bab ii 1199168 - library.walisongo.ac.idlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/6/... · tujuan...
TRANSCRIPT
9
BAB II
PENGAJIAN DAN ETOS KERJA
2.1.PENGAJIAN
2.1.1. Pengertian Pengajian
Pengajian berasal dari kata kaji yang artinya meneliti atau
mempelajari tentang ilmu-ilmu agama Islam.1 Maksudnya adalah
membimbing sesering mungkin terhadap umat manusia yang sudah
memeluk agama Islam pada khususnya, agar keberagamaan semakin
meningkat.Jadi pengajian merupakan pengajaran agama Islam dan
menanamkan norma-norma agama melalui media tertentu.2 Pengajian
ini biasa diselenggarakan oleh masyarakat baik di masjid, mushala,
madrasah-madrasah, perumahan bahkan perkantoran.
Pengajian yang kita ketahui sebagai sistem tradisional, telah
menyumbangkan hasil yang tidak bisa dianggap sepele di Indonesia,
seperti aktifitas yang dilakukan oleh sejumlah Walisongo. Karena pada
dasarnya sistem yang diterapkan dalam pengajian tidak saklek pada satu
model saja. Akan tetapi guna tercapainya sebuah dakwah, maka
disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada pada waktu itu.
Tujuan mengkaji suatu ilmu adalah mendapatkan suatu ilmu
yang benar. Esensi dari ilmu itu akan ada bila dirinya ada iman dan
1 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, hlm. 431.
2 Ibid.
10
amal saleh, sehingga terwujudnya suatu kehidupan yang bahagia dan
sejahtera dunia dan akhirat dalam ridha Allah.
Berpijak pada hal di atas, maka pengajian juga disebut
dakwah, bukan sekedar tabligh tetapi merupakan salah satu bentuk
usaha untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam menyiapkan mutu SDM yang produktif terdapat parameter yang
digunakan dengan rumusan konseptual, salah satuya adalah
peningkatan kualitas iman dan taqwa. Jadi untuk menciptakan SDM
dalam artian manusia secara utuh, tidak cukup hanya meningkatkan
kekuatan jasmani dan ketajaman akal (pendidikan formal), namun
keduanya harus diimbangi dengan kesucian hati nurani. Hal ini ada bila
terdapat pembinaan keimanan dan ketaqwaan (pendidikan informal).
Salah satunya adalah dengan pengajian ini. Dengan adanya kesucian
hati nurani, dapat membimbing akal dan jasmani dalam usaha manusia
mencari kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 3
2.1.2. Tujuan Pengajian
Tujuan pengajian merupakan tujuan dakwah juga, karena di
dalam pengajian antara lain berisi muatan-muatan ajaran Islam. Oleh
karena itu, tujuan untuk menyebarkan Islam, begitu pula untuk
merealisir ajarannya di tengah-tengah kehidupan umat manusia adalah
merupakan usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimanapun dan di
manapun harus dilaksanakan oleh umat Islam.
3 Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam Dari Ediologi Strategi sampai Tradisi, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya Offset, 2001, hlm. 152-154
11
Tujuan dakwah memberi pengaruh besar terhadap unsur-unsur
dakwah yang lain. Karena tujuan merupakan nilai akhir dari sebuah
aktifitas. Adapun tujuan pengajian atau dakwah pada hakekatnya adalah
juga merupakan tujuan hidup manusia sesuai dengan ajaran al-Quran
senantiasa menginginkan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan
akhirat. 4
Sedangkan Asmuni Syukir membagi tujuan dakwah menjadi
dua, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dakwah adalah
mengajak umat manusia (meliputi orang mukmin maupun orang kafir
atau musyrik) kepada jalan yang benar yang diridhai Allah SWT, agar
dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan tujuan khusus dakwah yaitu :
a. Mengajar umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk
selalu menigkatkan taqwanya kepada Allah SWT.
b. Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih mu’alaf.
c. Mengajar umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada
Allah (memeluk agama Islam).
d. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari
fitrahnya.5
4 Abd. Rosyad Saleh, op.cit , hlm. 24. 5 Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya, al-Ikhlas, 1983, hlm.
51-60.
12
2.1.3. Bentuk-bentuk pengajian
Adapun penyampaian hal-hal yang berkaitan dengan Islam
khususnya melalui pengajian, dapat dilakukan dengan berbagai
model pengajian yang ada. Adapun bentuk-bentuk pengajian itu
sendiri antara lain:
2.1.3.1. Dilihat dari segi waktu
Pengajian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pengajian mingguan
Yaitu pengajian yang dilaksanakan seminggu sekali, bisa
ditempatkan setiap hari senin, atau setiap jum’at dan
sebagainya.
b. Pengajian bulanan
Yaitu pengajian yang dilaksanakan setiap sebulan sekali,
bisa minggu pertama, atau minggu kedua dan seterusnya,
atau 2 bulan sekali dan ada juga yang tiga bulan sekali.
c. Pengajian selapanan
Yaitu pengajian yang dilaksanakan setiap 40 hari sekali.
2.1.3.2.Dilihat dari anggota/peserta
Peserta pengajian satu dengan yang lainnya masing-masing
berbeda sehingga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pengajian Thoriqoh
Biasanya dalam pengajian ini materi yang disampaikan
adalah berkisar pada permasalahan yang berkaitan
dengan ukhrawi, berpijak pada masalah di atas, berarti
13
secara otomatis pengajian ini memotivasi pada
pesertanya untuk selalu ingat akan akhirat, yaitu mengisi
kehidupan ini dengan cara beribadah kepada Allah SWT
dan berbuat baik antar sesama pada umumnya.
b. Pengajian Remaja
Pengajian ini biasanya terdiri dari para remaja yang
berinisiatif mengadakan pengajian, yang biasanya selain
materi dakwah juga diisi dengan kreatifitas lain untuk
mengembangkan bakat dan potensi remaja.
c. Pengajian ibu-ibu
Pengajian ibu-ibu sebagai bentuk pengajian yang
dilakukan atau diikuti dari kalangan orang tua, ibu muda.
Adapun yang dibahas adalah masalah-masalah yang
berkaitan dengan agama islam, dan materi atau kegiatan
lain yang sifatnya menunjang pembangunan baik pribadi
maupun lingkungan sekitar.
d. Pengajian bapak-bapak
Pengajian ini anggotanya terdiri dari bapak-bapak atau
kepala keluarga
e. Pengajian umum
Yaitu pengajian yang dihadiri oleh berbagai kalangan
baik tua maupun muda, laki-laki ataupun perempuan
biasanya diadakan pada peristiwa tertentu.
f. Khutbah-khutbah
14
Biasanya disampaikan oleh khotib atau tokoh agama,
dalam kesempatan shalat Jum’at, sholat Id, pernikahan
atau juga dalam kesempatan lainnya. 6
2.1.3.3.Dilihat dari materi pengajian
Dari berbagai pengajian yang ada, masing-masing berbeda
materi satu dengan yang lain. Namun ada intinya satu yaitu
seputar ajaran Islam. Sehingga dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Pengajian yasinan
Yaitu pengajian yang materi utamanya yasinan adapun
yang lain sebagai tambahan.
b. Pengajian tahlilan
Yaitu pengajian yang materinya adalah tahlilan sebagai
materi utama dan ini biasanya dilakukan umat islam
dengan aliran tertentu, adapun materi lainnya sebagai
tambahan
c. Yasin Syifa’
Yaitu pengajian yang materi utamanya yaitu yasin sifa’
beserta do’a yang biasanya setelah pembacaan yasin
syifa’ disajikan materi-materi umum sebagai tambahan
d. Pengajian umum
6 Haffi Anshari, op.cit, hlm 24 .
15
Yaitu pengajian yang biasanya materi umum artinya
berisi penyampaian ajaran-ajaran islam secara
menyeluruh biasanya berisi ceramah seorang da’i.
Adakalanya diadakan semacam dialog bersama mad’u.
2.1.3.4.Ditinjau dari segi penyelenggara
Penyelenggaraan dakwah yang membutuhkan dana tidak
sedikit, mengharuskan dibuatnya pengorganisasian supaya
lancar. Penyelenggaraan pengajian ini dikatakan dapat
berjalan dengan baik dan efektif, bila mana tugas-tugas
dakwah yang telah diserahkan, kepada pelaksanana itu
benar-benar dilaksanakan dan pelaksanaannya sesuai dengan
rencana dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. 7
Adapun penyelenggara pengajian dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Instansi pemerintah
Pengajian yang diadakan oleh instansi pemerintah,
biasanya pada hari-hari besar atau peristiwa-peristiwa
penting dalam suatu negara.
b. BUMN, Swasta
Yaitu pengajian yang diadakan oleh pihak swasta, yaitu
semacam di perusahaan-perusahaan swasta untuk para
karyawan sekaligus menejernya. Salah satu tujuannya
7 Nasruddin Harahap, Dakwah Pembangunan, Cet ke I, DIY, DPD Golongan Karya Tingkat I 1992, hlm. 24.
16
yaitu mengarahkan motif para karyawan, yang pada
akhirnya dapat mencapai dimensi produktifitas, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan output marginal dalam
kehidupan melalui kegiatan-kegiatan yang produktif.8
Sehingga terbentuk SDM yang beriman dan bertaqwa
yang akan menghasilkan output dan input yang balance.
c. Organisasi keagamaan
Yaitu pengajian yang diadakan oleh organisasi
keagamaan yang ada seperti Muhamadiyyah, NU, IPNU-
IPPNU, Fatayat, Majlis Ta’lim, SDI (Syarikat Dagang
Islam) yang sekarang menjadi Syarikat Islam,
Penggerakan Tarbiyah Islamiah (PERTI), Persatuan
Islam (PERSIS), Al-Irsyad, Persatuan Muslimin
Indonesia (PERMI), Aljami’atul Washliyah, Dewan
dakwah Islamiyah, Majlis Dakwah Islamiyah,dan lain-
lain. 9
d. Masyarakat
Yaitu pengajian yang diadakan oleh masyarakat itu
sendiri baik antar RT RW maupun yang lebih luas yaitu
tingkat kelurahan.
8 Ibid, hlm. 130. 9 Haffi Anshari, op.cit,. hlm. 116.
17
2.1.4. Unsur-Unsur Pengajian
Sebagaimana tujuan, unsur-unsur pengajian sama dengan
unsur-unsur dakwah di mana terdiri dari Da’i, Mad’u, Materi, Media
dan Metode.
2.1.4.1.Da’i (subyek dakwah)
Yaitu orang yang handal menyampaikan, mengajak orang ke
jalan Allah. Berhasil tidaknya dalam berdakwah, kepribadian
da’i sangat berpengaruh.
Sifat-sifat da’i :
1. Iman dan taqwa kepada Allah
2. Tulus ikhlas dan tidak mementingkan kepentingan diri
pribadi
3. Ramah dan penuh pengertian
4. Tawadhu’
5. Sederhana
6. Sabar dan tawakal
7. Memiliki jiwa tolerans
8. Sifat terbuka (demokrasi)
9. Tidak memiliki penyakit hati
Sedangkan da’i diharapkan mempunyai sikap-sikap:
1. Berakhlak mulia
2. Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani
3. Disiplin dan bijaksana
18
4. Wira’i dan berwibawa
5. Tanggung jawab
6. Berpandangan yang luas
7. Berpengatahuan yang cukup.10
2.1.4.2.Obyek pengajian
Mad’u merupakan sasaran yang akan dijadikan obyek
dakwah dalam pelaksanaan dakwah Islam, sasaran dakwah
dalam hal ini adalah seluruh umat manusia tanpa terkecuali.
Seperti halnya tugas yang diperintahkan Allah SWT kepada
rasul kita baginda nabi besar Muhammad SAW dan perintah
ini seperti yang termaktub dalam al-Qur’an surat Saba’ ayat
28 :
����������������� �� ������ ������� ��������� ������������� ����� ��!"#�$� �%�&��'()*��"+� ��������������, ��$�
Artinya : Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui�-11
Dengan adanya firman Allah tersebut di atas, maka
jelas bahwa sasaran dakwah adalah seluruh umat manusia
tanpa terkecuali. Agar seorang juru dakwah dapat mencapai
hasil yang efektif dalam menyampaikan dakwahnya, maka
10 Asmuni Syukir, op.cit., hlm. 34-47. 11 Depag RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Intermassa, 1985-1986, hlm. 688.�
19
sudah barang tentu dia harus mengetahui kondisi sasaran
dakwahnya. Hal ini bisa ditinjau dari pemikiran mereka,
pendidikan, unsur daerah maupun yang lainnya.
Menurut derajat cara berfikirnya, maka masyarakat
dapat dibagi sebagai berikut :
1) Umat yang berfikir kritis, dalam kelompok ini
diantaranya terdapat orang yang berpendidikan dan
orang yang berpengalaman. Orang yang hanya dapat
dipengaruhi, jika fikirannya menerima dengan baik.
Golongan ini sebelum menerima sesuatu biasanya
berfikir terlebih dulu secara mendalam dan tidak mudah
menelan begitu saja yang dikemukakan padanya.
2) Umat yang mudah terpengaruh, adalah suatu masyarakat
yang mudah dipengaruhi oleh faham baru (Sugestibel)
tanpa memikirkan secara matang apa yang dikemukakan
padanya, apa yang dilakukan oleh orang banyak dengan
mudah diikutinya tanpa memikirkan salah benarnya
masalah itu.
3) Umat bertaqlid, yaitu golongan yang bersifat fanatik buta
pada tradisi dan kebiasaan turun temurun yang
dipandang benar adalah hanya kebiasaan yang
diwariskan oleh nenek moyangnya. Sebaliknya segala
yang bertentangan dianggap salah, ada pula dari mereka
yang bertaqlid pada satu faham atau pendirian suatu
20
agama atau suatu aliran, yaitu mengikuti suatu tanpa
pemikiran dan fanatik pada suatu pendirian itu.
Sebaliknya argumen luas tidak diterimanya walaupun
nyata-nyata benar.12
Obyek Pengajian sama halnya dengan obyek dakwah,
sehingga dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Obyek ditinjau dari segi jumlahnya dapat di bagi :
1. Individu (perorangan)
2. Kelompok dimana sasarannya adalah orang banyak dan
ini bisa dalam jumlah sedikit (terbatas) atau umum
(tidak terbatas). Terbatas, misalnya : pengajian dalam
kelompok-kelompok tertentu atau disebut pembinaan
mental atau santapan rohani. Tak tebatas, misalnya :
pengajian umum, tabligh akbar dan sebagainya.
b. Obyek ditinjau dari segi profesinya :
1. Sebagai petani/nelayan
2. Sebagai pedagang
3. Sebagai buruh
4. Sebagai ABRI
5. Sebagai pegawai negeri
6. Sebagai pekerja swasta
7. Sebagai pendidik
12Hamzah Ya’qub, Publistik Islam Teknik Dakwah dan Leadership, Bandung, CV. Diponegoro, 1992, hlm. 33.
21
8. Sebagai campuran
c. Obyek ditinjau dari segi pendidikannya
1. Tidak berpendidikan
2. Berpendidikan Sekolah Dasar
3. Berpendidikan sekolah menengah atas
4. Berpendidikan tinggi
5. Campuran
d. Obyek ditinjau dari segi tingkatan umur
1. Kalangan anak
2. Kalangan pemuda/i atau remaja
3. Kalangan dewasa
4. Kalangan tua
5. Campuran
e. Obyek ditinjau dari jenis kelamin
1. Orang wanita
2. Orang laki-laki
3. Campuran
f. Obyek ditinjau dari segi lingkungannya
1. Lingkungan rumah tangga
2. Lingkungan sekolah
3. Lingkungan masyarakat
g. Obyek ditinjau dari tingkatan ekonominya
1. Tingkat ekonomi rendah
2. Tingkat ekonomi cukup
22
3. Tingkat ekonomi tinggi
4. Campuran
h. Obyek ditinjau dari segi macam keagamaanya
1. Terdiri dari orang muslim
2. Terdiri dari non muslim
3. Campuran
i. Obyek ditinjau dari tingkatan keagamaanya
1. Muslim sekedar nama
2. Muslim yang tidak aktif
3. Muslim yang aktif
4. Campuran
j. Obyek ditinjau dari segi daerah pemukimanya
1. Daerah pesisir
2. Daerah pegunungan, daerah transmigran
3. Daerah perkotaan 13
Kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari obyek, ada dua
macam obyek yaitu :
1) Kemungkinan yang positif, antara lain :
b. Mereka ingin menjadi muslim yang baik
c. Mereka ingin meningkatkan pengetahuan dan
pengalaman.
d. Mereka mendengar untuk mengambil hikmah.
13 Haffi Anshari, op.cit, hlm 119-121
23
e. Mereka ingin mengadakan perbandingan.
2) Kemungkinan yang negatif, antara lain :
a. Ingin memperkuat atau mempertahankan
ketidakmuslimannya
b. Ingin mencoba da’i yang bersangkutan
c. Ingin membantah atau memberi sanggahan
d. Mendengarkan dengan terpaksa 14
2.1.4.3.Materi Pengajian
Materi pengajian sama halnya dengan materi dakwah
yang pada umumnya sangat luas sekali dalam arti tidak
terbatas pada satu term saja. Seperti yang dikatakan oleh
Hamzah Ya’qub di dalam bukunya Publistik Dakwah, bahwa
materi dakwah antara lain meliputi:
- Aqidah Islam Tauhid dan keimanan
- Pembentukan pribadi yang sempurna
- Pembangunan masyarakat yang adil dan makmur
- Kemakmuran dan kesejahteraan dunia dan akhirat.15
Seperti yang penulis tahu, bahwa materi pengajian
adalah sangat luas sekali, maka dalam praktek dakwah
tersebut harus ada ketepatan pula dalam memilih materi yang
akan dijadikan dakwah. Hal semacam itu bisa kita sesuaikan
14 Ibid, hlm. 121 15 Hamzah Ya’qub, op.cit, hlm.30.
24
dengan kondisi sosiokultural masyarakat yang ada sebagai
obyek dakwah, karena obyek dakwah yang tidak begitu fasih
dalam berbahasa akan sulit dimengerti hal-hal yang sifatnya
ilmiah. Sebaliknya kaum intelektual akan terasa
membosankan apabila terlalu banyak ungkapan dalil yang
mengarah pada doktrinisir, oleh sebab itulah maka sangat
penting sekali bagi seorang da’i di dalam memilih materi
yang akan disajikan kepada obyek dakwah.16
2.1.4.4.Media Pengajian
Media dapat diartikan sebagai sesuatu yag dapat
dijadikan sebagai alat atau perantara untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Dengan demikian media dakwah adalah
segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan.17 Adapun
untuk dapat mencapai sasaran yang tepat dan sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki, maka sudah tentu dakwah
memerlukan alat penghubung yang menjadi penghubung ide
pada masyarakat, sebab dakwah bukan hanya sekedar
menyampaikan pesan kepada orang lain akan tetapi
mempunyai tujuan dan sasaran yang lebih jauh yaitu agar
16 M. Syafa’at Habib, Buku Pedoman Dakwah, Jakarta, Wijaya, 1982, hlm. 107. 17 Asmuni Syukir, op.cit, hlm. 163.
25
setiap anggota masyarakat menjadi penganut Islam yang
baik, berbuat sesuai dengan ajaran Islam.18
Seperti halnya telah dijelaskan di atas bahwa media
dakwah merupakan alat yang menjadi saluran yang
menghubungkan ide dengan umat, maka di bawah ini akan
kami kemukakan beberapa media dakwah yang menjadi
penghubung ide dengan masyarakat, yang antara lain :
- Lisan, sebagai misal adalah khutbah, pidato, ceramah,
diskusi, seminar, nasehat, ramah tamah dalam anjang
sama dan semuanya dilakukan dengan lidah atau
bersuara.
- Tulisan, dakwah yang dilakukan melalui perantara
tulisan, sebagai misal buku-buku, majalah, surat kabar,
buletin risalah, kuliah tertulis, pamflet, pengumuman-
pengumuman spanduk dan lain sebagainya.
- Audio visual, yaitu suatu cara penyampaian yang
sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran,
bentuk ini dilaksanakan dalam bentuk audio visual
seperti televisi, sandiwara, kethoprak, wayang dan lain
sebagainya.
- Lukisan, yaitu gambar-gambar hasil dari seni lukis,
seperti foto, film bentuk lukisan ini banyak menarik
18 M. Syafa’at Habib,op.cit. hlm.129.
26
perhatian orang banyak dan banyak dipakai untuk
melukiskan maksud ajaran yang ditunjukkan pada orang
lain.
- Akhlak, yaitu suatu cara penyampaian langsung
ditunjukkan dalam perbuatan yang nyata, umpamanya
menjenguk seorang yang sedang sakit, bersilaturahmi,
dan lain sebagainya.19
2.1.4.5.Metode Pengajian
Merupakan hal yang urgen sekali jika dalam setiap
kegiatan pengajian da’i memperhatikan tentang masalah
metode, agar tujuan pengajian dapat diterima dan dipahami
oleh sasaran pengajian (masyarakat luas).
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Quran
surat An-Nahl ayat 125 yang bunyinya sebagai berikut :
�������������.�/ �����0�1"(�* ������* ��/ ������2 3��#��45�6�!�7%�����)8"9)��.":�$��;�<�;�=������">)? ��9��@�
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula.” (Q.S. An-Nahl : 125)20
Berdasarkan firman Allah di atas, jelas bahwa prinsip
dakwah Islam tidak menunjukkan hanya pada satu metode
19 Hamzah Ya’qub, op.cit, hlm. 47-48. 20 Depag. RI, op. cit., hlm. 421.
27
saja. Terlebih lagi bahwa dalam dakwah Islam tidak harus
langsung memenuhi titik vital keberhasilan dengan
menggunakan satu metode saja, terlebih-lebih bila seorang
da’i mampu menciptakan metode sendiri, kami kira
merupakan pengalaman yang berharga sekali bagi seorang
da’i.
Di sini akan kami uraikan satu persatu mengenai
metode dakwah/pengajian yang antara lain :
1. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah menyampaikan
dakwah dengan cara mendorong sasarannya untuk
menyampaikan suatu masalah yang dirasa belum
dimengerti dan da’i sebagai penjawabnya.21
Metode ini adalah bermaksud untuk melayani
mad’u sesuai dengan kebutuhannya, sebab mad’u yang
tadinya tidak mengerti akan berlanjut menanyakannya
kepada seorang da’i. Dalam hal ini biasanya benbentuk
langsung dalam arti seorang da’i berceramah lalu ia
mempersilahkan mad’u untuk bertanya bila ada
permasalahan yang kurang dipahami. Adapun metode ini
juga mempunyai kelebihan dan kekurangan yang antara
lain :
21 Asmuni Syukir,op. cit,, hlm. 123-124.
28
��Kelebihan metode ini adalah :
a. Membiasakan mad’u menghafalkan fakta,
megembangkan ingatan tentang materi dakwah
b. Dapat mengurangi kesalahan
c. Dapat memperdalam tentang materi dakwah
d. Mad’u dapat ikut aktif dalam pertanyaan dan
jawaban
��Kelemahan metode ini adalah :
a. Dari segi motivasi bertanya, memungkinkan sering
digunakan untuk niat negatif, misalkan
pertanyaannya itu untuk mengoreksi kesalahan
orang lain dimuka umum
b. Metode ini sifatnya hanya sebagai pelengkap,
sehingga perlu dibarengi metode yang lainnya.
c. Materi pertanyaan sering menyimpang dari
permasalahan dan mungkin juga malah mengundang
persengketaan.22
2. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara penyajian keterangan
kepada orang lain dengan lisan, agar mereka mengerti
terhadap apa yang disampaikannya itu.23
22 Ibid, hlm. 126-127. 23 Dzikron Abdullah, Metodologi Dakwah, Semarang, Dakwah IAIN Walisongo, 1987,
hlm.54.
29
Metode ini dapat berlaku secara langsung dan juga
secara tidak langsung seperti lewat media audio visual dan
non visual seperti televisi dan radio
��Kelebihan dari metode ceramah, antara lain:
a. Dalam waktu yang relatif singkat dapat disampaikan
materi yang banyak.
b. Da’i lebih mudah menguasai audien
c. Memungkinkan mubaligh/da’i menggunakan
pengalamannya, kebijaksanaannya sehingga audien
mudah tertarik dan Lebih bersifat fleksibel, artinya
mudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi.24
��Kelemahan metode ceramah menerima ajarannya
a. Dari segi materi, bahwa materi yang disampaikan
kurang terkontrol dan sering hanya itu-itu saja,
sehingga menimbulkan kebosanan.
b. Ada unsur paksaan, yakni da’i aktif ceramah dan
terkesan mengharuskan mad’unya untuk
mendengarkan, walaupun terkadang ada hal-hal
yang kurang cocok dengan hatinya.
c. Dari segi kegunaannya terbatas pada kalangan
masyarakat kehidupan menengah yang sudah tidak
terhimpit pencahariannya. Dan metode ini tidak
24 Asmuni Syukir, op.cit, hlm. 106.
30
pernah memberikan jawaban yang konkrit atas
kemajuan dan perkembangan zaman.25
3. Metode Mujadalah atau diskusi
Mujadalah atau diskusi pada umumnya sebagai
pemecahan masalah secara bersama-sama baik dalam
kelompok kecil ataupun besar.26 Dan metode ini kalau kita
mau mengkaji lebih jauh akan banyak manfaatnya bila
dibandingkan dengan metode yang lain. Karena dengan
tercapainya mufakat berarti lebih condong tidak ada
pertengkaran yang terjadi antar audien pada khususnya
dan masyarakat luas pada umumnya. Dakwah dengan
metode tersebut diperuntukkan guna melawan isolasi buah
fikiran perorangan yang sangat mudah akan menjurus
pada prasangka dan penilaian yang berat sebelah tentang
pemahaman materi dakwah yang disajikan.
4. Metode mengunjungi rumah atau dikenal dengan metode
home visit.
Dalam metode ini pendakwah mengunjungi rumah-
rumah atau dalam hal ini disebut dengan audien, dan bila
kita mau menelaah lebih jauh, sebetulnya metode ini
banyak kelebihannya, akan tetapi seperti metode-metode
yang lain, metode ini juga ada kelemahannya. Hal
25 Ibid., hlm. 107-108 26 Asmuni Syukir, op. cit., hlm. 141-142
31
semacam ini merupakan bukan sesuatu yang berlebihan
bila kita melakukannya karena dalam Islampun diajarkan
mengenai silaturahmi yaitu untuk menuatkan tali
persaudaraan sesama muslim.
Adapun metode ini dapat dilaksanakan dengan dua cara
yaitu :
a. Atas undangan tuan rumah : cara ini digunakan
biasanya tuan rumah sudah memeluk Islam, akan tetapi
dia belum sadar untuk berniat memperdalam
keIslamannya.
b. Atas kehendak seorang pendakwah itu sendiri : Cara ini
bisanya dilakukan terhadap orang yang belum memeluk
Islam.27
Di dalam pelaksanaan kedua metode tersebut,
hendaknya seorang da’i harus benar-benar mengetahui dan
memperhitungkan faktor dari obyek pengajian itu sendiri
yang antara lain mencakup tingkat usia-sebab tidak
mungkin dirasa bila kita harus berdakwah dengan orang
yang sudah pikun- tingkat pengetahuan, status sosial dan
keadaan ekonomi serta ideologi yang dianutnya. Karena
faktor-faktor tersebut akan sangat urgen sekali manakala
kita akan menggunakan metode tersebut.
27 Ibid., hlm. 160-162
32
2.1.4.6.Manajemen Pengajian
Pengajian hanya akan tercapai arti penting yang sejati
“mengajar ke arah yang baik”. Jika ia dapat memfungsikan
kembali lembaga-lembaga agama yang telah diambil oleh
lembaga-lembaga sekuler.
Tujuan agama-agama memberikan tuntunan bagi
umat manusia dan menawarkan makna bagi hidup,
memajukan solidaritas manusia dan mendorong perubahan
sosial. Untuk itu dakwah harus menerapkan kaedah dan
fungsi manajemen : controling, planning, organizing,
actuating, evaluing.
Jadi manajemen pengajian yang dimaksud dalam hal
ini adalah proses merencanakan tugas, mengelompokkan
tugas, menghimpun dan menempatkan tenaga-tenaga
pelaksana dalam kelompok-kelompok tugas itu, dan
kemudian menggerakkannya ke arah pencapaian tujuan
pengajian.28
2.2. ETOS KERJA
2.2.1. Pengertian Tentang Etos Kerja
Etos kerja dari bahasa Yunani (Ethos) yang memberikan arti
sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap
ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan
28 Rosyad shaleh, op.cit, hlm. 34
33
masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya,
serta sistem nilai yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau
nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral) sehingga dalam
etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk
mengerjakan sesuatu secara optimal. Lebih baik dan bahkan berupaya
untuk mencapai kualitas kerja yang sempurna mungkin dan
menghindari segala kerusakan (fasad) sehingga setiap pekerjaannya
diarahkan untuk menghindari bahkan menghilangkan sama sekali cacat
dari hasil pekerjaannya.29
Etos juga diartikan suatu pandangan hidup khas suatu golongan
sosial.30 Definisi lain menyebutkan sebagai “sikap dasar seseorang atau
kelompok orang dalam melakukan kegiatan tertentu.31
Sedangkan yang dimaksud kerja adalah suatu usaha yang
dilakukan seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk
memproduksi suatu komoditi atau memberikan jasa.32
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang
dilakukan manusia baik dalam hal materi atau non materi, intelektual
29 Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta, Gema Insani press, 2002, hlm. 15.
30 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hlm. 309.
31 M. Dawan Raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 390
32 Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hlm. 51.
34
atau fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniaan
dan keakhiratan.33
Makna “kerja” bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan menyerahkan seluruh aset, pikir, dan
dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terbaik (khoiru
ummah).34
Dalam hal ini definisi etos kerja adalah sebagai totalitas
kepribadian dirinya caranya mengekpresikan, memandang, meyakini
dan memberikan makna ada sesuatu yang mendorong dirinya untuk
(bertindak) dan meraih amal yang optimal (High performance).35
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa yang
dimaksud etos kerja adalah semangat yang kuat yang tertanam dalam
jiwa seseorang yang kemudian diaplikasikan dalam sikap kesehariannya
dalam melakukan usaha untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
serta tujuan tertentu dengan menyerahkan aset, pikir, dan dzikirnya
untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai
khalifah Allah.
33 Abdul Aziz Alkhayyat, Etika Bekerja dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hlm. 13.
34 Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, op.cit., hlm. 25. 35 Ibid., hlm. 20. �
35
2.2.2. Ciri-Ciri Etos Kerja
Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan
tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada suatu
keyakinan yang singkat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan
berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk terus
menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil
sebagai bagian dari umat yang terbaik (khoirul ummah), jiwanya
gelisah apabila dirinya hampa tidak segera berbuat kesalehan. Ada
semacam dorongan yang sangat luar biasa untuk memenuhi hasrat
memuaskan dahaga jiwanya, yang terpenuhi dengan dia berbuat
kesalehan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang
mempunyai etos kerja, mempunyai kecanduan untuk beramal saleh
diantaranya yaitu:
2.2.2.1.Mereka Kecanduan Terhadap Waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja adalah cara
seseorang menghayati, memahami, dan merasakan betapa
berharganya waktu, waktu merupakan deposito paling berharga
yang dianugerahkan Allah SWT secara gratis kepada setiap
orang. Orang yang mempunyai etos kerja tinggi akan segera
menyusun tujuan, membuat perencanaan kerja, dan kemudian
melakukan evaluasi atas hasil kerjanya dan sadar untuk tidak
memboroskan waktu. Waktu adalah ladang kehidupan.
36
2.2.2.2.Mereka mempunyai moralitas yang bersih (Ikhlas)
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang
berbudaya kerja Islami itu adalah nilai keikhlasan, karenanya
ikhlas merupakan bentuk dari cinta bentuk kasih sayang, dan
pelayan tanpa ikatan. Sikap ikhlas bukan hanya output dari
dirinya melayani, melainkan input atau masukan yang
membentuk kepribadianya didasarkan pada sikap yang bersih.
Bahkan, cara dirinya mencari rizki, makanan dan minuman yang
masuk kedalam tubuhnya, adalah bersih semata-mata. Ikhlas
merupakan energi batin yang akan membentengi diri dari segala
bentuk yang kotor (rizsun).
2.2.2.3.Mereka kecanduan kejujuran
Perilaku yang jujur adalah perilaku yang diikuti oleh
sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya tersebut atau
integritas.
Budaya kerja Islami sangat mendorong untuk melahirkan
seseorang yang profesional sekaligus memiliki integritas yang
tinggi
Jujur pada diri berarti dia memulai dari sikap disiplin,
taat, dan berani untuk mengakui kemampuannya sendiri. Dia
mampu mengendalikan diri dan kemampuan yang dimilikinya.
2.2.2.4.Mereka kecanduan disiplin
Erat kaitanya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin
yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan
37
tetap taat walaupun dengan situasi yang sangat menekan. Pribadi
yang berdisiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaan
serta penuh tanggung jawab memenuhi kewajibannya. Mata hati
dan profesinya terarah pada hasil yang akan diraih sehingga
mampu menyesuaikan diri dalam situasi yang menantang.
Merekapun mempunyai daya adaptabilitas atau keluwesan untuk
menerima inovasi atau gagasan baru. Daya adaptabilitasnya
sangat luwes dalam cara dirinya menangani berbagai perubahan
yang menekan. Karena sikapnya yang konsisten itu pula, mereka
tidak tertutup terhadap gagasan-gagasan baru yang bersifat
inovatif.
2.2.2.5.Mereka bahagia karena melayani.
Melayani dengan cinta, bukan karena tugas atau
pengaruh dari luar, melainkan benar-benar obsesi yang sangat
mendalam bahwa “aku bahagia karena melayani”. Seseorang
yang amanah adalah orang-orang yang menjadikan dirinya sibuk
untuk memberikan pelayanan. Mereka merasa bahagia dan
memiliki makna apabila hidupnya dipenuhi dengan pelayanan.
Dan masih banyak ciri yang lain dari orang yang
menghayati dan memiliki etos kerja diantaranya :
2.2.2.6.Mereka memiliki komitmen (akidah, akad, i’tikad)
2.2.2.7.Istiqomah, kuat pendirian
2.2.2.8.Konsekuen dan berani menghadapi tantangan (challenge)
2.2.2.9.Mereka orang yang kreatif
38
2.2.2.10. Mereka tipe orang yang bertanggung jawab
2.2.2.11. Mereka memiliki harga diri
2.2.2.12. Memiliki jiwa kepemimpinan (leadership)
2.2.2.13. Mereka berorientasi kemasa depan
2.2.2.14. Hidup berhemat dan efisien
2.2.2.15. Memiliki jiwa wiraswasta
2.2.2.16. Memiliki insting bertanding (fastabiqulkhoirot)
2.2.2.17. Keinginan untuk mandiri (independent)
2.2.2.18. Mereka kecanduan belajar dan haus mencari ilmu
2.2.2.19. Memiliki semangat perantauan
2.2.2.20. Memperhatikan kesehatan dan gizi
2.2.2.21. Tangguh dan pantang menyerah
2.2.2.22. Berorientasi pada produktifitas
2.2.2.23. Memperkaya jaringan silaturahmi
2.2.2.24. Mereka memiliki semangat perubahan (spirit of change) 36
2.2.3. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja
M. Dawam Raharjo membaginya dalam 2 faktor:
2.2.3.1.Faktor Internal
1. Tujuan-tujuan (goals)
Tujuan ini tidak jauh dari motivasi seseorang itu
sendiri dalam bekerja. Motivasi kerja menempati posisi
sangat penting dalam psikologi kerja, sebab motivasi ini
36Ibid, hlm 73-134
39
bertugas menjawab pertanyaan : “Mengapa kita bekerja?”
Dan juga menjawab persoalan tantangan dan metode
membangkitkan etos kerja karyawan untuk merealisasikan
produktivitas yang ideal. 37
Motivasi dapat didefinisikan sebagai keadaan internal
individu yang melahirkan kekuatan, kegairahan dan
dinamika, serta mengarahkan tingkah laku pada tujuan. Maka
ketika para direktur sedang membangkitkan motivasi para
pekerja, berarti mereka sedang melakukan sesuatu untuk
memberi kepuasan pada motif, kebutuhan dan keinginan para
pekerja sehingga mereka melakukan sesuatu yang menjadi
tujuan dan keinginan para direktur. Sehingga dapat dipahami
bahwa motivasi mengandung rangsangan suatu pihak kepada
individu sehingga ia melakukan sesuatu yang menjadi tujuan
pihak lain itu dan pada gilirannya juga dapat merealisasikan
keinginan-keinginan individu.
Motif disini diartikan sebagai ungkapan dari
kebutuhan-kebutuhan individu. Motif-motif ini merupakan
kepribadian dan aspek internalnya. Disisi lain, bagi individu,
stimulus merupakan dorongan-dorongan luar yang
merupakan faktor pembantu dalam merealisasikan tujuan.
Dengan demikian, merupakan keharusan bagi pimpinan
37 Abdul Hamid Mursi, SDM yang Produktif, Pendekatan Al-Qur’an dan Sains, Jakarta, Gema Insani Pres, 1997, hlm. 89.
40
untuk mengenali motif-motif individu dengan cara
konstruktif dalam pelaksanaan kerja yang memberi kepuasan
pada kebutuhan individu. 38
Dimensi-dimensi terpenting motivasi kerja adalah
bagaimana membuat orang cenderung untuk tetap giat
bekerja, sehingga bersedia mendayagunakan kelebihan
waktunya dengan menambah volume kerja apabila kondisi
memungkinkan. Salah satu penggerak motivasi adalah
perasaan senang saat melihat hasil kerja yang berkualitas.
Sehinggga menjadikan pekerjaan sebagai tujuannya. Pekerja
yang bermotivasi lemah selalu mengharapkan imbalan atas
setiap tenaga yang dikeluarkannya. Sedangkan pekerja yang
bermotivasi tinggi, tidak mengharapkan dan tidak selalu
mengorientasikan setiap tenaganya untuk memperoleh
imbalan, baginya imbalan tidak mempunyai nilai validitas. Ia
memperoleh kepuasan dan kebahagiaan dalam mencari posisi
kerja yang menantang dan menikmati pekerjaan yang tinggi
tingkat kesulitannya. 39
Motivasi adalah kekuatan motorik yang
membangkitkan aktivitas kehidupan, menggerakkkan tingkah
laku dan mengarahkan ke tujuan tertentu. Motivasi
38 Ibid, hlm. 91-92. 39 Ibid, hlm. 103.
41
melahirkan fungsi-fungsi penting dan strategis dalam realitas
kehidupan.
Motivasi memberi rangsangan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primer yang penting bagi kehidupan,
motivasi juga mendorong individu melakukan pekerjaan-
pekerjaan penting dan berguna dalam kaitannya dengan
lingkungan.
Para pakar psikologi modern mengklasifikasikan
motivasi menjadi dua bagian penting, yaitu :
a. Motivasi fisiologis/biologis primer.
Yaitu motivasi yang berkaitan dengan kebutuhan-
kebutuhan fisik-fisiologis dan kekurangan-kekurangnan
serta ketidakseimbangan yang terjadi dalam rangkaian
tubuh manusia. Motivasi ini mengarahkan pada individu
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, atau menutupi
kekurangan pada tubuh, dan mengembalikannya pada
kondisi yang seimbang.
b. Motivasi psikologis/sosial sekunder
Yaitu motivasi yang didapatkan dari proses belajar
dimasa pertumbuhan sosial individu. 40
2. Kebutuhan-kebutuhan (needs)
3. Sikap (attitude)
40 Ibid, hlm. 105-106.
42
4. Kemampuan-kemampuan (abilities)
2.2.3.2.Faktor eksternal
1. Struktur lingkungan
2. Pendidikan
3. Informasi
4. Komunikasi
Dalam hal ini pendidikan yang dimaksud baik
pendidikan umum maupun pendidikan agama, baik lembaga
formal maupun non formal. 41
2.2.4. Landasan Hukum Atas Etos Kerja
Untuk masalah etos kerja disebutkan dalam al-Quran surat al-
Jumuah ayat 10 sebagai berikut :42
�����������A��4"B ���"��&�()C�="����D "#EF�;���)����="�����GH�I�J ���K �5�B GL��M�N���'()/�� O)P�">G����+������,���EA�)�G� M�
Artinya : “Apabila ditunaikan sembayang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.
Dalam surat at-Taubah ayat 105 juga disebutkan :43
41 M. Dawam Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 257-287.
42 Depag RI, op-cit, hlm. 28 43 Ibid, hlm. 298.
43
�����������'()��&"Q)* ���)RG�()!�#��">G����*�1�SA�T���5%�.���(%G��*"1��4%GL��������GU36��)5����H�9��?������V "5�C ���>����1�7%������'W9��)=%�!����">)="�G����*���">G�
�'(G��*"+�P
Artinya : “Dan katakanlah : Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui akan yang ghoib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Juga dalam hadits ini :
�����������#�:�#�:�X��Y (Z����'��0��T�&�4*1�4%*1�X[�Y (\�'�] �̂T(&_�1�`?56��a#��&$����b 44
Artinya : bekerjalah seperti kerja orang yang menyangka ia tidak akan mati selamanya, dan berhati-hatilah seperti hati orang yang kuwatir ia mati besok pagi. (HR Baihaqi dan ibn Amr).
Kitab suci Al-Qur’an baik secara eksplisit maupun implisit
memerintahkan umat manusia untuk memegang nilai-nilai Islam secara
total, menyeluruh, utuh (kaffah). Motivasi kerja dimiliki oleh setiap
manusia, tetapi ada sebagian orang yang lebih giat bekerja daripada
yang lain.
Atas dasar itu ada tiga unsur yang menjadikan hidup manusia
positif dan berguna :
Pertama, mengimplementasikan potensi kerja yang dianugrahkan oleh
Allah.
44 Jalaludin Abdul Rahman as-Suyuti, Jami’us Shaghir, Daar al-Ihya’ al-Kitab al-Arabiyah Indonesia, t.t., hlm. 48.
44
Kedua, bertawakal kepada Allah, dan mencari pertolongannya ketika
melaksanakan pekerjaan.
Ketiga, beriman kepada Allah untuk menolak bahaya, kediktatoran
dan kesombongan atas prestasi yang dicapai.45
Ajaran Islam tentang etos kerja, ajaran tentang tertib dan
disiplin kerja serta perintah bekerja keras, terbukti bahwa nilai Islam itu
relevan dengan usaha pembaharuan atau modernisasi dan sangat
menunjang upaya menumbuhkan mental pembangunan yang amat
dibutuhkan dalam era pembangunan dalam segala bidang dewasa ini.
Ciri-ciri mental pembangunan tersebut antara lain : 46
a. Orientasi ke masa depan
Artinya semua kegiatan harus direncanakan dan
diperhitungkan untuk menciptakan masa depan yang lebih maju,
lebih sejahtera dan lebih bahagia dari pada keadaan sekarang lebih-
lebih keadaan dimasa lampau.
b. Kerja keras dan teliti serta menghargai waktu
Kerja santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga, dana
dan waktu adalah bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam
mengajarkan agar setiap detik dari waktu harus diisi dengan 3 hal
yaitu untuk meningkatkan keimanan, beramal saleh ( membangun )
dan membina komunikasi sosial.
45 Abdul Hamid Mursi, op.cit, hlm. 116-119 46 Kafrawi Ridwan , Metode Dakwah Dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan,
Jakarta, PT. Golden Trayon, 1991, hlm. 28-37
45
c. Penguasaan terhadap alam dan lingkungan.
Menurut ajaran Islam alam semesta ini diciptakan Allah
untuk dimanfaatkan dan disediakan untuk kesejahteraan umat
manusia.
d. Rasa tanggung jawab dan Achievement oriented.
Semua masalah yang diperbuat dan difikirkan harus dihadapi
dengan penuh tanggung jawab, baik keberhasilan maupun kegagalan,
tidak berwatak mencari perlindungan ke atas dan melemparkan
kesalahan ke bawah. Setiap orang dinilai sesuai dengan hasil
karyanya.
e. Hemat dan sederhana
Islam mengajarkan hidup sederhana, hemat tetapi tidak kikir.
f. Adanya iklim kopetensi atau bersaing secara jujur dan sehat.
Dalam surat al-Maidah ayat 48, dijelaskan tentang hal tersebut yang
artinya : “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan
dan jalan yang terang sekiranya allah menghendaki niscaya kamu
dijadikan satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberiannya. Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan hanya kepada Allah kamu dikembalikan lalu
diberitahukannya apa yang kamu perselisihkannya”.
Dengan memperkuat build-in mechanism dan ketaqwaan
beragama dan menyediakan sarana dan lingkungan agamis kepada
kelompok-kelompok masyarakat ini senantiasa menjaga homogenitas
kehidupan beragama bagi masyarakat, mereka dapat merealisasikan
46
dengan politiknya yang terpadu bersifat lokal maupun nasional. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dinamisme potensi pembangunan ini
terletak pada kemampuan struktural dalam memacu potensi itu sendiri.
Diharapkan mampu memelihara etos kerja.
2.2.5. Komponen Dasar Etos Kerja
2.2.5.1.Iman dan Taqwa
Iman merupakan kepercayaan, kerja keikhlasan.47
Sedangkan secara mudah pengertian iman adalah percaya dalam
hati diucapkan dengan lisan dan dilaksanakan dalam suatu
perbuatan. Sedangkan taqwa adalah mentaati Allah dan
menjauhi larangan-Nya agar terhindar dari hukuman Allah.
Setiap hari manusia menjalin hubungan dengan dirinya,
keluarga, masyarakat dan lingkungan alam guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Hal ini akan bernilai dan serasi jika
dilandasai iman dan taqwa.
Dalam khazanah peribadatan baik ubudiyyah maupun
muamalah harus dilandasi dua komponen tersebut yaitu iman
dan taqwa kepada Allah SWT.
Pada dasarnya, dalam suatu masyarakat, manusia
dihadapkan pada suatu realita yang selalu muncul ke permukaan
bahwa manusia selalu ingin mensejahterakan hidupnya yaitu
dengan bekerja. Namun perjalanan manusia dalam dirinya
47 yusuf al-Qardhawy,iman dan kehidupan, Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993, hlm.198.
47
diliputi nafsu yang sulit dikuasai dan dikendalikan. Di sinilah
peran agama yang diyakininya menjadi sangat penting untuk
mengendalikan setiap langkah agar terhindar dari kejahatan
yang akan dilakukannya, karena dengan agama, tercipta suatu
sistem sosial, etika dan nilai baik dan buruk. Jika iman dan
taqwa sudah masuk dalam kalbu kita maka setiap langkah kita
akan merasa wajib untuk bertaqwa.
Dari pendapat yang penulis kemukakan di atas, jelaslah
bahwa dalam memenuhi hajat hidup, sebagai muslim harus
mendasarkan langkahnya dengan taqwa, agar supaya tidak
terjadi ketimpangan yang bisa mendatangkan kerugian bagi diri
dan lingkungan masyarakatnya. Dengan kata lain taqwa sangat
diperlukan agar bisa mendatangkan kebahagiaan dan ridha dari
Allah SWT.
2.2.5.2.Niat
Pembahasan mengenai pandangan umat Islam tentang
etos kerja ini barangkali dapat dimulai dengan usaha menangkap
makna sedalam-dalamnya. Sabda nabi yang amat terkenal
bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung kepada niat-niat
yang dipunyai pelaku.
Niat adalah merupakan komponen dasar dari etos kerja
seorang mukmin, karena bagaimana setiap nilai suatu pekerjaan
tergantung daripada niatnya. Jika niatnya tinggi yaitu ingin
mencapai ridha Allah, maka iapun akan mendapatkan nilai-nilai
48
kerja yang tinggi dan jika tujuannya rendah seperti ingin
memperoleh simpati, maka setingkat itu pulalah nilai kerjanya.
Nabi SAW telah menegaskan : “Bahwasannya segala amal
perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasannya bagi tiap-tiap
orang apa yang ia niatkan”.48
Suatu pekerjaan yang tidak berpusat pada usaha untuk
mencari/mencapai ridha Allah adalah bagaikan fatamorgana
yaitu tidak mempunyai nilai substansial apa-apa. Seperti
dijelaskan dalam al-Quran.
Jadi niat atau komitmen itu merupakan suatu keputusan
dan pilihan pribadi dan menunjukkan keterikatan kita kepada
nilai-nilai moral bersumber dari Allah dengan ridha atau
perkenankan-Nya. Maka secara keagamaan semua pekerjaan
harus dilakukan dengan tujuan memperoleh ridha dan perkenan
Allah.
Kesimpulannya bahwa kerja tanpa tujuan luhur atau niat
yang luhur, maka pekerjaan itu tidak akan bernilai dan tidak
akan memberi kebahagiaan atau rasa makna bagi pelakunya.
48 Dr. Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paradigma, Jakarta, 1992, hlm. 412.
49
2.3. KETERKAITAN ANTARA INTENSITAS MENGIKUTI PENGAJIAN
TERHADAP PENINGKATAN ETOS KERJA
Perangkat dari materi dakwah, sebagaimana telah dijelaskan di atas
bahwa salah satu materi dakwah adalah nyata dimanifestasikan dalam bentuk
amal saleh atau tindakan kreatif dan prestatif. Iman merupakan energi batin
yang memberi cahaya pelita untuk mewujudkan identitas dirinya sebagai
bagian dan umat yang terbaik.49
Para ulama sepakat bahwa pengertian iman bukanlah sebuah
pernyataan yang tersembunyi sebagaimana sabda nabi :
����������'��#����4*1�V �c���� ̀XJ P�'�.���#�L��A�%��'�%Z��_d Xeb50
Artinya : “Yang dinamakan iman itu ialah apabila kau meyakini di dalam hati, menyatakannya dengan lidah dan melaksanakannya dengan perbuatan.” (al-Hadits)
Perbuatan dalam hal ini lebih ditekankan pada amal saleh (etos kerja)
tinggi. Dari kata iman, dikenal juga kata aman (damai, tentram) sehingga
manusia yang beriman seharusnya mampu mengaktualisasikan suasana damai
dan selalu ingin menjadikan pelita kedamaian (rahmatan lil alamin)
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin meletakkan manusia
menjadi kholifah di muka bumi yang mempunyai amanah, manusia yang
menunjukkan sikap pengabdian karena mereka sadar bahwa kehadiran dirinya
di muka bumi tidak lain hanya untuk mengabdi. Sebagaimana firman Allah
49 Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, Op.Cit., hlm. 1 50 Jalaluddin Abdul Rohman As-Suyuthi, op.cit., hlm. 124
50
�')X)6"+�5���������f "��g�����h ��)K c���i���&� Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.”(Adz-Dzaariyat : 56).51
Ayat ini mengandung misi bagi setiap muslim yang harus
dilaksanakan yaitu sebagai pelayan Allah. Seorang muslim hanya bisa disebut
muslim yang kaffah bila memiliki jiwa melayani (stewardship) dalam
kehidupannya. Sehingga muncul panggilan suci untuk mengislamkan
kehidupannya dan menghidupkan nilai-nilai keislaman.52
Bekerja dan melayani itu adalah fitrah manusia, sehingga jelaslah
bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan
seluruh potensi dirinya untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal
prestatif, sesungguhnya manusia tersebut telah melawan fitrah sendiri.
Manusia hanya dapat memanusiakan dirinya dengan iman, ilmu dan amal.
Islam menempatkan budaya kerja bukan sekedar jargon, motto, atau
sekedar pernyataan, tetapi menempatkannya sebagai tema sentral dari
tindakan inovatif dan kreatif dalam pembangunan umat. Sehingga tercipta
keseimbangan dalam kehidupan ini. Bekerja untuk mencari fadhilah karunia
Allah, menjebol kemiskinan, meningkatkan taraf hidup dan martabat serta
harga diri adalah merupakan nilai ibadah yang esensial. Hanya setiap pribadi
muslim yang memiliki etos kerja yang bisa menjebol kemiskinan.53
51 Depag RI, op. cit., hlm. 862 52 Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, Op.Cit., hlm. 4 53 Ibid., hlm. 15.
51
Oleh karena Islam telah meletakkan manusia pada posisi yang
berpengaruh terhadap lingkungan berhasilnya pembangunan, sehingga perlu
dikaji lebih dalam sifat-sifat yang terdapat dalam diri manusia. Khususnya
menyangkut produktivitas kerjanya. Karena hanya dengan etos kerja yang
tinggi, suatu proses pembangunan dapat mencapai hasil yang diinginkan.
Mengingat Al-Qur’an dan Hadits banyak memberikan stimulasi dan
motivasi kepada manusia mengenai produktifitas kerja yang sangat
dipengaruhi oleh masalah-masalah yang menyangkut etos kerja, bahkan amal
shaleh (kerja) merupakan esensi dari iman itu sendiri. Oleh karena itu, Islam
menjadi relefan dalam hubungan ini.etos kerja yang dimaksud menyangkut
disiplin yang merupakan tiang utama etos kerja produktif.
Kafrawi Ridwan, memberikan suatu teori tentang hubungan timbal
balik antara etos kerja dengan intensitas penghayatan agama suatu umat sbb:
a. Kedalaman penghayatan agamalah yang mendorong tambah suburnya
etos kerja, sehingga kehidupan ekonomi umat berkembang maju. Ajaran
menolong yang lemah, zakat, infaq hanya mampu mungkin dilaksanakan
apabila mereka mampu dan mempunyai kelebihan.untuk itu mereka
harus kuat dalam bidang ekonomi dengan harus bekerja keras.
b. Kehidupan ekonomi yang berkembang maju dalam suatu kelompok umat
beragama akan menimbulkan hasrat untuk menghayati agama yang lebih
mendalam. sebab dengan ekonomi yang baik beribadah lebih lapang,
kesempatan untuk meningkatkan sarana keagamaan lebih dimungkinkan
dan kebanggaan sebagai umat beragama.
52
c. Memang antara etos kerja dengan kenyataan beragama saling
mempengaruhi, namun tak perlu dipermasalahkan, maka yang lebih
dominan kenyataan menunjukkan umat yang berkecukupan, kehidupan
agama yang berkembang dengan baik, sebaliknya yang miskin dan
terbelakang akan sulit mengembangkan kehidupan agamanya.54
Dengan kehadiran para mubaligh di tengah masyarakat industri,
maupun perusahaan (diadakan pengajian) diharapkan: 55
1. Exces yang terjadi pada masyarakat industri barat tidak akan terjadi
atau setidak-tidaknya bisa ditekan karena tidak sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila
2. Pembangunan nasional akan tetap berlangsung dalam rangka
memelihara masyarakat yang sosialis religius untuk mencapai tujuan
tersebut maka pada setiap pemukiman dan daerah industri harus
tersedia sarana-sarana ibadah dan kegiatan pembinaan mental
3. Dengan gaya partisipasi yang demikian itu diharapkan tidak akan
lahir kegiatan kegiatan, peraturan/ketentuan-ketentuan yang
bertentangan dengan ajaran agama yang mutafaq.
4. Dengan karyawan-karyawan yang menghayati ajaran-ajaran agama
diharapkan akan meningkatkan produktivitas, efisiensi, kejujuran,
dan keterlibatan yang biasanya terganggu karena alkohol, narkotika
dan pergaulan bebas.
54 Kafrawi Ridwan, op.cit. hlm. 22 55 Ibid, hlm 17-19
53
5. Para mubaligh dapat menanamkan etos kerja dalam arti bahwa
bekerja adalah ibadah, agama harus menjadi motivator dan dorongan
produktifitas dan efisiensi, penghayatan agama harus mampu
menciptakan manusia yang jujur, amanah dan adil melalui lembaga
amar ma’ruf dan nahi munkar serta keyakinan akan adanya pahala
dan dosa.
Oleh karena itu tugas mubaligh pada masyarakat industri maupun
perusahaan-perusahaan tertentu mencakup dua hal : 56
a. Mendorong umat untuk mengambil bagian aktif dalam pembangunan
dalam segala bidang dengan mengaktualisasikan etos kerja Islam
yang pada hakekatnya sangat condusive dengan kemajuan termasuk
masyarakat industri.
b. Mencegah ekses-ekses masyarakat industri dengan meningkatkan
iman dan ketaqwaan dan menghidupkan lembaga amar ma’ruf nahi
munkar.
Keberhasilan suatu pengajian selain didukung oleh unsur-unsur
pengajian seperti yang telah dipaparkan di atas juga dipengaruhi faktor di
luar itu. Namun dari unsur-unsur tersebut, unsur yang paling berpengaruh
adalah pelaku pengajian itu sendiri yaitu da’i dan mad’u. Seorang da’i
harus mengetahui materi apa yang harus disampaikan dengan melihat
situasi dan kondisi mad’u atau audiens. Begitu juga mad’u, yang
56 Ibid, hlm 20
54
menentukan berhasil tidaknya suatu pengajian. Dimana berhasilnya suatu
pengajian (dakwah) adalah adanya perubahan sikap oleh mad’u.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sikap seseorang :
1. Faktor ekstern (interaksi sosial) meliputi :
a. Bagaimana isi pesan yang diterimanya.
b. Siapakah orang yang menyokong isi pesan tersebut.
c. Bagaimanakah hubungan pesan yang diterima dengan norma-
norma kelompoknya, apakah cukup menguntungkan ataukah dapat
menimbulkan tantangan dari kelompoknya ?
d. Dalam situasi bagaimanakah pesan itu disampaikan, bagaimana
caranya ?
2. Faktor intern (daya selektifitas) meliputi :
a. Sikap merupakan hasil dari pengamatan atau perkembangan dari
proses pengalaman seseorang sehubungan dengan rangsangan dari
objek tertentu.
b. Sikap tidaklah berdiri sendiri melainkan selalu ada objeknya.
Artinya tidak mungkin ada sikap tanpa ada objeknya.
c. Pada dasarnya manusia hidup ditengah-tengah objek dan stimulus-
stimulus, hanya saja sehubungan dengan daya pengamatan
manusia, hanya rangsangan yang dominan saja yang mempu
menimbulkan sikap tertentu terhadap rangsangan tersebut.
d. Sikap merupakan suatu kecenderungan bertindak (predisposition to
act) terhadap suatu objek tertentu.
55
e. Karena sikap merupakan hasil dari pengalaman seseorang maka
sikap itu bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir sehingga
karenanya sikap seseorang tersebut dapat dipelajari, pembentukan
dan perubahannya.57
Dengan demikian perubahan dan pembentukan sikap dapat
dilihat dari segi seberapa jauh intensitas dari seseorang dalam melakukan
interaksi sosialnya baik di luar maupun di dalam kelompoknya. Semakin
sering seseorang terlibat dalam komunikasi baik langsung maupun tidak
langsung akan bertambah reference dan pengalaman-pengalamannya,
sebagai dasar bagi dirinya dalam membentuk atau merubah sikapnya
yang ada.
Perubahan atau pembentukan sikap seseorang, baik yang bersifat
individual maupun sikap sosial dapat diketahui dan dilihat dari dua hal :
1. Perubahan sikap dapat dirubah karena adanya pengaruh dari pesan
(message) komunitas. Yang dapat dilakukan dengan dua cara :
- Ceramah yang berkisar one side argument
- Secara diskusi
2. Perubahan sikap karena situasi kelompok, antara lain :
- Pembentukan dan perubahan sikap seseorang sangat ditentukan
oleh derajat interaksi orang terebut dengan kelompoknya.
- Apabila interaksi cukup lama dan memenuhi interestnya serta tidak
bertentangan dengan interest kelompoknya maka norma-norma
57 Toto Tasmaro, Komunikasi Dakwah, Jakarta, Gaya Media Pertama, 1997, hlm. 22-23.
56
kelompoknya dapat ikut membentuk sikap pada orang tersebut
sebagai anggota kelompok.
- Pada tingkat yang paling awal, pedoman (reference) tingkah laku,
atau sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh kelompok
keluarganya sebagai reference groupnya dimana dalam kelompok
ini terjalin suatu hubungan yang cukup mendalam.
- Sikap pandangan seseorang dapat beralih (shifting of reference)
kepada sikap pandangan yang lain, apabila seseorang tersebut
beralih atau hidup dalam kelompok reference tertentu dengan
interaksi yang cukup intensif dan berlangsung lama.58
Faktor-faktor tersebut di atas berlaku dalam suatu kehidupan
manusia disamping ada faktor-faktor spikologis yang terdapat di
dalam diri setiap individu yaitu :
- Faktor Imitasi adalah suatu proses dimana seseorang meniru
tingkah laku, maupun ide-ide tertentu dari orang lain yang
dianggap ideal menurut pandangan dirinya.
- Faktor Sugesti yaitu memberikan pandangan atau idea dari dirinya
kepada orang lain sehingga orang lain tersebut menerimanya tanpa
melalui kritik lebih dahulu.
- Faktor Identifikasi : suatu situasi di mana seseorang mempunyai
kecenderungan untuk menjadi indentik (sama) dengan orang lain
58 Ibid, hlm. 24-30.
57
yang dianggapnya ideal atau tokoh tertentu dalam lapangan
tertentu.
- Faktor Simpati : suatu proses di mana seorang merasa begitu
tertarik akan keseluruhan pola tingkah laku orang lain, sehingga
dengan perasaan ini timbul pada dirinya untuk memahami atau
mengerti lebih mendalam untuk belajar dan kemudian bersedia
untuk melakukan kerjasama. 59
Dengan melihat tujuan dari dakwah adalah terjadinya perubahan
tingkah laku, sikap, atau perbuatan yang sesuai dengan pesan-pesan atau
risalah al-Qur’an dan sunnah (terwujudnya amal saleh), dengan faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan sikap seperti yang telah dijelaskan di atas
maka orang yang aktif mengikuti pengajian, menghadiri, menyimak kajian-
kajian, akan kuat imannya, karena memperoleh siraman rohani, sehingga etos
kerja terangsang dengan baik dan tinggi.
2.4. HIPOTESIS
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.60
Jawaban sementara ini diuji seara empiris di lapangan.
Berdasarkan kerangka teori di atas dapat diketahui bahwa seorang
yang aktif mengikuti pengajian serta memahami benar isi pengajian, maka
59 Ibid,hlm.57-64. 60 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, PT.
Rineka Cipta, 1998, hlm. 67
58
akan muncul dorongan yang kuat untuk mengamalkan ajaran agamanya
dengan ikhlas. Maka tidak hanya dalam ibadah ilahiyah yang dianggap suatu
ibadah. Namun apa yang difikirkan, dirasakan dan dikerjakan dalam setiap
waktu adalah suatu ibadah. Sehingga ajaran agamanya yang didapat dari hari
ke hari akan diimplementasikan dalam kehidupannya sehari-hari tak
terkecuali dalam dunia kerja yang digeluti. Maka, sesuai dengan penelitian
ini, hipotesis yang peneliti ajukan adalah adanya pengaruh pengajian Jum’at
pagi dalam meningkatkan etos kerja Karyawan Matahari Dept. Store Simpang
Lima Semarang.