bab ii 1. pengertian pemimpin leader memiliki berbagai...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Kepemimpinan
1. Pengertian Pemimpin
Perkataan pemimpin atau leader memiliki berbagai pengertian.
Pemimpin merupakan dampak interaktif dari faktor individu atau pribadi
dengan faktor situasi. Fairchild dalam Kartono (2009: 38-39) menyatakan
bahwa pemimpin dalam pengertian luas adalah seorang yang memimpin
dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur,
mengarahkan, mengorganisasi, mengontrol usaha/upaya orang lain,
melalui prestise, kekuasaan atau posisi, sedangkan pemimpin dalam arti
terbatas ialah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan
kualitas-kualitas persuasifnya, dan akseptansi/penerimaan secara
sukarela oleh para pengikutnya.
Pemimpin dapat diibaratkan seperti kompas, di mana ia dapat
menjadi penuntun disaat kehilangan arah. Dengan menggunakannya
maka akan mendapatkan arah yang benar menuju jalan ke luar terhadap
suatu permasalahan. Selain itu, pemimpin harus memiliki kemampuan
yang menjadikannya istimewa dibandingkan dengan yang lainnya,
sehingga ia dapat diterima secara baik oleh pengikutnya. Pemimpin dapat
menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda
untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
13
Selanjutnya, Allee dalam Kartono (2009: 39) menyatakan
“Leader… a guide; a conductor; a commander” (pemimpin itu adalah
pemandu, penunjuk, penuntun, dan komandan). Begitu pula, Kartono
(2009: 38) mengatakan bahwa pemimpin adalah seorang pribadi yang
memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan
di satu bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian
satu atau beberapa tujuan.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Fairchild, Allee, dan
Kartono, maka dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah sosok yang
memiliki kemampuan untuk menjadi teladan dan panutan sehingga orang
lain dibawahnya dapat mengikutinya.
Pada dasarnya, aktivitas yang “dipimpin” dan yang “memimpin”
itu merupakan dua hal yang berbeda, namun kedua hal tersebut perlu
dipelajari bersama-sama agar pemimpin dapat menjadi penuntun yang
baik, sehingga para pengikut pun bisa menjadi pihak terpimpin yang baik
pula. Dalam kehidupan, dikenal beberapa jenis pemimpin di antaranya
pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal menurut
Kartono (2009: 9-10) ialah orang yang oleh organisasi/lembaga tertentu
ditunjuk sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan
resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan
segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya untuk mencapai
sasaran organisasi.
14
Pemimpin formal menurut Kartono (2009: 10) memiliki beberapa
ciri antara lain sebagai berikut.
a. Berstatus sebagai pemimpin formal selama masa jabatan tertentu, atas dasar legalitas formal oleh penunjukan pihak yang berwenang (ada legitimitas).
b. Sebelum pengangkatannya, dia harus memenuhi beberapa persyaratan formal terlebih dahulu.
c. Ia diberi dukungan oleh organisasi formal untuk menjalankan tugas kewajibannya. Karena itu dia selalu memiliki atasan/superiors.
d. Dia mendapatkan balas jasa materiil dan immateriil tertentu, serta emolumen (keuntungan ekstra, penghasilan sampingan) lainnya.
e. Dia bisa mencapai promosi atau kenaikan pangkat formal, dan dapat dimutasikan.
f. Apabila dia melakukan kesalahan-kesalahan, dia akan dikenai sanksi dan hukuman.
g. Selama menjabat kepemimpinan, dia diberi kekuasaan dan wewenang, antara lain untuk menentukan policy, memberikan motivasi kerja kepada bawahan, menggariskan pedoman dan petunjuk, mengalokasikan jabatan dan penempatan bawahannya, melakukan komunikasi, mengadakan supervisi dan kontrol, menetapkan sasaran organisasi, dan mengambil keputusan-keputusan penting lainnya. Sementara itu, pemimpin informal menurut Kartono (2009: 10-11)
ialah orang yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai
pemimpin. Namun, karena pemimpin informal memiliki sejumlah
kualitas unggul, pemimpin informal mencapai kedudukan sebagai orang
yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku suatu kelompok
atau masyarakat. Ia menambahkan ciri pemimpin informal, yaitu sebagai
berikut.
a. Tidak memiliki penunjukan formal atau legitimitas sebagai pemimpin.
b. Kelompok rakyat atau masyarakat menunjuk dirinya, dan mengakuinya sebagai pemimpin. Status kepemimpinannya berlangsung selama kelompok yang bersangkutan masih mau mengakui dan menerima pribadinya.
15
c. Dia tidak mendapatkan dukungan dari suatu organisasi formal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya.
d. Biasanya tidak mendapatkan imbalan jasa, atau imbalan jasa itu diberikan secara sukarela.
e. Tidak dapat dimutasikan, tidak pernah mencapai promosi, dan tidak memiliki atasan. Dia tidak perlu memenuhi persyaratan formal tertentu.
f. Apabila dia melakukan kesalahan, dia tidak dapat dihukum; hanya saja respek orang terhadap dirinya jadi berkurang, pribadinya tidak diakui, atau dia ditinggalkan oleh massanya.
Dengan demikian merujuk pada ciri pemimpin yang diungkapkan
oleh Kartono, pemimpin dalam sebuah partai politik merupakan
pemimpin formal karena dalam prosesnya pemimpin formal harus
memenuhi persyaratan formal yang telah ditentukan dan dalam
melaksanakan tugas serta fungsinya pemimpin formal terpaku pada
peraturan yang ada dalam sebuah organisasi sehingga pemimpin formal
tidak bisa semena-mena terhadap anggotanya juga terhadap segala hal
yang akan pemimpin formal kerjakan.
2. Teori-Teori Kepemimpinan
Adapun teori kepemimpinan menurut Kartono (2009: 3) adalah
sebagai berikut.
a. Suatu penggeneralisasian dari suatu seri fakta mengenai sifat-sifat dasar dan perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinan.
b. Dengan menekankan latar belakang historis, dan sebab musabab timbulnya kepemimpinan serta persyaratan untuk menjadi pemimpin.
c. Sifat-sifat yang diperlukan oleh seorang pemimpin, tugas-tugas pokok dan fungsinya, serta etika profesi yang perlu dipakai oleh pemimpin.
Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain,
bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku
16
bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus
dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan
organisasi atau kelompok. Oleh karena itu, memilih seorang pemimpin
harus mempertimbangkan banyak hal di antaranya adalah track record,
sifat, perilaku yang baik serta mempertimbangkan apakah seseorang
tersebut mampu menjalangkan fungsi dan tugasnya sebagai seorang
pemimpin dengan baik.
Seorang pemimpin tidaklah mungkin muncul secara tiba-tiba.
Untuk menjadi seorang pemimpin, ia harus melalui proses dan terdapat
banyak faktor yang melatarbelakangi munculnya seorang pemimpin. Hal
tersebut didukung oleh tiga teori yang yang diungkapkan oleh Kartono
(2009: 33-34) dalam menjelaskan kemunculan pemimpin sebagai berikut.
a. Teori genetis menyatakan sebagai berikut. 1) Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh
bakat-bakat alami yang luar biasa sejak lahirnya. 2) Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi-kondisi
yang bagaimanapun juga, yang khusus. 3) Secara filosofi, teori tersebut menganut pandangan
deterministis. b. Teori sosial (lawan teori genetis) menyatakan sebagai berikut.
1) Pemimpin harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja.
2) Setiap orang bisa menjadi pemimpin, melalui usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri.
c. Teori ekologis atau sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu), menyatakan bahwa seorang akan sukses menjadi pimpinan, bila sejak lahirnya dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat sikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan lingkungan ekologisnya. Sementara itu, Terry dalam Kartono (2009: 71-80) mengemukakan
sejumlah teori kepemimpinan, sebagai berikut.
17
Tabel 2.1. Teori Kepemimpinan
No Teori Gagasan Pokok 1. Teori Otokratis Kepemimpinan didasarkan atas perintah,
paksaan, dan tindakan arbitrer. 2. Teori Psikologis Pemimpin harus mampu memunculkan dan
mengembangkan motivasi. 3. Teori Sosiologis Pemimpin berusaha melancarkan antar-relasi
dalam organisasi. 4. Teori Suportif Pengikut berusaha dan bekerja dengan baik,
pemimpin sebagai pembimbing. 5. Teori Laissez
Faire Pemimpin dan anggota menunjukkan sikap acuh sehingga kelompok menjadi tidak berimbang dan tidak terkontrol.
6. Teori Kelakuan Pribadi
Pemimpin terpilih berdasarkan kualitas pribadi atau pola kelakuan pemimpinnya.
7. Teori Sifat Orang-orang Besar (Traits of Great Men)
Pemimpin memiliki intelegensi tinggi, inisiatif, energik, kepercayaan diri, kedewasaan emosional, memiliki daya persuasif dan komunikatif.
8. Teori Situasi Pemimpin harus mampu menyelesaikan masalah aktual
9. Teori Humanistik/ Populastik
Pemimpin merealisir kebebasan dan memenuhi kebutuhan insani melalui interaksi pemimpin dengan rakyat.
Sumber: Kartini Kartono (dalam buku Pemimpin dan Kepemimpinan; Apakah Kepemimpinan Abnormal itu?)
Setiap teori memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-
masing dalam setiap penerapannya. Seperti teori sosiologis yang
tercantum diatas pada penerapannya menghendaki adanya kerja sama
antara pemimpin dengan yang dipimpinnya karena kerja sama dalam
sebuah organisasi sangat dibutuhkan agar yang menjadi tujuan bersama
dapat tercapai. Berbanding terbalik dengan teori laissez faire di mana
dalam teori ini sama sekali tidak tercipta kerja sama antara pemimpin
dengan yang dipimpinnya sehingga teori tersebut tidak baik untuk
diterapkan dalam sebuah organisasi.
18
Seorang pemimpin harus memiliki keunggulan dalam
kepemimpinannya. Seperti yang diungkapkan Tead dalam Kartono
(2009: 44-47) yang mengemukakan sepuluh sifat seorang pemimpin
sebagai berikut.
a. Energi jasmaniah dan mental (physical and nervous energy). b. Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction). c. Antusiasme (enthusiasm; semangat, kegairahan, kegembiraan yang
besar). d. Keramahan dan kecintaan (friendliness and affection). e. Integritas (integrity; keutuhan, kejujuran, ketulusan hati). f. Penguasaan teknis (technical mastery). g. Ketegasan dalam mengambil keputusan (decisiveness). h. Kecerdasan (intelligence). i. Keterampilan mengajar (teaching skill). j. Kepercayaan (faith).
Dari sepuluh sifat yang diungkapkan Tead di atas, seorang ahli lain
bernama Terry dalam Kartono (2009: 47-50) menambahkan sifat
pemimpin lainnya sehingga ia dapat dikatakan sebagai pemimpin yang
unggul, yaitu (1) objektif, (2) memiliki keterampilan berkomunikasi, dan
(3) dorongan pribadi dalam dirinya untuk memimpin.
Berdasarkan dua pendapat ahli di atas, maka dapat diketahui bahwa
pemimpin yang unggul harus memiliki semua sifat tersebut. Seorang
pemimpin harus dapat menyeimbangkan seluruh sifat dan
mewujudkannya pada pelaksanaannya ketika ia menjadi seorang
pemimpin sehingga ia mendapatkan pengakuan dan para pengikutnya
menjadi lebih respek terhadapnya sehingga pengikutnya dapat mematuhi
segala peraturan dan perintahnya.
19
3. Tipe dan Gaya Kepemimpinan
Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan
kepribadian sendiri yang unik khas sehingga tingkah laku dan gayanya
yang membedakan dirinya dari orang lain. Reddin dalam Kartono (2009:
34) menentukan watak dan tipe pemimpin atas tiga pola dasar, yaitu
sebagai berikut.
a. Berorientasikan tugas (task orientation). b. Berorientasikan hubungan kerja (relationship orientation). c. Berorientasikan hasil yang efektif (effectivess orientation).
Seorang pemimpin dalam memimpin sebuah organisasi haruslah
berorientasikan pada 3 (tiga) hal tersebut karena peningkatan kinerja
sebuah organisasi bergantung pada apa yang dilakukan seorang
pemimpin dengan kerjasama yang dilakukan dengan anggotanya.
Berdasarkan penonjolan ketiga orientasi tersebut, dapat ditentukan
delapan tipe kepemimpinan, yaitu sebagai berikut.
a. Tipe deserter (pembelot). b. Tipe birokrat. c. Tipe misionaris (missionary). d. Tipe developer (pembangun). e. Tipe otokrat. f. Benevolent autocrat (otokrat yang bijak). g. Tipe comromiser (kompromis). h. Tipe eksekutif.
Merujuk pada delapan tipe kepemimpinan yang cocok dan yang
tepat diterapkan di Indonesia adalah (1) tipe kepemimpinan misionaris
yang dipadukan dengan sifat-sifat tipe kepemimpinan developer, (2) tipe
kepemimpinan otokrat yang bijak, serta (3) tipe kepemimpinan eksekutif.
Dengan adanya perpaduan dari tipe-tipe tersebut diharapkan dapat
20
tercipta sosok pemimpin yang mampu menjalankan tugasnya dengan
penuh tanggung jawab dan mampu meminimalisir permasalahan yang
ada.
Nightingle dan Schult dalam Kartono (2009: 37) menyatakan
bahwa pemimpin harus memiliki kemampuan dan syarat sebagai berikut.
a. Kemandirian, berhasrat memajukan diri sendiri (individualism). b. Besar rasa ingin tahu, dan cepat tertarik pada manusia dari benda-
benda (curious). c. Multiterampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam. d. Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan. e. Perfeksionis, selalu ingin mendapatkan yang sempurna. f. Mudah menyesuaikan diri, adaptasinya tinggi. g. Sabar namun ulet, serta tidak “mandek” berhenti. h. Waspada, peka, jujur, optimistis, berani, gigih, ulet realitis. i. Komunikatif, serta pandai berbicara atau berpidato. j. Berjiwa wiraswasta. k. Sehat jasmaninya, dinamis, sanggup dan suka menerima tugas yang
berat, serta berani mengambil resiko. l. Tajam firasatnya, tajam dan adil pertimbangannya. m. Berpengetahuan luas, dan haus akan ilmu pengetahuan. n. Memiliki motivasi tinggi, dan menyadari target atau tujuan
hidupnya yang ingin dicapai, dibimbing oleh idealisme tinggi. o. Punya imajinasi tinggi, daya kombinasi, dan daya inovasi.
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Nightingle dan Schult,
maka pada dasarnya pemimpin tersebut harus memiliki beberapa
kemampuan superior melebihi kawan-kawannya atau melebihi para
pengikutnya. Paling tidak ia harus memiliki superioritas dalam satu atau
dua kemampuan atau keahlian sehingga kepemimpinannya bisa
berwibawa. Menjadi seorang pemimpin harus memiliki satu atau lebih
keunggulan dibandingkan dengan yang lainnya. Sogdill dalam Kartono
(2009: 36) menyatakan bahwa pemimpin itu harus memiliki beberapa
kelebihan, yaitu sebagai berikut.
21
a. Kapasitas: kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal facility, keaslian, kemampuan menilai.
b. Prestasi/achievement: gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, perolehan dalam olah raga dan atletik lainnya.
c. Tanggung jawab: mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan punya hasrat unggul.
d. Partisipasi: aktif, memiliki sosiabilitas tinggi, mampu bergaul kooperatif atau suka bekerja sama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa humor.
e. Status: meliputi kedudukan sosial-ekonomi yang cukup tinggi, populer, tenar. Merujuk pada beberapa kelebihan yang diungkapkan oleh Sogdill
bahwa seseorang yang menjadi pemimpin haruslah memiliki suatu hal
yang dapat diunggulkan dibandingkan dengan orang lain. Di mana
kelebihan tersebut dapat menjadi ciri khas atau daya tarik ketika menjadi
seorang pemimpin.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan para ahli di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa tipe dan gaya kepemimpinan bukan suatu hal
yang mutlak untuk diterapkan, karena pada dasarnya semua jenis gaya
kepemimpinan itu memiliki keunggulan masing-masing. Sehingga
memerlukan penyesuaian dengan situasi dan kondisi yang menuntut
diterapkannnya gaya kepemimpinan tertentu untuk mendapatkan
manfaat.
4. Tugas Pemimpin dalam Kelompok
Akibat adanya kekuatan yang saling mempengaruhi di antara
semua anggota kelompok dan pemimpinnya, maka timbul dinamika
kelompok dalam wujud bermacam-macam usaha dan tingkah laku.
Kekompleksan tingkah laku ini jelas diperlukan pemimpin dan
22
kepemimpinan. Tugas pemimpin dalam kelompok menurut Kartono
(2009: 117-118), ialah sebagai berikut.
a. Memelihara struktur kelompok, menjamin interaksi yang lancar, dan memudahkan pelaksanaan tugas-tugas.
b. Menyingkronkan ideologi, ide, pikiran, dan ambisi anggota-anggota kelompoknya dengan pola keinginan pemimpin.
c. Memberikan rasa aman dan status yang jelas kepada setiap anggota, sehingga mereka bersedia memberikan partisipasi penuh.
d. Memanfaatkan dan mengoptimalisasikan kemampuan, bakat dan produktifitas semua anggota kelompok untuk berkarya dan berprestasi.
e. Menegakkan peraturan, larangan, disiplin dan norma-norma kelompok agar tercapai kepaduan/cohesivenes kelompok; meminimalisir konflik dan perbedaan-perbedaan.
f. Merumuskan nilai-nilai kelompok, dan memilih tujuan-tujuan kelompok, sambil menentukan sarana dan cara-cara operasional guna mencapainya.
g. Mampu memenuhi harapan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan para anggota, sehingga mereka merasa puas, juga membantu adaptasi mereka terhadap tuntutan-tuntutan eksternal di tengah masyarakat, dan memecahkan kesulitan-kesulitan hidup anggota kelompok setiap harinya.
Berdasarkan beberapa poin di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pemimpin dalam sebuah kelompok harus mampu menyelesaikan
tugasnya karena peran pemimpin adalah memastikan bahwa yang
menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh kelompoknya dapat dipenuhi, jika
tidak akan timbul berbagai macam akibat negatif, salah satunya adalah
ketidakharmonisan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Selain itu
juga, seorang pemimpin harus tetap memelihara hubungan yang baik
dengan anggota kelompoknya sehingga dapat menimbulkan feed back
yang baik untuk kedua belah pihak dan juga bagi organisasinya.
23
5. Kepemimpinan Politik
Kepemimpinan politik menurut Alfian (2009: 191) dapat dipahami
dalam tiga perspektif: (1) kepemimpinan sebagai pola perilaku, (2)
kepemimpinan sebagai kualitas personal, dan (3) kepemimpinan sebagai
nilai politik. Sebagai pola perilaku, kepemimpinan terkait sekali dengan
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dalam mengupayakan
tujuan yang diharapkan. Kata kuncinya adalah mempengaruhi. Sebagai
kualitas personal, kepemimpinan berkaitan dengan kharisma. Sedangkan
sebagai nilai politik, kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan untuk
menggerakan orang lain dengan otoritas moral atau pandangan ideologis.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih ‘tradisional’.
Masyarakat tradisional membutuhkan suri tauladan. Mereka
membutuhkan sosok individu yang dianggap pemimpin untuk
mengarahkan mereka.
Salah satu karakteristik masyarakat tradisional menurut Weber
dalam Firmanzah (2009: 76) adalah pengkultusan terhadap seorang
pemimpin. Pemimpin politik juga tidak terlepas dari proses pengkultusan
ini. Kultus pemimpin ini terjadi ketika semua atribut seorang pemimpin
partai politik mendapatkan kekuasaan absolutnya dengan mendapatkan
predikat seperti orang suci, keturunan wali, dan memiliki kekuatan
suprnatural. Selanjutnya menurut Surbaki (1992: 45) pemimpin menjadi
panutan sebab warga masyarakat mengidentifikasikan diri kepada sang
pemimpin dan ia dianggap sebagai “penyambung lidah” masyarakat.
24
Pemimpin menjadi begitu kuat dalam mempengaruhi opini publik.
Tentunya predikat pemimpin dalam masyarakat yang masih tradisional
ini memiliki tanggung jawab sosial yang tidak ringan. Setiap ucapan dan
aktivitasnya memiliki kekuatan ‘pengaruh’ yang cukup besar dalam
masyarakat. Sehingga seorang pemimpin politik juga perlu semakin
berhati-hati untuk mencegah munculnya konflik horizontal maupun
vertikal dalam masyarakat.
B. Teori Partai Politik
1. Pengertian Partai Politik
Untuk menjadi negara yang demokratis diperlukan unsur-unsur
yang mendukung tegaknya demokrasi. Salah satu unsur-unsur pendukung
itu adalah infrastruktur politik yang terdiri atas partai politik, kelompok
gerakan dan kelompok kepentingan. Partai politik merupakan salah satu
sarana untuk berpartisipasi. Sebagaimana diungkapkan oleh Hidayat dan
Azra (2007: 149), partai politik memiliki peran yang sangat strategis
terhadap proses demokratisasi yaitu selain sebagai struktur kelembagaan
politik yang anggotanya bertujuan mendapatkan kekuasaan dan
kedudukan politik, mereka juga sebagai sebuah wadah bagi
penampungan aspirasi rakyat.
Kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi tidak dapat
dilepaskan dari peran dan fungsinya, tidak hanya kepada konstituen yang
dikelola tetapi juga kepada bangsa dan negara. Organisasi partai politik
25
yang dapat menempatkan orang-orangnya dalam jabatan politis berarti
akan menentukan kebijakan publik yang berdampak luas, tidak hanya
kepada konstituen mereka sehingga kehadiran partai politik juga perlu
diletakkan dalam kerangka yang lebih luas dan tidak terbatas pada
kelompok ideologis mereka saja. Menurut Firmanzah (2008: 65), baik
buruknya sistem kaderisasi dan regenerasi dalam tubuh organisasi partai
politik akan menentukan kualitas calon-calon pemimpin bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul Economic et Societe, Max Weber
dalam Firmanzah (2008: 66) menekankan aspek profesionalisme dalam
dunia politik modern. Partai politik kemudian didefinisikan sebagai
organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinnya berkuasa
dan memungkinkan para pendukungnya (politisi) untuk mendapatkan
keuntungan dari dukungan tersebut. Duverger dalam Firmanzah (2008:
67) mengatakan sebagai suatu organisasi yang khas, partai politik dilihat
sebagai suatu bentuk organisasi yang berbeda dengan organisasi lain.
Banyak batasan atau definisi yang diberikan oleh para ahli terhadap
partai politik. Friedrich dalam Budiardjo (2005: 161) mendefinisikan
parpol sebagai berikut.
“Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil”.
Definisi tersebut menekankan partai politik adalah sekumpulan
orang yang memiliki tujuan merebut dan mempertahankan fungsi
26
pengawasan terhadap pemerintah. Ahli lain yang juga turut merintis studi
tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah Geovanni Sartori,
yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori
dalam Budiardjo (2008: 404):
“Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.”
Dalam perkembangan studinya, definisi partai politik mengalami
perubahan pada setiap zaman, sehingga tidak ada definisi tunggal yang
bisa diterima secara universal di seluruh dunia tentang definisi partai
politik. Dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan kontrol bagi
pemerintah sekaligus juga mitra bagi pemerintah dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan publik.
Berbeda dengan pendapat dari para ahli lainnya di antaranya Burke
dalam bukunya Thoughts upon the Cause of the Present Discontents
dalam Kantaprawira (2006: 64), partai politik adalah:
“… suatu kumpulan manusia untuk memajukan keinginan-keinginan bersamanya, yaitu kepentingan nasional melalui prinsip-prinsip khusus yang sudah disepakati”.
Menurut Fadjar (2008: 16) parpol merupakan perantara yang besar
yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan
lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan mengkaitkannya dengan
aksi politik di dalam masyarakat yang lebih luas. Sebuah partai politik
dapat mengartikulasikan dan menyatukan tuntutan-tuntutan dan
kepentingan-kepentingan, bisa merekrut dan memecat para pemimpin
27
yang bertindak diluar kontrol yang ada, membuat atau tidak membuat
kebijakan pemerintah, mendukung atau menghalangi pelaksanaan sebuah
keputusan kebijakan, mempengaruhi penyesuaian atau perpanjangan
perselisihan bahkan mendidik atau memaksa rakyat.
Berdasarkan definisi-definisi tentang partai politik, maka basis
sosiologis suatu parpol adalah ideologi dan kepentingan yang diarahkan
pada usaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan. Tanpa kedua elemen
tersebut parpol tidak akan mampu mengidentifikasi dirinya dengan para
pendukungnya. Selain itu, hal tersebut juga menunjukan kedudukan
parpol sebagai berikut.
a. Salah satu wadah atau sarana partisipasi politik rakyat.
b. Perantara antara kekuatan-kekuatan sosial dengan pemerintah.
UU Nomor 2 tahun 2008 menyebutkan bahwa “Partai politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ranney & Kendall dalam Firmanzah (2008: 67) melihat partai
politik sebagai “Autonomous groups that make nominations and contest
elections in the hope of eventually gaining and exercise control of the
personnel anf policies of government”. Dalam konteks ini, mereka
28
melihat bahwa tujuan utama dibentuknya partai politik adalah mendapat
kekuasaan dan melakukan kontrol terhadap orang-orang yang duduk
dalam pemerintahan sekaligus kebijakannya.
Sementara itu, Firmanzah (2008: 67) mengatakan bahwa partai
politik sangat terkait dengan kekuasaan, untuk membentuk dan
mengontrol kebijakan publik. Selain itu partai politik juga diharapkan
independen dari pengaruh pemerintah. Hal ini tentunya menyiratkan
tujuan agar partai politik bisa mengkritisi setiap kebijakan dan tidak
tergantung pada pemerintah yang dikritisi.
La Palombara dan Weiner dalam Rifai dan Soetomo (2010: 68-67)
mengidentifikasi empat karakteristik dasar yang menjadi ciri khas
organisasi yang dikategorikan sebagai partai politik. Keempat
karakteristik dasar dari partai politik adalah sebagai berikut.
1. Organisasi jangka panjang. Organisasi partai politik harus bersifat jangka panjang, diharapkan dapat terus hadir meskipun pendirinya sudah tidak ada lagi.
2. Struktur organisasi. Partai politik hanya akan dapat menjalankan fungsi politiknya apabila didukung oleh struktur organisasi, mulai dari tingkat lokal sampai nasional, dan ada pola interaksi yang teratur di antara keduanya.
3. Tujuan berkuasa. Partai politik didirikan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, baik di level lokal maupun nasional.
4. Dukungan publik luas adalah cara untuk mendapatkan kekuasaan. Partai politik perlu mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Dukungan inilah yang menjadi sumber legitimasi untuk berkuasa.
Berdasarkan karakteristik di atas maka dapat disimpulkan bahwa
partai politik merupakan organisasi jangka panjang yang dalam
menjalankan tujuan dan fungsinya harus memiliki sesuai struktur
29
organisasi sehingga yang menjadi tujuan yakni memperoleh kekuasaan
dapat terpenuhi dengan syarat adanya dukungan yang luas dari
masyarakat luas.
2. Teori-Teori Partai Politik
a. Teori Asal-Usul Partai Politik
Menurut Surbakti (1992: 113-114), ada tiga teori yang
menjelaskan asal-usul partai politik. Pertama, teori kelembagaan
yang melihat adanya hubungan antara parlemen awal dan timbulnya
partai politik. Teori ini mengatakan bahwa partai politik dibentuk
oleh kalangan legislatif (dan eksekutif) karena ada kebutuhan para
anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan)
untuk mengadakan kontrak dengan masyarakat dan membina
dukungan dari masyarakat.
Kedua, teori ini menjelaskan krisis situasi historis terjadi
manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena
perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur
sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks.
Perubahan-perubahan itu menimbulkan tiga macam krisis, yakni
legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan
mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang
mendasari legitimasi kewenangan atas pihak yang memerintah;
menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat
30
sebagai suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang
semakin besar untuk ikut serta dalam proses politik.
Ketiga, teori ini melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti
pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan
transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi,
urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi,
pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi,
dan peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi
lingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan sesuatu organisasi
politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai
aspirasi tersebut. Jadi, partai politik merupakan produk logis dari
modernisasi sosial ekonomi.
b. Teori Terjadinya Kelompok
Menurut Indrawijaya (2010: 57), terbentuknya suatu kelompok
tidak selalu karena adanya dorongan langsung dari pekerjaan yang
harus dilakukan, sebab dalam kenyataannya kita sering juga
membentuk suatu kelompok atas dasar sukarela. Terhadap
pernyataan ini para ahli mengetengahkan teori tarikan hubungan-
perorangan (interpersonal attraction theory), seperti teori tukar
menukar, teori persamaan sikap, dan teori saling melengkapi.
Teori tukar-menukar (exchange theory attaction) oleh Thibaut
dan Kelley dalam Indrawijaya (2010: 57) menurut teori ini, interaksi
dalam kelompok terjadi dalam proses tukar-menukar antara imbalan
31
(reward) dengan ongkos (cost). Dalam setiap interaksi, seseorang
selalu mendapatkan imbalan berupa kepuasan atau terpenuhinya
sebagian kebutuhan. Seseorang melakukan proses interaksi, akan
memperhitungkan keuntungannya berdasarkan dua standar, yaitu
ukuran perbandingan (comparison level) dan ukuran perbandingan
antara beberapa pilihan (comparison level of alternatives). Caranya
adalah dengan memperbandingkan pengalamannya pada masa
lampau dengan apa yang sedang ia hadapi.
Teori kesamaan sikap (theory of similar attitude) yang
dikemukakan oleh Newcomb dalam Indrawijaya (2010: 58)
mengatakan bahwa seseorang cenderung tertarik kepada orang lain
yang dianggapnya mempunyai sikap yang sama dengannya. Ahli
lainnya bernama Winch dalam Indrawijaya (2010: 58) berpendapat
bahwa daya tarik untuk berinteraksi ditentukan oleh prinsip atau asas
saling melengkapi (the principle bukan karena ada kesamaan sikap
complementary).
Teori perbandingan sosial (social comparison theory) yang
dikemukakan oleh Festinger dalam Indrawijaya (2010: 59)
mengatakan bahwa orang yang memasuki suatu kelompok pada
hakikatnya mempunyai dorongan untuk mengadakan evaluasi
terhadap dirinya. Dengan memasuki kelompok, seseorang akan tahu
pendapat orang lain yang mengenai dirinya, termasuk tentang apa
yang baik, yang boleh, dan apa yang tidak boleh dikerjakan.
32
c. Pembentukan Kelompok
Tuckman dalam Indrawijaya (2010: 59) pada tahun 1965,
mengidentifikasi ada empat tahap dalam terbentuknya suatu
kelompok, yaitu (1) tahap pembentukan (forming), (2) tahap
pancaroba (storming), (3) tahap pembentukan norma (norming), dan
(4) tahap berprestasi (performing). Tahap pembentukan adalah tahap
di mana seseorang melakukan beberapa pengujian terhadap anggota
lainnya tentang hubungan antarperorangan yang bagaimana yang
dikehendaki oleh kelompok. Dapat disimpulkan pada tahap ini telah
diletakkan dasar perilaku kelompok baik yang berkaitan dengan
tugas individu ataupun hubungan dengan individu lainnya.
Tahap kedua yakni tahap pancaroba, di mana pada tahap mulai
terjadinya konflik dalam kelompok. Pada tahap ini muncul pula
berbagai reaksi untuk mengubah arah struktur kelompok. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada tahap ini konflik terjadi karena
adanya ketidakpuasan anggota kelompok terhadap keadaan
kelompok. Tahap ketiga adalah tahap pembentukan norma. Di mana
pada tahap ini sudah tercipta kesamaan perasaan, keakraban,
penentuan ukuran-ukuran, dan peranan baru.
Tahap terakhir adalah tahap berprestasi. Pada tahap ini
hubungan antarperorangan berperan sebagai alat untuk pelaksanaan
pekerjaan. Dengan begitu, peran seseorang menjadi lebih terlihat dan
makin sesuai dengan fungsinya.
33
3. Tujuan Partai Politik
Tujuan dari partai politik di Indonesia tercantum dalam Undang-
undang. Pengaturan tujuan ini adalah agar partai politik di Indonesia
banyak dapat berdiri dan bergerak ke arah yang sama yaitu mewujudkan
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur seperti yang
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 walaupun dihiasi dengan
ideologi dan platform yang berbeda. Tujuan partai politik di Indonesia
terdapat dalam UU Nomor 2 tahun 2008 pasal 10 ayat (1) dan (2) yaitu
sebagai berikut.
(1) Tujuan umum partai politik adalah sebagai berikut. a. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (2) Tujuan khusus partai politik adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.
b. Memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Tujuan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. Tujuan partai politik seperti yang tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2008 dimaksudkan agar setiap partai politik
memiliki tujuan yang diharapkan tidak akan keluar dari konteks tujuan
yang terdapat dalam undang-undang tersebut guna membangun dan
34
terwujudnya negara demokrasi di mana masyarakatnya dapat ikut serta
langsung dalam dunia politik.
4. Fungsi Partai Politik
Blondel dalam Darmawan (2009: 15) menyatakan bahwa partai
mempunyai tiga fungsi utama. Fungsi pertama, pada level masyarakat
secara keseluruhan, partai politik mengartikulasikan konflik-konflik
sosial dengan cara menciptakan hubungan antara rakyat dengan
pemerintah. Fungsi kedua, pada level sistem politik, partai politik
merumuskan kebijakan-kebijakan kepada pemerintah. Fungsi ketiga,
pada level kehidupan politik sehari-hari, partai politik memainkan peran
utama dalam perekrutan bagian terbesar dari elit politik.
UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 11 mengalami
penyempurnaan seperti halnya tujuan partai politik dalam peraturan
perundang-undangan terdahulu menyatakan bahwa:
(1) Partai politik berfungsi sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar
mejadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
(2) Fungsi partai politik sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diwujudkan secara konstitusional.
35
Partai politik dalam melaksanakan kegiatan politik tentu harus
sesuai dengan peran dan fungsinya agar tercipta nuansa harmonis dalam
penerapannya dikehidupan bermasyarakat dan bernegara.
G. B. de Huszar dan T. A. Stevenson dalam Rudy (2009: 91)
menyebutkan bahwa fungsi-fungsi partai politik, antara lain sebagai
berikut.
a. Pengajuan calon-calon wakil rakyat (Proposing candidates). b. Merangsang pendapat umum (Stimulating public opinion). c. Mendorong rakyat untuk memilih (Getting people to vote). d. Sikap kritis terhadap pemerintahan (Criticism of the regime). e. Tanggung jawab pemerintahan (Responsibility for government). f. Memilih para pejabat negara (Choosing appointive officer). g. Kesatuan dalam pemerintahan (Unifying the government).
Dari fungsi partai politik oleh Huszar dan Stevenson, Duverger
dalam Rudy (2009: 92) menambahkan pendidikan politik, seleksi politik,
penghimpun kegiatan politik, saluran pernyataan kepentingan,
pengawasan dan pengendali konflik dan komunikasi politik sebagai
fungsi dari partai politik. Sementara itu, Budiardjo (2005: 405-409)
menyebutkan fungsi partai politik sebagai berikut.
a. Sebagai sarana komunikasi politik. b. Sebagai sarana sosialisasi. c. Sebagai sarana rekrutmen. d. Sebagai sarana pengatur konflik.
Hal tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Surbakti (1992:
116-121), namun ia menambahkan fungsi partisipasi politik, dan fungsi
parpol sebagai pemandu kepentingan. Beberapa pendapat ahli di atas
mengenai fungsi partai politik, dapat disimpulkan bahwa partai politik
memiliki peran sentral dalam hal rekrutmen atau seleksi politik. Namun
dalam menjalankan fungsinya, tetap saja harus diiringi dengan kerja
36
sama antara pemimpin partai dan anggotanya agar fungsi-fungsi tersebut
dapat dilaksanakan dengan baik. Terdapat beberapa fungsi yang
tampaknya selalu terkandung baik secara eksplisit maupun implisit.
Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi
kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun
kepemimpinan nasional yang lebih luas. Menurut Surbaki (1992:
118), rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan
sejumlah peranan dalam sistem politik umumnya dan pemerintahan
pada khususnya. Di mana fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan
dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu,
fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem
politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya,
kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.
Hal tersebut senada dengan yang diutarakan Budiardjo (2005:
164), di mana partai politik juga berfungsi untuk mencari dan
mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai (political rekrutment). Juga
diusahakan untuk menarik golongan muda untuk dididik menjadi
kader yang dimasa mendatang akan mengganti pemimpin lama
(selection of leadership).
37
Menurut Fadjar (2008: 23), partai politik dalam fungsinya
sebagai sarana rekrutmen politik akan menjamin kontinuitas dan
kelestarian partai dan sekaligus merupakan salah satu cara untuk
menyeleksi para calon pemimpin partai atau pemimpin bangsa.
Definisi lain mengenai rekrutmen politik dikemukakan oleh
Gaffar (2006: 155) sebagai berikut.
“Rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan politik dalam sebuah negara agar sistem politik dapat memfungsikan dirinya dengan sebaik-baiknya guna memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat”.
Pendapat tersebut memberikan pengertian bahwa pada
hakikatnya rekrutmen politik harus mampu menciptakan suatu
sistem politik yang dapat memberikan pelayanan dan perlindungan
kepada hak-hak warga negara dengan cara mengisi jabatan-jabatan
politik yang ada. Menurut Gaffar (2006: 155), dengan rekrutmen
yang terbuka, maka negara dapat memilih orang-orang yang betul-
betul berkualitas, memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang tinggi
guna mengisi jabatan-jabatan politik maka rekrutmen harus
dijalankan secara terbuka.
Darmawan (2008: 69) menyebutkan bahwa partai politik
berfungsi sebagai rekrutmen politik artinya mempersiapkan anggota
masyarakat untuk menduduki jabatan-jabatan politik dalam
pemerintahan. Parpol memiliki peran strategis dalam pengisian
jabatan-jabatan politik dalam pemerintahan. Parpol merekrut anggota
masyarakat yang dianggap berbakat untuk menjadi kadernya,
38
kemudian parpol mempersiapkan kadernya untuk menempati
jabatan-jabatan kepemimpinan dalam suprastruktur politik.
Pada dasarnya rekrutmen politik merupakan fungsi mengambil
individu untuk dididik, dilatih, dan berpartisipasi sehingga memiliki
keahlian dan peran khusus dalam sistem politik. Dari proses
rekrutmen tersebut, individu yang masuk di kancah politik
diharapkan memiliki pengetahuan, nilai, harapan, dan komitmen
politik yang berguna bagi konsolidasi demokrasi. Namun realitasnya,
proses rekrutmen politik sering tidak digarap secara serius.
Sistem pengrekrutan politik memiliki keragaman yang tiada
terbatas, walaupun ada dua cara khusus, yakni seleksi pemilihan
melalui ujian serta latihan dapat dianggap sebagai yang paling
penting. Kedua cara ini tentu saja memiliki banyak keragaman dan
banyak diantaranya mempunyai implikasi penting bagi perekrutan
politik. Tidak selamanya pengisian jabatan kepemimpinan dilakukan
dengan cara-cara halus. Rekrutmen politik pun bisa dilakukan
dengan cara yang keras, yaitu perebutan kekuasaan dengan
menggunakan ancaman kekerasan.
Dalam praktiknya tidak semua rekrutmen politik untuk jabatan
politik benar-benar terbuka. Seringkali partai politik yang diberikan
kewenangan untuk melaksanakannya, mempraktekan praktik-praktik
oligarkis, di mana elit partai kadangkala hanya merekrut atau
memprioritaskan orang-orang yang dekat dengan mereka.
39
b. Sebagai Sarana Partisipasi Politik
Menurut Sastroaatmodjo dalam Abbas (2010: 37), partisipasi
politik merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk
terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.
Pernyataan tersebut didukung oleh Budiardjo dalam Abbas (2010:
37), yang mengatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan
secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan
pemerintah.
Berdasarkan uraian beberapa ahli tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa partisipasi merupakan tindakan yang dilakukan
seseorang individu atau kelompok yang berusaha untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan yang merupakan indikasi
aktif dari pemilih terhadap kehidupan politik. Partisipasi yang terkait
dengan usaha-usaha yang dilakukan individu dalam memberikan
suara pada pemilu tidak terlepas dengan perilaku politik individu
dalam suatu komunitas masyarakat.
c. Sebagai Sarana Pendidikan Politik
Menurut Firmanzah (2008: 75), partai politik juga berperan
dalam mengedukasi masyarakat. Namun, hal ini tidak akan dapat
dilakukan apabila masyarakat tidak memiliki kesadaran akan hak
40
dan kewajiban politik, terutama dalam negara seperti di Indonesia.
Pendidikan politik merupakan prasyarat bagi masyarakat dewasa
agar menjadi warga negara yang melek politik, tahu akan hak dan
kewajibannya mengetahui informasi jalannya pemerintahan,
memahami prosedur pengambilan keputusan ataupun prosedur
demokrasi, mengetahui peraturan perundang-undangan, serta
kemampuan berpolitiknya.
Masyarakat sudah selayaknya mengenyam pendidikan politik,
agar mereka bisa menjadi masyarakat yang melek politik. Sehingga
ia akan mampu menjadi masyarakat yang dapat memposisikan
dirinya sebagai warga negara yang mampu mengawasi jalannya
pemerintahan dan mampu memberikan kritik dan masukan guna
perkembangan politik di Indonesia.
d. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Menurut Budiardjo (2005: 163), dalam ilmu politik sosialisasi
diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang
memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang
umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Di samping
itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana
masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai, dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, sosialisasi politik
merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik
(political culture) suatu bangsa.
41
Menurut Hidajat (2009: 119), partai politik juga merupakan
sarana strategi persuasi dan sosialisasi kepada masyarakat
dibawahnya. Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli
sosiologi politik bernama Rush (2008: 22), yaitu sebagai berikut.
“Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politiknya, yang kemudian menentukan sifat setiap persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik”.
Menurut Surbakti (1992: 117) proses sosialisasi politik ini
berlangsung secara terus menerus seumur hidup yang bisa diperoleh
secara sengaja, seperti melalui pendidikan formal, nonformal, dan
informal, atau juga secara tidak sengaja seperti pengalaman hidup
sehari-hari. Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai menurut
Budiardjo (2005: 164), yakni upaya menciptakan citra (image)
bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
e. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Menurut Surbakti (1992: 119) komunikasi politik adalah
proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah
kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam
hal ini, partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang
tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan
pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai
politik di negara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan
kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah.
42
Keduanya dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam sistem
politik demokrasi.
Di sisi lain, Budiardjo (2008: 406) mengatakan partai politik
juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-
rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian,
terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan
dari bawah ke atas. Dalam posisi itu partai politik memainkan peran
sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut
sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house
of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi
pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga
masyarakat sebagai “pengeras suara”.
Sementara itu, Kantaprawira (2006: 61) menilai bahwa
komunikasi politik berguna menggabungkan pikiran politik yang
hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institut,
asosiasi, maupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor
pemerintahan”. Melalui komunikasilah pikiran politik dapat
dipertemukan, karena pada hakikatnya segala pikiran itu harus ada
yang menyampaikannya (communicator), melalui pesan (messages),
dan akhirnya ada yang menerima atau menanggapinya
(communicant).
43
Jadi, dapat disimpulkan bahwa fungsi komunikasi politik
diperlukan agar terjalin komunikasi 2 (dua) arah antara yang
menyampaikan pesan yakni rakyat dan yang menerima pesan dalam
hal ini adalah partai poltik, hal tersebut berguna agar tidak terjadi
kesalahpahaman (miss-understanding) sehingga apa yang menjadi
aspirasi masyarakat dapat tersampaikan dan segera direalisasikan.
f. Sebagai Sarana Pengendali Konflik
Menurut Surbakti (1992: 120), partai politik merupakan salah
satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik
melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik,
menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari
pihak-pihak, serta membawa permasalahan ke dalam musyawarah
badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa
keputusan politik. Untuk mencapai penyelesaian berupa keputusan
itu diperlukan kesediaan berkompromi di antara wakil yang berasal
dari partai politik. Apabila partai politik merasa keberatan untuk
mengadakan kompromi, maka partai politik bukannya
mengendalikan konflik, melainkan malah menciptakan konflik
dalam masyarakat.
44
C. Teori Kinerja
1. Pengertian Kinerja
Istilah “kinerja” sering kali disamakan dengan istilah performance
atau activities. As’ad dalam Darmawan (2009: 83) menjelaskan bahwa
kinerja adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang
berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Sementara itu,
Mangkunegara dalam Darmawan (2009: 83) mengemukakan bahwa
pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh sesorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya, sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Soeprihanto dalam Darmawan (2000: 84) juga mengemukakan
bahwa pengertian kinerja pada dasarnya adalah hasil kerja seseorang
selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan,
misalnya standar, target, atau sasaran berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Sehubungan
dengan pengertian kinerja, Russell dalam Sedarmayanti (2007: 260)
menyatakan bahwa kinerja sebagai catatan mengenai outcome yang
dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu pula.
Dalam konteks lembaga publik, pengertian kinerja dapat dilihat
dari pendapat Prawirasosentono dalam Darmawan (2009: 85), yaitu suatu
hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan
45
secara legal, tidak melanggar hukum, serta sesuai dengan moral dan
etika. Pencapaian kinerja dalam suatu lembaga instansi pemerintah
(termasuk pemerintah daerah) sering diukur dari sudut pandang masing-
masing stakeholder, misalnya lembaga legislatif, instansi pemerintah,
pelanggan, pemasok, dan masyarakat umum.
Menurut Darmawan (2009: 85), kinerja pada dasarnya merupakan
salah satu perwujudan aktivitas kehidupan manusia, baik yang bersifat
aktivitas fisik maupun aktivitas mental, dan kinerja merupakan suatu
kerja yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kinerja merupakan hasil yang dicapai dalam pelaksanaan suatu pekerjaan
baik secara kuantitas maupun kualitas.
2. Teori-Teori Kinerja
Terdapat tiga teori motivasi yang paling banyak memberikan
kontribusinya terhadap falsafah manajemen kinerja yakni yang berkenaan
dengan tujuan (goals), dorongan (reinforcement) dan harapan
(expectancy). Teori tujuan (goals) dikembangkan oleh Letham dan Locke
dalam Dharma (2011: 36) atas dasar penelitian selama 14 tahun terhadap
penetapan tujuan sebagai suatu teknik motivasi. Karakteristik penetapan
tujuan menurut Dharma (2011: 36) adalah sebagai berikut.
a. Tujuan harus bersifat spesifik. b. Tujuan harus cukup menantang tetapi dapat dicapai. c. Tujuan dipandang adil dan masuk akal. d. Karyawan secara individu ikut berpartisipasi dalam penetapan
tujuan.
46
e. Umpan-balik memastikan bahwa para karyawan akan merasa bangga dan puas mendapatkan pengalaman keberhasilan mencapai suatu tujuan yang menantang dan adil.
f. Umpan-balik dipergunakan untuk mendapatkan komitmen terhadap tujuan yang lebih tinggi lagi.
Berdasarkan karakteristik penerapan yang diungkapkan oleh
Dharma, maka dapat disimpulkan bahwa dalam mencapai suatu
keberhasilan terhadap kinerja harus terlebih dahulu menentukan tujuan
yang hendak dicapai sehingga seluruh orang yang berada dalam suatu
organisasi atau perusahaan akan termotivasi untuk mencapai tujuan
tersebut dengan mempertimbangkan umpan-balik (feed-back) bagi kedua
belah pihak.
Teori “reinforcement” menyatakan bahwa keberhasilan dalam
mencapai tujuan dan imbalannya berlaku sebagai insentif yang positif
dan mendorong perilaku yang berhasil, dan bila diulangi kebutuhan yang
sama dapat muncul kembali. Teori reinforcement berkaitan dengan
pemberian pujian atas keberhasilan dan memaafkan kegagalan. Dengan
demikian, kesalahan seharusnya dipergunakan sebagai suatu kesempatan
untuk belajar; sesuatu yang hanya mungkin terjadi apabila kesalahan
tersebut benar-benar dimaafkan karena apabila tidak, maka pelajaran
tersebut akan terdengar sebagai teguran dan bukan sebagai tawaran untuk
memberikan bantuan.
Sementara itu, teori harapan sebagaimana yang dikembangkan oleh
Vroom dalam Dharma (2011: 36-37), menyatakan bahwa agar dapat
47
meningkatkan motivasi untuk menunjukkan kinerja tinggi, karyawan
harus :
a. Merasa mampu mengubah perilaku mereka; b. Merasa yakin bahwa perubahan perilaku mereka menghasilkan
imbalan; c. Memberikan nilai imbalan yang memadai sehingga membawa
perubahan perilaku.
Ketiga hal yang terdapat dalam teori motivasi diperlukan dalam
peningkatan kinerja suatu organisasi atau sebuah perusahaan.
Peningkatan kinerja dapat bermula pada penetapan tujuan awal yang
ingin dicapai, selanjutnya adanya dorongan bagi seseorang atau banyak
orang di dalam sebuah organisasi sehingga pada akhirnya mereka
memiliki harapan yang hendak mereka capai guna memajukan organisasi
yang mereka dirikan.
3. Pengertian Pengukuran Kinerja
Robertson dalam Darmawan (2009: 83) menyebutkan bahwa
pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan
pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan,
termasuk informasi atas efesiensi penggunaan sumber daya dalam
menghasilkan barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan
target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Stout dalam
Darmawan (2009: 83) juga mengemukakan bahwa pengukuran atau
penilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur
pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission
48
accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk,
jasa, atau pun suatu proses.
Sementara itu, Whittaker dalam Sedarmayanti (2007: 195)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai suatu alat manajemen yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan
akuntabilitas juga untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran.
Pengukuran kinerja digunakan untuk penilaian atas
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan sesuai
dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka
mewujudkan misi dan visi organisasi.
Menurut Tampubolon (2007: 106-115) dalam rangka pencapaian
sasaran dan tujuan organisasi, organisasi disusun dalam unit-unit kerja
yang lebih kecil, dengan pembagian kerja, sistem kerja dan mekanisme
yang jelas. Dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja diperlukan
untuk mengetahui sejauh mana perkembangan yang terjadi dalam sebuah
organisasi, apakah organisasi tersebut mengalami kemajuan atau
kemunduran, sehingga dapat dilakukan perbaikan guna peningkatan
kinerja sebuah organisasi.
Kesulitan yang muncul dalam mengukur kinerja organisasi
pelayanan publik sebagian disebabkan karena tujuan dan misi organisasi
publik acapkali tidak hanya sangat kabur, akan tetapi juga bersifat multi
dimensional. Organisasi publik memiliki stakeholder privat. Karena
stakeholder dari organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang
49
bersinggungan satu sama lainnya, maka ukuran kinerja organisasi publik
dimata stakeholders juga menjadi berbeda-beda.
Menurut Johson dan Lewin dalam Darmawan (2009: 88),
pengukuran kinerja dapat dibagi ke dalam dua macam model normatif,
yaitu sebagai berikut.
a. Model normatif kinerja politik (Normative models of political performance). Model ini berkaitan dengan masalah keadilan dan pilihan kolektif dan dapat digunakan untuk membuat desain pilihan institusi politik.
b. Model normatif pemberian layanan publik (Public service delivery). Model ini digunakan untuk memperbaiki efektifitas dan efesiensi.
Kedua model ini dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
model yang berorientasi kedalam (internal oriented) dan berorientasi ke
luar (external oriented). Model yang berorientasi ke dalam tujuannya
untuk meningkatkan kemampuan manajer dalam memperbaiki
kinerjanya, sedangkan model yang berorientasi ke luar tujuannya untuk
menyediakan indikator kinerja yang tepat kepada rakyat sebagai sarana
untuk memberikan “feedback” pada manejer publik.
Bastian dalam Darmawan (2009: 91) mengemukakan peranan
penilaian pengukuran kinerja organisasi sebagai berikut.
a. Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi.
b. Memastikan tercapainya skema prestasi yang disepakati. c. Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan perbandingan antara
skema kerja dan pelaksanaannya. d. Memberikan penghargaan maupun hukuman yang objektif atas
prestasi pelaksanaan yang telah diukur, sesuai dengan sistem pengukuran yang telah disepakati.
e. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi.
50
f. Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. g. Membantu proses kegiatan organisasi. h. Memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan secara
objektif. i. Menunjukan peningkatan yang perlu dilakukan j. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi.
Menurut Civil Service Reform Art dalam Darmawan (2009: 87)
pengukuran kinerja merupakan penilaian terhadap organisasi yang
meliputi antara lain sebagai berikut.
a. Produktivitas, yang diukur melalui perbandingan output terhadap input.
b. Efektivitas, yang menentukan hubungan output yang dihasilkan oleh organisasi dengan outcome.
c. Kualitas, yang mengukur output atau program yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut, dan
d. Waktu, yang mengevaluasi ketepatan waktu yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa melalui pengukuran kinerja dapat
dilakukan proses penilaian terhadap pencapaian tujuan yang ditetapkan
dan pengukuran kinerja dapat memberikan penilaian yang objektif dalam
pengambilan keputusan sebuah organisasi. Dengan adanya pengukuran
kinerja diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas sebuah
organisasi.
4. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Secara teoritis, Hidayat dan Sucherly dalam Rahmat (2006: 524)
mengemukakan bahwa kinerja (produktivitas kerja) dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut.
a. Fasilitas kerja. b. Teknologi. c. Manajemen. d. Motivasi.
51
e. Kepuasan kerja, dan f. Keterampilan.
Sementara itu, Simanjuntak dalam Rahmat (2006: 524)
berpendapat bahwa kinerja (produktivitas kerja) dipengaruhi beberapa
faktor, sebagai berikut.
a. Disiplin. b. Sikap dan etika kerja. c. Jaminan sosial. d. Tingkat penghasilan. e. Lingkungan dan iklim kerja, dan f. Pendidikan dan latihan.
Selanjutnya, Atmosoeprapto dalam Darmawan (2009: 95-96)
mengemukakan bahwa kinerja suatu organisasi akan sangat dipengaruhi
oleh faktor internal maupun eksternal sebagai berikut.
1. Faktor eksternal yang terdiri dari: a. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan
keseimbangan kekuasaan negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal.
b. Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar.
c. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat, yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi.
2. Faktor internal yang terdiri dari: a. Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang
ingin diproduksi oleh suatu organisasi. b. Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan
dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. c. Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengolahan anggota
organisasi sebagai enggerak jalannya organisasi secara keseluruhan.
d. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.