yang berbeda. Tujuan partai politik di Indonesia

terdapat dalam UU Nomor 2 tahun 2008 pasal 10 ayat (1) dan (2) yaitu

sebagai berikut.

(1) Tujuan umum partai politik adalah sebagai berikut. a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (2) Tujuan khusus partai politik adalah sebagai berikut.

a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.

b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(3) Tujuan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. Tujuan partai politik seperti yang tercantum dalam Undang-

Undang Nomor 2 tahun 2008 dimaksudkan agar setiap partai politik

memiliki tujuan yang diharapkan tidak akan keluar dari konteks tujuan

yang terdapat dalam undang-undang tersebut guna membangun dan

34

terwujudnya negara demokrasi di mana masyarakatnya dapat ikut serta

langsung dalam dunia politik.

4. Fungsi Partai Politik

Blondel dalam Darmawan (2009: 15) menyatakan bahwa partai

mempunyai tiga fungsi utama. Fungsi pertama, pada level masyarakat

secara keseluruhan, partai politik mengartikulasikan konflik-konflik

sosial dengan cara menciptakan hubungan antara rakyat dengan

pemerintah. Fungsi kedua, pada level sistem politik, partai politik

merumuskan kebijakan-kebijakan kepada pemerintah. Fungsi ketiga,

pada level kehidupan politik sehari-hari, partai politik memainkan peran

utama dalam perekrutan bagian terbesar dari elit politik.

UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 11 mengalami

penyempurnaan seperti halnya tujuan partai politik dalam peraturan

perundang-undangan terdahulu menyatakan bahwa:

(1) Partai politik berfungsi sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar

mejadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik

melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

(2) Fungsi partai politik sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.

35

Partai politik dalam melaksanakan kegiatan politik tentu harus

sesuai dengan peran dan fungsinya agar tercipta nuansa harmonis dalam

penerapannya dikehidupan bermasyarakat dan bernegara.

G. B. de Huszar dan T. A. Stevenson dalam Rudy (2009: 91)

menyebutkan bahwa fungsi-fungsi partai politik, antara lain sebagai

berikut.

a. Pengajuan calon-calon wakil rakyat (Proposing candidates). b. Merangsang pendapat umum (Stimulating public opinion). c. Mendorong rakyat untuk memilih (Getting people to vote). d. Sikap kritis terhadap pemerintahan (Criticism of the regime). e. Tanggung jawab pemerintahan (Responsibility for government). f. Memilih para pejabat negara (Choosing appointive officer). g. Kesatuan dalam pemerintahan (Unifying the government).

Dari fungsi partai politik oleh Huszar dan Stevenson, Duverger

dalam Rudy (2009: 92) menambahkan pendidikan politik, seleksi politik,

penghimpun kegiatan politik, saluran pernyataan kepentingan,

pengawasan dan pengendali konflik dan komunikasi politik sebagai

fungsi dari partai politik. Sementara itu, Budiardjo (2005: 405-409)

menyebutkan fungsi partai politik sebagai berikut.

a. Sebagai sarana komunikasi politik. b. Sebagai sarana sosialisasi. c. Sebagai sarana rekrutmen. d. Sebagai sarana pengatur konflik.

Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Surbakti (1992:

116-121), namun ia menambahkan fungsi partisipasi politik, dan fungsi

parpol sebagai pemandu kepentingan. Beberapa pendapat ahli di atas

mengenai fungsi partai politik, dapat disimpulkan bahwa partai politik

memiliki peran sentral dalam hal rekrutmen atau seleksi politik. Namun

dalam menjalankan fungsinya, tetap saja harus diiringi dengan kerja

36

sama antara pemimpin partai dan anggotanya agar fungsi-fungsi tersebut

dapat dilaksanakan dengan baik. Terdapat beberapa fungsi yang

tampaknya selalu terkandung baik secara eksplisit maupun implisit.

Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut.

a. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik

Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi

kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun

kepemimpinan nasional yang lebih luas. Menurut Surbaki (1992:

118), rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan

pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan

sejumlah peranan dalam sistem politik umumnya dan pemerintahan

pada khususnya. Di mana fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan

dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu,

fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem

politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya,

kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

Hal tersebut senada dengan yang diutarakan Budiardjo (2005:

164), di mana partai politik juga berfungsi untuk mencari dan

mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan

politik sebagai anggota partai (political rekrutment). Juga

diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi

kader yang dimasa mendatang akan mengganti pemimpin lama

(selection of leadership).

37

Menurut Fadjar (2008: 23), partai politik dalam fungsinya

sebagai sarana rekrutmen politik akan menjamin kontinuitas dan

kelestarian partai dan sekaligus merupakan salah satu cara untuk

menyeleksi para calon pemimpin partai atau pemimpin bangsa.

Definisi lain mengenai rekrutmen politik dikemukakan oleh

Gaffar (2006: 155) sebagai berikut.

“Rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan politik dalam sebuah negara agar sistem politik dapat memfungsikan dirinya dengan sebaik-baiknya guna memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat”.

Pendapat tersebut memberikan pengertian bahwa pada

hakikatnya rekrutmen politik harus mampu menciptakan suatu

sistem politik yang dapat memberikan pelayanan dan perlindungan

kepada hak-hak warga negara dengan cara mengisi jabatan-jabatan

politik yang ada. Menurut Gaffar (2006: 155), dengan rekrutmen

yang terbuka, maka negara dapat memilih orang-orang yang betul-

betul berkualitas, memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang tinggi

guna mengisi jabatan-jabatan politik maka rekrutmen harus

dijalankan secara terbuka.

Darmawan (2008: 69) menyebutkan bahwa partai politik

berfungsi sebagai rekrutmen politik artinya mempersiapkan anggota

masyarakat untuk menduduki jabatan-jabatan politik dalam

pemerintahan. Parpol memiliki peran strategis dalam pengisian

jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan. Parpol merekrut anggota

masyarakat yang dianggap berbakat untuk menjadi kadernya,

38

kemudian parpol mempersiapkan kadernya untuk menempati

jabatan-jabatan kepemimpinan dalam suprastruktur politik.

Pada dasarnya rekrutmen politik merupakan fungsi mengambil

individu untuk dididik, dilatih, dan berpartisipasi sehingga memiliki

keahlian dan peran khusus dalam sistem politik. Dari proses

rekrutmen tersebut, individu yang masuk di kancah politik

diharapkan memiliki pengetahuan, nilai, harapan, dan komitmen

politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi. Namun realitasnya,

proses rekrutmen politik sering tidak digarap secara serius.

Sistem pengrekrutan politik memiliki keragaman yang tiada

terbatas, walaupun ada dua cara khusus, yakni seleksi pemilihan

melalui ujian serta latihan dapat dianggap sebagai yang paling

penting. Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak keragaman dan

banyak diantaranya mempunyai implikasi penting bagi perekrutan

politik. Tidak selamanya pengisian jabatan kepemimpinan dilakukan

dengan cara-cara halus. Rekrutmen politik pun bisa dilakukan

dengan cara yang keras, yaitu perebutan kekuasaan dengan

menggunakan ancaman kekerasan.

Dalam praktiknya tidak semua rekrutmen politik untuk jabatan

politik benar-benar terbuka. Seringkali partai politik yang diberikan

kewenangan untuk melaksanakannya, mempraktekan praktik-praktik

oligarkis, di mana elit partai kadangkala hanya merekrut atau

memprioritaskan orang-orang yang dekat dengan mereka.

39

b. Sebagai Sarana Partisipasi Politik

Menurut Sastroaatmodjo dalam Abbas (2010: 37), partisipasi

politik merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk

terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk

mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.

Pernyataan tersebut didukung oleh Budiardjo dalam Abbas (2010:

37), yang mengatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan

seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam

kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan

secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan

pemerintah.

Berdasarkan uraian beberapa ahli tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa partisipasi merupakan tindakan yang dilakukan

seseorang individu atau kelompok yang berusaha untuk

mempengaruhi pengambilan keputusan yang merupakan indikasi

aktif dari pemilih terhadap kehidupan politik. Partisipasi yang terkait

dengan usaha-usaha yang dilakukan individu dalam memberikan

suara pada pemilu tidak terlepas dengan perilaku politik individu

dalam suatu komunitas masyarakat.

c. Sebagai Sarana Pendidikan Politik

Menurut Firmanzah (2008: 75), partai politik juga berperan

dalam mengedukasi masyarakat. Namun, hal ini tidak akan dapat

dilakukan apabila masyarakat tidak memiliki kesadaran akan hak

40

dan kewajiban politik, terutama dalam negara seperti di Indonesia.

Pendidikan politik merupakan prasyarat bagi masyarakat dewasa

agar menjadi warga negara yang melek politik, tahu akan hak dan

kewajibannya mengetahui informasi jalannya pemerintahan,

memahami prosedur pengambilan keputusan ataupun prosedur

demokrasi, mengetahui peraturan perundang-undangan, serta

kemampuan berpolitiknya.

Masyarakat sudah selayaknya mengenyam pendidikan politik,

agar mereka bisa menjadi masyarakat yang melek politik. Sehingga

ia akan mampu menjadi masyarakat yang dapat memposisikan

dirinya sebagai warga negara yang mampu mengawasi jalannya

pemerintahan dan mampu memberikan kritik dan masukan guna

perkembangan politik di Indonesia.

d. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik

Menurut Budiardjo (2005: 163), dalam ilmu politik sosialisasi

diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang

memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang

umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Di samping

itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana

masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai, dari suatu

generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, sosialisasi politik

merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik

(political culture) suatu bangsa.

41

Menurut Hidajat (2009: 119), partai politik juga merupakan

sarana strategi persuasi dan sosialisasi kepada masyarakat

dibawahnya. Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli

sosiologi politik bernama Rush (2008: 22), yaitu sebagai berikut.

“Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politiknya, yang kemudian menentukan sifat setiap persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik”.

Menurut Surbakti (1992: 117) proses sosialisasi politik ini

berlangsung secara terus menerus seumur hidup yang bisa diperoleh

secara sengaja, seperti melalui pendidikan formal, nonformal, dan

informal, atau juga secara tidak sengaja seperti pengalaman hidup

sehari-hari. Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai menurut

Budiardjo (2005: 164), yakni upaya menciptakan citra (image)

bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.

e. Sebagai Sarana Komunikasi Politik

Menurut Surbakti (1992: 119) komunikasi politik adalah

proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah

kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam

hal ini, partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang

tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan

pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai

politik di negara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan

kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah.

42

Keduanya dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam sistem

politik demokrasi.

Di sisi lain, Budiardjo (2008: 406) mengatakan partai politik

juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-

rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian,

terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan

dari bawah ke atas. Dalam posisi itu partai politik memainkan peran

sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah.

Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut

sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house

of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi

pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga

masyarakat sebagai “pengeras suara”.

Sementara itu, Kantaprawira (2006: 61) menilai bahwa

komunikasi politik berguna menggabungkan pikiran politik yang

hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut,

asosiasi, maupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor

pemerintahan”. Melalui komunikasilah pikiran politik dapat

dipertemukan, karena pada hakikatnya segala pikiran itu harus ada

yang menyampaikannya (communicator), melalui pesan (messages),

dan akhirnya ada yang menerima atau menanggapinya

(communicant).

43

Jadi, dapat disimpulkan bahwa fungsi komunikasi politik

diperlukan agar terjalin komunikasi 2 (dua) arah antara yang

menyampaikan pesan yakni rakyat dan yang menerima pesan dalam

hal ini adalah partai poltik, hal tersebut berguna agar tidak terjadi

kesalahpahaman (miss-understanding) sehingga apa yang menjadi

aspirasi masyarakat dapat tersampaikan dan segera direalisasikan.

f. Sebagai Sarana Pengendali Konflik

Menurut Surbakti (1992: 120), partai politik merupakan salah

satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik

melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik,

menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari

pihak-pihak, serta membawa permasalahan ke dalam musyawarah

badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa

keputusan politik. Untuk mencapai penyelesaian berupa keputusan

itu diperlukan kesediaan berkompromi di antara wakil yang berasal

dari partai politik. Apabila partai politik merasa keberatan untuk

mengadakan kompromi, maka partai politik bukannya

mengendalikan konflik, melainkan malah menciptakan konflik

dalam masyarakat.

44

C. Teori Kinerja

1. Pengertian Kinerja

Istilah “kinerja” sering kali disamakan dengan istilah performance

atau activities. As’ad dalam Darmawan (2009: 83) menjelaskan bahwa

kinerja adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang

berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Sementara itu,

Mangkunegara dalam Darmawan (2009: 83) mengemukakan bahwa

pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai oleh sesorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya, sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Soeprihanto dalam Darmawan (2000: 84) juga mengemukakan

bahwa pengertian kinerja pada dasarnya adalah hasil kerja seseorang

selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan,

misalnya standar, target, atau sasaran berdasarkan kriteria yang telah

ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Sehubungan

dengan pengertian kinerja, Russell dalam Sedarmayanti (2007: 260)

menyatakan bahwa kinerja sebagai catatan mengenai outcome yang

dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu pula.

Dalam konteks lembaga publik, pengertian kinerja dapat dilihat

dari pendapat Prawirasosentono dalam Darmawan (2009: 85), yaitu suatu

hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang

dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab

masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan

45

secara legal, tidak melanggar hukum, serta sesuai dengan moral dan

etika. Pencapaian kinerja dalam suatu lembaga instansi pemerintah

(termasuk pemerintah daerah) sering diukur dari sudut pandang masing-

masing stakeholder, misalnya lembaga legislatif, instansi pemerintah,

pelanggan, pemasok, dan masyarakat umum.

Menurut Darmawan (2009: 85), kinerja pada dasarnya merupakan

salah satu perwujudan aktivitas kehidupan manusia, baik yang bersifat

aktivitas fisik maupun aktivitas mental, dan kinerja merupakan suatu

kerja yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kinerja merupakan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan suatu pekerjaan

baik secara kuantitas maupun kualitas.

2. Teori-Teori Kinerja

Terdapat tiga teori motivasi yang paling banyak memberikan

kontribusinya terhadap falsafah manajemen kinerja yakni yang berkenaan

dengan tujuan (goals), dorongan (reinforcement) dan harapan

(expectancy). Teori tujuan (goals) dikembangkan oleh Letham dan Locke

dalam Dharma (2011: 36) atas dasar penelitian selama 14 tahun terhadap

penetapan tujuan sebagai suatu teknik motivasi. Karakteristik penetapan

tujuan menurut Dharma (2011: 36) adalah sebagai berikut.

a. Tujuan harus bersifat spesifik. b. Tujuan harus cukup menantang tetapi dapat dicapai. c. Tujuan dipandang adil dan masuk akal. d. Karyawan secara individu ikut berpartisipasi dalam penetapan

tujuan.

46

e. Umpan-balik memastikan bahwa para karyawan akan merasa bangga dan puas mendapatkan pengalaman keberhasilan mencapai suatu tujuan yang menantang dan adil.

f. Umpan-balik dipergunakan untuk mendapatkan komitmen terhadap tujuan yang lebih tinggi lagi.

Berdasarkan karakteristik penerapan yang diungkapkan oleh

Dharma, maka dapat disimpulkan bahwa dalam mencapai suatu

keberhasilan terhadap kinerja harus terlebih dahulu menentukan tujuan

yang hendak dicapai sehingga seluruh orang yang berada dalam suatu

organisasi atau perusahaan akan termotivasi untuk mencapai tujuan

tersebut dengan mempertimbangkan umpan-balik (feed-back) bagi kedua

belah pihak.

Teori “reinforcement” menyatakan bahwa keberhasilan dalam

mencapai tujuan dan imbalannya berlaku sebagai insentif yang positif

dan mendorong perilaku yang berhasil, dan bila diulangi kebutuhan yang

sama dapat muncul kembali. Teori reinforcement berkaitan dengan

pemberian pujian atas keberhasilan dan memaafkan kegagalan. Dengan

demikian, kesalahan seharusnya dipergunakan sebagai suatu kesempatan

untuk belajar; sesuatu yang hanya mungkin terjadi apabila kesalahan

tersebut benar-benar dimaafkan karena apabila tidak, maka pelajaran

tersebut akan terdengar sebagai teguran dan bukan sebagai tawaran untuk

memberikan bantuan.

Sementara itu, teori harapan sebagaimana yang dikembangkan oleh

Vroom dalam Dharma (2011: 36-37), menyatakan bahwa agar dapat

47

meningkatkan motivasi untuk menunjukkan kinerja tinggi, karyawan

harus :

a. Merasa mampu mengubah perilaku mereka; b. Merasa yakin bahwa perubahan perilaku mereka menghasilkan

imbalan; c. Memberikan nilai imbalan yang memadai sehingga membawa

perubahan perilaku.

Ketiga hal yang terdapat dalam teori motivasi diperlukan dalam

peningkatan kinerja suatu organisasi atau sebuah perusahaan.

Peningkatan kinerja dapat bermula pada penetapan tujuan awal yang

ingin dicapai, selanjutnya adanya dorongan bagi seseorang atau banyak

orang di dalam sebuah organisasi sehingga pada akhirnya mereka

memiliki harapan yang hendak mereka capai guna memajukan organisasi

yang mereka dirikan.

3. Pengertian Pengukuran Kinerja

Robertson dalam Darmawan (2009: 83) menyebutkan bahwa

pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan

pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan,

termasuk informasi atas efesiensi penggunaan sumber daya dalam

menghasilkan barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan

target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Stout dalam

Darmawan (2009: 83) juga mengemukakan bahwa pengukuran atau

penilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur

pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission

48

accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk,

jasa, atau pun suatu proses.

Sementara itu, Whittaker dalam Sedarmayanti (2007: 195)

mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai suatu alat manajemen yang

digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan

akuntabilitas juga untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran.

Pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas

keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai

dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka

mewujudkan misi dan visi organisasi.

Menurut Tampubolon (2007: 106-115) dalam rangka pencapaian

sasaran dan tujuan organisasi, organisasi disusun dalam unit-unit kerja

yang lebih kecil, dengan pembagian kerja, sistem kerja dan mekanisme

yang jelas. Dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja diperlukan

untuk mengetahui sejauh mana perkembangan yang terjadi dalam sebuah

organisasi, apakah organisasi tersebut mengalami kemajuan atau

kemunduran, sehingga dapat dilakukan perbaikan guna peningkatan

kinerja sebuah organisasi.

Kesulitan yang muncul dalam mengukur kinerja organisasi

pelayanan publik sebagian disebabkan karena tujuan dan misi organisasi

publik acapkali tidak hanya sangat kabur, akan tetapi juga bersifat multi

dimensional. Organisasi publik memiliki stakeholder privat. Karena

stakeholder dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang

49

bersinggungan satu sama lainnya, maka ukuran kinerja organisasi publik

dimata stakeholders juga menjadi berbeda-beda.

Menurut Johson dan Lewin dalam Darmawan (2009: 88),

pengukuran kinerja dapat dibagi ke dalam dua macam model normatif,

yaitu sebagai berikut.

a. Model normatif kinerja politik (Normative models of political performance). Model ini berkaitan dengan masalah keadilan dan pilihan kolektif dan dapat digunakan untuk membuat desain pilihan institusi politik.

b. Model normatif pemberian layanan publik (Public service delivery). Model ini digunakan untuk memperbaiki efektifitas dan efesiensi.

Kedua model ini dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu

model yang berorientasi kedalam (internal oriented) dan berorientasi ke

luar (external oriented). Model yang berorientasi ke dalam tujuannya

untuk meningkatkan kemampuan manajer dalam memperbaiki

kinerjanya, sedangkan model yang berorientasi ke luar tujuannya untuk

menyediakan indikator kinerja yang tepat kepada rakyat sebagai sarana

untuk memberikan “feedback” pada manejer publik.

Bastian dalam Darmawan (2009: 91) mengemukakan peranan

penilaian pengukuran kinerja organisasi sebagai berikut.

a. Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi.

b. Memastikan tercapainya skema prestasi yang disepakati. c. Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan perbandingan antara

skema kerja dan pelaksanaannya. d. Memberikan penghargaan maupun hukuman yang objektif atas

prestasi pelaksanaan yang telah diukur, sesuai dengan sistem pengukuran yang telah disepakati.

e. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi.

50

f. Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. g. Membantu proses kegiatan organisasi. h. Memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan secara

objektif. i. Menunjukan peningkatan yang perlu dilakukan j. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.

Menurut Civil Service Reform Art dalam Darmawan (2009: 87)

pengukuran kinerja merupakan penilaian terhadap organisasi yang

meliputi antara lain sebagai berikut.

a. Produktivitas, yang diukur melalui perbandingan output terhadap input.

b. Efektivitas, yang menentukan hubungan output yang dihasilkan oleh organisasi dengan outcome.

c. Kualitas, yang mengukur output atau program yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut, dan

d. Waktu, yang mengevaluasi ketepatan waktu yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa melalui pengukuran kinerja dapat

dilakukan proses penilaian terhadap pencapaian tujuan yang ditetapkan

dan pengukuran kinerja dapat memberikan penilaian yang objektif dalam

pengambilan keputusan sebuah organisasi. Dengan adanya pengukuran

kinerja diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas sebuah

organisasi.

4. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Secara teoritis, Hidayat dan Sucherly dalam Rahmat (2006: 524)

mengemukakan bahwa kinerja (produktivitas kerja) dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut.

a. Fasilitas kerja. b. Teknologi. c. Manajemen. d. Motivasi.

51

e. Kepuasan kerja, dan f. Keterampilan.

Sementara itu, Simanjuntak dalam Rahmat (2006: 524)

berpendapat bahwa kinerja (produktivitas kerja) dipengaruhi beberapa

faktor, sebagai berikut.

a. Disiplin. b. Sikap dan etika kerja. c. Jaminan sosial. d. Tingkat penghasilan. e. Lingkungan dan iklim kerja, dan f. Pendidikan dan latihan.

Selanjutnya, Atmosoeprapto dalam Darmawan (2009: 95-96)

mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi akan sangat dipengaruhi

oleh faktor internal maupun eksternal sebagai berikut.

1. Faktor eksternal yang terdiri dari: a. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan

keseimbangan kekuasaan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal.

b. Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar.

c. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat, yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.

2. Faktor internal yang terdiri dari: a. Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang

ingin diproduksi oleh suatu organisasi. b. Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan

dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. c. Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengolahan anggota

organisasi sebagai enggerak jalannya organisasi secara keseluruhan.

d. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.

52

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas kinerja salah satu yang

terpenting adalah adanya motivasi. Dengan adanya motivasi diharapkan

seseorang dapat memiliki keinginan untuk mengembangkan diri dan

organisasi yang diikutinya.